TAFSIR, TAKWIL,
TERJEMAH, AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
A.
Konsep Tafsir,
Takwil, Tarjamah, Ayat-Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat
1. Tafsir
Menurut bahasa
kata tafsir diambil dari kata fassara - yufassiru - tafsiir yang berarti
menjelaskan. Pengertian tafsir menurut bahasa juga bermakna al-idhah
(menjelaskan), albayan (menerangkan), al-kasyf (mengungkapkan). Sedangkan
secara terminology terdapat beberapa pendapat, salah satunya menurut Dr.
Shubhis Shaleh yang mendifinisikan tafsir sebagai berikut: yang artinya: “Sebuah disiplin yang digunakan untuk
memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Saw dan menerangkan
makna-maknanya serta menggali hukum-hukum dan hikmahhikmahnya”. Sedangkan
menurut Ali al-Shabuniy bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang
al-Qur’an dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan
manusia. Begitu pula al-Kilabi berpendapat bahwa tafsir adalah menjelaskan
al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan
nashnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya.
2.
Takwil
Ta’wil menurut
bahasa berasal dari kata awwala-yuauwilu-takwiil yang memiliki makna al-ruju’
atau al’aud yang berarti kembali. Memperhatikan penggunaan kata takwil di dalam
al Qur’an, maka secara terminologi al Jurjani dalam kitab al Ta’rifatnya
memberikan definisi takwil sebagai berikut yang artinya : Memalingkan lafadz dari maknanya yang lahir kepada makna yang dikandung
oleh lafadz tersebut selama makna yang dimaksud tersebut dipandang sesuai
dengan al qur’an dan al sunnah.
3. Terjemah
Terjemah diambil
dari bahasa arab dari kata tarjamah. Bahasa arab sendiri memungut kata tersebut
dari bahasa Armenia yaitu turjuman. Kata turjuman sebentuk dengan kata tarjaman
dan tarjuman yang berarti mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain.
Terjemah menurut bahasa juga berarti salinan dari satu bahasa ke bahasa lain,
atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain.
Secara etimologi berarti juga‚ memindahkan lafal dari suatu bahasa kedalam
bahasa lain.
4. Muhkamat dan Mutasyabihat.
Kata Muhkam dari segi etimologi berasal dari
akar kata hakama-yahkamu-hukman berarti menetapkan,
memutuskan, memisahkan. Kemudian
dijadikan wazan af’ala menjadi ahkama-yuhkimu-ihkaam yang berarti mencegah.
Al-Hukmu artinya memisahkan antara dua
hal. Jika seseorang dikatakan hakim maka karena ia mencegah kezaliman dan
memisahkan antara dua orang yang berselisih, membedakan antara yang hak dan
yang batil, antara benar dan salah.
Sedangakan kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh
yang secara bahasa berarti keserupaan dan
kesamaan yang biasanya membawa kepada
kesamaan antara dua hal. Menurut
Manna’ Al-Qaththan secara terminologi muhkam
adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, mengandung satu makna, dapat
diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain. Sedang mutashâbih adalah ayat yang pada
hakekatnya hanya diketahui maksudnya oleh Allah sendiri, mengandung banyak
makna, dan membutuhkan penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat lain.
B.
Menganalisis Penerapan Tafsir, Takwil, Terjamah, Ayat-Ayat
Muhkamat Dan Mutasyabihat
1. Tafsir
Dalam melakukan
penafsiran al Qur’an seorang mufassir
dituntut untuk menjelaskan maksud yang terkandung dari suatu ayat atau
beberapa ayat atau surat di dalam al Qur’an. Maksud dari suatu ayat atau surat
tersebut dapat dipahami dari susunan bahasanya dan lafadzlafadz yang
digunakannya serta seluk beluk yang berhubungan dengan ayat atau surat
tersebut, yaitu; kapan, di mana, ada
peristiwa apa ketika ayat itu turun, berkenaan dengan apa dan siapa, kondisi
masyarakatnya bagaimana, dan bagaimana penjelasan Nabi Saw terhadap ayat
tersebut. Seluk beluk yang dimaksud adalah terkait dengan ulumu al Qur’an,
di dalamnya membahas tentang asbabun nuzul, makiyah dan madaniyah, ilmu qiraat,
nasikh wa mansukh, dst. Adapun syarat-syarat
mufassir, yaitu penguasaan bahasa arab beserta cabang-cabangnya dan penguasaan
terhadap ulumu al Qur’an.
2. Takwil
Dalam al Qur’an
beberapa kali menggunakan kata takwil dalam menjelaskan maksud dari sebuah
pristiwa atau kisah, misalnya pada kisah Nabi Yusuf as (QS:12;100) dalam
menjelaskan pristiwa tunduknya keluarga dan saudara-saudaranya kepadanya
dinyatakan dengan kalimat haadzaa
takwiilu rukyaaya min qobl qod ja’ala
robbii haqqo (ini adalah takwil mimpiku sebelumnya, sungguh Tuhan telah
menjadikan mimpiku menjadi kenyataan). Demikian juga pada surat al Kahfi (78)
tentang kisah seorang hamba Allah yang diberi ilmu dari sisi-Nya
mengatakan kepada Nabi Musa as dengan
kalimat sa unabbi uka bitakwiili maalam
tastathi’ alaihi sobro (aku akan menjelaskan takwil sesuatu yang engkau
tidak dapat bersikap sabar terhadapnya).
3. Terjemah
Penerjemahan
dibagi menjadi dua: terjemah lafdziyah
dan terjemah tafsiriyah.
a.
Terjemah lafziyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari
satu bahasa ke dalam lafaz- lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa
sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib
bahasa pertama.
b.
Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu
menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib
katakata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
Membaca terjemah
sebuah ayat al Qur’an dapat membantu pembaca untuk memahami maksud ayat
tersebut, namun demikian membaca terjemah saja tanpa memahami seluk beluk
bahasa al Qur’an yakni bahasa arab seringkali menjadikan pemahaman terhadap
ayat tersebut kurang sempurna, atau bahkan dikuatirkan terjadi kesalahpahaman.
Kesalahpahaman terhadap pembacaan terjemah secara umum dapat
disebabkan beberapa hal:
1)
Tidak semua kata dalam suatu bahasa dapat diterjemah secara tepat
atau utuh ke dalam bahasa lain. Ini dikarenakan setiap bahasa memiliki batas-batas makna
masing-masing. Contoh kata; anta dan anti( mudzakkar dan muannats) tidak dapat
diterjemah secara utuh dengan kata kamu, anda atau engkau. Demikian juga misalnya kata insanun
dan basyarun tidak dapat secara utuh diwakili oleh terjemah kata manusia.
2)
Keterbatasan seorang penerjemah dalam melakukan pilihan
kata yang tepat dan keterbatasan penerjemah dalam penguasaan struktur bahasa
yang digunakan.
3)
Latarbelakang budaya yang berbeda pada setiap bangsa akan
membentuk karakteristik bahasa yang berbeda, misalnya pada bahasa arab memiliki
jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah.
Pola memiliki
dua jumlah tersebut tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia. Karena itu apabila
melihat berbagai kelemahan tersebut di atas, maka dalam penterjemahan al
Qur’an belum dapat dikatakan mampu mewakili seluruh maksud ayat-ayatnya.
4. Muhkamat dan Mutasyabihat.
Analisis pada
Qs. Ali Imran ayat 7, dalam ayat Alquran tersebut menimbulkan perbedaan
pemahaman tentang boleh tidaknya takwil atas ayat-ayat mutasyabihaat itu.
Sebagian pendapat menyatakan bahwa semua ayat mutasyabihaat bisa ditakwil
seluruhnya, tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa sebagian saja yang boleh
ditakwil itu pun bila memenuhi persyaratan takwil termasuk siapa saja yang
berhak melakukannya.
Pada ayat yang
berbicara tentang dzat Allah yang tercantum pada QS. An-Nuur: ayat 35 yang
artinya (Allah adalah cahaya langit dan
bumi) dengan tujuan agar dzat Allah itu bisa diketahui. Pemahaman seperti
ini merupakan takwil yang terlarang, karena tidak sesuai dengan QS. Asy-Syura:
ayat 42 yang artinya (tidak ada sesuatu
apapun yang menyerupainya).
Pada penerapan
takwil terhadap ayat mutasyabihat lainnya yang dilakukan Prof. Quraish Shihab
dalam menafsirkan kata kursi pada Q.S. Al-Baqarah/2: 225. Ia menakwilkan
kalimat kursi Allah meliputi langit dan bumi sebagaimana Al-Thabathaba’i dalam
Tafsir Al - Mizan menakwilkannya sebagai kedudukan
Ilahiyah untuk mengendalikan semua makhluk-Nya. Luasnya kursi Allah memiliki
makna ketakterhinggaan kekuasaan-Nya. Karena itu makna kursi pada ayat tersebut
adalah kedudukan ketuhanan yang mengendalikan langit dan bumi beserta isinya. Juga
mengisyaratkan bahwa semua benda itu terkontrol dengan baik. Demikian juga
makna keluasan yang dimaksud bahwa pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu di
langit dan bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar