SUMBER ILMU DALAM ISLAM
1.
Perdebatan Sumber Ilmu
Dalam epistemologi modern sumber pengetahuan dibedakan
atas empat hal yaitu: empiris,
rasionalitas, Intuisi dan Otoritas. Namun demikian Jujun mengatakan bahwa
pada dasarnya, hanya ada dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar. Pertama, mendasarkan pada rasio (rasionalisme). Kedua,
mendasarkannya pada pengalaman
(empirisme).
Disamping kedua sumber tersebut masih ada satu cara lagi yang disinyalir
sebagai jenis pengetahuan yang datang dengan tiba-tiba yaitu intuisi. Dalam
bahasa lain A. C. Ewing mengatakan bahwa ada dua jenis teori tentang
pengetahuan yaitu a priori dan empirikal. Dua teori pengetahuan itu dengan
sengit telah diperdebatkan oleh para filosof pada abad ke-17 dan 18 yang pada
akhirnya melahirkan dua aliran besar dalam epistemologi yaitu rasionalisme dan empirisme.
Sebagai agama yang rasional Islam tentu mengakui adanya
keempat sumber pengetahuan yang diakui oleh epistemologi modern. Maka dalam
Islam pengetahuan empiris, rasional, intuitif dan otoritatif diabsahkan sebagai
sumber pengetahuan. Sumber-sumber pengetahuan tersebut itu dipandang sebagai
sesuatu yang berkaitan. Tidak seperti empirisme yang menafikan pengetahuan
rasional, atau rasionalisme yang menafikan pengetahuan empiris.
Guna melacak lebih lebih jauh tentang pemikiran tersebut
berikut akan dikaji pemikiran para filosof muslim seperti al-Farabi, Ibnu Sina
dan al-Ghazali yang berkaitan dengan sumbersumber pengetahuan dalam bingkai
pengetahuan empiris, rasional, dan intuitif.
2.
Ragam Sumber Pengetahuan
a.
Pengetahuan Empiris
Yang dimaksud pengetahuan empiris yaitu pengetahuan yang
didapatkan melalui pengalaman indrawi dan akal mengolah bahan-bahan yang
diperoleh dari pengalaman denga cara induksi. Jhon lock, bapak empiris Britana
mengemukakan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah
bahwa manusia pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya
mengisis jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan.
David Hume, salah satu tokoh empirisme mengatakan bahwa
manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan.
Pengamatan memberikan dua hal, kesankesan dan pengertian-pengertian atau
ide-ide. Dengan kata lain, empirisme menjadikan pengalaman inderawi sebagai
sumber pengetahuan. Sesuatu yang tidak diamati dengan indera bukanlah
pengetahuan yang benar.
Islam mengakui adanya empiris sebagai sumber penegtahuan
tetapi ia bukan satu-satunya dan dalam batas-batas tertentu. Al-Ghazali
misalnya, selalu membagi alam dalam dua kategori besar yaitu alam al-mulki wa
al-syahâdah (semesta) dan alam
al-malakût wal-Jabarût (metafisika). Adapun yang menjadi obyek bagi
pengetahuan empiris adalah alam semesta.
Alam ini oleh al-Ghazali dalam konsep metafisikanya
diletakkan sebagai wujud terendah.
Menurut al-Farabi, Ibnu Sina dan al-Ghazali pengetahuan empiris ini
merupakan hasil dari aktivitas jiwa sensitif (al-nafs al-hayawâniyah) yang
dalam batas-batas tertentu juga dimiliki oleh binatang Jiwa sensitf selanjutnya
dibagi menjadi dua yaitu: daya tangkap dari luar (persepsi dan daya tangkap
dari dalam otak.
Adapun daya tangkap dari luar itu kesemuanya terdapat
pada panca indera yang masing-masing indera bertugas menangkap informasi yang
khusus. Jadi yang mencerap informasi empiris itu sesungguhnya bukanlah organ
fisik akan tetapi jiwa sensitif.
Informasi dari indera tersebut selanjutnya dikirim ke
daya tangkap dari dalam yang terdiri atas lima bagian yaitu: al-hish
al-musytarak, al-khayâliyyah, al-wahmiyyah, aldzâkirah, dan al-mutakahayyilah.
Informasi dari indera itu untuk kali pertamanya diterima oleh al-hish al-musytarak
(common sense) kemudian disimpan di dalam al-khayâliyyah (representasi) dan
selanjutnya al-wahmiyyah (estimasi) membuat abstraksi, mengambil makna dari
obyek tertentu.
Jadi ketika seseorang melihat harimau, otomatis
al-wahmiyyah akan mengatakan bahwa ia adalah musuh yang harus dihindari. Makna
musuh yang harus dihindari ini dicerap secara khusus dari harimau tertentu yang
terlihat.Hal ini berarti abstraksi tersebut masih bersifat partikular.Makna
yang ditangkap oleh al-wahmiyyah itu selanjutnya dikirim keal-dzâkirah
(reproduksi) atau al-hâfidhah (penghafal) untuk disimpan.
Berbagai bentuk dan informasi yang ditangkap diatas
akhirnya dirangkaikan atau dipisah-pisahkan -sesuai kebutuhan- sehingga
mendapatkan kesimpulan yang baru oleh daya yang tertinggi dan terakhir yang
disebutalmutakhayyilah (interpretasi). Kelima daya tangkap pengetahuan dari
batin tersebut bertempat diotak. Karena seluruh daya ini menggunakan organ
fisik maka al-Ghazali menyebutnya sebagai daya jasmani (qiwâ jasmaniyyah) yang
bekerja secara reflektif alami.
b.
Pengetahuan Rasional
Descartes, bapak rasionalisme continental, berusaha
menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan yang darinya memakai
metode dedukatif dapat disimpulkan semua pengetahuan kita. Ia yakin bahwa semua
kebeneran itu ada dan bahwa kebenaran-kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya
yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan.
Akal mengatur data-data yang dikirim oleh indera,
mengolahnya dan menyusunnya hingga menjadi pengetahuan yang benar.Dalam
penyusunan ini akal menggunakan konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep
tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal dan merupakan
abstraksi dari benda-benda konkret.Selain menghasilkan pengetahuan dari bahan-bahanyang
dikirim indera, akal juga mampu menghasilkan pengetahuan tanpa melalui indera,
yaitu pengetahuan yang bersifat abstrak. Seperti pengetahuan tentang hukum/
aturan yang menanam jeruk selalu berbuah jeruk.
Hukum ini ada dan logis tetapi tidak empiris. Penggunaan
rasio dalam memperoleh pengetahuan menjadi sandaran sumber ini dimana akal
harus memenuhi syarat-syarat yang digunakan dalam seluruh metode ilmiah. Jadi
menurut aliran Rasionalisme, pengetahuan hanya dapat ditemukan dalam dan dengan
bantuan akal (rasio). Dengan cara ini, maka proses pengetahuan manusia adalah
dengan mendeduksikan, menurunkan, pengetahuan-pengetahuan particular dari
prinsip-prinsip umum, atau dengan kata lain bahwa pengetahuan manusia harus
mulai dari aksioma-aksioma yang telah terbukti dengan sendirinya, dan dari situ
ditarik teorema-teorema sedemikian rupa sehingga kebenaran aksioma menjadi
kebenaran teorema.
Penjelasan ini memberikan gambaran bahwa kemampuan akal
manusialah yang dapat digunakan untuk dapat menarik kesimpulan dari
prinsip-prinsip umum tertentu dalam benaknya.Oleh karenanya logika silogisme
menjadi sangat penting dalam menggunakan metode ini. Berbeda dngan kaum
rasionalis yang begitu fanatikpada akal, Islam menerima akal sebagai sumber
pengetahuan dalambatas batas tertentu, seperti halnya empirik.
Dalam Misykah al-Anwâr, al-Ghazali menjelaskan bahwa
proses pencapaian pengetahuan itu ada lima tahapan. Dua di antaranya berada
dalam wilayah pengetahuan empiris yaitu al-rûh alhisâs dan al-khayâliy.
sedangkan tiga bagian berikutnya yang menjadi bagian dari jiwa rasional adalah
al-rûh al-aqliy,al-rûh al-fikriy yang keduanya berada dalam kawasan wilayah
pengetahuan rasional dan al-rûh al-qudsiy al-nabawiy yang berada dalam wilayah
pengetahuan intuitif.
Daya rasional (al-rûh al-aqliy) adalah substansi manusia
yang hanya ada pada manusia dewasa, tidak pada anak, terlebih pada binatang.
Daya ini menyerap makna-makna di luar indera dan imajinasi. Adapun jangkauan
pencerapannya adalah pengetahuanpengetahuandlarûriy(aksiomatis) dan universal.
Eksistensinya sebagai pencerap makna-makna itu dalam bahasa metafora al-Qur`an
adalah pelita (mishbâh).
Al-Ghazali membagi jiwa rasional itu kedalam dua bagian
besar yaitu: akal praktis (al'amilah) dan akal teoritis(al-'âlimah). Kedua akal
tersebut bukanlah dua hal yang benar-benar terpisah, akan tetapi lebih
merupakan dua sisi dari substansi yang sama. Sisi yang menghadap ke bawah
adalah akal praktis sedangkan yang menghadap ke atas adalah akal teoritis.
Akal praktis berfungsi untuk menggerakkan tubuh melalui
daya-daya jiwa sensitif (alrûh al-hayawâniyyah) sesuai tuntutan pengetahuan
yang telah dicapai oleh akal teoritis. Ia juga merupakan saluran yang
menyampaikan gagasan-gagasan akal teoritis kepada daya penggerak
(al-muharrikah) sekaligus merangsangnya menjadi aktual.
oleh karena itu menurut al-Ghazali akal praktis ini harus
mampu menguasai daya-daya yang ada di bawahnya untuk mencapai akhlaq mulia.
Jika akal praktis ini berhubungan dengan akal teoritis maka hubungan tersebut
akan menghasilkan pengetahuan moral, seperti dusta adalah buruk, adil adalah
baik dan lainlain.
Jika akal praktis berfungsi untuk menyempurnakan
penampilan lahir manusia maka akal teoritis lebihberfungsi untuk menyempurnakan
substansinya yang bersifat immaterial dan ghaib.Akal kedua ini berhubungan
dengan pengetahuan yang abstrak dan universal.Ia mempunyai empat tingkatan
evolutif yaitu: al-'aql al-hayulaniy,
al-'aql bi al-malakah, al-'aql bi al-fi'il dan al-'aql al-mustafad.
1)
Al-'Aql al-Hayulaniy (Akal Material).
Pada fase ini akal masih berupa potensi karenanya ia
merupakan tingkatan terendah dari dinamika intelektual manusia. Kondisi akal
pada tahap ini diumpamakan seperti adanya kemampuan menulis pada anak kecil
yang belum dapat menulis.Potensi menulis itu ada tapi belum aktual.
2)
Al-'Aql bi al-Malakah (Akal Habitual).
Akal ini disebut juga al-'aqlbi al-mumkin karena pada
fase ini akal telah dimungkinkan untuk mengetahui pengetahuan aksiomatis
(al-'ulûm al-dlarûriyyat) secara reflektif.Pengetahuan ini disebut sebagai
pengetahuan rasional pertama (alma'qûlah al-ûlâ). Dalam al-Qisthâs al-Mustaqîm
akal ini disebut dengan gharîzah al'aql (insting akal).
3)
Al-'Aql bi al-Fi'il (Akal Aktual).
Pada fase ketiga ini akal telah bisa menggunakan pengetahuan pertama sebagai premis mayor
dalam silogisme untuk memperoleh pengetahuan rasional kedua(alma'qûlah
al-tsâniyah). Pengetahuan pertama sebagai modal dan pengetahuan kedua sebagai
hasil pemikiran.Kegiatan berfikir pada fase inibukansemata-mata merupakan
aktifitas akal murni tetapi juga
menggunakan daya al-mutakhayyilah yang ada pada jiwa sensitif.Jadi
informasi dari al-mutakhayyilah -yang berfungsi untuk menyusun dan atau
memisahkan pengetahuan- diambil kesimpulannya oleh akal tersebut.Kegiatan
berfikir pada tahap ini merupakan kegiatan bersama antara al-mutakhayyilah dengan
akal.
4)
Al-Aql al-Mustafâd (Akal perolehan).
Akal pada tingkatan ini telah mempunyai
pengetahuan-pengetahuan secara aktual dan menyadari kesadarannya secara
faktual.Berbeda dengan aktifitas berfikir sebelumnya di mana akal secara aktif
menciptakan bentuk-bentuk pengetahuan baru dengan menggunakan informasi pada
tahapan sebelumnya; pada tahap ini akal hanya bersifat pasif.
Pengetahuan-pengetahuan itu telah hadir dengan sendirinya tanpa memerlukan
kegiatan berfikir. Oleh karena itu ia disebut dengan al-mustafâd (perolehan).
Akal ini juga sering disebut dengan al-aql al-qudsiy (akal suci) Pengetahuan
tersebut merupakan limpahan dari akal yang selamanya aktual yaitu Akal
Aktif. Dalam Mi'yâr al-'Ilm al-Ghazali menyata kan bahwa Akal Aktif itu
adalah malaikat yang bertugas untuk memberi pengetahuan kepada manusia
c.
Pengetahuan Intuitif (Ladunni)
Jika disimak penuturan al-Ghazali dalam kitab-kitab
filsafatnya terutama Ma'ârij al-Quds terlihat bahwa dinamika akal dalam gerakan
klimaks sangat mengagumkan. Gerakan rasional dari alam wujud terendah hingga
menusuk ke alam ghaib. Pada tingkat akal mustafâd aktifitas berfikir sangat
berbeda dengan tahap sebelumnya. Pada tingkat ini akal justru secara pasif
menerima pengetahuan langsung dari Akal Aktif tanpa melalui proses belajar.
Dalam Misykât al-Anwâr tingkatan tersebut dinamakan
al-rûh al-quds alnabawiy yang menempati puncak dari kebenderangan dan
kejernihan yang bertugas untuk menyulut daya-daya (ruh) dibawahnya. Dalam
bahasa metafora al-Qur`an adalah "minyak".
Menarik untuk dikaji bagaimana al-Ghazali membandingkan
derajat seorang ilmuan dengan wali. Ilmuan itu hanya diibaratkan kanak-kanak
(al-thifl) dan wali itu adalah remaja (al-tamyîz). Seperti tidak tahunya
kanak-kanak tentang kondisi remaja, seperti itulah tidak tahunya intelektual
terhadap pengetahuan para wali. Penjelasan ini menunjukkan bahwa dalam ajaran
Islam, kualitas pengetahuan intuitif itu lebih utama jika dibanding dengan
pengetahuan rasional.
Apa yang dimaksud dengan intuisi dalam Islam sangat
berbeda dengan wacana Barat, baik di bidang psikologi maupun filsafat. Intuisi
di Barat merupakan bentuk perkembangan lebih lanjut dari intelektual dan masih
dalam kawasan rasional. Intuisi difahami oleh ilmuan dan filosof Barat sebagai
bentuk pemunculan ide-ide terpendam di bawah sadar.
Oleh karena itu Iqbal mengatakan: "In fact,
intuition, as Bergson rightly says, is only a higher kind of intellect."
(intuisi sebagaimana dimaksud oleh Bergson, hanyalah salah satu jenais
kemampuan nalar tinggi). (Iqbal: 19981).
Di dalam wacana Islam intuisi merupakan bentuk pencapaian ilmu
hudluriy yang didapatkan seseorang dengan cara pasif baik itu secara langsung
dari Allah atau melalui perantara. Perantara di sini dapat berupa malaikat
(Akal Aktif), bisa juga melalui Lauh Mahfuzh (Jiwa Universal) ataupun al-Qalam
atau Nur Muhammad (Akal Universal). Adapun pengaktifan jiwa manusia yang di
sulut oleh syetan tidak termasuk dalam definisi intuisi yang dikehendaki di
dalam bahasan ini.
SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar