Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Jumat, 19 Juli 2019

MODUL SKI KB 3 PPG PAI PERKEMBANGAN ISLAM DI NUSANTARA




PERKEMBANGAN ISLAM DI NUSANTARA

A.    Masuknya Islam di Indonesia

Ada beberapa teori yang mencoba mengungkap bagaimana masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara, yaitu: teori Gujarat, teori Mekkah, teori Persia, dan teori China.

1.      Teori India

Teori ini menyatakan Islam datang ke Nusantara bukan langsung dari Arab melainkan melalui India pada abad ke-13. Dalam teori ini disebut lima tempat asal Islam di India yaitu Gujarat, Cambay, Malabar, Coromandel, dan Bengal (Hasbullah, 2001: 9). Pijnappel, seorang Profesor Bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda. Dia mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia (Nusantara) bukan berasal dari Arab, tetapi berasal dari India, terutama dari pantai barat, yaitu daerah Gujarat dan Malabar. Sebelum Islam samapai ke Indonesia, banyak orang Arab bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India. Dari sana, selanjutnya Islam menyebar ke Indonesia (Nusantara).

Teori tersebut kemudian direvisi oleh Cristian Snouck Hurgronje, menurutnya Islam yang tersebar di Indonesia berasal dari wilayah Malabar dan Coromandel, dua kota yang berada di India selatan, setelah Islam berpijak kuat di wilayah tersebut. Penduduk yang berasal Daccan bertindak sebagai perantara dagang antara negeri-negeri Islam dengan penduduk Indonesia. Selanjutnya, orang-orang dari Daccan dalam jumlah besar menetap di kota-kota pelabuhan di kepulauan Indonesia untuk menyemaikan benih-benih Islam tersebut. Baru setelah itu, datanglah orang-orang Arab yang melanjutkan Islamisasi di Indonesia. Orang-orang ini menemukan kesempatan baik untuk menunjukkan keahlian organisasinya sehingga mereka banyak yang bertindak selaku ulama, penguasa-penguasa agama dan sultan yang sering bertindak sebagai penegak pembentukan negeri-negeri baru.

Alasan Snouck Hurgronje bahwa Islam di Indonesia berasal dari Daccan adalah adanya kesamaan tentang paham Syafi’iyah yang kini masih berlaku di Pantai Coromandel. Demikian pula pengaruh Syiah yang masih meninggalkan sedikit jejaknya di Jawa dan Sumatera, yang dulunya mempunyai pengaruh kuat sebagaimana kini berlaku di India. Snouck Hurgronje juga menyebutkan bahwa abad ke 12 sebagai periode yang paling mungkin dari awal penyebaran Islam di Nusantara.

Dapat disimpulkan bahwa Snouck Hurgronye, yang mendukung teori ini juga menyatakan tiga alasan, sebagai berikut:
a.       Kurangnya bukti yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara,
b.      Hubungan dagang antara Indonesia-India telah lama terjalin, dan
c.       Inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan dagang antara Sumatera dan Gujarat.

Teori Gujarat sebagai tempat asal Islam di Nusantara dipandang mempunyai kelemahan oleh Marisson. Alasannya, meskipun batu-batu nisan tersebut berasal dari Gujarat atau Bengal, bukan berarti Islam besal dari sana. Dikatakannya, ketika Islamisasi Samudra-Pasai yang raja pertamanya wafat 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan sebuah kerajaan bercorak Hindu. Baru pada satu tahun berikutnya, Cambay, Gujarat ditaklukkan oleh kekuasaan Muslim. Ini artinya, jika Islam di Indonesia disebarkan oleh orang-orang Gujarat pastilah Islam telah menjadi agama yang mapan sebelum tahun 698 H/1297 M. Atas dasar tersebut, Marisson menyimpulkan bahwa Islam di Indonesia bukan berasal dar Gujarat, tetapi dibawa para pendakwah muslim dari Pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.

Pandangan Marisson tersebut mendukung pendapat yang dipegang oleh Thomas W. Arnold, yang mengatakan bahwa Islam dibawa ke Nusantara antara lain berasal dari Coromandel dan Malabar. Teori ini didasarkan pada argumen adanya persamaan mazhab fiqih di kedua wilayah terebut. Mazhab Syafi’i yang mayoritas diikuti oleh mayoritas Muslim di Nusantara merupakan mazhab yang dominan di wilayah Coromandel dan Malabar. Menurut Arnold, para pedagang Muslim dari Coromandel dan Malabar mempunyai peranan penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Kehadiran sejumlah besar padagang ini di pelabuhan-pelabuhan Indonesia tidak hanya berdagang, tetapi juga menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat (Husda, 2016: 18-20)  

2.      Teori Arab/Mekkah

Teori arab merupakan salah satu teori yang biasa dijelaskan dalam penulisan sejarah. Teori ini disebut juga dengan teori Timur Tengah yang dipelopori oleh beberapa sejarawan, di antaranya adalah Crawfurd, Keijzer, Naimann, de Hollander, dan juga ada beberapa sejarawan Indonesia seperti Hasjmi, Al-Attas, Buya Hamka, Hoesein Djajadiningrat, dan Mukti Ali. Penting diketahui, bahwa Coromandel dan Malabar, menurut Arnold bukanlah satu-satunya tempat Islam dibawa ke Nusantara. Islam di Indonesia juga dibawa oleh para pedagang dari Arabia. Para pedagang Arab ini terlibat aktif dalam penyebaran Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak awal abad ke-7 dan ke- 8 Masehi.

Asumsi ini didasarkan pada sumber-sumber China yang menyebutkan bahwa menjelang perempatan ketiga abad ke-7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatera. Bahkan, beberapa orang Arab ini telah melakukan perkawinan campur dengan penduduk pribumi yang kemudian membentuk inti sebuah komunitas Muslim yang para anggotanya telah memeluk agama Islam. Teori ini semula dikemukakan oleh Crawfurd yang mengatakan bahwa Islam dikenalkan pada masyarakat Nusantara langsung dari Tanah Arab, meskipun hubungan bangsa Melayu-Indonesia dengan umat Islam di pesisir Timur India juga merupakan faktor penting. 

Berdasarkan teori Arab dari Buya Hamka yang tertulis dalam historiografi Indonesia, dijelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi yang mendasarkan teori pada berita China dari zaman T'ang. Dalam catatan Tionghoa dijelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M tepatnya di wilayah Sumatera dalam perkembangan perdagangan maritim Kerajaan Sriwijaya dengan dukungan dari mubaligh dan pedagang-pedagang muslim. Hamka memberikan argumentasi bahwa Gujarat hanya sebagai tempat singgah, sedangkan Mekkah atau Mesir adalah sebagai tempat pengambilan ajaran Islam. Adapun masuknya Islam ke Indonesia melalui dua jalur, yaitu:
a.       Jalur Utara, dengan rute: Arab (Mekkah dan Medinah)
1)      Damaskus
2)      Bagdad
3)      Gujarat (pantai Barat India)
4)      Srilanka
5)      Indonesia.  
b.      Jalur Selatan, dengan rute: Arab (Mekkah dan Medinah)
1)      Yaman
2)      Gujarat (pantai barat India)
3)      Srilanka
4)      Indonesia.

Hubungan antara timur tengah dengan nusantara terbagi dalam beberapa fase. Pada fase pertama, sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12 hubungan Timur Tengah dengan Nusantara yaitu berkenaan dengan perdagangan. Kemudian fase berikutnya sampai akhir abad ke-15 hubungan antara keduanya terlihat lebih luas. Barulah sejak abad ke-16 sampai abad ke-17 hubungan Timur Tengah dengan Nusantara terjalin lebih bersifat politik di samping kegiatan keagamaan. 

Taufik Abdullah mengkompromikan teori-teori di atas dengan menyatakan bahwa memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad 1 H atau abad ke-7 atau 8 M, akan tetapi Islam pada waktu itu baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Islam barulah masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Baghdad ibukota Abbasiyah oleh Hulagu.

Kehancuran ini menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan aktivitas perdagangan ke arah Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Berdasarkan teori tersebut, dapat diketahui juga beberapa pihak yang memainkan peranan penting dalam menyebarkan Islam di Nusantara, yaitu pedagang dan sufi. Para pedagang Arab, Persia, dan Gujarat/India datang ke daerah-daerah di Indonesia untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Interaksi yang terjadi antara para pedagang muslim dengan penduduk setempat, memungkinkan agama Islam kemudian terus berkembang hingga berdirinya sebuah kerajaan, seperti kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Pada saat itu, Pasai menjadi pusat perdagangan yang banyak disinggahi para pedagang dari berbagai negara, termasuk para pedagang Islam dari Gujarat dan Persia.

Demikian pula sebaliknya, para pedagang dari berbagai daerah di Indonesia, seperti para pedagang Jawa, juga singgah dan berdagang di Pasai. Interaksi yang terjadi antara para pedagang Arab, Persia, dan Gujarat dengan pedagang Jawa, Islam juga berkembang di Pulau Jawa. Perkembangan Islam di Pulau Jawa terjadi sangat cepat, seiring dengan semakin lemahnya Kerajaan Majapahit. Komunitas muslim di Jawa kemudian mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa, yakni Kerajaan Demak. Dalam perkembangannya Kerajaan Demak tumbuh menjadi pusat penyebaran agama Islam ke berbagai daerah di Indonesia.

Adapun para sufi juga memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Mereka mengembara sekaligus berdagang di wilayah-wilayah Nusantara. Seperti Sunan kudus misalnya, salah seorang dari Walisongo yang sangat dihormati, seorang alim, sufi sekaligus saudagar yang kaya raya. Selain itu, keberhasilan mereka dalam syiar Islam juga lebih disebabkan dalam menyajikan Islam menggunakan kemasan yang atraktif, yaitu menekankan kesesuaian Islam dengan tradisi lama atau kontinuitas, daripada perubahan drastis dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal (Hindu dan Buddha).

Di samping itu, para sufi gemar menawarkan pertolongan, misalnya menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita masyarakat dan mengimbangi ilmu magis yang berkembang dalam masyarakat.  Peranan penting para sufi juga ditandai dengan berkembangnya aliran-aliran sufisme atau mistik yang melembaga dalam tarekat-tarekat di Indonesia pada abad ke-6 dan ke-7. Beberapa wali mencampurkan ajaran Islam dengan mistik, sehingga timbul suatu sinkretisme. Mereka bersedia memakai unsur-unsur kultur pra-Islam dalam menyebarkan agama Islam. Para sufi menyebarkan Islam melalui dua cara, yaitu: 

a.       Dengan membentuk kader mubaligh agar mampu mengajarkan dan menyebarkan agama Islam di daerah asalnya; dan 
b.      Melalui karya tulis yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat, seperti Hamzah Fanshuri yang telah menulis Asrar al-Arifin fi Bayan ila al-Suluk wal Tauhid dan Syair Perahu yang merupakan syair Sufi.
c.       Melalui peranan para pedagang dan sufi tersebut, dapat diketahui pola penyebaran Islam di Nusantara, sebagai berikut.
d.      Perdagangan, pedagang muslim yang berdagang ke Indonesia makin lama makin banyak sehingga membentuk pemukiman yang disebut Pekojan. Dari Pekojan inilah mereka berinteraksi, dan berasimilasi dengan warga lokal sembari menyebarkan agama Islam.
e.       Perkawinan, pedagang muslim yang masuk ke Indonesia banyak yang menikah dengan warga lokal. Sebelum perkawinan berlangsung, para wanita pribumi yang belum beragama Islam diminta mengucapkan syahadat sebagai tanda menerima Islam sebagai agamanya. Melalui proses interaksi ini penduduk pribumi lambat laun mengenal nilai dan ajaran Islam.
f.        Pendidikan, yang mana setelah terbentuk masyarakat muslim pribumi, para guru agama, kiai serta ulama memberikan pendidikan berawal dari rumah, surau, masjid, dan mushalla. Setelah itu, mereka mendirikan madrasah dan pondok pesantren untuk mendidik generasi muda yang tertarik menjadi santri. Pesantren ini terbuka bagi siapapun dan dari daerah manapun. Semakin terkenal kiai yang mengajar di sebuah pesantren itu, semakin besar pula pengaruh pesantren tersebut di tengahtengah masyarakat. Setelah selesai mengikuti pendidikan, mereka kembali ke kampung halaman masing-masing. Ada pula yang pergi ke tempat-tempat lain; di sana para santri berdakwah dan mengajarkan Islam. Aktivitas seperti inilah yang turut memperluas pengaruh Islam ke berbagai penjuru Nusantara. \
g.      Tasawuf, ajaran tasawuf memudahkan orang yang telah mempunyai dasar ketuhanan lain untuk mengerti dan menerima ajaran Islam. Ajaran ini banyak dijumpai dalam cerita babad dan hikayat masyarakat setempat. Beberapa tokoh penyebar tasawuf yang terkenal adalah Syaikh Hamzah Fansuri, Syaikh Syamsudin, Syaikh Abdul Samad, dan Syaikh Nuruddin ar-Raniri.
h.      Kesenian, yang mana penyebaran agama Islam tampak dalam wujud peninggalan seni bangunan, seni pahat, seni musik dan seni sastra. Hasil-hasil seni ini dapat pula dilihat pada bangunan masjid kuno di Aceh, Demak, Cirebon, dan Banten. Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan, sehingga kesenian mengambil peran penting dalam penyebaran Islam melalui budaya.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241989403

Selain karena pola penyebaran Islam yang relevan, terdapat pula faktor-faktor yang menyebabkan Islam mudah diterima dan berkembang di Nusantara, antara lain: 

                1)       Syarat-syarat masuk agama Islam sangat mudah. Seseorang telah dianggap masuk Islam bila ia telah mengucapkan dua kalimat syahadat.
                2)       Ajaran Islam tidak mengenal kasta, dan menganggap semua manusia mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah. Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh status sosial, akan tetapi oleh ketakwaannya kepada Allah.
                3)       Upacara-upacara keagamaan dalam ajaran Islam sangat sederhana dan tidak harus mengeluarkan banyak biaya.
                4)       Agama Islam yang menyebar di Indonesia disesuaikan dengan adat dan tradisi Nusantara dan dalam penyebarannya dilakukan dengan damai tanpa kekerasan.
                5)       Sifat bangsa Indonesia yang ramah tamah memberi peluang untuk bergaul lebih erat dengan bangsa lain. Di dalam pergaulan yang erat itu kemudian terjadi saling mempengaruhi dan saling pengertian.
                6)       Runtuhnya Kerajaan Majapahit turut memperlancar penyebaran agama Islam di Nusantara. g. Semangat para penganut Islam untuk terus menyebarkan agama yang telah dianutnya, yang mana bagi penganut Islam, menyebarkan agama adalah sebuah kewajiban.

3.      Teori Persia

Selain teori India dan teori Arab, ada lagi teori Persia. Teori Persia ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara ini berasal dari Persia, bukan dari India dan Arab. Teori ini didasarkan pada beberapa unsur kebudayaan Persia, khususnya Syi’ah yang ada dalam kebudayaan Islam di Nusantara. Di antara pendukung teori ini adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Ini merupakan alasan pertama dari teori ini. Berdasarkan analisis sosio-kultural, terdapat titik-titik kesamaan antara yang berlaku dan berkembang di kalangan masyarakat Islam Indonesia dengan di Persia. Misalnya, perayaan Tabut di beberapa tempat di Indonesia, dan berkembangnya ajaran Syekh Siti Jenar, ada kesamaan dengan ajaran Sufi al-Hallaj dari Iran Persia. Dia mendasarkan analisisnya pada pengaruh sufisme Persia terhadap beberapa ajaran mistik Islam (sufisme) Indonesia.

Ajaran manunggaling kawula gusti Syeikh Siti Jenar merupakan pengaruh dari ajaran wahdat al-wujud al-Hallaj dari Persia. Alasan kedua, penggunaan istilah bahasa Persia dalam sistem mengeja huruf Arab, terutama untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajaran Al-Qur’an. Jabar (Arab-fathah) untuk menghasilkan bunyi “a” (Arab; kasrah) untuk menghasilkan bunyi “i” dan “e”; serta pes (Arab, dhammah) untuk menghasilkan bunyi “u” atau “o”. Dengan demikian, pada awal pelajaran membaca Al-Qur’an, para santri harus menghafal alifjabar “a”, alifjer “i” dan alif pes “u”/”o”. Cara pengajaran seperti ini, pada masa sekarang masih dipraktekkan di beberapa pesantren dan lembaga pengajian Al-Qur’an di pedalaman Banten. Juga, huruf sin tanpa gigi merupakan pengaruh Persia yang membedakan dengan huruf sin dari Arab yang bergigi. 

Ketiga, peringatan Asyura atau 10 Muharram sebagai salah satu hari yang diperingati oleh kaum Syi’ah, yakni hari wafatnya Husain bin Abi Thalib di Padang Karbala. Di Jawa dan juga di Aceh, peringatan ini ditandai dengan pembuatan bubur Asyura. Di Minangkabau dan Aceh, bulan Muharram disebut dengan bulan Hasan-Husain. Di Sumatera Tengah sebelah barat, ada upacara Tabut, yaitu mengarak ‘keranda Husain’ untuk dilemparkan ke dalam sungai atau perairan lainnya. Keranda tersebut disebut dengan Tabut yan berasal dari bahasa Arab.  Hamka menolak teori ini dengan alasan, bahwa apabila Islam masuk abad ke-7 M. yang ketika itu kekuasaan dipimpin Khalifah Umayyah (Arab), sedangkan Persia belum menduduki kepemimpinan dunia Islam. Selain itu, masuknya Islam dalam suatu wilayah, juga identik dengan langsung berdirinya sebuah kekuasaan politik Islam.

4.      Teori Cina

Sebenarnya, peranan orang China terhadap Islamisasi di Indonesia perlu mendapat perhatian khusus. Banyaknya unsur kebudayaan China dalam beberapa unsur kebudayaan Islam di Indonesia perlu mempertimbangkan peran orang-orang China dalam Islamisasi di Nusantara, karenanya ”teori China” dalam Islamisasi tidak bisa diabaikan. H.J. de Graaf, misalnya, telah menyunting beberapa literature Jawa klasik yang memperlihatkan peranan orang-orang China dalam pengembangan Islam di Indonesia. Dalam tulisan-tulisan tersebut, disebutkan bahwa tokoh-tokoh besar semacam Sunan Ampel (Raden Rahmat/Bong Swi Hoo) dan Raja Demak (Raden Fatah/Jin Bun) merupakan orang-orang keturunan China.

Pandangan ini juga didukung oleh salah seorang sejarawan Indonesia, Slamet Mulyana, dalam bukunya yang kontroversial, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya negaranegara Islam di Nusantara. Denys Lombard juga telah memperlihatkan besarnya pengaruh China dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia, seperti makanan, pakaian, bahasa, seni bangunan, dan sebagainya. Lombard mengulas semua ini dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya yang terdiri dari tiga jilid. Teori ini menjelaskan bahwa etnis Cina Muslim sangat berperan dalam proses penyebaran agama Islam di Nusantara. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada teori Arab, hubungan Arab Muslim dan Cina sudah terjadi pada Abad pertama Hijriah.

Dengan demikian, Islam datang dari arah barat ke Nusantara dan ke Cina berbarengan dalam satu jalur perdagangan. Islam datang ke Cina di Canton (Guangzhou) pada masa pemerintahan Tai Tsung (627-650) dari Dinasti Tang, dan datang ke Nusantara di Sumatera pada masa kekuasaan Sriwijaya, dan datang ke pulau Jawa tahun 674 M berdasarkan kedatangan utusan raja Arab bernama Ta cheh/Ta shi ke kerajaan Kalingga yang di perintah oleh Ratu Sima. 

B.     Strategi dakwah Islam di Indonesia

Situasi masyarakat sebelum datangnya Islam terpengaruhi oleh sistem kasta dalam agama Hindu yang menjadikan perbedaan golongan kelas dalam kehidupan. Akibatnya, kehidupan masyarakat menjadi bertingkat dan berkelompok. Masyarakat Hindu ketika itu membagi kastanya menjadi empat (4) kasta yaitu: kasta brahmana, kasta ksatria, kasta waisya, dan kasta sudra. Sebagai kasta yang paling rendah, kasta sudra sering tertindas oleh kasta lainnya, sehingga kehidupannya selalu diliputi keresahan.

Datangnya Islam mengikis keadaan masyarakat yang berkasta, merubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik tanpa adanya penindasan atas perbedaan kasta. Perubahan ini tidak terlepas atas peran para wali dan para muballigh. Penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17 dikenal dengan istilah Walisongo. Era Walisongo menandai berakhirnya dominasi Hindu Budha dalam budaya Nusantara dan dirubah menjadi kebudayaan Islam. Peranan mereka sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam dan penyebaran ajaran agama Islam di Jawa.

Penyebaran Islam terutama di Jawa banyak dilakukan oleh para wali. Wali dalam hal ini Wali Allah atau Waliyullah, adalah orang suci yang mula-mula menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Jadi, wali adalah orang yang mengabdikan diri kepada Allah dengan menyerahkan upaya lahiriah dan rohaniah untuk kepentingan agama Islam dengan disertai kelebihan karomah, dimana orang biasa tidak mungkin melakukannya.

Syech Yusup bin Sulaiman dalam kitab Jami'u Karamati al-Aulia berpendapat bahwa Wali ialah orang yang sangat dekat kepada Allah lantaran penuh ketaatannya dan oleh karena itu Allah memberikan kuasa kepadanya dengan Karomah dan penjagaan. Wali adalah orang yang terpelihara dari perbuatan dosa, baik dosa besar atau pun kecil, juga terhidar dari terjerumusnya hawa nafsu meskipun hanya sekejap dan apabila melakukan dosa maka segera bertaubat kepada Allah SWT. Wali-wali itu dianggap sebagai orang yang mulamula menyiarkan agama Islam di Jawa dan biasa dinamakan Wali Sembilan atau Wali Songo.

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98021043410572225

Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat. Kedua mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan Walisongo beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan Drajad, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji (Pangeran Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh Suta Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.

Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan. Pada dasarnya, para walisongo tidak hidup satu waktu secara bersamaan, namun satu sama lain mempunyai ikatan erat baik karena pernikahan ataupun hubungan guru dengan murid.

Setiap individu Walisongo mempunya peran dan kekhasan tersendiri dalam proses penyebaran agama Islam di Nusantara. Maulana Malik Ibrahim yang memposisikan dirinya sebagai "tabib" bagi kerajaan Hindu Majapahit, Sunan Giri yang disebut sebagai "Paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga dengan kekhasannya karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa, yaitu nuansa Hindu dan Budha.

Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Selain istilah wali, di Jawa dikenal juga istilah sunan. Sunan adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Gelar ini biasa diberikan untuk mubaligh atau penyebar agama Islam, khususnya di tanah Jawa pada abad ke-15 hingga abad ke-16. Menurut Hamka istilah Sunan berasal dari singkatan kata bahasa Jawa Susuhunan. Artinya adalah tempat penerima "susunan" jari yang sepuluh, atau dengan kata lain sesembahan. Namun demikian, istilah tersebut bukanlah istilah umum dalam agama Islam, melainkan hanya sebutan yang sifatnya sosio-kultural, khususnya pada masyarakat Jawa di Indonesia. Selain sunan, ada pula mubaligh lainnya yang disebut syekh, kyai, ustadz, penghulu, atau tuan guru.

Dari sejumlah sunan, terdapat 9 orang yang paling terkenal diantara mereka yang dikenal dengan sebutan Walisongo, yaitu dari kata wali (bahasa Arab, yang berarti wakil), dan sanga (bahasa Jawa, yang berarti sembilan). Mereka dianggap sebagai mubaligh agung, baik dari segi ilmu agama Islam maupun bobot segala jasa dan karomahnya terhadap kehidupan bermasyarakat dan kenegaraannya.

Dari silsilahnya Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal. 

Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata. 

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605827971

Sekilas tentang terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo, diantaranya adalah para Walisongo, antara lain:

1.      Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi. Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw. 

Aktifitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah-kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

2.      Sunan Giri     

Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.

3.      Sunan Bonang

Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernapasan yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim   Ù… Ù„ ا ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'. Ia menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Salat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia

4.      Sunan Ampel

Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina."

5.      Sunan Drajat

Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog-pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan. 

Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang'.

Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.

6.      Sunan Muria

Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti. Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman.

7.      Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

8.      Sunan Kudus

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali -yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

9.      Sunan Kalijaga

Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk jadi Raja. Taman pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede-Yogyakarta). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, selatan Demak.

Strategi dakwah yang digunakan Walisongo adalah penerapan strategi yang dikembangkan para sufi Sunni dalam menanamkan ajaran Islam melalui keteladanan yang baik. Jejak yang ditinggalkan Walisongo itu terlihat dalam kumpulan nasihat agama yang termuat dalam tulisan-tulisan para murid dan ahli waris Wali Songo. Baik berupa buku sejarah, nasab, silsilah, suluk, babad, manaqib dan lainlain yang menggambarkan hakikat aliran tasawuf dan dakwah yang mereka anut dan kembangkan. Strategi Dakwah yang dilakukan para wali berbeda-beda, sebagai contoh adalah Sunan Kalijaga menggunakan strategi berdakwah dengan mengajak Pembesar Hindu di Semarang.

Mulanya terjadi perdebatan seru, tetapi perdebatan itu kemudian berakhir dengan rasa tunduk Sang bangsawan itu untuk masuk Islam. Kejadian mengharukan ketika bangsawan itu rela melepaskan jabatan dan rela meninggalkan harta dan keluarga untuk bergabung dalam dakwah Sunan Kalijaga. Strategi yang dilakukan Sunan Kudus tampak unik dengan mengumpulkan masyarakat untuk melihat lembu yang dihias sedemikian rupa sehingga tampil bagai pengantin itu kemudian diikat di halaman masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyunduyun menyaksikan lembu yang diperlakukan secara istimewa dan aneh itu. Sesudah mereka datang dan berkumpul di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya.

Cara ini praktis dan strategis untuk menarik minat masyarakat yang masih banyak menganut agama Hindu. Seperti diketahui, lembu merupakan binatang keramat Hindu. Sebagai contoh yang lain Sunan Kudus dan Sunan Ampel yang berkuasa di daerah-daerah di sekitar kediaman mereka, dengan demikian kekuatan diplomasi dan kemampuan dalam berhujjah atas kekuatan pemerintahan Majapahit.

Masyarakat Indonesia dahulu memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Pada mulanya sebelum Walisongo menggunakan media wayang, bentuk wayang menyerupai relief atau arca yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan. Pementasan wayang merupakan acara yang amat digemari masyarakat. Masyarakat menonton pementasan wayang berbondong-bondong setiap kali dipentaskan.

Sebelum Walisongo menggunakan wayang sebagai media mereka, sempat terjadi perdebatan diantara mereka mengenai adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah, doktrin keesaan Tuhan dalam Islam. Selanjutnya para Wali melakukan berbagai penyesuaian agar lebih sesuai dengan ajaran Islam. Bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk menyerupai manusia menjadi bentuk yang baru. Wajahnya miring, leher dibuat memanjang, lengan memanjang sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau. 

Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran- ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.  Dalam sejarahnya, para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia.

Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus dicari (Wayang Golek)”. Di samping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya, para wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan tembangtembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan lakon Islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah satu Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan kesenian lokal.

Dalam hal ini menyebar luaskan Islam melalui bahasa-bahasa simbol, media, dan budaya merupakan salah satu bentuk perjuangan yang cukup efektif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa strategi yang digunakan mengacu pada tiga strategi dakwah, yaitu Al-Hikmah atau kebijaksanaan, Al-Mauizah Hasanah atau nasihat yang baik, dan AlMujadalah atau berdiskusi secara sinergis dengan menghasilkan satu alternatif pemikiran tanpa menyudutkan salah satu kelompok. 

C.    Tradisi dan Seni Budaya Lokal Umat Islam di Nusantara

1.      Tradisi Lokal

Tradisi adalah kebiasaan atau adat istiadat yang dilakukan turun temurun oleh masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa sebelum Islam datang, masyarakat Nusantara sudah mengenal berbagai kepercayaan dan memiliki beragam tradisi lokal. Melalui kehadiran Islam maka kepercayaan dan tradisi di Nusantara tersebut membaur dan dipengaruhi nilai-nilai Islam. Karenanya muncullah tradisi Islam Nusantara sebagai bentuk akulturasi antara ajaran Islam dengan tradisi lokal Nusantara. 

Tradisi Islam di Nusantara digunakan sebagai metode dakwah para ulama zaman itu. Para ulama tidak memusnahkan secara total tradisi yang telah ada di masyarakat. Mereka memasukkan ajaranajaran Islam ke dalam tradisi tersebut, dengan harapan masyarakat tidak merasa kehilangan adat dan ajaran Islam dapat diterima. Seni budaya, adat, dan tradisi yang bernapaskan Islam tumbuh dan berkembang di Nusantara. Tradisi ini sangat bermanfaat bagi penyebaran Islam di Nusantara. Untuk itulah, kita sebagai generasi muda Islam harus mampu merawat, melestarikan, mengembangkan dan menghargai hasil karya para ulama terdahulu. 

Mengingat zaman modern sekarang ini ada sebagian kelompok yang mengharamkan dan ada sebagian yang menghalalkan. Mereka yang mengharamkan beralasan pada zaman Rasulullah saw. tidak pernah ada. Mereka yang membolehkan dengan dasar bahwa tradisi tersebut digunakan sebagai sarana dakwah dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kita sebagai generasi penerus Islam kita harus bijaksana dalam menyikapi tradisi tersebut. Memang harus diakui ada tradisi-tradisi lokal yang tidak sesuai dengan Islam. Tradisi seperti ini harus kita tolak, dan buang supaya tidak ditiru oleh generasi berikutnya. 

Para ulama dan wali pada zaman dahulu tentu telah mempertimbangkan tradisi-tradisi tersebut dengan sangat matang baik dari segi madharatmafsadat maupun halal-haramnya. Mereka sangat paham hukum agama, sehingga tidak mungkin mereka menciptakan tradisi tanpa pertimbanganpertimbangan tersebut. Banyak sekali tradisi atau budaya Islam yang berkembang hingga saat ini. Semuanya mencerminkan kekhasan daerah atau tempat masing-masing. Berikut ini adalah beberapa tradisi atau budaya Islam dimaksud. 

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98021043410572285

a.       Tradisi Halal Bihalal. 

Halal bihalal dilakukan pada Bulan Syawal, berupa acara saling bermaaf-maafan. Tujuan halal bihalal selain saling bermaafan adalah untuk menjalin tali silaturahim dan mempererat tali persaudaraan. Sampai saat ini tradisi ini masih dilakukan di semua lapisan masyarakat. Mulai keluarga, tingkat RT sampai istana kepresidenan. Bahkan acara halal bihalal sudah menjadi tradisi nasional yang bernafaskan Islam. Istilah halal bihalal berasal dari bahasa Arab (halla atau halal) tetapi tradisi halal bi halal itu sendiri adalah tradisi khas bangsa Indonesia, bukan berasal dari Timur Tengah. Bahkan bisa jadi ketika arti kata ini ditanyakan kepada orang Arab, mereka akan kebingungan dalam menjawabnya. Halal bihalal sebagai sebuah tradisi khas Islam Indonesia lahir dari sebuah proses sejarah. Tradisi ini digali dari kesadaran batin tokoh-tokoh umat Islam masa lalu untuk membangun hubungan yang harmonis (silaturahim) antar umat. Dengan acara halal bihalal, pemimpin agama, tokoh-tokoh masyarakat dan pemerintah akan berkumpul, saling berinteraksi dan saling bertukar informasi. 

b.      Tradisi Tabot atau Tabuik.

Tabot atau Tabuik, adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad saw. Kedua cucu Rasulullah saw. ini gugur dalam peperangan di Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M). Perayaan di Bengkulu pertama kali dilaksanakan oleh Syaikh Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam Senggolo pada tahun 1685. Syaikh Burhanuddin menikah dengan wanita Bengkulu kemudian keturunannya disebut sebagai keluarga Tabot. Upacara ini dilaksanakan dari 1 sampai 10 Muharram (berdasar kalendar Islam) setiap tahun. Istilah Tabot berasal dari kata Arab, “tabut”, yang secara harfah berarti kotak kayu atau peti. Tidak ada catatan tertulis sejak kapan upacara Tabot mulai dikenal di Bengkulu. Namun, diduga kuat tradisi ini dibawa oleh para tukang yang membangun Benteng Marlborought (1718-1719) di Bengkulu. Para tukang bangunan tersebut, didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan India. 

c.       Tradisi Kupatan (Bakdo Kupat) 

Di Pulau Jawa bahkan sudah berkembang ke daerah-daerah lain terdapat tradisi kupatan. Tradisi membuat kupat ini biasanya dilakukan seminggu setelah hari raya Idul Fitri. Biasanya masyarakat berkumpul di suatu tempat seperti mushala dan masjid untuk mengadakan selamatan dengan hidangan yang didominasi kupat (ketupat). Kupat merupakan makanan yang terbuat dari beras dan dibungkus anyaman (longsong) dari janur kuning (daun kelapa yang masih muda). Sampai saat ini ketupat menjadi maskot Hari Raya Idul Fitri. Ketupat memang sebagai makanan khas lebaran. Makanan itu ternyata bukan sekadar sajian pada hari kemenangan, tetapi punya makna mendalam dalam tradisi Jawa. Oleh para Wali, tradisi membuat kupat itu dijadikan sebagai sarana untuk syiar agama. Kupat adalah singkatan dari ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan menjadi simbol untuk saling memaafkan. 

d.      Tradisi Sekaten di Surakarta dan Yogyakarta. 

Tradisi Sekaten dilaksanakan setiap tahun di Keraton Surakarta Jawa Tengah dan Keraton Yogyakarta. Tradisi ini dilaksanakan dan dilestarikan sebagai wujud mengenang jasa-jasa para Walisongo yang telah berhasil menyebarkan Islam di tanah Jawa. Peringatan yang lazim dinamai Maulud Nabi itu, oleh para wali disebut Sekaten, yang berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat Syahadat). Tradisi ini sebagai sarana penyebaran agama Islam yang pada mulanya dilakukan oleh Sunan Bonang. Dahulu setiap kali Sunan Bonang membunyikan gamelan diselingi dengan lagu-lagu yang berisi ajaran agama Islam serta setiap pergantian pukulan gamelan diselingi dengan membaca syahadatain. Jadi, Sekaten diadakan untuk melestarikan tradisi para wali dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw.

e.       Tradisi Grebeg. 

Tradisi untuk mengiringi para raja atau pembesar kerajaan. Grebeg pertama kali diselenggarakan oleh keraton Yogyakarta oleh Sultan Hamengkubuwono ke-1. Grebeg dilaksanakan saat Sultan memiliki hajat dalem berupa menikahkan putra mahkotanya. Grebek di Yogyakarta di selenggarakan 3 tahun sekali yaitu: Pertama grebek pasa-syawal diadakan setiap tanggal 1 Syawal bertujuan untuk menghormati Bulan Ramadhan dan Lailatul Qadr. Kedua grebeg besar, diadakan setiap tanggal 10 dzulhijjah untuk merayakan hari raya kurban. Ketiga grebeg maulud setiap tanggal 12 Rabiul awwal untuk memperingati hari Maulid Nabi Muhammad saw. Selain kota Yogyakarta yang menyelenggarakan pesta grebeg adalah kota Solo, Cirebon dan Demak.

f.        Tradisi Grebeg Besar di Demak 

Tradisi Grebeg Besar merupakan upacara tradisional yang setiap tahun dilaksanakan di Kabupaten Demak Jawa Tengah. Tradisi ini dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah bertepatan dengan datangnya Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban. Tradisi ini cukup menarik karena Demak merupakan pusat perjuangan Walisongo dalam dakwah. Pada awalnya Grebeg Besar dilakukan tanggal 10 Dzulhijjah tahun 1428 Caka dan dimaksudkan sekaligus untuk memperingati genap 40 hari peresmian penyempurnaan Masjid Agung Demak. Mesjid ini didirikan oleh Walisongo pada tahun 1399 Caka, bertepatan 1477 Masehi. Tahun berdirinya masjid ini tertulis pada bagian Candrasengkala “Lawang Trus Gunaning Janmo”. Pada tahun 1428 tertulis dalam Caka tersebut Sunan Giri meresmikan penyempurnaan masjid Demak. Tanpa diduga pengunjung yang hadir sangat banyak. Kesempatan ini kemudian digunakan para Wali untuk melakukan dakwah Islam. Jadi, tujuan semula Grebeg Besar adalah untuk merayakan Hari Raya Kurban dan memperingati peresmian Masjid Demak.
 
g.      Tradisi Kerobok Maulid di Kutai dan Pawai Obor di Manado.
 
Di kawasan Kedaton Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, juga diselenggarakan tradisi yang dinamakan Kerobok Maulid. Istilah Kerobok berasal dari Bahasa Kutai yang artinya berkerubun atau berkerumun oleh orang banyak. Tradisi Kerobok Maulid dipusatkan di halaman Masjid Jami’ Hasanuddin, Tenggarong. Tradisi ini dilaksanakan dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw., tanggal 12 Rabiul Awwal. Kegiatan Kerobok Maulid ini diawali dengan pembacaan Barzanji di Masjid Jami’ Hasanudin Tenggarong. Kemudian dari Keraton Sultan Kutai, puluhan prajurit Kesultanan akan keluar dengan membawa usung-usungan yang berisi kue tradisional, puluhan bakul Sinto atau bunga rampai dan Astagona. Usung-usungan ini kemudian dibawa berkeliling antara Keraton dan Kedaton Sultan dan berakhir di Masjid Jami’ Hasanuddin. Kedatangan prajurit keraton dengan membawa Sinto, Astagona dan kue-kue di Masjid Hasanudin ini akan disambut dengan pembacaan Asrakal yang kemudian membagi-bagikannya kepada warga masyarakat yang ada di dalam Masjid. Akhir dari upacara Kerobok ini ditandai dengan penyampaian hikmah maulid oleh seorang ulama.

h.      Tradisi Rabu Kasan di Bangka. 

Tradisi Rabu Kasan dilaksanakan di Kabupaten Bangka setiap tahun, tepatnya pada hari rabu terakhir bulan Safar. Hal ini sesuai dengan namanya, yakni Rabu Kasan berasal dari Kara Rabu Pungkasan (terakhir). Upacara Rabu Kasan sebenarnya tidak hanya dilakukan di Bangka saja, tetapi juga di daerah lain, seperti di Bogor Jawa Barat dan Gresik Jawa Timur. Pada dasarnya maksud dari tradisi ini sama, yaitu untuk memohon kepada Allah Swt. agar dijauhkan dari bala’ (musibah dan bencana). Di Kabupaten Bangka, tradisi ini dipusatkan di desa Air Anyer, Kecamatan Merawang. Sehari sebelum upacara Rabu Kasan di Bangka diadakan, semua penduduk telah menyiapkan segala keperluan upacara tersebut seperti ketupat tolak balak, air wafak, dan makanan untuk dimakan bersama pada hari Rabu esok hari. Tepat pada hari Rabu Kasan, kira-kira pukul 07.00 WIB semua penduduk telah hadir di tempat upacara dengan membawa makanan dan ketupat tolak bala sebanyak jumlah keluarga masing-masing. Acara diawali dengan berdirinya seseorang di depan pintu masjid dan menghadap keluar lalu mengumandangkan adzan. Lalu disusul dengan pembacaan doa bersama-sama. Selesai berdoa semua yang hadir menarik atau melepaskan anyaman ketupat tolak balak yang telah tersedia tadi, satu persatu menurut jumlah yang dibawa sambil menyebut nama keluarganya masingmasing. Kemudian dilanjutkan dengan acara makan bersama. Setelah itu, masing-masing pergi mengambil air wafak yang telah disediakan untuk semua angngota keluarganya. Setelah selesai acara ini mereka pulang dan bersilahturahmi ke rumah tetangga atau keluarganya. 

i.        Tradisi Dugderan di Semarang. 

Tradisi dugderan merupakan tradisi khas yang dilakukan oleh masyarakat Semarang, Jawa Tengah. Tradisi Dugderan dilakukan untuk menyambut datangnya bulan puasa. Dugderan biasanya diawali dengan pemberangkatan peserta karnaval dari Balaikota Semarang. Ritual dugderan akan dilaksanakan setelah shalat Asar yang diawali dengan musyawarah untuk menentukan awal bulan Ramadan yang diikuti oleh para ulama. Hasil musyawarah itu kemudian diumumkan kepada khalayak. Sebagai tanda dimulainya berpuasa dilakukan pemukulan bedug. Hasil musyawarah ulama yang telah dibacakan itu kemudian diserahkan kepada Kanjeng Gubernur Jawa Tengah. Setelah itu Kanjeng Bupati Semarang (Walikota Semarang) dan Gubernur bersama-sama memukul bedug kemudian diakhiri dengan doa. 

j.        Tradisi atau Budaya Tumpeng. 

Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut. Nasi tumpeng umumnya berupa nasi kuning, atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa, dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, budaya tumpeng sudah menjadi tradisi nasional bangsa Indonesia. Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah tradisional) dan dialasi daun pisang. Ada tradisi tidak tertulis yang menganjurkan bahwa pucuk dari kerucut tumpeng dihidangkan bagi orang yang dituakan dari orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Saat ini budaya tumpeng sudah menjadi tradisi nasional bangsa Indonesia. 

k.      Seni budaya lokal 

Seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia. Seni lahir melalui perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengaran (seni suara), maupun indra penglihatan (seni lukis) atau gerak (seni tari, drama, dll). Sedangkan budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi, termasuk sistem kehidupan beragama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni.

Kebudayaan adalah alat konseptual untuk melakukan penafsiran dan analisis (Garna, 2001: 157). Jadi keberadaan kebudayaan sangatlah penting, karena akan menunjang terhadap pembahasan mengenai eksistensi suatu masyarakat. Kebudayaan sebagai suatu system budaya, aktivitas dan hasil karya fisik manusia yang berada dalam suatu masyarakat dimana kemunculannya itu diperoleh melalui proses belajar, baik itu formal maupun informal. Hal ini menunjukan bahwa kebudayaan tidak akan hadir dengan sendirinya, melainkan ada karena adanya manusia dalam komunitas sosial, sehingga antara manusia, masyarakat dan kebudayaan akan saling mendukung. Manusia menciptakan kebudayaan sebagai usaha untuk mempertahankan hidupnya di muka bumi ini, karena dengan kebudayaan manusia akan mampu melaksanakan tugasnya di muka bumi ini sebagai khalifah.

Dengan kebudayaan pula kehidupan keagamaan manusia akan nampak, dan ini menjadikan pembeda terhadap jenis makhluk lainnya yang ada di muka bumi ini. Kebudayaan setiap masyarakat atau suku bangsa terdiri atas unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan. Ada beberapa unsur yang terdapat dalam kebudayaan, dimana kita sebut sebagai cultural universals, yang meliputi: peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan system-sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa (lisan dan tulisan), kesenian, sistem pengetahuan, dan religi (system kepercayaan) (Soekanto, 1990: 193).

Selanjutnya, ketika memahami unsur-unsur kebudayaan tersebut, maka kita bisa mengetahui tentang terdapatnya unsur-unsur kebudayaan yang mudah berubah dan ada pula unsur-unsur kebudayaan yang susah berubah. Adapun unsur-unsur budaya yang mudah berubah meliputi; seni, bahasa, teknologi. Sedangkan unsur-unsur budaya yang sulit berubah meliputi: agama (system kepercayaan), system social, dan system pengetahuan (Kahmad, 2002).

Budaya juga dibedakan menjadi dua, yaitu budaya kecil (little culture), dan budaya besar (great culture). Budaya kecil adalah budaya yang berada pada suatu masyarakat yang lingkupnya kecil (dianut oleh beberapa orang saja) atau juga disebut local culture. Sedangkan budaya besar adalah budaya yang dianut oleh banyak orang dengan skala kepenganutannya luas. Ketika budaya kecil dan budaya besar saling berhubungan melalui proses asimilasi, maka kemungkinannya budaya kecil tersebut akan tersisihkan atau terkalahkan oleh budaya besar. Hal ini menunjuikan bahwa eksistensi dari budaya besar tersebut begitu kuat dan luas sehingga dengan mudah dan cepat bisa masuk kepada budaya kecil yang dianut oleh hanya bebera orang saja, misalkan.

Budaya kecil (budaya local) yang ada pada suatu masyarakat merupakan budaya yang sudah dibangun sejak adanya umat manusia di muka bumi ini atau dengan kata lain, keberadaan budaya kecil sebagai bentuk dari keberhasilan umat manusia didalam mempertahankan hidupnya, karena bagaimanapun juga budaya kecil itu ada secara turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kehadiran budaya besar, tentunya akan membawa suatu perubahan yang akan terjadi pada suatu komunitas yang yang memiliki budaya kecil, sehingga keberadaan budaya besar akan tetap eksis dan dan bisa jadi keberadaan budaya kecil akan mengalami penyusuitan atau bahkan hilang dari eksistensinya pada suatu masyarakat. 

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241969672

Islam sejak kehadiranya dimuka bumi ini, telah memainkan peranannya sebagai salah satu agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Ini, tentunya membawa Islam sbagai bentuk ajaran agama yang mampu mengayomi keberagaman umat manusia dimuka bumi ini. Islam sebagai agama universal sangat menghargai akan ada budaya yang ada pada suatu masyarakat, sehingga kehadiran islam diyengah-tengah masyarakat tidak bertentangan, melainkan Islam dekat dengan kehidupan masyarakat, disinilah sebenarnya, bagaimana Islam mampu membuktikan dirinya sebagai ajaran yang flexsibel di dalam memahami kondisi kehidupan suatu masyarakat. Hal ini pun terjadi di Indonesia, dimana Islam yang ada di Indonesia merupakan hasil dari proses dakwah yang dilaksanakan secara cultural, sehingga Islam di Indonesia, mampu berkembang dan menyebar serta banyak dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia dalam waktu yang cukup singkat. Karena kehadiran Islam di Indonesia yang pada saat itu budaya local sudah dianut masyarakat Indonesia mampu masuk secara halus tanpa kekerasan, hal ini berkat dari ajaran Islam yang sangat menghargai akan pluralitas suatu masyarakat. 

Banyak kajian sejarah dan kajian kebudayaan yang mengungkap betapa besar peran Islam dalam perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia. Hal ini dapat di pahami, karena Islam merupakan agama bagi mayoritas penduduk Indonesia. Bahkan dalam perkembangan budaya daerah terlihat betapa nilainilai budaya Islam telah menyatu dengan nilai-nilai budaya di sebagian daerah di tanah air, baik dalam wujud seni budaya, tradisi, maupun peninggalan pisik. Sementara itu dalam pengembangan budaya nasional, peran Islam dalam terbentuknya wawasan persatuan dan kesatuan bangsa telah dibuktikan dalam sejarah. Islam dapat menjadi penghubung bagi berbagai kebudayaan daerah yang sebagian besar masyarakatnya adalah Muslim (Djojonegoro, 1996: 112).

Peran tersebut secara ekplisit dikemukakan oleh Presiden padaa sambutan Seminar Nasional Budaya Bangsa 10 November 1995, bahwa “Agama bukan saja telah menghindarkan berkembangnya yang sempit, tetapi secara tidak langsung juga ikut meletakan dasar-dasar kebudayaan nasional… Ajaran agama yang di anut oleh bangsa kita telah memberikan motivasi yang kuat bagi tumbuh dan berkembangnya pergerakan kebangsaan, lancarnya proklamasi kemerdekaan, gigihnya perjuangan bersenjata mengusir penjajah dan terarahnya pembangunan nasional. Walaupun pengaruh nilai-nilai Islam telah nyata dalam perkembangan seni budaya nasional, namun pengaruh tersebut lebih ditekankan kepada upaya perkembangan budaya nasional dalam makna yang dinamis.

Dengan demikian, bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa, agama dan kebudayaan lokal, perlu menumbuhkan dua macam system budaya itu adalah: sistem budaya nasional (supra etnik) dan sistem budaya daerah (etnik), Sementara itu, bangsa Indonesia yang terdiri dengan banyak suku bangsa dengan system budaya etnik-lokanya masing-masing. Sistem-sistem budaya yang otonom itu ditandai oleh pewarisan nilai-nilai melalui tradisi. Nilai-nilai tersebut telah berakar kuat dalam masyarakat yang bersangkutan. Seterusnya, dalam masyarakat etnik lokal itu sepanjang waktu terjadi vitalisasi dan aktualisasi nilai-nilai budayanya yang khas. Dalam rangka perkembangan budaya naaasional, kebudayaan etnik lokal itu sering kali berfungsi sebagai sumber atau sebagai acuan dalam penciptaan-penciptaaan baru (dalam bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi, dan sebagainya) yang kemudian ditampilkan dalam peri kehidupan lintas budaya. Sistem-sistem budaya etnik lokal inilah yang pada umumnya memberikan rasa berakar kepada rakyat Indonesia.

Berdasarkan kondisi tersebut diatas, diperlukan strategi untuk mencapai dua tujuan dasar pembinaan kebudayaan, yaitu: (1) Semakin kuatnya nilai-nilai penghayatan nilai-nilai budaya nasional agar mampu menyongsong masa depan bangasa yang ditandai oleh semakin canggihnya prkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan semakin meningkatnya persaingan ekonomi anter bangsa dan semakin kompleksnya arus informasi dan proses penduniannya yang lain. (2) Semakin kokohnya kesadaran bangsa akan jati dirinya yang ditandai oleh pewarisan nilai-nilai luhur, kokohnya kehidupan beragama, kesadaran sejarah dan daya cipta yang dimiliki (Djojonegoro, 1996: 109-110).

Tradisi Islam ibarat sebuah pohon (QS. Ibrahim, 24). Akarnya berada pada wahyu, dari akar ini tumbuhlah sekian banyak cabang dan ranting. Intinya adalah agama dan getahnya mengandung barakah, kebenaran suci, abadi dan tak tergantikan, kearifan abadi, dan penerapannya yang terus berkesinambungan sesuai dengan kondisi zaman. Tradisi Islam mencakup banyak hal, diantaranya meliputi pengetahuan, cara memandang dunia, nilai, dan jiwa kitab suci (Muhaemin, 2002: 13).

Seni budaya lokal islam adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia yang bernafaskan islami yang tumbuh dari lingkungan nusantara. Seni lahir melalui perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengaran (seni suara), maupun indra penglihatan (seni lukis) atau gerak (seni tari, drama,dll).

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian tentang seni seperti Aristoteles, dia mengemukakan seni yaitu kemampuan membuat sesuatu dalam hubungannya dengan upaya mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan oleh gagasan tertentu. Kemudian menurut Ki Hajar Dewantara yang mengemukan seni itu indah, menurutnya seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dan hidup perasaannya dan bersifat indah hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia lainnya. Sedangkan menurut Ensiklopedia seni adalah sebuah penciptaan benda atau segala hal yang karena kendahan bentuknya, orang senang melihat dan mendengar. Seni bernuansa Islami yang telah digarap dan berkembang di Indonesia antara lain :

1)      Seni Kaligrafi  


Di Indonesia, seni Kaligrafi ini telah berkembang mulai abad 12 masehi atau semenjak kerajaan Islam muncul dan berdiri dibeberapa wilayah Indonesia, seperti Aceh, Demak, Ternate, Tidore, Maluku, Cirebon, Banten, Madura, Nusa Tenggara barat, dan sebagainya. Kaligrafi dengan gaya kufi (Sumber: ganaislamika.com) 

2)      Ornamen Arabeska

Merupakan hiasan yang salin jalin-menjalin simpai, lilit melilit tumpeng tindih seperti irama huruf arab. Ragam hias ini mulanya berupa sederetan huruf Arab, tetapi dibentuk seperti bentuk binatang seperti burung, kuda dan singa. Dapat juga berbentuk manusia, buah-buahan dan lain sebagainya.

3)      Seni Musik

Disebut juga dengan handasah shawt atau musik yang berasaldari bahasa Arab yaitu musiqa. Ruang lingkup seni ini terbatas pada seni pembacaan ayat-ayat Al-Qur'an. Sehingga tidak bertalian dengan keberadaan kualitas instrumentalnya atau kualitas vokalisnya.

4)      Seni Arsitektur

Islam hadir mendorong lahirnya seni-seni baru dalam seni bangunan yang mengikuti kebutuhan masyarakat Islam, seperti bangunan tempat ibadah sebagai tempat berkumpulnya umat Islam. Beberapa masjid dengan seni arsitektur yang indah yaitu masjid di Aceh, Demak, Kudus dan di beberapa daerah lainnya di Nusantara yang menjadi kekayaan seni arsitektur yang terus berkembang sampai sekarang. Karya seni arsitektur pengaruh Islam juga tampak dalam bangunan keraton-keraton kerajaan Islam. Disamping itu, seni arsitektur juga tampak dalam makam-makam para raja kerajaan Islam di Nusantara. Interior Masjid Merapi (Sumber: kompas.com) 

Seni arsitektur menjadi fondasi sekaligus yang memungkasi sebuah bangunan. Karya seni rancang bangun menempatkan ikon sebagai penanda dalam setiap perjalanan kebudayaan setempat. Sehingga masing-masing kawasan memiliki simbolisasi-simbolisasi yang sarat makna dan identik dengan kearifan lokal di mana sebuah karya seni tata ruang itu lahir. Ia bukanlah ruang statis, tidak serta merta lahir dari kekosongan historis, melainkan hasil-olah akumulasi pengalaman, permenungan, imajinasi, serta pembacaan atas literasi maupun oralitas, yang kemudian tertuang dalam setiap detail tata ruang, sudut, garis, lengkung, ornamen, dan pewarnaannya. Sehingga menghasilkan karya inovatif yang mengandung nuansa estetis yang bernilai tinggi.

5)      Seni Tari

Sebagai negara dengan keanekaragaman budaya, Indonesia memiliki banyak macam tari. Dari Sabang hingga Merauke memiliki tari daerah masing-masing. Aceh punya tari saman, Jawa Tengah punya tari serimpi, Papua punya tari selamat datang, dan masih banyak lagi tari-tari yang bisa dipelajari dari masing-masing daerah yang ada di Indonesia.

Di beberapa daerah di Indonesia terdapat bentuk-bentuk tarian yang berkaitan dengan bacaan shalawat. Misalnya pada seni rebana diikuti dengan tari-tarian zapin, bacaan shalawat dengan menggunakan lagu-lagu tertentu. Tari Zapin adalah tari khas Melayu yang dibawa oleh para pedagang arab yang berasal dari Hadramut, Yaman pada abad ke 16 ke Johor Bahru yang saat itu sebagai pelabuhan antar bangsa. Kemudian Tari Zapin berkembang hingga ke Indonesia daerah Sumatra dan

Kalimantan. Tari Zapin berasal dari bahasa arab “Zaffan” yang berarti pergerakan kaki yang cepat mengikut rentak pukulan. Tari saman (sumber : detik.com) 

Berikutnya terdapat Tari Saman, mulai dipopulerkan oleh seorang Ulama yang bernama Syekh Saman pada abad 14 di masyarakat Gayo. Tarian ucapan selamat datang yang berasal dari kota yang dijuluki serambi mekah ini memiliki keunikannnya tersendiri. Awal mulanya tari saman adalah sebuah permainan masyarakat Gayo yang bernama Pok Ane, kemudian Islam mempengaruhi kebudayaan Gayo sehingga permainan Pok Ane berkulturasi yang awal mulanya nyanyian hanya sebagai pengiring permainan berubah syairnya menjadi berisi pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tari Saman pada masa Kesultanan Aceh ditampilkan pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad, kemudian pada perkembangan selanjutnya Tari Saman ditampilkan pada acara adat ataupun pada acara penyambutan tamu kehormatan. 

6)      Seni Sastra

Seni sastra yang berkembang pada zaman Islam umumnya berkembang di daerah sekitar Selat Malaka (daerah Melayu) dan di Jawa. Ditinjau dari corak dan isinya, kesusastraan zaman Islam dibagi menjadi beberapa jenis, meskipun pembagian itu tidak dapat dilakukan secara tegas sebab sering terjadi suatu naskah dapat dimasukkan ke dalam dua golongan sekaligus. Beberapa jenis sastra zaman Islam diantaranya adalah hikayat, babad, dan suluk  .

2.      Pendekatan seni budaya lokal umat Islam di Nusantara

Seni budaya Islam adalah hasil olah akal, budi, cipta, rasa, karsa, dan karya manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai tauhid. Hasil olah akal, budi, rasa, dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah peradaban. Seni Budaya Islam pada dasarnya sudah mulai berkembang seiring dengan penyebaran agama Islam di wilayah nusantara. Saat itu, para ulama dan muballigh banyak memanfaatkan berbagai media seni budaya sebagai salah satu media dakwah, antara lain melalui lantunan syair-syair shalawat yang dapat membangkitkan ghirah keimanan umat Islam, dengan menggunakan peralatan kesenian gamelan, pementasan wayang golek dan lain-lain.

Dalam hal dakwah zaman dahulu umat Islam melakukan beberapa pendekatan dalam menyampaikan ajaran Islam dan juga mengubah kultur ataupun tradisi di masyarakat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Diantara pendekatannya adalah:

a.       Asimilasi

Asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga budaya-budaya golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.

Biasanya, masyarakat yang tersangkut dalam proses asimilasi, terdiri dari golongan mayoritas dan minoritas. Dalam hal ini, golongan minoritaslah yang mengubah kebudayaan, untuk menyesuaikan dengan kebudayaan mayoritas, sehingga lambat laun masuk ke dalam kebudayaan mayoritas. Adapun yang menghambat proses asimilasi ini adalah: (a) Kurang pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi. (b) Sifat takut kepada kekuatan kebudayaan lain. (c) Perasaan superioritas dari individuindividu terhadap kebudayaan lain.

Contoh pendekatan asimilasi yaitu setelah Islam datang ke Jawa, dan membawa paham monoteisme, lambat laun mengikis habis kepercayaan-kepercayaan lokal, yang masih menyakini adanya dewa-dewa dan dayang desa yang diekspresikan dalam bentuk upacara-upacara keagamaan lokal seperti : bersi desa, nyadran, tingkepan, dll. Kalaupun upacara itu masih dijalankan, tetapi isinya sudah hampir semua islam. Kepercayaan-kepercayaan lokal itu, sekarang sudah di ganti dengan hanya beriman kepada allah yang maha esa, sehingga upacara-upacara itu telah digantikan dalam bentuk peribadatan menurut ajaran islam. Proses hilangnya kepercayan-kepercayaan asli tersebut melalui proses panjan, dengan interaksi yang intensif antara islam dan kebudayaan jawa. Proses tersebut bahkan sampai sekarang masih terus berlangsung setelah berjalan enam abad lebih. Upacar sesaji dan slametan sudah jarang dilakukan, diganti dengan sholat sunat dan ibadah-ibadah lain menurut ajaran Islam (Pokja Akademik, 2015: 19-20). 

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241950127
Sadranan (sumber: www.republika.com)




b.      Akulturasi

Akulturasi adalah pengambilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang berasal dari pertemuan dua atau beberapa kebudayaan yang saling berhubungan atau saling bertemu, unsur-unsur kebudayaan asing lambat laun diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabakan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.

Dalam mengkaji proses akulturasi ini, perlu diperhatikan beberapa hal yang terkait dengan proses tersebut. Menurut koentjaraningrat (1981) ada lima hal (Pokja Akademik, 2005: 16): (a) Keadaan masyarakat penerima, sebelum proses akulturasi mulai berjalan. (b) Individu-individu ysng membawa unsur kebudayaan asing itu. (c) Saluran-saluran yang dipakai oleh unsur kebudayaan asing untuk masuk ke  dalam kebudayaan penerima. (d) Bagian-bagian masyarakat penerima terkena pengaruh unsur kebudayaan asing tadi. (e) Reaksi dari individu yang terkena kebudayaan asing.

Sedangkan contoh pendekatan akulturasi yaitu, dalam konsep akulturasi ini Islam di posisikan sebagai kebudayaan asing dam masyarakat lokal sebagai penerima kebudayaan asing tersebut. Misalnya masyarakat jawa yang memiliki tradisi “slametan” yang cukup kuat, ketika islam datang maka tradisi tersebut masih tetap jalan dengan mengambil unsur-unsur islam terutama dalam do’a-do’a yang dibaca. Wadah slametanya masih ada teapi isinya mengambil ajaran islam.  

3.      Nilai-nilai tradisi umat Islam di Nusantara

Seiring dengan perkembangan era globalisasi yang terjadi saat ini, ditandai dengan begitu derasnya perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK), begitu juga dengan berbagai macam jenis seni dan budaya asing yang masuk ke Indonesia telah mempengaruhi berbagai prilaku pola pikir masyarakat. Fenomena degradasi moral dan ahlak telah melanda generasi muda bangsa.

Fenomena tersebut perlu dilakukan intervensi untuk meminimalisir dampak dengan menanamkan berbagai nilai-nilai agama melalui pendekatan seni dan budaya Islam. Berbagai langkah dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan seni budaya, antara lain program “Revitalisasi Seni Budaya Tradisional Islami”. Tujuan utama langkah tersebut adalah untuk menghidupkan kembali nilainilai seni budaya tradisional Islami di tengah-tengah masyarakat muslim yang telah digerus oleh budaya pop. 

Khazanah Seni budaya Islam nusantara melambangkan bahwa seni dan budaya Islam yang ada di nusantara ini sangat melimpah. Hasil-hasil penelitian tentang jumlah kesenian dan kebudayaan Indonesia menunjukkan negeri ini memiliki lebih dari empat puluh macam seni budaya tradisional islami. Seni budaya Islam terbagi menjadi beberapa katagori, antara lain: seni suara, seni tari, drama, seni kaligrafi, seni lukis dan seni pahat.

Seni suara terdiri dari seni shalawat yang mempunyai ciri penggunaan rebana/terbang, adanya puji-pujian dalam bahasa arab, susunan nadanya bernafaskan islam. Selain itu ada seni musik gambus dan rebana yang mempunyai ciri khas diiringi dengan alat musikseperti, gambus, kecapi petik, marawis, atau alat musik modern, syair bernafaskan islam, baik berupa nasihat, shalawat nabi baik dalam bahasa Indonesia, arab maupun daerah. Disamping itu tentunya ada seni qasidah, hadrah, nasyid, marawis, terbang ampat dan lain-lain.

Selain itu, seni budaya Islam juga mempunyai kekayaan seni tari yang sangat banyak antara lain tari saman dari Aceh yang begitu masyhur didunia internasional, selain itu ada tari zapin melayu yang diiringi irama gambus, diperagakan oleh laki-laki yang berpasangan dengan mengenakan sarung, kemeja, kopeah hitam dan songket serta ikat kepala lacak/destar yang menjadi cirri khasnya. Kemudian tari seudati dari aceh yang diperankan oleh laki-laki dengan menari dan membuat bunyi tabuhan dengan alat music tubuh mereka sendiri, sewaktu menepuk tangan,Tari menak yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX raja Jogyakarta, tari menak mirip wayang orang tetapi tari menak diambil dari serat menak. Wayang Golek. Suluk adalah tulisan dalam bahasa jawa maupun arab yang berisi pandangan hidup orang jawa. Serat wirid adalah tulisan pujangga jawa yang berisi bacaan-bacaan baik jawa maupun arab yang dibaca berulang- ulang.

Lebih dari itu, Indonesia juga mempunyai berbagai macam khazanah budaya tradisional islami yang berasal dari berbagai kearifan lokal yang ada diberbagai daerah diantara berbagai macam kearifan lokal tersebut adalah mauludan,yaitu perayaan hari lahir Nabi Muhammad Saw yang umumnya diisi dengan berbagai acara dan nama tersendiri misal di keraton Yogyakarta, Surakarta, Cirebon menyelenggarakan sekaten dan grebek mulud yang diisi dengan mengarak sedekah raja berupa makanan dari kediaman raja ke masjid Agung lalu diberikan kepada rakyat. Ada pula Batasniah,yaitu pemberian nama pada anak, Batamat Alquran (Hataman Quran), Batamat Hadist Bukhari (Hataman Hadist), mamanda, zapin shalawat,berjanji, Membaca mukaddam Alquran, Maulid Barjanji Sariful anam, Basya'ir, Burdah, Aqikah, hataman al-quran, marawis, masak bubur asura, dan berbagai kearifan lokal lainnya.

Begitu banyaknya seni budaya dan kearifan lokal islami ini menunjukan bahwa khazanah budaya Islam Indonesia begitu kaya dan berlimpah. Karena itu, semua pihak perlu berupaya untuk melestarikan keunikannya melalui berbagai upaya dalam rangka menjaga dan meningkatkan kekuatan ukhuwah islamiyah umat Islam nusantara. 

D.    Pemikiran tokoh-tokoh Islam Nusantara Modern

Sejarah perkembangan keislaman sejalan dengan pembaharuan konsep pendidikan Islam. Perkembangan ini tidak terlepas dari peran berbagai tokoh yang memberikan sumbangan pemikiran. Berikut ini profil beberapa tokoh-tokoh islam nusantara di era modern diantaranya adalah:

1.      Hasyim Asyari

KH. Muhammad Hasyim Asy’ari adalah pendiri pesantren Tebu Ireng, tokoh ulama pendiri organisasi NU. Ia lahir di Gedang desa Tambakrejo 2 km ke arah utara kota Jombang Jawa Timur, pada hari selasa kliwon, 24 Dzulqaidah 1287 H bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Putra ketiga dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang. Dari jalur ayah, nasab kiai Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir. Sedangkan, dari jalur ibu nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka Tingkir adalah raja Pajang pertama (1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau pangeran Adiwijaya.

KH. Hasyim Asy’ari mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya sendiri. Terutama pendidikan keagamaan. Ia mula-mula belajar ilmu tauhid, fiqh, tafsir dan bahasa arab. Karena kecerdasannya, maka dalam usia 13 tahun, Hasyim sudah menguasai materi pelajaran yang diajarkan oleh guru dan ayahnya serta mulai membantu ayahnya mengajar para santri senior.  

Hasyim Asyari (Sumber : nu.or.id)
Video: https://www.youtube.com/watch?v=ziO2y2vo6xU

Rasa dahaga akan ilmu pengetahuan, membuat Hasyim menjadi seorang pengelana ilmu. Ia melanjutkan pendidikannya di berbagai pondok pesantren khususnya di pulau Jawa seperti pesantren Wonokoyo, Siwalan Buduran, Trenggilis, Langitan, Bangkalan, Demangan dan Sidoarjo. Selama di pondok pesantren Sidoarjo, kiai Ya’kub selaku pimpinan pondok merasa sangat tertarik dengan kecerdasan Hasyim dan berfirasat bahwa ia kelak akan menjadi pemimpin besar dan sangat berpengaruh. Karena itulah ia menjodohkan Hasyim Asy’ari dengan putrinya, Nafisah. Pada tahun 1892, tepatnya berusia 21 tahun KH. Hasyim Asy’ari menikah dengan Nafisah putri kiai Ya’kub. Pasca menikah, KH. Hasyim bersama istri dan mertuanya bermukim di Makkah. Ketika tepatnya tujuh bulan menetap disana, istrinya melahirkan seorang anak laki-laki dan diberi nama Abdullah. Akan tetapi, beberapa hari setelah melahirkan, istri yang dicintainya meninggal dunia, disusul putranya selang kurang empat puluh hari. Sungguhpun ia mendapatkan cobaan bertubi-tubi, hal initidak mematahkan semangatnya dalam menuntut ilmu.

Selanjutnya KH. Hasyim Asy’ari berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, seorang hartawan yang mempunyai hubungan baik dengan penguasa Makkah, serta berguru kepada Syeikh alAllamah Abdul Hamid al-Darustani dan Syaikh Muhammad Syuaib al-Maghribi. Dan masih banyak lagi lainnya. Diantara ilmu agama yang dipelajari oleh KH. Hasyim Asy’ari selama di Makkah antara lain, fiqh dengan konsentrasi mazhab Syafi’i, tauhid, tafsir, ulumul hadits, tasawuf, dan ilmu alat (nahwu, sharaf, mantiq, balaghah, dan lain-lain).

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605928618

Karya-karya kiai Hasyim banyak merupakan jawaban atas berbagai problematika kehidupan masyarakat. Beliau merupakan penulis yang produktif disamping aktif mengajar, berdakwah dan berjuang. Adapun karya-karya kiai Hasyim Asy’ari diantaranya:

a.       Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim. Bahaya dan pentingnya interaksi sosial. 
b.      Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jamu’iyyah Nahdatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdatul Ulama. Berisikan ayat-ayat Qur’an yang berkaitan dengan Nahdatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai dengan hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan.
c.       Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat. Berisikan tentang perlunya berpegang kepada salah satu diantara empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Di dalamnya juga terdapat uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbath al-ahkam), metode ijtihad, serta respon atas pendapat Ibn Hazm tentang taqlid. 
d.      Mawaidz. Beberapa nasihat, berisikan fatwa dan peringatan tentang merajalelanya kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada al-Qur’an dan hadis, dan lain sebagainya.
e.       Arbain Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jami’Iyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadis yang terkait dengan dasar-dasar pmbentukan Nahdatul Ulama’.
f.        Al-Nural-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, menaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW.
g.      Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran.
h.      Risalah Ahli Sunnah Wal-Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum alSunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal-Jama’ah berisikan tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.
i.        Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasin. Dan didalamnya terdapat fatwa-fatwa Kiai Hasyim yang berbahasa Jawa.

Situasi pendidikan pada masa KH. Hasyim Asy’ari mengalami perubahan dan perkembangan pesat dari kebiasaan lama (tradisional) ke dalam bentuk pendidikan yang semakin modern, hal ini dipengaruhi oleh sistem pendidikan imperialis Belanda yang semakin kuat di Indonesia. Signifikansi pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah upaya memanusiakan manusia secara utuh, sehingga manusia bisa taqwa (takut) kepada Allah SWT, dengan benar-benar mengamalkan segala perintah-Nya mampu menegakan keadilan di muka bumi, beramal saleh dan maslahat, pantas menyandang predikat sebagai makhluk yang paling mulia dan lebih tinggi derajatnya dari segala jenis makhluk Allah lainnya. KH. Hasyim Asy’ari berpendapat fitrah manusia dan lingkungan sama-sama saling mempengaruhi dalam membentuk kepribadian seseorang. Hal ini dinilai bahwa pendidikan banyak memberikan andil dalam rangka memperbaiki, menyempurnakan dan mendidik moral manusia. Oleh karenanya, kiai memberikan perhatian khusus dalam mendidik akhlak melalui pendidikan budi pekerti.

Ada tiga dimensi yang hendak dicapai dalam konsep pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, diantaranya dimensi keilmuan, pengamalan dan religius. Dimensi keilmuan, berarti peserta didik diarahkan untuk selalu mengembangkan keilmuannya, tidak saja keilmuan agama melainkan pengetahuan umum. Peserta didik dituntut bersikap kritis dan peka terhadap lingkungan. Dimensi pengamalan peserta didik bisa mengaktualisasikan keilmuannya untuk kebaikan bersama dan bertanggung jawab terhadap anugrah keilmuan dari Allah. Adapun dimensi religius, adalah hubungan antara Tuhannya tidak sekedar ritual keagamaan melainkan menyandarkan segalanya untuk mencari Ridha Allah. Sehingga, bila dicermati bahwa tujuan pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah menjadi insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan, insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya sekedar menghilangkan kebodohan.

2.      Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan lahir pada tanggal 1 Agustus 1868 di desa Kauman, kota Yogyakarta dan meninggal 23 Februari tahun 1923. Kauman merupakan tempat kelahiran dan tempat Ahmad Dahlan dibesarkan adalah sebuah kampung yang terkenal di Yogyakarta, karena letaknya yang berdekatan dengan Masjid Agung Kesultanan Keraton. Selain letaknya yang strategis dekat dengan masjid, kampung ini juga terkenal dengan nuansa keagamaan yang konservatif. Kampung ini sangat berpengaruh besar dalam perjalanan hidup Ahmad Dahlan dikemudian hari. Sebagian besar penduduk Kauman dipenuhi oleh orang-orang Islam dengan mata pencaharian sebagai pedagang. Disini juga tempat tinggal guru-guru agama seperti imam, khatib, muazin, dan pegawai masjid.

Kata “Kauman” berasal dari bahasa Arab yaitu “qaum” yang maknanya “pejabat keagamaan”. Daerah ini merupakan tempat tinggal para qaum, santri, serta ulama-ulama Islam yang berkewajiban memelihara kemakmuran masjid.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241950411
Ahmad Dahlan (Sumber : kemdikbud.com)

Dimasa kecil nama Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara, yakni adalah Nyai Khatib Arum, Nyai Muhsinah, Nyai Haji Soleh, Muhammad Darwis, Nyai Abdurrahman, Nyai Haji Muhammad Faqih dan Muhammd Basir. Darwis dilahirkan dari keluarga yang terpandang dan taat beragama dan terkenal di lingkungan kesultanan Yogyakarta. Ayahnya bernama K.H Abu Bakar bin Sulaiman dan ibunya adalah putri Haji Ismail. Ayahnya adalah seorang ulama dan khatib terkenal di masjid besar kesultanan di Yogyakarta, sedangkan ibunya adalah anak dari seorang penghulu besar kesultanan di Yogyakarta.

Muhammad Darwis pada masa kecilnya terkenal sebagai seorang anak yang pintar, rajin, jujur dan suka menolong. Ia sangat kreatif dalam membuat barang-barang kerajinan tangan dan permainan, sehingga masyarakat Kauman menamakan dirinya seorang anak yang ulet, pandai dengan kelebihannya yang bisa memanfaatkan sesuatu. Ia berkarya bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi kesenangannya dibagi-bagikan kepada teman-temannya dan saudara-saudaranya. Sejak masa kanak-kanak, jiwa sosial telah bersemi pada diri Muhammad Darwis. Kelebihan dan jiwa sosial itulah yang menjadikan Muhammad Darwis sering tampil sebagai pemimpin bagi teman-temannya.

Video: https://www.youtube.com/watch?v=Sk3-z1H4VDY

Selain belajar pesantren yang dipimpin oleh ayahnya di kampung Kauman, Muhammad Darwis juga dikirim oleh ayahnya untuk belajar di luar Yogyakarta. Karena itu, Muhammad Darwis belajar ilmu fiqih (hukum Islam) dari Kiai Haji Muhammad Shaleh, ilmu nahwu (sintaksis bahasa Arab) dari Kiai Haji Muksin, ilmu falak (astronomi) dan geografi dari Kiai Raden Haji Dahlan, qira‟ah (seni membaca al-Qur'an) dari syaikh Amin dan Syaid Bakri dan ilmu hadis (nilai-nilai dari ketradisian Nabi Muhammad) dari Kiai Mahfudh dan syaikh Khayyat. Walaupun Muhammad Darwis mempelajari berbagai bidang ilmu, akan tetapi ia sangat tertarik sekali pada ilmu falaq dan mendalami ilmu itu.

Ketika berumur 15 tahun, Darwis memutuskan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar ilmuilmu agama. Biaya perjalanan dan keperluan Muhammad Darwis ke tanah suci ditanggung oleh kakak iparnya yaitu kiai Haji Soleh. Darwis bermukim di Mekkah selama lima tahun. Pada tahun 1888, Darwis memutuskan untuk kembali ke Kauman dan bertemu dengan gurunya, Sayyid Bakri Syatha. Pada saat itu sang guru memberikan nama baru untuk Muhammad Darwis yakni Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang ulama yang terkenal Mazhab Syafi'i di Mekkah, yaitu Ahmad bin Zaini Dahlan.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605912329

Pada tahun 1896, ayah Ahmad Dahlan meninggal dunia. Semasa hidup sang ayah menjabat sebagai khatib di masjid kesultanan Yogyakarta. Sepeninggalnya, posisi khatib dilanjutkan oleh Ahmad Dahlan. Hal itu karena Ahmad Dahlan pernah mendalami ilmu agama dan meneruskan pelajarannya di Mekkah, maka Ahmad Dahlan diangkat untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai khatib di masjid kesultanan Yogyakarta oleh Sultan Hamengkubuwono VII. Diantara tugasnya adalah melaksanakan khutbah Jum'at secara bergantian dengan delapan orang teman khatib lainnya, piket di serambi masjid dengan enam orang temannya dalam waktu seminggu sekali, dan menjadi anggota dewan agama Islam hukum keratin.

Ahmad Dahlan adalah seorang tokoh pendidikan yang tidak meninggalkan karya berupa tulisan. Ahmad Dahlan bukanlah seorang penulis sebagaimana pemikir lainnya. Gagasan-gagasan pemikirannya ia sampaikan secara lisan dan karya nyata. Untuk itu ia lebih dikenal sebagai pelaku dibanding pemikir. Atau kita kenal dengan sebutan “Man of Action”. Amal usahanya yang begitu banyak diantaranya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dakwah dan panti sosial. Ini sesuai yang dikatakan oleh Alfian dalam disertasinya, Ahmad Dahlan adalah sosok man of action, dia made history for his works than his words. Karena Ahmad Dahlan tidak pernah menorehkan gagasan pembaharuannya dalam warisan tertulis, tetapi lebih pada karya dan aksi sosial nyata. Sehingga Ahmad Dahlan lebih dikenal sebagai sosok pembaharu yang pragmatis.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952788749

Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 23 Februari 1923 di Kauman Yogyakarta, sesudah menderita sakit beberapa waktu lamanya. Hingga akhir hayatnya, semangat serta dinamikanya dalam membangun umat sangat berapi-api, sehingga ia melupakan kesehatannya sendiri. Jasanya yang besar diberbagai bidang diakui oleh pemerintah ketika Presiden Soekarno dalam Surat Keputusan No. 675 tahun 1961, tanggal 27 Desember, menetapkan Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional.

Menurut Ahmad Dahlan, tujuan pendidikan Islam diarahkan pada usaha untuk membentuk manusia yang beriman, berakhlak, memahami ajaran agama Islam, memiliki pengetahuan yang luas dan kapasitas intelektual yang dapat diperlukan di dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai tujuan tersebut, Ahmad Dahlan berpendapat bahwa pendidikan Islam harus dibarengi dengan integrasi ilmu dan amal, integrasi ilmu pengetahuan umum maupun agama, kebabasan berpikir dan pembentukan karakter, agar peserta didik dapat berkembang secara intelektualitas dan spritualitas. Sepatutnya mengajarkan peserta didik untuk selalu beragama, mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan tindakan yang sesuai dengan yang dianjurkan agama. Serta senantiasa berani mengorbankan hartanya untuk Allah dan tidak sekedar pada tataran pengetahuan saja, tetapi dibarengi dengan praktik keagamaan, yakni beramal.

Sejauh ini pendidikan agama hanya dianggap relevan untuk menanamkan karakter yang baik terhadap peserta didik, karena pada hakikatnya karakter terbentuk dari tindakan yang dilakukan secara rutin dan terus menerus. Perlu disadari bahwa ilmu dan beramal merupakan suatu kesatuan. Artinya, peserta didik tidak hanya duduk di kelas dan diam memperhatikan gurunya, tetapi dengan ilmu yang dimilikinya harus dipraktikkan di dalam kehidupan sehari-hari. Praktik merupakan aplikasi ilmu pengetahuan yang dimiliki dengan menghasilkan karya (berkarya). Di dalam ajaran Islam, pemeluknya wajib mencari ilmu setinggi mungkin dan dengan ilmu yang dicapainya agar diamalkan dalam bentuk karya nyata. Konsep inilah yang diberikan oleh Ahmad Dahlan di dalam pendidikan Muhammadiyah.

3.      Haji Abdul Malik Amrullah

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) lahir di sungai Batang, Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Minggu, tanggal 16 Februari 1908 M/13 Muharram 1326 H dari kalangan keluarga yang taat beragama. Ayahnya bernama Haji Abdul Karim Amrullah atau dikenal dengan sebutan Haji Rasul bin Syeikh Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdul Saleh. Haji Rasul merupakan salah seorang ulama yang pernah mendalami agama di Mekkah, pelopor kebangkitan Kaum Mudo, dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah binti Haji Zakakaria (w. 1934). Dari genelogis ini dapat diketahui, bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilinear. Oleh karena itu, dalam silsilah Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya. Pada tahun 1929 Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan dan dikaruniai 12 orang anak, 2 diantaranya meninggal dunia. Hamka dikenal sebagai salah satu tokoh organisasi Islam modern Muhammadiyah. Bahkan Hamka bisa disebut sebagai tokoh utama berdirinya organisasi itu di wilayah Sumatera Barat. 

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Sumber : republika.com)
Video: https://www.youtube.com/watch?v=qGGjgKg0r5c

Sejak kecil Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca Al-Qur'an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padangpanjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke sekolah desa dan mengenyam pendidikan di sana selama 3 tahun lamanya. Ia juga memiliki hobi menonton film yang kemudian banyak memberinya inspirasi untuk mengarang. Pendidikan formal yang dilaluinya sangat sederhana. Mulai tahun 1916 sampai 1923, ia belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di Padangpanjang, serta Sumatera Thawalib di Padangpanjang dan di Parabek. Walaupun pernah duduk di kelas VII, akan tetapi ia tidak memiliki ijazah.

Diantara guru-guru dan teman seperjuangan Hamka antara lain; Haji Rasul (ayahnya), Syeikh Ibrahim Musa, R.M. Surjopranoto, A.R. Sutan Mansur (dewan penasehat Muhammdiyah 1962-1980), H. Fachroedin (wakil ketua P.B. Muhammadiyah), KH. Mas Mansur, H.O.S. Cokroaminoto (yang mengajarinya tentang peradaban Barat), A. Hasan, M. Natsir, KH. Ahmad Dahlan (pendiri organisasi Muhammadiyah), KH. Ibrahim, KH. Mukhtar Bukhari, dan KH. Abdul Mu'thi.

Lebih dari seratus buku telah dikarangnya yang meliputi: sejarah, filsafat, novel dan masalahmasalah Islam. Selain itu ia juga dipandang sebagai pengajar tasawuf modern di Indonesia. Berikut adalah beberapa karya-karya Hamka, antara lain:

a.       Kenang-Kenangan Hidup, Jilid I, II, III, IV, Cet. 4. Jakarta: Bulan Bintang, 1979
b.      Ayahku; Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya. Jakarta: Pustaka Widjaja, 1958
c.       Falsafah Hidoep. Djakarta: Poestaka Pandji Masyarakat, 1950
d.      Lembaga Hidup, Jakarta: Djajajmurni, 1962.
e.       Lembaga Budi, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983
f.        Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983
g.      Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Jakarta: Tekad, 1963

Hamka tentang pendidikan adalah bahwa pendidikan sebagai sarana yang dapat menunjang dan menimbulkan serta menjadi dasar bagi kemajuan dan kejayaan hidup manusia dalam berbagai keilmuan. Melalui pendidikan, eksistensi fitrah manusia dapat dikembangkan sehingga tercapai tujuan budi. Hamka menilai bahwa proses pengajaran tidak akan berarti bila tidak dibarengi dengan proses pendidikan, begitu juga sebaliknya. Tujuan pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Dengan terjalinnya kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Pendidikan menurut Hamka bukan hanya soal materi, karena yang demikian tidaklah membawa pada kepuasaan batin. Pendidikan harus didasarkan kepada kepercayaan, bahwa di atas dari kuasa manusia ada lagi kekuasaan Maha Besar, yaitu Tuhan. Sebab pendidikan modern tidak bisa meninggalkan agama begitu saja. Kecerdasan otak tidaklah menjamin keselamatan kalau nilai rohani keagamaan tidak dijadikan dasarnya.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/25457176814294469

Hamka berpandangan bahwa melalui akalnya, manusia dapat menciptakan peradaban yang lebih baik. Potensi akal yang demikian dipengaruhi oleh kebebasan berpikir dinamis, sehingga akan sampai pada perubahan dan kemajuan pendidikan. Dalam hal ini, potensi akal adalah sebagai alat untuk mencapai terbentuknya kesempurnaan jiwa. Dengan demikian, orintasi pendidikan Hamka tidak hanya mencakup pada pengembangan intelektualitas berpikir tetapi pembentukan akhlaq al-karimah dan akal budi peserta didik. Dan melalui pendidikan manusia mampu menciptakan peradaban dan mengenal eksistensi dirinya.

Tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, tidak terlepas dari ilmu, amal dan akhlak, serta keadilan. Menurut Hamka ilmu yang dimiliki seseorang memberi pengaruh keimanan sebab ilmu tanpa didasari iman, maka akan rusak hidupnya dan membahayakan orang lain, oleh karena itu manusia semakin berilmu semakin bertambah ketakwaannya kepada Allah. Dalam pandangan Hamka, tujuan pendidikan adalah mengenal dan mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti yang luhur agar terciptanya akhlak mulia serta mempersiapkan peserta didik dalam pengembangan kehidupan secara layak dan berguna di tengah lingkungan sosialnya.
 
Dalam membentuk kepribadian anak, tidak terlepas dari pendidikan orang tuanya. Salahlah pendidikan orang tua yang ingin membuat anaknya seperti dia pula. Orang tuanya telah membentuk anak-anaknya menurut pembentukan pada masanya terdahulu. Orang tua seharusnya membentuk anaknya mengikuti masa anaknya. Oleh karena itu, kepandaian dan pendidikan orang tua dalam mendidik anaknya akan sangat membantu pekerjaan guru. Penanaman adab dan budi pekerti dalam diri anak hendaknya dilakukan sedini mungkin. Upaya ini dilakukan dengan cara menanamkan kebiasaan hidup yang baik. Pertama kali yang mesti ditanamkan adalah nilai-nilai ilahiah. Pentingnya pendidikan agama yang akan berpengaruh pada pola kepribadian seorang anak. Menurut Hamka, pendidikan tersebut dimulai sejak anak dilahirkan dianjurkan untuk mengazankan dan iqamah. Hal ini, diharapkanagar jiwa anak akan tepatri oleh nilai-nilai ketundukan kepada Khaliqnya.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605819119

4.      Nurcholis Madjid

Nurchoilsh Madjid dilahirkan tepat pada tanggal 17 Maret 1939 M (26 Muharram 1358 H). Di sudut kampung kecil Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Ayahnya KH. Abdul Madjid, di kenal sebagai kyai terpandang, alumnus Pesantren Tebuireng dan merupakan salah seorang pemimpin Masyumi, partai berideologi Islam paling berpengaruh pada saat itu. Lebih jauh, KH. Abdul Madjid merupakan santri kesayangan Hadrotul al-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren Tebuireng dan salah satu founding father Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial keagamaan muslim terbesar di Indonesia. Cak Nur wafat pada tanggal 29 Agustus 2005. Sebelumnya Cak Nur menjalani operasi lever di Cina dan dilanjutkan ke Rumah Sakit Singapura, sampai ia kembali menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Pondok Indah hingga akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhirnya.

Video: https://www.youtube.com/watch?v=cdC9hDeKKik
Nurcholis Madjid (Sumber : Wikipedia)

Latar belakang pendidikan dimulai dari Sekolah Rakyat di Mojoanyar pada pagi hari, sedangkan sore hari ia sekolah di Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan ibtidaiyah, ia melanjutkan belajar ke Pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Kulliyatul Mua’allimin AlIslamiyah (KMI) Pesantren Darussalam di Gontor Ponorogo. Setamat dari gontor, ia melanjutkan studi pada institut Agama Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab dan tamat tahun 1968. 
Semenjak menjadi mahasiswa, Nurcholish Madjid seorang mahasiswa yang aktif dalam gerakan kemahasiswaan dan ia secara langsung maupun tidak langsung mampu menunjukkan kemampuan akademisnya itu pada dirinya, keluarganya, juga teman-teman seperjuangannya. Beberapa gerakan kemahasiswaan yang ia geluti adalah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) cabang Ciputat, sampai akhirnya ia terpilih menjadi ketua umum PB HMI, ia juga aktif di Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT), kiprahnya di persatuan ini sampai ia selesai kuliahnya (1968). Keaktifannya dalam sebuah organisasi terus ia geluti, karena baginya sebuah organisasi merupakan medium pencerdasan generasi penerus perjuangan bangsa Indonesia, dan selain itu juga baginya peran sebuah organisasi adalah sebagai wadah untuk pengembangan diri dan sarang latihan menjadi seorang pemimpin. 

Nurcholish Madjid mengakhiri studi doktoranya (Ph. D) di Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat pada tahun 1984 dengan disertasi tentang Filsafat dan Kalam Ibnu Taymiyyah (‘Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam) predikat Summa Cum Laude pun diraihnya. Selain ia banyak berkecimpung di organisasi dan memangku berbagai jabatan, Nurcholis Madjid juga sebagai seorang penulis yang produktif. Di antara karya tulisnya antara lain :

a.       Khasanah Intelektual Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984)
b.      Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987)
c.       Islam Doktrin dan peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1992)
d.      Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Karya bersama para pakar Indonesia lainnya), (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1995)
e.       Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
f.        Masyarakat Religius, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1995)
g.      Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
h.      Tradisi Islam Peran dan fungsinya dalam pembangunan di Indonesia, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
i.        Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1998).

Nurcholish Madjid sebagai tokoh pembaharu dan cendikiawan muslim Indonesia sudah tidak lagi berada di tengah-tengah kita dan kepergiannya merupakan suatu kehilangan besar bagi bangsa Indonesia khususnya dan umumnya bagi anak bangsa dari berbagai Agama, berbagai suku, merasa kehilangan Cak Nur dalam arti yang sebenarnya, demikian sehabatnya Amin Rais mengungkapkan, Pemikiran-pemikiran Madjid terasa masih menggema di kalangan akademisi maupun kalangan ilmuwan, karena banyak dari pemikirannya masih tetap dan terus diperbincangkan, dikritisi dan diaktualisasikan dalam kehidupan selanjutnya, entah itu dalam kancah perpolitikan maupun sosial keagamaan.  Beliau juga seorang intelektual Muslim garda depan, dan juga seorang guru bangsa yang mampu mengemas Islam dalam denyut humanisme serta humanitas, sehingga benih-benih pemikirannya banyak dijadikan solusi oleh sebagian masyarakat Indonesia atas masalah-masalah kemanusiaan maupun keagamaan.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605842754

Gagasan dan pemikiran Nurcholis Madjid bukan hanya mencakup satu bidang saja, melainkan dari berbagai bidang termasuk di dalamnya masalah doktrin, ilmu pengetahuan dan peradaban.Pertama, pembaharuan pesantren. Sesuai dengan latar belakang kehidupannya yaitu sebagai seorang cendikiawan yang dibesarkan di lingkungan pesantren, Nurcholis Madjid meiliki perhatian tentang pembaharuan pesantren.Gagasan dan pemikirannya tentang pesantren ini dapat di lihat dari karyanya berjudul bilikbilik pesantren sebuah potret perjalanan.

Dalam bukunya ini Nurcholis Madjid berpendapat bahwa pesantren berhak, malah lebih baik dan lebih berguna untuk mempertahankan fungsi pokoknya semula yaitu sebagian tempat menyelenggarakan pendidikan agama. Namun, mungkin diperluaskan suatu tinjauan kembali sehinbgga ajaran-ajaran agama yang diberikan klepada setiap pribadi merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan mkna hidup dan weltanschauung Islam, selain tentu saja diosertai dengan pengetahuan secukuopnya tenhtang kewajiban-kewajiban praktis seorang muslim sehari- hari.

Nurcholis Madjid merasa perlu untuk melakukan pembaharuan pesantren. Gagasan dan pemikirannya tentang pesantren ini dapat dilihat dari karyanya yang berjudul “Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan”. Nurcholis Madjid berpendapat bahwa pesantren berhak, malah lebih baik dan lebih berguna, mempertahankan fungsi pokoknya semula, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan agama. Namun, mungkin diperlukan suatu tinjauan kembali sedemikian rupa, sehingga ajaran-ajaran agama yang diberikan kepada setiap pribadi merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan makna hidup dan weltanshauung Islam, selain tentu saja disertai dengan pengetahuan secukupnya tentang kewajiban-kewajiban praktis seorang muslim sehari-hari.

Pelajaran ini kemungkinan dapat diberikan melalui beberapa cara, diantaranya: mempelajari Alquran dengan cara lebih sungguh-sungguh daripada yang umumnya dilakukan orang sekarang, yaitu dengan menitikberatkan kepada pemahaman makna ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Ini memerlukan kemampuan pengajaran yang lebih besar. Yaitu pengajaran kesatuan-kesatuan pengertian tentang ayat-ayat atau surat-surat lain (yang belum dibaca pada saat itu). Pelajaran ini mungkin mirip dengan pelajaran tafsir, tetapi dapat diberikan tanpa sebuah buku atau kitab tafsir melainkan cukup dengan Alquran secara langsung. Selain itu, baik sekali memanfaatkan mata pelajaran lain untuk disisipi pandangan keagamaan tadi. Dan menanamkan kesadaran dan perhargaan yang lebih wajar pada hasilhasil seni budaya Islam atau untuk menumbuhkan kepekaan rohani, termasuk kepekaan rasa ketuhanan yang menjadi inti rasa keagamaan.

Selanjutnya, Nurcholis Madjid menganjurkan agar pesantren tanggap terhadap tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitannya dengan perkembangan zaman. Di sini pesantren dituntut dapat membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan nyata yang didapat melalui pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum secara memadai. Dan bagian ini pun, sebagaimana layaknya yang terjadi sekarang, harus ada jurusan-jurusan alternatif bagi anak didik sesuai dengan potensi dan bakat mereka.

Nurcholis Madjid membedakan istilah materi pelajaran “agama” dan “keagamaan”. Perkataan agama lebih tertuju pada segi formal dan ilmunya saja. Sedangkan perkataan “keagamaan” lebih mengenai semangat dan rasa agama (religiusitas). Menurut Nurcholis Madjid, materi keagamaan ini hanya dipelajari sambil lalu saja tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam masyarakat zaman modern, bukan fiqh atau ilmu kalamnya apalagi nahwu sharfnya serta bahasa Aranya. Di sisi lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengahsetengah, sehingga kemampuan santri biasanya sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan di masyarakat umum.

Artikel/Jjurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605824707

5.      KH. Abdurrahman Wahid      

Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur, lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Ia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001. Ia lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil atau “Sang Penakluk”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. 

KH. Abdurrahman Wahid (sumber: BSE Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013)
Video: https://www.youtube.com/watch?v=JIdwAl5dqj4

 Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), demikian pula kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syamsuri. Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada 1957, setelah lulus SMP, ia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun yang seharusnya ditempuh selama empat tahun. Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas Jombang dan mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan Majalah Budaya Jaya.


Pada 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, namun ia tidak menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya. Gus Dur kemudian melanjutkan belajar di Universitas Baghdad, Irak dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1970. Kemudian ia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi ia kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui (tidak mu’adalah) di Belanda. Gus Dur lalu melanjutkan pendidikan ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia pada tahun 1971. Sekembalinya ke Indonesia Gusdur bergabung di Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy' Ari, dan menjadi dekan hingga tahun 1974. Pada tahun 1970-an, ia menekuni dunia tulis menulis dan menjadi kolumnis tetap di majalah Tempo, Kompas, Pelita, dan Jurnal Prisma. Sebelum menjabat ketua PBNU 1984, Gusdur menjabat ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Tahun 1989 dan 1994 berturut-turut terpilih sebagai Ketua Umum PB NU hingga menjadi Presiden RI keempat Oktober 1999.

Pada tahun 1982 NU membetuk Tim Tujuh (termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan keempat oleh MPR dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila sebagai ideologi tunggal. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu ini. Gus Dur lalu menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan partai politik agar NU fokus pada masalah sosial. Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur dinominasikan sebagai Ketua Umum PBNU dan dia menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah umum.

Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua Umum PBNU pada Musyawarah Nasional 1989. Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam persinggungan politik dengan ABRI, berusaha menarik simpati Muslim termasuk juga kepada NU. Pada Juli 1998 Gus Dur menanggapi ide pembentukan partai politik sebagai wadah warga NU menyampaikan aspirasi politiknya. Partai tersebut diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada tanggal 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya. Pemilu April 1999, PKB meraih suara 12% suara dengan PDIP memenangkan 33% suara. Pada 20 Oktober 1999, Sidang Umum MPR memilih presiden baru. Meskipun suara PDIP yang terbesar, namun karena suasana politik yang berkembang saat itu, mengantarkan Gus Dur terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4.

Langkah yang dilakukan oleh Gus Dur sebagai Presiden adalah mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik. Sebelumnya ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) di samping bertugas sebagai lembaga pertahanan negara, ia juga diperbolehkan berkiprah di dunia politik, hal ini disebut dengan Dwi Fungsi ABRI. Pada tingkatan legislatif ABRI memiliki fraksi tersendiri dengan nama Fraksi TNI-POLRI. Pada era Gus Dur, TNI-POLRI tidak diperkenankan terlibat dalam politik praktis. TNI hanya bertugas sebagai lembaga pertahanan negara. Namun, hal ini juga tidak dilakukan secara sekaligus oleh Gus Dur. Gus Dur membuat perencanan paling tidak selama 6 tahun TNI-POLRI baru benar-benar lepas dari dunia politik. Selama 6 tahun tersebut, secara gradual kesejahteraan TNI-POLRI ditingkatkan sampai pada tingkatan yang mapan sebagai pihak yang memiliki tugas berat, yaitu menjaga kedaulatan negara. Pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri.

Pada 11 Agustus 2006, Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena ia dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas. Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.

Pada pembahasan ini akan dikupas secara mendalam salah saru pemikiran tokoh perkembangan Islam moderen kontemporer, tidaklah menyampingkan tokoh-tokoh yang lainnya, tetapi diambil dari tokoh yang pengalamannya universal, yaitu KH. Abdurrahman Wahid. KH. Abdurrahman Wahid karena beliau adalah seorang ulama, modernis, demokratis hingga politukus yang telah diteliti oleh Indo Santalia dosen Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik, UIN Alaudin Makassar. Berikut rincian dari pemikiran beliau (Santalia, 2015: 139-145):

a.       Hubungan Islam dan Negara

Hubungan Islam dan Negara, merupakan suatu bidang kajian yang sangat penting sebagai gejala sosial. Hubungan tersebut merupakan cermin agama Islam dalam masyarakat. Hubungan Islam dan Negara dalam penjelasan Gusdur dikatakan bahwa: “Islam tidak mengenal doktrin tentang negara. Dalam soal bentuk negara, menurutnya tidak mempunyai aturan baku. Hal ini bergantung negara bersangkutan apakah mau menggunakan model demokrasi, teokrasi atau monarchi. Hal yang terpenting bagi Gusdur adalah terpenuhinya tiga kreteria, yaitu: pertama, mengedepangkan prinsip-prinsip permusyawaratan. Kedua, ditegakkan keadilan. Ketiga, adanya jaminan kebebasan (al-huriyyah) (AlBrebesy, 1999: 155).

Video: https://www.youtube.com/watch?v=yuWH9zDbtuU

Dalam pembukaan UUD 1945 terdapat doktrin tentang keadilan dan kemakmuran. Tak ada pula doktrin bahwa negara harus berbentuk formalisme negara Islam, demikian pula dalam pelaksanaan halhal kenegaraan. Negara dalam perspektif Gusdur adalah al-Hukum (hukum atau aturan). Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang defenitif sehingga etik kemasyarakatanlah yang diperlukan. Dalam persoalan mendasar misalnya Islam tidak konsisten, terkadang memakai Istikhlaf, Bay'ah, ataupun Ahlu al-Halli wa al-Aqdi, padahal suksesi adalah soal yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan. Apa yang menjadi keinginan Gusdur untuk tidak memformalkan Islam sebagai ideologi dan acuan dalam negara sejalan dengan keinginan sebahagian besar warga negara yang mayoritas Islam. Hal ini terbukti dalam pemilu 1999 yang dimenangkan oleh partai nasionalis termasuk PAN dan PKB yang sedikit religius.

Penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara yang dimotori oleh Gusdur dan KH. Amad Siddiq, paling tidak karena dua hal yaitu; Pertama, Islam adalah agama Fitriah. Sepanjang suatu nilai tidak bertentangan dengan keyakinan Islam, ia dapat diarahkan agar selaras dengan tujuan-tujuan dalam Islam. ketika Islam diterima oleh masyarakat, ia tidak harus menganti nilai-nilai yang terdapat di dalamnya tetapi bersikap menyempurnakan.

Di sinilah letak pertentangan Gusdur secara pribadi dengan sebahagian person ICMI sebagai sebuah lembaga.11 Dalam perspektif Ahlu al-Sunnah Wa-al-Jamaah aliran yang diyakini Gusdur pemerintah diilik dan dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari normal formal eksistensinya, negara Islam atau bukan. Selama kaum muslimin dapat menyelengarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat perhatiannya. Kedua Islam dan Pancasila dinilai mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam dan wawasan ke agamaan negara Indonesia sudah dijamin.

Gusdur dengan penuh keyakinan menjelaskan pemerintah yang berideologi pancasila harus dipertahankan, karena syari'ah dalam bentuk hukum agama, fikhi atau etika masyarakat masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya sekalipun hal itu tidak diikuti dengan legislasi dalam bentuk undang-undang negara. Bila etik kemasyarakatan Islam diljalankan, tak ada alasan selain mempertahankannya sebagai kewajiban agama. Dari sanalah munculnya keharusan untuk taat kepada pemerintah (Malik, 1998: 170).

Gusdur berusaha memberikan sinergi untuk memparalelkan hubungan negara dan agama. Dalam pemikirannya, ia melihat besarnya hanbatan dalam proses pembangunan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman yang sangat besar antara pihak penanggungjawab ideologi negara-negara yang sedang berkembang. Upaya Gusdur ini tidak lepas dari perang bapaknya sebagai perumus konsep kenegaraan dan ia berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme. Islam bisa berkembang secara spritual dalam sebuah negara nasional yang tidak secara formal berdasarkan pada Islam. Gusdur menjelaskan lebih lanjut sebagaimana yang dikutip Douglas E. Ramage sebagai berikut:

NU berpegang kepada konsepsi nasionalisme yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. NU telah menjadi pioner dalam masalah ideologis. Ini tentu hanya satu kasus, karena di seluruh dunia Islam hubungan antara nasionalisme dan Islam masih menjadi persoalan. Negara-negara Arab mengangap nasionalisme sebagai bentuk sekularisme. Mereka belum mengerti bahwa nasionalisme seperti yang dipraktekkan di Indonesia tidaklah sekuler, tetapi sangat menghormati perang agama (Remage, 1997: 197).

Pemikiran Gusdur ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai lapisan termasuk non muslim dan mereka ini sangat antusias terhadap sikap inklusif Gusdur. Keyakinan keagamaan di Indonesia patut menjadi teladan karena satu sisi sistem politik yang netral secara agama dan pancasila adalah sebuah ekspresi dari negara yang sekuler secara politik tetapi memberi peluang berkembangnya agama. Hal ini yang tidak disetujui ICMI. Imaduddin Abdurrahim salah seorang tokoh ICMI tidak mempercayai kalau nasionalisme bisa menjadi pemersatu bangsa. Keyakinan tokoh ini, Islam bisa berfungsi sebagai basis moral bagi negara, jika Islam kepercayaan sembilan puluh persen rakyat Indonesia berbeda dengan itu, Gusdur malah dengan tegas mengatakan tanpa pancasila, kita akan berhenti sebagai negara.

Pemikiran Gusdur yang kontra dengan ICMI bukan berarti Gusdur anti Islam. Persoalannya adalah awal berangkat antara Gusdur dengan ICMI itu beda. ICM oleh sebagian anggotanya lebih menonjolkan bendera Islam dalam kekuatan politik yang kemudian disusupkan dalam institusi politik yang ada sementara NU lebih akomodatif, dalam arti selama kehidupan beragama diberi haknya selama itupula menjadi kewajiban untuk mempertahankannya.

b.      Pluralisme

Pluralisme adalah sebuah paham yang mengakui dan mempercayai adanya perbedaan dalam masyarakat yang meliputi perbedaan agama, ras, kelompok, suku budaya, dan adat istiadat. Dalam membicarakan pluralisme, Gusdur tak jarang menghubungkannya dengan agama, karena agama inilah yang sering dimanfaatkan oleh mayoritas dalam menindas dan menekam secara diam-diam kaum minoritas. Pandangan Gusdur terhadap pluralism tercermin pada sikapnya yang membela minoritas dan non muslim dan melakukan kerjasama dengan siapa saja secara terbuka, baik dengan kelompok kristen, hindu, budha, maupun kelompok Islam yang lain. Contoh ketika pemimpin tabloid Monitor Arswendo Atmowiloto menemapatkan nabi Muhammad Saw. pada urutan ke 11 di antara tokoh dunia. Umat Islam secara spontan bereaksi dan meminta agar kantor tabloid di tutup dan dilarang beroperasi lalu Gusdur mengatakan: "Saya tidak setuju dengan itu. Bawalah ke pengadilan itulah penyelesaian yang terbaik”. Gusdur memberikan pelajaran kepada rakyat untuk menghargai otoritas Pengadilan dan tidak bertindak menghakimi sendiri. Gusdur menurut Frans Magnis Suseno adalah seorang yang menghayati agama Islam secara sangat terbuka. Ia sosok pribadi yang bebas dari segalah kepicikan, primordialistik dan sektarian. Ia jelas seratus persen seorang yang beragama Islam tetapi keislamannya begitu mantap sehingga ia merasa tidak terancam oleh pluralitas (Suzeno, 2000:65).


Kelompok minoritas lain yang sering dibela Gusdur adalah penganut Konghucu, kendati negara tidak mengakui keberadaan negara ini khususnya pada masa ode baru tapi Gusdur tetap membelahnya sebagai hak pribadi terhadap suatu keyakinan tentang kebenaran ajaran yang dianut. Pembelaan dan pengakuannya terhadap hak minoritas ini merupakan wujud nyata dari tanggung jawab sosial kebangsaan dan praktek demokrasi. Hal ini pulalah yang mendasari diakuinya kemudian Konghucu sebagai agama dalam pemerintahan Gusdur. Gagasan Gusdur mengenai toleransi dan dialog antar agama atau antar iman tersingkronisasi dalam pemikirannya mengenai pluralisme. Apabila seseorang berpikir positif tentang pluralisme, maka otomatis di dalamnya sudah ada unsur-unsur yang menunjukkan sikap toleran dalam keberbedaan. Th. Sumartana, seorang penganut Katolik menilai bahwa Gusdur melihat perbedaan agama-agama cenderung merupakan perbedaan yang berada dalam tataran kemanusiaan dan tetap yakin bahwa sesungguhnya yang menjadi hakim untuk mengatakan seorang masuk syurga atau neraka adalah Tuhan (Sumartana, 2000: 108).

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952794147

Bahkan ia mengatakan informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu dilayani. Cukup di imbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang positif konstruktif. Sikap pluralis Gusdur yang tampak lebih mementingkan kelompok minoritas tak jarang mendapat tudingan dan hujatan yang bertubi-tubi, bahkan ia dituduh sekuler dan penghianat umat, padahal sikap Gusdur yang demikian justru inigin mengfungsionalisasikan ajaran Islam secara maksimal. Agama tidak sekedar simbol, dan menawarkan janji ke akhiratan sementara realitas kehidupan yang ada dibiarkan tidak tersentu. Sikap Gusdur tidak perna memperlihatkan kebenciannya pada kaum minoritas menyebabkan pula bias bergaul siapa saja. Gusdur menginginkan pendewasaan diri dalam pandangan beragama dan melakukan hal-hal yang konstruktif, pemekaran cakrawala umat, pembinaan kembali akhlak umat hingga mencapai keseimbangan optimal antara emosi dan rasio.

c.       Demokratisasi

Jauh sebelum menjadi presiden, Gusdur telah melemparkan gagasan dan pemikirannya tentang demokrasi yang pantas diterapkan di negeri ini. Dalam konteks keindonesiaan, Gusdur memandang demokrasi sebagai suatu proses atau budaya yang terus menerus dan tidak hanya diukur dari segi kelembagaannya saja seperti yang diterapkan selama orde baru. Gusdur menjelaskan: “Ya..kan mereka sudah ngomong sudah ada demokrasi dengan mengatakan sudah ada lembaganya. Ada MPR, ada DPR. Ya, semacam itulah. Namun saya sendiri beranggapan, demokrasi itu harus utuh, tidak hanya lembaga tetapi juga prilaku orang-orangnya juga harus demokratis. Nyatanya prilaku kita tidak demokratis”.

Video: https://www.youtube.com/watch?v=19iv7cmgR1g
Ungkapan Gusdur di atas sebagai perlawanan terhadap rezim orde baru yang selalu mengklaim dirinya bersikap demokratis, padahal menciptakan UU untuk menjerat siapa saja yang menkritik. Hampir tidak ada orang yang berani mengemukakan kebenaran. Kalaupun ada, ujung-ujungnya adalah korban, sebutlah misalnya Sri Bintang Pemungkas, AM. Fatwa bahkan angota DPR MPR sendiri selama 32 tahun, ke hadirannya hanya setuju.

Menegakkan demokrasi menurut Gusdur tidak bias menghindari omongan yang tidak enak bahkan kontroversi menurutnya adalah esensi demokrasi. Dalam negara yang demokratis, harus pula diikuti oleh warga masyarakat yang demokratis. Masyarakat demokratis menurut Gusdur adalah semua warga negara mempunyai kedudukannya yang sama di muka hukum. Kedua, kebebasan berpendapat dibuka seluas-luasnya, keempat adanya pemisahan yang tegas dalam fungsi yang tidak boleh saling mempengaruhi antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam menegakkan demokrasi Gusdur sangat menghindari terjadinya kekerasan, dan beliau lebih percaya pada perjuangan kultural.

d.      Pribumisasi

Istilah "Pribumisasi Islam" pertama kali dilontarkan tahun 1980-an oleh Abdurrahman Wahid sebagai ganti atas istilah indigenization dalam bahasa Inggris. Pribumisasi Islam lahir dalam konteks perhatian Gusdur untuk tidak menjadikan Islam sebagai alternatif terhadap persoalan-persoalan kenegaraan dan kebangsaan. Ini berbeda dengan sebahagian komunitas gerakan Islam pemurnian, para pencari "Islam asli dan otentik", di Indonesia menghendaki pengislaman negara. Atau mengangkat ajaran Islam sebagai alternatif untuk mengatasi persoalan-persolan kebangsaan. Seperti tampak dalam tuntutan penegakan syariat Islam dan Piagam Jakarta. Dengan pribumisasi, segenap ajaran agama yang telah diserap oleh kultur lokal akan tetap dipertahankan dalam bingkai lokalitas tersebut. Singkatnya seperti dikatakan Gusdur sendiri, mengokohkan kembali akar budaya kita, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. Pada level bahasa, ia tidak setuju dengan pergantian sejumlah kosakata dalam bahasa Indonesia dengan bahasa Arab, seperti ulang tahun diganti dengan milad, selamat pagi diganti dengan Assalamu Alaikum, teman atau sahabat dengan ikhwan proses ini disebut ini disebut Islamisasi dan Arabisasi (Baso, 2002: 8). Maka tidak heran kalau kemudian muncul kontroversi diakhir 1980-an tentang Assalamu Alaikum diganti dengan Selamat Pagi.



@menzour_id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar