Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 29 Juli 2019

STRUKTUR ILMU DALAM DALAM ISLAM


STRUKTUR ILMU DALAM ISLAM 

1.  Struktur Ilmu dalam pandangan para Filosof Muslim

Muhamad Al-Bahi membagi ilmu dari segi sumbernya terbagi menjadi dua, Pertama; ilmu yang bersumber dari Tuhan, Kedua; ilmu yang bersumber dari manusia. Al-Jurjani membagi ilmu menjadi dua jenis, yaitu Pertama; ilmu Qadim (luhur) dan Kedua; ilmu Hadits (baru). Ilmu Qadim adalah ilmu Allah yang jelas sangat berbeda dariilmu hadits yang dimiliki manusia sebagai hamba-Nya.

Menurut Al-Gazali ilmu dibagi menjadi dua macam yaitu ilmu Agama (syar’iyah) dan ilmu umum (aqliyyah). Ilmu syar’iyyah adalah ilmu agama karena ilmu itu berkembang dalam ketentuan syar’iyyah (hukum wahyu), sedangkan ilmu aqliyyah adalah ilmu yang dengan nalar murni, seperti ilmu alam, matematika, metafisika, ilmu politik dll. 

Menurut Al-Kindi pengetahuan ada dua macam yaitu,pertama pengetahuan  Ilahi yaitu ilmu yang tercantum dalam Qur’an sebagai pengetahuan yang diperoleh nabi dari Tuhan yang didasarkan pada keyakinan. Kedua, pengetahuan manusiawi, disebut juga filsafat yang mendasarkan pada pemikiran akal.

Para filosof muslim membedakan ilmu, kepada ilmu yang berguna dan yang tak berguna. Kategori ilmu yang berguna mereka memasukkan ilmu-ilmu duniawi, seperti kedokteran, fisika, kimia, geografi, logika, etika, bersama disiplin-disiplin yang khusus mengenai ilmu keagamaan. Ilmu sihir, alkemi dan numerologi (ilmu nujum dengan menggunakan bilangan) dimasukkan ke dalam golongan cabang-cabang ilmu yang tidak berguna.

Al-farabi membuat klasifikasi ilmu secara filosofis ke dalam beberapa wilayah, seperti ilmu-ilmu matematis, ilmu alam, metafisika, ilmu politik, dan terkahir yurisprudensi dan teologi dilaektis. Beliau memberi perincian ilmu-ilmu religius (ilahiyah) dalam bentuk kalam dan fiqih langsung mengikuti perincian ilmu-ilmu filosofis, yakni matematika, ilmu alam, metafisika, dan ilmu politik.
 
2.  Struktur Ilmu Menurut al-Ghazali

Adapun pemikiran al-Ghazali tentang struktur/ hirarki ilmu pengetahuan dituangkan dalam berbagai kitabnya secara variatif. Namun yang paling banyak dijadikan rujukan adalah yang ada di dalam kitab  Ihyâ’. Ia membagi ilmu pengetahuan berdasarkan pada bentuk kewajiban yang dibebankan kepada muslim dalam dua kategori, yakni:  fardlu 'ain yang dibebankan kepada masing-masing individu untuk mempelajarinya dan kategori fardlu kifayah yang dibebankan kepada komunitas muslim.

a. Fardlu 'Ain

Seperti pemahaman ulama` ushuliyyȋn, al-Ghazali juga mengatakan bahwa fardlu 'ain merupakan kewajiban yang dibebankan syâri' kepada mukallaf.  Kendatipun para ulama' muslim sepakat dalam memberikan batasan terhadap fardlu 'ain namunmereka berbeda pendapat ketika harus menentukan ilmu pengetahuan mana yang  termasuk kategori  fardlu 'ain tersebut.

Ulama' kalam (teolog) mengatakan ilmu kalamlah yang termasuk ilmu fardlu 'ain.Ulama' tafsir mengatakan tafsir, ulama' hadis mengatakan hadis ulama' fiqh mengatakan fiqh dan sebagainyadenganargumentasi masing-masing. Al-Ghazali dalam hal ini sependapat dengan Abu Thalib al-Makkiy dalam menentukan kategori ilmu fardlu 'ain. Keduanya mendasarkan argumentasinya pada hadis Nabi tentang bangunan Islam yaitu:
(Islam itu ditegakkan atas lima hal yaitu: syahâdah (persaksian) bahwasannya tidak ada Tuhan kecuali hanya  Allah dan bahwasanya Muhammad SAW. adalah rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa  Ramadlan) (HR. Bukhori, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa`i  dari Ibn ‘Umar dengan Sanad Shahih. al-Suyȗthiy, Jami’ al-Shaghir, Juz 1, 126) .

Jadi yang termasuk kategori fardlu 'ain menurutnya adalah meliputi ilmu-ilmu tentang syahadah, shalat, zakat, puasa dan haji. Jika pembagian al-Ghazali tentang ilmu mukasyafah dan mu'amalah diikuti maka ilmu yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah termasuk dalam kategori ilmu mu'amalah. Ilmu mu'amalah itu sendiri terdiri atas tiga hal, yaitu: i'tiqâd (keyakinan), fi'il (anjuran), dan tark (larangan).

Yang termasuk dalam i'tiqad adalah pengetahuan tentang dua kalimah syahadah.Yang termasuk dalam fi'il adalah pengetahuan tentang thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat, dan seluruh aktifitas yang difungsikan untuk menghilangkan keragu-raguan. Sedangkan yang termasuk tark adalah pengetahuan tentang hal-hal yang dilarang oleh syara' yang tergantung dengan kondisi tertentu.

Misalnya orang buta tidak wajib belajar tentang pandangan yang haram begitu juga yang lain. Menurut al-Ghazali, seorang muslim yang telah âqil balligh itu dituntut untuk mengamalkan ketiga hal yakni i'tiqâd, fi'il dan tark. Ia mengetakan bahwa bagi seorang yang telah balligh kewajiban pertama kali yang harus ditunaikan waktu itu adalah i'tiqâd. Jadi ia harus mengetahui makna kalimah syahadah dengan seyakin- yakinnya. Keyakinan itu dianggap telah memenuhi syarat walaupun hanya sebatas taqlid pada awalnya. Adapun kewajiban-kewajian yang lain yang termasuk dalam kategori fi'il dan tark menyusul secara bertahap. llmu-ilmu inilah yang difardlukan oleh hadis:




(Mencari ilmu itu wajib atas setiap individu muslim). (HR.Baihaqiy dan Ibn Adi, Khatib dan Thabraniy dengan sanad Shahih. al-Suyuthi, Juz. 2, 161) 

b. Fardlu Kifayah

Al-Ghazali  mengatakan bahwa yang termasuk kategori fardlu kifayah ialah semua ilmu yang tidak bisa tidak dibutuhkan dalam menegakkan permasalahan kehidupan dunia. Seandainya dalam satu daerah tidak ada orang yang mengerti ilmuilmu itu, maka seluruh penduduk daerah tersebut berdosa.  Jika telah ada yang menegakkan meski hanya seorang saja, maka gugurlah kewajiban penduduk daerah tersebut. Ilmu fardlu kifayah ini terbagi atas dua bagian yaitu:

1) Ilmu Syari'ah

Ilmu Syari'ah ini terbagi atas empat bentuk yaitu: pokok (ushul), cabang (furu’), pendahuluan (muqaddimah), dan penutup (mutammimah).

a) Ilmu Ushûl

Adapun yang termasuk dalam ilmu ushul itu adalah ilmu pengetahuan tentang Kitabullah (al-Qur`an), sunah, ijma', dan atsar (statement) shahabat.

b) Ilmu Furû'

Ilmu furu' ialah ilmu pengetahuan yang difahami dari Ilmu ushul bukan dengan kepastian lafal-lafalnya melainkan dengan pengertian-pengertian yang diketahui akal. Ilmu furu' tersebut terbagi atas dua hal yaitu: ilmu tentang kemaslahatan dunia seperti fiqh dan ilmu tentang kemaslahatan akhirat yakni ilmu tentang keadaan hati, akhlak terpuji dan tercela, hal-hal yang diridlai Allah dan yang dibenciNya.Ilmu-ilmu ini tergolong dalam ilmu akhlaq (etika).

c) Ilmu Muqaddimah

Ilmu Pendahuluan adalah ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai alat untuk memahami al-Qur`an dan al-Hadis, seperti ilmu lughah (bahasa Arab) dan nahwu (gramatik). IlmuKhat (ilmu menulis bahasa Arab) juga termasuk dalam kelompok ilmu ini.

d) Ilmu Mutammimah

Yang dimaksud dengan ilmu penutup ialah semua cabang ilmu yang berkaitan dengan ilmu al-Qur`an dan hadis. Adapun ilmu penutup yang berkaitan denganal-Qur`an tersebut  terbagi atas: ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lafal al-Qur`an seperti Ilmu Qirâ'ah dan Makhârij al-Khurûf (ilmu tentang daerah artikulasi huruf-huruf Arab). Ilmu yang berkaitan dengan makna al-Qur`an yaitu IlmuTafsir.

Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum al-Qur`anyaitu: Ilmu Ushul Fiqh yang mencakup ilmu nasikh-mansukh, 'âm-khâsh, nash-dzahir dan sebagainya. Sedangkan ilmu Penutup yang berkaitan dengan hadis adalah ilmu-ilmu tentang rijâl al-hadis, al-jarh wa al-ta'dlil, sanad-matan, dan sebaginya.

2) Ilmu Umum (Non Syari'ah)

Adapun yang termasuk dalam kategori ilmu non syari'ah adalah seluruh ilmu umum (science). Berdasarkan sifatnya ilmu ini terbagi atas tiga bentuk yaitu:

a) Ilmu umum yang terpuji (mahmûd) seperti ilmu kedokteran, matematika, perindustrian dan politik. 
b) Ilmu umum yang tercela (madzmûmah) seperti ilmu sihir, mantera-mantera, tenung dan sulap. 
c) Ilmu umum yang netral (mubah) seperti syair (puisi) yang tidak jorok, sejarah dan sebagainya. 

Struktur ilmu pengetahuan yang ada dalam Ihyâ’ tersebut menempatkan Ilmu al-Qur’an dan Hadis pada dua tempat yaitu: pada kelompok ilmu ushȗl dan ilmu mutammimât. Penempatan ini bukanlah merupakan suatu kontradiksi tetapi adalah keharusan. Maksudnya jika sudut pandangnya adalah ilmu ushȗl (pokok) dan furȗ’, maka ilmu al-Qur’an-Hadis itu tergolong dalam kategori ilmu pokok (ushȗl).

Jika sudut pandangnya adalah tahapan pengkajian suatu ilmu, maka ilmu al-Qur’an-Hadis itu adalah merupakan kelompok ilmu penutup (mutammimâh) bukan ilmu pendahuluan (muqaddimât). Dalam strukturisasi di atas, al-Ghazali  tidak memasukkan Ilmu Kalam sejak dini, meskipun pada akhirnya dikelompokkan dalam ilmu pengetahuan kategori fardlu kifâyah.

Adapun alasan tidak dimasukkannya Ilmu Kalam sedari awal adalah karena ilmu tersebut menurutnya mengandung berbagai unsur pembahasan yang kontradiktif. Sebagian dalil yang dikandung berbentuk dalil-dalil yang bermanfaat yang didukung oleh nashal-Qur`an maupun hadis-hadis terkait. Akan tetapi sebagian pembahasan yang lain hanya berisi perdebatan tercela dan termasuk hal bid'ah. Sebagian yang lain lagi terdiri dari pembahasan yang tidak berhubungan sama sekali dengan agama dan tidak dikenal sedikitpun pada masa awal Islam.

Maka secara keseluruhan al-Ghazali menilai bahwa Ilmu Kalam adalah bid'ah. Namun demikian karena pada masa itu telah muncul banyak statement para teolog yang dinilai berlawanan dengan al-Qur`an dan sunnahserta munculnya kelompok yang merangkai hal-hal subhat dalam pembahasannya, maka larangan itu bergeser menduduki hukum dlaruri (mendesak untuk segera dilakukan) guna membersihkan dan mempertahankan akidah. Hukum tersebut bergeser dari larangan menjadi fardlu kifayah.

Ilmu kalam  menjadi fardlu kifayah  barena ia berfungsi untuk menjaga hati orang-orang awam dari hayalanparapembuatbid'ah. Kebutuhan tersebut disamakan oleh al-Ghazali dengan kebutuhan menyewa pengawal pada saat musim haji yang dimaksudkan untuk menghindarkan jama’ah haji dari kedlaliman oknum bangsa Arab, misalnya.Akan tetapi jika bangsa-bangsa Arab tersebut tidak lagi demikian -keadaan sudah aman- maka menyewa pengawal haji itu tidak lagi termasuk syarat perjalanan haji.

Oleh karenannya ia berpesan pada para mutakallimȋn (teolog) agar menjaga aqidah orang awamdari kekacauan para pembuat bid'ah sebagaimana pengawal menjaga barang-barang jama'ah haji dari rampasan pencuri. Filsafat juga tidak dieksplisitkan dalam klasifikasi di atas karena filsafat menurut  al-Ghazali bukan merupakan ilmu yang independen, setidaknya saat itu.  Dalam pandangannya ilmu filsafat terdiri atas empat bagian yaitu: Ilmu Ukur dan  Ilmu Hitung (matematika), Logika, Teosofi (Ilâhiyyât), d an Ilmu Alam (Thabi'iyyât).

Ustadzah Fathiyah, pakar Ilmu Pendidikan Islam Timur Tengah, menyimpulkan bahwa pemikiran al-Ghazali tentang klasifikasi ilmu yang ada dalam Ihyâ` itu,  jika didasarkan pada urgensinya bagi kepentingan manusia, terbagi atas empat tingkatan yaitu: 

Pertama, Kelompok ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan keagamaan dan kehidupan akhirat di samping berguna untuk menyucikan jiwa memperindah moral dan mendekatkan diri kepada Allah serta sebagai persiapan bagi kehidupan yang abadi. Yang termasuk dalam kelompok ilmu ini adalah ilmuilmu yang berkaitan denganal-Qur`an dan ilmu-ilmu agama lainnya.

Kedua, ilmu yang berguna bagi manusia karena ia menjadi prasarat bagi kelompok ilmu pertama seperti: Ilmu Lughah dan Nahwu.

Ketiga, ilmu yang berguna bagi kehidupan manusia di dunia seperti: Ilmu Kedokteran, Matematika, Teknologi, Politik dan sebagainya.

Keempat, ilmu yang berguna dari sudut peradaban dan kesenangan manusia dan kehidupan sosial seperti: Ilmu Sastra (puisi), Sejarah, dan Etika.

Meskipun al-Ghazali secara nyata memformulasikan ilmu pengetahuan dalam dua kategori yakni ilmu agama dan ilmu umum, tetapi ia tidak bisa disebut sebagai tokoh dualisme pengetahuan terlebih tokoh sekularisme pengetahuan dalam Islam. Hal ini karena batas antara ilmu agama dan ilmu umum tersebut hanya semacam "garis demarkasi".

Batasan itu secara kategoris ada, tapi pada hakekatnya tidak ada. Pembagian ini dibuat semat-mata untuk kepentingan pragmatis mempermudah pemahaman. Dalam al-Risâlah al-Ladunniyah, ia mengatakan: ‘Sebagian besar ilmu agama adalah rasional bagi yang mengetahuinya dan sebagian besar ilmu rasional (umum) adalah syar'iyyah bagi yang mengerti.” (al-Ghazali: stt.)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar