ISU-ISU PENTING
PAI
Pembahasan tentang pengembangan pembelajaran Pendidikan
Agama Islam, harus berangkat dari identifikasi berbagai isu-isu penting yang menjadi
kendala proses pembelajaran PAI. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan tentang
pembelajaran PAI nantinya dapat tepat sasaran.
Jika dianalisis secara mendalam eksistensi pembelajaran PAI tampak
memiliki background yang sangat sulit. Kendala pembelajaran PAI itu terhampar
dari tataran ideologisfilosofis hingga ke tataran praktis metodologis. Problematika
itu dapat dipilah menjadi problema ideologis-filosofis, institusional (susana
sekolah), Kurikuler dan masalah capaian ranah yang dinginkan (sasaran
pendidikan).
A.
Arah Pengembangan Ideologis-Filosofis PAI
Pendidikan Agama Islam sesungguhnya menghadapi
permasalahan yang sangat serius dalam tataran filosofis, karena wacana
pengetahuan dan teknologi saat ini berjalan tanpa kendali agama. Maka
pengetahuan dan teknologi tak jarang berkembang menjadi problematika yang
sedikit banyak menyulitkan penganut agama itu sendiri dalam hal ini Muslim.
Rene Descartes, filosof rasionalisme, pioneer peradaban modern, menolak segala
yang disebut sebagai kebenaran yang tidak rasional, tidak bisa diverivikasi.
Jika ini yang melandasi science dan teknologi maka secara pasti agama akan
tersisihkan –untuk tidak disebut terbuang-. Realitas ini mungkin tidak menjadi
maslah bagi Barat yang memang membatasi peran agama dan iptek, namun bagaimana
dengan kita sebagai Muslim?
Pendidikan Agama
Islam secara ideal diharapkan mampu menjawab deskralisasi dan eksternalisasi
dinamika science dan teknologi dari titik esensial transenden.. Proses
desakralisasi dan eksternalisasi ini terjadi sejak awal transformasi science
dan teknologi dari intelektual dan filosof Muslim kepada intelektual dan
filosof Barat di Eropa, dengan menggunting nilai-nilai religiusitas sebagai akibat
permusuhan intelektual dan gereja.
Dalam hal ini
Sayed Husein Nasr, sebagaimana dikutip oleh Dr. C. A. Qadir (1991), menegaskan
bahwa pengetahuan dalam visi Islam mempunyai hubungan yang mendalam dengan
realitas yang pokok dan premordial yang merupakan Yang Kudus dan sumber dari
segala yang kudus. Hanya saja ketika pemikiran Avicena (Ibn Sina) (980-1037 M.)
dan Averoes (Ibn Rusyd) (1126-1198 M.) memasuku Eropa dan memberi inspirasi dan
dorongan, karya-karya mereka diperkenalkan dalam keadaan sudah dipotong-potong
sehingga kehilangan kandungan kandungan spiritualnya. Sebagai akaibatnya
pengetahuan hampir sepenuhnya mengalami eksternalisasi dan desakralisasi,
terutama di kalangan ummat manusia yang sudah mengalami perubahan karena proses
modernisasi.
Sehingga menjadi wajar jika tidak kita temukan
lagi kata Tuhan -kecuali hanya sekedar
nama-, dalam wacana science dan teknologi tersebut. Maka menjadi sangat bisa dipahami jika
pendidikan ini berdampak pada kegersangan pada aspek religiusitas. Celakanya
hari ini kita tidak lagi bisa beranjak dari sekedar “taqlid”
terhadap dinamika science dan teknologi dari Barat tersebut. Inilah
tantangan yang bersifat idiologis
filosofis yang harus diselesaikan oleh Pendidikan Agama Islam.
Tantangan
tersebut dicoba dijawab dengan kiat islamisasi science sebagaimana digagas oleh
Ismail Raji Alfaruqi, Nasr, Najib al-Attas, Osman Bakar dll. Semangat
islamisasi science berangkat dari upaya untuk mengintegrasi kembali nilai-nilai
religiusitas Islam dalam wacana science dan teknologi.
Memang benar
bahwa dalam wacana Islam dikenal dualisme disiplin ilmu pengetahuan yakni ilmu
agama (ilmu syar’iy) dan ilmu umum (ilmu ghair syar’iy). AlGhazali misalnya
dalam Ihya` ‘Ulum al-Din dan Al-Risalah al-Ladunniyah dengan jelas memaparkan
strukturalisasi/ klasifikasi yang didasarkan pada dualisme tersebut. Namun
demikian dualisme itu dipilih tidak karena pilihan filosofis lebih karena
kebutuhan praktis. Dualisme merupakan kemestian untuk mempermudah penyajian dan
pemahaman wacana pada peserta didik. Secara hakiki tampaknya tidak tidak
dikenal adanya pemisahan ilmu agama dan umum itu. Al-Ghazali dalam hal ini
menegaskan bahwa:
واكثر العلوم الشرعية عقلية عند عالمها واكثر العلوم العقلية شرعية عند عارفها
(Mayoritas ilmu
agama itu rasional bagi mereka yang mengerti, dan mayoritas ilmu umum itu
agamis (syar’iyyah) bagi yang mengetahui).
Demikianlah dalam perspektif Islam, semua bidang ilmu pengetahuan –kecuali ilmu-ilmu berbahya seperti ilmu
sihir yang merugikan dan ilmu astrologi yang menyesat kan- memiliki kaitan yang
niscaya dengan Allah sebagai wajib al-wujud
yang menjadi sebab pertama dan utama bagi segala sesuatu
(maujudat).
Kesadaran bahwa
segala ilmu pengetahuan adalah dari Allah dan semestinya diabdikan untuk Allah
itu akan sangat membantu dalam pembentukan suasana yang Islami di sebuah
institusi pendidikan. Kondisi tersebut pada gilirannya akan dapat berpengaruh
langsung dalam pembentukan kepribadian peserta didik yang berwawasan luas
dengan kesadaran religiusitas yang tinggi.
B.
Arah Pengembangan Institusional
Jauh panggang
dari api, jika kita mengharapkan terwujudnya kepribadian yang Islami dengan
tanpa didukung oleh suasana sekolah yang kondusif. Selama Pendidikan Agama
Islam hanya dianggap sebagai pelengkap,
terlebih jika paradigma dualisme disiplin ilmu mendominasi secara buta, maka
jadilah guru Agama Islam seperti berteriak di tengah padang pasir. Capek dan
melelahkan, dengan hasil yang tidak akan pernah menyentuh tataran afektif.
Bagaimana
mungkin bisa berhasil guru Agama Islam dalam membisakan peserta didik menutup
aurat, misalnya, sementara guru lain untuk pembinanaan jasmaninya mengharuskan
membukanya? Bagaimana mungkin keyakinan itu terbentuk jika ketika guru Agama
Islam menjelaskan segala sesuatu dari Allah, sedang biologi mengajarkan teori
Darwin secara sekuler? Guru agama serius menegaskan bahwa segala sesuatu itu
berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya sebagai sunnatullah, sementara
para saintis hanya memaknai fenomena itu sebatas hukum alam (natureal of law).
Maka masalah
penciptaan kondisi yang kondusif ini mutlak diperlukan sebelum kita berbicara
tenteng pengajaran PAI. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kontradiksi
nilai yang terjadi di sekolah tersebut. Jika ini terjadi maka akan secara
serius dapat mengakibatkan splite personality, sebuah pribadi yang pecah,
ambivalen. Sekolah mau tidak mau harus menyediakan kondisi kondusif (Islami)
jika benar-benar menginginkan pendidikan Agama Islam maksimal di lembaga tersebut.
Sebagai konsekwensinya sekolah semestinya terus berupaya menciptakan suasana
yang religius serta menyediakan sarana ibadah secara memadahi.
Harus dibiasakan
bertegursapa dengan salam, berjabat tangan, menghormati guru, menghargai dan
mencintai kawan, kalau mungkin diadakan sholat berjamaah, shalat Jum’ah. Yang
lebih penting dari itu semua, sekolah harus dapat menyatukan visi dan misi
iptek-imtaq itu pada segala unsur pendukung pendidikan di sekolah itu, baik
pada tenaga edukatif, karyawan, maupun
peserta pendidikan di institusi tersebut.
Tentu saja jika
sekolah telah berbenah dengan menyediakan suana yang kondusif bagi
internalisasi nilai-nilai agama, dua
dari tripusat pendidikan lainnya yang merupakan kategori pendidikan luar
sekolah, keluarga dan masyarakat diharapkan juga dapat mengimbangi. Akan sangat janggal jika guru Agama Islam
mengajarkan pada peserta didiknya untuk membiasakan sholat shubuh, sementara
orang tuanya biasa bangun pukul 06.00 WIB.
Akan sangat
kesulitan bagi guru agama untuk menjadikan peserta didiknya lancar membaca
al-Qur’an dengan fasih dan benar tajwid-nya, tanpa dukungan keluarga dan
masyarakat. Dalam hal ini akan sangat baik jika dapat ditunjang dengan
pembelajaran al-Qur’an secara intensif baik di rumah seperti prifat jika orang
tua tidak sanggup mengajarkannya sendiri atau di masyarakat dengan bentuk
pendidikan diniyahnya.
Jika kondisi dan
suasana kondusif seperti di atas bisa diwujudkan, maka pendidikan Agama Islam
sebgai pioneer transfer ilmu agama dan pembentukan nilai tidak punya alasan
lagi untuk memaksimalisasikan pendidikan agamanya.
C.
Pengembangan Kurikuler PAI
Masalah
terpenting yang ada dalam pembahasan kurikulum menyangkut masalah kondisi
kurikulum itu sendiri yang sudah semestinya diadakan inovasi atau bahkan
reformasi secara berkala guna disesuaikan dengan dinamika wacana dan masanya.
Seperti adanya keluhan akan sarat beban yang tentunya harus dikaji ulang secara
serius, pakah memamng sarat beban atau bahkan terlalu ringan? Analisis terhadap
kurikulum PAI tentu dengan tetap
mengedepankan pentingnya pertimbangan
faktor psikologis siswa, esensial dan fungsional dalam menentukan scope, dan
squence, dengan segenap keterbatasan yang ada.
Dari sudut
pendekatan tampak jelas bahwa kurikulum PAI selama ini cenderung hanya menggunakan pendekatan yang dominan
rasional. Problematika kurikulum ini sangat krusial karena inilah aturan main
yang harus diterapan dalam proses pendidikan. Maka jika platform-nya bermasalah
tentu akan sangat kesulitan dalam implementasi proses belajar-mengajarnya.
Masalah yang terkait dengan kurikulum tersebut haruslah diseleseikan dengan
pembahasan serius tentangnya yang dihadiri oleh para pakar dengan tetap
memperhatikan praktisi dan “pasar”.
Hal yang juga
sangat utopis adalah harapan kita untuk menanamkan secara tuntas nilai-nilai
Agama Islam hanya dengan empat jam tatap muka setiap minggunya. Maka sebaiknya
standarisasi internalisasi nilai religiusitas itu terpaksa harus dikaji ulang
jika jam pengajaran PAI tidak bisa lagi di tambah. PAI dengan kondisi yang
demikian mungkin hanya mampu memenuhi kompetensi dasar Agama Islam saja. Gejala
semacam ini tampaknya telah disadari dan tengah dibenahi oleh para ahli
kurikulum yang ada.
Adapun masalah
pendekatan, strategi pembelajaran merupakan masalah yang diharapkan dapat
memberikan solusi atas segala keterbatasan yang ada. Apapun kondisi dan situasi
yang dihadapi pendidikan Agama Islam haruslah di tampilkan dengan pilihan
strategi pembelajaran yang tepat, sehingga segala keterbatasan tersebut dapat
diminimalisir. Karena menunggu tersedianya kondisi dan situasi seringkali hanya
menjadi tinggal harapan, maka alternatif pengembangan pembelajaran menjadi tak
terelakkan.
Di sinilah guru
diharapkan dapat secara cerdas dan kreatif memanipulasi segala hal -dalam
pengertian positif- guna memaksimalkan pendidikan Agama Islam. Di samping itu
guru Agama Islam diharapkan dapat, memberikan argumentasi yang tangguh sehingga
dapat membentengi keimanan peserta didik dari berbagai pemikiran yang terkadang
destruktif.Permasalahn ini akan dibicarakan lebih lanjut dalam pembahasan
pengembangan pembelajaran pendidikan Agama Islam di bawah.
SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar