KEKUATAN JIWA DAN SUMBER TERBENTUKNYA
AKHLAK ALKARIMAH
Setelah
Saudara mendalami berbagai pendapat mengenai definisi akhlak, kira-kira
Bagaimana pendapat Saudara? Apakah akhlak seseorang bisa terbentuk dengan
sendirinya? Ataukah harus dibentuk dengan mendidik dan membiasakan sampai
betul-betul mendarah daging dalam dirinya? Tentunya Saudara akan setuju kalau
akhlak seseorang itu harus dididik dan dibiasakan secara terus menerus dalam
lingkungannya di mana ia tinggal sampai benarbenar melekat dalam jiwanya.
Dalam
rangka pembentukan akhlak seseorang, Saudara perlu terlebih dahulu memahami
kekuatan-kekuatan jiwa yang dapat mendorong terbentuknya akhak tersebut. Baik
bacalah dengan saksama penjelasan berikut ini: Ibu Miskawaih menjelaskan bahwa
di dalam jiwa seseorang itu terdapat tiga kekuatan (al-quwwah) yang sangat
penting dalam membentuk akhlak manusia.
Sementara
Imam AlGhazali menyebutkan sebagai Ummahat al-Akhlaq wa Ushuluha dengan
ditambahkan satu kekuatan (al-quwwah) sehingga genap menjadi empat kekuatan
(al-quwwah) (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936),
keempatnya adalah sebagai berikut:
1. Quwwah al-Ilmi
Quwwah
al-Ilmi adalah kekuatan yang berasal dari akal. Dengan akal inilah manusia
dapat dengan mudah membedakan mana yang jujur dan mana yang bohong dalam
berbicara, mana yang benar dan mana yang salah dalam mengambil keputusan, mana
yang baik dan mana yang buruk dalam bertindak.
Kekuatan
inilah yang menjadi pembeda manusia dengan jenis binatang. Dengan akal manusia
dapat mencipta dan mengembangakan budaya sehingga terus berkembang ke arah yang
lebih baik dan lebih maju dari sebelumnya. Buahnya adalah hikmah, yakni
pemahaman yang mendalam tentang segala sesuatu sesuai dengan syariat Allah Swt.
Sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
“Dia berikan hikmah kepada yang Dia kehendaki dan Siapa yang diberikan
al-hikmah maka sesungguhnya dia telah diberikan kebaikan yang sangat banyak.
Dan hanya orang-orang memiliki akal fikiranlah yang mampu memahaminya”. (QS.
AlBaqarah/2:169)
Al-Maraghi
menjelaskan bahwa yang dimaksud hikmah adalah ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu
yang dapat mempengaruhi jiwa pemiliknya dan membimbing kehendaknya untuk
mendorong melakukan tindakan-tindakan yang dapat membawa manfaat dan
kebahagiaan dunia akhirat (Al-Maraghi Jilid III, h. 40)
Hikmah
dalam pengertian di atas, apabila dimiliki seseorang bisa menjadi salah satu
sumber penting dalam pembentukan akhlak yang mulia. Dan inilah tujuan utama
diutusnya Nabi Kita Muhammad Saw. ke dunia ini. Sebagaimana sabda beliau.
berikut:
Dari
Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanya
untuk menyempurnakan akhlak” (H. R. Ahmad) Coba perhatikan fenomena dunia zaman
sekarang! Banyak orang kelihatannya berilmu, tapi ilmunya kurang atau bahkan
tidak dapat membimbing kehendaknya untuk mendorong melakukan tindakan-tindakan
yang dapat membawa manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat.
Kenapa?
Jawabnya sederhanya karena ilmunya tidak mengandung hikmah. Bagaimana, sekarang
sudah mulai nyambung? Kita lanjutkan, memahami konsep hikmah. Hikmah sebagai
konsep itu mencakup empat turunan, yakni: husnu at-tadbir (baik pemikirannya),
judat adz-dzihn (jernih pemikirannya), tsiqabah ar-ra’yi (tajam pemikirannya)
dan shawab azh-zhann (tepat pemikirannya) (Al-Ghazali, Mizan al- ‘Amal, 1964;
h. 284).
Mari
kita analisis konsep turunan hikmah tersebut di atas satu persatu.
a.
Husnu
at-Tadbir
Seseorang
yang memiliki hikmah akan menjadi husnu at-tadbir yakni cerdas dan lurus jalan
fikirannya dalam mengistimbatkan (mengambil kesimpulan). Ia akan bisa mengambil
yang terbaik, dan paling bermanfaat dalam berbagai urusan, sesulit apapun dan
segawat apapun. Ia tidak sekedar cerdas (kayyis), tetapi mampu memikirkan
hal-hal yang abstrak dengan benar sehingga dapat mengambil keputusan yang menghasilkan
kebaikan-kebaikan yang agung dan akhir yang mulia dalam berbagai urusan
kehidupan.
b.
Jaudat
adz-Dzihn
Seseorang
yang memiliki hikmah akan menjadi jaudat adz-dzihn, yakni memiliki kemampuan
untuk dapat berfikir memperoleh kebijaksanaan ketika dihadapkan pada pendapat
yang mirip-mirip dan mengandung pertentanaganpertentangan dalam implementasi.
Ia akan selalu mendapatkan kosep yang memberikan manfaat sesamanya dan diterima
oleh berbagai pihak.
c.
Tsiqabah
ar-Ra’yi
Seseorang
yang memiliki hikmah akan menjadi tsiqabah ar-ra’yi, yakni mempunyai kecepatan
kemampuan dalam menghubungkan data-data yang dimilikinya dengan sebab akibat
yang mengasilkan kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat.
d.
Shawab
azh-Zhann Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi shawab azh-zhann, yakni
ia akan mendapatkan taufiq dari Allah Swt. dengan kesesuaian antara dugaan yang
terdapat dalam alam fikirannya dengan kebenaran hakiki tanpa harus lama-lama
memikirkannya. Kebalikan dari Quwwah al-Ilmi adalah lemahnya ilmu atau kebodohan,
terbagi dalam dua konsep, yaitu radzilah al-khibb dan radzilah al-balah.
Radzilah
al-khabb terdiri dari ad-dahaa (tertipu) dan al-jarbazah (lemah berfikir)
yaitu. Logikanya kurang sehat atau kurang lurus sehingga ketika mengambil
kesimpulan sering kali tidak benar, apa yang dikatakannya baik ternyata buruk
atau sebaliknya. Sementara radzilah al-balah terdiri dari tiga hal;
pertama
kebodohan sebab karena kurang pengalaman belajar,
kedua
kebodohan sebab dari bawaan seperti idiot dan
ketiga
kebodohan sebab hilangnya akal atau gila.
Ilmu
dalam bentuk hikmah seperti dijelaskan di atas sangat penting dalam membentuk
menanamkan dan mendidik akhlak seseorang, karena ia dapat membentuk konsep diri
(manset) seseorang. Apabila konsep diri seseorang tentang perbuatan itu baik,
maka kelak ia akan menjadi baik perbuatannya, sebaliknya apabila konsep dirinya
buruk maka mereka akan menjadi buruk perbuatannya pula. Selesai sudah
pembahasan Quwwah al-Ilmi. Apa Saudara masih sanggup melanjutkan? Hayoo … kita
lanjutkan pembahasan mengenai kekuatan jiwa yang ke dua yaitu Quwwah
al-Ghadhab.
2. Quwwah al-Ghadhab
Quwwah
al-Ghadhab merupakan dorongan manusia untuk menolak yang tidak disenangi dan
memdapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin. Dimana ia bisa
menghasilkan sifat utama yang dapat menjadi sumber akhlak yang mulia serta
menumbuhkan kebaikan-kebaikan yakni sifat syaja’ah (keberanian) (Al-Ghazali,
Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936).
Dengan
sifat syaja’ah manusia bisa berani berkorban apa saja untuk meraih kebahagian
dan kemuliaan batinnya. Dan bahkan ia akan berani berkorban tidak hanya dengan
apa yang dimilikinya tetapi juga berani maju mengorbankan jiwa raganya demi
kemuliaan dan kebahagiaan yang diyakininya benar. Bagaimana setelah membaca
alinea di atas? Apa yang ada di dalam fikiran Saudara mengenai hubungan konsep
Quwwah al-Ghadhab dan Syaja’ah? Untuk lebih fahamnya mari kita lanjutkan!
Syaja’ah
menurut al-Ghazali dalam kitab Mizan al-Amal meliputi banyak sifat turunannya,
diantara lain adalah sebagai berikut:
a. Al-Karam (kebaikan budi), yaitu berani
mengambil sikap moderat untuk mengambil atau menerima keputusan penting dalam
berbagai masalah yang menyangkut kemaslahatan yang besar dan urusan-urusan yang
mulia.
b. An-Najdah (membantu, menolong), yaitu
berani dalam membantu atau menolong siapapun, apalagi menolong hal yang benar,
baginya merupakan jihad. Bukan penekad juga bukan penakut, apabila sudah
menyakini sebuah kebenaran maka harus berani maju, meskipun harus
mempertaruhkan jiwa demi kemuliaan abadi.
c.
Kibr
an-Nafs (berjiwa besar), bukan sombong juga bukan rendah diri (mider). Ia
berani menjadikan dirinya sebagai ahli dalam hal kemuliaan dengan penuh kerendahan
hati dan menghindari perdebatan pada urusan-urusan yang sedikit manfaatnya. Ia
sangat menghormati ulama.
d. Al-Ihtimal (ketahanan dalam bekerja),
berani bertanggung jawab menahan diri dalam menjalankan tugas, meski dirasa
sangat berat.
e. Al-Hilm (santun), ia dapat menahan
emosi yang biasanya meledak-ledak, tidak terpancing dalam keadaan apapun dan
marah. Sikapnya tetap santun dalam menghadapi semua orang, ia sudah dapat lepas
dari sikap yang buruk dalam menghadapi orang lain atas gejolak jiwa suka dan
tidak suka.
f.
Al-Wiqar
(tenang), menahan diri dari berbicara secara berlebihan, kesia-siaan, banyak
menunjuk dan bergerak dalam perkara yang tidak membutuhkan gerakan. Mengurangi
amarah, tidak banyak bertanya, menahan diri dari menjawab yang tidak perlu,
menjaga diri dari ketergesaan dalam beramal, dan bersegera dalam seluruh
perkara kebaikan.
Perlu
Saudara ketahui bahwa Quwwah al-Ghadhab, juga dapat mendorong perbutan yang
buruk bagi seseorang. Apa itu? Jawabnya adalah at-Tahawwur dan alJubn. Dengan
adanya dorongan manusia dari dalam dirinya untuk memdapatkan kenikmatan yang
bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau kekuasaan manusia bisa
Tahawwur (nekad) yakni berani melakukan tindakan yang bukan pada tempatnya
(Sultoni Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Akhlak , h. 149).
Misalnya
berani maju ikut tawuran, padahal belum mengetahui mana yang benar dan mana
yang salah dan resikonya bisa mati terbunuh. Juga karena di dalam diri manusia
ada dorongan ingin tetap mendapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin
berupa kemuliaan atau kekuasaan, maka ia bisa bersifat Jubn (pengecut), sifat
takut yang berlebihan dalam mempertahankan diri dari berbagai masalah
kehidupan.
Misalnya
takut mengadapi ujian, padahal ujian adalah satu cara yang harus dilalui oleh
siapapun yang ingin meningkatkan dan memperbaiki nasib dan derajatnya.
Bagaimana, cukup faham sudah? Kalau sudah kita lanjutkan pada bahasan
berikutnya, yakni Quwwah asy-Syahwah.
3. Quwwah asy-Syahwah
Al-Quwwah
asy-Syahwah yaitu kekuatan yang ada dalam diri manusia yang yang mendorong
perbutan-perbuatan untuk memperoleh kenikmatan-kenikmatan yang bersifat zhahir,
yang dinspirasi oleh panca indranya seperti: mencari makanan dan minuman,
mencintai lawan jenis dan lain-lainnya. Dengan kekuatan ini manusia menjadi
lebih bergairah dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan.
Quwwah
asySyahwah yang baik disebut al-iffah.
Seorang dikatakan sebagai orang yang ‘affih
apabila yang mampu menahan diri dari perkara-perkara yang diharamkan oleh
Allah Swt. Dengan demikian seorang yang 'afif adalah orang yang bersabar yakni
taat muthlak kepada Allah Swt. baik dalam menjalankan perintah-perintah-Nya,
maupun meninggalkan lawangan-Nya walaupun jiwanya (syahwatnya) sangat
menginginkan untuk melanggarnya. 'Iffah merupakan akhlaq yang sangat dicintai
oleh Allah Swt.
Oleh
sebab itulah sifat ini perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga
memiliki kemampuan dan daya tahan terhadap keinginan-keinginan yang tidak semua
harus dituruti karena akan membahayakan saat telah dewasa.
Dari
sifat 'iffah inilah akan lahir sifat-sifat mulia. Diantara sifat-sifat terpuji turunan
dari sifat 'Iffah adalah sebagai berikut:
a.
الحياء/haya’,
adalah sifat malu untuk meninggalkan perbuatan yang diperintahkan oleh Allah
Swt. dan sebaliknya malu melakukan perbutan yang dilarang oleh-Nya. Apabila
jiwa manusia semua sudah memiliki sifat malu seperti ini, niscaya tidak ada
lagi tindak kejahatan dimuka bumi ini. Sehingga bumi akan aman, tentram dan
damai. Karena malu akan menjadi benteng terakhir bagi diri seseorang dalam
melakukan kemaksiatan
b.
القناعة/qana'ah, adalah sifat menerima atau
merasa cukup atas karunia Allah Saw., sekaligus menjauhkan diri dari sifat
tidak puas dan merasa kekurangan yang berlebih-lebihan. Qanaah muncul dalam
kehidupan seseorang berupa sikap rela menerima keputusan Allah Swt. yang
berlaku bagi dirinya. Bagi siapa yang dapat menjadikan dirinya qana'ah, maka ia
akan dijamin akan mendapatkan hakekat dunia, menjadi orang yang beruntung,
mudah bersyukur, terhindar dari sifat hasud dan terhindar dari problema
kehidupan dunia.
c.
السخاء/sakha’, yaitu sifat dermawan senanga
memberikan harta dalam kondisi memang wajib memberi, sesuai kepantasannya
dengan tanpa mengharap imbalan dari yang diberi dalam bentuk apapun seperti
pujian, balasan, kedudukan, ataupun sekedar ucapan terima kasih (QS.
Al-Insan/76:9). Jadi seseorang disebut dermawan jika dapat memberi secara tulus
ikhlas. Orang yang memberi karenan ingin balasan dari pihak yang diberi
bukanlah dermawan tapi disebut berdagang. Sebab ia seolah-olah membeli balasan
berupa pujian, kedudukan, ucapan terima kasih dan lainnya dengan hartanya.
d.
الورع/wara’, yaitu meninggalkan hal-hal yang
syubhat karena khawatir membahayakan nasibnya di akhirat kurang baik.
Meninggalkan yang syubhat, yakni sesutau yang hukumnya belum jelas halal atau
haram yang berlaku dalam semua aktifitas manusia, baik yang berupa benda maupun
perilaku. Dan lebih dari itu meninggalkan segala hal yang kurang atau tidak
bermanfaat. Perlu Saudara ketahui juga bahwa Quwwah asy-Syahwah, dapat
mendorong perbutan yang buruk bagi seseorang. Apa itu? Jawabnya antara lain;
rakus, tabdzir, ria, hasud dan lain-lain. Bagaimana, faham? Kalau sudah, kita
lanjutkan pada bahasan berikutnya, yakni Quwwah al-‘Adl
4. Quwwah al-‘Adl
Menurut
al-Ghazali, terbentuknya akhlak yang mulia pada diri seseorang diperlukan lagi
satu kekuatan, yaitu Al-Quwwah al-‘Adl, sebuah kekuatan penyeimbang dari ketiga
kekuatan jiwa sebelumnya (Al-Ghazali, Ihya Ulum adDin/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005;
935).
Sementara
Ibnu Miskawaih meskipun tidak menyebutkan secara khusus adanya Al-Quwwah
al-‘Adl, tetapi dalam penjelasnnya juga mengkaitkannya dengan ketiga kekuatan
jiwa tersebut. Tiga kekutan jiwa manusia yang menjadi dorongan tingkah lakunya
akan menjadi baik kalau bersinergi secara adil (keseimbang).
Quwwah
al-Ilmi akan menjadi sumber kebaikan kalau sudah menuntun dengan mudah untuk
membedakan yang benar dan yang salah dalam keyakinan, yang baik dan yang buruk
dalam perbuatan serta yang jujur dan yang bohong dalam berkata-kata. Atau
dengan kata lain ilmunya sudah menjadi hikmah.
Quwwah
al-Ghadhab, akan menjadi baik apabila dapat dikendalikan oleh akal yang sehat
dan syariat, sehingga menghasilkan sifat (syaja’ah) yang menjadi sumber
berbagai akhlah yang baik.
Apabila
tidak mengikuti tuntunan akal dan syariat condong pada hal yang berlebih, maka
dinamakan tahawwur (nekad). Tetapi bila condong pada sifat lemah dan
pengurangan, maka dinamakan jubn (takut yang berlebihan). Kemudian Quwwah
asy-Syahwah, akan menjadi baik apabila dapat terdidik oleh akal dan syariat,
maka ia akan menghasilkan sifat ‘iffah yang menjadi sumber dari berbagai akhlak
yang mulia, seperti malu, sabar, qanaah, wara, zuhud dan lainlain.
Dan
sebalikanya kalau tidak disinergikan dengan akal dan syariat, maka apabila congdong
pada hal yang berlebihan disebut syarh (rakus) dan sebaliknya bila condong pada
hal dikuran-kurangi disebut jumud (tidak ada kemajuan). Singkatnya siapa yang
dapat memposisikan diri di tengan dengan lurus (‘itidal) dalam empat dasar
akhlak di atas, maka akhlaknya akan menjadi baik semuanya. Keempat akhlak ini,
yakni hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan adl adalah sumber pokok keutamaan dan akhlak
yang lainnya adalah berupa cabang-cabangnya.
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar