Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 29 Juli 2019

SUMBER-SUMBER ILMU DALAM ISLAM



SUMBER ILMU DALAM ISLAM 

1.         Perdebatan Sumber Ilmu 

Dalam epistemologi modern sumber pengetahuan dibedakan atas empat hal yaitu: empiris, rasionalitas, Intuisi dan Otoritas. Namun demikian Jujun mengatakan bahwa pada dasarnya, hanya ada dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pertama, mendasarkan pada rasio (rasionalisme). Kedua, mendasarkannya pada  pengalaman (empirisme).

Disamping kedua sumber tersebut  masih ada satu cara lagi yang disinyalir sebagai jenis pengetahuan yang datang dengan tiba-tiba yaitu intuisi. Dalam bahasa lain A. C. Ewing mengatakan bahwa ada dua jenis teori tentang pengetahuan yaitu a priori dan empirikal. Dua teori pengetahuan itu dengan sengit telah diperdebatkan oleh para filosof pada abad ke-17 dan 18 yang pada akhirnya melahirkan dua aliran besar dalam epistemologi yaitu  rasionalisme dan empirisme.

Sebagai agama yang rasional Islam tentu mengakui adanya keempat sumber pengetahuan yang diakui oleh epistemologi modern. Maka dalam Islam pengetahuan empiris, rasional, intuitif dan otoritatif diabsahkan sebagai sumber pengetahuan. Sumber-sumber pengetahuan tersebut itu dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan. Tidak seperti empirisme yang menafikan pengetahuan rasional, atau rasionalisme yang menafikan pengetahuan empiris.

Guna melacak lebih lebih jauh tentang pemikiran tersebut berikut akan dikaji pemikiran para filosof muslim seperti al-Farabi, Ibnu Sina dan al-Ghazali yang berkaitan dengan sumbersumber pengetahuan dalam bingkai pengetahuan empiris, rasional, dan intuitif.  

2.         Ragam Sumber Pengetahuan

a. Pengetahuan Empiris

Yang dimaksud pengetahuan empiris yaitu pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman indrawi dan akal mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman denga cara induksi. Jhon lock, bapak empiris Britana mengemukakan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa manusia pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisis jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan.

David Hume, salah satu tokoh empirisme mengatakan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya.  Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, kesankesan dan pengertian-pengertian atau ide-ide. Dengan kata lain, empirisme menjadikan pengalaman inderawi sebagai sumber pengetahuan. Sesuatu yang tidak diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. 

Islam mengakui adanya empiris sebagai sumber penegtahuan tetapi ia bukan satu-satunya dan dalam batas-batas tertentu. Al-Ghazali misalnya, selalu membagi alam dalam dua kategori besar yaitu alam al-mulki wa al-syahâdah (semesta) dan alam  al-malakût wal-Jabarût (metafisika). Adapun yang menjadi obyek bagi pengetahuan empiris adalah alam semesta.

Alam ini oleh al-Ghazali dalam konsep metafisikanya diletakkan sebagai wujud terendah.  Menurut al-Farabi, Ibnu Sina dan al-Ghazali pengetahuan empiris ini merupakan hasil dari aktivitas jiwa sensitif (al-nafs al-hayawâniyah) yang dalam batas-batas tertentu juga dimiliki oleh binatang Jiwa sensitf selanjutnya dibagi menjadi dua yaitu: daya tangkap dari luar (persepsi dan daya tangkap dari dalam otak.

Adapun daya tangkap dari luar itu kesemuanya terdapat pada panca indera yang masing-masing indera bertugas menangkap informasi yang khusus. Jadi yang mencerap informasi empiris itu sesungguhnya bukanlah organ fisik akan tetapi jiwa sensitif. 

Informasi dari indera tersebut selanjutnya dikirim ke daya tangkap dari dalam yang terdiri atas lima bagian yaitu: al-hish al-musytarak, al-khayâliyyah, al-wahmiyyah, aldzâkirah, dan al-mutakahayyilah. Informasi dari indera itu untuk kali pertamanya diterima oleh al-hish al-musytarak (common sense) kemudian disimpan di dalam al-khayâliyyah (representasi) dan selanjutnya al-wahmiyyah (estimasi) membuat abstraksi, mengambil makna dari obyek tertentu. 

Jadi ketika seseorang melihat harimau, otomatis al-wahmiyyah akan mengatakan bahwa ia adalah musuh yang harus dihindari. Makna musuh yang harus dihindari ini dicerap secara khusus dari harimau tertentu yang terlihat.Hal ini berarti abstraksi tersebut masih bersifat partikular.Makna yang ditangkap oleh al-wahmiyyah itu selanjutnya dikirim keal-dzâkirah (reproduksi) atau al-hâfidhah (penghafal) untuk disimpan.

Berbagai bentuk dan informasi yang ditangkap diatas akhirnya dirangkaikan atau dipisah-pisahkan -sesuai kebutuhan- sehingga mendapatkan kesimpulan yang baru oleh daya yang tertinggi dan terakhir yang disebutalmutakhayyilah (interpretasi). Kelima daya tangkap pengetahuan dari batin tersebut bertempat diotak. Karena seluruh daya ini menggunakan organ fisik maka al-Ghazali menyebutnya sebagai daya jasmani (qiwâ jasmaniyyah) yang bekerja secara reflektif alami.   

b. Pengetahuan Rasional

Descartes, bapak rasionalisme continental, berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan yang darinya memakai metode dedukatif dapat disimpulkan semua pengetahuan kita. Ia yakin bahwa semua kebeneran itu ada dan bahwa kebenaran-kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan.

Akal mengatur data-data yang dikirim oleh indera, mengolahnya dan menyusunnya hingga menjadi pengetahuan yang benar.Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal dan merupakan abstraksi dari benda-benda konkret.Selain menghasilkan pengetahuan dari bahan-bahanyang dikirim indera, akal juga mampu menghasilkan pengetahuan tanpa melalui indera, yaitu pengetahuan yang bersifat abstrak. Seperti pengetahuan tentang hukum/ aturan yang menanam jeruk selalu berbuah jeruk.

Hukum ini ada dan logis tetapi tidak empiris. Penggunaan rasio dalam memperoleh pengetahuan menjadi sandaran sumber ini dimana akal harus memenuhi syarat-syarat yang digunakan dalam seluruh metode ilmiah. Jadi menurut aliran Rasionalisme, pengetahuan hanya dapat ditemukan dalam dan dengan bantuan akal (rasio). Dengan cara ini, maka proses pengetahuan manusia adalah dengan mendeduksikan, menurunkan, pengetahuan-pengetahuan particular dari prinsip-prinsip umum, atau dengan kata lain bahwa pengetahuan manusia harus mulai dari aksioma-aksioma yang telah terbukti dengan sendirinya, dan dari situ ditarik teorema-teorema sedemikian rupa sehingga kebenaran aksioma menjadi kebenaran teorema.

Penjelasan ini memberikan gambaran bahwa kemampuan akal manusialah yang dapat digunakan untuk dapat menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum tertentu dalam benaknya.Oleh karenanya logika silogisme menjadi sangat penting dalam menggunakan metode ini. Berbeda dngan kaum rasionalis yang begitu fanatikpada akal, Islam menerima akal sebagai sumber pengetahuan dalambatas batas tertentu, seperti halnya empirik.

Dalam Misykah al-Anwâr, al-Ghazali menjelaskan bahwa proses pencapaian pengetahuan itu ada lima tahapan. Dua di antaranya berada dalam wilayah pengetahuan empiris yaitu al-rûh alhisâs dan al-khayâliy. sedangkan tiga bagian berikutnya yang menjadi bagian dari jiwa rasional adalah al-rûh al-aqliy,al-rûh al-fikriy yang keduanya berada dalam kawasan wilayah pengetahuan rasional dan al-rûh al-qudsiy al-nabawiy yang berada dalam wilayah pengetahuan intuitif.

Daya rasional (al-rûh al-aqliy) adalah substansi manusia yang hanya ada pada manusia dewasa, tidak pada anak, terlebih pada binatang. Daya ini menyerap makna-makna di luar indera dan imajinasi. Adapun jangkauan pencerapannya adalah pengetahuanpengetahuandlarûriy(aksiomatis) dan universal. Eksistensinya sebagai pencerap makna-makna itu dalam bahasa metafora al-Qur`an adalah pelita (mishbâh).

Al-Ghazali membagi jiwa rasional itu kedalam dua bagian besar yaitu: akal praktis (al'amilah) dan akal teoritis(al-'âlimah). Kedua akal tersebut bukanlah dua hal yang benar-benar terpisah, akan tetapi lebih merupakan dua sisi dari substansi yang sama. Sisi yang menghadap ke bawah adalah akal praktis sedangkan yang menghadap ke atas adalah akal teoritis.

Akal praktis berfungsi untuk menggerakkan tubuh melalui daya-daya jiwa sensitif (alrûh al-hayawâniyyah) sesuai tuntutan pengetahuan yang telah dicapai oleh akal teoritis. Ia juga merupakan saluran yang menyampaikan gagasan-gagasan akal teoritis kepada daya penggerak (al-muharrikah) sekaligus merangsangnya menjadi aktual.

oleh karena itu menurut al-Ghazali akal praktis ini harus mampu menguasai daya-daya yang ada di bawahnya untuk mencapai akhlaq mulia. Jika akal praktis ini berhubungan dengan akal teoritis maka hubungan tersebut akan menghasilkan pengetahuan moral, seperti dusta adalah buruk, adil adalah baik dan lainlain.

Jika akal praktis berfungsi untuk menyempurnakan penampilan lahir manusia maka akal teoritis lebihberfungsi untuk menyempurnakan substansinya yang bersifat immaterial dan ghaib.Akal kedua ini berhubungan dengan pengetahuan yang abstrak dan universal.Ia mempunyai empat tingkatan evolutif yaitu: al-'aql al-hayulaniy, al-'aql bi al-malakah, al-'aql bi al-fi'il dan al-'aql al-mustafad.

1) Al-'Aql al-Hayulaniy (Akal Material).

Pada fase ini akal masih berupa potensi karenanya ia merupakan tingkatan terendah dari dinamika intelektual manusia. Kondisi akal pada tahap ini diumpamakan seperti adanya kemampuan menulis pada anak kecil yang belum dapat menulis.Potensi menulis itu ada tapi belum aktual.

2) Al-'Aql bi al-Malakah (Akal Habitual).

Akal ini disebut juga al-'aqlbi al-mumkin karena pada fase ini akal telah dimungkinkan untuk mengetahui pengetahuan aksiomatis (al-'ulûm al-dlarûriyyat) secara reflektif.Pengetahuan ini disebut sebagai pengetahuan rasional pertama (alma'qûlah al-ûlâ). Dalam al-Qisthâs al-Mustaqîm akal ini disebut dengan gharîzah al'aql (insting akal).

3) Al-'Aql bi al-Fi'il (Akal Aktual).

Pada fase ketiga ini akal telah bisa menggunakan  pengetahuan pertama sebagai premis mayor dalam silogisme untuk memperoleh pengetahuan rasional kedua(alma'qûlah al-tsâniyah). Pengetahuan pertama sebagai modal dan pengetahuan kedua sebagai hasil pemikiran.Kegiatan berfikir pada fase inibukansemata-mata merupakan aktifitas akal murni tetapi juga   menggunakan daya al-mutakhayyilah yang ada pada jiwa sensitif.Jadi informasi dari al-mutakhayyilah -yang berfungsi untuk menyusun dan atau memisahkan pengetahuan- diambil kesimpulannya oleh akal tersebut.Kegiatan berfikir pada tahap ini merupakan kegiatan bersama antara al-mutakhayyilah dengan akal.

4) Al-Aql al-Mustafâd (Akal perolehan).

Akal pada tingkatan ini telah mempunyai pengetahuan-pengetahuan secara aktual dan menyadari kesadarannya secara faktual.Berbeda dengan aktifitas berfikir sebelumnya di mana akal secara aktif menciptakan bentuk-bentuk pengetahuan baru dengan menggunakan informasi pada tahapan sebelumnya; pada tahap ini akal hanya bersifat pasif. Pengetahuan-pengetahuan itu telah hadir dengan sendirinya tanpa memerlukan kegiatan berfikir. Oleh karena itu ia disebut dengan al-mustafâd (perolehan). Akal ini juga sering disebut dengan al-aql al-qudsiy (akal suci) Pengetahuan tersebut merupakan limpahan dari akal yang selamanya aktual yaitu Akal Aktif.  Dalam Mi'yâr al-'Ilm  al-Ghazali menyata kan bahwa Akal Aktif itu adalah malaikat yang bertugas untuk memberi pengetahuan kepada manusia

c. Pengetahuan Intuitif (Ladunni)

Jika disimak penuturan al-Ghazali dalam kitab-kitab filsafatnya terutama Ma'ârij al-Quds terlihat bahwa dinamika akal dalam gerakan klimaks sangat mengagumkan. Gerakan rasional dari alam wujud terendah hingga menusuk ke alam ghaib. Pada tingkat akal mustafâd aktifitas berfikir sangat berbeda dengan tahap sebelumnya. Pada tingkat ini akal justru secara pasif menerima pengetahuan langsung dari Akal Aktif tanpa melalui proses belajar.

Dalam Misykât al-Anwâr tingkatan tersebut dinamakan al-rûh al-quds alnabawiy yang menempati puncak dari kebenderangan dan kejernihan yang bertugas untuk menyulut daya-daya (ruh) dibawahnya. Dalam bahasa metafora al-Qur`an adalah "minyak".

Menarik untuk dikaji bagaimana al-Ghazali membandingkan derajat seorang ilmuan dengan wali. Ilmuan itu hanya diibaratkan kanak-kanak (al-thifl) dan wali itu adalah remaja (al-tamyîz). Seperti tidak tahunya kanak-kanak tentang kondisi remaja, seperti itulah tidak tahunya intelektual terhadap pengetahuan para wali. Penjelasan ini menunjukkan bahwa dalam ajaran Islam, kualitas pengetahuan intuitif itu lebih utama jika dibanding dengan pengetahuan rasional.

Apa yang dimaksud dengan intuisi dalam Islam sangat berbeda dengan wacana Barat, baik di bidang psikologi maupun filsafat. Intuisi di Barat merupakan bentuk perkembangan lebih lanjut dari intelektual dan masih dalam kawasan rasional. Intuisi difahami oleh ilmuan dan filosof Barat sebagai bentuk pemunculan ide-ide terpendam di bawah sadar. 

Oleh karena itu Iqbal mengatakan: "In fact, intuition, as Bergson rightly says, is only a higher kind of intellect." (intuisi sebagaimana dimaksud oleh Bergson, hanyalah salah satu jenais kemampuan nalar tinggi). (Iqbal: 19981).

Di dalam wacana Islam intuisi merupakan bentuk pencapaian ilmu hudluriy yang didapatkan seseorang dengan cara pasif baik itu secara langsung dari Allah atau melalui perantara. Perantara di sini dapat berupa malaikat (Akal Aktif), bisa juga melalui Lauh Mahfuzh (Jiwa Universal) ataupun al-Qalam atau Nur Muhammad (Akal Universal). Adapun pengaktifan jiwa manusia yang di sulut oleh syetan tidak termasuk dalam definisi intuisi yang dikehendaki di dalam bahasan ini.


SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM

       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar