Strategi
dakwah Islam di Indonesia
Situasi masyarakat sebelum datangnya Islam
terpengaruhi oleh sistem kasta dalam agama Hindu yang menjadikan perbedaan
golongan kelas dalam kehidupan. Akibatnya, kehidupan masyarakat menjadi
bertingkat dan berkelompok. Masyarakat Hindu ketika itu membagi kastanya
menjadi empat (4) kasta yaitu: kasta brahmana, kasta ksatria, kasta waisya, dan
kasta sudra. Sebagai kasta yang paling rendah, kasta sudra sering tertindas
oleh kasta lainnya, sehingga kehidupannya selalu diliputi keresahan.
Datangnya Islam mengikis keadaan
masyarakat yang berkasta, merubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik tanpa
adanya penindasan atas perbedaan kasta. Perubahan ini tidak terlepas atas peran
para wali dan para muballigh. Penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad
ke-17 dikenal dengan istilah Walisongo. Era Walisongo menandai berakhirnya
dominasi Hindu Budha dalam budaya Nusantara dan dirubah menjadi kebudayaan
Islam. Peranan mereka sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam dan
penyebaran ajaran agama Islam di Jawa.
Penyebaran Islam terutama di Jawa banyak
dilakukan oleh para wali. Wali dalam hal ini Wali Allah atau Waliyullah, adalah
orang suci yang mula-mula menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Jadi, wali
adalah orang yang mengabdikan diri kepada Allah dengan menyerahkan upaya
lahiriah dan rohaniah untuk kepentingan agama Islam dengan disertai kelebihan
karomah, dimana orang biasa tidak mungkin melakukannya.
Syech Yusup bin Sulaiman dalam kitab
Jami'u Karamati al-Aulia berpendapat bahwa Wali ialah orang yang sangat dekat
kepada Allah lantaran penuh ketaatannya dan oleh karena itu Allah memberikan
kuasa kepadanya dengan Karomah dan penjagaan. Wali adalah orang yang
terpelihara dari perbuatan dosa, baik dosa besar atau pun kecil, juga terhidar
dari terjerumusnya hawa nafsu meskipun hanya sekejap dan apabila melakukan dosa
maka segera bertaubat kepada Allah SWT. Wali-wali itu dianggap sebagai orang
yang mulamula menyiarkan agama Islam di Jawa dan biasa dinamakan Wali Sembilan
atau Wali Songo.
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai
penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga
wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa
Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98021043410572225
Ada beberapa pendapat mengenai arti
Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang
ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa
kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia.
Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti
tempat. Kedua mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan
oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan Walisongo
beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang,
putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan Drajad, putra kedua dari Sunan
Ampel); Usman Haji (Pangeran Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin
(Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh Suta Maharaja; Raden Hamzah
(Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.
Para Walisongo adalah intelektual yang
menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam
beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari
kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan,
hingga ke pemerintahan. Pada dasarnya, para walisongo tidak hidup satu waktu
secara bersamaan, namun satu sama lain mempunyai ikatan erat baik karena
pernikahan ataupun hubungan guru dengan murid.
Setiap individu Walisongo mempunya peran
dan kekhasan tersendiri dalam proses penyebaran agama Islam di Nusantara.
Maulana Malik Ibrahim yang memposisikan dirinya sebagai "tabib" bagi
kerajaan Hindu Majapahit, Sunan Giri yang disebut sebagai "Paus dari
Timur" hingga Sunan Kalijaga dengan kekhasannya karya kesenian dengan
menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa, yaitu nuansa Hindu dan
Budha.
Walisongo tidak hidup pada saat yang
persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak
dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Era Walisongo adalah era
berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan
kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya
di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang
sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan
wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Selain istilah wali, di Jawa dikenal juga
istilah sunan. Sunan adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan dihormati,
biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Gelar ini biasa diberikan
untuk mubaligh atau penyebar agama Islam, khususnya di tanah Jawa pada abad
ke-15 hingga abad ke-16. Menurut Hamka istilah Sunan berasal dari singkatan
kata bahasa Jawa Susuhunan. Artinya adalah tempat penerima "susunan"
jari yang sepuluh, atau dengan kata lain sesembahan. Namun demikian, istilah
tersebut bukanlah istilah umum dalam agama Islam, melainkan hanya sebutan yang
sifatnya sosio-kultural, khususnya pada masyarakat Jawa di Indonesia. Selain
sunan, ada pula mubaligh lainnya yang disebut syekh, kyai, ustadz, penghulu,
atau tuan guru.
Dari sejumlah sunan, terdapat 9 orang yang
paling terkenal diantara mereka yang dikenal dengan sebutan Walisongo, yaitu
dari kata wali (bahasa Arab, yang berarti wakil), dan sanga (bahasa Jawa, yang
berarti sembilan). Mereka dianggap sebagai mubaligh agung, baik dari segi ilmu
agama Islam maupun bobot segala jasa dan karomahnya terhadap kehidupan
bermasyarakat dan kenegaraannya.
Dari silsilahnya Maulana Malik Ibrahim
yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah
keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan
Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan
sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus
murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali
Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari
awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan
di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat.
Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok
tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua
institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam
berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati
bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang,
Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa
hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605827971
Sekilas tentang terdapat sembilan nama
yang dikenal sebagai anggota Walisongo, diantaranya adalah para Walisongo,
antara lain:
1. Maulana
Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim
As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal
abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti
pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian
rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak,
ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku).
Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana
Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini
sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Aktifitas pertama yang dilakukannya ketika
itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan
kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga
menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib,
kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari
Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek
Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat
bawah-kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya,
yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda
krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat
belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini
terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
2. Sunan
Giri
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di
pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia
sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka
pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa
Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.
3. Sunan
Bonang
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu
kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW,
kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernapasan yang disebut dengan
rahasia Alif Lam Mim م ل ا ) yang
artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan
gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf
Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf
Ya'. Ia menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah
dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis
artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan
nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi
Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak
murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Salat dan dzikir. Hingga sekarang
ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh
generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam
Silat Tauhid Indonesia
4. Sunan
Ampel
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi.
Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang
menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah
"Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon).
Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak
mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina."
5. Sunan
Drajat
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali
dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian
terdampar di Dusun Jelog-pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi
setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan
padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat,
Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan
Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya
lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian
yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah
suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri
makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang'.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang
bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara
anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara
ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka
tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan
agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya.
6. Sunan
Muria
Sunan Muria seringkali dijadikan pula
sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia
dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun
rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua
pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga
sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom
dan Kinanti. Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung
Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti
Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima
wasiat Nabi Sulaeman.
7. Sunan
Gunung Jati
Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya
"wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati
memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam
dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
8. Sunan
Kudus
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan
Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah
seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru
pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara
penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali -yang kesulitan
mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk
teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan
memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur
masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia
sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh
jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap:
mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah
dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
9. Sunan
Kalijaga
Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis
dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni
suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan
sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk jadi Raja.
Taman pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid
diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat efektif.
Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di
antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang
(sekarang Kotagede-Yogyakarta). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, selatan
Demak.
Strategi dakwah yang digunakan Walisongo
adalah penerapan strategi yang dikembangkan para sufi Sunni dalam menanamkan
ajaran Islam melalui keteladanan yang baik. Jejak yang ditinggalkan Walisongo
itu terlihat dalam kumpulan nasihat agama yang termuat dalam tulisan-tulisan
para murid dan ahli waris Wali Songo. Baik berupa buku sejarah, nasab,
silsilah, suluk, babad, manaqib dan lainlain yang menggambarkan hakikat aliran
tasawuf dan dakwah yang mereka anut dan kembangkan. Strategi Dakwah yang dilakukan
para wali berbeda-beda, sebagai contoh adalah Sunan Kalijaga menggunakan
strategi berdakwah dengan mengajak Pembesar Hindu di Semarang.
Mulanya terjadi perdebatan seru, tetapi
perdebatan itu kemudian berakhir dengan rasa tunduk Sang bangsawan itu untuk
masuk Islam. Kejadian mengharukan ketika bangsawan itu rela melepaskan jabatan
dan rela meninggalkan harta dan keluarga untuk bergabung dalam dakwah Sunan
Kalijaga. Strategi yang dilakukan Sunan Kudus tampak unik dengan mengumpulkan
masyarakat untuk melihat lembu yang dihias sedemikian rupa sehingga tampil
bagai pengantin itu kemudian diikat di halaman masjid, sehingga masyarakat yang
ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyunduyun menyaksikan lembu
yang diperlakukan secara istimewa dan aneh itu. Sesudah mereka datang dan
berkumpul di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya.
Cara ini praktis dan strategis untuk
menarik minat masyarakat yang masih banyak menganut agama Hindu. Seperti
diketahui, lembu merupakan binatang keramat Hindu. Sebagai contoh yang lain
Sunan Kudus dan Sunan Ampel yang berkuasa di daerah-daerah di sekitar kediaman
mereka, dengan demikian kekuatan diplomasi dan kemampuan dalam berhujjah atas
kekuatan pemerintahan Majapahit.
Masyarakat Indonesia dahulu memeluk
kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau
dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Pada mulanya sebelum
Walisongo menggunakan media wayang, bentuk wayang menyerupai relief atau arca
yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan. Pementasan wayang merupakan acara
yang amat digemari masyarakat. Masyarakat menonton pementasan wayang
berbondong-bondong setiap kali dipentaskan.
Sebelum Walisongo menggunakan wayang
sebagai media mereka, sempat terjadi perdebatan diantara mereka mengenai adanya
unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah, doktrin keesaan Tuhan dalam Islam.
Selanjutnya para Wali melakukan berbagai penyesuaian agar lebih sesuai dengan
ajaran Islam. Bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk menyerupai manusia
menjadi bentuk yang baru. Wajahnya miring, leher dibuat memanjang, lengan
memanjang sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam
cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon
Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya
Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala
isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya
kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran- ajaran tentang
menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama
manusia. Dalam sejarahnya, para Wali
berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia.
Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat
berjasa dalam mengembangkan Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah
mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa
Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang
Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana
yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus
dicari (Wayang Golek)”. Di samping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya,
para wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya
lainnya contohnya melalui penciptaan tembangtembang keislaman berbahasa Jawa,
gamelan, dan lakon Islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca
syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah
satu Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan kesenian
lokal.
Dalam hal ini menyebar luaskan Islam
melalui bahasa-bahasa simbol, media, dan budaya merupakan salah satu bentuk
perjuangan yang cukup efektif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa strategi
yang digunakan mengacu pada tiga strategi dakwah, yaitu Al-Hikmah atau
kebijaksanaan, Al-Mauizah Hasanah atau nasihat yang baik, dan AlMujadalah atau
berdiskusi secara sinergis dengan menghasilkan satu alternatif pemikiran tanpa
menyudutkan salah satu kelompok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar