KB
1 : ILMU DALAM ISLAM
A. HAKIKAT
ILMU DALAM ISLAM
1. Pengertian
ilmu
Istilah
ilmu pengetahuan diambil dari bahasa Arab ‘alima, ya’malu,‘ilman yang berarti
mengerti atau memahami benar-benar. Dalam Bahasa Inggris istilah ilmu berasal
dari kata science, yang berasal dari Bahasa Latin scienta dari bentuk kata
kerja scire, yang berarti mempelajari dan mengetahui. Kata ilmu ini pada
akhirnya mengelalami penyempitan makna, karena tidak semua yang dipelajari dan
diketahui disebut ilmu. Secara istilah ilmu adalah rangkaian aktivitas rasional
yang dilaksanakan dengan prosedur ilmiah dan metodologi tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kata
'ilm (ilmu pengetahuan) menurut al-Ghazali adalah bentuk kata yang ambiguis
(musytarak: mempunyai banyak arti) yang meliputi penglihatan dan perasaan. ilmu
pengetahuan adalah mengetahui (al-ma'rifah). Maka ilmu pengetahuan adalah
ilustrasi akal (tashwîr) yang valid tentang hakekat sesuatu,yang terlepas dari
unsur aksiden dengan segala demensi, kualitas, kuantitas, substansi dan
zatnya.
2. Perbedaan
Ilmu dan Pengetahuan
Ilmu
dibedakan dengan pengetahuan. Pengetahuan lebih bersifat umum. Ia merupakan
hasil tahu manusia terhadap sesuatu yang belum teruji secara ilmiah. Jadi, ilmu
merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping
berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama. Sebab secara ontologis
ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman
manusia, sedangkan agama menjelajah daerah yang bersifat transendental yang
berada di luar pengalaman manusia.
3. Hakikat
Ilmu Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan dalam Islam bukan merupakan sesuatu di luar af’al Allah, sehingga
tidak ada pengetahuan yang tidak diurai dari sumber yang satu itu. Seluruh
jenis pengetahuan makhluk adalah setitik air dari samudera pengetahuan Allah.
Ketika
al-Ghazali menjelaskan tentang tiga demensi pengenalan (ma'rifah) manusia
kepada Allah dari sudut perbuatanNya (al-af'al), sifat (al-sifat) dan
dzatNya (al-dzat), ia mengatakan bahwa
seluruh pengetahuan manusia (dalam bentuk science) itu diambil dari samudera al-af'al.
B. SUMBER
ILMU DALAM ISLAM
1. Perdebatan
Sumber Ilmu
Dalam
epistemologi modern sumber pengetahuan dibedakan atas empat hal yaitu: empiris, rasionalitas, Intuisi dan Otoritas.
Sebagai agama yang rasional Islam tentu mengakui adanya keempat sumber pengetahuan
yang diakui oleh epistemologi modern. Maka dalam Islam pengetahuan empiris,
rasional, intuitif dan otoritatif diabsahkan sebagai sumber pengetahuan.
Sumber-sumber pengetahuan tersebut itu dipandang sebagai sesuatu yang
berkaitan. Tidak seperti empirisme yang menafikan pengetahuan rasional, atau
rasionalisme yang menafikan pengetahuan empiris.
2. Ragam
Sumber Pengetahuan
a. Pengetahuan
Empiris
Islam
mengakui adanya empiris sebagai sumber penegtahuan tetapi ia bukan satu-satunya
dan dalam batas-batas tertentu. Al-Ghazali misalnya, selalu membagi alam dalam
dua kategori besar yaitu alam al-mulki wa al-syahâdah (semesta) dan alam al-malakût wal-Jabarût (metafisika). Adapun
yang menjadi obyek bagi pengetahuan empiris adalah alam semesta.
b. Pengetahuan
Rasional
Descartes,
bapak rasionalisme continental, berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak
dapat diragukan yang darinya memakai metode dedukatif dapat disimpulkan semua
pengetahuan kita. Ia yakin bahwa semua kebeneran itu ada dan bahwa
kebenaran-kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi
sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan.
Jika
akal praktis berfungsi untuk menyempurnakan penampilan lahir manusia maka akal
teoritis lebihberfungsi untuk menyempurnakan substansinya yang bersifat
immaterial dan ghaib.Akal kedua ini berhubungan dengan pengetahuan yang abstrak
dan universal.Ia mempunyai empat tingkatan evolutif yaitu: 1) Al-'Aql
al-Hayulaniy (Akal Material), 2) Al-'Aql bi al-Malakah (Akal Habitual), 3) Al-'Aql
bi al-Fi'il (Akal Aktual), 4) Al-Aql al-Mustafâd (Akal perolehan).
c. Pengetahuan
Intuitif (Ladunni)
Apa
yang dimaksud dengan intuisi dalam Islam sangat berbeda dengan wacana Barat,
baik di bidang psikologi maupun filsafat. Intuisi di Barat merupakan bentuk
perkembangan lebih lanjut dari intelektual dan masih dalam kawasan rasional.
Intuisi difahami oleh ilmuan dan filosof Barat sebagai bentuk pemunculan
ide-ide terpendam di bawah sadar.
Di
dalam wacana Islam intuisi merupakan bentuk pencapaian ilmu hudluriy yang
didapatkan seseorang dengan cara pasif baik itu secara langsung dari Allah atau
melalui perantara. Perantara di sini dapat berupa malaikat (Akal Aktif), bisa
juga melalui Lauh Mahfuzh (Jiwa Universal) ataupun al-Qalam atau Nur Muhammad
(Akal Universal). Adapun pengaktifan jiwa manusia yang di sulut oleh syetan
tidak termasuk dalam definisi intuisi yang dikehendaki di dalam bahasan ini.
C. STRUKTUR ILMU DALAM ISLAM
1.
Struktur Ilmu dalam pandangan para Filosof
Muslim
Para
filosof muslim membedakan ilmu, kepada ilmu yang berguna dan yang tak berguna.
Kategori ilmu yang berguna mereka memasukkan ilmu-ilmu duniawi, seperti
kedokteran, fisika, kimia, geografi, logika, etika, bersama disiplin-disiplin
yang khusus mengenai ilmu keagamaan. Ilmu sihir, alkemi dan numerologi (ilmu
nujum dengan menggunakan bilangan) dimasukkan ke dalam golongan cabang-cabang
ilmu yang tidak berguna.
2.
Struktur Ilmu Menurut al-Ghazali
Adapun
pemikiran al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan berdasarkan pada bentuk kewajiban
yang dibebankan kepada muslim dalam dua kategori, yakni: fardlu
'ain yang dibebankan kepada masing-masing individu untuk mempelajarinya dan
kategori fardlu kifayah yang
dibebankan kepada komunitas muslim. Jika telah ada yang menegakkan meski hanya
seorang saja, maka gugurlah kewajiban penduduk daerah tersebut. Ilmu fardlu
kifayah ini terbagi atas dua bagian yaitu:
a. Ilmu
Syari'ah
Ilmu Syari'ah ini terbagi
atas empat bentuk yaitu: pokok (ushul), cabang (furu’), pendahuluan
(muqaddimah), dan penutup (mutammimah).
b. Ilmu
Umum (Non Syari'ah)
Adapun yang termasuk
dalam kategori ilmu non syari'ah adalah seluruh ilmu umum (science).
Berdasarkan sifatnya ilmu ini terbagi atas tiga bentuk yaitu:
1)
Ilmu umum yang terpuji (mahmûd) seperti
ilmu kedokteran, matematika, perindustrian dan politik.
2)
Ilmu umum yang tercela (madzmûmah) seperti
ilmu sihir, mantera-mantera, tenung dan sulap.
3)
Ilmu umum yang netral (mubah) seperti
syair (puisi) yang tidak jorok, sejarah dan sebagainya.
KB
2 : HAKIKAT MANUSIA DAN DAYA DAYA RUHANI
A. HAKIKAT
MANUSIA
1. Ruh
sebagai Hakikat Manusia
Manusia
terdiri atas dua bagian yaitu badan dan jiwa. Keduanya merupakan hal yang sama
sekali berbeda. Badan adalah materi gelap yang kasar, tersusun, bersifat tanah,
tidak berfungsi keadaannya kecuali dengan ruh. Manusia disatu sisi, jasmani,
berasal dari alam khalq dan dari sisi lain, Ruhanainya dari alam amr. Adapun
hakikat manusia adalah ruhani. Dalam rangkaian eksistensialnya meskipun
kelihatannya jasmanilah yang lebih awal, sesungguhnya ia adalah akhir.
Sedangkan ruhani itu memang kelihatannya terakhir (masa nafkh al-rûh pen.),
tetapi ia adalah yang awal.
Penjelasan
al-Ghazali, yang membagi ruh dalam dua makna yakni makna hakiki dan lahiriyah,
kelihatannya mewakili keragaman penjelasan yang diberikan oleh para ulama ini.
Sesungguhnya menurut al-Ghazali, ruh yang merupakan hakikat manusia adalah
substansi tunggal yang tepisah dari materi. Ia adalah sinar murni (adwa
mujarradah) yang rasional dan bukan teresterial. Sebutan ruh atau al-qalb dalam bahasa kita merupakan keadaan
substansi itu.
Masih
menurut al-Ghazali, ruh itu tidak akan rusak, tidak akan hancur dan tidak mati
kecuali sekedar berpisah dengan badan dan yang menunggu kembali kepada Allah
pada hari Kiamat sebagaimana dijelaskan oleh syariat. Jadi al-rûh al-nâtiq itu
tidak berjisim, bukan aksiden (‘arad), tetapi ia adalah substansi (jauhar) yang
tetap (tsâbit), kekal (dâ`im), tidak rusak, tidak campur, tidak hancur, tidak
mati. Karena itu Allah menyandarkan ruh ini sesekali pada amr-Nya (Qs. al-Isra`: 85) dan sesekali pada keagungannya
(Qs. al-Hajr/15: 29 alTahrîm/66:
12). Bunyi Qs. al-Hajr/15: 29.
2. Ragam
Jiwa Manusia
Ruh
adalah bersifat substantif, tunggal (al-jauhary al-mufrad) yang menerangi, yang
menyerap, pelaku, penggerak, penyempurna segenap perangkat dan jasmani. Ruh yang oleh para filosof muslim disebut
jiwa rasional, inilah yang merupakan jiwa hikiki, namun demikian ternyata dalam
diri manusia masih terdapat jiwa-jiwa yang lain yang berkaitan dan menjadi alat
bagi jiwa hakiki ini. Ragam jiwa itu selanjutnya oleh para filosof Muslim
seperti al-Ghazali (450-505/ 1058-1111), mengikuti al-Farabi (w. 339/ 870-950)
dan Ibn Sina (370429/ 980-1037), dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Jiwa
vegetatif (al-nafs al-tabî’iy) Jiwa vegetatif merupakan penyempurna pertama
badan yang merupakan potensi dan memiliki perangkat untuk makanan/ nutrisi, tumbuhan, dan
reproduksi.
b. Jiwa
sensitif (al-nafs al-hayawâniyah) Jiwa Hayawaniyah penyempurna pertama bagi
jasmani yang merupakan potensi dan memiliki perangkat untuk yang menyerap
segala obyek parsial (juz`iyat) dan menggerakkan badan dengan kehendak
(irâdah).
c. Jiwa
rasional (al-nafs al-nâtiqah) Jiwa rasional adalah jiwa hakiki manusia. Ia
adalah substansi (jauhar) tunggal, sempurna, dan hidup dengan sendirinya.
B. DAYA-DAYA
RUHANI
1.
Ragam Daya Ruhani
Dari
penjelasan para sufi, diketahui bahwa potensi dan daya ruhani sangat variatif.
Menjadi sangat naïf jika selama ini yang diberdayakan, diadabkan dalam
kehidupan nyata hanya sampai pada pemberdayaan aspek rasional bahkan fisik
saja. Menjadi manusia berkualitas adalah bagaimana mengoptimalisasikan lima
daya ruhani tersebut secara gradual dan simultan. Hanya orang-orang sufi
hakikilah yang sanggup mengortimalkan seluruh daya ini.
Analisis
tentang daya-daya ruhani oleh para syekh tarikat tampaknya lebih utuh lagi.
Syekh Ahmad Khatib Sambas, misalnya, menjelaskan bahwa manusia itu terdiri atas
sepuluh unsur halus (latâ`if) di mana lima latâ`if termasuk alam khalqi dan
lima berikutnya termasuk alam amr. Yang termasuk alam amr adalah al-qalb,
al-rûh, al-sirr, al-khafiy dan al-akhfâ.
2.
Daya Ruhani Utama
Lebih detail
mengenai daya-daya ruhani dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Al-Nafs
Al-nafs
dengan dua makna sebagai berikut: pertama, al-nafs adalah makna menyeluruh bagi
daya marah/ agresifitas (al-ghadab) dan daya keinginan (syahwat) dalam diri
manusia. Adapun makna kedua, al-nafs adalah sesuatu yang halus
b. Al-Syahwat
Nafsu
syahwat adalah segala keinginan yang berkaitan dengan seksualitas, makanan,
materi, kedudukan/ jabatan dan prestise.
c. Al-Ghadab
Nafsu
ghadab (daya marah) adalah daya agresivitas yang berfungsi sebagai penjamin
keamanan, sehingga setiap individu dapat tetap survive.
d. Al-Aql
Dua
makna dasar dijelaskan al-Ghazali ketika menjelaskan al- ’aql dalam Ihyâ`,
yaitu pertama, al-‘aql adalah ilmu tentang hakikat persoalan-persoalan. Maka
akal dalam konteks ini adalah gambaran dari sifat ilmu yang tempatnya di dalam
hati. Adapun makna kedua, alaql adalah yang menyerap ilmu pengetahuan. Dia ini
adalah al-qalb yakni sesuatu yang halus. Penjelasan lebih lanjut tentang
evolusi akal teoritis tersebut adalah sebagai berikut:
1) Akal
Material (Al-'Aql al-Hayulaniy); Perkembangan akal pada fase awal ini masih
berupa potensi.
2) Akal
Habitual (Al-'Aql bi al-Malakah); Dalam al-Qistâs al-Mustaqîm akal ini disebut
dengan gharîzah al-'aql (insting akal).
3) Akal
Aktual (Al-'Aql bi al-Fi'il); Perkembangan akal pada fase ketiga ini telah
mampu menggunakan pengetahuan pertama Akal Habitual sebagai premis mayor dalam
dialektika untuk memperoleh pengetahuan rasional kedua (al-ma'qûlah
al-tsâniyah).
4) Akal
Perolehan (Al-Aql al-Mustafâd); Pada perkembangan fase terakhir ini menurut
parea filosof Muslim seperti alFarabi, Ibn Sina, al-Ghazali dan lain-lain,
merupakan bentuk pengaktifan akal hingga mampu mencapai level ladunni
5) Al-Qalb;
Sebagaimana al-nafs, al-‘aql dan al-rûh, kata al-qalb oleh al-Ghazali dibedakan
atas dua makna yakni: pertama, Daging berbentuk buah sanaubar yang terletak di
dada sebelah kiri yaitu daging khusus yang di dalamnya ada lubang, dan di dalam
lubang itu ada darah hitam yang merupakan sumber ruh (dalam arti jiwa sensitif)
dan tambangnya (pembuluh darah). Adapun makna kedua, Al-qalb adalah sesuatu
yang halus, bersifat ketuhanan (rabbâniyah), bersifat ruhani dan berkaitan
dengan hati jasmani.
@MENZOUR_ID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar