Hukum Genetik tentang Perkembangan
Perkembangan menurut Vygotsky
tidak bisa hanya dilihat dari fakta-fakta atau keterampilan-keterampilan,
namun lebih dari itu, perkembangan seseorang melewati dua tataran. Tataran
sosial (interpsikologis dan intermental) dan tataran psikologis
(intrapsikologis). Di mana tataran sosial dilihat dari tempat terbentuknya
lingkungan sosial seseorang dan tataran psikologis yaitu dari dalam diri orang
yang bersangkutan.
Teori kokonstruktivistik menenpatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan
pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Fungsi-fungsi mental yang
tinggi dari seseorang diyakini muncul dari kehidupan sosialnya. Sementara itu, intramental dalam hal ini dipandang sebagai derivasi atau turunan yang terbentuk melalui
penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut, hal ini
terjadi karena anak baru akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila telah
terjadi proses internalisasi.
Oleh sebab itu belajar dan berkembang satu kesatuan yang
menentukan dalam perkembangan kognitif seseorang. Seperti yang dikutip oleh Yuliani (2005: 44) Vygotsky
meyakini bahwa kematangan merupakan prasyarat untuk kesempurnaan berfikir. Secara
spesifik, namun demikian ia tidak yakin bahwa kematangan yang terjadi secara
keseluruhan akan menentukan kematangan selanjutnya.
1. Zona Perkembangan Proksimal
Zona Perkembangan Proksimal/Zona Proximal Development
(ZPD) merupakan konsep utama yang paling mendasar dari teori belajar
konstruktivistik Vygotsky. Dalam Luis C. Moll (1993: 156-157), Vygotsky berpendapat bahwa setiap anak dalam suatu
domain mempunyai ‘level perkembangan aktual’ yang dapat dinilai dengan menguji
secara individual dan potensi terdekat bagi
perkembangan domain dalam tersebut. Vygotsky
mengistilahkan perbedaan ini berada di antara dua level Zona Perkembangan
Proksimal, Vygotsky mendefinisikan Zona Perkembangan Proksimal sebagai jarak
antara level perkembangan aktual seperti yang ditentukan untuk memecahkan
masalah secara individu dan level perkembangan potensial seperti yang
ditentukan lewat pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau dalam
kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu.
Secara jelas Vygotsky memberikan pandangan yang matang
tentang konsep tersebut seperti yang dikutip oleh Luis C. Moll (1993:
157): Zona Perkembangan Proksimal
mendefinisikan fungsi-fungsi tersebut yang belum pernah matang, tetapi dalam
proses pematangan. Fungsifungsi tersebut akan matang dalam situasi embrionil
pada waktu itu. Fungsi-fungsi tersebut dapat diistilahkan sebagai “kuncup” atau
“bunga” perkembangan yang dibandingkan dengan “buah” perkembangan.
Yuliani (2005: 45) mengartikan “Zona Perkembangan
Proksimal sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan yang belum matang yang masih
berada pada proses pematangan”. Karena
fungsi-fungsi yang belum matang ini maka anak membutuhkan orang lain untuk
membantu proses pematangannya. Sedangkan I Gusti Putu Suharta dalam makalahnya
berpendapat bahwa :
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan
jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai
kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial
yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Zona Perkembangan
Proksimal terdekat adalah ide
bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu
berada pada zona perkembangan terdekat mereka (Guruvalah).
Sedangkan Marysia (2003) dalam makalahnya menyatakan bahwa “ZPD merupakan suatu
wilayah aktifitas-aktifitas di mana individu dapat mengemudikan dengan
kawan-kawan sebaya, orang-orang dewasa, ataupun orang yang lebih ahli yang
memiliki kemampuan lebih”. Pandangan Vygotsky tentang interaksi antara kawan
sebaya dan pencontohan adalah cara-cara penting untuk memfasilitasi
perkembangan kognitif individu dan kemahiran pengetahuan.
Dalam makalah
lain, Julia
berpendapat bahwa “ZPD merupakan level perkembangan yang dicapai
ketika anak-anak ikut serta dalam tingkah laku sosial”. Hal ini dapat diartikan
bahwa perkembangan penuh ZPD tergantung pada interaksi sosial yang penuh, di
mana keahlian dapat diperoleh dengan bimbingan oraang dewasa atau
kolaborasi antar kawan sebaya
ataupun orang yang lebih faham melampaui apa yang difahaminya. Dalam Yuliani (2005: 45) Vygotsky
mengemukakan ada empat tahapan PD yang terjadi dalam perkembangan dan
pembelajaran, yaitu :
Tahap 1 : Tindakan anak masih dipengaruhi atau
dibantu orang lain. Seorang anak yang masih dibantu memakai baju, sepatu dan
kaos kakinya ketika akan berangkat ke sekolah ketergantungan anak pada orang
tua dan pengasuhnya begitu besar, tetapi ia suka memperhatikan cara kerja yang
ditunjukkan orang dewasa
Tahap 2 : Tindakan anak yang didasarkan atas
inisiatif sendiri. Anak mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu
dan kaos kakinya sendiri tetapi masih sering keliru memakai sepatu antara kiri
dan kanan. Memakai bajupun masih membutuhkan waktu yang lama karena keliru
memasangkan kancing.
Tahap 3 : Tindakan anak berkembang spontan dan
terinternalisasi. Anak mulai melakukan sesuatu tanpa adanya perintah dari orang
dewasa. Setiap pagi sebelum berangkat ia sudah mulai faham tentang apa saja
yang harus dilakukannya, misalnya memakai baju kemudian kaos kaki dan sepatu.
Tahap 4 : Tindakan anak spontan akan terus
diulang-ulang hingga anak siap untuk berfikir abstrak. Terwujudnya perilaku
yang otomatisasi, anak akan segera dapat melakukan sesuatu tanpa contoh tetapi
didasarkan pada pengetahuannya dalam mengingat urutan suatu kegiatan. Bahkan ia
dapat menceritakan kembali apa yang dilakukannya saat ia hendak berangkat ke
sekolah.
Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa. Seseorang
akan dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan dengan
bantuan yang diberikan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya yang lebih
berkompeten terhadap hal tersebut.
2.
Mediasi
Mediasi merupakan tanda-tanda atau
lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar
pemahamannya. Ada dua jenis mediasi yang dapat mempengaruhi pembelajaran
yaitu, (1) tema mediasi semiotik di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang
digunakan seseorang untuk memahami sesuatu diluar pemahamannya ini didapat dari
hal yang belum ada di sekitar kita, kemudian dibuat oleh orang yang lebih faham
untuk membantu mengkontruksi pemikiran kita dan akhirnya kita menjadi faham
terhadap hal yang dimaksudkan; scoffalding di mana
tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami
sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang memang sudah ada di
suatu lingkungan, kemudian orang yang lebih faham tentang tanda-tanda atau
lambang-lambang tersebut akan membantu menjelaskan kepada orang yang belum
faham sehingga menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan.
Kunci utama untuk memahami proses sosial psikologis
adalah tanda-tanda atau lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator.
Tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut sebenarnya merupakan produk dari
lingkungan sosiokultural di mana seseorang berada. Untuk memahami alat-alat
mediasi ini, anak-anak dibantu oleh guru, orang dewasa maupun teman sebaya yang
lebih faham. Wertsch dalam Yuliana (2005: 45-46)
berpendapat bahwa: Mekanisme hubungan antara pendekatan
sosiokultural dan fungsifungsi mental didasari oleh tema mediasi semiotik.
Artinya tanda atau lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi
sebagai penghubung antara rasionalitas-sosiokultural (intermental) dengan
individu sebagai tempat berlangsungnyaa proses mental.
Berdasarkan teori Vygotsky,
Yuliani (2005: 46) menyimpulkan beberapa hal yang perlu untuk
diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu:
a.
Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh
kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau
potensinya melalui belajar dan berkembang.
b.
Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan
potensialnya dari pada perkembangan aktualnya.
c.
Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi
untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramentalnya.
d.
Anak diberikan kesempatan yang luas untuk
mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan
pengetahuan prosedural untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah
e.
Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat
transferal tetapi lebih merupakan ko-konstruksi Dalam teori belajar
kokonstruktivistik ini, pengetahuan yang dimiliki seseorang berasal dari
sumber-sumber sosial yang terdapat di luar dirinya. Untuk mengkonstruksi
pengetahuan, diperlukan peranan aktif dari orang tersebut. Pengetahuan dan
kemampuan tidak datang dengan sendirinya, namun harus diusahakan dan
dipengaruhi oleh orang lain.
Prinsip-prinsip utama teori belajar
kokonstruktivistik yang banyak digunakan dalam pendidikan menurut Guruvalah :
1)
Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif
2)
Tekanan proses belajar mengajar terletak pada Siswa
3)
Mengajar adalah membantu siswa belajar
4)
Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan
pada hasil belajar
5)
Kurikulum menekankan pada partisipasi siswa
6)
Guru adalah fasilitator Dapat disimpulkan bahwa dalam
teori belajar kokonstruktivistik, proses belajar tidak dapat dipisahkan dari
aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring
secara dialogis.
Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari
pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu
konteks sosial. Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang
dapat dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky
percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan
dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas
di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta
dari komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan.
Melalui aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar