Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Rabu, 31 Juli 2019

MODUL 8 KB 3 PPG PAI : PARADIGMA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM



PARADIGMA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

ISU-ISU PENTING PAI

Pembahasan tentang pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam, harus berangkat dari identifikasi berbagai isu-isu penting yang menjadi kendala proses pembelajaran PAI. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan tentang pembelajaran PAI nantinya dapat tepat sasaran.  Jika dianalisis secara mendalam eksistensi pembelajaran PAI tampak memiliki background yang sangat sulit. Kendala pembelajaran PAI itu terhampar dari tataran ideologisfilosofis hingga ke tataran praktis metodologis. Problematika itu dapat dipilah menjadi problema ideologis-filosofis, institusional (susana sekolah), Kurikuler dan masalah capaian ranah yang dinginkan (sasaran pendidikan).

A.Arah Pengembangan Ideologis-Filosofis PAI

Pendidikan Agama Islam sesungguhnya menghadapi permasalahan yang sangat serius dalam tataran filosofis, karena wacana pengetahuan dan teknologi saat ini berjalan tanpa kendali agama. Maka pengetahuan dan teknologi tak jarang berkembang menjadi problematika yang sedikit banyak menyulitkan penganut agama itu sendiri dalam hal ini Muslim. Rene Descartes, filosof rasionalisme, pioneer peradaban modern, menolak segala yang disebut sebagai kebenaran yang tidak rasional, tidak bisa diverivikasi. Jika ini yang melandasi science dan teknologi maka secara pasti agama akan tersisihkan –untuk tidak disebut terbuang-. Realitas ini mungkin tidak menjadi maslah bagi Barat yang memang membatasi peran agama dan iptek, namun bagaimana dengan kita sebagai Muslim?
    
Pendidikan Agama Islam secara ideal diharapkan mampu menjawab deskralisasi dan eksternalisasi dinamika science dan teknologi  dari  titik esensial transenden.. Proses desakralisasi dan eksternalisasi ini terjadi sejak awal transformasi science dan teknologi dari intelektual dan filosof Muslim kepada intelektual dan filosof Barat di Eropa, dengan menggunting nilai-nilai religiusitas sebagai akibat permusuhan intelektual dan gereja. 

Dalam hal ini Sayed Husein Nasr, sebagaimana dikutip oleh Dr. C. A. Qadir (1991), menegaskan bahwa pengetahuan dalam visi Islam mempunyai hubungan yang mendalam dengan realitas yang pokok dan premordial yang merupakan Yang Kudus dan sumber dari segala yang kudus. Hanya saja ketika pemikiran Avicena (Ibn Sina) (980-1037 M.) dan Averoes (Ibn Rusyd) (1126-1198 M.) memasuku Eropa dan memberi inspirasi dan dorongan, karya-karya mereka diperkenalkan dalam keadaan sudah dipotong-potong sehingga kehilangan kandungan kandungan spiritualnya. Sebagai akaibatnya pengetahuan hampir sepenuhnya mengalami eksternalisasi dan desakralisasi, terutama di kalangan ummat manusia yang sudah mengalami perubahan karena proses modernisasi.   

 Sehingga menjadi wajar jika tidak kita temukan lagi  kata Tuhan -kecuali hanya sekedar nama-, dalam wacana science dan teknologi tersebut.  Maka menjadi sangat bisa dipahami jika pendidikan ini berdampak pada kegersangan pada aspek religiusitas. Celakanya hari ini kita tidak lagi bisa beranjak dari sekedar  “taqlid”  terhadap dinamika science dan teknologi dari Barat tersebut. Inilah tantangan yang bersifat idiologis  filosofis yang harus diselesaikan oleh Pendidikan Agama Islam.

Tantangan tersebut dicoba dijawab dengan kiat islamisasi science sebagaimana digagas oleh Ismail Raji Alfaruqi, Nasr, Najib al-Attas, Osman Bakar dll. Semangat islamisasi science berangkat dari upaya untuk mengintegrasi kembali nilai-nilai religiusitas Islam dalam wacana science dan teknologi. 

Memang benar bahwa dalam wacana Islam dikenal dualisme disiplin ilmu pengetahuan yakni ilmu agama (ilmu syar’iy) dan ilmu umum (ilmu ghair syar’iy). AlGhazali misalnya dalam Ihya` ‘Ulum al-Din dan Al-Risalah al-Ladunniyah dengan jelas memaparkan strukturalisasi/ klasifikasi yang didasarkan pada dualisme tersebut. Namun demikian dualisme itu dipilih tidak karena pilihan filosofis lebih karena kebutuhan praktis. Dualisme merupakan kemestian untuk mempermudah penyajian dan pemahaman wacana pada peserta didik. Secara hakiki tampaknya tidak tidak dikenal adanya pemisahan ilmu agama dan umum itu. Al-Ghazali dalam hal ini menegaskan bahwa:

 واكثر العلوم الشرعية عقلية عند عالمها واكثر العلوم العقلية شرعية عند عارفها 

(Mayoritas ilmu agama itu rasional bagi mereka yang mengerti, dan mayoritas ilmu umum itu agamis (syar’iyyah) bagi yang mengetahui).

Demikianlah  dalam perspektif Islam, semua bidang  ilmu pengetahuan  –kecuali ilmu-ilmu berbahya seperti ilmu sihir yang merugikan dan ilmu astrologi yang menyesat kan- memiliki kaitan yang niscaya dengan Allah sebagai wajib al-wujud  yang menjadi sebab pertama dan utama bagi segala sesuatu (maujudat). 

Kesadaran bahwa segala ilmu pengetahuan adalah dari Allah dan semestinya diabdikan untuk Allah itu akan sangat membantu dalam pembentukan suasana yang Islami di sebuah institusi pendidikan. Kondisi tersebut pada gilirannya akan dapat berpengaruh langsung dalam pembentukan kepribadian peserta didik yang berwawasan luas dengan kesadaran religiusitas yang tinggi.
       
B.                Arah Pengembangan Institusional  

Jauh panggang dari api, jika kita mengharapkan terwujudnya kepribadian yang Islami dengan tanpa didukung oleh suasana sekolah yang kondusif. Selama Pendidikan Agama Islam hanya dianggap sebagai  pelengkap, terlebih jika paradigma dualisme disiplin ilmu mendominasi secara buta, maka jadilah guru Agama Islam seperti berteriak di tengah padang pasir. Capek dan melelahkan, dengan hasil yang tidak akan pernah menyentuh tataran afektif.

Bagaimana mungkin bisa berhasil guru Agama Islam dalam membisakan peserta didik menutup aurat, misalnya, sementara guru lain untuk pembinanaan jasmaninya mengharuskan membukanya? Bagaimana mungkin keyakinan itu terbentuk jika ketika guru Agama Islam menjelaskan segala sesuatu dari Allah, sedang biologi mengajarkan teori Darwin secara sekuler? Guru agama serius menegaskan bahwa segala sesuatu itu berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya sebagai sunnatullah, sementara para saintis hanya memaknai fenomena itu sebatas hukum alam (natureal of law).

Maka masalah penciptaan kondisi yang kondusif ini mutlak diperlukan sebelum kita berbicara tenteng pengajaran PAI. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kontradiksi nilai yang terjadi di sekolah tersebut. Jika ini terjadi maka akan secara serius dapat mengakibatkan splite personality, sebuah pribadi yang pecah, ambivalen. Sekolah mau tidak mau harus menyediakan kondisi kondusif (Islami) jika benar-benar menginginkan pendidikan Agama Islam maksimal di lembaga tersebut. Sebagai konsekwensinya sekolah semestinya terus berupaya menciptakan suasana yang religius serta menyediakan sarana ibadah secara memadahi.

Harus dibiasakan bertegursapa dengan salam, berjabat tangan, menghormati guru, menghargai dan mencintai kawan, kalau mungkin diadakan sholat berjamaah, shalat Jum’ah. Yang lebih penting dari itu semua, sekolah harus dapat menyatukan visi dan misi iptek-imtaq itu pada segala unsur pendukung pendidikan di sekolah itu, baik pada tenaga edukatif, karyawan,  maupun peserta pendidikan di institusi tersebut.

Tentu saja jika sekolah telah berbenah dengan menyediakan suana yang kondusif bagi internalisasi nilai-nilai agama, dua  dari tripusat pendidikan lainnya yang merupakan kategori pendidikan luar sekolah, keluarga dan masyarakat diharapkan juga dapat mengimbangi.  Akan sangat janggal jika guru Agama Islam mengajarkan pada peserta didiknya untuk membiasakan sholat shubuh, sementara orang tuanya biasa bangun pukul 06.00 WIB.

Akan sangat kesulitan bagi guru agama untuk menjadikan peserta didiknya lancar membaca al-Qur’an dengan fasih dan benar tajwid-nya, tanpa dukungan keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini akan sangat baik jika dapat ditunjang dengan pembelajaran al-Qur’an secara intensif baik di rumah seperti prifat jika orang tua tidak sanggup mengajarkannya sendiri atau di masyarakat dengan bentuk pendidikan diniyahnya.   
Jika kondisi dan suasana kondusif seperti di atas bisa diwujudkan, maka pendidikan Agama Islam sebgai pioneer transfer ilmu agama dan pembentukan nilai tidak punya alasan lagi untuk memaksimalisasikan pendidikan agamanya.      

C.                Pengembangan Kurikuler PAI       

Masalah terpenting yang ada dalam pembahasan kurikulum menyangkut masalah kondisi kurikulum itu sendiri yang sudah semestinya diadakan inovasi atau bahkan reformasi secara berkala guna disesuaikan dengan dinamika wacana dan masanya. Seperti adanya keluhan akan sarat beban yang tentunya harus dikaji ulang secara serius, pakah memamng sarat beban atau bahkan terlalu ringan? Analisis terhadap kurikulum PAI tentu  dengan tetap mengedepankan  pentingnya pertimbangan faktor psikologis siswa, esensial dan fungsional dalam menentukan scope, dan squence, dengan segenap keterbatasan yang ada.  

Dari sudut pendekatan tampak jelas bahwa kurikulum PAI selama ini cenderung  hanya menggunakan pendekatan yang dominan rasional. Problematika kurikulum ini sangat krusial karena inilah aturan main yang harus diterapan dalam proses pendidikan. Maka jika platform-nya bermasalah tentu akan sangat kesulitan dalam implementasi proses belajar-mengajarnya. Masalah yang terkait dengan kurikulum tersebut haruslah diseleseikan dengan pembahasan serius tentangnya yang dihadiri oleh para pakar dengan tetap memperhatikan praktisi dan “pasar”. 

Hal yang juga sangat utopis adalah harapan kita untuk menanamkan secara tuntas nilai-nilai Agama Islam hanya dengan empat jam tatap muka setiap minggunya. Maka sebaiknya standarisasi internalisasi nilai religiusitas itu terpaksa harus dikaji ulang jika jam pengajaran PAI tidak bisa lagi di tambah. PAI dengan kondisi yang demikian mungkin hanya mampu memenuhi kompetensi dasar Agama Islam saja. Gejala semacam ini tampaknya telah disadari dan tengah dibenahi oleh para ahli kurikulum yang ada.   

Adapun masalah pendekatan, strategi pembelajaran merupakan masalah yang diharapkan dapat memberikan solusi atas segala keterbatasan yang ada. Apapun kondisi dan situasi yang dihadapi pendidikan Agama Islam haruslah di tampilkan dengan pilihan strategi pembelajaran yang tepat, sehingga segala keterbatasan tersebut dapat diminimalisir. Karena menunggu tersedianya kondisi dan situasi seringkali hanya menjadi tinggal harapan, maka alternatif pengembangan pembelajaran menjadi tak terelakkan.

Di sinilah guru diharapkan dapat secara cerdas dan kreatif memanipulasi segala hal -dalam pengertian positif- guna memaksimalkan pendidikan Agama Islam. Di samping itu guru Agama Islam diharapkan dapat, memberikan argumentasi yang tangguh sehingga dapat membentengi keimanan peserta didik dari berbagai pemikiran yang terkadang destruktif.Permasalahn ini akan dibicarakan lebih lanjut dalam pembahasan pengembangan pembelajaran pendidikan Agama Islam di bawah.   

D.                Sasaran Ranah Pendidikan Agama Islam

Jika pemikiran taksonomi Bloom dicermati dari sudut wacana Islam, maka tampak ada hal sangat penting yang harus dipertimbangkan. Dalam wacana Bloom terlihat bahwa manusia terdiri atas aspek jasmani dan ruhani. Dimana tampilan jasmaniah dilihat melalui aspek psikomotorik dan tampilan ruhani diamati dari aspek kognitif dan afektif. Pada dasarnya dalam wacana Islam, manusia juga dipersepsi terdiri atas aspek jasmani dan ruhani.  Tampilan jasmani akan dapat juga terlihat dari ranah psikomotorik. Sedangkan tampilan ruhani semestinya dapat telihat dari ‘ranah’ al-Aql, al-Nafs dan al-Qalb.

Masalahnya adalah apakah semua fenomena ranah al-Aql sepenuhnya dapat disamakan dengan ranah kognitif?  Apakah dapat dibenarkan bahwa afektif itu disamakan dengan alnafs dan al-qalb? Jika tidak, sampai batas-batas mana taksonomi Bloom dipakai? Tentu saja hal ini membutuhkan kajian lebih lanjut  secara serius. 
Untuk melihat  lebih jelasnya perbedaan wacana tentang kualitas jiwa di bawah ini ditampilkan skematisasi daya manusia secara sederhana anatara perspektif Bloom dengan pemikir Muslim.

Gb.1 Skematisasi manusia dalam perspektif Bloom
         
                       Manusia               Jasmani               Psikomotorik
                                 
                                          Ruhani                Kognitif
                                               
                                                       Afektif

Gb.2 Skematisasi manusia dalam perspektif Islam

                     Manusia               Jasmani              Psikomotoik
                           
                     Ruhani               Akal (al-Aql)    ----  Kognitif
                                                     
                                     Nafsu (al-Nafs)      Afektif   (?)                 
                                                      
                                     Hati (al-Qalb)                 

Yang membuat praktisi pendidikan Islam lebih mengenal pola Bloom, dari pada  pola kualitas jiwa yang telah ada dalam wacana Islam adalah karena ranah atau daya-daya jiwa dalam pemikiran Muslim tersebut mengalami stagnasi. Hingga kini tampaknya tidak ada pemikir pendidikan Islam yang mencoba mem-break down dalam kata-kata operasional. Praktisi terjebak dalam rutinitas yang membuat mereka tidak terlalu berfikir banyak tentang ada tidaknya fakultas jiwa yang tidak tergarap dengan pengambilan pola Bloom itu.

Dalam kondisi seperti ini yang terpenting untuk segera disadari dan selanjutnya diharapkan menjadi landasan dalam proses pembelajaran kita adalah adanya sebuah kesadaran bahwa pola Bloom saja tidak memdahi untuk membentuk peserta didik yang sarat nilai. Perlu disadari juga bahwa dalam wacana Islam – terutama filsafat dan tasawuf- dinamika akal  (kognitif) itu tidak hanya sampai pada batas analisis saja. Tetapi, menurut al-Farabi kemampuan akal itu bisa sampai pada level mustafad (acquired intellect), dimana akal dimungkinkan dapat berhubungan dengan malaikat (akal sepuluh). Sehingga dapat mencapai pengetahuan intuitif. Bahkan al-Ghazali menegaskan bahwa banyak membaca sehingga dapat membuat abstraksi dan menemukan kesimpulan-kesimpulan universal adalah bagian dari metode untuk mencapai ilmu ladunniy.

Mengenai ranah al-Nafs, haruslah disadari sepenuhnya bahwa nature nafsu itu adalah senantiasa menyeru kepada perbuatan buruk. Allah dalam al-Qur’an menyatakan:
 
وما ابرئ نفسي ان النفس لا مارة باالسؤ  الا ما رحم ربي ان ربي غفور رحيم 

(Dan aku tidak (sanggup) membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu senantisa menyuruh kepada kejahatan,  kecuali nafsu yang dirahmati oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Qs. Yusuf (12): 53. 

Dinamika nafsu dalam wacana Islam bergerak dari titik negatif untuk diusahakan sekuat mungkin ke arah positif. Secara sederhana graduasi itu di pilah menjadi tiga bagian nafsu ammarah bi al-su`, lawwamah, dan nafsu muthma’innah.  Jika nafsu nafsu ammarah bi al-su` senantiasa menyeru pada keburukan, maka nafsu lawwamah (nafsu yang mencerca) berada dalam posisi transisi antar buruk dan baik. Seseorang yang dalam posisi ini ingin berada selalu dalam kebaikan namun ia tidak kuasa menghalau nafsu itu saat berkuasa. Oleh karena itu ia akan mencerca dirinya sendiri selepas melaksanakan keburukan itu. Sedangkan nafsu muthma’innah adalah nafsu yang telah tenteram, konsisten dalam kebenaran. 

Secara lebih rinci dinamika nafsu tersebut oleh para pemikir Muslim dirinci secara hirarkis sebagai berikut: nafsu ammarah (ila Allah), lawwamah (li Allah), mulhamah (‘ala Allah), radliyah (fiy Allah), mardliyah (‘an Allah), dan terakhir adalah nafsu kamilah (bi Allah).

Jika proses pembelajaran itu ingin berhasil dalam penanaman nilai-nilai religiusitas hendaknya dintisipasi dan terus dikendalikan kondisi nafsu peserta didik. Karena keberanian kita untuk menganggap remeh masalah ini dapat berakibat fatal pada prilaku mereka. Siapapun mereka, -dalam perspektif ini- semua akan bergerak dari nafsu yang cenderung negatif, maka selayaknya guru mencari cara untuk mengatasinya. Tawuran pelajar yang tak jarang berakhir dengan kematian, misalnya, adalah akibat gagalnya pengendalian nafsu amarah.

Adapu al-Qalb adalah ranah yang paling ‘halus’ paling dalam yang memiliki fungsi untuk mengadakan kontak spiritual dengan Yang Transenden. Jika nafsu berhubungan dengan hal-hal yang bersifat materi, dan akal berhubungan dengan masalah logika dan fenomena, maka hati berhubungan dengan dunia spiritual. Kalau nafsu  memiliki nature negatif, akal memiliki nature netral, maka hati memiliki nature positif. Karena hati adalah tempat hidayah Allah. Hati inilah yang dapat menyerap -melalui dzauq- segenap realitas metfisika melalui proses tadzakkur dan tafakkur. Oleh karenanya al-Ghazali menjelaskan bahwa cara lain untuk mendapatkan ilmu ladunniy adalah dengan riyadlah dan tafakkur. Hal ini dimungkinkan dalam Islam karena ilmu dalam perspektif Islam terbagi atas dua bentuk yakni ilmu empiris-rasional (ilm kasbiy) dan ilmu yang datang langsung dari Allah (ilm ladunniy).
          
Syekh Waqi’ juga telah menjawab keluhan  Imam Syafi’iy  tentang berkurangnya  daya ingatan itu dengan syair sebagai berikut:

 فان العلم نور من اله    ونور الله لا يهدى لعاصي

(Karena sesungguhnya ilmu itu adalah ‘cahaya’ dan ‘Cahaya Allah’ tidak akan menerangi para pendosa).  Dalam pandangan Isam proses pembelajaran haruslah dapat mengolah, mereka daya sedemikian rupa sehingga nafsu dapat dikuasai oleh akal dengan pertimbangan hati. Kondisi pribadi yang harmonis itu digambarkan al-Ghazali, secara metaforis sebagai berikut:

Jiwa itu laksana sebuah negeri. Wilayahnya adalah dua tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh lainnya. Nafsu seksual (syahwat) adalah tuannya dan nafsu agresi (ghadlab) adalah penjaganya (polisi). Al-Qalb adalah raja dan alAql adalah perdana menterinya. Sang raja memerintah mereka semua hingga kokoh kekuasaan dan posisinya.  Karena tuan tanah atas wilayah negeri itu adalah syahwat yang memiliki karakter pendusta, suka mementingkan hal yang remeh, dan berprilaku rendah. Penjaganya adalah ghadlab yang selalu berbuat jahat, pembunuh dan sekaligus pencuri. Jika sang raja membiarkan situasi negara ditangan mereka (nafsu seks dan agresi), maka negara akan hancur dan bangkrut.

Merupakan suatu keharusan bagi sang raja untuk senantiasa bermusyawarah dengan perdana menteri dan menjadikan tuan tanah dan polisi itu ditangan perdana menteri. Jika hal ini dapat diwujudkan, niscaya akan kokohlah kekuasaan dan makmurlah negeri. Demikian juga hati, harus selalu bermusyawarah dengan akal dan menjadikan nafsu syahwat dan ghadlab di bawah kendali perintah akal. Sehingga mantap kondisi jiwa dan mampu mancapai sebab kebahagiaan dari ma’rifat al-hadlrah al-ilahiyyah. Namun bila akal diletakkan di bawah kekuasaan agresi dan seks, maka hancurlah jiwanya. Sedangkan hatinya akan bersedih di akhirat nanti.    

Dari pemaparan di atas hendaklah menjadi pertimbangkan pendidik dalam proses pembelajaran yang seharusnya mempertimbangkan secara serius akan adanya keharmonisan tata ruhaniyah dari peserta didik. Hanya dengan meletakkan hati sebagai raja dan akal sebagai pemegang kendali segala keinginan seksual dan agresifitas sajalah, seorang peserta didik itu akan menjdi baik dalam arti yang sesungguhnya. Bukan hanya baik secara prestasi kognitif semata.

Perlu disadari juga bahwa pendidikan Agama Islam -sebagaimana naturenya-, harus lebih diarahkan untuk sampai pada pada proses internalisasi nilai menjadi sikap dan kepribadian pesertadidik. Walaupun kita sadari sepenuhnya bahwa proses internalisasi itu haruslah didahului oleh proses transfer of knowledge, transfer of competences. Sebagaimana dirasakan bersama bahwa kecenderungan pendidikan Agama Islam hari ini dominan kognitif. 

Bahkan tak jarang ditemui bentuk-bentuk prilaku pesertadidik yang bertentangan dengan teoritis yang mereka kuasai. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa pengajaran agama terus dilaksanakan, akan tetapi tawuran jalan terus. Ini adalah akibat terlantarnya fakultas al-nafs dan al-qalb dalam proses pembelajaran PAI khususnya. Ketika kualitas keberagamaan peserta didik hanya diukur dari seberapa mampu dia menghafal apa yang diberikan oleh guru. Yang terjadi adalah pendanggalan dari realitas beragama itu sendiri.  Maka harus dicarikan solusi untuk membuat pola pengajaran yang terintegratif, yang mampu menampilkan agama dalam tataran teoritis (kognitif) hingga tataran implementatif (afektif). 
 
E. Pengembangan Pembelajaran PAI

Holistik Hakekat belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. Dalam bahasa Bloom belajar adalah perubahan tingkah laku baik yang menyangkut pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Secara lebih tajam dalam perspektif Islam belajar adalah perubahan prilaku sebagai pengejawantahan perubahan struktur ruhani yang in ballancing. Belajar adalah upaya menempatkan kemabali dan mekokohkan posisi hati sebagai penguasa ruhani, akal sebagai pengendali segenap aktifitas nafsu-baik seksual maupun agresifitas- yang terwujud dalam prilaku fisik (psikomotorik).

Proses pembelajaran dalam pendidikan Agama Islam, adalah proses restrukturisasi dan pensucian ruhani. Dalam bahasa al-Ghazali pendidikan Agama Islam adalah proses penyembuhan ruhani yang sakit. Karena menurut al-Ghazali, jiwa manusia itu ada yang terjaga dalam kesehatan original (al-sihhah al-ashliyyah) yakni jiwa para nabi, dan jiwa yang sakit yakni jiwa-jiwa manusia lainnya. Karena kesehatan, kesucian dan keasliannya jiwa para nabi menjadi cerdas dengan sendirinya mampu menagkap segenap sinyal metafisik (wahyu). Ia tidak pernah terdinding dari kebenaran berkat kemurnian fitrahnya. Mereka tidak memerlukan pendidikan manusia, tetapi didik langsung oleh Allah melalui malaikat Jibril. Sementara jiwa manusia lainnya menjadi mutlak membutuhkan pendidikan untuk mengobati sakitnya itu. 

Dalam kitab al-Risalah al-Ladunniyah  al-Ghazali membagi model pendidikan itu menjadi dua yaitu pembelajaran humanistik (al-ta’lim al-insaniy) dan pembelajaran transendental (al-ta’lim al-rabbaniy)
 
1.  Pengembangan Pembelajaran Humanistik PAI 

(Al-Ta’lim al-Insaniy) Proses pembelajaran humanistik (al-ta’lim al-insaniy) dapat berupa dua bentuk yaitu proses belajar dari dalam diri ke luar melalui kontemplasi (tafakkur) dari dapat juga dari luar ke dalam diri manusia. Pembelajaran  humanistik (al-ta’lim al-insaniy) yang lebih bernuansa horisontal biasanya melalui tatap muka di kelas. Pembelajaran ini meliputi kegiatan mengorganisasikan pengalaman belajar, mengolah kegiatan belajar-mengajar, menilai proses dan hasil belajar yang kesemuanya merupakan tanggung jawab guru.

Pada model pembelajaran ini semestinya Muslim tida terjebak untuk menerapkan pendekatan sufistik yang amat ketat yang memang berlaku dalam pembelajaran transendental (al-ta’lim al-rabbaniy), dimana murid tidak boleh memiliki aktifitas lain selain diam.  Dalam pembelajaran humanis yang lebih empiris dan rasional sangat baik bila dipakai berbagai model yang sudah diuji efektifitasnya oleh para pakar pendidikan.

Model-model pembelajaran tersebut terus dikembangkan oleh para pakar pendidikan, guna mengoptimalisasikan proses belajar mengajar yang ada. Cara belajar yang theacer centered, sebagai bentuk cara belajar guru aktif, siswa pasif sudah lama dialihkan menjadi student centered, yakni cara belajar siswa aktif. Perubahan ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan akan pentingnya memeberikan ruang yang lebih luas pada peserta didik.

Karena sesungguhnya tidak akan pernah ada bentuk pendidikan yang benar-benar guru saja yang aktif atau sebaliknya.  Cara belajar student centered  (active learning) ini juga diikuti dengan penawaran jenis belajar yang baru. Yaitu dari belajar konsep menjadi belajar proses. Belajar konsep lebih menekankan hasil belajar pada pemahaman terhadap fakta dan prinsip dan banyak bergantung pada penjelasan guru (bahan/ isi pelajaran) serta dominan kognitif. Sedangkan belajar proses (ketrampilan proses) menekankan pada bagaimana pelajaran itu diajarkan dan dipelajari. 

Namun demikian belajar konsep tidak bisa dipertentangkan secara ekstrim dengan belajar proses. Keduanya berada di dalam garis kontinum, dimana yang satu lebih mengutamakan pada penghayatan proses dan yang lain lebih menekankan pada perolehan hasil, pemahaman fakta dan prinsip. Belajar ketrampilan proses tidak mungkin terjadi bila tidak ada materi yang akan dipelajari. Begitu juga dengan belajar konsep tidak akan bisa dilaksanakan tanpa ketrampilan proses. Pada pembelajaran yang bersifat ekspositori, belajar konsep dengan tingkat keterlibatan siswa yang terbatas mungkin lebih efektif. Sementara ketrampilan proses lebih efektif diberlakukan pada modus pembelajaran discovery yang membutuhkan tingkat keaktifan siswa cukup tinggi.

Model akhir yang kini lagi gencar-gencarnya dipromosikan adalah Contextual Teaching and Learning (CTL). Belajar bukan sekedar persoalan peserta didik hafal apa atau menguasai apa, tetapi lebih jauh dari itu. Apakah yang dipelajari itu berguna dalam konteks kehidupannya? Apakah isi materi pembelajaran itu benar-benar bermakna bagi diri peserta didik? Karena membelajarkan sesuatu yang tidak terkait dengan konteks peserta didik akan sia-sia dan terbuang dari ingatan. Sia-sia. Hasil penelitian ahli Psikokognitif modern menunjukkan bahwa 90 % dari yang dipelajari peserta didik seharian akan hilang dari pikiran kecuali 10 %. Sepuluh persen yang tetap setia tinggaldalam pikiran kita dari yang kita pelajari hanyalah yang menarik bagi kita.

Dalam bahasa lain hanya content (materi)  yang bersesuaian dengan context-nya sajalah yang akan menciptakan meaning (makna). Maka pembelajaran termasuk PAI di dalamnya harus memahami hal ini. Guru PAI harus bias mengkaitan setiap pokok bahasan dengan diri dan situasi yang melingkupi peserta didik baik itu keyakinannya, ideologinya, minat, kesenangannya, kebiasaan, budaya yang berkembang, trend teknologi serta berbagai hal yang ada di sekitar mereka. Dengan demikian pembelajaran PAI menjadi segar sesuai situasi dan tidak jumud dan membosankan.

Menerapkan CTL berarti harus juga mampu menerapkan varian model pembelajran yang ada di dalamnya seperti: Direct instruction, problem based learning dan cooperative learning. Model cooperative learning yang dipopulerkan oleh Vegot Sky menekankan adanya kerjasama antar siswa dalam pembelajaran. Hal ini akan mampu meningkatkan daya serap siswa secara keseluruhan dengan lebih baik. Di Indonesia ini lebih dikenal dengan PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif dan Menyenagkan). Berbagai teknik terbaru dalam pembelajaran model CTL ini juga mutlakharus dikuasai oleg guru PAI seperti: The Power of Two, Snow balling, Team Quiz, Jigsaw, Billboard Ranking, Video Comment, Poster Session, Critical Incident, Every One is a Theacher Here, Learning Start with Question,  dll. 

Namun begitu guru PAIjuga harus tetap mempertimbangkan model-model pembelajran sebelumnya seperti Quantum Learning. Jika pada belajar konsep dan proses, konsentrasi pengembangan pada peserta didik. Pada model pembelajaran quantum learning ini konsentrasi pengembangan lebih diarahkan pada penciptaan kondisi dan situasi belajar yang menyenangkan. Ini berarti titik tekannya lebih pada optimalisasi pengelolaan kelas. Bobbi De Porter (1992) dalam hal ini menyatakan:

Kami percaya bahwa belajar baru efektif dalam suasana gembira. Kami percaya bahwa belajar adalah proyek sepanjang hayat yang dapat dilakukan orang dengan penuh ceria dan sukses. Kami percaya bahwa keseluruhan kepribadian sangat penting; intelek, fisik dan emosi. Dan kami percaya bahwa harga diri yang tinggi adalah unsur pokok dalam membentuk pelajar yang sehat dan bahagia. 

Untuk mendukung falsafah ini, kami berusaha menciptakan lingkungan belajar begitu rupa sehingga mereka merasa penting, aman dan menyenangkan. Ini dimulai dari lingkungan fisik  yang dipercantik dengan tanaman, seni, dan musik. Ruang belajar harus terasa menyenangkan agar belajar optimal. Lingkungan emosional juga penting. Dalam program yang kami selenggarakan, para pengajar sangat ahli dalam menciptakan hubungan akrab dengan siswanya.

Yang terpenting dalam model pembelajaran quantum learning ini adalah penciptaan situasi dan kondisi kelas serta hubungan guru-murid yang menyenangkan. Hal terpenting yang dapat diambil dari tiga model pembelajaran tersebut –belajar konsep, proses dan quantum learning-  adalah bahwa untuk menjadi bermakna dan optimal pembelajaran harus memperhatikan tiga hal: yaitu siswa, lingkungan belajar dan suasana emosional pendidik-peserta didik. Dalam bahasa sederhana ketiga point harus optimalisasikan. Guru harus benar-benar memahami, kapan, pada materi apa siswa mesti aktif, dan pada saat kapan ia harus pasif. Sekolah harus bisa memanipulasi lingkungan belajarnya menjadi tempat yang menyenangkan. Sedangkan hubungan emosional gurumurid harus terbina dengan penuh keakraban. 

Jika ketiga persoalan di atas disusun secara hirarkis berdasarkan tingkat urgensinya, maka tampaknya dalam masalah model pembelajaran yang efektif itu hubungan emosional guru-murid merupakan faktor yang paling menentukan proses pembelajaran. Kemudian masalah keaktifan siswa dan lingkungan belajar yang kondusif. 

Bagaimanapun juga guru adalah pusat perhatian dan pemegang kendali proses pembelajaran. Maka suasana emosional yang terbangun antara guru dan murid akan sangat menetukan minat dan motivasi belajar peserta didik. Guru tidak boleh mengorbankan kedekatan dengan peserta didik hanya karena alasan menjaga kewibawaan. Walaupun benar bahwa hilangnya batasan guru dan murid dapat melunturkan kewibawaan tersebut. 

Untuk bisa menampilkan model pembelajaran seperti dikehendaki oleh quantum learning sekolah harus menyediakan dana yang cukup besar –untuk tidak menyebut sangat. Model quantum learning akan sangat cocok untuk sekolah-sekolah unggulan yang memang memiliki dukungan dana yang kuat. Sementara bagi sekolah-sekolah reguler quantum learning  akan dihadapkan pada problem finansial. 

Kalau untuk menunjang belajar proses aktif/ Pakem saja, banyak terkendala oleh tidak  tersediakannya  sarana-prasarana yang memadahi seperti: meja-kursi yang mudah digerakkan dan ringan (mobile), perpustakaan yang lengkap. Apalagi quantum learning yang semestinya membutuhkan ruangan ber-AC, bersih, indah, ada peredam suaranya, dengan musik-musik klasik mengiringi proses belajar mengajar, akan sangat sulit diterapkan secara ideal. Pada akhirnya meskipun kita sangat setuju dengan model quantum learning tampaknya kita mesti realistis bahwa tampilan quantum learning perlu inovasi kreatif dari sang guru (sekolah) itu sendiri. Pada prinsipnya guru harus berusaha semaksimal mungkin mengelola kelas menjadi bersih, indah, dan menyenangkan walaupun dalam taraf yang sangat minimal.
 
2.  Pengembangan Pembelajaran PAI

Transendental (Ta’lim al-Rabbaniy) Adapun proses pembelajaran transendental (al-ta’lim al-rabbaniy) adalah bentuk pembelajaran Gurunya adalah Allah SWT sendiri. Dalam perspektif Islam Tuhan bukan hanya Penguasa tetapi juga Pemberi Ilmu (Pengajar). Bahkan kata tarbiyah berasal dari kata  fi’il madli  rabba (mengatur, memelihara). Sedangkan Tuhan dalam Bahasa Arab disebut dengan Rabb (Yang Maha Memelihara, Mendidik).

Al-Ghazali membagi model pembelajaran ini ke dalam dua bentuk yaitu; bentuk Wahyu dan Ilham. Jika wahyu hanya berlaku pada nabi maka ilham dapat berlaku bagi mereka yang bukan nabi. Maka pembelajaran transendental (al-ta’lim al-rabbaniy) ini  lebih diarahkan agar murid dapat melakukan mobilitas vertikal secara intens dengan Allah SWT. Hal ini jugalah yang secara hakiki menjadi tujuan PAI yakni mengantar murid ‘kembali’ kepada Allah SWT. Secara hakiki pembelajaran PAI diharapkan mampu mengembalikan kondisi ruhani murid untuk dapat menerima ilham dari Allah. 

Sebelum kita berbicara tentang apa yang harus dilakukan murid dalam pembelajaran ini, terlebih dahulu guru harus telah ‘sempurna’. Guru harus ‘alim dan sekaligus ‘abid  dalam bahasa sederhana guru harus shaleh. Karena nantinya ia akan menjadi pusat figur bagi implementasi nilai-nilai dan ajaran agama itu sendiri. Maka suri teladan yang baik dari guru adalah hal yang mutlak dalam pembelajaran Agama Islam. Suri teladan itu diharapkan bukan sekedar kamuflase, tetapi benar-benar telah terinternalisasi dalam pribadi seorang guru.

Kamuflase hanya akan membuat peserta didik kecewa akan gurunya, karena apa yang tampak baik selama ini hanya sandiwara semata. Sikap fatal yang bisa muncul dari kamuflase ini dapat berupa perlawanan, penolakan, pasif, cuek terhadap pembelajaran atau bahkan murid akan mengikuti guru uuntuk bersifat ambigu. Kalau murid telah pandai berpura-pura baik dihadapan guru dan sebaliknya di belakang guru, maka ini artinya jiwa mereka telah pecah (splite personality). Dalam bahasa agama ini adalah munafik yang diancam keras oleh Islam.

Banyak sekali ayat-ayat al-Qur`an yang  mengancam mereka yang hanya bisa berbicara tetapi tidak pernah melaksanakan. Begitu juga Hadis Nabi Muhammad SAW. Juga banyak yang mencaci mereka yang hanya bisa berteori tetapi tidak pernah berbuat. Rasulullah menyebut mereka sebagai ‘alim munafiq alim lisan jahil al-qalb wa al-‘amal (intelektual munafik, yang lidahnya lincah namun hatinya bodoh amalnya tiada). Wal’iyadzubillah.

Dalam dunia pendidikan teladan menjadi penting karena penampilan guru adalah panutan langsung dari sikap siswanya. Sebaik apapun kata-kata guru, jika ternyata bertentangan dengan apa yang diperbuat pasti ia akan direndahkan oleh peserta didik.  Dalam pepatah Arab dikatan lisan al-hal afshah min lisan al-maqal (bahasa prilaku itu jauh lebih tajam dari pada bahasa lisan). Teladan yang baik adalah modal utama bagi kewibawaan guru yang dalam pembelajaran agama aadalah mutlak.

Apalagi dalam pembelajaran transendental seorang guru mutlak ‘perfect’’ sebelum ia memberi bimbingan kepada muridnya. Guru itu harus sudah sembuh dari berbagai penyakit ruhani sebelum ia mencoba menyembuhkan sakit ruhani muridnya. Guru itu harus sudah mengerti jalan menuju Allah, bahkan idealnya telah washil, sebelum mendidik murid-muridnya. Ini adalah tugas suci yang sangat berat yang semestinya dicapai oleh setiap mereka yang berani menamakan guru Agama Islam.

Hal lain yang harus senantiasa dilakukan oleh guru agama adalah mendoakan semua pesertadidinya. Bahkan pada peserta didik yang membandel sekalipun guru agama harus senantiasa mendoakannya. Doa adalah senjata ghaib yang diharapkan dapat menyempurnakan segenap kekurangan aktifitas lahiriyah pembelajaran, sehingga terbina jiwa-jiwa peserta didik yang benar-benar sholih-sholihah.

Adapun yang sangat penting untuk dibiasakan pada peserta didik adalah tafakkur dan latihan ibadah (riyadlah) . Semestinya peserta didik diajak memahami agama melalui pemahama terhadap realitas yang ada. Mereka diajak untuk terbiasa melihat kaitan antara segala sesuatu dengan Causa Prima Allah. Karena sesungguhnya tafakkur adalah proses kembali ke Allah dengan menggunakan akal sebagai sarananya.

Setelah dididik secara rasional emosional, peserta didik semestinya dibiasakan dengan berbagai amalan sunnah seperti: membaca al-Qur’an, berdzikir, puasa sunnah, shalat-shalat sunnah dll. Riyadlah adalah aspek yang sering dinafikan dalam proses pembelajaran agama kita hari ini. Padahal tanpanya tidak bisa dibayangkan bagaimana nilai dan ajaran Islam itu dapat diinternalisasikan. Untuk bisa menyembuhkan, memperbaiki dan menata ulang ruhani murid tampaknya tidak ada yang lebih dibutuhkan dari riyadlah ini.

Al-Ghazali menegaskan bahwa dzikir akan berdampak langsung pada perbaikan ruhani seseorang jika itu dilakukan dengan benar. Al-Qur’an sendiri menjelakan bahwa ia adalah petunjuk kebenaran (hudan), obat penyakit ruhani (syifa’), dan rahmat bagi mereka yang beriman. 

Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa untuk mengembangkan pembelajaran pendidikan Agama Islam secara maksimal ternyata bukanlah pekerjaan yang mudah. Maksimalisasi pendidikan agama hanya bisa dilakukan jika dibarengi dengan suasana kondusif dari berbagai faktor. Konsep filosofis tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan Islami, kondisi dan suasana institusi sekolah yang Islami dan kurikulum yang efektif dan efisien adalah hal-hal yang harus dipenuhi untuk dapat mewujudkan proses belajar-mengajar –dalam hal ini PAI- yang bagus dan menyenangkan.

Yang juga perlu disadari adalah adanya kekhasan dari pembelajaran PAI itu sendiri yang bersifat sarat nilai. Maka dengan mengikuti pola al-Ghazali, pembelajaran  Agama Islam harus melalui dua model pendektan yaitu; pendekatan humanistik (al-ta’lim alinsaniyi) dan pendekatan transendental (al-ta’lim al-rabbaniy). Pembelajaran yang selama ini berlangsung tampaknya lebih –untuk tidak mengetakan hanya- menekankan ta’lim insaniy-nya saja. Pembejaran seperti ini hanya mampu mengantarkan peserta didik pandai tapi belum tentu shaleh. Padahal kualitas shaleh merupakan poin utama dalam pembelajaran PAI. 

Ketimpangan ini nantinya harus segera diseleseikan dengan menggunakan pola ta’lim robbaniy. Dengan ta’lim robbaniy  tersebut diharapkan dapat tergarap ruang-ruang esensial yang selama ini tertinggal.  Sehingga apa yang dikeluhkan selama ini bahwa pendidikan Agama Islam gagal menyentuh aspek prilaku, atau hanya menjadi konsumsi rasional, dapat dijawab. Sehingga benar-benar dapat diwujudkan tujuan pendidikan yang menginginkan terbentuknya out put  yang beriman taqwa dengan tampilan ahlak yang mulia.

SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM



Tidak ada komentar:

Posting Komentar