Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Rabu, 31 Juli 2019

SASARAN RANAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


Sasaran Ranah Pendidikan Agama Islam

Jika pemikiran taksonomi Bloom dicermati dari sudut wacana Islam, maka tampak ada hal sangat penting yang harus dipertimbangkan. Dalam wacana Bloom terlihat bahwa manusia terdiri atas aspek jasmani dan ruhani. Dimana tampilan jasmaniah dilihat melalui aspek psikomotorik dan tampilan ruhani diamati dari aspek kognitif dan afektif. Pada dasarnya dalam wacana Islam, manusia juga dipersepsi terdiri atas aspek jasmani dan ruhani.  Tampilan jasmani akan dapat juga terlihat dari ranah psikomotorik. Sedangkan tampilan ruhani semestinya dapat telihat dari ‘ranah’ al-Aql, al-Nafs dan al-Qalb.

Masalahnya adalah apakah semua fenomena ranah al-Aql sepenuhnya dapat disamakan dengan ranah kognitif?  Apakah dapat dibenarkan bahwa afektif itu disamakan dengan alnafs dan al-qalb? Jika tidak, sampai batas-batas mana taksonomi Bloom dipakai? Tentu saja hal ini membutuhkan kajian lebih lanjut  secara serius. 
Untuk melihat  lebih jelasnya perbedaan wacana tentang kualitas jiwa di bawah ini ditampilkan skematisasi daya manusia secara sederhana anatara perspektif Bloom dengan pemikir Muslim.

Gb.1 Skematisasi manusia dalam perspektif Bloom
         
   Manusia               Jasmani               Psikomotorik
                       
                         Ruhani                Kognitif
                                 
                                               Afektif

Gb.2 Skematisasi manusia dalam perspektif Islam

    Manusia               Jasmani              Psikomotoik
                           
    Ruhani               Akal (al-Aql)    ----  Kognitif
                                                     
               Nafsu (al-Nafs)      Afektif(?)                 
                                                      
               Hati (al-Qalb)                 

Yang membuat praktisi pendidikan Islam lebih mengenal pola Bloom, dari pada  pola kualitas jiwa yang telah ada dalam wacana Islam adalah karena ranah atau daya-daya jiwa dalam pemikiran Muslim tersebut mengalami stagnasi. Hingga kini tampaknya tidak ada pemikir pendidikan Islam yang mencoba mem-break down dalam kata-kata operasional. Praktisi terjebak dalam rutinitas yang membuat mereka tidak terlalu berfikir banyak tentang ada tidaknya fakultas jiwa yang tidak tergarap dengan pengambilan pola Bloom itu.

Dalam kondisi seperti ini yang terpenting untuk segera disadari dan selanjutnya diharapkan menjadi landasan dalam proses pembelajaran kita adalah adanya sebuah kesadaran bahwa pola Bloom saja tidak memdahi untuk membentuk peserta didik yang sarat nilai. Perlu disadari juga bahwa dalam wacana Islam – terutama filsafat dan tasawuf- dinamika akal  (kognitif) itu tidak hanya sampai pada batas analisis saja. Tetapi, menurut al-Farabi kemampuan akal itu bisa sampai pada level mustafad (acquired intellect), dimana akal dimungkinkan dapat berhubungan dengan malaikat (akal sepuluh). Sehingga dapat mencapai pengetahuan intuitif. Bahkan al-Ghazali menegaskan bahwa banyak membaca sehingga dapat membuat abstraksi dan menemukan kesimpulan-kesimpulan universal adalah bagian dari metode untuk mencapai ilmu ladunniy.

Mengenai ranah al-Nafs, haruslah disadari sepenuhnya bahwa nature nafsu itu adalah senantiasa menyeru kepada perbuatan buruk. Allah dalam al-Qur’an menyatakan: 

وما ابرئ نفسي ان النفس لا مارة باالسؤ  الا ما رحم ربي ان ربي غفور رحيم 

(Dan aku tidak (sanggup) membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu senantisa menyuruh kepada kejahatan,  kecuali nafsu yang dirahmati oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Qs. Yusuf (12): 53. 

Dinamika nafsu dalam wacana Islam bergerak dari titik negatif untuk diusahakan sekuat mungkin ke arah positif. Secara sederhana graduasi itu di pilah menjadi tiga bagian nafsu ammarah bi al-su`, lawwamah, dan nafsu muthma’innah.  Jika nafsu nafsu ammarah bi al-su` senantiasa menyeru pada keburukan, maka nafsu lawwamah (nafsu yang mencerca) berada dalam posisi transisi antar buruk dan baik. Seseorang yang dalam posisi ini ingin berada selalu dalam kebaikan namun ia tidak kuasa menghalau nafsu itu saat berkuasa. Oleh karena itu ia akan mencerca dirinya sendiri selepas melaksanakan keburukan itu. Sedangkan nafsu muthma’innah adalah nafsu yang telah tenteram, konsisten dalam kebenaran. 

Secara lebih rinci dinamika nafsu tersebut oleh para pemikir Muslim dirinci secara hirarkis sebagai berikut: nafsu ammarah (ila Allah), lawwamah (li Allah), mulhamah (‘ala Allah), radliyah (fiy Allah), mardliyah (‘an Allah), dan terakhir adalah nafsu kamilah (bi Allah).

Jika proses pembelajaran itu ingin berhasil dalam penanaman nilai-nilai religiusitas hendaknya dintisipasi dan terus dikendalikan kondisi nafsu peserta didik. Karena keberanian kita untuk menganggap remeh masalah ini dapat berakibat fatal pada prilaku mereka. Siapapun mereka, -dalam perspektif ini- semua akan bergerak dari nafsu yang cenderung negatif, maka selayaknya guru mencari cara untuk mengatasinya. Tawuran pelajar yang tak jarang berakhir dengan kematian, misalnya, adalah akibat gagalnya pengendalian nafsu amarah.

Adapu al-Qalb adalah ranah yang paling ‘halus’ paling dalam yang memiliki fungsi untuk mengadakan kontak spiritual dengan Yang Transenden. Jika nafsu berhubungan dengan hal-hal yang bersifat materi, dan akal berhubungan dengan masalah logika dan fenomena, maka hati berhubungan dengan dunia spiritual. Kalau nafsu  memiliki nature negatif, akal memiliki nature netral, maka hati memiliki nature positif. Karena hati adalah tempat hidayah Allah. Hati inilah yang dapat menyerap -melalui dzauq- segenap realitas metfisika melalui proses tadzakkur dan tafakkur. Oleh karenanya al-Ghazali menjelaskan bahwa cara lain untuk mendapatkan ilmu ladunniy adalah dengan riyadlah dan tafakkur. Hal ini dimungkinkan dalam Islam karena ilmu dalam perspektif Islam terbagi atas dua bentuk yakni ilmu empiris-rasional (ilm kasbiy) dan ilmu yang datang langsung dari Allah (ilm ladunniy).
          
Syekh Waqi’ juga telah menjawab keluhan  Imam Syafi’iy  tentang berkurangnya  daya ingatan itu dengan syair sebagai berikut:

 فان العلم نور من اله    ونور الله لا يهدى لعاصي

(Karena sesungguhnya ilmu itu adalah ‘cahaya’ dan ‘Cahaya Allah’ tidak akan menerangi para pendosa).  Dalam pandangan Isam proses pembelajaran haruslah dapat mengolah, mereka daya sedemikian rupa sehingga nafsu dapat dikuasai oleh akal dengan pertimbangan hati. Kondisi pribadi yang harmonis itu digambarkan al-Ghazali, secara metaforis sebagai berikut:

Jiwa itu laksana sebuah negeri. Wilayahnya adalah dua tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh lainnya. Nafsu seksual (syahwat) adalah tuannya dan nafsu agresi (ghadlab) adalah penjaganya (polisi). Al-Qalb adalah raja dan alAql adalah perdana menterinya. Sang raja memerintah mereka semua hingga kokoh kekuasaan dan posisinya.  Karena tuan tanah atas wilayah negeri itu adalah syahwat yang memiliki karakter pendusta, suka mementingkan hal yang remeh, dan berprilaku rendah. Penjaganya adalah ghadlab yang selalu berbuat jahat, pembunuh dan sekaligus pencuri. Jika sang raja membiarkan situasi negara ditangan mereka (nafsu seks dan agresi), maka negara akan hancur dan bangkrut.

Merupakan suatu keharusan bagi sang raja untuk senantiasa bermusyawarah dengan perdana menteri dan menjadikan tuan tanah dan polisi itu ditangan perdana menteri. Jika hal ini dapat diwujudkan, niscaya akan kokohlah kekuasaan dan makmurlah negeri. Demikian juga hati, harus selalu bermusyawarah dengan akal dan menjadikan nafsu syahwat dan ghadlab di bawah kendali perintah akal. Sehingga mantap kondisi jiwa dan mampu mancapai sebab kebahagiaan dari ma’rifat al-hadlrah al-ilahiyyah. Namun bila akal diletakkan di bawah kekuasaan agresi dan seks, maka hancurlah jiwanya. Sedangkan hatinya akan bersedih di akhirat nanti.    

Dari pemaparan di atas hendaklah menjadi pertimbangkan pendidik dalam proses pembelajaran yang seharusnya mempertimbangkan secara serius akan adanya keharmonisan tata ruhaniyah dari peserta didik. Hanya dengan meletakkan hati sebagai raja dan akal sebagai pemegang kendali segala keinginan seksual dan agresifitas sajalah, seorang peserta didik itu akan menjdi baik dalam arti yang sesungguhnya. Bukan hanya baik secara prestasi kognitif semata.

Perlu disadari juga bahwa pendidikan Agama Islam -sebagaimana naturenya-, harus lebih diarahkan untuk sampai pada pada proses internalisasi nilai menjadi sikap dan kepribadian pesertadidik. Walaupun kita sadari sepenuhnya bahwa proses internalisasi itu haruslah didahului oleh proses transfer of knowledge, transfer of competences. Sebagaimana dirasakan bersama bahwa kecenderungan pendidikan Agama Islam hari ini dominan kognitif. 

Bahkan tak jarang ditemui bentuk-bentuk prilaku pesertadidik yang bertentangan dengan teoritis yang mereka kuasai. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa pengajaran agama terus dilaksanakan, akan tetapi tawuran jalan terus. Ini adalah akibat terlantarnya fakultas al-nafs dan al-qalb dalam proses pembelajaran PAI khususnya. Ketika kualitas keberagamaan peserta didik hanya diukur dari seberapa mampu dia menghafal apa yang diberikan oleh guru. Yang terjadi adalah pendanggalan dari realitas beragama itu sendiri.  Maka harus dicarikan solusi untuk membuat pola pengajaran yang terintegratif, yang mampu menampilkan agama dalam tataran teoritis (kognitif) hingga tataran implementatif (afektif). 


SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM


Tidak ada komentar:

Posting Komentar