Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Jumat, 12 Juli 2019

PEMBAHASAN TENTANG NIKAH MUT'AH



Nikah Mut’ah 


Semarak nikah mut’ah atau sering disebut dengan nikah kontrak nampaknya masih menghiasi kehidupan sebagian kecil masyarakat. Keprihatinan dan kehwatiranpun muncul dari orang tua, tokoh masyarakat, pendidik bahkan ulama terhadap pernikahan yang terkesan “main-main” ini. 

Praktek nikah mut’ah seperti tersebut terjadi selain karena terdapat legitimasi dari kelompok yang membolehkan, juga ditemukan alasan untuk terhindar dari perzinahan demi memenuhi tuntutan sex sesaat.

Untuk dapat menguji keabsahan nikah mut’ah yang banyak dilakukan oleh orang yang tinggal jauh dari isterinya karena memenuhi tugas kerja misalnya, bahkan tak luput  pelakunya adalah  pemuda dan mahasiswa, berikut ini  akan dijelaskan duduk masalahnya.  

Kata mut’ah ( ٌ ةَعْتُم), berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain bekal yang sedikit dan barang yang menyenangkan. 

Pengertian ini sejalan dengan kata mut’ah yang terdapat dalam al-Quran yang berarti bercampur (bersenang-senang bersama istri  dengan bersenggama) dan pemberian yang menyenangkan oleh suami kepada isterinya yang dicerai. Firman Allah swt:



Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut`ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)

Yusuf Qardhawi memberikan pengertian nikah mut’ah secara terminologi, yaitu seorang laki-laki mengikat (menikahi) seorang perempuan untuk waktu yang ditentukan dengan imbalan uang yang tertentu pula. Di Indonesia, kawin mut’ah ini popular dengan sebutan kawin kontrak.  

Uraian di atas memeberikan gambaran cukup jelas tentang nikah mut’ah. Bahwa  tidaklah nikah mut’ah itu dilakukan, kecuali kecenderungan seseorang  untuk memenuhi kebutuhan seksual, berakhir tanpa talaq karena secara otomatis jika  sudah habis waktu kontrak yang telah ditentukan maka berakhirlah riwayat pernikahan itu.

Dilihat dari penetapan pembatasan waktu (ta’qit) tersebut,   pernikahan semacam itu bertentangan dengan syariat Islam yang mmenghendaki pernikahan itu tidak terbatas oleh waktu.  

Diakui, bahwa nikah mut’ah pada zaman Nabi diperbolehkan namun tidak berlaku untuk semua orang hanya untuk orang tertentu dikarenakan terdapat  suatu kondisi  yang sangat mendesak. 

Menurut Yusuf Qardhawi, rahasia diperbolehkan nikah mut’ah pertama kali pada  zaman Nabi, karena umat ketika itu berada pada “masa transisi” dari dunia Jahiliyah ke dunia Islam. 

Di mana pada zaman Jahiliyah, perzinahan merupakan budaya yang sudah menyebar luas. Ketika Islam mewajibkan kepada kaum untuk pergi berjihad, mereka merasakan sangat berat tinggal jauh dengan isteri-isteri mereka.

Di antara kaum yang ikut berijihad dengan Rosulullah itu ada yang memiliki iman yang kuat dan ada yang lemah. Mereka yang lemah imannya sangat takut terjerumus ke jurang perzinahan. 

sedangkan mereka yang kuat imannya bersikeras untuk menghilangkan nafsu seksnya dengan cara mengebiri, sebagaimana informasi Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu mas’ud:







Artinya: “Kami ikut berperang dengan Rosulullah dan istri-istri kami tidak ada di samping kami. Kemudian kami bertanya kepada Rosulullah, bolehkah kami mengebiri? Maka Rosulullah melarang kami untuk mengebiri dan memberikan keringanan kepada kami untuk menikahi perempuan dengan membayar imbalan untuk waktu yang ditentukan. (HR. Bukhari Muslim) 

Berdasarkan keterangan di atas, maka jelaslah bahwa kebolehan hukum nikah mut’ah pada zaman Nabi itu memiliki alasan sebagai berikut:
1.  Merupakan keringanan hukum (rukhsah) untuk memberikan jalan keluar dari problematika yang dihadapi oleh dua kelompok orang yang imannya kuat dan imannya lemah.
2.  Sebagai langkah perjalanan hukum Islam menuju ditetapkannya kehidupan rumah tangga yang sempurna untuk mewujudkan semua tujuan pernikahan yaitu melestarikan keturunan, cinta kasih sayang dan memperluas  pergaulan melalui perbesanan.

Terkait dengan hukumnya, dilihat dari prosesnya nampaknya langkah pengharaman nikah mut’ah yang ditempuh oleh Islam dilakukan secara priodik seperti proses pengharaman khamar.

Rosulullah memperbolehkan nikah mut’ah dalam kondisi tertentu (darurat), kemudian Rosulullah saw mengharamkan nikah mut’ah sebagai bentuk pernikahan. 

Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Syibrah al-Juhani “bahwasanya ia berperang bersama Rosulullah saw pada waktu fathu Makkah, maka Rosulullah mengizinkan mereka untuk melakukan nikah mut’ah.

Ia berkata:  “Maka kaum tetap melakukan nikah mut’ah itu sampai Rosulullah mengharamkan nikah mut’ah. Dan dalam redaksi yang lain, terdapat Hadits yang berbunyi”



Artinya: Wahai manusia, aku pernah membolehkan untuk mu  melakukan nikah mut’ah  dengan wanita kemudian Allah mengharamkan nikah mut’ah itu. Oleh karena itu jika masih terdapat memiliki wanita yang diperoleh dengan cara nikah mut’ah maka hendaknya ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka (HR Muslim)  Dari penjelasan hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kebolehan hukum nikah mut’ah itu telah dinasakh  (dihapus hukumnya) oleh keharamnnya.

Dengan demikian hukum yang berlaku sejak terjadinya penghapusan sampai sekarang dan seterusnya adalah keharaman nikah mut’ah.   

Di kalangan sahabat orang yang secara tegas mengharamkan nikah mut’ah adalah  Umar bin Khattab, dengan lantang beliau melarang nikah mut’ah serta mengancam hukuman bagi pelakunya. 

Kemudian timbul pertanyaan, apakah keharaman nikah mut’ah ini sudah mutlak tanpa ada pengecualian seperti haramnya menikahi ibu dan anak kandung perempuan?

Apakah keharamannya seperti keharaman minum khamar, darah dan daging babi yang diperbolehkan ketika dalam keadaan darurat? 

Jawabannya adalah menurut jumhur sahabat dan ulama bahwa keharaman nikah mut’ah adalah mutlak tanpa ada pengecualian meski dalam kondisi darurat.

Pendapat ini diperkuat oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia yang secara tegas  memutuskan bahwa hukum nikah  itu haram karena selain dadasari oleh dalil yang kuat, selain nikah ini juga bertentangan dengan tujuan pensyariatan pernikahan.  

a.  Nikah Mut’ah Masa Kini Seperti telah dikemukakan di awal, nikah mut’ah saat ini masih banyak dilakukan oleh sebagaian masyarakat meski mendapat protes yang cukup keras juga. Kecenderungan itu muncul karena dirasakan mudah untuk dilakukan pada zaman di mana orang banyak berfikir pragmatis. Selain jika dilihat dari tabiatnya bahwa salah satu kesamaan manusia masa lampau dengan masa kini di antaranya adalah masalah nafsu seks. 

  Ternyata dengan dalih yang sama, di masa sekarang ini praktek nikah mut’ah ini terjadi lagi dan bahkan ada yang melegalkan kembali seperti yang ditetapakan oleh kelompok syiah. Nampaknya alasan yang dikemukakan oleh orang yang membolehkan nikah mut’ah di atas sangatlah lemah dan sama sekali tidak mempertimbangkan aspek tujuan dari sebuah pernikahan yang sesungguhnya.  Dengan demikian penghalalan nikah mut’ah pada masa sekarang ini dapat dikatakan bathil dan  sangat mudah untuk ditolak baik secara aqli maupun naqli.

b.   Islam menetapkan pernikahan sebagai  ikatan perjanjian yang kuat. Yang dibangun atas landasan motivasi untuk hubungan yang kekal yang akan menumbuhkan cinta, kasih sayang dan ketentraman batin serta menciptakan keturunan yang langgeng. Sedangkan dalam nikah mut’ah (kontrak) perkawinan tidak bersifat kekal, tapi dibatasi oleh waktu yang telah disepakati. Dan perceraian kedua pasangan itu secara otomatis dikarenakan  habisnya masa kontrak. Jelas nikah mut’ah ini bertentangan dengan prinsip dan tujuan nikah dalam Islam.

c.   Menghalalkan kembali nikah mut’ah berarti langkah mundur dari sesuatu yang telah ditetapkan secara sempurna oleh Islam. Salah satu sebab diperbolehkannya nikah pada zaman Nabi karena kondisi “transisi” dari Jahiliyah kepada Islam. Di mana perzinahan pada zaman Jahiliyah merupakan budaya yang sudah menyebar. Diperboehkannya nikah mut’ah ketika itu sebagai langkah proses menuju pernikahan yang sempurna. Jadi nikah mut’ah sekarang ini tidak dapat dibenarkan karena sudah disyariatkannya nikah yang sempurna.

d.  Alasan darurat untuk menghalalkan kembali nikah mut’ah merupakan alasan yang terlalu dibuat-buat. Sebab alasan darurat diperbolehkannya nikah mut’ah pada zaman Nabi itu dalam keadaan berperang di mana isteri mereka tinggal berjauhan, sulit mereka untuk bertemu. Apakah relevan kalau hanya alasan nafsu seks itu dijadikan dalih untuk membolehkan nikah mut’ah sekarang ini? Tentu tidak relevan karena itu qiyas fariq yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

e.  Dampak negatif yang diakibatkan dari nikah mut’ah sangat merusak dimensi sosial. Sebab akibat nikah mut’ah akan bermunculan  perempuan-perempuan yang kehilangan suaminya, seakan-akan wanita dijadikan pemuas nafsu laki-laki sesaat dan akan muncul anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang ayahnya. Hal ini akan menggangu pertumbuhan psikologis anak.

Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa nikah mut’ah yang dibolehkan dalam Islam sudah berakhir, yaitu hanya boleh ketika zaman  Nabi dengan alasan darurat dan ada hikmah tasyri’ di dalamnya. Maka tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk kembali mengahalakan nikah mut’ah sekarang ini.

Hukum nikah  mut’ah  ini telah tegas keharamannya baik dilihat secara akal dan wahyu. “Yang haram telah jelas dan yang halalpun telah jelas”. 



@menzour_id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar