STRUKTUR ILMU DALAM ISLAM
1.
Struktur Ilmu dalam pandangan para Filosof Muslim
Muhamad Al-Bahi membagi ilmu dari segi sumbernya terbagi
menjadi dua, Pertama; ilmu yang bersumber dari Tuhan, Kedua; ilmu yang
bersumber dari manusia. Al-Jurjani membagi ilmu menjadi dua jenis, yaitu Pertama; ilmu Qadim (luhur) dan Kedua; ilmu Hadits (baru). Ilmu Qadim
adalah ilmu Allah yang jelas sangat berbeda dariilmu hadits yang dimiliki
manusia sebagai hamba-Nya.
Menurut Al-Gazali ilmu dibagi menjadi dua macam yaitu
ilmu Agama (syar’iyah) dan ilmu umum (aqliyyah). Ilmu syar’iyyah adalah ilmu
agama karena ilmu itu berkembang dalam ketentuan syar’iyyah (hukum wahyu),
sedangkan ilmu aqliyyah adalah ilmu yang dengan nalar murni, seperti ilmu alam,
matematika, metafisika, ilmu politik dll.
Menurut Al-Kindi pengetahuan ada dua macam yaitu,pertama
pengetahuan Ilahi yaitu ilmu yang
tercantum dalam Qur’an sebagai pengetahuan yang diperoleh nabi dari Tuhan yang
didasarkan pada keyakinan. Kedua, pengetahuan manusiawi, disebut juga filsafat
yang mendasarkan pada pemikiran akal.
Para filosof muslim membedakan ilmu, kepada ilmu yang
berguna dan yang tak berguna. Kategori ilmu yang berguna mereka memasukkan
ilmu-ilmu duniawi, seperti kedokteran, fisika, kimia, geografi, logika, etika,
bersama disiplin-disiplin yang khusus mengenai ilmu keagamaan. Ilmu sihir,
alkemi dan numerologi (ilmu nujum dengan menggunakan bilangan) dimasukkan ke
dalam golongan cabang-cabang ilmu yang tidak berguna.
Al-farabi membuat klasifikasi ilmu secara filosofis ke
dalam beberapa wilayah, seperti ilmu-ilmu matematis, ilmu alam, metafisika,
ilmu politik, dan terkahir yurisprudensi dan teologi dilaektis. Beliau memberi
perincian ilmu-ilmu religius (ilahiyah) dalam bentuk kalam dan fiqih langsung
mengikuti perincian ilmu-ilmu filosofis, yakni matematika, ilmu alam,
metafisika, dan ilmu politik.
2.
Struktur Ilmu Menurut al-Ghazali
Adapun pemikiran al-Ghazali tentang struktur/ hirarki
ilmu pengetahuan dituangkan dalam berbagai kitabnya secara variatif. Namun yang
paling banyak dijadikan rujukan adalah yang ada di dalam kitab Ihyâ’. Ia membagi ilmu pengetahuan
berdasarkan pada bentuk kewajiban yang dibebankan kepada muslim dalam dua
kategori, yakni: fardlu 'ain yang
dibebankan kepada masing-masing individu untuk mempelajarinya dan kategori
fardlu kifayah yang dibebankan kepada komunitas muslim.
a.
Fardlu 'Ain
Seperti pemahaman ulama` ushuliyyȋn, al-Ghazali juga
mengatakan bahwa fardlu 'ain merupakan kewajiban yang dibebankan syâri' kepada
mukallaf. Kendatipun para ulama' muslim
sepakat dalam memberikan batasan terhadap fardlu 'ain namunmereka berbeda
pendapat ketika harus menentukan ilmu pengetahuan mana yang termasuk kategori fardlu 'ain tersebut.
Ulama' kalam (teolog) mengatakan ilmu kalamlah yang
termasuk ilmu fardlu 'ain.Ulama' tafsir mengatakan tafsir, ulama' hadis
mengatakan hadis ulama' fiqh mengatakan fiqh dan sebagainyadenganargumentasi
masing-masing. Al-Ghazali dalam hal ini sependapat dengan Abu Thalib al-Makkiy
dalam menentukan kategori ilmu fardlu 'ain. Keduanya mendasarkan argumentasinya
pada hadis Nabi tentang bangunan Islam yaitu:
(Islam itu ditegakkan atas lima hal yaitu: syahâdah
(persaksian) bahwasannya tidak ada Tuhan kecuali hanya Allah dan bahwasanya Muhammad SAW. adalah
rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadlan) (HR. Bukhori, Muslim, Tirmidzi, dan
Nasa`i dari Ibn ‘Umar dengan Sanad
Shahih. al-Suyȗthiy, Jami’ al-Shaghir, Juz 1, 126) .
Jadi yang termasuk kategori fardlu 'ain menurutnya adalah
meliputi ilmu-ilmu tentang syahadah, shalat, zakat, puasa dan haji. Jika
pembagian al-Ghazali tentang ilmu mukasyafah dan mu'amalah diikuti maka ilmu
yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah termasuk dalam kategori ilmu
mu'amalah. Ilmu mu'amalah itu sendiri terdiri atas tiga hal, yaitu: i'tiqâd
(keyakinan), fi'il (anjuran), dan tark (larangan).
Yang termasuk dalam i'tiqad adalah pengetahuan tentang
dua kalimah syahadah.Yang termasuk dalam fi'il adalah pengetahuan tentang
thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat, dan seluruh aktifitas yang
difungsikan untuk menghilangkan keragu-raguan. Sedangkan yang termasuk tark
adalah pengetahuan tentang hal-hal yang dilarang oleh syara' yang tergantung
dengan kondisi tertentu.
Misalnya orang buta tidak wajib belajar tentang pandangan
yang haram begitu juga yang lain. Menurut al-Ghazali, seorang muslim yang telah
âqil balligh itu dituntut untuk mengamalkan ketiga hal yakni i'tiqâd, fi'il dan
tark. Ia mengetakan bahwa bagi seorang yang telah balligh kewajiban pertama
kali yang harus ditunaikan waktu itu adalah i'tiqâd. Jadi ia harus mengetahui
makna kalimah syahadah dengan seyakin- yakinnya. Keyakinan itu dianggap telah
memenuhi syarat walaupun hanya sebatas taqlid pada awalnya. Adapun
kewajiban-kewajian yang lain yang termasuk dalam kategori fi'il dan tark
menyusul secara bertahap. llmu-ilmu inilah yang difardlukan oleh hadis:
(Mencari ilmu itu wajib atas setiap individu muslim).
(HR.Baihaqiy dan Ibn Adi, Khatib dan Thabraniy dengan sanad Shahih. al-Suyuthi,
Juz. 2, 161)
b.
Fardlu Kifayah
Al-Ghazali
mengatakan bahwa yang termasuk kategori fardlu kifayah ialah semua ilmu
yang tidak bisa tidak dibutuhkan dalam menegakkan permasalahan kehidupan dunia.
Seandainya dalam satu daerah tidak ada orang yang mengerti ilmuilmu itu, maka
seluruh penduduk daerah tersebut berdosa.
Jika telah ada yang menegakkan meski hanya seorang saja, maka gugurlah
kewajiban penduduk daerah tersebut. Ilmu fardlu kifayah ini terbagi atas dua
bagian yaitu:
1)
Ilmu Syari'ah
Ilmu Syari'ah ini terbagi atas empat bentuk yaitu: pokok
(ushul), cabang (furu’), pendahuluan (muqaddimah), dan penutup (mutammimah).
a)
Ilmu Ushûl
Adapun yang termasuk dalam ilmu ushul itu adalah ilmu
pengetahuan tentang Kitabullah (al-Qur`an), sunah, ijma', dan atsar (statement)
shahabat.
b)
Ilmu Furû'
Ilmu furu' ialah ilmu pengetahuan yang difahami dari Ilmu
ushul bukan dengan kepastian lafal-lafalnya melainkan dengan
pengertian-pengertian yang diketahui akal. Ilmu furu' tersebut terbagi atas dua
hal yaitu: ilmu tentang kemaslahatan dunia seperti fiqh dan ilmu tentang
kemaslahatan akhirat yakni ilmu tentang keadaan hati, akhlak terpuji dan
tercela, hal-hal yang diridlai Allah dan yang dibenciNya.Ilmu-ilmu ini
tergolong dalam ilmu akhlaq (etika).
c)
Ilmu Muqaddimah
Ilmu Pendahuluan adalah ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai
alat untuk memahami al-Qur`an dan al-Hadis, seperti ilmu lughah (bahasa Arab)
dan nahwu (gramatik). IlmuKhat (ilmu menulis bahasa Arab) juga termasuk dalam
kelompok ilmu ini.
d)
Ilmu Mutammimah
Yang dimaksud dengan ilmu penutup ialah semua cabang ilmu
yang berkaitan dengan ilmu al-Qur`an dan hadis. Adapun ilmu penutup yang
berkaitan denganal-Qur`an tersebut
terbagi atas: ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lafal al-Qur`an seperti Ilmu
Qirâ'ah dan Makhârij al-Khurûf (ilmu tentang daerah artikulasi huruf-huruf
Arab). Ilmu yang berkaitan dengan makna al-Qur`an yaitu IlmuTafsir.
Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum
al-Qur`anyaitu: Ilmu Ushul Fiqh yang mencakup ilmu nasikh-mansukh, 'âm-khâsh, nash-dzahir
dan sebagainya. Sedangkan ilmu Penutup yang berkaitan dengan hadis adalah
ilmu-ilmu tentang rijâl al-hadis, al-jarh wa al-ta'dlil, sanad-matan, dan
sebaginya.
2)
Ilmu Umum (Non Syari'ah)
Adapun yang termasuk dalam kategori ilmu non syari'ah
adalah seluruh ilmu umum (science). Berdasarkan sifatnya ilmu ini terbagi atas
tiga bentuk yaitu:
a)
Ilmu umum yang terpuji (mahmûd) seperti ilmu kedokteran,
matematika, perindustrian dan politik.
b)
Ilmu umum yang tercela (madzmûmah) seperti ilmu sihir,
mantera-mantera, tenung dan sulap.
c)
Ilmu umum yang netral (mubah) seperti syair (puisi) yang
tidak jorok, sejarah dan sebagainya.
Struktur ilmu pengetahuan yang ada dalam Ihyâ’ tersebut
menempatkan Ilmu al-Qur’an dan Hadis pada dua tempat yaitu: pada kelompok ilmu
ushȗl dan ilmu mutammimât. Penempatan ini bukanlah merupakan suatu kontradiksi
tetapi adalah keharusan. Maksudnya jika sudut pandangnya adalah ilmu ushȗl
(pokok) dan furȗ’, maka ilmu al-Qur’an-Hadis itu tergolong dalam kategori ilmu
pokok (ushȗl).
Jika sudut pandangnya adalah tahapan pengkajian suatu
ilmu, maka ilmu al-Qur’an-Hadis itu adalah merupakan kelompok ilmu penutup
(mutammimâh) bukan ilmu pendahuluan (muqaddimât). Dalam strukturisasi di atas,
al-Ghazali tidak memasukkan Ilmu Kalam
sejak dini, meskipun pada akhirnya dikelompokkan dalam ilmu pengetahuan
kategori fardlu kifâyah.
Adapun alasan tidak dimasukkannya Ilmu Kalam sedari awal
adalah karena ilmu tersebut menurutnya mengandung berbagai unsur pembahasan yang
kontradiktif. Sebagian dalil yang dikandung berbentuk dalil-dalil yang
bermanfaat yang didukung oleh nashal-Qur`an maupun hadis-hadis terkait. Akan
tetapi sebagian pembahasan yang lain hanya berisi perdebatan tercela dan
termasuk hal bid'ah. Sebagian yang lain lagi terdiri dari pembahasan yang tidak
berhubungan sama sekali dengan agama dan tidak dikenal sedikitpun pada masa
awal Islam.
Maka secara keseluruhan al-Ghazali menilai bahwa Ilmu
Kalam adalah bid'ah. Namun demikian karena pada masa itu telah muncul banyak
statement para teolog yang dinilai berlawanan dengan al-Qur`an dan sunnahserta
munculnya kelompok yang merangkai hal-hal subhat dalam pembahasannya, maka
larangan itu bergeser menduduki hukum dlaruri (mendesak untuk segera dilakukan)
guna membersihkan dan mempertahankan akidah. Hukum tersebut bergeser dari
larangan menjadi fardlu kifayah.
Ilmu kalam menjadi
fardlu kifayah barena ia berfungsi untuk
menjaga hati orang-orang awam dari hayalanparapembuatbid'ah. Kebutuhan tersebut
disamakan oleh al-Ghazali dengan kebutuhan menyewa pengawal pada saat musim
haji yang dimaksudkan untuk menghindarkan jama’ah haji dari kedlaliman oknum
bangsa Arab, misalnya.Akan tetapi jika bangsa-bangsa Arab tersebut tidak lagi
demikian -keadaan sudah aman- maka menyewa pengawal haji itu tidak lagi
termasuk syarat perjalanan haji.
Oleh karenannya ia berpesan pada para mutakallimȋn
(teolog) agar menjaga aqidah orang awamdari kekacauan para pembuat bid'ah
sebagaimana pengawal menjaga barang-barang jama'ah haji dari rampasan pencuri.
Filsafat juga tidak dieksplisitkan dalam klasifikasi di atas karena filsafat
menurut al-Ghazali bukan merupakan ilmu
yang independen, setidaknya saat itu.
Dalam pandangannya ilmu filsafat terdiri atas empat bagian yaitu: Ilmu
Ukur dan Ilmu Hitung (matematika),
Logika, Teosofi (Ilâhiyyât), d an Ilmu Alam (Thabi'iyyât).
Ustadzah Fathiyah, pakar Ilmu Pendidikan Islam Timur
Tengah, menyimpulkan bahwa pemikiran al-Ghazali tentang klasifikasi ilmu yang
ada dalam Ihyâ` itu, jika didasarkan
pada urgensinya bagi kepentingan manusia, terbagi atas empat tingkatan
yaitu:
Pertama, Kelompok ilmu
yang bermanfaat bagi kehidupan keagamaan dan kehidupan akhirat di samping
berguna untuk menyucikan jiwa memperindah moral dan mendekatkan diri kepada
Allah serta sebagai persiapan bagi kehidupan yang abadi. Yang termasuk dalam
kelompok ilmu ini adalah ilmuilmu yang berkaitan denganal-Qur`an dan ilmu-ilmu
agama lainnya.
Kedua, ilmu yang
berguna bagi manusia karena ia menjadi prasarat bagi kelompok ilmu pertama
seperti: Ilmu Lughah dan Nahwu.
Ketiga, ilmu yang
berguna bagi kehidupan manusia di dunia seperti: Ilmu Kedokteran, Matematika,
Teknologi, Politik dan sebagainya.
Keempat, ilmu yang
berguna dari sudut peradaban dan kesenangan manusia dan kehidupan sosial
seperti: Ilmu Sastra (puisi), Sejarah, dan Etika.
Meskipun al-Ghazali secara nyata memformulasikan ilmu
pengetahuan dalam dua kategori yakni ilmu agama dan ilmu umum, tetapi ia tidak
bisa disebut sebagai tokoh dualisme pengetahuan terlebih tokoh sekularisme
pengetahuan dalam Islam. Hal ini karena batas antara ilmu agama dan ilmu umum
tersebut hanya semacam "garis demarkasi".
Batasan itu secara kategoris ada, tapi pada hakekatnya
tidak ada. Pembagian ini dibuat semat-mata untuk kepentingan pragmatis mempermudah
pemahaman. Dalam al-Risâlah al-Ladunniyah, ia mengatakan: ‘Sebagian besar ilmu
agama adalah rasional bagi yang mengetahuinya dan sebagian besar ilmu rasional
(umum) adalah syar'iyyah bagi yang mengerti.” (al-Ghazali: stt.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar