ZAKAT PRODUKTIF
Kemunculan
istiah di atas dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk “kritik” terhadap
penyaluran zakat kepada mustahiq yang
pada umumnya bersifat konsumtif. Zakat yang diterima oleh mustahiq yang
tersebut terakhir ini biasanya bersifat konvensional yaitu sekedar untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang sifatnya “menghabiskan”.
Namun
di sisi lain terdapat mustahiq yang keberadaannya masih produktif baik dari
tenaga, ilmu dan ketrampilan. Maka untuk kriteria mustahiq yang tersebut terakhir
ini zakat dapat diarahkan menjadi modal usaha untuk
pengembangan kemampuan yang dimilikinya. Permasalahannya yang kemuidan muncul
bagaimana hukum penyaluran zakat untuk modal usaha, berikut bahasannya.
1. Gagasan Zakat Produktif
Zakat
merupakan ibadah maal (materi) yang memiliki fungsi strategis untuk membangun
perekonomian ummat Islam. Kedukukannya sebagai salah satu rukun Islam
menharuskan ummat Islam untuk mengimani dan melaksanakannya, sesekali orang
yang menganggap zakat bukan rukun Islam, maka ia dapat dianggap kafir dan orang
yang tidak berzakat padahal telah diwajibkan maka ia telah melakukan perbuatan
dosa karena telah menolak perintah Allah dan
telah mengabaikan hak para
mustahiq.
Oleh
karena itu, penunaian zakat bukan sekedar untuk menggugurkan kewajiban tapi
berdampak positif kepada kehidupan sosial karena keberadaannya dapat
mensejahterkan kehidupan bagi orang yang tidak mampu.
Bentuk
dan macam zakat dalam Islam dengan melihat mustahiqnya dapat dibagi menjadi
empat.
Pertama: Konsumtif tradisional, seperti zakat fitrah.
Kedua, konsumtif
kreatif, contohnya bea siswa. Ketiga Produktif tradisional, seperti pemberian
ternak dan alat pertukangan. Dan keempat produktif kreatif , yaitu zakat untuk
modal usaha.
Bentuk
mustahiq zakat pada point 2 sampai point empat keberadaan zakat bagi penrimanya
berpotensi untuk membangun dan
meningkatkan perekonomian. Keberadaannya dapat mengentaskan kemiskinan
dan kemelaratan.. Ide untuk
mengembangkan zakat sebagai modal usaha muncul ketika okus perhatian dilakukan
secara seksama bahwa para fuqara dan masakin tidak semuanya orang-orang yang memiliki keterbatasan kekuatan fisik
namun di antara mereka terdapat banyak yang memiliki kesehatan fisik dan
keahlian yang dapat dikembangkan, tapi mereka tidak memiliki modal, sehingga
keluar ide untuk memberikan zakat kepada mereka untuk bisa dijadikan sebagai
modal usaha yang dapat meningkatkan status ekonominya dan sekaligus
mengembangkan keahlian yang mereka miliki. Maka pihak yang paling berperan
dalam zakat produktif ini adalah kreatifitas mustahiq untuk menjadikan zakat
sebagai modal yang terus dikembangkan.
2. Prospek Zakat Produktif
Prospek
ke depan, zakat yang diperoleh dari hasil usaha ini memiliki peluang yang cerah
jika pengelolaannya dilakukan secara baik dan profesional. Pengelolaan itu
dapat dilakukan melalui pengembangan sumber daya mustahiq yang potensial yang
jumlahnya cukup banyak.
Lain
halnya ketika menghadapi mustahiq zakat yang konsumtif, yaitu yang tidak memiliki kemampuan dan keahlian untuk
mengembangkan zakat seperti orang jompo, anak yatim yang masih kecil, orang
dewasa yang cacat atau sakit berat maka zakat untuk mereka ini hanya untuk
membantu kelangsungan hidup mereka karena mereka lebih banyak bersifat pasif.
Bagi
mustahiq zakat yang produktif atau disebut mustahiq aktif, mereka masih berumur
produktif dan memiliki badan yang sehat
maka selayaknya bagi mereka zakat dapat disalurkan secara produktif yaitu
dengan menjadikan zakat sebagai modal usaha.
Oleh karena itu diperlukan sikap
pro-aktif dari mustahiq untuk mencurahkan kemampuannya dalam pengembangan modal dari zakat itu.
Menurut
hemat penulis, usaha pengembangan zakat menjadi modal usaha memerlukan sumber
daya manusia (SDM) yang cukup handal, oleh karena itu diperlukan peningkatan
diperlukan upaya untuk meningkatkan SDM (sumber daya manusia) mustahiq dengan
mengadakan pelatihan atau training yang dapat dilakukan oleh badan, seperti
bazis atau pemerintah, sehingga mereka benar-benar memiliki keahlian yang mapan
untuk dapat mengembangkan modal usaha yang didapat dari zakat tersebut.
Selain
itu di masyarakat terdapat banyak keahlian yang dimiliki oleh mereka yang
tergolong mustahiq yang tampaknya diperoleh tanpa melalui latihan khusus
seperti pedagang kaki lima, sopir, pengrajin tangan, tukang kuli batu, dan lain
sebagainya.
Jika penyaluran zakat dilakukan dengan baik serta penggunaannya
terbilang optimal, maka hal ini akan dapat meningkatkan taraf ekonomi mereka
yang tergolong lemah untuk selanjutnya diharapkan kehidupan mereka tidak
bergantung kepada zakat.
Untuk
mereka, zakat hanya modal pertama saja selanjutnya mereka tidak lagi sebagai
mustahiq zakat, tapi menjadi orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki).
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya keberadaan zakat produktif itu
dapat dibenarkan selain itu masalah tekni saja, pemberian modal kepada mustahiq
zakat sebagai modal usaha berarti memberikan perhatian kepada para mustahiq
untuk hidup lebih layak, hal ini merupakan ajaran Islam seperti diperkuat oleh
al-Qur’an:
Artinya:
“Berinfaklah untuk orang-orang faqir yang terikat oleh jihad di jalan Allah,
mereka tidak mampu berusaha di bumi. Orang yang tidak tahu, menyangka mereka
adalah orang yang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu melihat
mereka dengan melihat sifat-sifatnya. Mereka tidak meminta-minta kepada orang secara medesak. Dan apa yang
kamu nafkahkan di jalan Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS.
al-Baqarah: 273)
Hikmah
yang dapat dipetik dari praktek zakat produktif di antaranya agar terjadi
komunikasi yang dapat menghilangkan menara gading antara si miskin dengan si
kaya. Efek yang ditimbulkannya menjadikan si muzakki (pemberi zakat) akan
merasa puas dan senang karena zakatnya bisa berkembang, di sisi lain menjadikan
mustahiq tidak menjadi mental pengemis dan tersalurkan kemampuannya.
Dengan
demikian terjadi hubungan yang signifikan antara keberadaan zakat
produktif dengan peningkatan sumber daya
manusia. Dan yang terpenting lagi, dengan zakat produktif tidak terjadi sikap
pembiaran terhadap fakir miskin dan telah menyelamatkan bahaya dari kefakiran
yang dapat menjadikan seorang menjadi kafir,
sebagaimana diperkuat oleh Hadits Nabi:
Artinya:
“Kefakiran (kemiskinan) berakibat kepada kekafiran.”
Sumber : http://ppg.siagapendis.com
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar