SIFAT TERPUJI DI DALAM AL-QUR’AN
A.
Konsep Ikhlas,
Murah Hati Dan Toleransi
1.
IKHLAS
Salah satu
contoh sifat terpuji yang telah termaktub dalam al Qur’an ialah sifat ikhlas.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ikhlas dapat diartikan sebagai
hati yang bersih atau hati yang tulus. Ikhlas merupakan sebuah pangkal dan
puncak dari segala tujuan. Dalam kata ikhlas terdapat sebuah kondisi di mana
seseorang dapat mengosongkan diri dari berbagai kehendak dan keinginan yang
dimiliki serta mengabaikan segala amal yang telah dilakukan. Lebih lanjut
dikatakan, bahwa ikhlas menurut bahasa ialah bersih dari kotoran. Sehingga
seorang yang memiliki keikhlasan ialah orang yang benar-benar menyembah hanya
kepada Allah semata dengan tanpa menyekutukan-Nya.
2.
MURAH HATI
Dalam kamus
besar bahasa Indonesia murah hati adalah suka (mudah) memberi; tidak pelit;
penyayang dan pengasih; suka menolong; baik hatikebaikan hati; sifat kasih dan
sayang; kedermawanan. Sifat hati yang mulia dan hangat berupa kesdiaan untuk
mendatangkan kebaikan bagi orang lain dengan memberi secara limpah, dengan
tangan terbuka, tanpa ditahan-tahan.
3.
TOLERANSI
Toleransi secara
bahasa berasal dari Bahasa Inggris “Tolerance” yang berarti membiarkan. Dalam
Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat atau sikap toleran, mendiamkan
membiarkan. Dalam bahasa Arab kata toleransi (mengutip kamus Al-Munawir disebut
dengan istilah tasamuh yang berarti sikap membiarkan atau lapang dada). Badawi
mengatakan, tasamuh (toleransi) adalah pendirian atau sikap yang
termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan
pendirian yang beraneka ragam meskipun tidak sependapat.
Toleransi
menurut istilah berarti menghargai, membolehkan membiarkan pendirian, pendapat,
kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang lain atau yang
bertentangan dengan pendiriannya sendiri.
B.
Menganalisis
Penafsiran Ayat-Ayat Tentang Ikhlas, Murah Hati Dan Toleransi
1.
IKHLAS
Berkenaan dengan
pentingnya pemupukan sifat ikhlas tersebut, Allah telah bersabda dalam beberapa
firman-Nya, salah satunya ialah : Surah Ghafir (QS.40: 14).
Kajian Tafsirnya :
a.
Tafsir Jalalain
Berdasarkan
tafsir Jalalain, disebutka bahwa maksud dari memurnikan (mengikhlaskan) ibadah
kepada-Nya ialah memurnikan agama Allah dari segala macam kemusyrikan, meskipun
orang-orang kafir tidak menyukai keikhlasan ibadah kalian kepada Allah SWT.
b.
Tafsir Ibnu Katsir
Dalam kitab
tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwasanya Allah telah memerintahkan kepada
manusia untuk memurnikan (mengikhlaskan) penyembahan dan doanya hanya kepada
Allah meskipun orang-orang kafir maupun orang-orang musyrik memiliki pendapat
yang berbeda mengenai hal ini. Penjelasan ini kemudian diperkuat dengan adanya
beberapa hadits yang relevan, diantaranya ialah yang di riwayatkan oleh Imam
Ahmad.
Berdasarkan
beberapa penafsiran di atas, dapat difahami bahwa islam telah mengajarkan
konsep keikhlasan melalui firman Allah yang menjelaskan tentang pentingnya
kemurnian hati, niat dan amalan hanya mengharap ridla Allah SWT. Dengan
hadirnya keikhlasan dalam menjalankan setiap amalan, maka seorang tidak akan
lagi menghiraukan apapun yang mungkin akan mempengaruhi keikhlasannya tersebut,
seperti tanggapan, komentar mapun tindakan orang lain yang mungkin tidak
menyukainya.
Berikutnya juga
dalam Al-Qur’an Surat Az Zumar Ayat 11, kajian
tafsirnya sebagai berikut :
1)
Tafsir Jalalain
Dalam tafsir
Jalalain, dijelaskan bahwa penafsiran dari memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama ialah murni dari perbuatan syirik.
2)
Tafsir Al Mishbah
Dalam tafsir
yang ditulis oleh Quraish Shihab tersebut dijelaskan bahwa penafsiran ayat di
atas ialah sebuah perintah untuk mengatakan “aku diperintahkan untuk meyembah
Allah dengan penuh ikhlas dan tulus murni, tanpa ada kesyirikan dan riya’ atau
pamrih”
3)
Tafsir Ibnu Katsir
Dalam tafsir
ibnu katsir, dijelaskan bahwa pemaknaan atau penafsiran atas ayat di atas ialah
sebuah perintah untuk mengatakan bahwa “sesungguhnya aku hanya diperintahkan
untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya”
Berdasarkan penjelasan beberapa tafsir di atas, dapat difahami betapa
pentingnya esensi keikhlasan dalam beribadah. Manusia sebagai hamba yang
berkewajiban untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah, hendaknya dapat
melaksanakan kewajiban tersebut dengan penuh kesadaran dan kemurnian hati.
Sehingga ibadah dan amalan dapat diterima oleh Allah SWT.
2.
MURAH HATI
Hadis yang diriwayatkan
oleh An-Nasai, Al-Hakim, Al-Bazzar, Ath-Thabrani dan lain-lain, yang bersumber
dari Ibnu Abbas. Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa Nabi Saw melarang
umatnya bersedekah kecuali untuk kaum Muslimin. Setelah itu turunlah ayat ini
yang beliau diperintahkan Allah Swt untuk memberi sedekah kepada orang yang
beragama apapun, yang datang meminta kepadanya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas), sebgaimana dalam Surah Fushishilat ayat
46 yang artinya: “Barangsiapa yang
mengerjakan amal yang shalih, maka [pahalanya] untuk dirinya sendiri”.
Al-Hasari
AlBashri mengatakan, “Yaitu nafkah yang diberikan orang mukmin untuk dirinya
sendiri. Dan seorang mukmin tidak menafkahkan hartanya melainkan dalam rangka
mencari keridhaan Allah Ta’ala. Atha’ Al-Khurasani mengatakan: “Yakni, jika
engkau memberikan sesuatu karena mencari keridhaan Allah Swt, maka pahala amal
itu bukanlah urusanmu.” Ini merupakan makna yang bagus. Maksudnya adalah bahwa
jika seseorang bersedekah dalam rangka mencari keridhaan Allah Ta’ala, maka
pahalanya terserah pada-Nya, dan tidak ada masalah baginya, apakah sedekah itu
diterima oleh orang yang baik atau orang yang jahat, orang yang berhak menerima
maupun orang yang tidak berhak menerima. Orang yang bersedekah ini tetap mendapatkan
pahala atas niatnya.
Juga berdasarkan
sebuah hadis pada shaheh Al-Bukhari nomor 1421 dan Muslim nomor 1022). Sayyid
Quthub dalam tafsirnya fi Zilalil Qur’an menjelaskan bahwa kita memperhatikan
juga dalam konteks ayat ini tentang keadaan orang-orang mukmin ketika
menafkahkan hartanya, jangan kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena
mencari keridhaan Allah. Inilah keadaan orang-orang mukmin, bukan yang lainnya.
Dia tidak menginfakkan hartanya melainkan mencari keridhaan Allah, bukan karena
mengikuti hawa nafsu dan bukan pula karena tujuan-tujuan lain.
3.
TOLERANSI
QS. Al-Kafiruun
1-2 yang artinya : “Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan
beribadah kepada apa yang kamu ibadahi,” (hingga akhir). (QS. Al-Kafiruun:
1-2).
Dalam kitab tafsir Jalalain dijelaskan
sebagai berikut: “(Untuk kalianlah agama kalian) yaitu agama kemusyrikan (dan
untukkulah agamaku") yakni agama Islam. Ayat ini diturunkan sebelum Nabi
saw. diperintahkan untuk memerangi mereka. Ya’ Idhafah yang terdapat pada lafal
ini tidak disebutkan oleh ahli qiraat sab'ah, baik dalam keadaan Waqaf atau pun
Washal. Akan tetapi Imam Ya'qub menyebutkannya dalam kedua kondisi tersebut.”
Adapun menurut
Quraish Shihab dalam Tafsirnya, ia menjelaskan makna dari ayat tersebut ialah ”
Bagi kalian agama kalian yang kalian yakini, dan bagiku agamaku yang Allah
perkenankan untukku.” Adapun asbabun nuzul surat Al kafirun ialah adanya kaum
kafir Quraisy berusaha keras membujuk dan mempengaruhi Rasulullah saw. untuk
mengikuti ajaran mereka. Kaum kafir Quraish menawarkan harta yang melimpah
sehingga Rasulullah dapat menjadi orang terkaya di Makkah. Selain itu,
Rasulullah juga dijanjikan hendak dikawinkan dengan wanita paling cantik, baik
yang gadis maupun yang sudah janda, sesuai kehendak beliau.
Dalam upaya ini,
kaum kafir Quraish mengatakan, “Inilah wahai Muhammad yang kami sediakan
untukmu, agar kamu tidak memaki dan menghina tuhan kami dalam satu tahun!”
Rasulullahpun menjawab, “Saat ini, aku belum bisa menjawab. Aku akan menunggu
wahyu dari Allah Tuhanku lebih dahulu.”. karena terjadinya peristiwa ini, maka
Allah Subhanahu wata’ala menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW berupa surah Al-Kafirun. Melalui wahyu ini,
Allah menunjukkan Rasulullah untuk menolak tawaran mereka. (HR. Thabrani dan
Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa
orang-orang kafir Quraisy mengajukan tawaran kepada Rasulullah SAW, “Wahai
Muhammad, sekiranya kamu tidak keberatan mengikuti agama kami selama satu
tahun, maka kami akan berbalik mengikuti agamamu selama satu tahun pula.”
Beradasarkan peristiwa inipun kemudian Allah SWT memerintahkan malaikat Jibril
untuk menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW, yaitu surah Al-Kafirun sebagai
petunjuk jawaban yang harus diberikan Rasulullah. Selanjutnya Rasulullah Saw menyampaikan jawaban berdasarkan wahyu Allah
tersebut secara terangterangan dengan kalimat: “selamanya tidak akan bertemu
dalam satu titik agama kufur dengan agama Islam yang hak”. (HR. Abdurrazak dari
Wahbin. Dan Ibnu Mundzir meriwayatkan bersumber dari Juraij).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar