Sasaran Ranah Pendidikan Agama Islam
Jika pemikiran
taksonomi Bloom dicermati dari sudut wacana Islam, maka tampak ada hal sangat
penting yang harus dipertimbangkan. Dalam wacana Bloom terlihat bahwa manusia
terdiri atas aspek jasmani dan ruhani. Dimana tampilan jasmaniah dilihat
melalui aspek psikomotorik dan tampilan ruhani diamati dari aspek kognitif dan
afektif. Pada dasarnya dalam wacana Islam, manusia juga dipersepsi terdiri atas
aspek jasmani dan ruhani. Tampilan
jasmani akan dapat juga terlihat dari ranah psikomotorik. Sedangkan tampilan
ruhani semestinya dapat telihat dari ‘ranah’ al-Aql, al-Nafs dan al-Qalb.
Masalahnya
adalah apakah semua fenomena ranah al-Aql sepenuhnya dapat disamakan dengan
ranah kognitif? Apakah dapat dibenarkan
bahwa afektif itu disamakan dengan alnafs dan al-qalb? Jika tidak, sampai
batas-batas mana taksonomi Bloom dipakai? Tentu saja hal ini membutuhkan kajian
lebih lanjut secara serius.
Untuk
melihat lebih jelasnya perbedaan wacana
tentang kualitas jiwa di bawah ini ditampilkan skematisasi daya manusia secara
sederhana anatara perspektif Bloom dengan pemikir Muslim.
Gb.1 Skematisasi
manusia dalam perspektif Bloom
Manusia Jasmani Psikomotorik
Ruhani Kognitif
Afektif
Gb.2 Skematisasi
manusia dalam perspektif Islam
Manusia Jasmani Psikomotoik
Ruhani Akal (al-Aql) ----
Kognitif
Nafsu
(al-Nafs) Afektif(?)
Hati (al-Qalb)
Yang membuat
praktisi pendidikan Islam lebih mengenal pola Bloom, dari pada pola kualitas jiwa yang telah ada dalam
wacana Islam adalah karena ranah atau daya-daya jiwa dalam pemikiran Muslim
tersebut mengalami stagnasi. Hingga kini tampaknya tidak ada pemikir pendidikan
Islam yang mencoba mem-break down dalam kata-kata operasional. Praktisi
terjebak dalam rutinitas yang membuat mereka tidak terlalu berfikir banyak
tentang ada tidaknya fakultas jiwa yang tidak tergarap dengan pengambilan pola
Bloom itu.
Dalam kondisi
seperti ini yang terpenting untuk segera disadari dan selanjutnya diharapkan
menjadi landasan dalam proses pembelajaran kita adalah adanya sebuah kesadaran
bahwa pola Bloom saja tidak memdahi untuk membentuk peserta didik yang sarat
nilai. Perlu disadari juga bahwa dalam wacana Islam – terutama filsafat dan
tasawuf- dinamika akal (kognitif) itu
tidak hanya sampai pada batas analisis saja. Tetapi, menurut al-Farabi
kemampuan akal itu bisa sampai pada level mustafad (acquired intellect), dimana
akal dimungkinkan dapat berhubungan dengan malaikat (akal sepuluh). Sehingga
dapat mencapai pengetahuan intuitif. Bahkan al-Ghazali menegaskan bahwa banyak
membaca sehingga dapat membuat abstraksi dan menemukan kesimpulan-kesimpulan
universal adalah bagian dari metode untuk mencapai ilmu ladunniy.
Mengenai ranah
al-Nafs, haruslah disadari sepenuhnya bahwa nature nafsu itu adalah senantiasa
menyeru kepada perbuatan buruk. Allah dalam al-Qur’an menyatakan:
وما ابرئ نفسي ان النفس لا مارة باالسؤ الا ما رحم ربي ان ربي غفور رحيم
(Dan aku tidak
(sanggup) membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu
senantisa menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang dirahmati oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang). Qs. Yusuf (12): 53.
Dinamika nafsu
dalam wacana Islam bergerak dari titik negatif untuk diusahakan sekuat mungkin
ke arah positif. Secara sederhana graduasi itu di pilah menjadi tiga bagian
nafsu ammarah bi al-su`, lawwamah, dan nafsu muthma’innah. Jika nafsu nafsu ammarah bi al-su` senantiasa
menyeru pada keburukan, maka nafsu lawwamah (nafsu yang mencerca) berada dalam
posisi transisi antar buruk dan baik. Seseorang yang dalam posisi ini ingin
berada selalu dalam kebaikan namun ia tidak kuasa menghalau nafsu itu saat
berkuasa. Oleh karena itu ia akan mencerca dirinya sendiri selepas melaksanakan
keburukan itu. Sedangkan nafsu muthma’innah adalah nafsu yang telah tenteram,
konsisten dalam kebenaran.
Secara lebih
rinci dinamika nafsu tersebut oleh para pemikir Muslim dirinci secara hirarkis
sebagai berikut: nafsu ammarah (ila Allah), lawwamah (li Allah), mulhamah (‘ala
Allah), radliyah (fiy Allah), mardliyah (‘an Allah), dan terakhir adalah nafsu
kamilah (bi Allah).
Jika proses
pembelajaran itu ingin berhasil dalam penanaman nilai-nilai religiusitas
hendaknya dintisipasi dan terus dikendalikan kondisi nafsu peserta didik.
Karena keberanian kita untuk menganggap remeh masalah ini dapat berakibat fatal
pada prilaku mereka. Siapapun mereka, -dalam perspektif ini- semua akan bergerak
dari nafsu yang cenderung negatif, maka selayaknya guru mencari cara untuk
mengatasinya. Tawuran pelajar yang tak jarang berakhir dengan kematian,
misalnya, adalah akibat gagalnya pengendalian nafsu amarah.
Adapu al-Qalb
adalah ranah yang paling ‘halus’ paling dalam yang memiliki fungsi untuk
mengadakan kontak spiritual dengan Yang Transenden. Jika nafsu berhubungan
dengan hal-hal yang bersifat materi, dan akal berhubungan dengan masalah logika
dan fenomena, maka hati berhubungan dengan dunia spiritual. Kalau nafsu memiliki nature negatif, akal memiliki nature
netral, maka hati memiliki nature positif. Karena hati adalah tempat hidayah
Allah. Hati inilah yang dapat menyerap -melalui dzauq- segenap realitas metfisika
melalui proses tadzakkur dan tafakkur. Oleh karenanya al-Ghazali menjelaskan
bahwa cara lain untuk mendapatkan ilmu ladunniy adalah dengan riyadlah dan
tafakkur. Hal ini dimungkinkan dalam Islam karena ilmu dalam perspektif Islam
terbagi atas dua bentuk yakni ilmu empiris-rasional (ilm kasbiy) dan ilmu yang
datang langsung dari Allah (ilm ladunniy).
Syekh Waqi’ juga
telah menjawab keluhan Imam
Syafi’iy tentang berkurangnya daya ingatan itu dengan syair sebagai
berikut:
فان العلم نور من اله ونور الله لا يهدى لعاصي
(Karena
sesungguhnya ilmu itu adalah ‘cahaya’ dan ‘Cahaya Allah’ tidak akan menerangi
para pendosa). Dalam pandangan Isam
proses pembelajaran haruslah dapat mengolah, mereka daya sedemikian rupa
sehingga nafsu dapat dikuasai oleh akal dengan pertimbangan hati. Kondisi
pribadi yang harmonis itu digambarkan al-Ghazali, secara metaforis sebagai
berikut:
Jiwa itu laksana
sebuah negeri. Wilayahnya adalah dua tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh
lainnya. Nafsu seksual (syahwat) adalah tuannya dan nafsu agresi (ghadlab)
adalah penjaganya (polisi). Al-Qalb adalah raja dan alAql adalah perdana
menterinya. Sang raja memerintah mereka semua hingga kokoh kekuasaan dan
posisinya. Karena tuan tanah atas
wilayah negeri itu adalah syahwat yang memiliki karakter pendusta, suka
mementingkan hal yang remeh, dan berprilaku rendah. Penjaganya adalah ghadlab
yang selalu berbuat jahat, pembunuh dan sekaligus pencuri. Jika sang raja
membiarkan situasi negara ditangan mereka (nafsu seks dan agresi), maka negara
akan hancur dan bangkrut.
Merupakan suatu
keharusan bagi sang raja untuk senantiasa bermusyawarah dengan perdana menteri
dan menjadikan tuan tanah dan polisi itu ditangan perdana menteri. Jika hal ini
dapat diwujudkan, niscaya akan kokohlah kekuasaan dan makmurlah negeri.
Demikian juga hati, harus selalu bermusyawarah dengan akal dan menjadikan nafsu
syahwat dan ghadlab di bawah kendali perintah akal. Sehingga mantap kondisi
jiwa dan mampu mancapai sebab kebahagiaan dari ma’rifat al-hadlrah
al-ilahiyyah. Namun bila akal diletakkan di bawah kekuasaan agresi dan seks,
maka hancurlah jiwanya. Sedangkan hatinya akan bersedih di akhirat nanti.
Dari pemaparan
di atas hendaklah menjadi pertimbangkan pendidik dalam proses pembelajaran yang
seharusnya mempertimbangkan secara serius akan adanya keharmonisan tata
ruhaniyah dari peserta didik. Hanya dengan meletakkan hati sebagai raja dan
akal sebagai pemegang kendali segala keinginan seksual dan agresifitas sajalah,
seorang peserta didik itu akan menjdi baik dalam arti yang sesungguhnya. Bukan
hanya baik secara prestasi kognitif semata.
Perlu disadari
juga bahwa pendidikan Agama Islam -sebagaimana naturenya-, harus lebih
diarahkan untuk sampai pada pada proses internalisasi nilai menjadi sikap dan
kepribadian pesertadidik. Walaupun kita sadari sepenuhnya bahwa proses
internalisasi itu haruslah didahului oleh proses transfer of knowledge,
transfer of competences. Sebagaimana dirasakan bersama bahwa kecenderungan
pendidikan Agama Islam hari ini dominan kognitif.
Bahkan tak
jarang ditemui bentuk-bentuk prilaku pesertadidik yang bertentangan dengan
teoritis yang mereka kuasai. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa pengajaran
agama terus dilaksanakan, akan tetapi tawuran jalan terus. Ini adalah akibat
terlantarnya fakultas al-nafs dan al-qalb dalam proses pembelajaran PAI
khususnya. Ketika kualitas keberagamaan peserta didik hanya diukur dari
seberapa mampu dia menghafal apa yang diberikan oleh guru. Yang terjadi adalah
pendanggalan dari realitas beragama itu sendiri. Maka harus dicarikan solusi untuk membuat
pola pengajaran yang terintegratif, yang mampu menampilkan agama dalam tataran
teoritis (kognitif) hingga tataran implementatif (afektif).
SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar