Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Jumat, 12 Juli 2019

SEKILAS TENTANG POLIGAMI/ BERISTRI LEBIH DARI SATU




a.  Hukum Pernikahan Monogami dan Poligami 

Dalam kamus bahasa Indonesia, monogami berarti sistem yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu isteri pada jangka waktu tertentu. Dari ta’rif tersebut dapat dipahami bahwa seorang suami yang beristerikan satu isteri saja tidak dua atau tiga  maka suami itu menganut monogami.  Azas monogami telah ditetapkan oleh Islam sejak lima belas abad yang lalu sebagai salah satu asas perkawinan dalam Islam.

Tujuannya untuk memberikan  landasan dan modal utama dalam pembinaan kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Oleh karena itu hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami. Hakum ini sangatlah beralasan karena dengan monogami tujuan pernikahan untuk menghantarkan keluarga bahagia akan lebih mudah  karena tidak terlalu banyak beban. 

Selain dengan bermonogami  juga akan lebih mudah untuk menetralisir dan meredam sifat cemburu, iri hati dan perasaan mengeluh  dalam kehidupan isteri sehari-hari. Islam memerintahkan kepada laki-laki untuk nikah dengan seorang perempuan yang dicintainya.

Bagi laki-laki, selayaknya selayaknya sikap monogami ini. Jika tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk beristeri lebih dari satu, seperti si isteri ternyata  mandul, sekali lagi pada asalnya hukum Islam menetapkan kepada laki-laki untuk beristeri satu saja. 

Isyarat al-Qur’an  untuk bermonogami  bagi laki-laki dapat kita pahami dari berbagai ayat al-Qur’an yang memerintahkan kepada laki-laki untuk menikah jika sudah mampu,  sikap membujang berkepanjangan tanpa alasan adalah sikap yang tidak dibenarka  karena dalam nikah banyak terdapat kebaikan. Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’an antara lain:






Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) Lagi Maha Mengetahui”. (QS. AnNur 32)

Hukum dalam Islam tidak terlepas dari illatnya. Asal perintah monogami dalam pernikahan dapat berubah menjadi perintah berpoligami jika benar-benar ditemukan illat yang dapat dibenarkan. 

Maka permasalahan baru setelah Islam membolehkan monogomi adalah persoalan poligami. Namun sebelum lebih jauh membahas tentang hukum poligami nampaknya perlu diluruskan terlebih dahulu pemakaian istilah poligami.

Jika merujuk kepada makna seorang suami beristeri lebih dari satu sebenarnya istilah poligami yang sudah populer di masyarakat tidak tepat untuk istilah itu. 

Karena poligami dalam kamus bahasa bisa juga berarti di samping suami punya istri lebih dari satu juga isteri punya suami lebih dari satu. 

Maka secara kebahasaan yang lebih tepat adalah poligini yang dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai “Sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai isterinya di waktu yang bersamaan”.

Namun dalam tulisan ini, selanjutnya penulis cenderung untuk menggunakan istilah poligami untuk pembahasan dimaksud, yaitu poligami yang bermakna pologini (suami beristeri lebih dari satu) karena selain bisa dibenarkan secara kebahasaan juga istilah tersebut sudah populer penyebutnya di masyarakat  untuk lakilaki yang beristeri lebih dari satu. 

Memasuki tulisannya tentang hukum kebolehan poligami, Yusuf Qardhawi menulis, bahwa Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia, mengakui fakta yang dapat membimbing dan manjauhkan manusia dari perbuatan dungu. 

Inilah kenyataan yang “memaksa” Islam membolehkan poligami. Sebelum Islam datang, agama-agama terdahulu telah membolehkan praktek poligami sampai seratus isteri tanpa terikat oleh syarat dan aturan. Itulah kultur yang terjadi di masyarakat dahulu.

Islam datang tidak menghapus secara serta merta sistem poligami “Jahiliyah”, yang sudah mendarah daging namun membangun aturan poligam penerapan pembatasan jumlah istri tidak boleh lebih dari empat di samping adanya syarat-syarat lain yang berhubungan dengan keadilan. 

Tercatat dalam sejarah bahwa seorang sahabat bernama Ghailan al-Tsaqafi, ketika ia masuk Islam beristerikan sepuluh orang. Lalu Nabi berkata kepadanya “pilih empat dan sisanya ceraikan”. Lalu banyak orang bertanya, bagaimana dengan Rasulullah yang punya isteri lebih dari empat. Ini adalah sebuah keistimewaan dari Allah karena keperluan da’wah Rosul dan kebutuhan kehadiran para istri Nabi setelah wafat Nabi.
 
b.  Kebolehan Berpoligami

Di masyarakat seperti sekarang ini, sikap berpoligami bagi sebagian laki-laki seakan menjadi sesuatu yang dianggap mudah untuk dilakukan karena hanya semata mengikuti nafsu biologis dan tidak mengikuti aturan yang sebenranya. Memang  Pada asalnya hukum poligami itu diperbolehkan jika seseorang suami tidak dikhawatirkan berbuat zhalim terhadap isteriisterinya.

Jika dipastikan akan berlaku zhalim, maka seorang suami lebih baik untuk beristeri satu saja.  Islam diperuntukan untuk semua jenis dan golongan manusia serta memelihara kepentingan dan kemashlahatan yang bersifat pribadi dan umum. 

Nampaknya kebolehan  poligami karena untuk mewujudkan  kemashlahatan bagi manusia agar tidak berlaku zina  dan tidak terjatuh ke dalam pintu kemaksiatan.

Dengan kata lain menurut Mahmud Syaltut, bahwa pada asalnya Islam memerintahkan laki-laki untuk beristeri satu, boleh beristeri lebih dari satu jika dipandang darurat. 

Apa yang dimaksud dengan darurat tersebut? Menurut Yusuf Qardhawi,  kondisi darurat yang dengannya seorang laki-laki dibolehkan berpoligami  adalah sebagai berikut: 

1)  Ditemukan seorang suami yang menginginkan keturunan, akan tetapi  ternyata isterinya  tidak dapat melahirkan anak disebabkan karena mandul atau penyakit.

2)  Di antara suami ada yang memiliki overseks, akan tetapi isterinya memiliki kelemahan seks, memiliki penyakit atau masa haidhnya terlalu panjang sedangkan suaminya tidak sabar menghadapi kelemahan isterinya tersebut.

3)  Jumlah wanita lebih banyak dibanding jumlah laki-laki, khususnya setelah terjadi peperangan. Di situ terdapat kemashlahatan yang harus didapat oleh sebuah masyarakat dan para wanita yang tidak menginginkan hidup tanpa suami dan keinginan hidup tenang, cinta dan terlindungi serta menikmati sifat keibuan.

Namun permasalahan yang harus dihadapi bahwa kebolehan seorang suami untuk beristeri lebih dari satu bukan hanya dikarenakan kondisi mendesak sebagaimana tersebut di atas. Katakanlah itu adalah pasal yang harus dimililiki oleh seorang suami sebelum berpoligami. 

Namun ada pasal penting lainnya yang wajib dipenuhi setelah poligami itu terealisasi yaitu seorang suami harus  berlaku adil dalam memberikan nafkah.

Kewajiban bagi seorang suami untuk berlaku adil dalam memberikan nafkah terhadap isteri-isterinya adalah konsekuansi dari tindakan berpoligami dalam Islam. Sikap adil  dimaksud berarti seorang suami dapat memenuhi hak kewajibannya terhadap isteri-isterinya secara proporsional sesuai dengan kebutuhan secara wajar.  Nafkah itu  ada yang bersifat lahiriyah, yaitu nafkah yang bersifat materi dan ada yang bersifat batiniyah (immateri).

Sehubungan dengan pembagian nafkah tersebut maka keadilanpun terbagi mejadi dua yaitu keadilan dalam memberikan nafkah lahiriyah dan keadilan dalam memberikan nafkah batiniyah. Pada keadilan bentuk pertama, seorang suami dituntut untuk berlaku adil terhadap isteri-isterinya dalam memberikan makan, minum, pakaian, rumah, serta waktu giliran.

Pemenuhan rasa keadilan bentuk pertama ini sangat mungkin dapat dilakukan oleh seorang suami terhadap istrei-isterinya.  Maka jika seorang suami tidak dapat berlaku adil dalam nafkah lahir ini yang mengakibatkan isteri-isteri terzalimi, maka haram bagi laki-laki untuk berpoligami. Allah swt berfirman dalam al-Qur’an surat alNisa ayat 3:



Artinya: “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”  Rasulullah bersabda:



Artinya: “Siapa yang memilki dua orang isteri tapi ia lebih berpihak kepada salah satunya, maka pada hari qiamat ia berjalan dalam keadaan menarik salah satu pundaknya (miring).” (HR. Abu Daud)  

Yang dianggap perbuatan menzalimi dalam Hadits di atas adalah ketidak-adilan seorang suami dalam memenuhi hak-hak isteri yang dipandang kuasa bagi suami untuk memenuhinya seperti nafkah lahir dan waktu gilir.

Terkait dengan keadilan bentuk kedua yakni keadilan yang bersifat batin :

kecenderungan hati/cinta. Usaha untuk berlaku adil dalam membagi cinta kepada isteri-isteri inilah yang sesungguhnya sangat berat bagi seorang suami. 

Dan hal ini sudah bisa dipastikan tidak dapat dilakukan oleh suami untuk berlaku adil sebagaimana diisyaratkan oleh al-Qur’an:


Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS. an-Nisa:129)

 Kalau seandainya keadilan membagi cinta ini menjadi syarat yang mutlak bagi seorang suami, maka tertutup hukum kebolehan  bagi seorang suami untuk berpoligami meskipun  sudah berada pada kondisi yang darurat. 

Oleh karena sulitnya beralaku adil dalam  membagi cinta, maka Menurut Yusuf Qardhawi ini adalah keadilan yang dimaafkan dan diberikan toleransi, namun tidak termaafkan untuk  nafkah lahir. 

Dijelaskan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah adalah orang yang selalu berusaha untuk berlaku adil sampai kepada masalah bepergian dan untuk memenuhi rasa keadilan tersebut,  Rasulullah mengundi di antara isteri-isterinya. 

Bagi yang keluar undiannya, maka dialah yang menjadi teman pergi Rasulullah, hal ini dilakukan oleh Rasulullah supaya tidak melukai perasaan dan meminta kerelaan dari isteri-isteri yang tidak pergi bersama Rosul.

c.   Hikmah dari Poligami 

Berpoligamim bagi sebagian orang terkadang tidak terlalu sulit untuk dilakukan. Permasalahannya adalah tidak mudah untuk berlaku adil dalam memenuhi sesuatu yang menjadi  hak para isteri. 

Terlihat, banyak suami yang beristeri lebih dari satu tapi sebenarnya mereka tidak mampu untuk memberikan nafkah. Motif mereka berpoligami bukan karena masalah darurat, tapi karena ingin memperturutkan hawa nafsu seksual.

Kalaupun mereka mampu memberikan nafkah namun terkadang perlakuan suami kepada isteri-isterinya banyak berlaku tidak adil dalam pemenuhan kebutuhan seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dan waktu bergilir.

Oleh karena itu, alasan kebolehan berpoligami bagi sang suami dikarenakan  terdapat  kondisi darurat dan  syarat beraku adil terdapat hikmah di dalamnya yang  Menurut  Rasyid Ridh sedikitya terdapat empat hikmah.

1)  Untuk mendapatkan anak bagi suami yang subur dan isteri yang mandul.

2)  Menjaga keutuhan keluarga tanpa harus mencerai isteri pertama meski ia tidak berfungsi semestinya sebagai isteri karena cacat fisik dan sebagainya.

3)  Untuk menyelamatkan suami yang hiperseks dari perbuatan free sex. Tercatat di beberapa negara Barat yang melarang poligami mengakibatkan merajalelanya praktek prostitusi dan free sex (kumpul kebo) dan lahirnya anak-zina  yang mencapai jumlah cukup tinggi.

4)  Menyelamatkan harkat dan martabat wanita dari krisis akhlak (melacur), terutama bagi mereka yang tinggal di negara yang jumlah wanitanya lebih banyak dibanding laki-laki  akibat peperangan misalnya.

Sedangkan hikmah kebolehan Rasulullah beristeri lebih dari empat bukanlah karena dorongan hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum orientalis, tapi mengandung hikmah yang besar, yaitu kepentingan dakwah Islam sebagaimana dikemukakan oleh Abbas Mahmud al-Aqqad sebagai berikut:

a)      Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Semua isteri Nabi yang berjumlah sembilan dapat dijadikan sumber informasi  bagi umat Islam yang hendak mengetahui ajaran-ajaran Nabi dan praktek kehidupan beliau dalam berkeluarga, bermasyarakat, terutama masalah rumah tangga.

b)      Untuk kepentingan politik, yaitu mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan sekaligus menarik mereka masuk Islam. Seperti perkawinan Nabi dengan Juwairiyah putri al-Harist kepala suku bani al-Musthaliq dan Shafiyah, seorang tokoh dari Bani Quiraizhah dan Bani al-Nadhir.

c)       Untuk kepentingan sosial dan kamanusiaan. Seperti perkawinan beliau dengan janda  dermawan bernama Khadijah dan janda pahlawan Islam seperti Saudah binti Zuma’ah (suaminya meninggal setelah kembali dari hijrah ke Abesenia), Hafsah binti Umar (suaminya gugur pada perang badar), Hindun Ummu Salamah (suaminya gugur di perang Uhud).

Seandainya saja motif Rosul untuk nikah lebih dari satu karena dorongan sex, mungkin yang wanita yang dinikahi adalah gadis-gadis  cantik bangsa Arab. 

Tapi hal itu sama sekali tidak dilakukan oleh Rasulullah tapi justru dengan Siti khadijah yang umurnya lebih tua 15 tahun dibandingkan umur beliau.

Demikian dengan  isteri-isteri beliau yang lain, semuanya dinikahi   bukan karena tuntutan  nafsu , tapi bermotif dakwah yang ternyata motif tersebut dapat membantu keberhasilan tugas beliiau sebagai utusann Allah. 

Dengan demikian, pada pernikahan Rasul terdapat hikmah yang tinggi yang bernilai dakwah, pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Argumentasi logis sepertitelah tersebut  dapat meruntuhkan  segala tuduhan negatif yang dilontarkan oleh kaum orientalis terhadap kebolehan rasul bersiteri lebih dari satu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar