Masuknya
Islam di Indonesia
Ada beberapa teori yang mencoba mengungkap
bagaimana masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara, yaitu: teori Gujarat,
teori Mekkah, teori Persia, dan teori China.
1. Teori
India
Teori ini menyatakan Islam datang ke
Nusantara bukan langsung dari Arab melainkan melalui India pada abad ke-13.
Dalam teori ini disebut lima tempat asal Islam di India yaitu Gujarat, Cambay,
Malabar, Coromandel, dan Bengal (Hasbullah, 2001: 9). Pijnappel, seorang
Profesor Bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda. Dia mengatakan bahwa
Islam datang ke Indonesia (Nusantara) bukan berasal dari Arab, tetapi berasal
dari India, terutama dari pantai barat, yaitu daerah Gujarat dan Malabar.
Sebelum Islam samapai ke Indonesia, banyak orang Arab bermazhab Syafi’i yang
bermigrasi dan menetap di wilayah India. Dari sana, selanjutnya Islam menyebar
ke Indonesia (Nusantara).
Teori tersebut kemudian direvisi oleh
Cristian Snouck Hurgronje, menurutnya Islam yang tersebar di Indonesia berasal
dari wilayah Malabar dan Coromandel, dua kota yang berada di India selatan,
setelah Islam berpijak kuat di wilayah tersebut. Penduduk yang berasal Daccan
bertindak sebagai perantara dagang antara negeri-negeri Islam dengan penduduk Indonesia.
Selanjutnya, orang-orang dari Daccan dalam jumlah besar menetap di kota-kota
pelabuhan di kepulauan Indonesia untuk menyemaikan benih-benih Islam tersebut.
Baru setelah itu, datanglah orang-orang Arab yang melanjutkan Islamisasi di
Indonesia. Orang-orang ini menemukan kesempatan baik untuk menunjukkan keahlian
organisasinya sehingga mereka banyak yang bertindak selaku ulama,
penguasa-penguasa agama dan sultan yang sering bertindak sebagai penegak
pembentukan negeri-negeri baru.
Alasan Snouck Hurgronje bahwa Islam di
Indonesia berasal dari Daccan adalah adanya kesamaan tentang paham Syafi’iyah
yang kini masih berlaku di Pantai Coromandel. Demikian pula pengaruh Syiah yang
masih meninggalkan sedikit jejaknya di Jawa dan Sumatera, yang dulunya mempunyai
pengaruh kuat sebagaimana kini berlaku di India. Snouck Hurgronje juga
menyebutkan bahwa abad ke 12 sebagai periode yang paling mungkin dari awal
penyebaran Islam di Nusantara.
Dapat disimpulkan bahwa Snouck Hurgronye,
yang mendukung teori ini juga menyatakan tiga alasan, sebagai berikut:
a. Kurangnya
bukti yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke
Nusantara,
b. Hubungan
dagang antara Indonesia-India telah lama terjalin, dan
c. Inskripsi
tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan
dagang antara Sumatera dan Gujarat.
Teori Gujarat sebagai tempat asal Islam di
Nusantara dipandang mempunyai kelemahan oleh Marisson. Alasannya, meskipun
batu-batu nisan tersebut berasal dari Gujarat atau Bengal, bukan berarti Islam
besal dari sana. Dikatakannya, ketika Islamisasi Samudra-Pasai yang raja
pertamanya wafat 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan sebuah kerajaan bercorak
Hindu. Baru pada satu tahun berikutnya, Cambay, Gujarat ditaklukkan oleh
kekuasaan Muslim. Ini artinya, jika Islam di Indonesia disebarkan oleh
orang-orang Gujarat pastilah Islam telah menjadi agama yang mapan sebelum tahun
698 H/1297 M. Atas dasar tersebut, Marisson menyimpulkan bahwa Islam di
Indonesia bukan berasal dar Gujarat, tetapi dibawa para pendakwah muslim dari
Pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.
Pandangan Marisson tersebut mendukung
pendapat yang dipegang oleh Thomas W. Arnold, yang mengatakan bahwa Islam
dibawa ke Nusantara antara lain berasal dari Coromandel dan Malabar. Teori ini
didasarkan pada argumen adanya persamaan mazhab fiqih di kedua wilayah terebut.
Mazhab Syafi’i yang mayoritas diikuti oleh mayoritas Muslim di Nusantara
merupakan mazhab yang dominan di wilayah Coromandel dan Malabar. Menurut
Arnold, para pedagang Muslim dari Coromandel dan Malabar mempunyai peranan
penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Kehadiran sejumlah besar
padagang ini di pelabuhan-pelabuhan Indonesia tidak hanya berdagang, tetapi
juga menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat (Husda, 2016: 18-20)
2. Teori
Arab/Mekkah
Teori arab merupakan salah satu teori yang
biasa dijelaskan dalam penulisan sejarah. Teori ini disebut juga dengan teori
Timur Tengah yang dipelopori oleh beberapa sejarawan, di antaranya adalah
Crawfurd, Keijzer, Naimann, de Hollander, dan juga ada beberapa sejarawan
Indonesia seperti Hasjmi, Al-Attas, Buya Hamka, Hoesein Djajadiningrat, dan
Mukti Ali. Penting diketahui, bahwa Coromandel dan Malabar, menurut Arnold
bukanlah satu-satunya tempat Islam dibawa ke Nusantara. Islam di Indonesia juga
dibawa oleh para pedagang dari Arabia. Para pedagang Arab ini terlibat aktif
dalam penyebaran Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur
sejak awal abad ke-7 dan ke- 8 Masehi.
Asumsi ini didasarkan pada sumber-sumber
China yang menyebutkan bahwa menjelang perempatan ketiga abad ke-7, seorang
pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatera.
Bahkan, beberapa orang Arab ini telah melakukan perkawinan campur dengan
penduduk pribumi yang kemudian membentuk inti sebuah komunitas Muslim yang para
anggotanya telah memeluk agama Islam. Teori ini semula dikemukakan oleh
Crawfurd yang mengatakan bahwa Islam dikenalkan pada masyarakat Nusantara
langsung dari Tanah Arab, meskipun hubungan bangsa Melayu-Indonesia dengan umat
Islam di pesisir Timur India juga merupakan faktor penting.
Berdasarkan teori Arab dari Buya Hamka
yang tertulis dalam historiografi Indonesia, dijelaskan bahwa Islam masuk ke
Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi yang mendasarkan
teori pada berita China dari zaman T'ang. Dalam catatan Tionghoa dijelaskan
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M tepatnya di wilayah Sumatera
dalam perkembangan perdagangan maritim Kerajaan Sriwijaya dengan dukungan dari
mubaligh dan pedagang-pedagang muslim. Hamka memberikan argumentasi bahwa
Gujarat hanya sebagai tempat singgah, sedangkan Mekkah atau Mesir adalah
sebagai tempat pengambilan ajaran Islam. Adapun masuknya Islam ke Indonesia
melalui dua jalur, yaitu:
a. Jalur
Utara, dengan rute: Arab (Mekkah dan Medinah)
1) Damaskus
2) Bagdad
3) Gujarat
(pantai Barat India)
4) Srilanka
5) Indonesia.
b. Jalur
Selatan, dengan rute: Arab (Mekkah dan Medinah)
1) Yaman
2) Gujarat
(pantai barat India)
3) Srilanka
4) Indonesia.
Hubungan antara timur tengah dengan
nusantara terbagi dalam beberapa fase. Pada fase pertama, sejak akhir abad ke-8
sampai abad ke-12 hubungan Timur Tengah dengan Nusantara yaitu berkenaan dengan
perdagangan. Kemudian fase berikutnya sampai akhir abad ke-15 hubungan antara
keduanya terlihat lebih luas. Barulah sejak abad ke-16 sampai abad ke-17
hubungan Timur Tengah dengan Nusantara terjalin lebih bersifat politik di
samping kegiatan keagamaan.
Taufik Abdullah mengkompromikan
teori-teori di atas dengan menyatakan bahwa memang benar Islam sudah datang ke
Indonesia sejak abad 1 H atau abad ke-7 atau 8 M, akan tetapi Islam pada waktu
itu baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Islam
barulah masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad
ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus
balik kehancuran Baghdad ibukota Abbasiyah oleh Hulagu.
Kehancuran ini menyebabkan pedagang Muslim
mengalihkan aktivitas perdagangan ke arah Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia
Tenggara. Berdasarkan teori tersebut, dapat diketahui juga beberapa pihak yang
memainkan peranan penting dalam menyebarkan Islam di Nusantara, yaitu pedagang
dan sufi. Para pedagang Arab, Persia, dan Gujarat/India datang ke daerah-daerah
di Indonesia untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Interaksi yang
terjadi antara para pedagang muslim dengan penduduk setempat, memungkinkan
agama Islam kemudian terus berkembang hingga berdirinya sebuah kerajaan,
seperti kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama
di Indonesia. Pada saat itu, Pasai menjadi pusat perdagangan yang banyak
disinggahi para pedagang dari berbagai negara, termasuk para pedagang Islam
dari Gujarat dan Persia.
Demikian pula sebaliknya, para pedagang
dari berbagai daerah di Indonesia, seperti para pedagang Jawa, juga singgah dan
berdagang di Pasai. Interaksi yang terjadi antara para pedagang Arab, Persia,
dan Gujarat dengan pedagang Jawa, Islam juga berkembang di Pulau Jawa. Perkembangan
Islam di Pulau Jawa terjadi sangat cepat, seiring dengan semakin lemahnya
Kerajaan Majapahit. Komunitas muslim di Jawa kemudian mendirikan kerajaan Islam
pertama di Pulau Jawa, yakni Kerajaan Demak. Dalam perkembangannya Kerajaan
Demak tumbuh menjadi pusat penyebaran agama Islam ke berbagai daerah di
Indonesia.
Adapun para sufi juga memainkan peranan
penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Mereka mengembara sekaligus
berdagang di wilayah-wilayah Nusantara. Seperti Sunan kudus misalnya, salah
seorang dari Walisongo yang sangat dihormati, seorang alim, sufi sekaligus
saudagar yang kaya raya. Selain itu, keberhasilan mereka dalam syiar Islam juga
lebih disebabkan dalam menyajikan Islam menggunakan kemasan yang atraktif,
yaitu menekankan kesesuaian Islam dengan tradisi lama atau kontinuitas,
daripada perubahan drastis dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal (Hindu
dan Buddha).
Di samping itu, para sufi gemar menawarkan
pertolongan, misalnya menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita masyarakat
dan mengimbangi ilmu magis yang berkembang dalam masyarakat. Peranan penting para sufi juga ditandai
dengan berkembangnya aliran-aliran sufisme atau mistik yang melembaga dalam
tarekat-tarekat di Indonesia pada abad ke-6 dan ke-7. Beberapa wali mencampurkan
ajaran Islam dengan mistik, sehingga timbul suatu sinkretisme. Mereka bersedia
memakai unsur-unsur kultur pra-Islam dalam menyebarkan agama Islam. Para sufi
menyebarkan Islam melalui dua cara, yaitu:
a. Dengan
membentuk kader mubaligh agar mampu mengajarkan dan menyebarkan agama Islam di
daerah asalnya; dan
b. Melalui
karya tulis yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat, seperti Hamzah
Fanshuri yang telah menulis Asrar al-Arifin fi Bayan ila al-Suluk wal Tauhid
dan Syair Perahu yang merupakan syair Sufi.
c. Melalui
peranan para pedagang dan sufi tersebut, dapat diketahui pola penyebaran Islam
di Nusantara, sebagai berikut.
d. Perdagangan,
pedagang muslim yang berdagang ke Indonesia makin lama makin banyak sehingga
membentuk pemukiman yang disebut Pekojan. Dari Pekojan inilah mereka
berinteraksi, dan berasimilasi dengan warga lokal sembari menyebarkan agama
Islam.
e. Perkawinan,
pedagang muslim yang masuk ke Indonesia banyak yang menikah dengan warga lokal.
Sebelum perkawinan berlangsung, para wanita pribumi yang belum beragama Islam
diminta mengucapkan syahadat sebagai tanda menerima Islam sebagai agamanya.
Melalui proses interaksi ini penduduk pribumi lambat laun mengenal nilai dan
ajaran Islam.
f.
Pendidikan, yang mana setelah terbentuk
masyarakat muslim pribumi, para guru agama, kiai serta ulama memberikan
pendidikan berawal dari rumah, surau, masjid, dan mushalla. Setelah itu, mereka
mendirikan madrasah dan pondok pesantren untuk mendidik generasi muda yang
tertarik menjadi santri. Pesantren ini terbuka bagi siapapun dan dari daerah
manapun. Semakin terkenal kiai yang mengajar di sebuah pesantren itu, semakin
besar pula pengaruh pesantren tersebut di tengahtengah masyarakat. Setelah
selesai mengikuti pendidikan, mereka kembali ke kampung halaman masing-masing.
Ada pula yang pergi ke tempat-tempat lain; di sana para santri berdakwah dan
mengajarkan Islam. Aktivitas seperti inilah yang turut memperluas pengaruh
Islam ke berbagai penjuru Nusantara. \
g. Tasawuf,
ajaran tasawuf memudahkan orang yang telah mempunyai dasar ketuhanan lain untuk
mengerti dan menerima ajaran Islam. Ajaran ini banyak dijumpai dalam cerita
babad dan hikayat masyarakat setempat. Beberapa tokoh penyebar tasawuf yang
terkenal adalah Syaikh Hamzah Fansuri, Syaikh Syamsudin, Syaikh Abdul Samad,
dan Syaikh Nuruddin ar-Raniri.
h. Kesenian,
yang mana penyebaran agama Islam tampak dalam wujud peninggalan seni bangunan,
seni pahat, seni musik dan seni sastra. Hasil-hasil seni ini dapat pula dilihat
pada bangunan masjid kuno di Aceh, Demak, Cirebon, dan Banten. Kesenian adalah
salah satu unsur kebudayaan, sehingga kesenian mengambil peran penting dalam
penyebaran Islam melalui budaya.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241989403
Selain
karena pola penyebaran Islam yang relevan, terdapat pula faktor-faktor yang
menyebabkan Islam mudah diterima dan berkembang di Nusantara, antara lain:
1)
Syarat-syarat masuk agama Islam sangat
mudah. Seseorang telah dianggap masuk Islam bila ia telah mengucapkan dua
kalimat syahadat.
2)
Ajaran Islam tidak mengenal kasta, dan
menganggap semua manusia mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah.
Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh status sosial, akan tetapi oleh
ketakwaannya kepada Allah.
3)
Upacara-upacara keagamaan dalam ajaran
Islam sangat sederhana dan tidak harus mengeluarkan banyak biaya.
4)
Agama Islam yang menyebar di Indonesia
disesuaikan dengan adat dan tradisi Nusantara dan dalam penyebarannya dilakukan
dengan damai tanpa kekerasan.
5)
Sifat bangsa Indonesia yang ramah tamah
memberi peluang untuk bergaul lebih erat dengan bangsa lain. Di dalam pergaulan
yang erat itu kemudian terjadi saling mempengaruhi dan saling pengertian.
6)
Runtuhnya Kerajaan Majapahit turut
memperlancar penyebaran agama Islam di Nusantara. g. Semangat para penganut
Islam untuk terus menyebarkan agama yang telah dianutnya, yang mana bagi
penganut Islam, menyebarkan agama adalah sebuah kewajiban.
3. Teori
Persia
Selain teori India dan teori Arab, ada
lagi teori Persia. Teori Persia ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke
Nusantara ini berasal dari Persia, bukan dari India dan Arab. Teori ini
didasarkan pada beberapa unsur kebudayaan Persia, khususnya Syi’ah yang ada
dalam kebudayaan Islam di Nusantara. Di antara pendukung teori ini adalah P.A.
Hoesein Djajadiningrat. Ini merupakan alasan pertama dari teori ini.
Berdasarkan analisis sosio-kultural, terdapat titik-titik kesamaan antara yang
berlaku dan berkembang di kalangan masyarakat Islam Indonesia dengan di Persia.
Misalnya, perayaan Tabut di beberapa tempat di Indonesia, dan berkembangnya
ajaran Syekh Siti Jenar, ada kesamaan dengan ajaran Sufi al-Hallaj dari Iran
Persia. Dia mendasarkan analisisnya pada pengaruh sufisme Persia terhadap
beberapa ajaran mistik Islam (sufisme) Indonesia.
Ajaran manunggaling kawula gusti Syeikh
Siti Jenar merupakan pengaruh dari ajaran wahdat al-wujud al-Hallaj dari
Persia. Alasan kedua, penggunaan istilah bahasa Persia dalam sistem mengeja
huruf Arab, terutama untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajaran
Al-Qur’an. Jabar (Arab-fathah) untuk menghasilkan bunyi “a” (Arab; kasrah)
untuk menghasilkan bunyi “i” dan “e”; serta pes (Arab, dhammah) untuk
menghasilkan bunyi “u” atau “o”. Dengan demikian, pada awal pelajaran membaca
Al-Qur’an, para santri harus menghafal alifjabar “a”, alifjer “i” dan alif pes
“u”/”o”. Cara pengajaran seperti ini, pada masa sekarang masih dipraktekkan di
beberapa pesantren dan lembaga pengajian Al-Qur’an di pedalaman Banten. Juga,
huruf sin tanpa gigi merupakan pengaruh Persia yang membedakan dengan huruf sin
dari Arab yang bergigi.
Ketiga, peringatan Asyura atau 10 Muharram
sebagai salah satu hari yang diperingati oleh kaum Syi’ah, yakni hari wafatnya
Husain bin Abi Thalib di Padang Karbala. Di Jawa dan juga di Aceh, peringatan
ini ditandai dengan pembuatan bubur Asyura. Di Minangkabau dan Aceh, bulan
Muharram disebut dengan bulan Hasan-Husain. Di Sumatera Tengah sebelah barat,
ada upacara Tabut, yaitu mengarak ‘keranda Husain’ untuk dilemparkan ke dalam
sungai atau perairan lainnya. Keranda tersebut disebut dengan Tabut yan berasal
dari bahasa Arab. Hamka menolak teori
ini dengan alasan, bahwa apabila Islam masuk abad ke-7 M. yang ketika itu
kekuasaan dipimpin Khalifah Umayyah (Arab), sedangkan Persia belum menduduki
kepemimpinan dunia Islam. Selain itu, masuknya Islam dalam suatu wilayah, juga
identik dengan langsung berdirinya sebuah kekuasaan politik Islam.
4. Teori
Cina
Sebenarnya, peranan orang China terhadap
Islamisasi di Indonesia perlu mendapat perhatian khusus. Banyaknya unsur
kebudayaan China dalam beberapa unsur kebudayaan Islam di Indonesia perlu
mempertimbangkan peran orang-orang China dalam Islamisasi di Nusantara,
karenanya ”teori China” dalam Islamisasi tidak bisa diabaikan. H.J. de Graaf,
misalnya, telah menyunting beberapa literature Jawa klasik yang memperlihatkan
peranan orang-orang China dalam pengembangan Islam di Indonesia. Dalam
tulisan-tulisan tersebut, disebutkan bahwa tokoh-tokoh besar semacam Sunan
Ampel (Raden Rahmat/Bong Swi Hoo) dan Raja Demak (Raden Fatah/Jin Bun)
merupakan orang-orang keturunan China.
Pandangan ini juga didukung oleh salah
seorang sejarawan Indonesia, Slamet Mulyana, dalam bukunya yang kontroversial,
Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya negaranegara Islam di Nusantara.
Denys Lombard juga telah memperlihatkan besarnya pengaruh China dalam berbagai
aspek kehidupan bangsa Indonesia, seperti makanan, pakaian, bahasa, seni bangunan,
dan sebagainya. Lombard mengulas semua ini dalam bukunya Nusa Jawa: Silang
Budaya yang terdiri dari tiga jilid. Teori ini menjelaskan bahwa etnis Cina
Muslim sangat berperan dalam proses penyebaran agama Islam di Nusantara.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada teori Arab, hubungan Arab Muslim
dan Cina sudah terjadi pada Abad pertama Hijriah.
Dengan demikian, Islam datang dari arah barat ke
Nusantara dan ke Cina berbarengan dalam satu jalur perdagangan. Islam datang ke
Cina di Canton (Guangzhou) pada masa pemerintahan Tai Tsung (627-650) dari
Dinasti Tang, dan datang ke Nusantara di Sumatera pada masa kekuasaan
Sriwijaya, dan datang ke pulau Jawa tahun 674 M berdasarkan kedatangan utusan
raja Arab bernama Ta cheh/Ta shi ke kerajaan Kalingga yang di perintah oleh
Ratu Sima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar