PERKEMBANGAN
ISLAM DI NUSANTARA
A. Masuknya
Islam di Indonesia
Ada beberapa teori yang mencoba mengungkap
bagaimana masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara, yaitu: teori Gujarat,
teori Mekkah, teori Persia, dan teori China.
1. Teori
India
Teori ini menyatakan Islam datang ke
Nusantara bukan langsung dari Arab melainkan melalui India pada abad ke-13.
Dalam teori ini disebut lima tempat asal Islam di India yaitu Gujarat, Cambay,
Malabar, Coromandel, dan Bengal (Hasbullah, 2001: 9). Pijnappel, seorang
Profesor Bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda. Dia mengatakan bahwa
Islam datang ke Indonesia (Nusantara) bukan berasal dari Arab, tetapi berasal
dari India, terutama dari pantai barat, yaitu daerah Gujarat dan Malabar.
Sebelum Islam samapai ke Indonesia, banyak orang Arab bermazhab Syafi’i yang
bermigrasi dan menetap di wilayah India. Dari sana, selanjutnya Islam menyebar
ke Indonesia (Nusantara).
Teori tersebut kemudian direvisi oleh
Cristian Snouck Hurgronje, menurutnya Islam yang tersebar di Indonesia berasal
dari wilayah Malabar dan Coromandel, dua kota yang berada di India selatan,
setelah Islam berpijak kuat di wilayah tersebut. Penduduk yang berasal Daccan
bertindak sebagai perantara dagang antara negeri-negeri Islam dengan penduduk Indonesia.
Selanjutnya, orang-orang dari Daccan dalam jumlah besar menetap di kota-kota
pelabuhan di kepulauan Indonesia untuk menyemaikan benih-benih Islam tersebut.
Baru setelah itu, datanglah orang-orang Arab yang melanjutkan Islamisasi di
Indonesia. Orang-orang ini menemukan kesempatan baik untuk menunjukkan keahlian
organisasinya sehingga mereka banyak yang bertindak selaku ulama,
penguasa-penguasa agama dan sultan yang sering bertindak sebagai penegak
pembentukan negeri-negeri baru.
Alasan Snouck Hurgronje bahwa Islam di
Indonesia berasal dari Daccan adalah adanya kesamaan tentang paham Syafi’iyah
yang kini masih berlaku di Pantai Coromandel. Demikian pula pengaruh Syiah yang
masih meninggalkan sedikit jejaknya di Jawa dan Sumatera, yang dulunya mempunyai
pengaruh kuat sebagaimana kini berlaku di India. Snouck Hurgronje juga
menyebutkan bahwa abad ke 12 sebagai periode yang paling mungkin dari awal
penyebaran Islam di Nusantara.
Dapat disimpulkan bahwa Snouck Hurgronye,
yang mendukung teori ini juga menyatakan tiga alasan, sebagai berikut:
a. Kurangnya
bukti yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke
Nusantara,
b. Hubungan
dagang antara Indonesia-India telah lama terjalin, dan
c. Inskripsi
tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan
dagang antara Sumatera dan Gujarat.
Teori Gujarat sebagai tempat asal Islam di
Nusantara dipandang mempunyai kelemahan oleh Marisson. Alasannya, meskipun
batu-batu nisan tersebut berasal dari Gujarat atau Bengal, bukan berarti Islam
besal dari sana. Dikatakannya, ketika Islamisasi Samudra-Pasai yang raja
pertamanya wafat 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan sebuah kerajaan bercorak
Hindu. Baru pada satu tahun berikutnya, Cambay, Gujarat ditaklukkan oleh
kekuasaan Muslim. Ini artinya, jika Islam di Indonesia disebarkan oleh
orang-orang Gujarat pastilah Islam telah menjadi agama yang mapan sebelum tahun
698 H/1297 M. Atas dasar tersebut, Marisson menyimpulkan bahwa Islam di
Indonesia bukan berasal dar Gujarat, tetapi dibawa para pendakwah muslim dari
Pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.
Pandangan Marisson tersebut mendukung
pendapat yang dipegang oleh Thomas W. Arnold, yang mengatakan bahwa Islam
dibawa ke Nusantara antara lain berasal dari Coromandel dan Malabar. Teori ini
didasarkan pada argumen adanya persamaan mazhab fiqih di kedua wilayah terebut.
Mazhab Syafi’i yang mayoritas diikuti oleh mayoritas Muslim di Nusantara
merupakan mazhab yang dominan di wilayah Coromandel dan Malabar. Menurut
Arnold, para pedagang Muslim dari Coromandel dan Malabar mempunyai peranan
penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Kehadiran sejumlah besar
padagang ini di pelabuhan-pelabuhan Indonesia tidak hanya berdagang, tetapi
juga menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat (Husda, 2016: 18-20)
2. Teori
Arab/Mekkah
Teori arab merupakan salah satu teori yang
biasa dijelaskan dalam penulisan sejarah. Teori ini disebut juga dengan teori
Timur Tengah yang dipelopori oleh beberapa sejarawan, di antaranya adalah
Crawfurd, Keijzer, Naimann, de Hollander, dan juga ada beberapa sejarawan
Indonesia seperti Hasjmi, Al-Attas, Buya Hamka, Hoesein Djajadiningrat, dan
Mukti Ali. Penting diketahui, bahwa Coromandel dan Malabar, menurut Arnold
bukanlah satu-satunya tempat Islam dibawa ke Nusantara. Islam di Indonesia juga
dibawa oleh para pedagang dari Arabia. Para pedagang Arab ini terlibat aktif
dalam penyebaran Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur
sejak awal abad ke-7 dan ke- 8 Masehi.
Asumsi ini didasarkan pada sumber-sumber
China yang menyebutkan bahwa menjelang perempatan ketiga abad ke-7, seorang
pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatera.
Bahkan, beberapa orang Arab ini telah melakukan perkawinan campur dengan
penduduk pribumi yang kemudian membentuk inti sebuah komunitas Muslim yang para
anggotanya telah memeluk agama Islam. Teori ini semula dikemukakan oleh
Crawfurd yang mengatakan bahwa Islam dikenalkan pada masyarakat Nusantara
langsung dari Tanah Arab, meskipun hubungan bangsa Melayu-Indonesia dengan umat
Islam di pesisir Timur India juga merupakan faktor penting.
Berdasarkan teori Arab dari Buya Hamka
yang tertulis dalam historiografi Indonesia, dijelaskan bahwa Islam masuk ke
Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi yang mendasarkan
teori pada berita China dari zaman T'ang. Dalam catatan Tionghoa dijelaskan
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M tepatnya di wilayah Sumatera
dalam perkembangan perdagangan maritim Kerajaan Sriwijaya dengan dukungan dari
mubaligh dan pedagang-pedagang muslim. Hamka memberikan argumentasi bahwa
Gujarat hanya sebagai tempat singgah, sedangkan Mekkah atau Mesir adalah
sebagai tempat pengambilan ajaran Islam. Adapun masuknya Islam ke Indonesia
melalui dua jalur, yaitu:
a. Jalur
Utara, dengan rute: Arab (Mekkah dan Medinah)
1) Damaskus
2) Bagdad
3) Gujarat
(pantai Barat India)
4) Srilanka
5) Indonesia.
b. Jalur
Selatan, dengan rute: Arab (Mekkah dan Medinah)
1) Yaman
2) Gujarat
(pantai barat India)
3) Srilanka
4) Indonesia.
Hubungan antara timur tengah dengan
nusantara terbagi dalam beberapa fase. Pada fase pertama, sejak akhir abad ke-8
sampai abad ke-12 hubungan Timur Tengah dengan Nusantara yaitu berkenaan dengan
perdagangan. Kemudian fase berikutnya sampai akhir abad ke-15 hubungan antara
keduanya terlihat lebih luas. Barulah sejak abad ke-16 sampai abad ke-17
hubungan Timur Tengah dengan Nusantara terjalin lebih bersifat politik di
samping kegiatan keagamaan.
Taufik Abdullah mengkompromikan
teori-teori di atas dengan menyatakan bahwa memang benar Islam sudah datang ke
Indonesia sejak abad 1 H atau abad ke-7 atau 8 M, akan tetapi Islam pada waktu
itu baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Islam
barulah masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad
ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus
balik kehancuran Baghdad ibukota Abbasiyah oleh Hulagu.
Kehancuran ini menyebabkan pedagang Muslim
mengalihkan aktivitas perdagangan ke arah Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia
Tenggara. Berdasarkan teori tersebut, dapat diketahui juga beberapa pihak yang
memainkan peranan penting dalam menyebarkan Islam di Nusantara, yaitu pedagang
dan sufi. Para pedagang Arab, Persia, dan Gujarat/India datang ke daerah-daerah
di Indonesia untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Interaksi yang
terjadi antara para pedagang muslim dengan penduduk setempat, memungkinkan
agama Islam kemudian terus berkembang hingga berdirinya sebuah kerajaan,
seperti kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama
di Indonesia. Pada saat itu, Pasai menjadi pusat perdagangan yang banyak
disinggahi para pedagang dari berbagai negara, termasuk para pedagang Islam
dari Gujarat dan Persia.
Demikian pula sebaliknya, para pedagang
dari berbagai daerah di Indonesia, seperti para pedagang Jawa, juga singgah dan
berdagang di Pasai. Interaksi yang terjadi antara para pedagang Arab, Persia,
dan Gujarat dengan pedagang Jawa, Islam juga berkembang di Pulau Jawa. Perkembangan
Islam di Pulau Jawa terjadi sangat cepat, seiring dengan semakin lemahnya
Kerajaan Majapahit. Komunitas muslim di Jawa kemudian mendirikan kerajaan Islam
pertama di Pulau Jawa, yakni Kerajaan Demak. Dalam perkembangannya Kerajaan
Demak tumbuh menjadi pusat penyebaran agama Islam ke berbagai daerah di
Indonesia.
Adapun para sufi juga memainkan peranan
penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Mereka mengembara sekaligus
berdagang di wilayah-wilayah Nusantara. Seperti Sunan kudus misalnya, salah
seorang dari Walisongo yang sangat dihormati, seorang alim, sufi sekaligus
saudagar yang kaya raya. Selain itu, keberhasilan mereka dalam syiar Islam juga
lebih disebabkan dalam menyajikan Islam menggunakan kemasan yang atraktif,
yaitu menekankan kesesuaian Islam dengan tradisi lama atau kontinuitas,
daripada perubahan drastis dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal (Hindu
dan Buddha).
Di samping itu, para sufi gemar menawarkan
pertolongan, misalnya menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita masyarakat
dan mengimbangi ilmu magis yang berkembang dalam masyarakat. Peranan penting para sufi juga ditandai
dengan berkembangnya aliran-aliran sufisme atau mistik yang melembaga dalam
tarekat-tarekat di Indonesia pada abad ke-6 dan ke-7. Beberapa wali mencampurkan
ajaran Islam dengan mistik, sehingga timbul suatu sinkretisme. Mereka bersedia
memakai unsur-unsur kultur pra-Islam dalam menyebarkan agama Islam. Para sufi
menyebarkan Islam melalui dua cara, yaitu:
a. Dengan
membentuk kader mubaligh agar mampu mengajarkan dan menyebarkan agama Islam di
daerah asalnya; dan
b. Melalui
karya tulis yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat, seperti Hamzah
Fanshuri yang telah menulis Asrar al-Arifin fi Bayan ila al-Suluk wal Tauhid
dan Syair Perahu yang merupakan syair Sufi.
c. Melalui
peranan para pedagang dan sufi tersebut, dapat diketahui pola penyebaran Islam
di Nusantara, sebagai berikut.
d. Perdagangan,
pedagang muslim yang berdagang ke Indonesia makin lama makin banyak sehingga
membentuk pemukiman yang disebut Pekojan. Dari Pekojan inilah mereka
berinteraksi, dan berasimilasi dengan warga lokal sembari menyebarkan agama
Islam.
e. Perkawinan,
pedagang muslim yang masuk ke Indonesia banyak yang menikah dengan warga lokal.
Sebelum perkawinan berlangsung, para wanita pribumi yang belum beragama Islam
diminta mengucapkan syahadat sebagai tanda menerima Islam sebagai agamanya.
Melalui proses interaksi ini penduduk pribumi lambat laun mengenal nilai dan
ajaran Islam.
f.
Pendidikan, yang mana setelah terbentuk
masyarakat muslim pribumi, para guru agama, kiai serta ulama memberikan
pendidikan berawal dari rumah, surau, masjid, dan mushalla. Setelah itu, mereka
mendirikan madrasah dan pondok pesantren untuk mendidik generasi muda yang
tertarik menjadi santri. Pesantren ini terbuka bagi siapapun dan dari daerah
manapun. Semakin terkenal kiai yang mengajar di sebuah pesantren itu, semakin
besar pula pengaruh pesantren tersebut di tengahtengah masyarakat. Setelah
selesai mengikuti pendidikan, mereka kembali ke kampung halaman masing-masing.
Ada pula yang pergi ke tempat-tempat lain; di sana para santri berdakwah dan
mengajarkan Islam. Aktivitas seperti inilah yang turut memperluas pengaruh
Islam ke berbagai penjuru Nusantara. \
g. Tasawuf,
ajaran tasawuf memudahkan orang yang telah mempunyai dasar ketuhanan lain untuk
mengerti dan menerima ajaran Islam. Ajaran ini banyak dijumpai dalam cerita
babad dan hikayat masyarakat setempat. Beberapa tokoh penyebar tasawuf yang
terkenal adalah Syaikh Hamzah Fansuri, Syaikh Syamsudin, Syaikh Abdul Samad,
dan Syaikh Nuruddin ar-Raniri.
h. Kesenian,
yang mana penyebaran agama Islam tampak dalam wujud peninggalan seni bangunan,
seni pahat, seni musik dan seni sastra. Hasil-hasil seni ini dapat pula dilihat
pada bangunan masjid kuno di Aceh, Demak, Cirebon, dan Banten. Kesenian adalah
salah satu unsur kebudayaan, sehingga kesenian mengambil peran penting dalam
penyebaran Islam melalui budaya.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241989403
Selain
karena pola penyebaran Islam yang relevan, terdapat pula faktor-faktor yang
menyebabkan Islam mudah diterima dan berkembang di Nusantara, antara lain:
1)
Syarat-syarat masuk agama Islam sangat
mudah. Seseorang telah dianggap masuk Islam bila ia telah mengucapkan dua
kalimat syahadat.
2)
Ajaran Islam tidak mengenal kasta, dan
menganggap semua manusia mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah.
Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh status sosial, akan tetapi oleh
ketakwaannya kepada Allah.
3)
Upacara-upacara keagamaan dalam ajaran
Islam sangat sederhana dan tidak harus mengeluarkan banyak biaya.
4)
Agama Islam yang menyebar di Indonesia
disesuaikan dengan adat dan tradisi Nusantara dan dalam penyebarannya dilakukan
dengan damai tanpa kekerasan.
5)
Sifat bangsa Indonesia yang ramah tamah
memberi peluang untuk bergaul lebih erat dengan bangsa lain. Di dalam pergaulan
yang erat itu kemudian terjadi saling mempengaruhi dan saling pengertian.
6)
Runtuhnya Kerajaan Majapahit turut
memperlancar penyebaran agama Islam di Nusantara. g. Semangat para penganut
Islam untuk terus menyebarkan agama yang telah dianutnya, yang mana bagi
penganut Islam, menyebarkan agama adalah sebuah kewajiban.
3. Teori
Persia
Selain teori India dan teori Arab, ada
lagi teori Persia. Teori Persia ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke
Nusantara ini berasal dari Persia, bukan dari India dan Arab. Teori ini
didasarkan pada beberapa unsur kebudayaan Persia, khususnya Syi’ah yang ada
dalam kebudayaan Islam di Nusantara. Di antara pendukung teori ini adalah P.A.
Hoesein Djajadiningrat. Ini merupakan alasan pertama dari teori ini.
Berdasarkan analisis sosio-kultural, terdapat titik-titik kesamaan antara yang
berlaku dan berkembang di kalangan masyarakat Islam Indonesia dengan di Persia.
Misalnya, perayaan Tabut di beberapa tempat di Indonesia, dan berkembangnya
ajaran Syekh Siti Jenar, ada kesamaan dengan ajaran Sufi al-Hallaj dari Iran
Persia. Dia mendasarkan analisisnya pada pengaruh sufisme Persia terhadap
beberapa ajaran mistik Islam (sufisme) Indonesia.
Ajaran manunggaling kawula gusti Syeikh
Siti Jenar merupakan pengaruh dari ajaran wahdat al-wujud al-Hallaj dari
Persia. Alasan kedua, penggunaan istilah bahasa Persia dalam sistem mengeja
huruf Arab, terutama untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajaran
Al-Qur’an. Jabar (Arab-fathah) untuk menghasilkan bunyi “a” (Arab; kasrah)
untuk menghasilkan bunyi “i” dan “e”; serta pes (Arab, dhammah) untuk
menghasilkan bunyi “u” atau “o”. Dengan demikian, pada awal pelajaran membaca
Al-Qur’an, para santri harus menghafal alifjabar “a”, alifjer “i” dan alif pes
“u”/”o”. Cara pengajaran seperti ini, pada masa sekarang masih dipraktekkan di
beberapa pesantren dan lembaga pengajian Al-Qur’an di pedalaman Banten. Juga,
huruf sin tanpa gigi merupakan pengaruh Persia yang membedakan dengan huruf sin
dari Arab yang bergigi.
Ketiga, peringatan Asyura atau 10 Muharram
sebagai salah satu hari yang diperingati oleh kaum Syi’ah, yakni hari wafatnya
Husain bin Abi Thalib di Padang Karbala. Di Jawa dan juga di Aceh, peringatan
ini ditandai dengan pembuatan bubur Asyura. Di Minangkabau dan Aceh, bulan
Muharram disebut dengan bulan Hasan-Husain. Di Sumatera Tengah sebelah barat,
ada upacara Tabut, yaitu mengarak ‘keranda Husain’ untuk dilemparkan ke dalam
sungai atau perairan lainnya. Keranda tersebut disebut dengan Tabut yan berasal
dari bahasa Arab. Hamka menolak teori
ini dengan alasan, bahwa apabila Islam masuk abad ke-7 M. yang ketika itu
kekuasaan dipimpin Khalifah Umayyah (Arab), sedangkan Persia belum menduduki
kepemimpinan dunia Islam. Selain itu, masuknya Islam dalam suatu wilayah, juga
identik dengan langsung berdirinya sebuah kekuasaan politik Islam.
4. Teori
Cina
Sebenarnya, peranan orang China terhadap
Islamisasi di Indonesia perlu mendapat perhatian khusus. Banyaknya unsur
kebudayaan China dalam beberapa unsur kebudayaan Islam di Indonesia perlu
mempertimbangkan peran orang-orang China dalam Islamisasi di Nusantara,
karenanya ”teori China” dalam Islamisasi tidak bisa diabaikan. H.J. de Graaf,
misalnya, telah menyunting beberapa literature Jawa klasik yang memperlihatkan
peranan orang-orang China dalam pengembangan Islam di Indonesia. Dalam
tulisan-tulisan tersebut, disebutkan bahwa tokoh-tokoh besar semacam Sunan
Ampel (Raden Rahmat/Bong Swi Hoo) dan Raja Demak (Raden Fatah/Jin Bun)
merupakan orang-orang keturunan China.
Pandangan ini juga didukung oleh salah
seorang sejarawan Indonesia, Slamet Mulyana, dalam bukunya yang kontroversial,
Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya negaranegara Islam di Nusantara.
Denys Lombard juga telah memperlihatkan besarnya pengaruh China dalam berbagai
aspek kehidupan bangsa Indonesia, seperti makanan, pakaian, bahasa, seni
bangunan, dan sebagainya. Lombard mengulas semua ini dalam bukunya Nusa Jawa:
Silang Budaya yang terdiri dari tiga jilid. Teori ini menjelaskan bahwa etnis
Cina Muslim sangat berperan dalam proses penyebaran agama Islam di Nusantara.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada teori Arab, hubungan Arab Muslim
dan Cina sudah terjadi pada Abad pertama Hijriah.
Dengan demikian, Islam datang dari arah
barat ke Nusantara dan ke Cina berbarengan dalam satu jalur perdagangan. Islam
datang ke Cina di Canton (Guangzhou) pada masa pemerintahan Tai Tsung (627-650)
dari Dinasti Tang, dan datang ke Nusantara di Sumatera pada masa kekuasaan
Sriwijaya, dan datang ke pulau Jawa tahun 674 M berdasarkan kedatangan utusan
raja Arab bernama Ta cheh/Ta shi ke kerajaan Kalingga yang di perintah oleh
Ratu Sima.
B. Strategi
dakwah Islam di Indonesia
Situasi masyarakat sebelum datangnya Islam
terpengaruhi oleh sistem kasta dalam agama Hindu yang menjadikan perbedaan
golongan kelas dalam kehidupan. Akibatnya, kehidupan masyarakat menjadi
bertingkat dan berkelompok. Masyarakat Hindu ketika itu membagi kastanya
menjadi empat (4) kasta yaitu: kasta brahmana, kasta ksatria, kasta waisya, dan
kasta sudra. Sebagai kasta yang paling rendah, kasta sudra sering tertindas
oleh kasta lainnya, sehingga kehidupannya selalu diliputi keresahan.
Datangnya Islam mengikis keadaan
masyarakat yang berkasta, merubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik tanpa
adanya penindasan atas perbedaan kasta. Perubahan ini tidak terlepas atas peran
para wali dan para muballigh. Penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17
dikenal dengan istilah Walisongo. Era Walisongo menandai berakhirnya dominasi
Hindu Budha dalam budaya Nusantara dan dirubah menjadi kebudayaan Islam.
Peranan mereka sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam dan penyebaran
ajaran agama Islam di Jawa.
Penyebaran Islam terutama di Jawa banyak
dilakukan oleh para wali. Wali dalam hal ini Wali Allah atau Waliyullah, adalah
orang suci yang mula-mula menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Jadi, wali
adalah orang yang mengabdikan diri kepada Allah dengan menyerahkan upaya
lahiriah dan rohaniah untuk kepentingan agama Islam dengan disertai kelebihan
karomah, dimana orang biasa tidak mungkin melakukannya.
Syech Yusup bin Sulaiman dalam kitab
Jami'u Karamati al-Aulia berpendapat bahwa Wali ialah orang yang sangat dekat
kepada Allah lantaran penuh ketaatannya dan oleh karena itu Allah memberikan
kuasa kepadanya dengan Karomah dan penjagaan. Wali adalah orang yang
terpelihara dari perbuatan dosa, baik dosa besar atau pun kecil, juga terhidar
dari terjerumusnya hawa nafsu meskipun hanya sekejap dan apabila melakukan dosa
maka segera bertaubat kepada Allah SWT. Wali-wali itu dianggap sebagai orang
yang mulamula menyiarkan agama Islam di Jawa dan biasa dinamakan Wali Sembilan
atau Wali Songo.
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai
penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga
wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa
Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98021043410572225
Ada beberapa pendapat mengenai arti
Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang
ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa
kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia.
Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti
tempat. Kedua mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan
oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan Walisongo
beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang,
putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan Drajad, putra kedua dari Sunan
Ampel); Usman Haji (Pangeran Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin
(Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh Suta Maharaja; Raden Hamzah
(Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.
Para Walisongo adalah intelektual yang
menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam
beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari
kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan,
hingga ke pemerintahan. Pada dasarnya, para walisongo tidak hidup satu waktu
secara bersamaan, namun satu sama lain mempunyai ikatan erat baik karena
pernikahan ataupun hubungan guru dengan murid.
Setiap individu Walisongo mempunya peran
dan kekhasan tersendiri dalam proses penyebaran agama Islam di Nusantara.
Maulana Malik Ibrahim yang memposisikan dirinya sebagai "tabib" bagi
kerajaan Hindu Majapahit, Sunan Giri yang disebut sebagai "Paus dari
Timur" hingga Sunan Kalijaga dengan kekhasannya karya kesenian dengan
menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa, yaitu nuansa Hindu dan
Budha.
Walisongo tidak hidup pada saat yang
persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak
dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Era Walisongo adalah era
berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan
kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya
di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang
sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat
"sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Selain istilah wali, di Jawa dikenal juga
istilah sunan. Sunan adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan dihormati,
biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Gelar ini biasa diberikan
untuk mubaligh atau penyebar agama Islam, khususnya di tanah Jawa pada abad
ke-15 hingga abad ke-16. Menurut Hamka istilah Sunan berasal dari singkatan
kata bahasa Jawa Susuhunan. Artinya adalah tempat penerima "susunan"
jari yang sepuluh, atau dengan kata lain sesembahan. Namun demikian, istilah
tersebut bukanlah istilah umum dalam agama Islam, melainkan hanya sebutan yang
sifatnya sosio-kultural, khususnya pada masyarakat Jawa di Indonesia. Selain
sunan, ada pula mubaligh lainnya yang disebut syekh, kyai, ustadz, penghulu,
atau tuan guru.
Dari sejumlah sunan, terdapat 9 orang yang
paling terkenal diantara mereka yang dikenal dengan sebutan Walisongo, yaitu
dari kata wali (bahasa Arab, yang berarti wakil), dan sanga (bahasa Jawa, yang
berarti sembilan). Mereka dianggap sebagai mubaligh agung, baik dari segi ilmu
agama Islam maupun bobot segala jasa dan karomahnya terhadap kehidupan
bermasyarakat dan kenegaraannya.
Dari silsilahnya Maulana Malik Ibrahim
yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah
keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan
Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat
sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus
murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali
Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari
awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta
Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu
masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru:
mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian,
kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua
institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam
berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati
bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang,
Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa
hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum
jelata.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605827971
Sekilas tentang terdapat sembilan nama
yang dikenal sebagai anggota Walisongo, diantaranya adalah para Walisongo,
antara lain:
1. Maulana
Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim
As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal
abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti
pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian
rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak,
ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku).
Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana
Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini
sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Aktifitas pertama yang dilakukannya ketika
itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan
kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga
menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib,
kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari
Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek
Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat
bawah-kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya,
yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda
krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat
belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini
terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
2. Sunan
Giri
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di
pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia
sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka
pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa
Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.
3. Sunan
Bonang
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu
kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW,
kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernapasan yang disebut dengan
rahasia Alif Lam Mim م ل ا ) yang
artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan
gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf
Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf
Ya'. Ia menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah
dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis
artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan
nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi
Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya
untuk melakukan Sujud atau Salat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang
diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya
dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid
Indonesia
4. Sunan
Ampel
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi.
Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang
menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah
"Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon).
Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak
mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina."
5. Sunan
Drajat
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali
dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian
terdampar di Dusun Jelog-pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi
setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan
padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan
Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya
lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian
yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah
suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri
makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang'.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang
bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara
anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara
ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka
tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan
agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya.
6. Sunan
Muria
Sunan Muria seringkali dijadikan pula
sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia
dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun
rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua
pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga
sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom
dan Kinanti. Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung
Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti
Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima
wasiat Nabi Sulaeman.
7. Sunan
Gunung Jati
Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya
"wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati
memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam
dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
8. Sunan
Kudus
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan
Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah
seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru
pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara
penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali -yang kesulitan mencari
pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara
Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol
Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara,
gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha.
Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Ia juga memilih kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal.
Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka
mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama hilang.
9. Sunan
Kalijaga
Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis
dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni
suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan
sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk jadi Raja.
Taman pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid
diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat efektif.
Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di
antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang
(sekarang Kotagede-Yogyakarta). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, selatan
Demak.
Strategi dakwah yang digunakan Walisongo
adalah penerapan strategi yang dikembangkan para sufi Sunni dalam menanamkan
ajaran Islam melalui keteladanan yang baik. Jejak yang ditinggalkan Walisongo
itu terlihat dalam kumpulan nasihat agama yang termuat dalam tulisan-tulisan
para murid dan ahli waris Wali Songo. Baik berupa buku sejarah, nasab,
silsilah, suluk, babad, manaqib dan lainlain yang menggambarkan hakikat aliran
tasawuf dan dakwah yang mereka anut dan kembangkan. Strategi Dakwah yang
dilakukan para wali berbeda-beda, sebagai contoh adalah Sunan Kalijaga
menggunakan strategi berdakwah dengan mengajak Pembesar Hindu di Semarang.
Mulanya terjadi perdebatan seru, tetapi
perdebatan itu kemudian berakhir dengan rasa tunduk Sang bangsawan itu untuk
masuk Islam. Kejadian mengharukan ketika bangsawan itu rela melepaskan jabatan
dan rela meninggalkan harta dan keluarga untuk bergabung dalam dakwah Sunan
Kalijaga. Strategi yang dilakukan Sunan Kudus tampak unik dengan mengumpulkan
masyarakat untuk melihat lembu yang dihias sedemikian rupa sehingga tampil
bagai pengantin itu kemudian diikat di halaman masjid, sehingga masyarakat yang
ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyunduyun menyaksikan lembu
yang diperlakukan secara istimewa dan aneh itu. Sesudah mereka datang dan
berkumpul di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya.
Cara ini praktis dan strategis untuk menarik
minat masyarakat yang masih banyak menganut agama Hindu. Seperti diketahui,
lembu merupakan binatang keramat Hindu. Sebagai contoh yang lain Sunan Kudus
dan Sunan Ampel yang berkuasa di daerah-daerah di sekitar kediaman mereka,
dengan demikian kekuatan diplomasi dan kemampuan dalam berhujjah atas kekuatan
pemerintahan Majapahit.
Masyarakat Indonesia dahulu memeluk
kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau
dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Pada mulanya sebelum
Walisongo menggunakan media wayang, bentuk wayang menyerupai relief atau arca
yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan. Pementasan wayang merupakan acara
yang amat digemari masyarakat. Masyarakat menonton pementasan wayang berbondong-bondong
setiap kali dipentaskan.
Sebelum Walisongo menggunakan wayang
sebagai media mereka, sempat terjadi perdebatan diantara mereka mengenai adanya
unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah, doktrin keesaan Tuhan dalam Islam.
Selanjutnya para Wali melakukan berbagai penyesuaian agar lebih sesuai dengan
ajaran Islam. Bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk menyerupai manusia
menjadi bentuk yang baru. Wajahnya miring, leher dibuat memanjang, lengan
memanjang sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam
cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon
Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya
Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala
isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya
kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran- ajaran tentang
menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia. Dalam sejarahnya, para Wali berperan besar
dalam pengembangan pewayangan di Indonesia.
Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat
berjasa dalam mengembangkan Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah
mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa
Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang
Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana
yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus
dicari (Wayang Golek)”. Di samping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya,
para wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya
lainnya contohnya melalui penciptaan tembangtembang keislaman berbahasa Jawa,
gamelan, dan lakon Islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca
syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah
satu Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan
kesenian lokal.
Dalam hal ini menyebar luaskan Islam
melalui bahasa-bahasa simbol, media, dan budaya merupakan salah satu bentuk
perjuangan yang cukup efektif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa strategi
yang digunakan mengacu pada tiga strategi dakwah, yaitu Al-Hikmah atau
kebijaksanaan, Al-Mauizah Hasanah atau nasihat yang baik, dan AlMujadalah atau
berdiskusi secara sinergis dengan menghasilkan satu alternatif pemikiran tanpa
menyudutkan salah satu kelompok.
C.
Tradisi
dan Seni Budaya Lokal Umat Islam di Nusantara
1.
Tradisi
Lokal
Tradisi adalah kebiasaan atau adat
istiadat yang dilakukan turun temurun oleh masyarakat. Sebagaimana diketahui
bahwa sebelum Islam datang, masyarakat Nusantara sudah mengenal berbagai
kepercayaan dan memiliki beragam tradisi lokal. Melalui kehadiran Islam maka
kepercayaan dan tradisi di Nusantara tersebut membaur dan dipengaruhi
nilai-nilai Islam. Karenanya muncullah tradisi Islam Nusantara sebagai bentuk
akulturasi antara ajaran Islam dengan tradisi lokal Nusantara.
Tradisi Islam di Nusantara digunakan
sebagai metode dakwah para ulama zaman itu. Para ulama tidak memusnahkan secara
total tradisi yang telah ada di masyarakat. Mereka memasukkan ajaranajaran
Islam ke dalam tradisi tersebut, dengan harapan masyarakat tidak merasa
kehilangan adat dan ajaran Islam dapat diterima. Seni budaya, adat, dan tradisi
yang bernapaskan Islam tumbuh dan berkembang di Nusantara. Tradisi ini sangat
bermanfaat bagi penyebaran Islam di Nusantara. Untuk itulah, kita sebagai
generasi muda Islam harus mampu merawat, melestarikan, mengembangkan dan
menghargai hasil karya para ulama terdahulu.
Mengingat zaman modern sekarang ini ada
sebagian kelompok yang mengharamkan dan ada sebagian yang menghalalkan. Mereka
yang mengharamkan beralasan pada zaman Rasulullah saw. tidak pernah ada. Mereka
yang membolehkan dengan dasar bahwa tradisi tersebut digunakan sebagai sarana
dakwah dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kita sebagai generasi
penerus Islam kita harus bijaksana dalam menyikapi tradisi tersebut. Memang
harus diakui ada tradisi-tradisi lokal yang tidak sesuai dengan Islam. Tradisi
seperti ini harus kita tolak, dan buang supaya tidak ditiru oleh generasi
berikutnya.
Para ulama dan wali pada zaman dahulu
tentu telah mempertimbangkan tradisi-tradisi tersebut dengan sangat matang baik
dari segi madharatmafsadat maupun halal-haramnya. Mereka sangat paham hukum
agama, sehingga tidak mungkin mereka menciptakan tradisi tanpa
pertimbanganpertimbangan tersebut. Banyak sekali tradisi atau budaya Islam yang
berkembang hingga saat ini. Semuanya mencerminkan kekhasan daerah atau tempat
masing-masing. Berikut ini adalah beberapa tradisi atau budaya Islam
dimaksud.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98021043410572285
a. Tradisi
Halal Bihalal.
Halal bihalal dilakukan pada Bulan Syawal,
berupa acara saling bermaaf-maafan. Tujuan halal bihalal selain saling
bermaafan adalah untuk menjalin tali silaturahim dan mempererat tali
persaudaraan. Sampai saat ini tradisi ini masih dilakukan di semua lapisan masyarakat.
Mulai keluarga, tingkat RT sampai istana kepresidenan. Bahkan acara halal
bihalal sudah menjadi tradisi nasional yang bernafaskan Islam. Istilah halal
bihalal berasal dari bahasa Arab (halla atau halal) tetapi tradisi halal bi
halal itu sendiri adalah tradisi khas bangsa Indonesia, bukan berasal dari
Timur Tengah. Bahkan bisa jadi ketika arti kata ini ditanyakan kepada orang
Arab, mereka akan kebingungan dalam menjawabnya. Halal bihalal sebagai sebuah
tradisi khas Islam Indonesia lahir dari sebuah proses sejarah. Tradisi ini
digali dari kesadaran batin tokoh-tokoh umat Islam masa lalu untuk membangun
hubungan yang harmonis (silaturahim) antar umat. Dengan acara halal bihalal,
pemimpin agama, tokoh-tokoh masyarakat dan pemerintah akan berkumpul, saling
berinteraksi dan saling bertukar informasi.
b. Tradisi
Tabot atau Tabuik.
Tabot atau Tabuik, adalah upacara
tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian
Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad saw. Kedua cucu
Rasulullah saw. ini gugur dalam peperangan di Karbala, Irak pada tanggal 10
Muharam 61 Hijriah (681 M). Perayaan di Bengkulu pertama kali dilaksanakan oleh
Syaikh Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam Senggolo pada tahun 1685. Syaikh
Burhanuddin menikah dengan wanita Bengkulu kemudian keturunannya disebut
sebagai keluarga Tabot. Upacara ini dilaksanakan dari 1 sampai 10 Muharram
(berdasar kalendar Islam) setiap tahun. Istilah Tabot berasal dari kata Arab,
“tabut”, yang secara harfah berarti kotak kayu atau peti. Tidak ada catatan
tertulis sejak kapan upacara Tabot mulai dikenal di Bengkulu. Namun, diduga
kuat tradisi ini dibawa oleh para tukang yang membangun Benteng Marlborought
(1718-1719) di Bengkulu. Para tukang bangunan tersebut, didatangkan oleh
Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan India.
c. Tradisi
Kupatan (Bakdo Kupat)
Di Pulau Jawa bahkan sudah berkembang ke
daerah-daerah lain terdapat tradisi kupatan. Tradisi membuat kupat ini biasanya
dilakukan seminggu setelah hari raya Idul Fitri. Biasanya masyarakat berkumpul
di suatu tempat seperti mushala dan masjid untuk mengadakan selamatan dengan
hidangan yang didominasi kupat (ketupat). Kupat merupakan makanan yang terbuat
dari beras dan dibungkus anyaman (longsong) dari janur kuning (daun kelapa yang
masih muda). Sampai saat ini ketupat menjadi maskot Hari Raya Idul Fitri.
Ketupat memang sebagai makanan khas lebaran. Makanan itu ternyata bukan sekadar
sajian pada hari kemenangan, tetapi punya makna mendalam dalam tradisi Jawa.
Oleh para Wali, tradisi membuat kupat itu dijadikan sebagai sarana untuk syiar agama.
Kupat adalah singkatan dari ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan menjadi simbol
untuk saling memaafkan.
d. Tradisi
Sekaten di Surakarta dan Yogyakarta.
Tradisi Sekaten dilaksanakan setiap tahun
di Keraton Surakarta Jawa Tengah dan Keraton Yogyakarta. Tradisi ini
dilaksanakan dan dilestarikan sebagai wujud mengenang jasa-jasa para Walisongo
yang telah berhasil menyebarkan Islam di tanah Jawa. Peringatan yang lazim
dinamai Maulud Nabi itu, oleh para wali disebut Sekaten, yang berasal dari kata
Syahadatain (dua kalimat Syahadat). Tradisi ini sebagai sarana penyebaran agama
Islam yang pada mulanya dilakukan oleh Sunan Bonang. Dahulu setiap kali Sunan
Bonang membunyikan gamelan diselingi dengan lagu-lagu yang berisi ajaran agama
Islam serta setiap pergantian pukulan gamelan diselingi dengan membaca
syahadatain. Jadi, Sekaten diadakan untuk melestarikan tradisi para wali dalam
memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw.
e. Tradisi
Grebeg.
Tradisi untuk mengiringi para raja atau
pembesar kerajaan. Grebeg pertama kali diselenggarakan oleh keraton Yogyakarta
oleh Sultan Hamengkubuwono ke-1. Grebeg dilaksanakan saat Sultan memiliki hajat
dalem berupa menikahkan putra mahkotanya. Grebek di Yogyakarta di selenggarakan
3 tahun sekali yaitu: Pertama grebek pasa-syawal diadakan setiap tanggal 1
Syawal bertujuan untuk menghormati Bulan Ramadhan dan Lailatul Qadr. Kedua
grebeg besar, diadakan setiap tanggal 10 dzulhijjah untuk merayakan hari raya
kurban. Ketiga grebeg maulud setiap tanggal 12 Rabiul awwal untuk memperingati
hari Maulid Nabi Muhammad saw. Selain kota Yogyakarta yang menyelenggarakan
pesta grebeg adalah kota Solo, Cirebon dan Demak.
f.
Tradisi Grebeg Besar di Demak
Tradisi Grebeg Besar merupakan upacara
tradisional yang setiap tahun dilaksanakan di Kabupaten Demak Jawa Tengah.
Tradisi ini dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah bertepatan dengan datangnya
Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban. Tradisi ini cukup menarik karena Demak
merupakan pusat perjuangan Walisongo dalam dakwah. Pada awalnya Grebeg Besar
dilakukan tanggal 10 Dzulhijjah tahun 1428 Caka dan dimaksudkan sekaligus untuk
memperingati genap 40 hari peresmian penyempurnaan Masjid Agung Demak. Mesjid
ini didirikan oleh Walisongo pada tahun 1399 Caka, bertepatan 1477 Masehi.
Tahun berdirinya masjid ini tertulis pada bagian Candrasengkala “Lawang Trus
Gunaning Janmo”. Pada tahun 1428 tertulis dalam Caka tersebut Sunan Giri
meresmikan penyempurnaan masjid Demak. Tanpa diduga pengunjung yang hadir
sangat banyak. Kesempatan ini kemudian digunakan para Wali untuk melakukan
dakwah Islam. Jadi, tujuan semula Grebeg Besar adalah untuk merayakan Hari Raya
Kurban dan memperingati peresmian Masjid Demak.
g. Tradisi
Kerobok Maulid di Kutai dan Pawai Obor di Manado.
Di kawasan Kedaton Kutai Kartanegara,
Provinsi Kalimantan Timur, juga diselenggarakan tradisi yang dinamakan Kerobok
Maulid. Istilah Kerobok berasal dari Bahasa Kutai yang artinya berkerubun atau
berkerumun oleh orang banyak. Tradisi Kerobok Maulid dipusatkan di halaman
Masjid Jami’ Hasanuddin, Tenggarong. Tradisi ini dilaksanakan dalam rangka
memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw., tanggal 12 Rabiul Awwal. Kegiatan
Kerobok Maulid ini diawali dengan pembacaan Barzanji di Masjid Jami’ Hasanudin
Tenggarong. Kemudian dari Keraton Sultan Kutai, puluhan prajurit Kesultanan
akan keluar dengan membawa usung-usungan yang berisi kue tradisional, puluhan
bakul Sinto atau bunga rampai dan Astagona. Usung-usungan ini kemudian dibawa
berkeliling antara Keraton dan Kedaton Sultan dan berakhir di Masjid Jami’
Hasanuddin. Kedatangan prajurit keraton dengan membawa Sinto, Astagona dan
kue-kue di Masjid Hasanudin ini akan disambut dengan pembacaan Asrakal yang
kemudian membagi-bagikannya kepada warga masyarakat yang ada di dalam Masjid.
Akhir dari upacara Kerobok ini ditandai dengan penyampaian hikmah maulid oleh
seorang ulama.
h. Tradisi
Rabu Kasan di Bangka.
Tradisi Rabu Kasan dilaksanakan di
Kabupaten Bangka setiap tahun, tepatnya pada hari rabu terakhir bulan Safar.
Hal ini sesuai dengan namanya, yakni Rabu Kasan berasal dari Kara Rabu
Pungkasan (terakhir). Upacara Rabu Kasan sebenarnya tidak hanya dilakukan di
Bangka saja, tetapi juga di daerah lain, seperti di Bogor Jawa Barat dan Gresik
Jawa Timur. Pada dasarnya maksud dari tradisi ini sama, yaitu untuk memohon
kepada Allah Swt. agar dijauhkan dari bala’ (musibah dan bencana). Di Kabupaten
Bangka, tradisi ini dipusatkan di desa Air Anyer, Kecamatan Merawang. Sehari
sebelum upacara Rabu Kasan di Bangka diadakan, semua penduduk telah menyiapkan
segala keperluan upacara tersebut seperti ketupat tolak balak, air wafak, dan
makanan untuk dimakan bersama pada hari Rabu esok hari. Tepat pada hari Rabu
Kasan, kira-kira pukul 07.00 WIB semua penduduk telah hadir di tempat upacara
dengan membawa makanan dan ketupat tolak bala sebanyak jumlah keluarga
masing-masing. Acara diawali dengan berdirinya seseorang di depan pintu masjid
dan menghadap keluar lalu mengumandangkan adzan. Lalu disusul dengan pembacaan
doa bersama-sama. Selesai berdoa semua yang hadir menarik atau melepaskan
anyaman ketupat tolak balak yang telah tersedia tadi, satu persatu menurut
jumlah yang dibawa sambil menyebut nama keluarganya masingmasing. Kemudian
dilanjutkan dengan acara makan bersama. Setelah itu, masing-masing pergi mengambil
air wafak yang telah disediakan untuk semua angngota keluarganya. Setelah
selesai acara ini mereka pulang dan bersilahturahmi ke rumah tetangga atau
keluarganya.
i.
Tradisi Dugderan di Semarang.
Tradisi dugderan merupakan tradisi khas
yang dilakukan oleh masyarakat Semarang, Jawa Tengah. Tradisi Dugderan
dilakukan untuk menyambut datangnya bulan puasa. Dugderan biasanya diawali
dengan pemberangkatan peserta karnaval dari Balaikota Semarang. Ritual dugderan
akan dilaksanakan setelah shalat Asar yang diawali dengan musyawarah untuk
menentukan awal bulan Ramadan yang diikuti oleh para ulama. Hasil musyawarah
itu kemudian diumumkan kepada khalayak. Sebagai tanda dimulainya berpuasa
dilakukan pemukulan bedug. Hasil musyawarah ulama yang telah dibacakan itu
kemudian diserahkan kepada Kanjeng Gubernur Jawa Tengah. Setelah itu Kanjeng
Bupati Semarang (Walikota Semarang) dan Gubernur bersama-sama memukul bedug
kemudian diakhiri dengan doa.
j.
Tradisi atau Budaya Tumpeng.
Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta
lauk-pauknya dalam bentuk kerucut. Nasi tumpeng umumnya berupa nasi kuning,
atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi
keturunan Jawa, dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu
kejadian penting. Meskipun demikian, budaya tumpeng sudah menjadi tradisi
nasional bangsa Indonesia. Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah
tradisional) dan dialasi daun pisang. Ada tradisi tidak tertulis yang
menganjurkan bahwa pucuk dari kerucut tumpeng dihidangkan bagi orang yang
dituakan dari orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa
hormat kepada orang tersebut. Saat ini budaya tumpeng sudah menjadi tradisi
nasional bangsa Indonesia.
k. Seni
budaya lokal
Seni adalah penjelmaan rasa indah yang
terkandung dalam jiwa manusia. Seni lahir melalui perantaraan alat komunikasi
ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengaran (seni suara),
maupun indra penglihatan (seni lukis) atau gerak (seni tari, drama, dll).
Sedangkan budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh suatu kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi, termasuk
sistem kehidupan beragama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan dan karya seni.
Kebudayaan adalah alat konseptual untuk
melakukan penafsiran dan analisis (Garna, 2001: 157). Jadi keberadaan
kebudayaan sangatlah penting, karena akan menunjang terhadap pembahasan
mengenai eksistensi suatu masyarakat. Kebudayaan sebagai suatu system budaya,
aktivitas dan hasil karya fisik manusia yang berada dalam suatu masyarakat
dimana kemunculannya itu diperoleh melalui proses belajar, baik itu formal
maupun informal. Hal ini menunjukan bahwa kebudayaan tidak akan hadir dengan
sendirinya, melainkan ada karena adanya manusia dalam komunitas sosial,
sehingga antara manusia, masyarakat dan kebudayaan akan saling mendukung.
Manusia menciptakan kebudayaan sebagai usaha untuk mempertahankan hidupnya di
muka bumi ini, karena dengan kebudayaan manusia akan mampu melaksanakan
tugasnya di muka bumi ini sebagai khalifah.
Dengan kebudayaan pula kehidupan keagamaan
manusia akan nampak, dan ini menjadikan pembeda terhadap jenis makhluk lainnya
yang ada di muka bumi ini. Kebudayaan setiap masyarakat atau suku bangsa
terdiri atas unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian
dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan. Ada beberapa unsur yang
terdapat dalam kebudayaan, dimana kita sebut sebagai cultural universals, yang
meliputi: peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan
system-sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa (lisan dan tulisan),
kesenian, sistem pengetahuan, dan religi (system kepercayaan) (Soekanto, 1990:
193).
Selanjutnya, ketika memahami unsur-unsur
kebudayaan tersebut, maka kita bisa mengetahui tentang terdapatnya unsur-unsur
kebudayaan yang mudah berubah dan ada pula unsur-unsur kebudayaan yang susah
berubah. Adapun unsur-unsur budaya yang mudah berubah meliputi; seni, bahasa,
teknologi. Sedangkan unsur-unsur budaya yang sulit berubah meliputi: agama
(system kepercayaan), system social, dan system pengetahuan (Kahmad, 2002).
Budaya juga dibedakan menjadi dua, yaitu
budaya kecil (little culture), dan budaya besar (great culture). Budaya kecil
adalah budaya yang berada pada suatu masyarakat yang lingkupnya kecil (dianut
oleh beberapa orang saja) atau juga disebut local culture. Sedangkan budaya
besar adalah budaya yang dianut oleh banyak orang dengan skala kepenganutannya
luas. Ketika budaya kecil dan budaya besar saling berhubungan melalui proses
asimilasi, maka kemungkinannya budaya kecil tersebut akan tersisihkan atau
terkalahkan oleh budaya besar. Hal ini menunjuikan bahwa eksistensi dari budaya
besar tersebut begitu kuat dan luas sehingga dengan mudah dan cepat bisa masuk
kepada budaya kecil yang dianut oleh hanya bebera orang saja, misalkan.
Budaya kecil (budaya local) yang ada pada
suatu masyarakat merupakan budaya yang sudah dibangun sejak adanya umat manusia
di muka bumi ini atau dengan kata lain, keberadaan budaya kecil sebagai bentuk
dari keberhasilan umat manusia didalam mempertahankan hidupnya, karena
bagaimanapun juga budaya kecil itu ada secara turun temurun dari satu generasi
ke generasi selanjutnya. Kehadiran budaya besar, tentunya akan membawa suatu
perubahan yang akan terjadi pada suatu komunitas yang yang memiliki budaya
kecil, sehingga keberadaan budaya besar akan tetap eksis dan dan bisa jadi
keberadaan budaya kecil akan mengalami penyusuitan atau bahkan hilang dari
eksistensinya pada suatu masyarakat.
Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241969672
Islam sejak kehadiranya dimuka bumi ini,
telah memainkan peranannya sebagai salah satu agama yang menjadi rahmat bagi
semesta alam. Ini, tentunya membawa Islam sbagai bentuk ajaran agama yang mampu
mengayomi keberagaman umat manusia dimuka bumi ini. Islam sebagai agama
universal sangat menghargai akan ada budaya yang ada pada suatu masyarakat,
sehingga kehadiran islam diyengah-tengah masyarakat tidak bertentangan,
melainkan Islam dekat dengan kehidupan masyarakat, disinilah sebenarnya,
bagaimana Islam mampu membuktikan dirinya sebagai ajaran yang flexsibel di
dalam memahami kondisi kehidupan suatu masyarakat. Hal ini pun terjadi di
Indonesia, dimana Islam yang ada di Indonesia merupakan hasil dari proses
dakwah yang dilaksanakan secara cultural, sehingga Islam di Indonesia, mampu
berkembang dan menyebar serta banyak dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia
dalam waktu yang cukup singkat. Karena kehadiran Islam di Indonesia yang pada
saat itu budaya local sudah dianut masyarakat Indonesia mampu masuk secara
halus tanpa kekerasan, hal ini berkat dari ajaran Islam yang sangat menghargai
akan pluralitas suatu masyarakat.
Banyak kajian sejarah dan kajian
kebudayaan yang mengungkap betapa besar peran Islam dalam perkembangan
kebudayaan bangsa Indonesia. Hal ini dapat di pahami, karena Islam merupakan
agama bagi mayoritas penduduk Indonesia. Bahkan dalam perkembangan budaya
daerah terlihat betapa nilainilai budaya Islam telah menyatu dengan nilai-nilai
budaya di sebagian daerah di tanah air, baik dalam wujud seni budaya, tradisi,
maupun peninggalan pisik. Sementara itu dalam pengembangan budaya nasional,
peran Islam dalam terbentuknya wawasan persatuan dan kesatuan bangsa telah
dibuktikan dalam sejarah. Islam dapat menjadi penghubung bagi berbagai
kebudayaan daerah yang sebagian besar masyarakatnya adalah Muslim (Djojonegoro,
1996: 112).
Peran tersebut secara ekplisit dikemukakan
oleh Presiden padaa sambutan Seminar Nasional Budaya Bangsa 10 November 1995, bahwa
“Agama bukan saja telah menghindarkan berkembangnya yang sempit, tetapi secara
tidak langsung juga ikut meletakan dasar-dasar kebudayaan nasional… Ajaran
agama yang di anut oleh bangsa kita telah memberikan motivasi yang kuat bagi
tumbuh dan berkembangnya pergerakan kebangsaan, lancarnya proklamasi
kemerdekaan, gigihnya perjuangan bersenjata mengusir penjajah dan terarahnya
pembangunan nasional. Walaupun pengaruh nilai-nilai Islam telah nyata dalam
perkembangan seni budaya nasional, namun pengaruh tersebut lebih ditekankan
kepada upaya perkembangan budaya nasional dalam makna yang dinamis.
Dengan demikian, bangsa Indonesia yang
terdiri atas berbagai suku bangsa, agama dan kebudayaan lokal, perlu
menumbuhkan dua macam system budaya itu adalah: sistem budaya nasional (supra
etnik) dan sistem budaya daerah (etnik), Sementara itu, bangsa Indonesia yang
terdiri dengan banyak suku bangsa dengan system budaya etnik-lokanya
masing-masing. Sistem-sistem budaya yang otonom itu ditandai oleh pewarisan
nilai-nilai melalui tradisi. Nilai-nilai tersebut telah berakar kuat dalam
masyarakat yang bersangkutan. Seterusnya, dalam masyarakat etnik lokal itu
sepanjang waktu terjadi vitalisasi dan aktualisasi nilai-nilai budayanya yang
khas. Dalam rangka perkembangan budaya naaasional, kebudayaan etnik lokal itu
sering kali berfungsi sebagai sumber atau sebagai acuan dalam
penciptaan-penciptaaan baru (dalam bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi,
dan sebagainya) yang kemudian ditampilkan dalam peri kehidupan lintas budaya. Sistem-sistem
budaya etnik lokal inilah yang pada umumnya memberikan rasa berakar kepada
rakyat Indonesia.
Berdasarkan kondisi tersebut diatas,
diperlukan strategi untuk mencapai dua tujuan dasar pembinaan kebudayaan,
yaitu: (1) Semakin kuatnya nilai-nilai penghayatan nilai-nilai budaya nasional agar
mampu menyongsong masa depan bangasa yang ditandai oleh semakin canggihnya
prkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan semakin meningkatnya persaingan
ekonomi anter bangsa dan semakin kompleksnya arus informasi dan proses
penduniannya yang lain. (2) Semakin kokohnya kesadaran bangsa akan jati dirinya
yang ditandai oleh pewarisan nilai-nilai luhur, kokohnya kehidupan beragama,
kesadaran sejarah dan daya cipta yang dimiliki (Djojonegoro, 1996: 109-110).
Tradisi Islam ibarat sebuah pohon (QS.
Ibrahim, 24). Akarnya berada pada wahyu, dari akar ini tumbuhlah sekian banyak
cabang dan ranting. Intinya adalah agama dan getahnya mengandung barakah,
kebenaran suci, abadi dan tak tergantikan, kearifan abadi, dan penerapannya
yang terus berkesinambungan sesuai dengan kondisi zaman. Tradisi Islam mencakup
banyak hal, diantaranya meliputi pengetahuan, cara memandang dunia, nilai, dan
jiwa kitab suci (Muhaemin, 2002: 13).
Seni budaya lokal islam adalah penjelmaan
rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia yang bernafaskan islami yang
tumbuh dari lingkungan nusantara. Seni lahir melalui perantaraan alat
komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengaran (seni
suara), maupun indra penglihatan (seni lukis) atau gerak (seni tari,
drama,dll).
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian
tentang seni seperti Aristoteles, dia mengemukakan seni yaitu kemampuan membuat
sesuatu dalam hubungannya dengan upaya mencapai suatu tujuan yang telah
ditentukan oleh gagasan tertentu. Kemudian menurut Ki Hajar Dewantara yang
mengemukan seni itu indah, menurutnya seni adalah segala perbuatan manusia yang
timbul dan hidup perasaannya dan bersifat indah hingga dapat menggerakkan jiwa
perasaan manusia lainnya. Sedangkan menurut Ensiklopedia seni adalah sebuah
penciptaan benda atau segala hal yang karena kendahan bentuknya, orang senang
melihat dan mendengar. Seni bernuansa Islami yang telah digarap dan berkembang
di Indonesia antara lain :
1)
Seni Kaligrafi
Di Indonesia, seni Kaligrafi ini telah
berkembang mulai abad 12 masehi atau semenjak kerajaan Islam muncul dan berdiri
dibeberapa wilayah Indonesia, seperti Aceh, Demak, Ternate, Tidore, Maluku,
Cirebon, Banten, Madura, Nusa Tenggara barat, dan sebagainya. Kaligrafi dengan
gaya kufi (Sumber: ganaislamika.com)
2)
Ornamen Arabeska
Merupakan hiasan yang salin jalin-menjalin
simpai, lilit melilit tumpeng tindih seperti irama huruf arab. Ragam hias ini
mulanya berupa sederetan huruf Arab, tetapi dibentuk seperti bentuk binatang
seperti burung, kuda dan singa. Dapat juga berbentuk manusia, buah-buahan dan
lain sebagainya.
3)
Seni Musik
Disebut juga dengan handasah shawt atau
musik yang berasaldari bahasa Arab yaitu musiqa. Ruang lingkup seni ini
terbatas pada seni pembacaan ayat-ayat Al-Qur'an. Sehingga tidak bertalian
dengan keberadaan kualitas instrumentalnya atau kualitas vokalisnya.
4)
Seni Arsitektur
Islam hadir mendorong lahirnya seni-seni
baru dalam seni bangunan yang mengikuti kebutuhan masyarakat Islam, seperti
bangunan tempat ibadah sebagai tempat berkumpulnya umat Islam. Beberapa masjid
dengan seni arsitektur yang indah yaitu masjid di Aceh, Demak, Kudus dan di
beberapa daerah lainnya di Nusantara yang menjadi kekayaan seni arsitektur yang
terus berkembang sampai sekarang. Karya seni arsitektur pengaruh Islam juga
tampak dalam bangunan keraton-keraton kerajaan Islam. Disamping itu, seni
arsitektur juga tampak dalam makam-makam para raja kerajaan Islam di Nusantara.
Interior Masjid Merapi (Sumber: kompas.com)
Seni arsitektur menjadi fondasi sekaligus
yang memungkasi sebuah bangunan. Karya seni rancang bangun menempatkan ikon
sebagai penanda dalam setiap perjalanan kebudayaan setempat. Sehingga
masing-masing kawasan memiliki simbolisasi-simbolisasi yang sarat makna dan
identik dengan kearifan lokal di mana sebuah karya seni tata ruang itu lahir.
Ia bukanlah ruang statis, tidak serta merta lahir dari kekosongan historis,
melainkan hasil-olah akumulasi pengalaman, permenungan, imajinasi, serta
pembacaan atas literasi maupun oralitas, yang kemudian tertuang dalam setiap
detail tata ruang, sudut, garis, lengkung, ornamen, dan pewarnaannya. Sehingga
menghasilkan karya inovatif yang mengandung nuansa estetis yang bernilai
tinggi.
5)
Seni Tari
Sebagai negara dengan keanekaragaman
budaya, Indonesia memiliki banyak macam tari. Dari Sabang hingga Merauke
memiliki tari daerah masing-masing. Aceh punya tari saman, Jawa Tengah punya
tari serimpi, Papua punya tari selamat datang, dan masih banyak lagi tari-tari
yang bisa dipelajari dari masing-masing daerah yang ada di Indonesia.
Di beberapa daerah di Indonesia terdapat
bentuk-bentuk tarian yang berkaitan dengan bacaan shalawat. Misalnya pada seni
rebana diikuti dengan tari-tarian zapin, bacaan shalawat dengan menggunakan
lagu-lagu tertentu. Tari Zapin adalah tari khas Melayu yang dibawa oleh para
pedagang arab yang berasal dari Hadramut, Yaman pada abad ke 16 ke Johor Bahru
yang saat itu sebagai pelabuhan antar bangsa. Kemudian Tari Zapin berkembang
hingga ke Indonesia daerah Sumatra dan
Kalimantan. Tari Zapin berasal dari bahasa
arab “Zaffan” yang berarti pergerakan kaki yang cepat mengikut rentak pukulan. Tari
saman (sumber : detik.com)
Berikutnya terdapat Tari Saman, mulai
dipopulerkan oleh seorang Ulama yang bernama Syekh Saman pada abad 14 di
masyarakat Gayo. Tarian ucapan selamat datang yang berasal dari kota yang dijuluki
serambi mekah ini memiliki keunikannnya tersendiri. Awal mulanya tari saman
adalah sebuah permainan masyarakat Gayo yang bernama Pok Ane, kemudian Islam
mempengaruhi kebudayaan Gayo sehingga permainan Pok Ane berkulturasi yang awal
mulanya nyanyian hanya sebagai pengiring permainan berubah syairnya menjadi
berisi pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tari Saman pada masa Kesultanan Aceh
ditampilkan pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad, kemudian pada
perkembangan selanjutnya Tari Saman ditampilkan pada acara adat ataupun pada
acara penyambutan tamu kehormatan.
6)
Seni Sastra
Seni sastra yang berkembang pada zaman
Islam umumnya berkembang di daerah sekitar Selat Malaka (daerah Melayu) dan di
Jawa. Ditinjau dari corak dan isinya, kesusastraan zaman Islam dibagi menjadi
beberapa jenis, meskipun pembagian itu tidak dapat dilakukan secara tegas sebab
sering terjadi suatu naskah dapat dimasukkan ke dalam dua golongan sekaligus.
Beberapa jenis sastra zaman Islam diantaranya adalah hikayat, babad, dan
suluk .
2.
Pendekatan
seni budaya lokal umat Islam di Nusantara
Seni budaya Islam adalah hasil olah akal,
budi, cipta, rasa, karsa, dan karya manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai
tauhid. Hasil olah akal, budi, rasa, dan karsa yang telah terseleksi oleh
nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah
peradaban. Seni Budaya Islam pada dasarnya sudah mulai berkembang seiring
dengan penyebaran agama Islam di wilayah nusantara. Saat itu, para ulama dan
muballigh banyak memanfaatkan berbagai media seni budaya sebagai salah satu
media dakwah, antara lain melalui lantunan syair-syair shalawat yang dapat
membangkitkan ghirah keimanan umat Islam, dengan menggunakan peralatan kesenian
gamelan, pementasan wayang golek dan lain-lain.
Dalam hal dakwah zaman dahulu umat Islam
melakukan beberapa pendekatan dalam menyampaikan ajaran Islam dan juga mengubah
kultur ataupun tradisi di masyarakat yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Diantara pendekatannya adalah:
a. Asimilasi
Asimilasi adalah proses sosial yang timbul
bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang
berbeda-beda saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama,
sehingga budaya-budaya golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya
yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi
unsur-unsur kebudayaan campuran.
Biasanya, masyarakat yang tersangkut dalam
proses asimilasi, terdiri dari golongan mayoritas dan minoritas. Dalam hal ini,
golongan minoritaslah yang mengubah kebudayaan, untuk menyesuaikan dengan
kebudayaan mayoritas, sehingga lambat laun masuk ke dalam kebudayaan mayoritas.
Adapun yang menghambat proses asimilasi ini adalah: (a) Kurang pengetahuan
mengenai kebudayaan yang dihadapi. (b) Sifat takut kepada kekuatan kebudayaan
lain. (c) Perasaan superioritas dari individuindividu terhadap kebudayaan lain.
Contoh pendekatan asimilasi yaitu setelah
Islam datang ke Jawa, dan membawa paham monoteisme, lambat laun mengikis habis
kepercayaan-kepercayaan lokal, yang masih menyakini adanya dewa-dewa dan dayang
desa yang diekspresikan dalam bentuk upacara-upacara keagamaan lokal seperti :
bersi desa, nyadran, tingkepan, dll. Kalaupun upacara itu masih dijalankan,
tetapi isinya sudah hampir semua islam. Kepercayaan-kepercayaan lokal itu,
sekarang sudah di ganti dengan hanya beriman kepada allah yang maha esa,
sehingga upacara-upacara itu telah digantikan dalam bentuk peribadatan menurut
ajaran islam. Proses hilangnya kepercayan-kepercayaan asli tersebut melalui proses
panjan, dengan interaksi yang intensif antara islam dan kebudayaan jawa. Proses
tersebut bahkan sampai sekarang masih terus berlangsung setelah berjalan enam
abad lebih. Upacar sesaji dan slametan sudah jarang dilakukan, diganti dengan
sholat sunat dan ibadah-ibadah lain menurut ajaran Islam (Pokja Akademik, 2015:
19-20).
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241950127
Sadranan (sumber: www.republika.com)
b. Akulturasi
Akulturasi adalah pengambilan atau penerimaan
satu atau beberapa unsur kebudayaan yang berasal dari pertemuan dua atau
beberapa kebudayaan yang saling berhubungan atau saling bertemu, unsur-unsur
kebudayaan asing lambat laun diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa
menyebabakan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Dalam mengkaji proses akulturasi ini,
perlu diperhatikan beberapa hal yang terkait dengan proses tersebut. Menurut
koentjaraningrat (1981) ada lima hal (Pokja Akademik, 2005: 16): (a) Keadaan
masyarakat penerima, sebelum proses akulturasi mulai berjalan. (b)
Individu-individu ysng membawa unsur kebudayaan asing itu. (c) Saluran-saluran
yang dipakai oleh unsur kebudayaan asing untuk masuk ke dalam kebudayaan penerima. (d) Bagian-bagian
masyarakat penerima terkena pengaruh unsur kebudayaan asing tadi. (e) Reaksi
dari individu yang terkena kebudayaan asing.
Sedangkan contoh pendekatan akulturasi
yaitu, dalam konsep akulturasi ini Islam di posisikan sebagai kebudayaan asing
dam masyarakat lokal sebagai penerima kebudayaan asing tersebut. Misalnya
masyarakat jawa yang memiliki tradisi “slametan” yang cukup kuat, ketika islam
datang maka tradisi tersebut masih tetap jalan dengan mengambil unsur-unsur
islam terutama dalam do’a-do’a yang dibaca. Wadah slametanya masih ada teapi
isinya mengambil ajaran islam.
3.
Nilai-nilai
tradisi umat Islam di Nusantara
Seiring dengan perkembangan era
globalisasi yang terjadi saat ini, ditandai dengan begitu derasnya perkembangan
teknologi, informasi dan komunikasi (TIK), begitu juga dengan berbagai macam
jenis seni dan budaya asing yang masuk ke Indonesia telah mempengaruhi berbagai
prilaku pola pikir masyarakat. Fenomena degradasi moral dan ahlak telah melanda
generasi muda bangsa.
Fenomena tersebut perlu dilakukan
intervensi untuk meminimalisir dampak dengan menanamkan berbagai nilai-nilai
agama melalui pendekatan seni dan budaya Islam. Berbagai langkah dapat
dilakukan melalui berbagai pendekatan seni budaya, antara lain program
“Revitalisasi Seni Budaya Tradisional Islami”. Tujuan utama langkah tersebut
adalah untuk menghidupkan kembali nilainilai seni budaya tradisional Islami di
tengah-tengah masyarakat muslim yang telah digerus oleh budaya pop.
Khazanah Seni budaya Islam nusantara
melambangkan bahwa seni dan budaya Islam yang ada di nusantara ini sangat
melimpah. Hasil-hasil penelitian tentang jumlah kesenian dan kebudayaan
Indonesia menunjukkan negeri ini memiliki lebih dari empat puluh macam seni
budaya tradisional islami. Seni budaya Islam terbagi menjadi beberapa katagori,
antara lain: seni suara, seni tari, drama, seni kaligrafi, seni lukis dan seni
pahat.
Seni suara terdiri dari seni shalawat yang
mempunyai ciri penggunaan rebana/terbang, adanya puji-pujian dalam bahasa arab,
susunan nadanya bernafaskan islam. Selain itu ada seni musik gambus dan rebana
yang mempunyai ciri khas diiringi dengan alat musikseperti, gambus, kecapi
petik, marawis, atau alat musik modern, syair bernafaskan islam, baik berupa
nasihat, shalawat nabi baik dalam bahasa Indonesia, arab maupun daerah.
Disamping itu tentunya ada seni qasidah, hadrah, nasyid, marawis, terbang ampat
dan lain-lain.
Selain itu, seni budaya Islam juga
mempunyai kekayaan seni tari yang sangat banyak antara lain tari saman dari
Aceh yang begitu masyhur didunia internasional, selain itu ada tari zapin
melayu yang diiringi irama gambus, diperagakan oleh laki-laki yang berpasangan
dengan mengenakan sarung, kemeja, kopeah hitam dan songket serta ikat kepala
lacak/destar yang menjadi cirri khasnya. Kemudian tari seudati dari aceh yang
diperankan oleh laki-laki dengan menari dan membuat bunyi tabuhan dengan alat
music tubuh mereka sendiri, sewaktu menepuk tangan,Tari menak yang diciptakan
oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX raja Jogyakarta, tari menak mirip wayang
orang tetapi tari menak diambil dari serat menak. Wayang Golek. Suluk adalah
tulisan dalam bahasa jawa maupun arab yang berisi pandangan hidup orang jawa.
Serat wirid adalah tulisan pujangga jawa yang berisi bacaan-bacaan baik jawa
maupun arab yang dibaca berulang- ulang.
Lebih dari itu, Indonesia juga mempunyai
berbagai macam khazanah budaya tradisional islami yang berasal dari berbagai
kearifan lokal yang ada diberbagai daerah diantara berbagai macam kearifan
lokal tersebut adalah mauludan,yaitu perayaan hari lahir Nabi Muhammad Saw yang
umumnya diisi dengan berbagai acara dan nama tersendiri misal di keraton
Yogyakarta, Surakarta, Cirebon menyelenggarakan sekaten dan grebek mulud yang
diisi dengan mengarak sedekah raja berupa makanan dari kediaman raja ke masjid
Agung lalu diberikan kepada rakyat. Ada pula Batasniah,yaitu pemberian nama
pada anak, Batamat Alquran (Hataman Quran), Batamat Hadist Bukhari (Hataman
Hadist), mamanda, zapin shalawat,berjanji, Membaca mukaddam Alquran, Maulid
Barjanji Sariful anam, Basya'ir, Burdah, Aqikah, hataman al-quran, marawis,
masak bubur asura, dan berbagai kearifan lokal lainnya.
Begitu banyaknya seni budaya dan kearifan
lokal islami ini menunjukan bahwa khazanah budaya Islam Indonesia begitu kaya
dan berlimpah. Karena itu, semua pihak perlu berupaya untuk melestarikan
keunikannya melalui berbagai upaya dalam rangka menjaga dan meningkatkan
kekuatan ukhuwah islamiyah umat Islam nusantara.
D.
Pemikiran
tokoh-tokoh Islam Nusantara Modern
Sejarah perkembangan keislaman sejalan
dengan pembaharuan konsep pendidikan Islam. Perkembangan ini tidak terlepas
dari peran berbagai tokoh yang memberikan sumbangan pemikiran. Berikut ini
profil beberapa tokoh-tokoh islam nusantara di era modern diantaranya adalah:
1. Hasyim
Asyari
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari adalah pendiri
pesantren Tebu Ireng, tokoh ulama pendiri organisasi NU. Ia lahir di Gedang
desa Tambakrejo 2 km ke arah utara kota Jombang Jawa Timur, pada hari selasa
kliwon, 24 Dzulqaidah 1287 H bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Putra ketiga
dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari adalah
menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang. Dari jalur ayah, nasab kiai
Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad
Al-Baqir. Sedangkan, dari jalur ibu nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya
VI (Lembu Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka Tingkir adalah
raja Pajang pertama (1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau pangeran
Adiwijaya.
KH. Hasyim Asy’ari mendapatkan pendidikan
langsung dari ayahnya sendiri. Terutama pendidikan keagamaan. Ia mula-mula
belajar ilmu tauhid, fiqh, tafsir dan bahasa arab. Karena kecerdasannya, maka
dalam usia 13 tahun, Hasyim sudah menguasai materi pelajaran yang diajarkan
oleh guru dan ayahnya serta mulai membantu ayahnya mengajar para santri
senior.
Hasyim Asyari (Sumber : nu.or.id)
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=ziO2y2vo6xU
Rasa dahaga akan ilmu pengetahuan, membuat
Hasyim menjadi seorang pengelana ilmu. Ia melanjutkan pendidikannya di berbagai
pondok pesantren khususnya di pulau Jawa seperti pesantren Wonokoyo, Siwalan
Buduran, Trenggilis, Langitan, Bangkalan, Demangan dan Sidoarjo. Selama di
pondok pesantren Sidoarjo, kiai Ya’kub selaku pimpinan pondok merasa sangat
tertarik dengan kecerdasan Hasyim dan berfirasat bahwa ia kelak akan menjadi
pemimpin besar dan sangat berpengaruh. Karena itulah ia menjodohkan Hasyim
Asy’ari dengan putrinya, Nafisah. Pada tahun 1892, tepatnya berusia 21 tahun
KH. Hasyim Asy’ari menikah dengan Nafisah putri kiai Ya’kub. Pasca menikah, KH.
Hasyim bersama istri dan mertuanya bermukim di Makkah. Ketika tepatnya tujuh
bulan menetap disana, istrinya melahirkan seorang anak laki-laki dan diberi nama
Abdullah. Akan tetapi, beberapa hari setelah melahirkan, istri yang dicintainya
meninggal dunia, disusul putranya selang kurang empat puluh hari. Sungguhpun ia
mendapatkan cobaan bertubi-tubi, hal initidak mematahkan semangatnya dalam
menuntut ilmu.
Selanjutnya KH. Hasyim Asy’ari berguru
kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, seorang hartawan yang mempunyai
hubungan baik dengan penguasa Makkah, serta berguru kepada Syeikh alAllamah
Abdul Hamid al-Darustani dan Syaikh Muhammad Syuaib al-Maghribi. Dan masih
banyak lagi lainnya. Diantara ilmu agama yang dipelajari oleh KH. Hasyim
Asy’ari selama di Makkah antara lain, fiqh dengan konsentrasi mazhab Syafi’i,
tauhid, tafsir, ulumul hadits, tasawuf, dan ilmu alat (nahwu, sharaf, mantiq,
balaghah, dan lain-lain).
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605928618
Karya-karya kiai Hasyim banyak merupakan
jawaban atas berbagai problematika kehidupan masyarakat. Beliau merupakan
penulis yang produktif disamping aktif mengajar, berdakwah dan berjuang. Adapun
karya-karya kiai Hasyim Asy’ari diantaranya:
a. Al-Tibyan
fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang
tata cara menjalin silaturrahim. Bahaya dan pentingnya interaksi sosial.
b. Mukaddimah
al-Qanun al-Asasy Li Jamu’iyyah Nahdatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar
(landasan pokok) organisasi Nahdatul Ulama. Berisikan ayat-ayat Qur’an yang
berkaitan dengan Nahdatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai dengan
hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan.
c. Risalah
fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al Arba’ah. Risalah untuk memperkuat
pegangan atas madzhab empat. Berisikan tentang perlunya berpegang kepada salah
satu diantara empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Di dalamnya
juga terdapat uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbath al-ahkam),
metode ijtihad, serta respon atas pendapat Ibn Hazm tentang taqlid.
d. Mawaidz.
Beberapa nasihat, berisikan fatwa dan peringatan tentang merajalelanya
kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada al-Qur’an dan hadis, dan lain
sebagainya.
e. Arbain
Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jami’Iyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadis yang
terkait dengan dasar-dasar pmbentukan Nahdatul Ulama’.
f.
Al-Nural-Mubin fi Mahabbah Sayyid
al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul.
Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, menaati, meneladani, dan
mencintai Nabi Muhammad SAW.
g. Al-Tanbihat
al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al Munkarat. Peringatan-peringatan wajib
bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran.
h. Risalah
Ahli Sunnah Wal-Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum
alSunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal-Jama’ah berisikan tentang
hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta
menjelaskan sunnah dan bid’ah.
i.
Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh
‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin
Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin
Yasin. Dan didalamnya terdapat fatwa-fatwa Kiai Hasyim yang berbahasa Jawa.
Situasi pendidikan pada masa KH. Hasyim
Asy’ari mengalami perubahan dan perkembangan pesat dari kebiasaan lama
(tradisional) ke dalam bentuk pendidikan yang semakin modern, hal ini
dipengaruhi oleh sistem pendidikan imperialis Belanda yang semakin kuat di
Indonesia. Signifikansi pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah upaya
memanusiakan manusia secara utuh, sehingga manusia bisa taqwa (takut) kepada
Allah SWT, dengan benar-benar mengamalkan segala perintah-Nya mampu menegakan
keadilan di muka bumi, beramal saleh dan maslahat, pantas menyandang predikat
sebagai makhluk yang paling mulia dan lebih tinggi derajatnya dari segala jenis
makhluk Allah lainnya. KH. Hasyim Asy’ari berpendapat fitrah manusia dan
lingkungan sama-sama saling mempengaruhi dalam membentuk kepribadian seseorang.
Hal ini dinilai bahwa pendidikan banyak memberikan andil dalam rangka
memperbaiki, menyempurnakan dan mendidik moral manusia. Oleh karenanya, kiai
memberikan perhatian khusus dalam mendidik akhlak melalui pendidikan budi
pekerti.
Ada tiga dimensi yang hendak dicapai dalam
konsep pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, diantaranya dimensi keilmuan, pengamalan
dan religius. Dimensi keilmuan, berarti peserta didik diarahkan untuk selalu
mengembangkan keilmuannya, tidak saja keilmuan agama melainkan pengetahuan
umum. Peserta didik dituntut bersikap kritis dan peka terhadap lingkungan.
Dimensi pengamalan peserta didik bisa mengaktualisasikan keilmuannya untuk
kebaikan bersama dan bertanggung jawab terhadap anugrah keilmuan dari Allah.
Adapun dimensi religius, adalah hubungan antara Tuhannya tidak sekedar ritual
keagamaan melainkan menyandarkan segalanya untuk mencari Ridha Allah. Sehingga,
bila dicermati bahwa tujuan pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah
menjadi insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan,
insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karenanya
belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam,
bukan hanya sekedar menghilangkan kebodohan.
2. Ahmad
Dahlan
Ahmad Dahlan lahir pada tanggal 1 Agustus
1868 di desa Kauman, kota Yogyakarta dan meninggal 23 Februari tahun 1923.
Kauman merupakan tempat kelahiran dan tempat Ahmad Dahlan dibesarkan adalah
sebuah kampung yang terkenal di Yogyakarta, karena letaknya yang berdekatan dengan
Masjid Agung Kesultanan Keraton. Selain letaknya yang strategis dekat dengan masjid,
kampung ini juga terkenal dengan nuansa keagamaan yang konservatif. Kampung ini
sangat berpengaruh besar dalam perjalanan hidup Ahmad Dahlan dikemudian hari.
Sebagian besar penduduk Kauman dipenuhi oleh orang-orang Islam dengan mata
pencaharian sebagai pedagang. Disini juga tempat tinggal guru-guru agama
seperti imam, khatib, muazin, dan pegawai masjid.
Kata “Kauman” berasal dari bahasa Arab
yaitu “qaum” yang maknanya “pejabat keagamaan”. Daerah ini merupakan tempat
tinggal para qaum, santri, serta ulama-ulama Islam yang berkewajiban memelihara
kemakmuran masjid.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241950411
Ahmad Dahlan (Sumber : kemdikbud.com)
Dimasa kecil nama Ahmad Dahlan adalah
Muhammad Darwis. Ia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara, yakni adalah
Nyai Khatib Arum, Nyai Muhsinah, Nyai Haji Soleh, Muhammad Darwis, Nyai
Abdurrahman, Nyai Haji Muhammad Faqih dan Muhammd Basir. Darwis dilahirkan dari
keluarga yang terpandang dan taat beragama dan terkenal di lingkungan
kesultanan Yogyakarta. Ayahnya bernama K.H Abu Bakar bin Sulaiman dan ibunya
adalah putri Haji Ismail. Ayahnya adalah seorang ulama dan khatib terkenal di
masjid besar kesultanan di Yogyakarta, sedangkan ibunya adalah anak dari
seorang penghulu besar kesultanan di Yogyakarta.
Muhammad Darwis pada masa kecilnya
terkenal sebagai seorang anak yang pintar, rajin, jujur dan suka menolong. Ia
sangat kreatif dalam membuat barang-barang kerajinan tangan dan permainan,
sehingga masyarakat Kauman menamakan dirinya seorang anak yang ulet, pandai
dengan kelebihannya yang bisa memanfaatkan sesuatu. Ia berkarya bukan hanya
untuk diri sendiri, tetapi kesenangannya dibagi-bagikan kepada teman-temannya
dan saudara-saudaranya. Sejak masa kanak-kanak, jiwa sosial telah bersemi pada
diri Muhammad Darwis. Kelebihan dan jiwa sosial itulah yang menjadikan Muhammad
Darwis sering tampil sebagai pemimpin bagi teman-temannya.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=Sk3-z1H4VDY
Selain belajar pesantren yang dipimpin
oleh ayahnya di kampung Kauman, Muhammad Darwis juga dikirim oleh ayahnya untuk
belajar di luar Yogyakarta. Karena itu, Muhammad Darwis belajar ilmu fiqih
(hukum Islam) dari Kiai Haji Muhammad Shaleh, ilmu nahwu (sintaksis bahasa
Arab) dari Kiai Haji Muksin, ilmu falak (astronomi) dan geografi dari Kiai
Raden Haji Dahlan, qira‟ah (seni membaca al-Qur'an) dari syaikh Amin dan Syaid
Bakri dan ilmu hadis (nilai-nilai dari ketradisian Nabi Muhammad) dari Kiai
Mahfudh dan syaikh Khayyat. Walaupun Muhammad Darwis mempelajari berbagai
bidang ilmu, akan tetapi ia sangat tertarik sekali pada ilmu falaq dan
mendalami ilmu itu.
Ketika berumur 15 tahun, Darwis memutuskan
untuk menunaikan ibadah haji dan belajar ilmuilmu agama. Biaya perjalanan dan
keperluan Muhammad Darwis ke tanah suci ditanggung oleh kakak iparnya yaitu
kiai Haji Soleh. Darwis bermukim di Mekkah selama lima tahun. Pada tahun 1888,
Darwis memutuskan untuk kembali ke Kauman dan bertemu dengan gurunya, Sayyid
Bakri Syatha. Pada saat itu sang guru memberikan nama baru untuk Muhammad
Darwis yakni Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang ulama yang terkenal
Mazhab Syafi'i di Mekkah, yaitu Ahmad bin Zaini Dahlan.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605912329
Pada tahun 1896, ayah Ahmad Dahlan
meninggal dunia. Semasa hidup sang ayah menjabat sebagai khatib di masjid
kesultanan Yogyakarta. Sepeninggalnya, posisi khatib dilanjutkan oleh Ahmad
Dahlan. Hal itu karena Ahmad Dahlan pernah mendalami ilmu agama dan meneruskan
pelajarannya di Mekkah, maka Ahmad Dahlan diangkat untuk menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai khatib di masjid kesultanan Yogyakarta oleh Sultan
Hamengkubuwono VII. Diantara tugasnya adalah melaksanakan khutbah Jum'at secara
bergantian dengan delapan orang teman khatib lainnya, piket di serambi masjid
dengan enam orang temannya dalam waktu seminggu sekali, dan menjadi anggota
dewan agama Islam hukum keratin.
Ahmad Dahlan adalah seorang tokoh
pendidikan yang tidak meninggalkan karya berupa tulisan. Ahmad Dahlan bukanlah
seorang penulis sebagaimana pemikir lainnya. Gagasan-gagasan pemikirannya ia
sampaikan secara lisan dan karya nyata. Untuk itu ia lebih dikenal sebagai
pelaku dibanding pemikir. Atau kita kenal dengan sebutan “Man of Action”. Amal
usahanya yang begitu banyak diantaranya dalam bidang pendidikan, kesehatan,
dakwah dan panti sosial. Ini sesuai yang dikatakan oleh Alfian dalam
disertasinya, Ahmad Dahlan adalah sosok man of action, dia made history for his
works than his words. Karena Ahmad Dahlan tidak pernah menorehkan gagasan
pembaharuannya dalam warisan tertulis, tetapi lebih pada karya dan aksi sosial
nyata. Sehingga Ahmad Dahlan lebih dikenal sebagai sosok pembaharu yang
pragmatis.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952788749
Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 23
Februari 1923 di Kauman Yogyakarta, sesudah menderita sakit beberapa waktu
lamanya. Hingga akhir hayatnya, semangat serta dinamikanya dalam membangun umat
sangat berapi-api, sehingga ia melupakan kesehatannya sendiri. Jasanya yang
besar diberbagai bidang diakui oleh pemerintah ketika Presiden Soekarno dalam
Surat Keputusan No. 675 tahun 1961, tanggal 27 Desember, menetapkan Ahmad
Dahlan sebagai Pahlawan Nasional.
Menurut Ahmad Dahlan, tujuan pendidikan
Islam diarahkan pada usaha untuk membentuk manusia yang beriman, berakhlak,
memahami ajaran agama Islam, memiliki pengetahuan yang luas dan kapasitas
intelektual yang dapat diperlukan di dalam kehidupan sehari-hari. Untuk
mencapai tujuan tersebut, Ahmad Dahlan berpendapat bahwa pendidikan Islam harus
dibarengi dengan integrasi ilmu dan amal, integrasi ilmu pengetahuan umum
maupun agama, kebabasan berpikir dan pembentukan karakter, agar peserta didik
dapat berkembang secara intelektualitas dan spritualitas. Sepatutnya
mengajarkan peserta didik untuk selalu beragama, mendekatkan diri kepada Allah
dan melakukan tindakan yang sesuai dengan yang dianjurkan agama. Serta
senantiasa berani mengorbankan hartanya untuk Allah dan tidak sekedar pada
tataran pengetahuan saja, tetapi dibarengi dengan praktik keagamaan, yakni
beramal.
Sejauh ini pendidikan agama hanya dianggap
relevan untuk menanamkan karakter yang baik terhadap peserta didik, karena pada
hakikatnya karakter terbentuk dari tindakan yang dilakukan secara rutin dan
terus menerus. Perlu disadari bahwa ilmu dan beramal merupakan suatu kesatuan.
Artinya, peserta didik tidak hanya duduk di kelas dan diam memperhatikan
gurunya, tetapi dengan ilmu yang dimilikinya harus dipraktikkan di dalam
kehidupan sehari-hari. Praktik merupakan aplikasi ilmu pengetahuan yang
dimiliki dengan menghasilkan karya (berkarya). Di dalam ajaran Islam,
pemeluknya wajib mencari ilmu setinggi mungkin dan dengan ilmu yang dicapainya
agar diamalkan dalam bentuk karya nyata. Konsep inilah yang diberikan oleh
Ahmad Dahlan di dalam pendidikan Muhammadiyah.
3. Haji
Abdul Malik Amrullah
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)
lahir di sungai Batang, Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Minggu, tanggal 16
Februari 1908 M/13 Muharram 1326 H dari kalangan keluarga yang taat beragama.
Ayahnya bernama Haji Abdul Karim Amrullah atau dikenal dengan sebutan Haji
Rasul bin Syeikh Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdul Saleh.
Haji Rasul merupakan salah seorang ulama yang pernah mendalami agama di Mekkah,
pelopor kebangkitan Kaum Mudo, dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau. Sementara
ibunya bernama Siti Shafiyah binti Haji Zakakaria (w. 1934). Dari genelogis ini
dapat diketahui, bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama dan
memiliki hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir
abad XVIII dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau
yang menganut sistem matrilinear. Oleh karena itu, dalam silsilah Minangkabau
ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya. Pada tahun 1929 Hamka
menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan dan dikaruniai 12 orang anak, 2
diantaranya meninggal dunia. Hamka dikenal sebagai salah satu tokoh organisasi
Islam modern Muhammadiyah. Bahkan Hamka bisa disebut sebagai tokoh utama
berdirinya organisasi itu di wilayah Sumatera Barat.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah
(Sumber : republika.com)
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=qGGjgKg0r5c
Sejak kecil Hamka menerima dasar-dasar
agama dan membaca Al-Qur'an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia
dibawa ayahnya ke Padangpanjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke
sekolah desa dan mengenyam pendidikan di sana selama 3 tahun lamanya. Ia juga memiliki
hobi menonton film yang kemudian banyak memberinya inspirasi untuk mengarang.
Pendidikan formal yang dilaluinya sangat sederhana. Mulai tahun 1916 sampai
1923, ia belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di Padangpanjang,
serta Sumatera Thawalib di Padangpanjang dan di Parabek. Walaupun pernah duduk
di kelas VII, akan tetapi ia tidak memiliki ijazah.
Diantara guru-guru dan teman seperjuangan
Hamka antara lain; Haji Rasul (ayahnya), Syeikh Ibrahim Musa, R.M.
Surjopranoto, A.R. Sutan Mansur (dewan penasehat Muhammdiyah 1962-1980), H.
Fachroedin (wakil ketua P.B. Muhammadiyah), KH. Mas Mansur, H.O.S. Cokroaminoto
(yang mengajarinya tentang peradaban Barat), A. Hasan, M. Natsir, KH. Ahmad
Dahlan (pendiri organisasi Muhammadiyah), KH. Ibrahim, KH. Mukhtar Bukhari, dan
KH. Abdul Mu'thi.
Lebih dari seratus buku telah dikarangnya
yang meliputi: sejarah, filsafat, novel dan masalahmasalah Islam. Selain itu ia
juga dipandang sebagai pengajar tasawuf modern di Indonesia. Berikut adalah
beberapa karya-karya Hamka, antara lain:
a. Kenang-Kenangan
Hidup, Jilid I, II, III, IV, Cet. 4. Jakarta: Bulan Bintang, 1979
b. Ayahku;
Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya. Jakarta: Pustaka
Widjaja, 1958
c. Falsafah
Hidoep. Djakarta: Poestaka Pandji Masyarakat, 1950
d. Lembaga
Hidup, Jakarta: Djajajmurni, 1962.
e. Lembaga
Budi, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983
f.
Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983
g. Adat
Minangkabau Menghadapi Revolusi. Jakarta: Tekad, 1963
Hamka tentang pendidikan adalah bahwa
pendidikan sebagai sarana yang dapat menunjang dan menimbulkan serta menjadi
dasar bagi kemajuan dan kejayaan hidup manusia dalam berbagai keilmuan. Melalui
pendidikan, eksistensi fitrah manusia dapat dikembangkan sehingga tercapai
tujuan budi. Hamka menilai bahwa proses pengajaran tidak akan berarti bila
tidak dibarengi dengan proses pendidikan, begitu juga sebaliknya. Tujuan
pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Dengan terjalinnya kedua
proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di
akhirat. Pendidikan menurut Hamka bukan hanya soal materi, karena yang demikian
tidaklah membawa pada kepuasaan batin. Pendidikan harus didasarkan kepada
kepercayaan, bahwa di atas dari kuasa manusia ada lagi kekuasaan Maha Besar,
yaitu Tuhan. Sebab pendidikan modern tidak bisa meninggalkan agama begitu saja.
Kecerdasan otak tidaklah menjamin keselamatan kalau nilai rohani keagamaan
tidak dijadikan dasarnya.
Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/25457176814294469
Hamka berpandangan bahwa melalui akalnya,
manusia dapat menciptakan peradaban yang lebih baik. Potensi akal yang demikian
dipengaruhi oleh kebebasan berpikir dinamis, sehingga akan sampai pada perubahan
dan kemajuan pendidikan. Dalam hal ini, potensi akal adalah sebagai alat untuk
mencapai terbentuknya kesempurnaan jiwa. Dengan demikian, orintasi pendidikan
Hamka tidak hanya mencakup pada pengembangan intelektualitas berpikir tetapi
pembentukan akhlaq al-karimah dan akal budi peserta didik. Dan melalui
pendidikan manusia mampu menciptakan peradaban dan mengenal eksistensi dirinya.
Tujuan yang hendak dicapai dalam proses
pendidikan, tidak terlepas dari ilmu, amal dan akhlak, serta keadilan. Menurut Hamka
ilmu yang dimiliki seseorang memberi pengaruh keimanan sebab ilmu tanpa
didasari iman, maka akan rusak hidupnya dan membahayakan orang lain, oleh
karena itu manusia semakin berilmu semakin bertambah ketakwaannya kepada Allah.
Dalam pandangan Hamka, tujuan pendidikan adalah mengenal dan mencari keridhaan
Allah, membangun budi pekerti yang luhur agar terciptanya akhlak mulia serta
mempersiapkan peserta didik dalam pengembangan kehidupan secara layak dan
berguna di tengah lingkungan sosialnya.
Dalam membentuk kepribadian anak, tidak
terlepas dari pendidikan orang tuanya. Salahlah pendidikan orang tua yang ingin
membuat anaknya seperti dia pula. Orang tuanya telah membentuk anak-anaknya
menurut pembentukan pada masanya terdahulu. Orang tua seharusnya membentuk
anaknya mengikuti masa anaknya. Oleh karena itu, kepandaian dan pendidikan
orang tua dalam mendidik anaknya akan sangat membantu pekerjaan guru. Penanaman
adab dan budi pekerti dalam diri anak hendaknya dilakukan sedini mungkin. Upaya
ini dilakukan dengan cara menanamkan kebiasaan hidup yang baik. Pertama kali
yang mesti ditanamkan adalah nilai-nilai ilahiah. Pentingnya pendidikan agama
yang akan berpengaruh pada pola kepribadian seorang anak. Menurut Hamka,
pendidikan tersebut dimulai sejak anak dilahirkan dianjurkan untuk mengazankan
dan iqamah. Hal ini, diharapkanagar jiwa anak akan tepatri oleh nilai-nilai
ketundukan kepada Khaliqnya.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605819119
4. Nurcholis
Madjid
Nurchoilsh Madjid dilahirkan tepat pada
tanggal 17 Maret 1939 M (26 Muharram 1358 H). Di sudut kampung kecil Desa
Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Ayahnya KH. Abdul Madjid, di kenal sebagai kyai
terpandang, alumnus Pesantren Tebuireng dan merupakan salah seorang pemimpin Masyumi,
partai berideologi Islam paling berpengaruh pada saat itu. Lebih jauh, KH.
Abdul Madjid merupakan santri kesayangan Hadrotul al-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari,
pendiri Pesantren Tebuireng dan salah satu founding father Nahdlatul Ulama (NU),
organisasi sosial keagamaan muslim terbesar di Indonesia. Cak Nur wafat pada
tanggal 29 Agustus 2005. Sebelumnya Cak Nur menjalani operasi lever di Cina dan
dilanjutkan ke Rumah Sakit Singapura, sampai ia kembali menjalani perawatan
intensif di Rumah Sakit Pondok Indah hingga akhirnya beliau menghembuskan nafas
terakhirnya.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=cdC9hDeKKik
Nurcholis Madjid (Sumber : Wikipedia)
Latar belakang pendidikan dimulai dari
Sekolah Rakyat di Mojoanyar pada pagi hari, sedangkan sore hari ia sekolah di
Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan
ibtidaiyah, ia melanjutkan belajar ke Pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang.
Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Kulliyatul Mua’allimin AlIslamiyah
(KMI) Pesantren Darussalam di Gontor Ponorogo. Setamat dari gontor, ia
melanjutkan studi pada institut Agama Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, pada Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab dan tamat tahun 1968.
Semenjak menjadi mahasiswa, Nurcholish
Madjid seorang mahasiswa yang aktif dalam gerakan kemahasiswaan dan ia secara
langsung maupun tidak langsung mampu menunjukkan kemampuan akademisnya itu pada
dirinya, keluarganya, juga teman-teman seperjuangannya. Beberapa gerakan
kemahasiswaan yang ia geluti adalah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) cabang
Ciputat, sampai akhirnya ia terpilih menjadi ketua umum PB HMI, ia juga aktif
di Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT), kiprahnya di persatuan ini
sampai ia selesai kuliahnya (1968). Keaktifannya dalam sebuah organisasi terus
ia geluti, karena baginya sebuah organisasi merupakan medium pencerdasan
generasi penerus perjuangan bangsa Indonesia, dan selain itu juga baginya peran
sebuah organisasi adalah sebagai wadah untuk pengembangan diri dan sarang
latihan menjadi seorang pemimpin.
Nurcholish Madjid mengakhiri studi
doktoranya (Ph. D) di Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat pada tahun
1984 dengan disertasi tentang Filsafat dan Kalam Ibnu Taymiyyah (‘Ibn Taymiyya
on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam) predikat
Summa Cum Laude pun diraihnya. Selain ia banyak berkecimpung di organisasi dan
memangku berbagai jabatan, Nurcholis Madjid juga sebagai seorang penulis yang
produktif. Di antara karya tulisnya antara lain :
a. Khasanah
Intelektual Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984)
b. Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987)
c. Islam
Doktrin dan peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1992)
d. Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah, (Karya bersama para pakar Indonesia lainnya),
(Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1995)
e. Pintu-pintu
Menuju Tuhan, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
f.
Masyarakat Religius, (Jakarta, Yayasan
Wakaf Paramadina, 1995)
g. Kaki
Langit Peradaban Islam, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
h. Tradisi
Islam Peran dan fungsinya dalam pembangunan di Indonesia, (Jakarta, Yayasan
Wakaf Paramadina, 1997)
i.
Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam
dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina,
1998).
Nurcholish Madjid sebagai tokoh pembaharu
dan cendikiawan muslim Indonesia sudah tidak lagi berada di tengah-tengah kita
dan kepergiannya merupakan suatu kehilangan besar bagi bangsa Indonesia
khususnya dan umumnya bagi anak bangsa dari berbagai Agama, berbagai suku,
merasa kehilangan Cak Nur dalam arti yang sebenarnya, demikian sehabatnya Amin
Rais mengungkapkan, Pemikiran-pemikiran Madjid terasa masih menggema di
kalangan akademisi maupun kalangan ilmuwan, karena banyak dari pemikirannya
masih tetap dan terus diperbincangkan, dikritisi dan diaktualisasikan dalam
kehidupan selanjutnya, entah itu dalam kancah perpolitikan maupun sosial
keagamaan. Beliau juga seorang
intelektual Muslim garda depan, dan juga seorang guru bangsa yang mampu
mengemas Islam dalam denyut humanisme serta humanitas, sehingga benih-benih
pemikirannya banyak dijadikan solusi oleh sebagian masyarakat Indonesia atas
masalah-masalah kemanusiaan maupun keagamaan.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605842754
Gagasan dan pemikiran Nurcholis Madjid
bukan hanya mencakup satu bidang saja, melainkan dari berbagai bidang termasuk
di dalamnya masalah doktrin, ilmu pengetahuan dan peradaban.Pertama,
pembaharuan pesantren. Sesuai dengan latar belakang kehidupannya yaitu sebagai
seorang cendikiawan yang dibesarkan di lingkungan pesantren, Nurcholis Madjid
meiliki perhatian tentang pembaharuan pesantren.Gagasan dan pemikirannya
tentang pesantren ini dapat di lihat dari karyanya berjudul bilikbilik
pesantren sebuah potret perjalanan.
Dalam bukunya ini Nurcholis Madjid
berpendapat bahwa pesantren berhak, malah lebih baik dan lebih berguna untuk
mempertahankan fungsi pokoknya semula yaitu sebagian tempat menyelenggarakan
pendidikan agama. Namun, mungkin diperluaskan suatu tinjauan kembali sehinbgga
ajaran-ajaran agama yang diberikan klepada setiap pribadi merupakan jawaban
yang komprehensif atas persoalan mkna hidup dan weltanschauung Islam, selain
tentu saja diosertai dengan pengetahuan secukuopnya tenhtang
kewajiban-kewajiban praktis seorang muslim sehari- hari.
Nurcholis Madjid merasa perlu untuk
melakukan pembaharuan pesantren. Gagasan dan pemikirannya tentang pesantren ini
dapat dilihat dari karyanya yang berjudul “Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret
Perjalanan”. Nurcholis Madjid berpendapat bahwa pesantren berhak, malah lebih
baik dan lebih berguna, mempertahankan fungsi pokoknya semula, yaitu sebagai
tempat menyelenggarakan pendidikan agama. Namun, mungkin diperlukan suatu
tinjauan kembali sedemikian rupa, sehingga ajaran-ajaran agama yang diberikan
kepada setiap pribadi merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan makna
hidup dan weltanshauung Islam, selain tentu saja disertai dengan pengetahuan
secukupnya tentang kewajiban-kewajiban praktis seorang muslim sehari-hari.
Pelajaran ini kemungkinan dapat diberikan
melalui beberapa cara, diantaranya: mempelajari Alquran dengan cara lebih
sungguh-sungguh daripada yang umumnya dilakukan orang sekarang, yaitu dengan
menitikberatkan kepada pemahaman makna ajaran-ajaran yang terkandung di
dalamnya. Ini memerlukan kemampuan pengajaran yang lebih besar. Yaitu
pengajaran kesatuan-kesatuan pengertian tentang ayat-ayat atau surat-surat lain
(yang belum dibaca pada saat itu). Pelajaran ini mungkin mirip dengan pelajaran
tafsir, tetapi dapat diberikan tanpa sebuah buku atau kitab tafsir melainkan
cukup dengan Alquran secara langsung. Selain itu, baik sekali memanfaatkan mata
pelajaran lain untuk disisipi pandangan keagamaan tadi. Dan menanamkan
kesadaran dan perhargaan yang lebih wajar pada hasilhasil seni budaya Islam
atau untuk menumbuhkan kepekaan rohani, termasuk kepekaan rasa ketuhanan yang
menjadi inti rasa keagamaan.
Selanjutnya, Nurcholis Madjid menganjurkan
agar pesantren tanggap terhadap tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak
dalam kaitannya dengan perkembangan zaman. Di sini pesantren dituntut dapat
membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan nyata yang didapat melalui
pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum secara memadai. Dan bagian ini pun,
sebagaimana layaknya yang terjadi sekarang, harus ada jurusan-jurusan
alternatif bagi anak didik sesuai dengan potensi dan bakat mereka.
Nurcholis Madjid membedakan istilah materi
pelajaran “agama” dan “keagamaan”. Perkataan agama lebih tertuju pada segi
formal dan ilmunya saja. Sedangkan perkataan “keagamaan” lebih mengenai
semangat dan rasa agama (religiusitas). Menurut Nurcholis Madjid, materi
keagamaan ini hanya dipelajari sambil lalu saja tidak secara sungguh-sungguh.
Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam masyarakat zaman modern, bukan
fiqh atau ilmu kalamnya apalagi nahwu sharfnya serta bahasa Aranya. Di sisi
lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengahsetengah,
sehingga kemampuan santri biasanya sangat terbatas dan kurang mendapat
pengakuan di masyarakat umum.
Artikel/Jjurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605824707
5. KH.
Abdurrahman Wahid
Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab
dipanggil Gus Dur, lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan
Wahid Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan
pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah
dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Ia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999
hingga Sidang Istimewa MPR 2001. Ia lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil
atau “Sang Penakluk”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur.
KH. Abdurrahman Wahid (sumber: BSE
Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013)
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=JIdwAl5dqj4
“Gus”
adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai. Gus Dur adalah
putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam
komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah
pendiri Nahdlatul Ulama (NU), demikian pula kakek dari pihak ibu, KH Bisri
Syamsuri. Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan
menjadi Menteri Agama pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri
Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia
tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana
selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada 1957, setelah lulus
SMP, ia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia
mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan
pesantren dalam waktu dua tahun yang seharusnya ditempuh selama empat tahun.
Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas Jombang dan mendapatkan
pekerjaan pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi
wartawan Horizon dan Majalah Budaya Jaya.
Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/25457176814293787
Pada 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari
Departemen Agama untuk belajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, namun ia
tidak menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya. Gus Dur kemudian
melanjutkan belajar di Universitas Baghdad, Irak dan menyelesaikan
pendidikannya pada tahun 1970. Kemudian ia pergi ke Belanda untuk meneruskan
pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi ia kecewa karena
pendidikannya di Baghdad kurang diakui (tidak mu’adalah) di Belanda. Gus Dur
lalu melanjutkan pendidikan ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia
pada tahun 1971. Sekembalinya ke Indonesia Gusdur bergabung di Fakultas
Ushuluddin Universitas Hasyim Asy' Ari, dan menjadi dekan hingga tahun 1974.
Pada tahun 1970-an, ia menekuni dunia tulis menulis dan menjadi kolumnis tetap
di majalah Tempo, Kompas, Pelita, dan Jurnal Prisma. Sebelum menjabat ketua
PBNU 1984, Gusdur menjabat ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Tahun 1989 dan
1994 berturut-turut terpilih sebagai Ketua Umum PB NU hingga menjadi Presiden
RI keempat Oktober 1999.
Pada tahun 1982 NU membetuk Tim Tujuh
(termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan
kembali NU. Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa
jabatan keempat oleh MPR dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila
sebagai ideologi tunggal. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi
bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu
ini. Gus Dur lalu menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi
Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan
partai politik agar NU fokus pada masalah sosial. Pada Musyawarah Nasional NU
1984, Gus Dur dinominasikan sebagai Ketua Umum PBNU dan dia menerimanya dengan
syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di
bawahnya. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem
pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan
pesantren sehingga menandingi sekolah umum.
Gus Dur terpilih kembali untuk masa
jabatan kedua Ketua Umum PBNU pada Musyawarah Nasional 1989. Saat itu,
Soeharto, yang terlibat dalam persinggungan politik dengan ABRI, berusaha
menarik simpati Muslim termasuk juga kepada NU. Pada Juli 1998 Gus Dur
menanggapi ide pembentukan partai politik sebagai wadah warga NU menyampaikan
aspirasi politiknya. Partai tersebut diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB). Pada tanggal 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai
kandidat presidennya. Pemilu April 1999, PKB meraih suara 12% suara dengan PDIP
memenangkan 33% suara. Pada 20 Oktober 1999, Sidang Umum MPR memilih presiden
baru. Meskipun suara PDIP yang terbesar, namun karena suasana politik yang berkembang
saat itu, mengantarkan Gus Dur terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4.
Langkah yang dilakukan oleh Gus Dur
sebagai Presiden adalah mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang
sosial-politik. Sebelumnya ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) di
samping bertugas sebagai lembaga pertahanan negara, ia juga diperbolehkan
berkiprah di dunia politik, hal ini disebut dengan Dwi Fungsi ABRI. Pada
tingkatan legislatif ABRI memiliki fraksi tersendiri dengan nama Fraksi
TNI-POLRI. Pada era Gus Dur, TNI-POLRI tidak diperkenankan terlibat dalam
politik praktis. TNI hanya bertugas sebagai lembaga pertahanan negara. Namun,
hal ini juga tidak dilakukan secara sekaligus oleh Gus Dur. Gus Dur membuat
perencanan paling tidak selama 6 tahun TNI-POLRI baru benar-benar lepas dari
dunia politik. Selama 6 tahun tersebut, secara gradual kesejahteraan TNI-POLRI
ditingkatkan sampai pada tingkatan yang mapan sebagai pihak yang memiliki tugas
berat, yaitu menjaga kedaulatan negara. Pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi
memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri.
Pada 11 Agustus 2006, Gus Dur mendapatkan
Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dinilai memiliki
semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi,
persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur
memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena ia
dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas. Dia juga memperoleh
penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama
kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.
Pada pembahasan ini akan dikupas secara
mendalam salah saru pemikiran tokoh perkembangan Islam moderen kontemporer,
tidaklah menyampingkan tokoh-tokoh yang lainnya, tetapi diambil dari tokoh yang
pengalamannya universal, yaitu KH. Abdurrahman Wahid. KH. Abdurrahman Wahid karena
beliau adalah seorang ulama, modernis, demokratis hingga politukus yang telah
diteliti oleh Indo Santalia dosen Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik,
UIN Alaudin Makassar. Berikut rincian dari pemikiran beliau (Santalia, 2015:
139-145):
a. Hubungan
Islam dan Negara
Hubungan Islam dan Negara, merupakan suatu
bidang kajian yang sangat penting sebagai gejala sosial. Hubungan tersebut
merupakan cermin agama Islam dalam masyarakat. Hubungan Islam dan Negara dalam
penjelasan Gusdur dikatakan bahwa: “Islam tidak mengenal doktrin tentang
negara. Dalam soal bentuk negara, menurutnya tidak mempunyai aturan baku. Hal
ini bergantung negara bersangkutan apakah mau menggunakan model demokrasi,
teokrasi atau monarchi. Hal yang terpenting bagi Gusdur adalah terpenuhinya
tiga kreteria, yaitu: pertama, mengedepangkan prinsip-prinsip permusyawaratan.
Kedua, ditegakkan keadilan. Ketiga, adanya jaminan kebebasan (al-huriyyah)
(AlBrebesy, 1999: 155).
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=yuWH9zDbtuU
Dalam pembukaan UUD 1945 terdapat doktrin
tentang keadilan dan kemakmuran. Tak ada pula doktrin bahwa negara harus
berbentuk formalisme negara Islam, demikian pula dalam pelaksanaan halhal
kenegaraan. Negara dalam perspektif Gusdur adalah al-Hukum (hukum atau aturan).
Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang defenitif sehingga etik
kemasyarakatanlah yang diperlukan. Dalam persoalan mendasar misalnya Islam
tidak konsisten, terkadang memakai Istikhlaf, Bay'ah, ataupun Ahlu al-Halli wa
al-Aqdi, padahal suksesi adalah soal yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan.
Apa yang menjadi keinginan Gusdur untuk tidak memformalkan Islam sebagai
ideologi dan acuan dalam negara sejalan dengan keinginan sebahagian besar warga
negara yang mayoritas Islam. Hal ini terbukti dalam pemilu 1999 yang
dimenangkan oleh partai nasionalis termasuk PAN dan PKB yang sedikit religius.
Penerimaan Pancasila sebagai ideologi
negara yang dimotori oleh Gusdur dan KH. Amad Siddiq, paling tidak karena dua
hal yaitu; Pertama, Islam adalah agama Fitriah. Sepanjang suatu nilai tidak
bertentangan dengan keyakinan Islam, ia dapat diarahkan agar selaras dengan
tujuan-tujuan dalam Islam. ketika Islam diterima oleh masyarakat, ia tidak
harus menganti nilai-nilai yang terdapat di dalamnya tetapi bersikap
menyempurnakan.
Di sinilah letak pertentangan Gusdur
secara pribadi dengan sebahagian person ICMI sebagai sebuah lembaga.11 Dalam
perspektif Ahlu al-Sunnah Wa-al-Jamaah aliran yang diyakini Gusdur pemerintah
diilik dan dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari normal formal
eksistensinya, negara Islam atau bukan. Selama kaum muslimin dapat
menyelengarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka konteks
pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat perhatiannya. Kedua Islam dan
Pancasila dinilai mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam dan
wawasan ke agamaan negara Indonesia sudah dijamin.
Gusdur dengan penuh keyakinan menjelaskan
pemerintah yang berideologi pancasila harus dipertahankan, karena syari'ah
dalam bentuk hukum agama, fikhi atau etika masyarakat masih dilaksanakan oleh
kaum muslimin di dalamnya sekalipun hal itu tidak diikuti dengan legislasi
dalam bentuk undang-undang negara. Bila etik kemasyarakatan Islam diljalankan,
tak ada alasan selain mempertahankannya sebagai kewajiban agama. Dari sanalah
munculnya keharusan untuk taat kepada pemerintah (Malik, 1998: 170).
Gusdur berusaha memberikan sinergi untuk
memparalelkan hubungan negara dan agama. Dalam pemikirannya, ia melihat
besarnya hanbatan dalam proses pembangunan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman
yang sangat besar antara pihak penanggungjawab ideologi negara-negara yang
sedang berkembang. Upaya Gusdur ini tidak lepas dari perang bapaknya sebagai
perumus konsep kenegaraan dan ia berpendapat bahwa tidak ada pertentangan
antara Islam dan nasionalisme. Islam bisa berkembang secara spritual dalam
sebuah negara nasional yang tidak secara formal berdasarkan pada Islam. Gusdur
menjelaskan lebih lanjut sebagaimana yang dikutip Douglas E. Ramage sebagai
berikut:
NU berpegang kepada konsepsi nasionalisme
yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. NU telah menjadi pioner dalam
masalah ideologis. Ini tentu hanya satu kasus, karena di seluruh dunia Islam
hubungan antara nasionalisme dan Islam masih menjadi persoalan. Negara-negara
Arab mengangap nasionalisme sebagai bentuk sekularisme. Mereka belum mengerti
bahwa nasionalisme seperti yang dipraktekkan di Indonesia tidaklah sekuler,
tetapi sangat menghormati perang agama (Remage, 1997: 197).
Pemikiran Gusdur ini mendapat sambutan
yang hangat dari berbagai lapisan termasuk non muslim dan mereka ini sangat
antusias terhadap sikap inklusif Gusdur. Keyakinan keagamaan di Indonesia patut
menjadi teladan karena satu sisi sistem politik yang netral secara agama dan
pancasila adalah sebuah ekspresi dari negara yang sekuler secara politik tetapi
memberi peluang berkembangnya agama. Hal ini yang tidak disetujui ICMI.
Imaduddin Abdurrahim salah seorang tokoh ICMI tidak mempercayai kalau
nasionalisme bisa menjadi pemersatu bangsa. Keyakinan tokoh ini, Islam bisa
berfungsi sebagai basis moral bagi negara, jika Islam kepercayaan sembilan
puluh persen rakyat Indonesia berbeda dengan itu, Gusdur malah dengan tegas
mengatakan tanpa pancasila, kita akan berhenti sebagai negara.
Pemikiran Gusdur yang kontra dengan ICMI
bukan berarti Gusdur anti Islam. Persoalannya adalah awal berangkat antara
Gusdur dengan ICMI itu beda. ICM oleh sebagian anggotanya lebih menonjolkan
bendera Islam dalam kekuatan politik yang kemudian disusupkan dalam institusi
politik yang ada sementara NU lebih akomodatif, dalam arti selama kehidupan
beragama diberi haknya selama itupula menjadi kewajiban untuk
mempertahankannya.
b. Pluralisme
Pluralisme adalah sebuah paham yang
mengakui dan mempercayai adanya perbedaan dalam masyarakat yang meliputi
perbedaan agama, ras, kelompok, suku budaya, dan adat istiadat. Dalam
membicarakan pluralisme, Gusdur tak jarang menghubungkannya dengan agama,
karena agama inilah yang sering dimanfaatkan oleh mayoritas dalam menindas dan
menekam secara diam-diam kaum minoritas. Pandangan Gusdur terhadap pluralism
tercermin pada sikapnya yang membela minoritas dan non muslim dan melakukan
kerjasama dengan siapa saja secara terbuka, baik dengan kelompok kristen,
hindu, budha, maupun kelompok Islam yang lain. Contoh ketika pemimpin tabloid
Monitor Arswendo Atmowiloto menemapatkan nabi Muhammad Saw. pada urutan ke 11
di antara tokoh dunia. Umat Islam secara spontan bereaksi dan meminta agar
kantor tabloid di tutup dan dilarang beroperasi lalu Gusdur mengatakan:
"Saya tidak setuju dengan itu. Bawalah ke pengadilan itulah penyelesaian
yang terbaik”. Gusdur memberikan pelajaran kepada rakyat untuk menghargai
otoritas Pengadilan dan tidak bertindak menghakimi sendiri. Gusdur menurut
Frans Magnis Suseno adalah seorang yang menghayati agama Islam secara sangat
terbuka. Ia sosok pribadi yang bebas dari segalah kepicikan, primordialistik
dan sektarian. Ia jelas seratus persen seorang yang beragama Islam tetapi
keislamannya begitu mantap sehingga ia merasa tidak terancam oleh pluralitas
(Suzeno, 2000:65).
Kelompok minoritas lain yang sering dibela
Gusdur adalah penganut Konghucu, kendati negara tidak mengakui keberadaan
negara ini khususnya pada masa ode baru tapi Gusdur tetap membelahnya sebagai
hak pribadi terhadap suatu keyakinan tentang kebenaran ajaran yang dianut.
Pembelaan dan pengakuannya terhadap hak minoritas ini merupakan wujud nyata
dari tanggung jawab sosial kebangsaan dan praktek demokrasi. Hal ini pulalah
yang mendasari diakuinya kemudian Konghucu sebagai agama dalam pemerintahan
Gusdur. Gagasan Gusdur mengenai toleransi dan dialog antar agama atau antar
iman tersingkronisasi dalam pemikirannya mengenai pluralisme. Apabila seseorang
berpikir positif tentang pluralisme, maka otomatis di dalamnya sudah ada
unsur-unsur yang menunjukkan sikap toleran dalam keberbedaan. Th. Sumartana,
seorang penganut Katolik menilai bahwa Gusdur melihat perbedaan agama-agama
cenderung merupakan perbedaan yang berada dalam tataran kemanusiaan dan tetap
yakin bahwa sesungguhnya yang menjadi hakim untuk mengatakan seorang masuk
syurga atau neraka adalah Tuhan (Sumartana, 2000: 108).
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952794147
Bahkan ia mengatakan informasi dan
ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu dilayani.
Cukup di imbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang positif konstruktif.
Sikap pluralis Gusdur yang tampak lebih mementingkan kelompok minoritas tak
jarang mendapat tudingan dan hujatan yang bertubi-tubi, bahkan ia dituduh
sekuler dan penghianat umat, padahal sikap Gusdur yang demikian justru inigin
mengfungsionalisasikan ajaran Islam secara maksimal. Agama tidak sekedar
simbol, dan menawarkan janji ke akhiratan sementara realitas kehidupan yang ada
dibiarkan tidak tersentu. Sikap Gusdur tidak perna memperlihatkan kebenciannya
pada kaum minoritas menyebabkan pula bias bergaul siapa saja. Gusdur
menginginkan pendewasaan diri dalam pandangan beragama dan melakukan hal-hal
yang konstruktif, pemekaran cakrawala umat, pembinaan kembali akhlak umat
hingga mencapai keseimbangan optimal antara emosi dan rasio.
c. Demokratisasi
Jauh sebelum menjadi presiden, Gusdur
telah melemparkan gagasan dan pemikirannya tentang demokrasi yang pantas
diterapkan di negeri ini. Dalam konteks keindonesiaan, Gusdur memandang
demokrasi sebagai suatu proses atau budaya yang terus menerus dan tidak hanya
diukur dari segi kelembagaannya saja seperti yang diterapkan selama orde baru.
Gusdur menjelaskan: “Ya..kan mereka sudah ngomong sudah ada demokrasi dengan
mengatakan sudah ada lembaganya. Ada MPR, ada DPR. Ya, semacam itulah. Namun
saya sendiri beranggapan, demokrasi itu harus utuh, tidak hanya lembaga tetapi
juga prilaku orang-orangnya juga harus demokratis. Nyatanya prilaku kita tidak
demokratis”.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=19iv7cmgR1g
Ungkapan Gusdur di atas sebagai perlawanan
terhadap rezim orde baru yang selalu mengklaim dirinya bersikap demokratis,
padahal menciptakan UU untuk menjerat siapa saja yang menkritik. Hampir tidak
ada orang yang berani mengemukakan kebenaran. Kalaupun ada, ujung-ujungnya
adalah korban, sebutlah misalnya Sri Bintang Pemungkas, AM. Fatwa bahkan angota
DPR MPR sendiri selama 32 tahun, ke hadirannya hanya setuju.
Menegakkan demokrasi menurut Gusdur tidak
bias menghindari omongan yang tidak enak bahkan kontroversi menurutnya adalah
esensi demokrasi. Dalam negara yang demokratis, harus pula diikuti oleh warga
masyarakat yang demokratis. Masyarakat demokratis menurut Gusdur adalah semua
warga negara mempunyai kedudukannya yang sama di muka hukum. Kedua, kebebasan
berpendapat dibuka seluas-luasnya, keempat adanya pemisahan yang tegas dalam fungsi
yang tidak boleh saling mempengaruhi antara eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Dalam menegakkan demokrasi Gusdur sangat menghindari terjadinya
kekerasan, dan beliau lebih percaya pada perjuangan kultural.
d. Pribumisasi
Istilah "Pribumisasi Islam"
pertama kali dilontarkan tahun 1980-an oleh Abdurrahman Wahid sebagai ganti
atas istilah indigenization dalam bahasa Inggris. Pribumisasi Islam lahir dalam
konteks perhatian Gusdur untuk tidak menjadikan Islam sebagai alternatif
terhadap persoalan-persoalan kenegaraan dan kebangsaan. Ini berbeda dengan
sebahagian komunitas gerakan Islam pemurnian, para pencari "Islam asli dan
otentik", di Indonesia menghendaki pengislaman negara. Atau mengangkat
ajaran Islam sebagai alternatif untuk mengatasi persoalan-persolan kebangsaan.
Seperti tampak dalam tuntutan penegakan syariat Islam dan Piagam Jakarta.
Dengan pribumisasi, segenap ajaran agama yang telah diserap oleh kultur lokal
akan tetap dipertahankan dalam bingkai lokalitas tersebut. Singkatnya seperti
dikatakan Gusdur sendiri, mengokohkan kembali akar budaya kita, dengan tetap
berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. Pada level bahasa, ia tidak
setuju dengan pergantian sejumlah kosakata dalam bahasa Indonesia dengan bahasa
Arab, seperti ulang tahun diganti dengan milad, selamat pagi diganti dengan
Assalamu Alaikum, teman atau sahabat dengan ikhwan proses ini disebut ini
disebut Islamisasi dan Arabisasi (Baso, 2002: 8). Maka tidak heran kalau
kemudian muncul kontroversi diakhir 1980-an tentang Assalamu Alaikum diganti
dengan Selamat Pagi.
Sumber
: http://ppg.siagapendis.com
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar