Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 20 Juli 2019

TEORI-TEORI MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA





Masuknya Islam di Indonesia

Ada beberapa teori yang mencoba mengungkap bagaimana masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara, yaitu: teori Gujarat, teori Mekkah, teori Persia, dan teori China.

1.      Teori India

Teori ini menyatakan Islam datang ke Nusantara bukan langsung dari Arab melainkan melalui India pada abad ke-13. Dalam teori ini disebut lima tempat asal Islam di India yaitu Gujarat, Cambay, Malabar, Coromandel, dan Bengal (Hasbullah, 2001: 9). Pijnappel, seorang Profesor Bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda. Dia mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia (Nusantara) bukan berasal dari Arab, tetapi berasal dari India, terutama dari pantai barat, yaitu daerah Gujarat dan Malabar. Sebelum Islam samapai ke Indonesia, banyak orang Arab bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India. Dari sana, selanjutnya Islam menyebar ke Indonesia (Nusantara).

Teori tersebut kemudian direvisi oleh Cristian Snouck Hurgronje, menurutnya Islam yang tersebar di Indonesia berasal dari wilayah Malabar dan Coromandel, dua kota yang berada di India selatan, setelah Islam berpijak kuat di wilayah tersebut. Penduduk yang berasal Daccan bertindak sebagai perantara dagang antara negeri-negeri Islam dengan penduduk Indonesia. Selanjutnya, orang-orang dari Daccan dalam jumlah besar menetap di kota-kota pelabuhan di kepulauan Indonesia untuk menyemaikan benih-benih Islam tersebut. Baru setelah itu, datanglah orang-orang Arab yang melanjutkan Islamisasi di Indonesia. Orang-orang ini menemukan kesempatan baik untuk menunjukkan keahlian organisasinya sehingga mereka banyak yang bertindak selaku ulama, penguasa-penguasa agama dan sultan yang sering bertindak sebagai penegak pembentukan negeri-negeri baru.

Alasan Snouck Hurgronje bahwa Islam di Indonesia berasal dari Daccan adalah adanya kesamaan tentang paham Syafi’iyah yang kini masih berlaku di Pantai Coromandel. Demikian pula pengaruh Syiah yang masih meninggalkan sedikit jejaknya di Jawa dan Sumatera, yang dulunya mempunyai pengaruh kuat sebagaimana kini berlaku di India. Snouck Hurgronje juga menyebutkan bahwa abad ke 12 sebagai periode yang paling mungkin dari awal penyebaran Islam di Nusantara.

Dapat disimpulkan bahwa Snouck Hurgronye, yang mendukung teori ini juga menyatakan tiga alasan, sebagai berikut:
a.       Kurangnya bukti yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara,
b.      Hubungan dagang antara Indonesia-India telah lama terjalin, dan
c.       Inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan dagang antara Sumatera dan Gujarat.

Teori Gujarat sebagai tempat asal Islam di Nusantara dipandang mempunyai kelemahan oleh Marisson. Alasannya, meskipun batu-batu nisan tersebut berasal dari Gujarat atau Bengal, bukan berarti Islam besal dari sana. Dikatakannya, ketika Islamisasi Samudra-Pasai yang raja pertamanya wafat 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan sebuah kerajaan bercorak Hindu. Baru pada satu tahun berikutnya, Cambay, Gujarat ditaklukkan oleh kekuasaan Muslim. Ini artinya, jika Islam di Indonesia disebarkan oleh orang-orang Gujarat pastilah Islam telah menjadi agama yang mapan sebelum tahun 698 H/1297 M. Atas dasar tersebut, Marisson menyimpulkan bahwa Islam di Indonesia bukan berasal dar Gujarat, tetapi dibawa para pendakwah muslim dari Pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.

Pandangan Marisson tersebut mendukung pendapat yang dipegang oleh Thomas W. Arnold, yang mengatakan bahwa Islam dibawa ke Nusantara antara lain berasal dari Coromandel dan Malabar. Teori ini didasarkan pada argumen adanya persamaan mazhab fiqih di kedua wilayah terebut. Mazhab Syafi’i yang mayoritas diikuti oleh mayoritas Muslim di Nusantara merupakan mazhab yang dominan di wilayah Coromandel dan Malabar. Menurut Arnold, para pedagang Muslim dari Coromandel dan Malabar mempunyai peranan penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Kehadiran sejumlah besar padagang ini di pelabuhan-pelabuhan Indonesia tidak hanya berdagang, tetapi juga menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat (Husda, 2016: 18-20)  

2.      Teori Arab/Mekkah

Teori arab merupakan salah satu teori yang biasa dijelaskan dalam penulisan sejarah. Teori ini disebut juga dengan teori Timur Tengah yang dipelopori oleh beberapa sejarawan, di antaranya adalah Crawfurd, Keijzer, Naimann, de Hollander, dan juga ada beberapa sejarawan Indonesia seperti Hasjmi, Al-Attas, Buya Hamka, Hoesein Djajadiningrat, dan Mukti Ali. Penting diketahui, bahwa Coromandel dan Malabar, menurut Arnold bukanlah satu-satunya tempat Islam dibawa ke Nusantara. Islam di Indonesia juga dibawa oleh para pedagang dari Arabia. Para pedagang Arab ini terlibat aktif dalam penyebaran Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak awal abad ke-7 dan ke- 8 Masehi.

Asumsi ini didasarkan pada sumber-sumber China yang menyebutkan bahwa menjelang perempatan ketiga abad ke-7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatera. Bahkan, beberapa orang Arab ini telah melakukan perkawinan campur dengan penduduk pribumi yang kemudian membentuk inti sebuah komunitas Muslim yang para anggotanya telah memeluk agama Islam. Teori ini semula dikemukakan oleh Crawfurd yang mengatakan bahwa Islam dikenalkan pada masyarakat Nusantara langsung dari Tanah Arab, meskipun hubungan bangsa Melayu-Indonesia dengan umat Islam di pesisir Timur India juga merupakan faktor penting. 

Berdasarkan teori Arab dari Buya Hamka yang tertulis dalam historiografi Indonesia, dijelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi yang mendasarkan teori pada berita China dari zaman T'ang. Dalam catatan Tionghoa dijelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M tepatnya di wilayah Sumatera dalam perkembangan perdagangan maritim Kerajaan Sriwijaya dengan dukungan dari mubaligh dan pedagang-pedagang muslim. Hamka memberikan argumentasi bahwa Gujarat hanya sebagai tempat singgah, sedangkan Mekkah atau Mesir adalah sebagai tempat pengambilan ajaran Islam. Adapun masuknya Islam ke Indonesia melalui dua jalur, yaitu:
a.       Jalur Utara, dengan rute: Arab (Mekkah dan Medinah)
1)      Damaskus
2)      Bagdad
3)      Gujarat (pantai Barat India)
4)      Srilanka
5)      Indonesia.  
b.      Jalur Selatan, dengan rute: Arab (Mekkah dan Medinah)
1)      Yaman
2)      Gujarat (pantai barat India)
3)      Srilanka
4)      Indonesia.

Hubungan antara timur tengah dengan nusantara terbagi dalam beberapa fase. Pada fase pertama, sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12 hubungan Timur Tengah dengan Nusantara yaitu berkenaan dengan perdagangan. Kemudian fase berikutnya sampai akhir abad ke-15 hubungan antara keduanya terlihat lebih luas. Barulah sejak abad ke-16 sampai abad ke-17 hubungan Timur Tengah dengan Nusantara terjalin lebih bersifat politik di samping kegiatan keagamaan. 

Taufik Abdullah mengkompromikan teori-teori di atas dengan menyatakan bahwa memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad 1 H atau abad ke-7 atau 8 M, akan tetapi Islam pada waktu itu baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Islam barulah masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Baghdad ibukota Abbasiyah oleh Hulagu.

Kehancuran ini menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan aktivitas perdagangan ke arah Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Berdasarkan teori tersebut, dapat diketahui juga beberapa pihak yang memainkan peranan penting dalam menyebarkan Islam di Nusantara, yaitu pedagang dan sufi. Para pedagang Arab, Persia, dan Gujarat/India datang ke daerah-daerah di Indonesia untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Interaksi yang terjadi antara para pedagang muslim dengan penduduk setempat, memungkinkan agama Islam kemudian terus berkembang hingga berdirinya sebuah kerajaan, seperti kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Pada saat itu, Pasai menjadi pusat perdagangan yang banyak disinggahi para pedagang dari berbagai negara, termasuk para pedagang Islam dari Gujarat dan Persia.

Demikian pula sebaliknya, para pedagang dari berbagai daerah di Indonesia, seperti para pedagang Jawa, juga singgah dan berdagang di Pasai. Interaksi yang terjadi antara para pedagang Arab, Persia, dan Gujarat dengan pedagang Jawa, Islam juga berkembang di Pulau Jawa. Perkembangan Islam di Pulau Jawa terjadi sangat cepat, seiring dengan semakin lemahnya Kerajaan Majapahit. Komunitas muslim di Jawa kemudian mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa, yakni Kerajaan Demak. Dalam perkembangannya Kerajaan Demak tumbuh menjadi pusat penyebaran agama Islam ke berbagai daerah di Indonesia.

Adapun para sufi juga memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Mereka mengembara sekaligus berdagang di wilayah-wilayah Nusantara. Seperti Sunan kudus misalnya, salah seorang dari Walisongo yang sangat dihormati, seorang alim, sufi sekaligus saudagar yang kaya raya. Selain itu, keberhasilan mereka dalam syiar Islam juga lebih disebabkan dalam menyajikan Islam menggunakan kemasan yang atraktif, yaitu menekankan kesesuaian Islam dengan tradisi lama atau kontinuitas, daripada perubahan drastis dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal (Hindu dan Buddha).

Di samping itu, para sufi gemar menawarkan pertolongan, misalnya menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita masyarakat dan mengimbangi ilmu magis yang berkembang dalam masyarakat.  Peranan penting para sufi juga ditandai dengan berkembangnya aliran-aliran sufisme atau mistik yang melembaga dalam tarekat-tarekat di Indonesia pada abad ke-6 dan ke-7. Beberapa wali mencampurkan ajaran Islam dengan mistik, sehingga timbul suatu sinkretisme. Mereka bersedia memakai unsur-unsur kultur pra-Islam dalam menyebarkan agama Islam. Para sufi menyebarkan Islam melalui dua cara, yaitu: 

a.       Dengan membentuk kader mubaligh agar mampu mengajarkan dan menyebarkan agama Islam di daerah asalnya; dan 
b.      Melalui karya tulis yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat, seperti Hamzah Fanshuri yang telah menulis Asrar al-Arifin fi Bayan ila al-Suluk wal Tauhid dan Syair Perahu yang merupakan syair Sufi.
c.       Melalui peranan para pedagang dan sufi tersebut, dapat diketahui pola penyebaran Islam di Nusantara, sebagai berikut.
d.      Perdagangan, pedagang muslim yang berdagang ke Indonesia makin lama makin banyak sehingga membentuk pemukiman yang disebut Pekojan. Dari Pekojan inilah mereka berinteraksi, dan berasimilasi dengan warga lokal sembari menyebarkan agama Islam.
e.       Perkawinan, pedagang muslim yang masuk ke Indonesia banyak yang menikah dengan warga lokal. Sebelum perkawinan berlangsung, para wanita pribumi yang belum beragama Islam diminta mengucapkan syahadat sebagai tanda menerima Islam sebagai agamanya. Melalui proses interaksi ini penduduk pribumi lambat laun mengenal nilai dan ajaran Islam.
f.        Pendidikan, yang mana setelah terbentuk masyarakat muslim pribumi, para guru agama, kiai serta ulama memberikan pendidikan berawal dari rumah, surau, masjid, dan mushalla. Setelah itu, mereka mendirikan madrasah dan pondok pesantren untuk mendidik generasi muda yang tertarik menjadi santri. Pesantren ini terbuka bagi siapapun dan dari daerah manapun. Semakin terkenal kiai yang mengajar di sebuah pesantren itu, semakin besar pula pengaruh pesantren tersebut di tengahtengah masyarakat. Setelah selesai mengikuti pendidikan, mereka kembali ke kampung halaman masing-masing. Ada pula yang pergi ke tempat-tempat lain; di sana para santri berdakwah dan mengajarkan Islam. Aktivitas seperti inilah yang turut memperluas pengaruh Islam ke berbagai penjuru Nusantara. \
g.      Tasawuf, ajaran tasawuf memudahkan orang yang telah mempunyai dasar ketuhanan lain untuk mengerti dan menerima ajaran Islam. Ajaran ini banyak dijumpai dalam cerita babad dan hikayat masyarakat setempat. Beberapa tokoh penyebar tasawuf yang terkenal adalah Syaikh Hamzah Fansuri, Syaikh Syamsudin, Syaikh Abdul Samad, dan Syaikh Nuruddin ar-Raniri.
h.      Kesenian, yang mana penyebaran agama Islam tampak dalam wujud peninggalan seni bangunan, seni pahat, seni musik dan seni sastra. Hasil-hasil seni ini dapat pula dilihat pada bangunan masjid kuno di Aceh, Demak, Cirebon, dan Banten. Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan, sehingga kesenian mengambil peran penting dalam penyebaran Islam melalui budaya.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241989403

Selain karena pola penyebaran Islam yang relevan, terdapat pula faktor-faktor yang menyebabkan Islam mudah diterima dan berkembang di Nusantara, antara lain: 

                1)       Syarat-syarat masuk agama Islam sangat mudah. Seseorang telah dianggap masuk Islam bila ia telah mengucapkan dua kalimat syahadat.
                2)       Ajaran Islam tidak mengenal kasta, dan menganggap semua manusia mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah. Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh status sosial, akan tetapi oleh ketakwaannya kepada Allah.
                3)       Upacara-upacara keagamaan dalam ajaran Islam sangat sederhana dan tidak harus mengeluarkan banyak biaya.
                4)       Agama Islam yang menyebar di Indonesia disesuaikan dengan adat dan tradisi Nusantara dan dalam penyebarannya dilakukan dengan damai tanpa kekerasan.
                5)       Sifat bangsa Indonesia yang ramah tamah memberi peluang untuk bergaul lebih erat dengan bangsa lain. Di dalam pergaulan yang erat itu kemudian terjadi saling mempengaruhi dan saling pengertian.
                6)       Runtuhnya Kerajaan Majapahit turut memperlancar penyebaran agama Islam di Nusantara. g. Semangat para penganut Islam untuk terus menyebarkan agama yang telah dianutnya, yang mana bagi penganut Islam, menyebarkan agama adalah sebuah kewajiban.

3.      Teori Persia

Selain teori India dan teori Arab, ada lagi teori Persia. Teori Persia ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara ini berasal dari Persia, bukan dari India dan Arab. Teori ini didasarkan pada beberapa unsur kebudayaan Persia, khususnya Syi’ah yang ada dalam kebudayaan Islam di Nusantara. Di antara pendukung teori ini adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Ini merupakan alasan pertama dari teori ini. Berdasarkan analisis sosio-kultural, terdapat titik-titik kesamaan antara yang berlaku dan berkembang di kalangan masyarakat Islam Indonesia dengan di Persia. Misalnya, perayaan Tabut di beberapa tempat di Indonesia, dan berkembangnya ajaran Syekh Siti Jenar, ada kesamaan dengan ajaran Sufi al-Hallaj dari Iran Persia. Dia mendasarkan analisisnya pada pengaruh sufisme Persia terhadap beberapa ajaran mistik Islam (sufisme) Indonesia.

Ajaran manunggaling kawula gusti Syeikh Siti Jenar merupakan pengaruh dari ajaran wahdat al-wujud al-Hallaj dari Persia. Alasan kedua, penggunaan istilah bahasa Persia dalam sistem mengeja huruf Arab, terutama untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajaran Al-Qur’an. Jabar (Arab-fathah) untuk menghasilkan bunyi “a” (Arab; kasrah) untuk menghasilkan bunyi “i” dan “e”; serta pes (Arab, dhammah) untuk menghasilkan bunyi “u” atau “o”. Dengan demikian, pada awal pelajaran membaca Al-Qur’an, para santri harus menghafal alifjabar “a”, alifjer “i” dan alif pes “u”/”o”. Cara pengajaran seperti ini, pada masa sekarang masih dipraktekkan di beberapa pesantren dan lembaga pengajian Al-Qur’an di pedalaman Banten. Juga, huruf sin tanpa gigi merupakan pengaruh Persia yang membedakan dengan huruf sin dari Arab yang bergigi. 

Ketiga, peringatan Asyura atau 10 Muharram sebagai salah satu hari yang diperingati oleh kaum Syi’ah, yakni hari wafatnya Husain bin Abi Thalib di Padang Karbala. Di Jawa dan juga di Aceh, peringatan ini ditandai dengan pembuatan bubur Asyura. Di Minangkabau dan Aceh, bulan Muharram disebut dengan bulan Hasan-Husain. Di Sumatera Tengah sebelah barat, ada upacara Tabut, yaitu mengarak ‘keranda Husain’ untuk dilemparkan ke dalam sungai atau perairan lainnya. Keranda tersebut disebut dengan Tabut yan berasal dari bahasa Arab.  Hamka menolak teori ini dengan alasan, bahwa apabila Islam masuk abad ke-7 M. yang ketika itu kekuasaan dipimpin Khalifah Umayyah (Arab), sedangkan Persia belum menduduki kepemimpinan dunia Islam. Selain itu, masuknya Islam dalam suatu wilayah, juga identik dengan langsung berdirinya sebuah kekuasaan politik Islam.

4.      Teori Cina

Sebenarnya, peranan orang China terhadap Islamisasi di Indonesia perlu mendapat perhatian khusus. Banyaknya unsur kebudayaan China dalam beberapa unsur kebudayaan Islam di Indonesia perlu mempertimbangkan peran orang-orang China dalam Islamisasi di Nusantara, karenanya ”teori China” dalam Islamisasi tidak bisa diabaikan. H.J. de Graaf, misalnya, telah menyunting beberapa literature Jawa klasik yang memperlihatkan peranan orang-orang China dalam pengembangan Islam di Indonesia. Dalam tulisan-tulisan tersebut, disebutkan bahwa tokoh-tokoh besar semacam Sunan Ampel (Raden Rahmat/Bong Swi Hoo) dan Raja Demak (Raden Fatah/Jin Bun) merupakan orang-orang keturunan China.

Pandangan ini juga didukung oleh salah seorang sejarawan Indonesia, Slamet Mulyana, dalam bukunya yang kontroversial, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya negaranegara Islam di Nusantara. Denys Lombard juga telah memperlihatkan besarnya pengaruh China dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia, seperti makanan, pakaian, bahasa, seni bangunan, dan sebagainya. Lombard mengulas semua ini dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya yang terdiri dari tiga jilid. Teori ini menjelaskan bahwa etnis Cina Muslim sangat berperan dalam proses penyebaran agama Islam di Nusantara. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada teori Arab, hubungan Arab Muslim dan Cina sudah terjadi pada Abad pertama Hijriah.

Dengan demikian, Islam datang dari arah barat ke Nusantara dan ke Cina berbarengan dalam satu jalur perdagangan. Islam datang ke Cina di Canton (Guangzhou) pada masa pemerintahan Tai Tsung (627-650) dari Dinasti Tang, dan datang ke Nusantara di Sumatera pada masa kekuasaan Sriwijaya, dan datang ke pulau Jawa tahun 674 M berdasarkan kedatangan utusan raja Arab bernama Ta cheh/Ta shi ke kerajaan Kalingga yang di perintah oleh Ratu Sima. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar