PERKEMBANGAN MORAL
DAN SPRITUAL PESERTA DIDIK
A.
Definisi perkembangan moral dan spiritual peserta didik
Moral merupakan tingkah laku manusia yang berdasarkan
atas baik-buruk dengan landasan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Seseorang dikatakan memiliki perilaku tak bermoral apabila perilakunya tidak
sesuai dengan harapan sosial yang disebabkan dengan ketidaksetujuan dengan
standar sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri. Selain itu
ada perilaku amoral atau nonmoral yang merupakan perilaku yang tidak sesuai
dengan harapan sosial yang lebih disebabkan karena ketidakacuhan terhadap
harapan kelompok sosial dari pada pelanggaran sengaja terhadap standar
kelompok.
Sementara itu, moral merupakan suatu kebutuhan penting
bagi peserta didik, terutama sebagai pedoman menemukan identitas dirinya,
mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik
peran yang selalu terjadi dalam masa transisi. Meskipun moral erat kaitannya
dengan hubungan interpersonal, namun sejak lama ia telah menjadi wilayah
pembahasan dalam filsafat. Oleh sebab itu, Lawrence Kohlberg menempatkan moral
sebagai fenomena kognitif dalam kajian psikologi. Apa yang disebut dengan moral
menurut Kohlberg adalah bagian dari penalaran (reasoning), sehingga ia pun
menamakannya dengan penalaran moral (moral reasoning).
Penalaran atau pertimbangan tersebut berkenaan dengan
keluasan wawasan mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban.
Relasi diri dengan orang lain ini didasarkan atas prinsip equality, artinya
orang lain sama derajatnya dengan diri. Jadi, antara diri dan diri orang lain,
antara hak dan kewajiban. Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan
dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia
dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak
memiliki moral (imoral).
Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap
untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang
lain (dengan orang tua, saudara, teman sebaya atau guru), anak belajar memahami
tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana
yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan. Dengan demikian, peserta didik yang
bertindak sesuai dengan moral adalah mereka yang mendasarkan tindakannya atas
penilaian baik-buruknya sesuatu.
Karena lebih bersifat penalaran, maka perkembangan moral
menurut Kohlberg sejalan dengan perkembangan nalar sebagaimana yang dikemukakan
oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap
perkembangan Piaget tersebut, makin tinggi pula tingkatan moralnya. Dengan penekannya
pada penalaran ini, berarti Kohlberg ingin melihat struktur proses kognitif
yang mendasari jawaban atau pun perbuatan-perbuatan moral. Banyak ahli yang mempersamakan antara moral
dengan akhlak. Halim (dalam Raharjo, 2010) mendefinisikan akhlak atau moral
mempunyai empat makna yaitu:
1.
moral adalah sekumpulan kaidah bagi perilaku yang
diterima dalam satu zaman atau sekelompok orang,
2.
moral adalah sekumpulan kaidah perilaku yang dianggap
baik berdasarkan kelayakan bukan berdasarkan syarat,
3.
moral adalah teori akal tentang kebaikan dan keburukan,
menurut filsafat dan 4) tujuan-tujuan kehidupan yang mempunyai warna humanisme
yang kental yang tercipta dengan adanya hubunganhubungan sosial.
Menurut Raharjo (2010) bahwa akhlak merupakan keseluruhan
kebiasaan manusia yang berasal dalam diri yang didorong keinginan secara sadar
dan dicerminkan dalam perbuatan yang baik. Akhlak merupakan pondasi yang kokoh
bagi terciptanya hubungan baik antara al-Kholiq sebagai pencipta dan manusia
sebagai ciptaan-Nya. Dengan demikian,
moral, akhlak dan spritualitas tidak bisa dipisahkan. Spritualitas merupakan
aspek yang lebih banyak melihat lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi,
sikap personal.
Spritualitas adalah citra rasa totalitas kedalaman
pribadi manusia. Ada yang menyamakan antara spritualitas dengan religiusitas,
namun banyak pula yang membedakan keduanya. Yang jelas bahwa dalam spritualitas
mengandung makna semangat, roh, jiwa, dan keteguhan hati atau keyakinan. Pijakan utama pendidikan berbasis sipiritual
adalah al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Al-quran memuat nilai dan
ketentuan lengkap dalam kehidupan manusia.
Dalam hal ini, posisi hadis Nabi menempati sumber kedua
yang berperan sebagai penjelas terhadap isyarat-isyarat hukum dan nilai-nilai
yang terdapat dalam alquran. Peran al-quran dalam kehidupan ilmu dan kehidupan,
hukum, sosial, serta budaya masyarakat muslim dapat tergambar dalam firman
Allah dalam surat Albaqarah ayat 2-4:“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman kepada
yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami
anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang
telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu,
serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.”
Allah menjelaskan akan eksistensial manusia di muka bumi
ini. Dasarnya dapat terlihat dari paparan berikut, sebagaimana dijelaskan oleh
Allah dalam firmanNya:“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “ Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lemah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.(QS. al-A’raf:172) Dalam
ayat di atas, tergambar sebuah dialog antara Tuhan dan jiwa (ruh).
Sebuah dialog hanya akan terwujud ketika terjadi suasana
saling kenal. Waktu itu ruh sudah kenal dan merasakan keberadaan Allah dengan
segala keagungan-Nya dalam artian yang sesungguhnya terbukti dengan adanya dialog.
Ruh manusia sudah memiliki kesadaran spiritual tertinggi atau sudah berada pada
level (maqam liqa’) dengan Tuhan dan menyatu dengan keesaan dan keagungan-Nya.
Keseimbangan antara dunia dan akhirat menjadi sebuah
keharusan. Oleh karena itu al Gazali (dalam Arief, 2002) menyatakan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah untuk mewujudkan kebahagiaan peserta didik baik
dunia maupun akhirat, sebagaimana yang dimaksud dalam surat Al Qashash/27: 77:
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Menurut Aliah B. Purwakania Hasan (2006), spiritualitas
memiliki ruang lingkup dan makna pribadi yang luas, hanya saja, spiritualitas
mungkin dapat dimengerti dengan membahas kata kunci yang sering muncul ketika
orang-orang menggambarkan atri spiritualitas bagi mereka. Dengan mengutip hasil
penelitian Martsolf dan Mickley, Aliah B. Purwakania Hasan menyebutkan beberapa
kata kunci yang bisa dipertimbangkan, yaitu :
a.
Meaning (makna). Makna merupakan sesuatu yang signifikan
dalam kehidupan manusia, merasakan situasi, memiliki dan mengarah pada suatu
tujuan.
b.
Values (nilai-nilai). Nilai-nilai adalah kepercayaan, standar
dan etika yang dihargai
c.
Transcendence (transendensi). Transendensi meruapak
pengalaman, kesadaran dan penghargaan terhadap dimensi transendental bagi kehidupan
di atas diri seseorang.
d.
Connecting (bersambung). Bersambung adalah meningkatkan
kesadaran terhadap hubungan dengan diri sendiri, orang lain, tuhan dan alam. 5.
Becoming (menjadi). Menjadi adalah membuka kehidupan yang mnuntut refleksi dan
pengalaman, termasuk juga seseorang dan bagaimana seseorang mengetahui.
B.
Karakteristik Perkembangan Moral Spiritual Peserta Didik
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg,
sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul the developmental of model
of moral think and choice in the years 10 to 16, seperti tertuang dalam buku
tahap-tahap perkembangan moral, tahaptahap perkembangan moral dapat dibagi
sebagai berikut:
1.
Tingkat prakonvensional Pada tingkat ini, anak belum
menunjukkan internalisasi nilai-nilai moral. Penalaran moral anak dikendalikan
oleh faktor eksternal, yaitu ganjaran dan hukuman yang bersifat fisik.
Pertimbangan moral anak pada usia ini didasarkan pada akibat-akibat yang
bersifat fisik dan hedonistik. Sesuatu itu dianggap benar atau baik oleh anak
jika menghasilkan sesuatu yang secara fisik menyenangkan atau menguntungkan
dirinya. Sebaliknya, sesuatu
itu dianggap jelek atau salah kalau menyakitkan atau menimbulkan
kerugian bagi dirinya. Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:
a.
Tahap orientasi hukuman dan kepatuhan. Pada tahap ini penalaran moral snsk semata-mata mengacu pada kepatuhan
atau hukuman oleh figur-figur yang berkuasa.
Suatu tindakan dinilai
benar atau salah
tergantung dari akibat hukuman
yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. Seorang anak akan mengatakan bahwa
bermain di kelas itu tidak baik, misalnya karena ibu guru melarangnya dan
akan marah kalau
melakukannya. Begitu juga seorang dokter bisa dianggap jahat oleh
seorang anak kalau dokter itu dipersepsi sebagai orang yang suka menyakiti
(menyuntik).
b.
Tahap orientasi relativis-instrumental. Pada tahap
ini, acuan moral
anak masih pada
peristiwa-peristiwa eksternal fisik. Akan tetapi, pada tahap ini, suatu
tindakan dinilai benar bila berkaitan dengan kejadian eksternal yang memuaskan
kebutuhan-kebutuhan dirinya atau memberikan keuntungan baginya. Jadi, meskipun
mencuri itu dianggap salah karena berasosiasi dengan hukuman, penalaran pada
tahap ini mengarah pada penilaian bahwa mencuri itu bisa benar bila dilakukan
saat ia sangat lapar. Dengan demikian, perkembangan penalaran moral pada tahap
kedua ini secara lambat laun mengarah pada suatu peralihan perspektif, yaitu
perspektif yang melibatkan orang lain.
2.
Tingkat Konvensional Pada tingkat ini, anak hanya
menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Ia memandang bahwa hal
tersebut bernilai bagi dirinya sendiri. Tingkatan ini memiliki 2 tahap:
a.
Tahap orientasi kesepakatan antar pribadi atau orientasi
laki-laki/gadis baik. Perilaku yang bermoral adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu orang
lain. Perilaku tersebut diterima dan disetujui orang lain. Penting bagi anak
ditahap ini untuk mendapatkan label “anak baik” atau “anak manis”.
b.
Tahap orientasi aturan dan ketertiban. Perilaku yang
bermoral diwujudkan dengan melakukan
kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga ketertiban sosial.
3.
Tingkat pasca-konvensional (otonom/berlandaskan prinsip) Pada
tingkat ini terdapat usaha yang jelas bagi anak untuk menegakkan nilai-nilai
dan prinsip moral yang memiliki keabsahan. Perilaku tersebut terlepas dari identifikasi
individu sendiri dan otoritas kelompok. Anak mentaati aturan untuk menghindari
hukuman kata hati. Ada dua tahap pada tingkat ini, yaitu :
a.
Tahap orientasi kontrak sosial legalitas. Pada tahap ini,
ada semacam perjanjian antar dirinya dan lingkungan sosial. Perbuatan dinilai
baik apabila sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku atau telah disepakati
oleh seluruh masyarakat.
b.
Tahap orientasi prinsip Etika universal. Pada tahap ini,
kebenaran ditentukan oleh kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika
universal yang bersifat abstrak dan penghormatan terhadap martabat
manusia.
Tambahkan gambar………tahapan perkembangan moral
kohlberg
Sementara Ernes Harms membagi perkembangan keagamaan
menjadi tiga tingkatan, yakni:
1)
The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng), dimulai 3-6
tahun. Konsep ketuhanan dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Hurlock (2002)
menambahkan bahwa disebut sebagai tahap dongeng karena anak menerima semua
keyakinanannya dengan unsur yang tidak nyata. Oleh karena itu, cerita-cerita
agama dan kebesaran upacara agama sangat menarik anak-anak.
2)
The Realistic Stage (tingkat kenyataan), dimulai 7-12
tahun. Pada masa ini, anak mampu memahami konsep ketuhanan secara realistik dan
konkrit.
3)
The Individual Stage, terjadi pada usia remaja dimana
pada masa ini situasi jiwa menudkung untuk mampu berfikir abstrak dan
kesensitifan emosinya. Pemahaman ketuhanan dapat ditekankan pada makna dan
keberadaan Tuhan bagi kehidupan manusia.
James Fowler (Desmita, 2017) merumuskan theory of faith
didasarkan pada teori perkembangan psikososial Erikson yang mengacu pada
tahapan kehidupan yang terdiri dari 7 tahap perkembangan agama, yakni:
a)
Tahap prima faith
Tahapan kepercayaan ini terjadi pada usia 0-2 tahun yang ditandai dengan
rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh dari
pengalaman relasi mutual. Berupa saling memberi dan menerima yang
diritualisasikan dalam interaksi antara anak dan pengasuhnya.
b)
Tahap intuitive-projektive Tahapan yang berlangsung antara usia 2-7
tahun. Pada tahap ini kepercayaan anak bersifat peniruan, karena kepercayaan
yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil pengajar dan contoh-contoh
signifikasi dari orang-orang dewasa, anak kemudian berhasil merangsang,
membentuk, menyalurkan, dan mengarahkan perhatian spontan serta gambaran
intuitif dan proyektifitasnya pada ilahi.
c)
Tahapa mythic-literal faith Dimulai dari usia 7-11 tahun. Pada tahap ini,
sesuai dengan tahap kognitifnya, anak secara sistematis mulai mengambil makna
dari tradisi masyarakatnya. Gambaran tentang tuhan diibaratkan sebagai seorang
pribadi, orang tua atau penguasa, yang bertindak dengan sikap memperhatikan
secara konsekuensi, tegas dan jika perlu tegas.
d)
Tahap synthenic-conventional faith Tahapan yang terjadi pada usia 12-akhir masa
remaja atau awal masa dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan
kesadaran terhadap simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk
mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja mencerminkan pola kepercayaan
masyarakat pada umumnya, namun kesadaran kritisnya sesuai dengan tahap
operasional formal, sehingga menjadikan remaja melakukan kritis atas
ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi kepadanya. Pada tahap
ini remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan yang transenden
melalui simbol dan upacara keagamaan yang menurutnya sakral. Simbol-simbol
identik kedalam arti itu sendiri “pribadi lain” yang berperan penting dalam
kehidupan mereka.
e)
Tahap individuative-reflectif faith Tahapan yang terjadi pada usia 19 tahun atau
pada masa dewasa awal, pada tahap ini mulai muncul sintesis kepercayaan dan
tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman personal
pada tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan seseorang. Menurut fowler pada tahap ini ditandai
dengan: (1) Adanya kesadaran terhadap
relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak
kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu. (2) Mengabaikan
kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif”
sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan
membantunya membentuk identitas diri.
f)
Tahap conjunctive-faith
Tahapan yang dimulai pada usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Tahap
ini ditandai dengan perasaan terintegrasasi dengan simbol-simbol ritual-ritual
dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap
pandangan–pandangan paradox dan bertentangan, yang berasal dari kesadaran dari
keterbatasan dan pembatasan seseorang.
g)
Tahap universalizing faith Tahapan yang berkembangan pada masa usia
lanjut. Perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan munculnya
kepercayaan transcendental untuk
mencapai perasaaan ketuhanan, serta adanya desentrasasi diri dan pengosongan
diri. Peristiwa-peristiwa konflik tidak selamannya dipandang sebagai paradoks.
Pada tahap ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses
pencarian kebenaran ini, seseorang akan menerima banyak titik pandang yang
berbeda serta serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan
perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling luas.
Tambahkan gambar………tahapan perkembangan spiritual
fowler
Dari teori Fowler di atas, maka berdasarkan usia,
karakteristik perkembangan spiritualitas peserta didik tediri dari dua macam
yaitu:
(1)
Karakteristik perkembangan spiritualitas anak usia
sekolah Tahap mythic-literal faith, yang dimulai usia 7-11 tahun. Menurut
Fowler berpendapat bahwa tahap ini sesuai dengan perkembangan kognitifnya, anak
mulai berfikir secara logos dan mengatur dunia dengan kategori-kategori baru.
Pada tahap ini anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi
masyarakatnya, dan secara khusus menemukan koherensi serta makna pada
bentuk-bentuk naratif. Sebagai anak yang tengah berada dalam tahap pemikiran
operasional konkrit, maka anak usia sekolah dasar akan memahami segala sesuatu
yang abstrak dengan intrepretasi secara konkret. Hal ini juga berpengaruh
terhadap pemahaman mengenai konsep-konsep keagamaan. Dengan demikian
gagasan-gagasan keagamaan yang bersifat abstrak yang terjadi dipahi secara
konkret, seperti tuhan itu satu, tuhan itu amat dekat, tuhan itu ada di
mana-mana, mulai dapat di pahami secara abstrak.
(2)
Karakteristik perkembangan spiritualitas remaja Dibandingkan
dengan masa awal anak-anak misalnya keyakinan agama remaja telah mengalami
perkembangan cukup berarti. Kalau pada masa anak-anak ketika mereka baru
memiliki kemampuan berfikir simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang
berada di awan, maka pada masa remaja, mereka sudah berusaha mencari sebuah
konsep yang lebih mendalam tentang tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman
terhadap keyakinaan agama sangat dipengaruhi perkembangan kognitif. Oleh sebab
itu, meskipun pada awal masa anak-anak itu telah diajarkan agama oleh orang tua
mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam
perkembangan kognitifnya. Pada fase
peningkatan kognitif inilah, maka peran guru sangat besar dalam membantu
peserta didik yang remaja dalam meluruskan paham keagamaan yang ekstrim kiri
(liberal) maupun ekstrim kanan (fundamentalis). Tetapi berada di poros tengah
atau Wasathiyah yang bersumber pada Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.
Mengembangkan ijtihad, pendekatan Bayani, Burhani, Irfani. Tajdidnya pemurnian
dan dinamisasi, toleransi dan terbuka. Menjaga silaturahmi dan ukhuwah kepada
seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu, meyakini dan menpedomani Indonesia
sebagai Darul Ahdi wasyahadah. Indonesia itu negera Islami, karena semua sila
sejalan dengan ajaran Islam. Jika hal tersebut dipedomani maka akan membentuk
pribadi yang tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasaamuh (toleran).
C.
Faktor yang mempengaruhi Perkembangan Moral dan Spritual
Peserta Didik
Dalam kenyataannya perkembangan seseorang itu tidak
terjadi begitu saja. Sebagai contoh dalam hal berbicara, pada mulanya seorang
bayi baru bisa mengoceh, lama kelamaan bisa menyebutkan beberapa kata yang
selanjutnya dapat berbicara lancar, disini anak berkembang bicaranya tidak
begitu saja, pasti ada hal-hal yang mendorong dan mempengaruhinya. Faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan
moral dan spiritual individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik
kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun
masyarakat.
Berbagai aspek perkembangan pada peserta didik
dipengaruhi oleh interaksi atau gabungan dari pengaruh internal dan faktor
eksternal. Begitu pula dengan perkembangan moral dan spiritual dari peserta
didik. Meskipun kedua aspek perkembangan tersebut dipengaruhi oleh faktor
eksternal dan internal yang hampir sama tetapi kadar atau bentk pengaruhnya
berbeda. Peserta didik akan mulai melihat dan memasukkan nilai-nilai yang ada
dilingkungan sekitarnya baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat,
termasuk dari gurunya. Figur guru sangat penting bagi peserta didik untuk hadir
sebagai teladan. Semua aspek diatas memilki peran yang penting dalam
perkembangan moral dan spritual peserta didik yang kadarnya atau besarnya
pengaruh yang bergantung pada usia atau kebiasaan dari peserta didik
(Baharuddin, 2011).
Secara keseluruhan, dalam usaha membentuk tingkah laku
sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu, banyak faktor yang
mempengaruhinya diantaranya yaitu :
1.
Lingkungan keluarga Keluarga sebagai lingkungan pertama
yang mempengaruhi perkembangan moral seseorang. Biasanya tingkah laku seseorang
berasal dari bawaan ajaran orang tuanya. Orang-orang yang tidak memiliki
hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar
mereka tidak mampu mengembangkan superegonya sehingga mereka bisa menjadi orang
yang sering melakukan pelanggaran norma.
2.
Lingkungan sekolah Di sekolah, anak-anak mempelajari
nilai-nilai norma yang berlaku di
masyarakat sehingga mereka juga dapat menentukan mana tindakan yang baik dan
boleh dilakukan. Tentunya dengan bimbingan guru. Anak-anak cenderung menjadikan
guru sebagai model dalam bertingkah laku, oleh karena itu seorang guru harus
memiliki moral yang baik.
3.
Lingkungan pergaulan Dalam pengembangan kepribadian,
faktor lingkungan pergaulan juga turut mempengaruhi moral seseorang. Pada masa
remaja, biasanya seseorang selalu ingin mencoba suatu hal yang baru. Dan selalu
ada rasa tidak enak apabila menolak ajakan teman. Bahkan terkadang seorang
teman juga bisa dijadikan panutan baginya.
4.
Lingkungan masyarakat Masyarakat sendiri juga memiliki
pengaruh yang penting terhadap pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali
disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai
sanksi-sanksi tersendiri untuk pelanggarpelanggarnya.
5.
Faktor genetis, atau pengaruh sifat-sifat bawaan atau
hereditas yang ada pada pada diri peserta didik. Hereditas diartikan sebagai
totalitas karakteristik individu, dan diwariskan orang tua kepada anak, atau
segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki individu sejak masa
konsepsi (pertumbuhan ovum oleh sperma) sebagai pewarisan dari pihak orang tua
melalui gen-gen.
Pentingnya faktor keturunan dinyatakan Rasulullah dalam
sebuah hadist “lihatlah kepada siapa anda letakkan nutfah (sperma) anda, karena
sesungguhnya asak (al-I’rq) itu menurun kepada anaknya”. Pengertian hadist
tersebut mengatakan bahwa sifat orang tua baik bapak maupun ibu sangat
berpengaruh penting dalam pewarisan sifat yang dimiliki oleh sang anak.
Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda dalam memilih jodoh perhatikan empat hal
yaitu kecantikan, kekayaan, keturunan, dan agama, tapi utamakanlah agamanya
karena kecantikan akan pudar, kekayaan akan habis, dan keturunan hanya membawa
popularitas semata, sedangkan agama akan mempengaruhi seluruh kepribadiannya.
Kekuatan agama yang ada pada diri seseorang akan
mempengaruhi seluruh kepribadiannnya. Kekuatan agama yang ada pada diri
seseorang akan dapat mengantarkannya pada ketentraman hidup. Jiwa keagamaan
memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara
turun-temurun, melainkan terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan lainnya yang
mencakup kognitif, afeksi dan konatif. Tetapi dalam penelitian terhadap janin
bahwa makanan dan perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi janin yang
dikandungnya.
6.
Tingkat penalaran, makin tinggi tingkat penalaran
seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget, makin tinggi pula tingkat
moral seseorang. Tingkat penalaran, dimana perkembangan moral yang sifatnya
penalaran menurut Kohlberg, dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana
dikemukakan oleh Piaget.Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut
tahap-tahap perkembangan piaget, makin tinggi pula tingkat moral seeorang.
7.
Teknologi.
Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga memiliki pengaruh kuat terhadap
terwujudnya suatu moral dan spritual. Di era sekarang, peserta didik sebagai
generasi millennial menggunakan
teknologi untuk belajar maupun hiburan. Contoh internet memiliki fasilitas yang
menawarkan berbagai informasi yang dapat diakses secara langsung. Nilai
positifnya, ketika peserta didik mencari bahan pelajaran yang mereka butuhkan
mereka dapat mengaksesnya dari internet. Namun internet juga memiliki nilai
negatif seperti tersedianya situs porno yang dapat merusak moral. Apalagi
peserta didik yang berada pada masa remaja, mereka memiliki rasa keingintahuan
yang besar dan sangat rentan terhadap informasi seperti itu.
D.
Implikasi perkembangan moral dan spiritual peserta didik
dalam pembelajaran.
Untuk mengembangkan moral, pendidikan sekolah formal yang
dituntut untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan moral mereka,
sehingga mereka dapat menjadi manusia yang moralis. Sejatinya, pendidikan tidak
boleh menghasilkan manusia bermental benalu dalam masyarakat, yakni lulusan
pendidikan formal yang hanya menggantungkan hidup pada pekerjaan formal semata.
Pendidikan selayaknya menanamkan kemandirian, kerja keras dan kreatifitas yang
dapat membekali manusianya agar bisa survive dan berguna dalam masyarakat.
Al-Gazali (Arief, 2002) menasehati para pendidik agar memiliki sifat
berikut:
1.
Mempunyai rasa kasih sayang pada anak didik
2.
Tidak mengharapkan balas jasa ataupun ucapan terima
kasih, tetapi hendaklah mengajar dengan maksud mencari keridhaan Allah swt, dan
mendekatkan diri padaNya
3.
Mencegah anak didik dari akhlak yang tidak baik
4.
Supaya memperhatikan tingkat akal pikiran anak didik dan
berbicara sesuai dengan tingkat akal pikirannya
5.
Jangan memperlihatkan adanya kontradiksi antara perkataan
dan perbuatan
6.
Berikan nasehat pada anak didik setiap kesempatan
7.
Jangan menimbulkan rasa benci pada anak didik mengenai
suatu cabang ilmu.
Cara pembelajaran yang diharapkan harus sesuai dengan
tahapan perkembangan anak, yakni memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.
Program pembelajaran harus disusun secara fleksibel dan
tidak kaku serta memperhatikan perbedaan
individual peserta didik
b.
Tidak dilakukan secara monoton, tetapi disajikan secara
variatif melalui banyak aktivitas yang bisa menstimulasi perkembangan moral
anak
c.
Melibatkan penggunaan berbagai media dan sumber belajar
sehingga memungkinkan anak terlibat secara penuh dengan menggunakan berbagai
proses perkembangannya, misalnya menggunakan multi media. Apalagi di era 4.0,
peserta didik sudah sangat populer menggunakan media virtual.
d.
Memberikan pendidikan moral melalui kurikulum
tersembunyi, yakni menjadikan sekolah sebagai atmosfer moral secara
keseluruhan. Jadi tidak secara langsung diberikan di mata pelajaran tapi
tersembunyi dalam aktivitas sehari-hari peserta didik di sekolah. Misalnya hari
Jumat bersih dilaksanakan untuk melatih membuang sampah pada tempatnya.
e.
Memberikan pendidikan moral langsung, yakni pendidikan
moral dengan pendekatan pada nilai dan juga sifat selama jangka waktu tertentu,
atau menyatukan nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut kedalam kurikulum.
f.
Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan
klarifikasi nilai, yaitu pendekatan moral tidak langsung yang berfokus pada
upaya membantu siswa memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa
yang berharga untuk dicari.
g.
Peserta didik diajarkan bersikat dan berakhlak sesuai
dengan Islam dengan cara menyimak perilaku Muhammad SAW yang dijamin oleh Allah
SWT memiliki akhlak mulia (QS.68: 4). Bahkan menjadikannya sebagai uswah yang
wajib contoh setiap muslim (QS. 33: 21).
h.
Penyampaian materi moral, sebaiknya disajikan dengan
mengaitkan kasus-kasus yang dialami langsung peserta didik. Sehingga sedikit
demi sedikit peserta didik dapat menilai perbuatan mereka sendiri sesuai dengan
takaran akhlak yang berlaku dalam ajaran Islam
i.
Menyajikan materi moral dengan memaparkan segala bentuk
perilaku manusia yang terkena pilihan baik dan buruk. Selanjutnya peserta didik
diarahkan kepada pilihan perilaku baik yang dimulai dengan uswatun khasanah
dari pendidiknya. Artinya guru adalah gambaran dari kebaikan akhlak yang
dibicarakan di depan peserta didik.
Anak-anak sebenarnaya telah memiliki dasar-dasar
kemampuan spiritual yang dibawahnya sejak lahir. Untuk mengembangkan kemampuan
ini, pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, untuk
melahirkan manusia yang ber-SQ tinggi dibutuhkan pendidikan yang tidak hanya
berorientasi pada perkembangan aspek IQ saja, melainkan SQ dan EQ juga. Zohar
dan Marshall pertama kali meneliti secara ilmiah tentang kecerdasan spiritual
yaitu kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai,
yang menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas
dan kaya.
Purwanto mengemukakan bahwa pendidikan yang dilakukan
terhadap manusia berbeda dengan pendidikan yang dilakukan terhadap binatang.
Menurutnya pendidikan manusia tidak terletak pada perkembangan bioligis saja,
yaitu berhubungan dengan perkembanga jasmani. Akan tetapi, pendidikan manusia
harus diperhitungkan pula perkembangan rohaninya. Itulah kelebihan manusia yang
diberikan oleh Allah SWT sebagai tuhan semesta alam, yaitu fitrah untuk mengenai
penciptaannya, yang membedakan antara manusia dan binatang. Fitrah ini
berkaitan dengan aspek spiritual.
Perkembangan spiritual membawa banyak implikasi terhadap
pendidikan dan diharapkan muncul manusia yang benar-benar utuh dari lembaga
pendidikan. Untuk itu pendidikan agama nampaknya harus tetap dipertahankan
sebagai bagian penting dari program-program pendidikan yang diberikan di
sekolah dasar. Tanpa melalui pendidikan agama mustahil SQ dapat berkembang baik di peserta didik. Adapun
implikasinya berupa:
1)
Menjadikan pendidikan wahana kondusif bagi peserta didik
untuk menghayati agamanya, tidak hanya
sekedar bersifat teoritis, tetapi pengahayatan yang benarbenar dikonstruksi dari
pengalaman keberagamaan.
2)
Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan
melalui pendekatan spiritual parenting seperti: (a) Memupuk hubungan sadar anak
dengan Tuhan melalui doa setiap hari (b) Menanyakan kepada anak sebagaimana
Tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari (c) Memberikan kesadaran kepada
anak bahwa tuhan akan membimbing kita apabila kita meminta. d. Menyuruh anak
merenungkan bahwa Tuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara menjelaskan bahwa
mereka tidak dapat melihat diri mereka tumbuh atau mendengar darah mengalir.
3)
Materi yang disampaikan guru dalam kelas adalah materi
yang secara langsung dapat menyentuh permasalahan keagamaan yang dialami
peserta didik. Hal itu diharapkan agar mereka mampu menjadikan agama sebagai
satu-satunya sarana untuk mencari jawaban tentang permasalahan hidup yang
mereka alami.
4)
Menanamkan nilai-nilai Islam yang terkait dengan masalah
ibadah dilakukan dengan memaparkan hikmah yang terkandung dari sebuah
pelaksanaan ibadah. Menurut Arief (2007) bahwa hikmah yang dimasud disini bukan
hanya yang terkait dengan imbalan pahala dan dosa, namun hikmah yang terkait
dengan apa yang diperoleh secara nyata dari orang yang melakukan ibadah.
Seperti kesehatan yang akan diperoleh mereka setelah secara rutin melaksanakan
sholat sesuai dengan tuntunan sebenarnya.
Contoh lainnya sikap saling menghargai sesama manusia
ketika mereka melaksanakan ibadah puasa yang dilanjutnya dibuktikan dengan
sikap kepedulian sosial, manakala secara ikhlas mengeluarkan zakat. Nilai
persatuan dan kesatuan yang menjadi cita-cita manusia tergambar dengan nyata, ketika
umat Islam secara serempak melaksanakan ibadah haji. Kesemua itu harus
senantiasa dikaitkan dengan kondisi yang mereka hadapi.
Dalam rangka menanamkan nilai-nilai ke Islaman kepada
peserta didik di lembaga pendidikan formal, maka program pendidikan agama
memiliki peranan puncak, bahkan boleh dikatakan sebagai penentu dari perubahan,
khususnya perubahan sikap. Nilai nilai Islam yang ingin ditanamkan kepada
peserta didik, menurut Arief (2007) tidak hanya dibatasi kepada nilai ibadah
dan moral saja.
Namun perlu diingat bahwa Islam memiliki ajaran terpenting, walaupun
keberadaannya harus diimbangi dengan dua hal di atas. Ajaran yang dimaksud
adalah “tradisi intelektual” dengan landasan semangat pembuktian akan kebenaran
Allah, hal ini terbukti dengan pernyataan Allah swt yang begitu memberikan
penghargaan terhadap mereka yang berilmu pengetahuan (QS. 58: 11). Bahkan Allah
secara tegas menyatakan bahwa hanya orang-orang yang berilmu sajalah yang
memiliki tingkat pengabdian kepadaNya yang paling tinggi (QS. 35: 28) tulis
ayatnya.
SUMBER: PPG.SIAGAPENDIS.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar