HAKEKAT MANUSIA DAN DAYA-DAYA RUH
A. HAKIKAT
MANUSIA
1. Ruh
sebagai Hakikat Manusia
Manusia terdiri atas dua bagian yaitu badan dan jiwa.
Keduanya merupakan hal yang sama sekali berbeda. Badan adalah materi gelap yang
kasar, tersusun, bersifat tanah, tidak berfungsi keadaannya kecuali dengan ruh.
Manusia disatu sisi, jasmani, berasal dari alam khalq dan dari sisi lain,
Ruhanainya dari alam amr. Sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Farabi bahwa
Segala hal yang memungkinkan untuk diukur, dikuantifikasikan dan ditakar, maka
ia adalah dari alam khalq. Sedangkan jiwa tidak bisa diukur atau ditakar, karena
itu ia tidak bisa dibagi.
Adapun hakikat manusia adalah ruhani. Dalam rangkaian
eksistensialnya meskipun kelihatannya jasmanilah yang lebih awal, sesungguhnya
ia adalah akhir. Sedangkan ruhani itu memang kelihatannya terakhir (masa nafkh
al-rûh pen.), tetapi ia adalah yang awal. al-Ghazali (1058-1111) dalam
al-Risâlah al-Ladunniyah, menjelaskan bahwa jasmani manusia adalah aksiden
(‘arad) sedang substansinya (jauhar) adalah ruhani. Badan adalah perangkat
ruhani. Ruhanilah yang sesungguhnya menerima beban syariah (taklîf), yang menerima
titah syar’i (khitâb), ganjaran dan siksa, menerima kesenangan dan kesedihan.
Jiwa inilah yang disebut ruh sebagai hakikat manusia.
Di dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, al-Ghazali
menjelaskan dua makna untuk al-rûh yaitu pertama, sejenis sesuatu yang halus
yang bersumber pada lubang hati jasmani, lalu menyebar melalui pembuluh darah
yang merasuk ke seluruh anggota tubuh. Peredaran ruh pada tubuh dan limpahan
cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan,
pendengaran, dan penciumannya, pada seluruh anggota tubuh seperti limpahan cahaya lampu yang diedarkan di
setiap sudut rumah. Sesungguhnya lampu itu tidak sampai pada suatu bagian
rumah, melainkan ia menerangi dengan cahaya itu. Kehidupan ini seperti cahaya
yang nampak pada dinding ruangan, sedangkan ruh adalah seperti lampunya.
Pergerakan ruh di dalam tubuh itu seperti gerakan lampu di sekeliling rumah
yang digerakkan oleh penggerak lampu itu.
Al-Rûh dalam makna ini tidak dipakai dalam tasawuf.
Makna kedua, adalah (sesuatu) yang halus, yang mengetahui, yang menyerap dari
manusia. Ia yang telah kami uraikan dalam salah satu dari makna hati dan itulah
yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya: “Qul al-rûh min amri
rabbi.” (Qs. Al-Isrâ`: 85). Ruh adalah persoalan yang mengagumkan, bersifat
ketuhanan (rabbâni) di mana mayoritas akal tidak mampu memahami
hakikatnya. Ketika mengomentari Qs.
Al-Isrâ`/ 17: 85
alGhazali
mengatakan bahwa amr al-bâriy ta’âla bukanlah jasmani dan
bukan pula aksiden (‘arad), akan tetapi ia adalah daya ketuhanan (quwwah
ilâhiyah), substansi (jauhar) yang kekal yang fenomenanya seperti Akal Pertama,
al-Lauh al-Mahfûdz, dan al-Qalam. Sesungguhnya ruh merupakan bagian dari
keseluruhan qudrah ilâhiyah. Mengomentari ayat di atas, Imam Fakhrur Razi
menjelaskan bahwa ruh adalah substansi tunggal yang unik (basît) yang tidak
dapat tercipta kecuali melalui firman Allah kun fa yakûn. Kehadiran ruh ini
karena amr (perintah) Allah guna memberi mafaat bagi badan. Ruh ini pada
awalnya kosong dari ilmu pengetahuan.
Dalam proses kehidupan ia berubah dari satu kondisi ke
kondisi yang lebih maju, dari kekurangan menuju kesempurnaan. Abu Abdillah bin
Nabaji mengatakan bahwa ruh adalah sesuatu yang terlalu halus untuk dilihat dan
terlalu besar untuk disentuh. Ia tidak dapat diungkapkan dengan cara lain
kecuali bahwa dia itu maujud. Namun demikian menurut al-Hujwiri, semua sufi dan
kebanyakan muslim sepakat bahwa ruh adalah substansi bukan aksiden. Ruh itu
halus dan berjisim, karena itu ia dapat dilihat. Hanya saja untuk melihatnya
harus menggunakan mata hati. Ruh bisa menempati tembolok burung atau menjadi
pasukan yang bergerak ke sana ke mari, sebagaimana dijelaskan oleh hadis
Rasulullah saw.
Penjelasan al-Ghazali, yang membagi ruh dalam dua
makna yakni makna hakiki dan lahiriyah, kelihatannya mewakili keragaman
penjelasan yang diberikan oleh para ulama ini. Sesungguhnya menurut al-Ghazali,
ruh yang merupakan hakikat manusia adalah substansi tunggal yang tepisah dari
materi. Ia adalah sinar murni (adwa mujarradah) yang rasional dan bukan
teresterial. Sebutan ruh atau al-qalb
dalam bahasa kita merupakan keadaan substansi itu.
Masih menurut al-Ghazali, ruh itu tidak akan rusak,
tidak akan hancur dan tidak mati kecuali sekedar berpisah dengan badan dan yang
menunggu kembali kepada Allah pada hari Kiamat sebagaimana dijelaskan oleh
syariat. Jadi al-rûh al-nâtiq itu tidak berjisim, bukan aksiden (‘arad), tetapi
ia adalah substansi (jauhar) yang tetap (tsâbit), kekal (dâ`im), tidak rusak,
tidak campur, tidak hancur, tidak mati. Karena itu Allah menyandarkan ruh ini
sesekali pada amr-Nya (Qs. al-Isra`:
85) dan sesekali pada keagungannya (Qs. al-Hajr/15: 29 alTahrîm/66: 12). Bunyi Qs. al-Hajr/15: 29 adalah:
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadianya, dan
telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduk kamu kepadanya dengan
bersujud.”) Bunyi Qs. al-Tahrîm/66: 12
adalah:
“dan Maryam puteri Imran yang memelihara
kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan)
Kami; dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia
termasuk orang-orang yang taat.) Bagi ruh yang merupakan substansi tunggal,
jasmani adalah aksiden (arad) yang tidak bisa tidak membutuhkan eksistensinya.
Aksiden tidak akan eksis tanpa substansi.
Akan tetapi substansi tersebut (ruh) tidak inkarnasi
pada suatu keadaan dan tidak menempati suatu tempat. Jadi badan bukanlah tempat
ruh atau al-qalb, tetapi ia adalah sarana bagi ruh, peralatan al-qalb serta
kendaraan bagi al-nafs. Dilihat dari substansinya, ruh adalah dari jenis
malaikat. Akan tetapi untuk mengerti hakikat ruh yang sesungguhnya adalah
sangat sulit, karena agama tidak menjelaskan bagaimana cara mengetahuinya.
Tidak adanya penjelasan yang cukup dari agama dalam hal ini, bukan karena tidak
adanya kebutuhan agama terhadap persoalan ini, tetapi karena agama adalah
persoalan usaha (mujâhadah) sedangkan pengenalan terhadap hakikat ruh adalah
persoalan hidayah. Sebagaimana firman Allah dalam Qs al-Ankabût/ 29: 69:
walladzîna jâhadû fîna lanahdiyannahum subulanâ(“Orang-orang yang benar-benar
berusaha dalam agama Kami, niscaya Kami akan beri petunjuk kepada mereka jalan
Kami”).
Padahal ma’rifat terhadap hakikat dan sifatnya adalah
kunci ma’rifat Allah SWT. Dalam hal ini
al-Ghazali mewajibkan kita untuk bermujâhadah sehingga dapat mengetahui hakikat
ruh tersebut. Ia mewajibkan mujâhadah sebagai metode untuk menelusuri hakikat
ruh, bukan tafakkur karena obyek kajian yang akan dijangkau adalah hal ghaib
yang hanya bisa raih secara irfani/ huduri. Di dunia ini, ruh tidak menyibukkan
dirinya kecuali dengan mencari ilmu, karena ilmu itulah yang akan menjadi hiasannya
di akhirat nanti. Ruh yang telah mutma`innah tidak memiliki keinginan lain
kecuali ilmu dan tidak akan rida kecuali dengannya, bahkan ia akan senantiasa
belajar sepanjang hayatnya.
2. Ragam
Jiwa Manusia
Ruh adalah bersifat substantif, tunggal (al-jauhary
al-mufrad) yang menerangi, yang menyerap, pelaku, penggerak, penyempurna
segenap perangkat dan jasmani. Ruh yang
oleh para filosof muslim disebut jiwa rasional, inilah yang merupakan jiwa
hikiki, namun demikian ternyata dalam diri manusia masih terdapat jiwa-jiwa
yang lain yang berkaitan dan menjadi alat bagi jiwa hakiki ini. Ragam jiwa itu
selanjutnya oleh para filosof Muslim seperti al-Ghazali (450-505/ 1058-1111),
mengikuti al-Farabi (w. 339/ 870-950) dan Ibn Sina (370429/ 980-1037), dibedakan
menjadi tiga yaitu jiwa vegetatif (al-nafs al-tabî'iy), jiwa sensitif (al-nafs
al-hayawâniyah), dan jiwa rasional (al-nafs al-nâtiqah).
Pembagian jiwa menjadi tiga bagian ini, yang
mengadopsi penjelasan Aristoteles. Aristoteles adalah filosof Yunani yang membagi
jiwa dalam tiga kategori yaitu Jiwa Tumbuhan (Ame Végétative) yang merupakan
prinsip nutrisi, tumbuh dan reproduksi; Jiwa Hewan (Ame Sensitive) yang
merupakan landasan dari indra dan gerak; serta Jiwa Rasional (Ame Pensante)
yang merupakan landasan bagi pemikiran. Aristoteles, sebagaimana dijelaskan
Taftazani, mengkhususkan jiwa rasional
itu pada manusia tidak pada hewan. Sebagaimana Hewan memiliki kelebihan jiwa
sensitif, sedangkan tumbuhan tidak.
a. Jiwa
vegetatif (al-nafs al-tabî’iy) Jiwa vegetatif merupakan penyempurna pertama
badan yang merupakan potensi dan memiliki perangkat untuk makanan/ nutrisi, tumbuhan, dan
reproduksi. Dayadaya pada jiwa vegetatif, menurut al-Ghazali, semuanya
dipersiapkan sebagai pelayan bagi jasmani, sedangkan jasmani merupakan pelayan
bagi daya sensitif/ hewani.
b. Jiwa
sensitif (al-nafs al-hayawâniyah) Jiwa Hayawaniyah penyempurna pertama bagi
jasmani yang merupakan potensi dan memiliki perangkat untuk yang menyerap
segala obyek parsial (juz`iyat) dan menggerakkan badan dengan kehendak
(irâdah). Nafsu yang terdiri atas syahwat dan ghadab berada pada daya penggerak
(al-quwwah al-muharrikah) yang ada pada jiwa ini. Jiwa hayawaniyah berbentuk badan halus
seperti cahaya lampu yang menyala dalam kaca al-qalb (yakni berbentuk jantung
yang tergantung di dada).
Hidup adalah sinar lampu tersebut, dan darah adalah
tempat tinggalnya, sensitifitas dan gerak adalah cahayanya. Nafsu syahwat
adalah panasnya. Nafsu ghadab (daya marah) adalah asapnya. Jiwa ini ada pada
semua binatang dan manusia. Jiwa
hayawaniyah tidak membutuhkan ilmu, tidak mengetahui cara penciptaan dan tidak
juga mengetahui hak Sang Pencipta. Karenanya jiwa ini bukanlah pemangku firman
Allah dan bukan penerima beban syariat. Sesungguhnya ia adalah pelayan bagi
jiwa rasional yang akan mati dengan matinya badan.
c. Jiwa
rasional (al-nafs al-nâtiqah) Jiwa rasional adalah jiwa hakiki manusia. Ia
adalah substansi (jauhar) tunggal, sempurna, dan hidup dengan sendirinya.
Kebaikan dalam beragama dan keburukannya akan lahir dari jiwa ini. Adapun jiwa
Vegetatif dan sensitif serta seluruh
daya fisik merupakan perangkatnya.
Substansi ini menerima segala ilustrasi fenomena dan
esensi realitas, tanpa disibukkan dengan rincian dan karakteristiknya. Jiwa
rasional ini akan abadi dan tidak hancur, bahkan lebih sempurna dengan matinya
badan. Jiwa rasional ini tidak memiliki menghendaki sesuatu kecuali berfikir
(altafakkur), menghafal (al-tahaffuz), membedakan (al-tamyîz), dan
meriwayatkan/ mendeskripsikan (al-riwâyat), menerima seluruh pengetahuan tidak
terlepas penerimaan terhadap ilustrasi yang terlepas dari materi. Substansi
(jiwa rasional) ini adalah pemimpin jiwa-jiwa (nabâtiyah dan hayawâniyah) dan
penguasa daya-daya (al-quwwâ).
Seluruh jiwa dan daya-daya itu melayaninya dan
menunaikan perintahnya. Dia adalah substansi yang hidup, pelaku, dan penyerap
Menurut al-Ghazali jiwa rasional inilah yang oleh para filosof disebut
al-jauhar al-nafs al-nâtiqah. Al-Qur`an menyebutnya dengan al-nafs
al-mutma`innah atau disebut juga dengan al-rûh al-amriy. Para sufi menyebutnya
dengan al-qalb. Sedang al-Ghazali sendiri menggunakan berbagai istilah untuk
menjelaskan jiwa ini seperti: al-qalb, al-nafs al-nâtiqah, al-rûh al-nâtiq,
al-rûh al-mutlaq, dan al-rûh. Ia menegaskan bahwa perbedaan ini hanya dalam
penyebutan sedangkan maknanya satu dan tidak ada perbedaan dalam hal makna ini.
B. DAYA-DAYA
RUHANI
1.
Ragam Daya Ruhani
Di samping jiwa hakikat manusia ini ternyata masih ada
dua jiwa lagi yang ada pada manusia yaitu jiwa tumbuhan dan binatang.
Al-Ghazali dan Ibn Sina (980-1037)
menyebut tiga jiwa itu dengan al-nafs al-nabâtiyah, al-nafs al-hayawâniyah dan
al-nafs al-nâtiqah/ alnafs al-insâniyah. Manusia sesungguhnya adalah makhluk
integrasi antara fenonema materi (al-nafs al-nabâtiyah) dan immateri (al-nafs
al-nâtiqah), dengan al-nafs al-hayawâniyah adalah substansi pengantara antara
keduanya. Jika tumbuh kembangnya aspek fisiologis ditentukan oleh al-nafs
al-nabâtiyah, maka perkembangan aspek ruhani, sangat ditentukan oleh kesucian
dan ketajaman al-nafs al-nâtiqah. sedangkan kualitas al-nafs al-hayawâniyah -
sebagai pengantara- justru menjadi penentu kualitas aspek fisiologis dan ruhani
secara bersamaan.
Baik al-Ghazali maupun Ibn Ataillah memastikan bahwa
pada al-nafs alhayawâniyah inilah nafsu (syahwat dan ghadab) berada. Nafsu
adalah penentu baik-buruknya ruhani yang selalu tergambar dalam ekspresi
jasmani. Nafsu adalah daya ruhani yang memiliki natur negatif. Dalam konteks daya-daya ruhani ini, para sufi
secara lebih lengkap menegaskan bahwa struktur ruhani manusia itu terdiri
atas lima bagian yaitu: al-nafs,
al-‘aql, al-qalb, al-rûh dan al-sirr. Al-Nafs adalah wadah dari syahwat dan
ghdab, sedangkan al-’aql (rasio) merupakan standard kebenaran. Imam al-Qusyairiy (w. 465/ 1072) dalam al-Risâlah
al-Qusyairiyah menyatakan bahwa al-qalb adalah tempat ma’rifat, al-rûh adalah
tempat cinta kasih (almahabbah) dan
al-sirr adalah tempat musyahadah.
Dari penjelasan para sufi tersebut, diketahui bahwa
potensi dan daya ruhani sangat variatif. Menjadi sangat naïf jika selama ini
yang diberdayakan, diadabkan dalam kehidupan nyata hanya sampai pada
pemberdayaan aspek rasional bahkan fisik saja. Menjadi manusia berkualitas
adalah bagaimana mengoptimalisasikan lima daya ruhani tersebut secara gradual
dan simultan. Hanya orang-orang sufi hakikilah yang sanggup mengortimalkan
seluruh daya ini. Pada masyarakat kebanyakan, daya ruhani yang paling
menentukan dalam dinamika ruhani hanya tiga yaitu al-nafs, al-’aql,dan al-qalb.
Secara metaforis, Al-Ghazali dalam Kîmiyâ` al-Sa’âdah, menggambarkan peran
ketiga daya ruhani itu secara metaforis. Menurutnya, jiwa itu laksana sebuah
negeri. Ladangnya adalah dua tangan, dua kaki, dan seluruh anggota tubuh
lainnya. Tuan tanahnya adalah nafsu seksual (syahwat) dan nafsu agresi (ghadab)
adalah penjaganya. Al-Qalb adalah rajanya dan al-’aql adalah perdana
menterinya.
Wajib bagi sang raja tersebut bermusyawarah dengan
perdana menteri, guna menjadikan tuan tanah itu tunduk di bawah kendali perintah
perdana menteri, demi kelanggengan kerajaan dan kemakmuran negeri. Demikianlah
–menurutnya- kondisi al-qalb yang selalu bermusyawarah dengan al-’aql, guna
menjadikan nafsu syahwat dan ghadab di bawah
kendali perintahnya. Situasi jiwa benar-benar tentram tersebut akhirnya
mampu mencapai sebab kebahagiaan dan ma'rifat terhadap realitas transendental
(al-hadrah al-ilâhiyah). Akan tetapi jika akal berada di bawah al-ghadab dan
syahwat, maka hancurlah jiwa itu dan jadilah al-qalb sebagai yang celaka di akhirat.”
Dari ilustrasi di atas terlihat bahwa al-qalb adalah
yang paling utama, namun demikian posisi al-’aql bukanlah hal yang tidak
penting. Sebagai wazîr (perdana menteri) ia punya otoritas yang sangat urgen.
Dilihat dari penekanan al-Ghazali pada kesepakatan antara al-qalb dan al-’aql
dalam membentuk keputusan sikap batin, membuktikan sangat pentingnya hubungan
antara keduanya. Al-qalb (dalam makna ruh/ hakikat manusia) itu bukanlah
berasal dari alam kasat mata (‘âlam al-khalq) tetapi ia berasal dari alam ghaib
(‘âlam al-amr). Oleh karena itu ia menjadi terasing dalam alam ini.
Eksistensinya dalam dinamika ruhani adalah sebagai "raja" di mana
seluruh anggota tubuh bertindak sebagai pelayannya. Natur dasarnya adalah
mengetahui Allah (ma'rîfah Allah) dan menyaksikan keindahan wajahNya (musyâhadah).
Dari metafor di atas dapat diketahui bahwa kendali
dinamika ruhanilah yang akan menentukan nilai sebuah perilaku. Jika dinamika
ruhani tersebut dikendalikan oleh nafsu maka sudah pasti yang akan muncul
adalah perilaku negatif (al-akhlâk al-madzmûmah). Sebaliknya jika kendali dalam
dinamika ruhani itu berada pada al-qalb yang merupakan wadah hidayah, maka
perilaku yang muncul adalah perilaku positif
(al-akhlâk al-mahmûdah). Pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya cara
mengendalikan sikap batin agar selalu dalam keputusan positif? Bagaimana cara
mengendalikan nafsu yang efektif? Tentu ini bukan persolan mudah. Jika
al-Ghazali, menyebut fenomena ruhani terdalam hanya sampai pada al-rûh, Imam
al-Qusyairiy (w. 465/ 1072) di samping menyebutkan al-qalb sebagai tempat
ma’rifat, al-rûh sebagai tempat cinta kasih (al-mahabbah), ia juga menyebut
daya al-sirr adalah tempat musyahadah.
Analisis tentang daya-daya ruhani oleh para syekh
tarikat tampaknya lebih utuh lagi. Syekh Ahmad Khatib Sambas, misalnya,
menjelaskan bahwa manusia itu terdiri atas sepuluh unsur halus (latâ`if) di
mana lima latâ`if termasuk alam khalqi dan lima berikutnya termasuk alam amr.
Yang termasuk alam amr adalah al-qalb, al-rûh, al-sirr, al-khafiy dan al-akhfâ.
Sedangkan lima latâ`if yang termasuk alam khalqi
adalah latîfat al-nafs dan empat unsur. Kyai Mushlih Mranggen menjelaskan
keempat unsur itu adalah air, udara, api dan tanah.
2.
Daya Ruhani Utama
Lebih detail mengenai daya-daya ruhani dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Al-Nafs
Dalam Ihyâ`, al-Ghazali menjelaskan makna al-nafs
dengan dua makna sebagai berikut: pertama, al-nafs adalah makna menyeluruh bagi
daya marah/ agresifitas (al-ghadab) dan daya keinginan (syahwat) dalam diri
manusia. Makna ini yang biasanya digunakan oleh ahli tasawuf, karena
sesungguhnya mereka menghendaki dengan kata al-nafs itu adalah pokok yang
menghimpun bagi sifat buruk dari manusia. Maka mereka mengatakan bahwa harus
bermujâhadah (perang) melawan nafsu dan memecahkannya.
Adapun makna kedua, al-nafs adalah sesuatu yang halus,
sebagaimana telah kami jelaskan. Ia adalah manusia secara hakikat. Ia adalah
jiwa manusia dan dzatnya. Dalam kitab
Ma’ârij al-Quds al-Ghazali juga menjelaskan dua makna tersebut. Yang dimaksud
dengan al-nasf dalam makna pertama adalah pengertian yang meliputi keseluruhan
sifat buruk. ia adalah daya hewani yang berlawanan dengan daya akal. Inilah
pemahaman bagi umumnya para sufi, hingga dikatakan bahwa jihad yang paling
utama hendaklah engkau memerangi nafsumu.
Al-Razi menegaskan bahwa mengekang dan mengendalikan
nafsu merupakan kewajiban bagi semua orang, bagi orang yang berakal dan bagi
semua agama, karena ia merupakan sumber kehinaan jiwa.
b. Al-Syahwat
Nafsu syahwat adalah segala keinginan yang berkaitan
dengan seksualitas, makanan, materi, kedudukan/ jabatan dan prestise. Natur
nafsu syahwat selalu rakus dan berhasrat bila melihat lawan jenis, makanan,
materi, kekuasaan. Nafsu syahwat menjanjikan kenikmatan badani yang telah
banyak menjerumuskan orang untuk hidup sekedar memenuhi aspek ini. Mereka yang
terpedaya dengan syahwatnya akan makan dengan berbagai variasi tanpa
mempertimbangkan batasan yang diperkenankan agama. Ia tidak mampu mengontrol
syahwat, berzina, bangga dengan materi dan kekuasaan, sangat mencintai dunia
yang berujung pada melupakan Allah.
Ibn Miskawaih menyebut daya syahwat ini dengan al-nafs
al-bahîmiyah (jiwa kebinatangan) yang menjadi dasar bagi syahwat, keinginan
terhadap makanan, minum, kawin serta kenikmatan indrawi lainnya.
Berbeda dengan al-Ghazali menurutnya daya ini berada
di hati.
Daya syahwat merupakan daya pertama yang ada sejak
bayi, baru kemudian disusul daya ghadab saat usia tujuh tahun. Setelah daya ghadab mulai matang
baru disusul oleh daya tamyîz. Karena nafsu syahwat dan ghadab mendahului
adanya dibanding kematangan daya ruhani lainnya, maka ia lebih membekas di hati
dari yang lain. Sebab kedua adalah
akhlak yang ada sedari awal kehidupan - di mana daya-daya ruhani belum stabil-
terus dikuatkan oleh prilaku yang menuntut kesenangan nafsu itu. Dua sebab itu
yang membuat proses perbaikan ruhani ini menjadi tidak mudah. Tujuan perbaikan
dan penyucian ruhani bukan meniadakan nafsu secara total, karena hal itu
melawan fitrah. Perbaikan ruhani ini lebih ditujukan untuk mengarahkan gejolak
nafsu itu pada koridor syara` dan nalar yang sehat.
c. Al-Ghadab
Nafsu ghadab (daya marah) adalah daya agresivitas yang
berfungsi sebagai penjamin keamanan, sehingga setiap individu dapat tetap
survive. Daya agresifitas atau emosi ini sangat penting untuk dapat maraih
setiap yang dinginkan syahwat baik berupa makanan, kekayaan, jabatan dan lawan
jenis yang menentukan kelangsungan hidup setiap individu. Ibn Miskawaih
menyebutnya dengan al-nafs al-syabu’iyah (jiwa kebuasan) yang merupakan sumber
kemarahan, penentangan, keberanian, ingin berkuasa, ingin pangkat dan jabatan
dan berbagai kesempurnaan lainnya. Berbeda dengan al-Ghazali, ia menganggap
pusat daya ini berada di hati.
Pada hakekatnya kedua daya ini (syahwat dan ghadab)
merupakan prasyarat mutlak untuk kehidupan jasmani. Tanpa adanya keinginan
terhadap materi, makan minum, seksualitas dan kekuasaan tentu tidak mungkin
manusia dapat bertahan hidup. Tanpa adanya daya agresifitas (ghadab) tentu
segala keinginan (syahwat) tidak akan pernah didapatkan. Keinginan tanpa upaya
mendapatkan adalah sia-sia. Tanpa keduanya manusia tidak akan bisa eksis.
Begitu ia dilahirkan, segera ia akan mati. Bahkan
untuk dilahirkan tentu harus ada syahwat yang mengawali, tanpa syahwat tidak
ada nikah, tanpa nikah tidak ada kehamilan, tanpa kehamilan tidak ada
kelahiran. Maka spesies manusia segera musnah. Inilah fungsi dasar nafsu. Akan
tetapi kodrat nafsu yang senantiasa cenderung ke arah materi, seksualitas dan
kekuasaan mengantarkan manusia terpenjara di alam rendah materi. Ibn Ataillah
mengatakan jika kehidupan ini sekedar memenuhi hal-hal tersebut semata, sungguh
hal sama terjadi pada orang kafir bahkan ini adalah keadaan binatang
melata.
d. Al-Aql
Dua makna dasar dijelaskan al-Ghazali ketika
menjelaskan al- ’aql dalam Ihyâ`, yaitu pertama, al-‘aql adalah ilmu tentang
hakikat persoalan-persoalan. Maka akal dalam konteks ini adalah gambaran dari
sifat ilmu yang tempatnya di dalam hati. Adapun makna kedua, alaql adalah yang
menyerap ilmu pengetahuan. Dia ini adalah al-qalb yakni sesuatu yang halus.
Istilah al-’aql ini sangat samar karena ia bisa
bermakna pelaku sekaligus sifatnya, yang berilmu dan ilmunya. Sesunngguhnya
substansi yang mengetahui itu berbeda dengan sifat mengetahui. Akal kadang
disebut sebagai sifat, tetapi kadang disebut sebagai yang disifati. Secara
hakiki al-’aql adalah substansi yang
mengetahui. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasululllah SAW bahwa ia adalah yang
pertama kali dicipta oleh Allah: ا ول ماخلق
الله العقل ”Hal pertama yang Allah ciptakan (dalam wujud ini) adalah al-’aql.”
Jika al-’aql di sini adalah makhluk maka tidak mungkin dia diartikan sebagai
ilmu pengetahuan. HR al-Tabrani
Dalam kenyataan sehari-hari diketahui bahwa kemampuan
akal untuk memmperoleh pengetahuan tidak berdiri sendiri dan tidak serta merta.
Akal mengetahui melalui berbagai proses kematangan. Dinamika penyerapan
pengetahuan tersebut diawali dari pengetahuan empiris melalui panca indra yang
mengalami kematangan fisiologis secara bertahap. Pada usia sekitar tujuh tahun
baru ada sarana pengetahuan rasional yakni dengan munculnya daya pembeda
(al-tamyîz) yang oleh al-Ghazali disebut sebagai tahapan lain dari wujud.
Daya ini mampu melampaui indra dan membentuk
dalil-dalil aksiomatis (pengetahuan darurîy). Beberapa tahun kemudian muncullah
daya akal yang lebih sempurna. Dengan
daya akal itu seseorang dapat mengetahui hal-hal yang wajib, jaiz dan mustahil
serta hal-hal yang terdapat pada tahapan sebelumnya. Pada fase selanjutnya
terbukalah sepasang mata batin yang mampu melihat alam ghaib dan menyaksikan
apa-apa yang terjadi pada masa lalu dan yang akan datang serta berbagai
permasalahan metafisika lainnya.
Penjelasan lebih lanjut tentang evolusi akal teoritis
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Akal
Material (Al-'Aql al-Hayulaniy).
Perkembangan akal pada fase awal ini masih berupa
potensi. Al-Farabi menyebutnya al-‘aql bi al-quwwah sebagai kondisi materi yang
siap menerima gambaran obyek rasional (ma’qûlât). Kondisi akal pada tahap ini
oleh al-Ghazali diumpamakan seperti adanya kemampuan menulis pada anak kecil
yang belum dapat menulis. Potensi menulis itu ada tapi belum aktual.
2) Akal
Habitual (Al-'Aql bi al-Malakah).
Dalam al-Qistâs al-Mustaqîm akal ini disebut dengan
gharîzah al-'aql (insting akal). Yang oleh al-Kindi disebut sebagai al-'aql bi
al-mumkin. Disebut demikian karena akal
telah dimungkinkan untuk mengetahui pengetahuan aksiomatis (al-‘ulûm al-darûriyyât)
secara reflektif. Pengetahuan inilah yang disebut sebagai pengetahuan rasional
pertama (al-ma'qûlah al-ûlâ).
3) Akal
Aktual (Al-'Aql bi al-Fi'il).
Perkembangan akal pada fase ketiga ini telah mampu
menggunakan pengetahuan pertama Akal Habitual sebagai premis mayor dalam
dialektika untuk memperoleh pengetahuan rasional kedua (al-ma'qûlah
al-tsâniyah). Kegiatan berfikir pada fase ini bukan semata-mata merupakan
aktifitas akal murni, tetapi juga
menggunakan daya al-mutakhayyilah yang ada pada jiwa sensitif. Jadi informasi
dari al-mutakhayyilah-yang berfungsi untuk menyusun dan atau memisahkan
pengetahuan- diambil kesimpulannya oleh akal tersebut.
Kegiatan berfikir pada tahap ini merupakan kegiatan
bersama antara al-mutakhayyilah dengan akal. Dalam filasafat Yunani dan Romawi
sebelum Islam, perkembangan akal pada fase ini adalah puncak dari perkembangan
akal yang tidak mungkin bias dberdayakan lebih tinggi lagi. Namun menurut para
filoosf Muslim terutama al-Farabi, hal itu masih bias dikembangkan lagi menjadi
akal mustafād.
4) Akal
Perolehan (Al-Aql al-Mustafâd).
Pada perkembangan fase terakhir ini menurut parea
filosof Muslim seperti alFarabi, Ibn Sina, al-Ghazali dan lain-lain, merupakan
bentuk pengaktifan akal hingga mampu mencapai level ladunni. Pada tingkatan ini, akal telah mempunyai
pengetahuan-pengetahuan aktual dan memiliki kesadarannya secara faktual.
Berbeda dengan aktifitas berfikir pada fase sebelumnya, di mana akal secara
aktif menciptakan bentuk-bentuk pengetahuan baru; pada tahap ini akal hanya
bersifat pasif. Pengetahuan-pengetahuan pada fase terakhir ini, telah hadir
dengan sendirinya tanpa memerlukan kegiatan berfikir.
Oleh karena itu ia disebut dengan al-mustafâd
(perolehan). Akal ini juga sering disebut dengan alaql al-qudsiy (akal suci).
Pengetahuan tersebut merupakan limpahan dari akal yang selamanya aktual yaitu
Akal Aktif. Seperti juga al-Farabi dan para filosof sebelumnya, al-Ghazali
-dalam Mi'yâr al-'Ilm- menyatakan bahwa
Akal Aktif itu adalah malaikat yang bertugas untuk memberii pengetahuan kepada
manusia.
Dalam pandangan al-Ghazali tabiat akal adalah obyektif
dan selamanya benar. Jika ia tersalah dalam kesimpulannya itu, bukan karena
fitrahnya tetapi lebih dikarenakan oleh adanya kesalahan dari perangat luar
yang dapat menghalangi cahaya kebenaran seperti kesalahan indra dalam menyerap
empiris, adanya hayalan (wahm). Ketika akal terbebas dari kabut hayalan, ia
akan dapat melihat segala sesuatu secara obyektif sebagaimana adanya. Oleh
karena itu al-Ghazali menjadikan akal tersebut sebagai standar (mizân) bagi
kebenaran dalam setiap kondisi.
Namun demikian menurut al-Ghazali tabiat akal itu
tidak mampu untuk mengetahui kebenaran dalam permasalahan ghaib. Oleh karena
itu akal semestinya "diam" dan menerima pengetahuan yang disampaikan
oleh intuisi. Dalam al-Maqsûd al-Asnâ sebagaimana dikutip oleh Qasim, ia
mengatakan bahwa seluruh ilmuwan menyadari bahwasanya akal tidak dapat
menunjukkan kejadian setelah mati, tidak
mampu menguraikan bahayanya maksiat dan manfaatnya taat, baik secara
terinci maupun global. Bahkan mereka sepakat bahwa seseorang tidak akan mampu
mencapai alam ghaib kecuali hanya dengan cahaya kenabian yang merupakan daya di
luar akal. Dengan nûr itulah diungkap permasalahan ghaib masa lalu dan yang
akan datang, bukan dengan cara menyelidiki sebab-sebab rasional.
Jadi, menurut al-Ghazali tingkatan kebenaran tertinggi
adalah tingkatan basîrah yang sempurna yang ada pada para rasul dan nabi,
disusul para ahli musyâhadah dan dzauq. Tingkat di bawahnya adalah tingkatan
rasional ‘kemudian tingkatan tamyîz (daya pembeda) dan tingkat terendah adalah
tingkatan indrawi.
Penjelasan ini menunjukkan transformasi
intelektualitas manusia bergerak dari potensial menuju kemampuan sederhana
hingga mencapai tingkat kemampuan yang lebih kompleks. Secara global dapat dikatakan bahwa
pengetahuan itu diawali dari pengetahuan empirik kepada pengetahuan rasional
dan selanjutnya kepada kemampuan intuitif. al-khârij), maka untuk menjangkau
fenomena rasional ia dibekali otak yang merupakan indra dalam (al-mudrikah min
al-dâkhil). Adapun pengetahuan intuitif Jika untuk menjangkau fakta empirik
manusia telah dilengkapi panca indra (al-mudrikah min / hudûri merupakan
pemberian dari Allah untuk hati yang telah mencapai kadar kesucian dan kekuatan
isti`ânah tertentu tanpa perantara antara dirinya dan Allah.
Inilah ilham, sedangkan wahyu adalah proses penerimaan
nûr ilahi yang mempersyaratkan kesempurnaan dan kebersihan jiwa dari kesalahan,
terputus dari syahwat duniawi, dan penyerahan diri seutuhnya kepada Allah. Hal
inilah yang membuahkan kejernihan batin dan kesiapan jiwa untuk menerima
pancaran nûr ilahi dan seluruh ilmu tergambar di dalamnya. Pengetahuan manusia yang bersifat indrawi dan
rasional adalah pengetahuan terbatas dan tidak dapat mengaitkan diri dengan
alam ghaib.
Adapun pengetahuan rabbaniyah (ladunni) merupakan
satu-satunya pengetahuan yang mengaitkan –secara langsung- antara manusia
dengan Allah. Pengetahuan inilah yang dapat menimbulkan ketenangan, kebahagiaan
dan kenikmatan pengetahuan hakiki.
5) Al-Qalb
Sebagaimana al-nafs, al-‘aql dan al-rûh, kata al-qalb
oleh al-Ghazali dibedakan atas dua makna yakni: pertama, Daging berbentuk buah
sanaubar yang terletak di dada sebelah kiri yaitu daging khusus yang di
dalamnya ada lubang, dan di dalam lubang itu ada darah hitam yang merupakan
sumber ruh (dalam arti jiwa sensitif-pen.) dan tambangnya (pembuluh darah
pen.).
Hati dalam makna ini ada pada binatang bahkan ada pada
mayat dan karena ia hanyalah sepotong daging yang tidak ada kemulyaannya dan
termasuk alam materi (‘alam al-mulki wa al-syahâdah) karena binatang dapat
mengetahuinya dengan indra penglihatannya, lebih-lebih manusia. Makna kedua, Al-qalb adalah sesuatu yang
halus, bersifat ketuhanan (rabbâniyah), bersifat ruhani dan berkaitan dengan
hati jasmani.
Hati ini adalah hakikat manusia. Dialah yang menyerap,
mengetahui, mengenal dari manusia, yang diajak bicara (oleh Allah), yang
disiksa, yang dicela dan yang dituntut. Kaitannya dengan hati jasmani itu
seperti kaitan perangai yang baik dengan tubuh dan sifat-sifat dengan yang
disifati, atau kaitannya pemakai alat dengan alatnya atau seperti orang yang
menempati suatu tempat dengan tempatnya.
Al-qalb dalam makna hakiki ini berkaitan dengan hati
jasmaniyah. Kaitan itu seperti kaitan sifat dengan yang disifati, atau seperti
kaitan alat dengan pemakainya, atau seperti kaitan tempat dengan yang
menempatinya. Kelihatannya ada dua hal yang menghambat al-Ghazali untuk
menjelaskan lebih lanjut tentang persoalan hakikat al-qalb ini yaitu:
Pertama,
karena ini termasuk persoalan ilmu mukasyafah yang bukan menjadi tujuan
pembicaraan ilmu muamalah.
Kedua,
karena persoalan pengungkapan hakikat ruh tidak dibicarakan oleh
Rasulullah.
Karenanya pembahasan tentang al-qalb ini lebih pada
persoalan sifat dan keadaannya saja.
Mirip penjelasan al-Ghazali, al-’ârif billâh Ibn ’Ajibah al-Hasani-pen-syarakh
Hikam- menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nafs, aql, rûh, dan sirri adalah
hal yang satu. Perbedaan sebutan itu kalau menurutnya lebih karena perbedaan
capaian dan pemahaman. Adapun yang capaiannya syahwat itu disebut nafs, yang
capaiannya hukum-hukum syariat disebut
’aql, sedangkan yang capaiannya penampakan keagungan Allah (tajalliyât) disebut
ruh.
Adapun yang capaiannya hakikat sesuatu disebut sirri.
Semua itu menurut Ibn ’Ajibah, menempati tempat yang satu. Sedikit berbeda
dengan Ibn ’Ajibah, secara fungsional Imam Qusyairi menjelaskan bahwa sirr
adalah tempat penyaksian keagungan Allah (musyahadah), ruh tempat cinta
ilahiyah (mahabbah), dan qalb adalah tempat mengenal Allah (ma’rifat).
Adanya perbedaan analisis para sufi ini –meskipun
tipis- menunjukkan bahwa persoalan hakikat daya ruhani merupakan persoalan yang
sangat halus. Namun demikian mereka sepakat bahwa hakikat dari semua daya itu
adalah satu. Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa nafsu adalah tempat
syahwat dan ghadab. Aql tempat segala yang rasional dan qalb adalah tempat
ma’rifat.
SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar