Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Rabu, 31 Juli 2019

SEKELUMIT TENTANG ISU-ISU PAI



ISU-ISU PENTING PAI

Pembahasan tentang pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam, harus berangkat dari identifikasi berbagai isu-isu penting yang menjadi kendala proses pembelajaran PAI. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan tentang pembelajaran PAI nantinya dapat tepat sasaran.  Jika dianalisis secara mendalam eksistensi pembelajaran PAI tampak memiliki background yang sangat sulit. Kendala pembelajaran PAI itu terhampar dari tataran ideologisfilosofis hingga ke tataran praktis metodologis. Problematika itu dapat dipilah menjadi problema ideologis-filosofis, institusional (susana sekolah), Kurikuler dan masalah capaian ranah yang dinginkan (sasaran pendidikan).

A.         Arah Pengembangan Ideologis-Filosofis PAI

Pendidikan Agama Islam sesungguhnya menghadapi permasalahan yang sangat serius dalam tataran filosofis, karena wacana pengetahuan dan teknologi saat ini berjalan tanpa kendali agama. Maka pengetahuan dan teknologi tak jarang berkembang menjadi problematika yang sedikit banyak menyulitkan penganut agama itu sendiri dalam hal ini Muslim. Rene Descartes, filosof rasionalisme, pioneer peradaban modern, menolak segala yang disebut sebagai kebenaran yang tidak rasional, tidak bisa diverivikasi. Jika ini yang melandasi science dan teknologi maka secara pasti agama akan tersisihkan –untuk tidak disebut terbuang-. Realitas ini mungkin tidak menjadi maslah bagi Barat yang memang membatasi peran agama dan iptek, namun bagaimana dengan kita sebagai Muslim?
    
Pendidikan Agama Islam secara ideal diharapkan mampu menjawab deskralisasi dan eksternalisasi dinamika science dan teknologi  dari  titik esensial transenden.. Proses desakralisasi dan eksternalisasi ini terjadi sejak awal transformasi science dan teknologi dari intelektual dan filosof Muslim kepada intelektual dan filosof Barat di Eropa, dengan menggunting nilai-nilai religiusitas sebagai akibat permusuhan intelektual dan gereja. 

Dalam hal ini Sayed Husein Nasr, sebagaimana dikutip oleh Dr. C. A. Qadir (1991), menegaskan bahwa pengetahuan dalam visi Islam mempunyai hubungan yang mendalam dengan realitas yang pokok dan premordial yang merupakan Yang Kudus dan sumber dari segala yang kudus. Hanya saja ketika pemikiran Avicena (Ibn Sina) (980-1037 M.) dan Averoes (Ibn Rusyd) (1126-1198 M.) memasuku Eropa dan memberi inspirasi dan dorongan, karya-karya mereka diperkenalkan dalam keadaan sudah dipotong-potong sehingga kehilangan kandungan kandungan spiritualnya. Sebagai akaibatnya pengetahuan hampir sepenuhnya mengalami eksternalisasi dan desakralisasi, terutama di kalangan ummat manusia yang sudah mengalami perubahan karena proses modernisasi.   

 Sehingga menjadi wajar jika tidak kita temukan lagi  kata Tuhan -kecuali hanya sekedar nama-, dalam wacana science dan teknologi tersebut.  Maka menjadi sangat bisa dipahami jika pendidikan ini berdampak pada kegersangan pada aspek religiusitas. Celakanya hari ini kita tidak lagi bisa beranjak dari sekedar  “taqlid”  terhadap dinamika science dan teknologi dari Barat tersebut. Inilah tantangan yang bersifat idiologis  filosofis yang harus diselesaikan oleh Pendidikan Agama Islam.

Tantangan tersebut dicoba dijawab dengan kiat islamisasi science sebagaimana digagas oleh Ismail Raji Alfaruqi, Nasr, Najib al-Attas, Osman Bakar dll. Semangat islamisasi science berangkat dari upaya untuk mengintegrasi kembali nilai-nilai religiusitas Islam dalam wacana science dan teknologi. 

Memang benar bahwa dalam wacana Islam dikenal dualisme disiplin ilmu pengetahuan yakni ilmu agama (ilmu syar’iy) dan ilmu umum (ilmu ghair syar’iy). AlGhazali misalnya dalam Ihya` ‘Ulum al-Din dan Al-Risalah al-Ladunniyah dengan jelas memaparkan strukturalisasi/ klasifikasi yang didasarkan pada dualisme tersebut. Namun demikian dualisme itu dipilih tidak karena pilihan filosofis lebih karena kebutuhan praktis. Dualisme merupakan kemestian untuk mempermudah penyajian dan pemahaman wacana pada peserta didik. Secara hakiki tampaknya tidak tidak dikenal adanya pemisahan ilmu agama dan umum itu. Al-Ghazali dalam hal ini menegaskan bahwa:

 واكثر العلوم الشرعية عقلية عند عالمها واكثر العلوم العقلية شرعية عند عارفها 

(Mayoritas ilmu agama itu rasional bagi mereka yang mengerti, dan mayoritas ilmu umum itu agamis (syar’iyyah) bagi yang mengetahui).

Demikianlah  dalam perspektif Islam, semua bidang  ilmu pengetahuan  –kecuali ilmu-ilmu berbahya seperti ilmu sihir yang merugikan dan ilmu astrologi yang menyesat kan- memiliki kaitan yang niscaya dengan Allah sebagai wajib al-wujud  yang menjadi sebab pertama dan utama bagi segala sesuatu (maujudat). 

Kesadaran bahwa segala ilmu pengetahuan adalah dari Allah dan semestinya diabdikan untuk Allah itu akan sangat membantu dalam pembentukan suasana yang Islami di sebuah institusi pendidikan. Kondisi tersebut pada gilirannya akan dapat berpengaruh langsung dalam pembentukan kepribadian peserta didik yang berwawasan luas dengan kesadaran religiusitas yang tinggi.
       
B.         Arah Pengembangan Institusional  

Jauh panggang dari api, jika kita mengharapkan terwujudnya kepribadian yang Islami dengan tanpa didukung oleh suasana sekolah yang kondusif. Selama Pendidikan Agama Islam hanya dianggap sebagai  pelengkap, terlebih jika paradigma dualisme disiplin ilmu mendominasi secara buta, maka jadilah guru Agama Islam seperti berteriak di tengah padang pasir. Capek dan melelahkan, dengan hasil yang tidak akan pernah menyentuh tataran afektif.

Bagaimana mungkin bisa berhasil guru Agama Islam dalam membisakan peserta didik menutup aurat, misalnya, sementara guru lain untuk pembinanaan jasmaninya mengharuskan membukanya? Bagaimana mungkin keyakinan itu terbentuk jika ketika guru Agama Islam menjelaskan segala sesuatu dari Allah, sedang biologi mengajarkan teori Darwin secara sekuler? Guru agama serius menegaskan bahwa segala sesuatu itu berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya sebagai sunnatullah, sementara para saintis hanya memaknai fenomena itu sebatas hukum alam (natureal of law).

Maka masalah penciptaan kondisi yang kondusif ini mutlak diperlukan sebelum kita berbicara tenteng pengajaran PAI. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kontradiksi nilai yang terjadi di sekolah tersebut. Jika ini terjadi maka akan secara serius dapat mengakibatkan splite personality, sebuah pribadi yang pecah, ambivalen. Sekolah mau tidak mau harus menyediakan kondisi kondusif (Islami) jika benar-benar menginginkan pendidikan Agama Islam maksimal di lembaga tersebut. Sebagai konsekwensinya sekolah semestinya terus berupaya menciptakan suasana yang religius serta menyediakan sarana ibadah secara memadahi.

Harus dibiasakan bertegursapa dengan salam, berjabat tangan, menghormati guru, menghargai dan mencintai kawan, kalau mungkin diadakan sholat berjamaah, shalat Jum’ah. Yang lebih penting dari itu semua, sekolah harus dapat menyatukan visi dan misi iptek-imtaq itu pada segala unsur pendukung pendidikan di sekolah itu, baik pada tenaga edukatif, karyawan,  maupun peserta pendidikan di institusi tersebut.

Tentu saja jika sekolah telah berbenah dengan menyediakan suana yang kondusif bagi internalisasi nilai-nilai agama, dua  dari tripusat pendidikan lainnya yang merupakan kategori pendidikan luar sekolah, keluarga dan masyarakat diharapkan juga dapat mengimbangi.  Akan sangat janggal jika guru Agama Islam mengajarkan pada peserta didiknya untuk membiasakan sholat shubuh, sementara orang tuanya biasa bangun pukul 06.00 WIB.

Akan sangat kesulitan bagi guru agama untuk menjadikan peserta didiknya lancar membaca al-Qur’an dengan fasih dan benar tajwid-nya, tanpa dukungan keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini akan sangat baik jika dapat ditunjang dengan pembelajaran al-Qur’an secara intensif baik di rumah seperti prifat jika orang tua tidak sanggup mengajarkannya sendiri atau di masyarakat dengan bentuk pendidikan diniyahnya.   
Jika kondisi dan suasana kondusif seperti di atas bisa diwujudkan, maka pendidikan Agama Islam sebgai pioneer transfer ilmu agama dan pembentukan nilai tidak punya alasan lagi untuk memaksimalisasikan pendidikan agamanya.      

C.         Pengembangan Kurikuler PAI       

Masalah terpenting yang ada dalam pembahasan kurikulum menyangkut masalah kondisi kurikulum itu sendiri yang sudah semestinya diadakan inovasi atau bahkan reformasi secara berkala guna disesuaikan dengan dinamika wacana dan masanya. Seperti adanya keluhan akan sarat beban yang tentunya harus dikaji ulang secara serius, pakah memamng sarat beban atau bahkan terlalu ringan? Analisis terhadap kurikulum PAI tentu  dengan tetap mengedepankan  pentingnya pertimbangan faktor psikologis siswa, esensial dan fungsional dalam menentukan scope, dan squence, dengan segenap keterbatasan yang ada.  

Dari sudut pendekatan tampak jelas bahwa kurikulum PAI selama ini cenderung  hanya menggunakan pendekatan yang dominan rasional. Problematika kurikulum ini sangat krusial karena inilah aturan main yang harus diterapan dalam proses pendidikan. Maka jika platform-nya bermasalah tentu akan sangat kesulitan dalam implementasi proses belajar-mengajarnya. Masalah yang terkait dengan kurikulum tersebut haruslah diseleseikan dengan pembahasan serius tentangnya yang dihadiri oleh para pakar dengan tetap memperhatikan praktisi dan “pasar”. 

Hal yang juga sangat utopis adalah harapan kita untuk menanamkan secara tuntas nilai-nilai Agama Islam hanya dengan empat jam tatap muka setiap minggunya. Maka sebaiknya standarisasi internalisasi nilai religiusitas itu terpaksa harus dikaji ulang jika jam pengajaran PAI tidak bisa lagi di tambah. PAI dengan kondisi yang demikian mungkin hanya mampu memenuhi kompetensi dasar Agama Islam saja. Gejala semacam ini tampaknya telah disadari dan tengah dibenahi oleh para ahli kurikulum yang ada.   

Adapun masalah pendekatan, strategi pembelajaran merupakan masalah yang diharapkan dapat memberikan solusi atas segala keterbatasan yang ada. Apapun kondisi dan situasi yang dihadapi pendidikan Agama Islam haruslah di tampilkan dengan pilihan strategi pembelajaran yang tepat, sehingga segala keterbatasan tersebut dapat diminimalisir. Karena menunggu tersedianya kondisi dan situasi seringkali hanya menjadi tinggal harapan, maka alternatif pengembangan pembelajaran menjadi tak terelakkan.

Di sinilah guru diharapkan dapat secara cerdas dan kreatif memanipulasi segala hal -dalam pengertian positif- guna memaksimalkan pendidikan Agama Islam. Di samping itu guru Agama Islam diharapkan dapat, memberikan argumentasi yang tangguh sehingga dapat membentengi keimanan peserta didik dari berbagai pemikiran yang terkadang destruktif.Permasalahn ini akan dibicarakan lebih lanjut dalam pembahasan pengembangan pembelajaran pendidikan Agama Islam di bawah.   


SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM



Tidak ada komentar:

Posting Komentar