MODUL AKHLAK KB 2 AMAL SHALIH
URAIAN MATERI
A. HAKEKAT AMAL SHALIH
Menurut bahasa
“Amal Shaleh”, berarti perbutan yang baik, bermanfaat, selamat, atau cocok.
Sedang menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain: Menurut Zamahsyari’ amal shalih diartikan
sebagai semua perbuatan yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Saw.
Amal shalih juga disefinisikan
sebagi perbuatan baik yang dilakukan
seseorang karena Allah Swt. dengan tujuan untuk mendapatkan rahmat dan
ridha-Nya, baik menjalankan perintah maupun menjalankan perintah maupun
menjauhi larangan-Nya. sesuai dengan aturan-aturan ajaran Islam. Dilihat dari hubungan antara manusia sebagai
makhluk dan Allah Swt. sebagai Khalik, maka amal shalih dapat didefinisikan
dengan semua perbuatan yang dilakukan hamba kepada Allah Swt. sebagai bentuk
pengabdiannya yang didasari dengan iman.
Didasari dengan iman artinya
disyaratkan dengan keyakinan dan pengetahuan yang benar. Siapapun yang amalnya
ingin menjadi amal shalih, maka ia harus beriman kepada Allah Swt. terlebih
dahulu, lalu memiliki ilmu yang cukup sebelum tawakkal. Ini sebagai syarat
supaya pelaksanaannya dapat dikerjakan dengan benar. Kemudian ia harus ikhlas
hanya karena Allah, bersabar dan atau bersyukur dalam pelaksaanya. Dan terakhir
ridha terhadap semua keputusan Allah Swt. dengan hasil dari ikhtiar dan amal
kita. Untuk lebih mudah memahami hakekat
dari amal shalih Saudara dapat melihat gambar di bawah ini.
Untuk bisa menilai amal Saudara shaleh
atau tidak, Saudara harus menjawab “YA” pmelalui proses sebagai berikut:
1. Sebelum mengamalkan sesuatu pastikan
dahulu, tanyakan pada diri Saudara sendiri, apakah Saudara sudah mempunyai
rencana yang matang? Rencana yang didasari iman dan pengetahuan yag cukup
tentang apa yang Saudara akan kerjakan? Karena siapa yang beramal tanpa ilmu,
amalnya tidak akan diterima. Jika jawaban Saudara “TIDAK” berarti salah, batal
atau rusak. Artinya amal Saudara tidak dapat dikategorikan amal shalih,
meskipun menurut pandangan manusia mungkin baik. Jika jawaban Saudara “YA”,
maka lanjutkan.
2. Apabila jawaban Saudara “Ya” sudah,
maka tanyakan lagi apakah yang Saudara amalkan niatnya hanya untuk mendapatkan
ridha Allah Swt. semata. Dan menyerahkan penilaiannya juga hanya kepada-Nya?
Apabila jawaban Saudara ternyata masih ada sedikit saja ingin dinilai oleh
selain Allah Swt. apalagi ingin imbalan
dari yang lain misalnya ucapan terima kasih. Berarti jawaban Saudara hakekatnya
“TIDAK” dan amal Saudara termasuk amal yang salah, batal atau rusak.
3. Apabila jawaban Saudara “YA”, teruskan
pertanyaan berikutnya. Apakah ketika menjalankan pekerjaan tersebut bersabar
apabila susah atau bersyukur jika menyenangkan? Apabila jawaban Saudara
“TIDAK”, maka amal Saudara salah, batal atau rusak.
4. Apabila jawaban Saudara “YA”, maka
tanyakan kembali apakah setelah selesai Saudara ridha denga hasil pekerjaan
atau amal Saudara sebagai takdir terbaik yang Allah berikan kepada Saudara?
Apabila jawaban Saudara “TIDAK”, maka amal Saudara salah, batal atau rusak. Dan
sebaliknya jika Saudara menerima InsyaAllah akan menjadi amal shalih. Amin Ya
Rabbal Alamin.
B. AMAL SHALIH SEBAGAI AKHLAK AL-KARIMAH
KEPADA ALLAH SWT.
Bagaimana Saudara,
apakah sudah faham tentang hakekat amal shalih? Tentu sudah mulai kebuka.
Selanjutnya mari kita dalami hal-hal yang terkait dengan nilai-nilai keimanan
dan ubudiyyah yang harus melekat dan mendasari amal, sehingga amal kita dapat
dikategorikan sebagai amal shalih.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt. tujuannya adalah supaya beribadah
hanya kepadaNya. Sebagaimana dinyataka dalam Al-Qur’an surah adz-Dzariyat/51:
56 sebagai berikut:
Artinya :Dan tidak Aku ciptakan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku
Oleh sebab itu semua amal perbuatan manusia yang beriman harus bernilai
ibadah dan menjadi amal shalih. Amal yang hanya dipersembahkan kepada Allah
Swt. dan ridah penilaiannya diserahkan sepenuhnya hanya kepada-Nya.
Adapun kisi-kisi penilaian amal shalih
sebenarnya sudah disampaiakan dalam
ajaran Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw., yakni amal yang dibingkai
dengan iman; diawali rencana yang matang dan tawakkal, niat yang ikhlas,
dikerjakan dengan sabar dan atau syukur, serta akhirnya dapat menerima (ridha)
hasilnya sebagai bagian dari takdir Allah Swt. Untuk lebih detilnya mari kita pelajari
satu persatu konsep bingkai amal shalih dengan baik!
1.
Tawakkal
Menurut bahasa
kata tawakkal diambil dari Bahasa Arab لُّكَوَ /الت tawakkul dari akar kata َ لَكَ / و wakala) yang berarti lemah. Adapun لُّكَوَ /الت tawakkul berarti menyerahkan atau
mewakilkan. Seperti seseorang mewakilkan urusan kepada orang lain atau
menggantikannya. Artinya, dia menyerahkan suatu perkara atau urusannya dan dia
menaruh kepercayaan kepada orang itu mengenai urusan tadi.
Secara istilah tawakkal telah
didefinisikan oleh ulama, antara lain Imam alGhazali. Beliau menyebutkan dalam
kitab Ihya’ Ulumuddin pada bab at-Tauhid wa at-Tawakkal, bahwa tawakkal itu
adalah hakikat tauhid yang merupakan dasar dari keimanan, dan seluruh bagian
dari keimanan tidak akan terbentuk melainkan dengan ilmu, keadaan, dan
perbuatan.
Begitupula dengan sikap tawakkal, ia
terdiri dari suatu ilmu yang merupakan dasar, dan perbuatan yang merupakan buah
(hasil), serta keadaan yang merupakan maksud dari tawakkal. Tawakkal adalah
menyerahkan diri kepada Allah tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar
kepada-Nya dalam kesulitan di luar batas kemampuan manusia.
Berikutnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah,
dalam kitabnya Madarij as-Salikin menjelaskan bahwa Tawakkal merupakan amalan dan penghambaan
hati dengan menyandarkan segala sesuatunya hanya kepada Allah Swt. semata,
percaya terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang
menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikan segala
‘kecukupan’ bagi dirinya, dengan tetap berikhtiar semaksimal mungkin untuk
dapat memperolehnya. Allah Swt.
berfirman:
Artinya: Maka sebab rahmat dari Allah,
Engkau bersikap lemah lembut kepada mereka. Seandainya Engkau bersikap kasar
lagi keras hati, niscaya mereka akan pergi dari sekelilingmu. Sebab itu maafkan
mereka, mintakan ampunan baginya dan ajaklah bermusyawarah mereka dalam urusan
itu (menentukan strategi perang). Lalu apabila Engkau telah memiliki tekad yang
bulat, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang bertawakkal (QS. Ali Imran/3: 159).
Ayat di atas menempatkan tawakkal pada
posisi penyusunan rencana tahap rakhir setelah mempunyai keputusan dan tekad
yang bulat. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum tawakkal manusia harus terlebih
dahulu berikhtiyar secara zhahir, selanjutnya jangan lupa ikhtiar batin, yakni
ikhtiyar dan do’a.
Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi kita
Muhammad Saw., beliau melakukan rundingan dahulu dengan para sahabat dengan
meminta pendapat atau buah pikiran mereka mengenai urusan peperangan dan
lain-lain demi mengambil hati mereka dengan sikap lemah lembut, kemudian
setelah keputusan diambil dan telah menetapkan hati, lalu bertawakkal kepada
Allah dengan berserah kepada-Nya. Jadi tawakkal bukan berarti tinggal diam,
tanpa kerja dan usaha, bukan menyerahkan
semata-mata kepada keadaan dan nasib dengan tegak berpangku tangan duduk
memekuk lutut, menanti apa-apa yang akan terjadi.
Memohon pertolongan dan Bertawakkal
tidaklah berarti meninggalkan upaya, bertawakkal mengharuskan seseorang
meyakini bahwa Allah yang mewujudkan segala sesuatu, sebagaimana ia harus
menjadikan kehendak dan tindakannya sejalan dengan kehendak dan ketentuan Allah
Swt. Seorang muslim dituntut untuk berusaha tetapi di saat yang sama ia
dituntut pula berserah diri kepada Allah Swt, ia dituntut melaksanakan
kewajibannya, kemudian menanti hasilnya sebagaimana kehendak dan ketentuan
Allah.
Seorang muslim berkewajiban menimbang
dan memperhitungkan segala segi sebelum dia melangkahkan kaki dan mengerjakan
sesuatu. Tetapi bila pertimbangannya keliru atau perhitungannya meleset, maka
ketika itu akan tampil dihadapannya Allah Swt., Tuhan yang kepada-Nya yakni
dengan bertawakkal dan berserah diri.
Dalam sebuah hadis Rasullah Saw. diriwayatkan sebagai berikut:
Artinya: Dari Anas bin Malik berkata,
bahwasannya Nabi Saw. bersabda, “Apabila seorang laki-laki keluar dari
rumahnya, lalau membaca:
maka pada saat itu dikatakan kepadanya:
engkau telah diberi hidayah, engkau telah dicukupkan, engkau telah dijaga dan
ditinggalkan syaitan. Dan syaitan yang lain berkata kepadanya, Bagaimana bisa
menggoda dengan laki-laki ini yang sudah diberijamin hidayahnya, kecukupannya
dan penjagaannya” (HR. Abu Dawud)
Hadits di atas mengisyarahkan kepada
kita bahwa tawakkal itu dilakukan sebelum melakukan aktivitas. Kita harus
menyadari sematang apapun rencana yang kita
buat adalah rencana yang dibuat oleh manusia yang serba lemah, dan tidak
dapat mengetahui secara universal tentang hubungan sebab akibat dari semua
unsur yang menentukan dan mempengarui keberhasilannya. Manusia hanya bisa
berencana Allah yang menentukan segalanya. Sebab itu sebelum kita menjalankan
rencana, sudah semestinya kita serahkan sepenuhnya kepada Dzat yang Maha
Mengatur dan Menentukan, Allah Swt. Sampai di sini bagaimana? Sudah nyambung?
Mari kita lanjutkan belajar konsep tahapan kedua, yakni tahapan dalam membangun
amal shalih.
2. Ikhlas
Menurut bahasa, ikhlas berarti jujur, tulus dan rela. Dalam
bahasa Arab, kata لاص ْ /إخ ikhlas merupakan bentuk mashdar
dari َصَلْ /أخ akhlasa yang berasal dari akar kata /خلص khalasa. Kata ini mengandung beberapa
makna sesuai dengan kontek kalimatnya. Ia biasa berarti shafaa (jernih), najaa
wa salima (selamat), washala (sampai) dan I’tazala (memisahkan diri).3 Atau
berarti perbaikan dan pembersihan sesuatu (Ibn Zakaria, Mu’jam Maqayis
al-Lughah Jilid 2, 1986: hlm. 208)
Menurut istilah, makna ikhlas
diungkapkan oleh para ulama antara lain adalah sebagai berikut:
Muhammad Abduh mengatakan ikhlas adalah
ikhlas beragama untuk Allah SWT. dengan selalu manghadap kepada-Nya, dan tidak
mengakui kesamaanNya dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan khusus
seperti menghindarkan diri dari malapetaka atau untuk mendapatkan keuntungan
serta tidak mengangkat selain dari-Nya sebagai pelindung (Muhammad Rasyid
Ridha,1973, hlm. 475). 2).
Muhammad al-Ghazali mengatakan ikhlas
adalah melakukan amal kebajikan semata-mata karena Allah SWT (Muhammad al-Ghazali,
1993, hlm. 139) Sekilas apabila diperhatikan makna ikhlas dari dua definisi di
atas itu dapat digambarkan seseorang
yang sedang membersihkan beras dari batu-batu kecil (kerikil) yang ada di
sekitar beras itu.
Maka apabila beras itu dimasak akan terasa
nikmat memakannya karena sudah bersih dari kerikil dan batu-batu kecil. Coba
bayangkan jika beras itu masih kotor, niscaya nasi yang kita kunyah akan
ternyata kerikil juga tergigit. Sungguh tidak nikmatnya nasi tersebut karena
masih ada yang mengganjal kenikmatan rasanya. Dari ungkapan di atas dapat
dipahami bahwa ikhlas itu adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah
niat sebab niat merupakan titik penentu dalam menentukan amal seseorang.
Orang yang ikhlas tidak dinamakan orang
ikhlas sampai ia mengesakan Allah SWT. dari segala sesuatu dan ia hanya
menginginkan Allah SWT. Ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena
Allah Swt. dan mengharapkan ridha-Nya serta memurnikan dari segala macam
kotoran dan godaan seperti keinginan terhadap populeritas, simpati orang lain,
kemewahan, kedudukan, harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal
ini sesuai dengan perintah Allah-Nya yang tercantum dalam QS. al-An’am/6:
162-163.
Demikian juga dalam firman-Nya yang
terdapat dalam QS. al-Bayyinah/98: 5. Apabila ikhlas digambarkan sebagai akad,
maka akadnya hanya kepada Allah. Dan penilaian amal kita sepenuhnya terserah
Allah Swt. Jadi apabila penilaiannya
disekutukan dengan manusia, seperti supaya dinilai baik dan dihargai dengan
harga sekecil apapun misalnya ucapan terima kasih, maka akan merusak keikhlasan
kita (QS. Al-Insan/76:9) Ikhlas
merupakan bentuk implementasi iman dalam beramal, karena itu nyata sama dengan
keimanan yang bisa bertambah dan berkurang.
Untuk itu umat Islam harus berhati-hati
terhadap sifat-sifat yang dapat merusak keikhlasannya, di antaranya:
a. Ria,
yakni melakukan
amal perbuatan tidak untuk mencari ridha Allah SWT., akan tetapi untuk dinilai
oleh manusia untuk memperoleh pujian atau kemashuran, posisi, kedudukan di
tengah masyarakat, sebagaimana tergambar di dalam firman Allah SWT. Q. S.
al-Ma’un/107: 4-7. Riya’ merupakan salah satu penyakit yang sifatnya abstrak,
namun tanda-tandanya secara empiris dapat dirasakan, terutama bagi orang yang
melakukannya.
Ada pun tanda-tanda orang yang riya’,
adalah:
1) (a). Seseorang yang bertambah
ketaatannya apabila dipuji atau disanjung oleh orang lain akan tetapi menjadi
berkurang atau bahkan meninggalkan amalan tersebut apabila mendapat celaan dan
ejekan,
2) (b). Tekun dalam beribadah apabila di
depan orang banyak akan tetapi malas apabila dikerjakan sendirian,
3) (c). Mau memberi atau sedekah apabila
dilihat orang banyak, tetapi enggan apabila tidak ada orang yang melihatnya,
4) (d). Berkata dan berbuat kebaikan bukan
semata-mata karena Allah SWT. Akan tetapi karena mengharap pamrih kepada
manusia
b. Sum’ah,
yakni menceritakan
amal yang telah dilakukan kepada orang lain supaya mendapat penilain dan
dihargai misalnya kedudukan di hatinya. Pada dasarnya sama dengan ria, tetapi
sum’ah adalah perbuatannya sudah dilaksanakan sehingga perlu diceriterakan.
c.
Nifak,
sifat
menyembunyikan kekafiran dengan menyatakan dan mengikrarkan keimanannya kepada
Allah Swt. Jadi jelas akan menghilangkan keikhlasan karena tidak didasari
dengan keimanan yang benar kepada Allah Swt.
Bagaimana apa Saudara sudah faham
tentang ikhlas sebagai nilai landasan amal manusia supaya bisa menjadi amal
shaleh dan bernilai ibadah? Jika nilai keikhlasan seseorang semakin tinggi,
berarti akhlaknya kepada Allah Swt. semakin baik pula. Dan amalnya akan dinilai
oleh Allah Swt. sebaliknya apabila disertakan keinginan untuk dinilai manusia,
maka Allah Swt. tidak akan mau menilai dan didiskualifikasi sebelum dihisab di
hadapan-Nya kelak di hari perhidtungan amal. Allah Swt. berfirman:
Artinya: Mereka itu adalah orang-orang
yang mengingkari (tidak percaya) dengan ayat-ayat Tuhannya dan pertemuan
dengan-Nya (di akhirat), maka rusaklah amal-amal mereka. Kami tidak akan
melakukan penimbangan amal di hari kiamat kelak (QS. Al-Kahfi/18: 105)
3. Sabar
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia sabar berarti tahan menghadapi cobaan, tidak lekas marah,
putus asa atau patah hati. Sebenarnya kata sabar berasal dari bahasa arab,
yaitu shabara- yashbiru-shabran yang artinya menahan. Kata lainnya adalah
alhabs yang artinya menahan atau memenjarakan. Artinya adalah menahan hatinya
dari keinginan atau nafsunya.
Kata sabar dengan aneka ragam
derivasinya memiliki makna yang beragam antara lain: shabara bih yang berarti
“menjamin”. Shabîr yang berarti “pemuka masyarakat yang melindungi kaumnya”.
Dari akar kata tersebut terbentuk pula kata yang berarti “gunung yang tegar dan
kokoh”, “awan yang berada di atas awan lainnya sehingga melindungi apa yang
terdapat di bawahnya”, “batu-batu yang kokoh”, “tanah yang gersang”, “sesuatu
yang pahit atau menjadi pahit”.
Sedangkan menurut
istilah sabar didefinisikan oleh para ulama, antara lain:
a. Shabar adalah sikap tegar dalam
menghadapai ketentuan dari Allah. Orang yang sabar menerima segala musibah dari
Allah dengan lapang dada,
b. Sabar adalah keteguhan hati yang
mendorong akal pikiran dan agama dalam menghadapi dorongan-dorongan nafsu
syahwat.
c.
Shabar
adalah tabah hati tanpa mengeluh dalam menghadapi godaan dan rintangan dalam
jangka waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan.
Ada juga yang
memahami bahwa shabar bermakna kemampuan mengendalikan emosi, sehingga sabar
memiliki padananan nama yang berbeda-beda sesuai dengan objeknya:
1) Shabar adalah ketabahan menghadapi
musibah, sehingga kebalikannya gelisah dan keluh kesah berarti tidak shabar,
2) Shabar itu dhobith an nafs disebabkan mampu menghadapi
dan menahan diri dari godaan hidup yang menyenangkan,
3) Shabar dalam peperangan disebut
pemberani, kebalikannya disebut pengecut,
4) Shabar dalam menahan marah disebut
santun (hilm), kebalikannya disebut pemarah (tazammur),
5) Shabar dalam menghadapi bencana yang
mencekam disebut lapang dada (ridha),
6) Shabar
dalam mendengar gosip disebut mampu menyembunyikan rahasia,
7) Shabar
terhadap kemewahan disebut zuhud, dan
8) Shabar
dalam menerima yang sedikit disebut kaya hati (qana‟ah) kebalikannya
disebut tamak atau rakus.
Dari pengertian-pengertian di atas
dapat difahami bahwa shabar itu merupakan kemampuan menahan atau mengatur diri
untuk dapat tetap taat terhadap aturan-aturan yang benar berdasarkan syariat
dalam menjalankan perintah Allah Swt., menjauhi larangan-Nya dan menerima
cobaan, pada waktu tertentu mulai dari awal sampai selesai. Seperti shabar mengerjakan shalat berarti mulai
takbiratul ihram sampai salam. Seseorang dikatakan shabar dalam shalat jika ia
tidak melanggar aturan-aturan shalat dari mulai takbiratul ihram sampai salam.
Dan shalatnya akan salah, batal atau
rusak. Harus mengulang kembali dari awal sampai akhir tanpa ada pelanggaran,
jika mau shalatnya menjadi bagian amal shalih.
Bagaimana kalau ada yang bertanya apa shabar ada batasnya? Jawabnya
“Ada”. Kenapa? Karena sesuatu yang tidak ada batasnya berarti sesuatu itu belum
jelas dan sesuatu yang belum jelas itu masih bersifat umum atau mutlak.
Dan sesuatu yang masih bersifat umum
atau masih mutlak atau syubhat itu harus ditinggalkan, tidak boleh diamalkan
sampai ada dalil yang mentakhshish dan mentaqyidnya sehingga jelas batasnya.
Ayat yang sering difahami oleh sebagian orang sebagai dalil bahwa shabar tidak
ada batasnya adalah QS. Ali Imran/3: 200 sebagi berikut:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
bersabarlah terus bersabar dan tetaplah dalam kesabaran. Bertaqwalah kalian
kepada Allah supaya kalian beruntung”.
Kalimat tetaplah kalian dalam kesabaran, karena ayat ini konteknya
adalah dalam kondisi perang yang maksudnya yaitu tetap shabar sampai perang
berakhir.
Tidak boleh melanggar strategi dan
aturan-aturan perang sesuai dengan hukum yang ditetapkan Allah. Sama dengan
tidak boleh melanggar aturan-aturan shalat sampai shalat berakhir. Apabila
melanggar aturan, maka amalnya menjadi amal yang salah, batal dan rusak. Dan
berarti tidak shabar, berarti pula buruk akhlaknya kepada Allah.
Sebab itu shabar memerlukan pengetahuan
yang cukup tentang apa yang sedang diamalkan. Mustahil orang yang bodoh akan
dapat shabar, karena kemungkinan besar ia akan melanggar aturan-aturan yang
sudah ditetapkan sebab tidak mengetahuinya. Nabi Musa AS. tidak bisa shabar
mengikuti Nabi Khidir AS., dikarenakan Nabi Musa tidak mengetahui apa maksud
dan apa yang akan terjadi. Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Bagaimana mungkin engkau
dapat bersabar terhadap apa yang engkau belum tahu persis masalahnya”
4. Syukur
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), syukur diartikan sebagai: (1) rasa terima kasih kepada
Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega, senang dan sebagainya). Sebenarnya
kata syukur berasal dari bahasa Arab yakni dalam bentuk mashdar dari kata kerja
syakara–yasykuru–syukran–wa syukuran–wa syukranan.. Secara bahasa berarti
pujian atas kebaikan dan penuhnya sesuatu. Syukur juga berarti menampakkan
sesuatu kepermukaan.
Dalam hal ini menampakkan sesuatu
kepermukaan, yakni menampakkan nikmat Allah. Sedangkan menurut istilah syukur
adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah yang disertai dengan
kedudukan kepada-Nya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan tuntunan
dan kehendak-Nya. Dalam hal ini, hakikat
syukur adalah “menampakkan nikmat,” dan sebaliknya hakikat kekufuran adalah
menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada
tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberiNya, juga menyebut-nyebut
nikmat dan pemberi-Nya dengan lidah.
M. Quraish Shihab menegaskan bahwa
syukur mencakup tiga sisi. Pertama, syukur dengan hati, yakni kepuasaan batin
atas anugerah. Kedua, syukur dengan lidah, yakni dengan mengakui anugerah dan
memuji pemberinya. Ketiga, syukur dengan perbuatan, yakni dengan memanfaatkan
anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya. Kaitannya dengan amal shalih syukur itu
menjadi landasan tauhid seseorang ketika diberikan fasilitas yang enak dalam
menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba di dunia ini.
Dengan kata lain dalam beramal ketika
fasilitasnya terbatas maka harus shabar sementara kalau fasilitasnya cukup
apalagi berlimpah maka harus bersyukur.
Dalam perspektif amal shalih keduanya (shabar dan syukur) kedudukannya
sama menjadi cara atau ukuran bagi orang yang beriman apakah tindakannya akan
menjadi amal ibadah atau bukan. Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: Dari Shuhaib berkata:
Rasulullah Saw. bersabda: “Saya heran terhadap urusan orang yang beriman,
sesungguhnya semua urusannya akan menjadi kebaikan, dan itu tidak dapat terjadi
keculi bagi orang yang beriman. Jika ia memperoleh kesenangan lalu ia
bersyukur, maka yang demikian itu akan menjadikan kebaikan baginya. Dan jika ia
ditimpa keburukan lalu ia bersabar, maka yang demikian itu juga menjadi
kebaikan (HR. Ahmad) Pernyataan Rasulullah Saw. tersebut di atas, yang dimaksud
menjadi kebaikan bagi orang yang beriman adalah menjadi amal yang bernilai
ibadah. Karena memang tugas manusia di dunia ini adalah untuk beribadah
kepada-Nya.
Dan nilai ibadah itu bentuknya adalah
amal shalih, ketakwaan kepada-Nya. Selalu menjadi hamba yang shalih dalam
kondisi apapun, baik sedang dalam kesusahan maupun sedang dalam kelapangan.
Kesusahan dan kesenangan di dunia, bagi seorang yang beriman itu sama
kedudukannya sebagai alat ujian untuk mendapatkan amal shalih
sebanyak-banyaknya. Maaf, Saudara baiknya Jedda dulu, bagaimana setelah baca
teks di atas? Sudah nyambung? Kalau sudah nyambung mari kita lanjutkan.
5. Ridha
Menurut bahasa
kata /الرضا ridha
berasal dari bahasa Arab yang
berarti senang, suka, rela. Ia merupakan lawan dari kata /السخط al-sukht yang berarti kemarahan,
kemurkaan, rasa tidak suka. Orang yang /الرضا ridha
berarti orang yang sanggup melepaskan ketidak senangan dari dalam hati,
sehingga yang tinggal di dalam hatinya hanyalah kesenangan.
Menurut istilah
para ulama ridha didefinisikan antara
lain oleh;
a. Dzunnun Al-Miṣri, beliau mengatakan bawa ridha ialah kegembiraan hati dalam menghadapi qadha
tuhan,
b. Ibnu Ujaibah mengatakan bahwa
ridha adalah menerima kehancuran dengan
wajah tersenyum, atau bahagianya hati ketika ketetapan terjadi, atau tidak
memilih-milih apa yang telah diatur dan ditetapkan oleh Allah, atau lapang dada
dan tidak mengingkari apa-apa yang datang dari Allah,
c.
Al-Barkawi
berpendapat bawa ridha adalah jiwa yang bersih terhadap apa-apa yang menimpanya
dan apa-apa yang hilang, tanpa perubahan. Ibnu Aṭaillah
as-Sakandari berkata, “ridha adalah
pandangan hati terhadap pilihan Allah yang kekal untuk hamba-Nya, yaitu,
menjauhkan diri dari kemarahan.
Dari definisi-definisi di atas dapat
difahami bahwa ridha itu merupakan
kondisi kejiwaan atau sikap mental yang senantiasa menerima dengan lapang dada
atas segala keputusan Allah Swt. yang terkait dengan diri seorang hamba, baik
berupa karunia yang baik berupa nikmat maupun yang buruk berupa bala’. Ia akan
senantiasa merasa senang dalam setiap situasi yang meliputinya. Sikap seperti
inilah yang dapat menjadikan amal seorang hamba dapat diterima di sisi Allah
Swt. dan merupakan akhlak yang mulia kepada Penciptanya.
Orang yang ridha terhadap cobaan dan
musibah yang menimpanya sebenarnya merasakan apa yang dirasakan manusia pada
umumnya. Akan tetapi dia ridha dengan akal dan imannya, karena dia meyakini
besarnya pahala dan balasan atas musibah dan cobaan tersebut. Oleh karena itu
dia tidak menolaknya dan tidak gelisah. Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, “ridha bukan berarti tidak merasakan bencana.
Akan tetapi, ridha itu berarti tidak menolak qadha dan takdir.
Orang yang jiwanya rela (puas) menerima apapun yang terjadi pada diri mereka,
tidak ada sedikitpun kekecewaan yang melanda dirinya. Orang-orang seperti inilah
yang disebut dengan orang yang ridha . Orang yang ridha sadar bahwa penderitaan yang menimpanya juga
menimpa orang lain, namun dalam bentuk yang berbeda-beda.
Sikap seperti itu muncul karena ia
mengimani sepenuhnya rencana dan kebijaksanaan Allah. Apa yang menimpanya
diyakini sebagai ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah kepadanya. Ia
menerima dan mensikapi dengan senang hati sehingga ia dapat terhindar dari
kebencian terhadap manusia, karena seseorang yang berusaha mencari ridha Allah tidak peduli terhadap komentar apapun
dari orang lain mengenai dirinya, dan hal itu tidak membuatnya sakit hati,
sehingga hatinya menjadi tenang dan jauh dari gejolak dan gelisah.
Bagaimana hubungannya dengan amal
shalih? Ridha terhadap keputusan Allah Swt. merupakan syarat diterimanya
penghambaan seseorang. Siapa yang tidak ridha dengan keputusan dan takdir-Nya
dia tidak berhak mengakui Allah sebagai Tuhannya. Dan berarti amalnya akan
didiskualifikasi, tidak akan dihitung dalam perhitungan di yaum al-hisab kelak.
Karena Allah Swt. tidak ridha dengan akhlaknya. Sebagaimana diriwayatkan dalam
sebuah hadis Qudsi dari Anas bin Malik sebagai berikut:
Atinya: Dari Anas bin Malik berkata,
saya mendengan Rasulullah Saw. bersabda, Allah Swt. berfirman, “Siapa yang
tidak ridha dengan keputusan dan takdirku, maka hendaknya mencari dan memohon
doa kepada Tuhan selain Aku” (HR. Baihaki)
Sumber : http://ppg.siagapendis.co
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar