a. Hukum Pernikahan Monogami dan Poligami
Dalam
kamus bahasa Indonesia, monogami berarti sistem yang memperbolehkan seorang
laki-laki mempunyai satu isteri pada jangka waktu tertentu. Dari ta’rif
tersebut dapat dipahami bahwa seorang suami yang beristerikan satu isteri saja
tidak dua atau tiga maka suami itu
menganut monogami. Azas monogami telah
ditetapkan oleh Islam sejak lima belas abad yang lalu sebagai salah satu asas
perkawinan dalam Islam.
Tujuannya
untuk memberikan landasan dan modal
utama dalam pembinaan kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan
bahagia. Oleh karena itu hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami.
Hakum ini sangatlah beralasan karena dengan monogami tujuan pernikahan untuk
menghantarkan keluarga bahagia akan lebih mudah
karena tidak terlalu banyak beban.
Selain dengan bermonogami juga akan lebih mudah untuk menetralisir dan
meredam sifat cemburu, iri hati dan perasaan mengeluh dalam kehidupan isteri sehari-hari. Islam
memerintahkan kepada laki-laki untuk nikah dengan seorang perempuan yang
dicintainya.
Bagi
laki-laki, selayaknya selayaknya sikap monogami ini. Jika tidak ada alasan yang
dapat dibenarkan untuk beristeri lebih dari satu, seperti si isteri
ternyata mandul, sekali lagi pada
asalnya hukum Islam menetapkan kepada laki-laki untuk beristeri satu saja.
Isyarat al-Qur’an untuk bermonogami bagi laki-laki dapat kita pahami dari
berbagai ayat al-Qur’an yang memerintahkan kepada laki-laki untuk menikah jika
sudah mampu, sikap membujang
berkepanjangan tanpa alasan adalah sikap yang tidak dibenarka karena dalam nikah banyak terdapat kebaikan.
Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’an antara lain:
Artinya:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) Lagi Maha Mengetahui”. (QS.
AnNur 32)
Hukum
dalam Islam tidak terlepas dari illatnya. Asal perintah monogami dalam
pernikahan dapat berubah menjadi perintah berpoligami jika benar-benar
ditemukan illat yang dapat dibenarkan.
Maka permasalahan baru setelah Islam
membolehkan monogomi adalah persoalan poligami. Namun sebelum lebih jauh
membahas tentang hukum poligami nampaknya perlu diluruskan terlebih dahulu pemakaian
istilah poligami.
Jika
merujuk kepada makna seorang suami beristeri lebih dari satu sebenarnya istilah
poligami yang sudah populer di masyarakat tidak tepat untuk istilah itu.
Karena
poligami dalam kamus bahasa bisa juga berarti di samping suami punya istri
lebih dari satu juga isteri punya suami lebih dari satu.
Maka secara kebahasaan
yang lebih tepat adalah poligini yang dalam kamus bahasa Indonesia diartikan
sebagai “Sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa
wanita sebagai isterinya di waktu yang bersamaan”.
Namun
dalam tulisan ini, selanjutnya penulis cenderung untuk menggunakan istilah
poligami untuk pembahasan dimaksud, yaitu poligami yang bermakna pologini
(suami beristeri lebih dari satu) karena selain bisa dibenarkan secara
kebahasaan juga istilah tersebut sudah populer penyebutnya di masyarakat untuk lakilaki yang beristeri lebih dari
satu.
Memasuki
tulisannya tentang hukum kebolehan poligami, Yusuf Qardhawi menulis, bahwa
Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia, mengakui fakta yang
dapat membimbing dan manjauhkan manusia dari perbuatan dungu.
Inilah kenyataan
yang “memaksa” Islam membolehkan poligami. Sebelum Islam datang, agama-agama
terdahulu telah membolehkan praktek poligami sampai seratus isteri tanpa
terikat oleh syarat dan aturan. Itulah kultur yang terjadi di masyarakat
dahulu.
Islam
datang tidak menghapus secara serta merta sistem poligami “Jahiliyah”, yang
sudah mendarah daging namun membangun aturan poligam penerapan pembatasan
jumlah istri tidak boleh lebih dari empat di samping adanya syarat-syarat lain
yang berhubungan dengan keadilan.
Tercatat dalam sejarah bahwa seorang sahabat
bernama Ghailan al-Tsaqafi, ketika ia masuk Islam beristerikan sepuluh orang.
Lalu Nabi berkata kepadanya “pilih empat dan sisanya ceraikan”. Lalu banyak
orang bertanya, bagaimana dengan Rasulullah yang punya isteri lebih dari empat.
Ini adalah sebuah keistimewaan dari Allah karena keperluan da’wah Rosul dan
kebutuhan kehadiran para istri Nabi setelah wafat Nabi.
b. Kebolehan Berpoligami
Di
masyarakat seperti sekarang ini, sikap berpoligami bagi sebagian laki-laki
seakan menjadi sesuatu yang dianggap mudah untuk dilakukan karena hanya semata
mengikuti nafsu biologis dan tidak mengikuti aturan yang sebenranya. Memang Pada asalnya hukum poligami itu diperbolehkan
jika seseorang suami tidak dikhawatirkan berbuat zhalim terhadap
isteriisterinya.
Jika
dipastikan akan berlaku zhalim, maka seorang suami lebih baik untuk beristeri
satu saja. Islam diperuntukan untuk semua
jenis dan golongan manusia serta memelihara kepentingan dan kemashlahatan yang
bersifat pribadi dan umum.
Nampaknya kebolehan
poligami karena untuk mewujudkan
kemashlahatan bagi manusia agar tidak berlaku zina dan tidak terjatuh ke dalam pintu kemaksiatan.
Dengan
kata lain menurut Mahmud Syaltut, bahwa pada asalnya Islam memerintahkan
laki-laki untuk beristeri satu, boleh beristeri lebih dari satu jika dipandang
darurat.
Apa yang dimaksud dengan darurat tersebut? Menurut Yusuf Qardhawi, kondisi darurat yang dengannya seorang
laki-laki dibolehkan berpoligami adalah
sebagai berikut:
1) Ditemukan seorang suami yang
menginginkan keturunan, akan tetapi
ternyata isterinya tidak dapat
melahirkan anak disebabkan karena mandul atau penyakit.
2) Di antara suami ada yang memiliki
overseks, akan tetapi isterinya memiliki kelemahan seks, memiliki penyakit atau
masa haidhnya terlalu panjang sedangkan suaminya tidak sabar menghadapi
kelemahan isterinya tersebut.
3) Jumlah wanita lebih banyak dibanding
jumlah laki-laki, khususnya setelah terjadi peperangan. Di situ terdapat
kemashlahatan yang harus didapat oleh sebuah masyarakat dan para wanita yang
tidak menginginkan hidup tanpa suami dan keinginan hidup tenang, cinta dan
terlindungi serta menikmati sifat keibuan.
Namun
permasalahan yang harus dihadapi bahwa kebolehan seorang suami untuk beristeri
lebih dari satu bukan hanya dikarenakan kondisi mendesak sebagaimana tersebut
di atas. Katakanlah itu adalah pasal yang harus dimililiki oleh seorang suami
sebelum berpoligami.
Namun ada pasal penting lainnya yang wajib dipenuhi
setelah poligami itu terealisasi yaitu seorang suami harus berlaku adil dalam memberikan nafkah.
Kewajiban
bagi seorang suami untuk berlaku adil dalam memberikan nafkah terhadap
isteri-isterinya adalah konsekuansi dari tindakan berpoligami dalam Islam.
Sikap adil dimaksud berarti seorang
suami dapat memenuhi hak kewajibannya terhadap isteri-isterinya secara
proporsional sesuai dengan kebutuhan secara wajar. Nafkah itu
ada yang bersifat lahiriyah, yaitu nafkah yang bersifat materi dan ada
yang bersifat batiniyah (immateri).
Sehubungan
dengan pembagian nafkah tersebut maka keadilanpun terbagi mejadi dua yaitu
keadilan dalam memberikan nafkah lahiriyah dan keadilan dalam memberikan nafkah
batiniyah. Pada keadilan bentuk pertama, seorang suami dituntut untuk berlaku
adil terhadap isteri-isterinya dalam memberikan makan, minum, pakaian, rumah,
serta waktu giliran.
Pemenuhan
rasa keadilan bentuk pertama ini sangat mungkin dapat dilakukan oleh seorang
suami terhadap istrei-isterinya. Maka
jika seorang suami tidak dapat berlaku adil dalam nafkah lahir ini yang
mengakibatkan isteri-isteri terzalimi, maka haram bagi laki-laki untuk
berpoligami. Allah swt berfirman dalam al-Qur’an surat alNisa ayat 3:
Artinya:
“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Rasulullah
bersabda:
Artinya:
“Siapa yang memilki dua orang isteri tapi ia lebih berpihak kepada salah
satunya, maka pada hari qiamat ia berjalan dalam keadaan menarik salah satu
pundaknya (miring).” (HR. Abu Daud)
Yang
dianggap perbuatan menzalimi dalam Hadits di atas adalah ketidak-adilan seorang
suami dalam memenuhi hak-hak isteri yang dipandang kuasa bagi suami untuk
memenuhinya seperti nafkah lahir dan waktu gilir.
Terkait
dengan keadilan bentuk kedua yakni keadilan yang bersifat batin :
kecenderungan
hati/cinta. Usaha untuk berlaku adil dalam membagi cinta kepada isteri-isteri
inilah yang sesungguhnya sangat berat bagi seorang suami.
Dan hal ini sudah
bisa dipastikan tidak dapat dilakukan oleh suami untuk berlaku adil sebagaimana
diisyaratkan oleh al-Qur’an:
Artinya:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri
(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisa:129)
Kalau seandainya keadilan membagi cinta ini
menjadi syarat yang mutlak bagi seorang suami, maka tertutup hukum
kebolehan bagi seorang suami untuk
berpoligami meskipun sudah berada pada
kondisi yang darurat.
Oleh karena sulitnya beralaku adil dalam membagi cinta, maka Menurut Yusuf Qardhawi
ini adalah keadilan yang dimaafkan dan diberikan toleransi, namun tidak
termaafkan untuk nafkah lahir.
Dijelaskan
dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah adalah orang yang selalu berusaha untuk
berlaku adil sampai kepada masalah bepergian dan untuk memenuhi rasa keadilan
tersebut, Rasulullah mengundi di antara
isteri-isterinya.
Bagi yang keluar undiannya, maka dialah yang menjadi teman
pergi Rasulullah, hal ini dilakukan oleh Rasulullah supaya tidak melukai perasaan
dan meminta kerelaan dari isteri-isteri yang tidak pergi bersama Rosul.
c. Hikmah dari Poligami
Berpoligamim
bagi sebagian orang terkadang tidak terlalu sulit untuk dilakukan.
Permasalahannya adalah tidak mudah untuk berlaku adil dalam memenuhi sesuatu
yang menjadi hak para isteri.
Terlihat,
banyak suami yang beristeri lebih dari satu tapi sebenarnya mereka tidak mampu
untuk memberikan nafkah. Motif mereka berpoligami bukan karena masalah darurat,
tapi karena ingin memperturutkan hawa nafsu seksual.
Kalaupun
mereka mampu memberikan nafkah namun terkadang perlakuan suami kepada
isteri-isterinya banyak berlaku tidak adil dalam pemenuhan kebutuhan seperti
makan, pakaian, tempat tinggal, dan waktu bergilir.
Oleh
karena itu, alasan kebolehan berpoligami bagi sang suami dikarenakan terdapat
kondisi darurat dan syarat beraku
adil terdapat hikmah di dalamnya yang
Menurut Rasyid Ridh sedikitya
terdapat empat hikmah.
1) Untuk mendapatkan anak bagi suami yang
subur dan isteri yang mandul.
2) Menjaga keutuhan keluarga tanpa harus
mencerai isteri pertama meski ia tidak berfungsi semestinya sebagai isteri
karena cacat fisik dan sebagainya.
3) Untuk menyelamatkan suami yang
hiperseks dari perbuatan free sex. Tercatat di beberapa negara Barat yang
melarang poligami mengakibatkan merajalelanya praktek prostitusi dan free sex
(kumpul kebo) dan lahirnya anak-zina
yang mencapai jumlah cukup tinggi.
4) Menyelamatkan harkat dan martabat
wanita dari krisis akhlak (melacur), terutama bagi mereka yang tinggal di
negara yang jumlah wanitanya lebih banyak dibanding laki-laki akibat peperangan misalnya.
Sedangkan
hikmah kebolehan Rasulullah beristeri lebih dari empat bukanlah karena dorongan
hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum orientalis, tapi mengandung
hikmah yang besar, yaitu kepentingan dakwah Islam sebagaimana dikemukakan oleh
Abbas Mahmud al-Aqqad sebagai berikut:
a) Untuk kepentingan pendidikan dan
pengajaran agama. Semua isteri Nabi yang berjumlah sembilan dapat dijadikan
sumber informasi bagi umat Islam yang
hendak mengetahui ajaran-ajaran Nabi dan praktek kehidupan beliau dalam
berkeluarga, bermasyarakat, terutama masalah rumah tangga.
b) Untuk kepentingan politik, yaitu
mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan sekaligus menarik mereka masuk Islam.
Seperti perkawinan Nabi dengan Juwairiyah putri al-Harist kepala suku bani
al-Musthaliq dan Shafiyah, seorang tokoh dari Bani Quiraizhah dan Bani
al-Nadhir.
c) Untuk kepentingan sosial dan
kamanusiaan. Seperti perkawinan beliau dengan janda dermawan bernama Khadijah dan janda pahlawan
Islam seperti Saudah binti Zuma’ah (suaminya meninggal setelah kembali dari
hijrah ke Abesenia), Hafsah binti Umar (suaminya gugur pada perang badar),
Hindun Ummu Salamah (suaminya gugur di perang Uhud).
Seandainya
saja motif Rosul untuk nikah lebih dari satu karena dorongan sex, mungkin yang
wanita yang dinikahi adalah gadis-gadis
cantik bangsa Arab.
Tapi hal itu sama sekali tidak dilakukan oleh
Rasulullah tapi justru dengan Siti khadijah yang umurnya lebih tua 15 tahun
dibandingkan umur beliau.
Demikian
dengan isteri-isteri beliau yang lain,
semuanya dinikahi bukan karena
tuntutan nafsu , tapi bermotif dakwah
yang ternyata motif tersebut dapat membantu keberhasilan tugas beliiau sebagai
utusann Allah.
Dengan demikian, pada pernikahan Rasul terdapat hikmah yang
tinggi yang bernilai dakwah, pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Argumentasi
logis sepertitelah tersebut dapat
meruntuhkan segala tuduhan negatif yang
dilontarkan oleh kaum orientalis terhadap kebolehan rasul bersiteri lebih dari
satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar