Nikah Mut’ah
Semarak
nikah mut’ah atau sering disebut dengan nikah kontrak nampaknya masih menghiasi
kehidupan sebagian kecil masyarakat. Keprihatinan dan kehwatiranpun muncul dari
orang tua, tokoh masyarakat, pendidik bahkan ulama terhadap pernikahan yang
terkesan “main-main” ini.
Praktek nikah mut’ah seperti tersebut terjadi selain
karena terdapat legitimasi dari kelompok yang membolehkan, juga ditemukan
alasan untuk terhindar dari perzinahan demi memenuhi tuntutan sex sesaat.
Untuk
dapat menguji keabsahan nikah mut’ah yang banyak dilakukan oleh orang yang
tinggal jauh dari isterinya karena memenuhi tugas kerja misalnya, bahkan tak
luput pelakunya adalah pemuda dan mahasiswa, berikut ini akan dijelaskan duduk masalahnya.
Kata
mut’ah ( ٌ ةَعْتُم), berasal dari bahasa Arab yang
mempunyai arti antara lain bekal yang sedikit dan barang yang menyenangkan.
Pengertian ini sejalan dengan kata mut’ah yang terdapat dalam al-Quran yang
berarti bercampur (bersenang-senang bersama istri dengan bersenggama) dan pemberian yang
menyenangkan oleh suami kepada isterinya yang dicerai. Firman Allah swt:
Artinya:
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut`ah (pemberian) kepada
mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah:
236)
Yusuf
Qardhawi memberikan pengertian nikah mut’ah secara terminologi, yaitu seorang
laki-laki mengikat (menikahi) seorang perempuan untuk waktu yang ditentukan
dengan imbalan uang yang tertentu pula. Di Indonesia, kawin mut’ah ini popular
dengan sebutan kawin kontrak.
Uraian di
atas memeberikan gambaran cukup jelas tentang nikah mut’ah. Bahwa tidaklah nikah mut’ah itu dilakukan, kecuali
kecenderungan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan seksual, berakhir tanpa talaq karena secara otomatis jika sudah habis waktu kontrak yang telah
ditentukan maka berakhirlah riwayat pernikahan itu.
Dilihat
dari penetapan pembatasan waktu (ta’qit) tersebut, pernikahan semacam itu bertentangan dengan
syariat Islam yang mmenghendaki pernikahan itu tidak terbatas oleh waktu.
Diakui, bahwa nikah mut’ah pada zaman Nabi
diperbolehkan namun tidak berlaku untuk semua orang hanya untuk orang tertentu
dikarenakan terdapat suatu kondisi yang sangat mendesak.
Menurut
Yusuf Qardhawi, rahasia diperbolehkan nikah mut’ah pertama kali pada zaman Nabi, karena umat ketika itu berada
pada “masa transisi” dari dunia Jahiliyah ke dunia Islam.
Di mana pada zaman
Jahiliyah, perzinahan merupakan budaya yang sudah menyebar luas. Ketika Islam
mewajibkan kepada kaum untuk pergi berjihad, mereka merasakan sangat berat
tinggal jauh dengan isteri-isteri mereka.
Di
antara kaum yang ikut berijihad dengan Rosulullah itu ada yang memiliki iman
yang kuat dan ada yang lemah. Mereka yang lemah imannya sangat takut terjerumus
ke jurang perzinahan.
sedangkan mereka yang kuat imannya bersikeras untuk
menghilangkan nafsu seksnya dengan cara mengebiri, sebagaimana informasi Hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu mas’ud:
Artinya:
“Kami ikut berperang dengan Rosulullah dan istri-istri kami tidak ada di
samping kami. Kemudian kami bertanya kepada Rosulullah, bolehkah kami
mengebiri? Maka Rosulullah melarang kami untuk mengebiri dan memberikan
keringanan kepada kami untuk menikahi perempuan dengan membayar imbalan untuk
waktu yang ditentukan. (HR. Bukhari Muslim)
Berdasarkan
keterangan di atas, maka jelaslah bahwa kebolehan hukum nikah mut’ah pada zaman
Nabi itu memiliki alasan sebagai berikut:
1. Merupakan keringanan hukum (rukhsah)
untuk memberikan jalan keluar dari problematika yang dihadapi oleh dua kelompok
orang yang imannya kuat dan imannya lemah.
2. Sebagai langkah perjalanan hukum Islam
menuju ditetapkannya kehidupan rumah tangga yang sempurna untuk mewujudkan
semua tujuan pernikahan yaitu melestarikan keturunan, cinta kasih sayang dan
memperluas pergaulan melalui perbesanan.
Terkait
dengan hukumnya, dilihat dari prosesnya nampaknya langkah pengharaman nikah
mut’ah yang ditempuh oleh Islam dilakukan secara priodik seperti proses
pengharaman khamar.
Rosulullah
memperbolehkan nikah mut’ah dalam kondisi tertentu (darurat), kemudian
Rosulullah saw mengharamkan nikah mut’ah sebagai bentuk pernikahan.
Sebagaimana
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Syibrah
al-Juhani “bahwasanya ia berperang bersama Rosulullah saw pada waktu fathu
Makkah, maka Rosulullah mengizinkan mereka untuk melakukan nikah mut’ah.
Ia
berkata: “Maka kaum tetap melakukan
nikah mut’ah itu sampai Rosulullah mengharamkan nikah mut’ah. Dan dalam redaksi
yang lain, terdapat Hadits yang berbunyi”
Artinya:
Wahai manusia, aku pernah membolehkan untuk mu
melakukan nikah mut’ah dengan
wanita kemudian Allah mengharamkan nikah mut’ah itu. Oleh karena itu jika masih
terdapat memiliki wanita yang diperoleh dengan cara nikah mut’ah maka hendaknya
ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah
kamu berikan kepada mereka (HR Muslim)
Dari penjelasan hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kebolehan
hukum nikah mut’ah itu telah dinasakh
(dihapus hukumnya) oleh keharamnnya.
Dengan
demikian hukum yang berlaku sejak terjadinya penghapusan sampai sekarang dan
seterusnya adalah keharaman nikah mut’ah.
Di kalangan sahabat orang yang secara tegas mengharamkan nikah mut’ah
adalah Umar bin Khattab, dengan lantang
beliau melarang nikah mut’ah serta mengancam hukuman bagi pelakunya.
Kemudian
timbul pertanyaan, apakah keharaman nikah mut’ah ini sudah mutlak tanpa ada
pengecualian seperti haramnya menikahi ibu dan anak kandung perempuan?
Apakah
keharamannya seperti keharaman minum khamar, darah dan daging babi yang
diperbolehkan ketika dalam keadaan darurat?
Jawabannya adalah menurut jumhur
sahabat dan ulama bahwa keharaman nikah mut’ah adalah mutlak tanpa ada
pengecualian meski dalam kondisi darurat.
Pendapat
ini diperkuat oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia yang secara tegas memutuskan bahwa hukum nikah itu haram karena selain dadasari oleh dalil
yang kuat, selain nikah ini juga bertentangan dengan tujuan pensyariatan
pernikahan.
a. Nikah Mut’ah Masa Kini Seperti telah
dikemukakan di awal, nikah mut’ah saat ini masih banyak dilakukan oleh
sebagaian masyarakat meski mendapat protes yang cukup keras juga. Kecenderungan
itu muncul karena dirasakan mudah untuk dilakukan pada zaman di mana orang
banyak berfikir pragmatis. Selain jika dilihat dari tabiatnya bahwa salah satu
kesamaan manusia masa lampau dengan masa kini di antaranya adalah masalah nafsu
seks.
Ternyata dengan dalih yang sama, di masa sekarang ini praktek nikah
mut’ah ini terjadi lagi dan bahkan ada yang melegalkan kembali seperti yang
ditetapakan oleh kelompok syiah. Nampaknya alasan yang dikemukakan oleh orang
yang membolehkan nikah mut’ah di atas sangatlah lemah dan sama sekali tidak
mempertimbangkan aspek tujuan dari sebuah pernikahan yang sesungguhnya. Dengan demikian penghalalan nikah mut’ah pada
masa sekarang ini dapat dikatakan bathil dan
sangat mudah untuk ditolak baik secara aqli maupun naqli.
b. Islam
menetapkan pernikahan sebagai ikatan
perjanjian yang kuat. Yang dibangun atas landasan motivasi untuk hubungan yang
kekal yang akan menumbuhkan cinta, kasih sayang dan ketentraman batin serta
menciptakan keturunan yang langgeng. Sedangkan dalam nikah mut’ah (kontrak)
perkawinan tidak bersifat kekal, tapi dibatasi oleh waktu yang telah
disepakati. Dan perceraian kedua pasangan itu secara otomatis dikarenakan habisnya masa kontrak. Jelas nikah mut’ah ini
bertentangan dengan prinsip dan tujuan nikah dalam Islam.
c. Menghalalkan kembali nikah mut’ah
berarti langkah mundur dari sesuatu yang telah ditetapkan secara sempurna oleh
Islam. Salah satu sebab diperbolehkannya nikah pada zaman Nabi karena kondisi
“transisi” dari Jahiliyah kepada Islam. Di mana perzinahan pada zaman Jahiliyah
merupakan budaya yang sudah menyebar. Diperboehkannya nikah mut’ah ketika itu
sebagai langkah proses menuju pernikahan yang sempurna. Jadi nikah mut’ah
sekarang ini tidak dapat dibenarkan karena sudah disyariatkannya nikah yang
sempurna.
d. Alasan darurat untuk menghalalkan
kembali nikah mut’ah merupakan alasan yang terlalu dibuat-buat. Sebab alasan
darurat diperbolehkannya nikah mut’ah pada zaman Nabi itu dalam keadaan
berperang di mana isteri mereka tinggal berjauhan, sulit mereka untuk bertemu.
Apakah relevan kalau hanya alasan nafsu seks itu dijadikan dalih untuk
membolehkan nikah mut’ah sekarang ini? Tentu tidak relevan karena itu qiyas
fariq yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.
e. Dampak negatif yang diakibatkan dari
nikah mut’ah sangat merusak dimensi sosial. Sebab akibat nikah mut’ah akan
bermunculan perempuan-perempuan yang
kehilangan suaminya, seakan-akan wanita dijadikan pemuas nafsu laki-laki sesaat
dan akan muncul anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang ayahnya. Hal ini
akan menggangu pertumbuhan psikologis anak.
Berdasarkan
alasan tersebut di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa nikah mut’ah yang
dibolehkan dalam Islam sudah berakhir, yaitu hanya boleh ketika zaman Nabi dengan alasan darurat dan ada hikmah
tasyri’ di dalamnya. Maka tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk kembali
mengahalakan nikah mut’ah sekarang ini.
Hukum
nikah mut’ah ini telah tegas keharamannya baik dilihat
secara akal dan wahyu. “Yang haram telah jelas dan yang halalpun telah
jelas”.
Sumber
: http://ppg.siagapendis.com
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar