Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Selasa, 16 Juli 2019

METODE DAN PENDEKATAN PENAFSIRAN AL-QUR'AN




METODE DAN PENDEKATAN PENAFSIRAN AL-QUR’AN

A.    Konsep Tafsir bi al Ma’tsur, tafsir bi al ra’yi, tafsir isyari 
1.          Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah menafsirkan al-Qur’an didasarkan penjelasanpenjelasan al Qur’an yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada sunnah, hadist maupun atsar, bahkan sebuah ayat al Qur’an dapat dijelaskan dengan ayat-ayat al Qur’an yang lain. Karena itu Tafsir bi al-Matsur disebut juga tafsir bi al-Riwayah, karena didasarkan juga pada periwayatan-periwayatan. Selain hadist Nabi Saw, atsar sahabat dianggap mampu menjelaskan ayat al Qur’an karena sahabat Nabi Saw dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui al-Qur’an dan bergaul bersama Nabi Saw, demikian juga para ulama’ di masa tabi’in yang dianggap juga sebagai orang yang bertemu langsung dan berguru kepada para sahabat.
2.          Tafsir bi al-Ra’yi atau tafsir bi al-Dirayah
Al-Ra’yu berarti pikiran atau nalar, karena itu Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalarannya atau ijtihadnya, di mana penalaran di sini sebagai sumber utamanya. Seorang mufassir di sini tentu saja adalah orang yang secara kompetensi keilmuannya telah dianggap  telah memenuhi persyaratan, sebagaimana disebutkan pada syarat-syarat mufassir. 
3.          Tafsir al Isyari
Menurut bahasa kata isyari berasal dari kata asyaara-yusyiiru-isyaaratan yang berarti memberi isarat/ tanda, menunjukkan. Sedangkan menurut istilah suatu upaya untuk menjelaskan kandungan Quran dengan menakwilkan ayat-ayat  sesuai isyarat yang tersirat dengan tanpa  mengingkari yang tersurat atau dzahir ayat. Senada dengan definisi tersebut menurut Shubhi al-Shalih adalah menjelaskan kandungan al Qur’an melaui takwil dengan cara berupaya menggabungkan yang tersurat dan tersirat.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam  tafsir bi al-Isyarah terdapat upaya penarikan makna ayat  didasarkan pada  kesan yang ditimbulkan lafazh ayat, di mana dalam benak para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau hati dan pikiran,  hal itu dilakukan tanpa mengabaikan atau membatalkan makna secara lafazh. 
  
B.    Klasifiksi dan penerapan Tafsir bi al Ma’tsur, tafsir bi al ra’yi, tafsir isyari.
1.         Tafsir bi al-Ma’tsur

Pada pendekatan tafsir bi al-ma’sur terdapat beberapa cara untuk menafsirkan ayat alQur’an, yaitu;
a)     Penafsiran ayat dengan ayat al-Quran yang lain Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan ayat yang lain, baik ayat itu kelanjutan dari ayat yang ditafsirkan ataupun ayat yang menafsirkan berada di surat yang lain. Misalnya pada surat al ikhlas ayat pertama yang menjelaskan tentang ketauhidan Allah Swt, ditafsirkan oleh ayat berikutnya, yaitu ayat kedua, ketiga dan keempat. Namun ayat pertama surat al Ikhlas tentang ketauhidan ini dapat ditafsirkan (dijelaskan) lagi oleh ayat yang lain yang berada di surat yang lain. Misalnya surat al Hasyr (QS  59;22-24)  yang menjelaskan sifat-sifat Allah Swt.
b)     Penafsirat ayat al Qur’an dengan hadits Nabi Saw Ayat-ayat al Qur’an lebih banyak bersifat mujmal(global) dan untuk dipahami tidak bisa berdiri sendiri, karena itu di sinilah fungsi hadits Nabi Saw sebagai tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya ayat tentang perintah sholat yang mujmal tidak menjelaskan tatacara sholat (S. al Baqarah (SQ 43;43)
c)     Penafsirat ayat al Qur’an dengan keterangan sahabat-sahabat Nabi saw.  Untuk mendapatkan informasi lebih luas perihal maksud-maksud al Qur’an, setelah memahami sunnah Nabi Saw maka penjelasan para sahabat juga diperlukan, dikarenakan mereka adalah orang-orang yang dekat bersama Nabi Saw dan sangat memahami situasi dan kondisi bagaimana al Qur’an itu diturunkan.  Contoh tafsir terhadap Surat al Baqarah (QS 2: 3). Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.
2.         Tafsir bi al-Ra’yi atau tafsir bi al-Dirayah
Istilah Tafsir bi al-Ra’y pada dasarnya untuk membedakannya dengan Tafsir bi al-Ma’tsur, dalam konteks, bahwa bukan berarti ketika sahabat melakukan penafsiran Quran tidak menggunakan nalar. Para sahabat sebenarnya juga menggunakan nalar dalam memberikan penafsiran, tetapi dalam istilah disiplin ulum  Quran, para sahabat tetap saja tidak dinamai dalam kategori Tafsir bi alRa’yi, sebab, para sahabat memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh generasi sesudah mereka. Sebagaimana pendekatan tafsir yang lain, pendekatan Tafsir bi alRa’y juga memiliki kelebihan dan kelemahan.
Di antara kelebihan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y ini adalah mempunyai ruang lingkup yang luas, dapat mengapresiasi berbagai ide dan melihat dan memahami Quran secara mendalam dengan melihat dari berbagai aspek. Kendatipun demikian, bukan berarti pendekatan ini tidak mempunyai kelemahan. Kelemahaman pendekatan Tafsir bi al-Ra’y bisa saja terjadi ketika ketika menjadikan petunjuk ayat yang bersifat parsial, sehingga memberikan kesan Quran tidak utuh dan tidak konsisten.
Di samping itu, penafsiran dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y tidak tertutup                                       kemungkinan menimbulkan kesan subyektif yang dapat memberikan pembenaran terhadap mazhab atau pemikiran tertentu, serta dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y tidak tertutup kemungkinan masuknya cerita-cerita isra’iliyat karena kelemahan dalam membatasi pemikiran yang berkembang.
3.         Tafsir al Isyari
Adapun syarat-syarat diterimanya tafsir isyari sebagai rujukan dalam berhukum adalah sebagai berikut :
a.     Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) al-Qur’an.
b.     Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syar’i lainnya. 
c.     Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio.
d.     Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
e.     Penafsirannya tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz. Misalnya penafsiran al-Alusi terhadap surat Al-Baqarah (QS 2: 238).

C.    Konsep Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i
    1.          Metode Tahlili (Analisis)
Metode Tahlili adalah suatu metode dalam menjelaskan ayat al Qur’an dengan cara menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan  dengan penjelasan yang cukup terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing mufassir terhadap aspekaspek yang ingin disampaikan, misalnya  menjelaskan ayat disertai aspek qira’at, asbabu al- nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan lain sebagainya.
     2.          Metode Ijmali (Global)
Metode ijmali adalah metode dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna yang bersifat global dengan bahasa yang ringkas supaya mudah dipahami. Di sini mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat tanpa menguraikan panjang lebar, seperti kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin alMahalli dan Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Farid Wajdi, at-Tafsir al-Wasit terbitan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah.
     3.          Metode Muqaran (Komparatif)
Metode Muqaran adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema namun  redaksinya berbeda, atau memiliki kemiripan redaksi tapi maknanya berbeda, atau membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw, perkataan sahabat maupun tabi’in.     
     4.          Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode Maudhu’i adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengambil suatu tema tertentu. Metode ini kelebihannya mampu menjawab kebutuhan zaman yang ditujukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan, praktis dan sistematis serta dapat menghemat waktu, dinamis sesuai dengan kebutuhan zaman, membuat pemahaman menjadi utuh. Namun kekurangannya seringkali dalam memenggal ayat yang memilki permasalahan yang berbeda sehingga membatasi pemahaman ayat.

D.    Penerapan Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.
    1.          Metode Tahlili (Analisis)
Berikut adalah contoh penafsiran dalam kitab tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat al Ahzab :  ayat 30. Disebutkan bahwa dalam ayat tersebut bahwa barang siapa di antara mereka yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata.  Menurut Ibnu Abbas, pengertian perbuatan keji ini ditakwilkan dengan makna membangkang dan berakhlak buruk. Dan atas dasar hipotesis apa pun, maka ungkapan ayat ini hanyalah semata-mata andaikan, dan makna andaikan itu tidak berarti pasti terjadi. Pengertiannya sama dengan firman Allah Swt. dalam ayat Az-Zumara : 65 “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalanmu. 
Contoh kitab tafsir yang disusun dengan metode ini adalah kitab Tafsir Jami li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir alQur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir dan kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya at-Tusturi.
     2.          Metode Muqaran (Komparatif)
 Menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema namun  redaksinya berbeda, atau memiliki kemiripan redaksi tapi maknanya berbeda, atau membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw, perkataan sahabat maupun tabi’in.  Di samping itu juga mengkaji pendapat para ulama tafsir kemudian membandingkannya atau bisa berupa membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya agar diketahui identitas corak kitab tafsir tersebut. Tafsir Muqarin juga bisa berupa perbandingan teks lintas kitab samawi (seperti Al Qur’an dengan Injil/Bibel, Taurat atau Zabur).
    3.          Metode Ijmali
Di sini mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat tanpa menguraikan panjang lebar, seperti kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin alMahalli dan Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Farid Wajdi, at-Tafsir al-Wasit terbitan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah.
     4.          Metode Maudhu’i (Tematik)
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir ketika melakukan proses penafsiran metode maudhu’i adalah:
a.    Menetapkan masalah yang akan dibahas. Permasalahan yang dibahas diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat yang berarti bahwa seorang mufassir harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang masyarakat.
b.    Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c.    Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang mendukungnya. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masingmasing (terkait erat dengan ilmu munasabat).  
d.    Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat out line).
e.    Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan
f.    Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayatayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang ‘amm (umum) dengan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang apada lahirnya bertentangan sehingga kesemuanya dapat bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar