PARADIGMA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
ISU-ISU PENTING PAI
Pembahasan
tentang pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam, harus berangkat dari
identifikasi berbagai isu-isu penting yang menjadi kendala proses pembelajaran
PAI. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan tentang pembelajaran PAI nantinya
dapat tepat sasaran. Jika dianalisis
secara mendalam eksistensi pembelajaran PAI tampak memiliki background yang
sangat sulit. Kendala pembelajaran PAI itu terhampar dari tataran
ideologisfilosofis hingga ke tataran praktis metodologis. Problematika itu
dapat dipilah menjadi problema ideologis-filosofis, institusional (susana sekolah),
Kurikuler dan masalah capaian ranah yang dinginkan (sasaran pendidikan).
A.Arah
Pengembangan Ideologis-Filosofis PAI
Pendidikan
Agama Islam sesungguhnya menghadapi permasalahan yang sangat serius dalam
tataran filosofis, karena wacana pengetahuan dan teknologi saat ini berjalan
tanpa kendali agama. Maka pengetahuan dan teknologi tak jarang berkembang
menjadi problematika yang sedikit banyak menyulitkan penganut agama itu sendiri
dalam hal ini Muslim. Rene Descartes, filosof rasionalisme, pioneer peradaban
modern, menolak segala yang disebut sebagai kebenaran yang tidak rasional,
tidak bisa diverivikasi. Jika ini yang melandasi science dan teknologi maka
secara pasti agama akan tersisihkan –untuk tidak disebut terbuang-. Realitas
ini mungkin tidak menjadi maslah bagi Barat yang memang membatasi peran agama
dan iptek, namun bagaimana dengan kita sebagai Muslim?
Pendidikan Agama Islam secara ideal
diharapkan mampu menjawab deskralisasi dan eksternalisasi dinamika science dan
teknologi dari titik esensial transenden.. Proses
desakralisasi dan eksternalisasi ini terjadi sejak awal transformasi science
dan teknologi dari intelektual dan filosof Muslim kepada intelektual dan
filosof Barat di Eropa, dengan menggunting nilai-nilai religiusitas sebagai akibat
permusuhan intelektual dan gereja.
Dalam hal ini Sayed Husein Nasr,
sebagaimana dikutip oleh Dr. C. A. Qadir (1991), menegaskan bahwa pengetahuan
dalam visi Islam mempunyai hubungan yang mendalam dengan realitas yang pokok
dan premordial yang merupakan Yang Kudus dan sumber dari segala yang kudus.
Hanya saja ketika pemikiran Avicena (Ibn Sina) (980-1037 M.) dan Averoes (Ibn
Rusyd) (1126-1198 M.) memasuku Eropa dan memberi inspirasi dan dorongan,
karya-karya mereka diperkenalkan dalam keadaan sudah dipotong-potong sehingga
kehilangan kandungan kandungan spiritualnya. Sebagai akaibatnya pengetahuan
hampir sepenuhnya mengalami eksternalisasi dan desakralisasi, terutama di
kalangan ummat manusia yang sudah mengalami perubahan karena proses
modernisasi.
Sehingga menjadi wajar jika tidak kita temukan
lagi kata Tuhan -kecuali hanya sekedar
nama-, dalam wacana science dan teknologi tersebut. Maka menjadi sangat bisa dipahami jika
pendidikan ini berdampak pada kegersangan pada aspek religiusitas. Celakanya
hari ini kita tidak lagi bisa beranjak dari sekedar “taqlid”
terhadap dinamika science dan teknologi dari Barat tersebut. Inilah
tantangan yang bersifat idiologis
filosofis yang harus diselesaikan oleh Pendidikan Agama Islam.
Tantangan tersebut dicoba dijawab
dengan kiat islamisasi science sebagaimana digagas oleh Ismail Raji Alfaruqi,
Nasr, Najib al-Attas, Osman Bakar dll. Semangat islamisasi science berangkat
dari upaya untuk mengintegrasi kembali nilai-nilai religiusitas Islam dalam
wacana science dan teknologi.
Memang benar bahwa dalam wacana Islam
dikenal dualisme disiplin ilmu pengetahuan yakni ilmu agama (ilmu syar’iy) dan
ilmu umum (ilmu ghair syar’iy). AlGhazali misalnya dalam Ihya` ‘Ulum al-Din dan
Al-Risalah al-Ladunniyah dengan jelas memaparkan strukturalisasi/ klasifikasi
yang didasarkan pada dualisme tersebut. Namun demikian dualisme itu dipilih
tidak karena pilihan filosofis lebih karena kebutuhan praktis. Dualisme
merupakan kemestian untuk mempermudah penyajian dan pemahaman wacana pada
peserta didik. Secara hakiki tampaknya tidak tidak dikenal adanya pemisahan
ilmu agama dan umum itu. Al-Ghazali dalam hal ini menegaskan bahwa:
واكثر العلوم الشرعية عقلية عند عالمها واكثر العلوم العقلية شرعية عند عارفها
(Mayoritas ilmu agama itu rasional bagi
mereka yang mengerti, dan mayoritas ilmu umum itu agamis (syar’iyyah) bagi yang
mengetahui).
Demikianlah dalam perspektif Islam, semua bidang ilmu pengetahuan –kecuali ilmu-ilmu berbahya seperti ilmu
sihir yang merugikan dan ilmu astrologi yang menyesat kan- memiliki kaitan yang
niscaya dengan Allah sebagai wajib al-wujud
yang menjadi sebab pertama dan utama bagi segala sesuatu
(maujudat).
Kesadaran bahwa segala ilmu pengetahuan
adalah dari Allah dan semestinya diabdikan untuk Allah itu akan sangat membantu
dalam pembentukan suasana yang Islami di sebuah institusi pendidikan. Kondisi
tersebut pada gilirannya akan dapat berpengaruh langsung dalam pembentukan
kepribadian peserta didik yang berwawasan luas dengan kesadaran religiusitas
yang tinggi.
B.
Arah
Pengembangan Institusional
Jauh panggang dari api, jika kita
mengharapkan terwujudnya kepribadian yang Islami dengan tanpa didukung oleh
suasana sekolah yang kondusif. Selama Pendidikan Agama Islam hanya dianggap
sebagai pelengkap, terlebih jika
paradigma dualisme disiplin ilmu mendominasi secara buta, maka jadilah guru
Agama Islam seperti berteriak di tengah padang pasir. Capek dan melelahkan,
dengan hasil yang tidak akan pernah menyentuh tataran afektif.
Bagaimana mungkin bisa berhasil guru
Agama Islam dalam membisakan peserta didik menutup aurat, misalnya, sementara
guru lain untuk pembinanaan jasmaninya mengharuskan membukanya? Bagaimana
mungkin keyakinan itu terbentuk jika ketika guru Agama Islam menjelaskan segala
sesuatu dari Allah, sedang biologi mengajarkan teori Darwin secara sekuler?
Guru agama serius menegaskan bahwa segala sesuatu itu berasal dari Allah dan
akan kembali kepadaNya sebagai sunnatullah, sementara para saintis hanya
memaknai fenomena itu sebatas hukum alam (natureal of law).
Maka masalah penciptaan kondisi yang
kondusif ini mutlak diperlukan sebelum kita berbicara tenteng pengajaran PAI.
Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kontradiksi nilai yang terjadi di
sekolah tersebut. Jika ini terjadi maka akan secara serius dapat mengakibatkan
splite personality, sebuah pribadi yang pecah, ambivalen. Sekolah mau tidak mau
harus menyediakan kondisi kondusif (Islami) jika benar-benar menginginkan
pendidikan Agama Islam maksimal di lembaga tersebut. Sebagai konsekwensinya
sekolah semestinya terus berupaya menciptakan suasana yang religius serta
menyediakan sarana ibadah secara memadahi.
Harus dibiasakan bertegursapa dengan
salam, berjabat tangan, menghormati guru, menghargai dan mencintai kawan, kalau
mungkin diadakan sholat berjamaah, shalat Jum’ah. Yang lebih penting dari itu
semua, sekolah harus dapat menyatukan visi dan misi iptek-imtaq itu pada segala
unsur pendukung pendidikan di sekolah itu, baik pada tenaga edukatif, karyawan, maupun peserta pendidikan di institusi
tersebut.
Tentu saja jika sekolah telah berbenah
dengan menyediakan suana yang kondusif bagi internalisasi nilai-nilai agama,
dua dari tripusat pendidikan lainnya
yang merupakan kategori pendidikan luar sekolah, keluarga dan masyarakat
diharapkan juga dapat mengimbangi. Akan
sangat janggal jika guru Agama Islam mengajarkan pada peserta didiknya untuk
membiasakan sholat shubuh, sementara orang tuanya biasa bangun pukul 06.00 WIB.
Akan sangat kesulitan bagi guru agama
untuk menjadikan peserta didiknya lancar membaca al-Qur’an dengan fasih dan
benar tajwid-nya, tanpa dukungan keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini akan
sangat baik jika dapat ditunjang dengan pembelajaran al-Qur’an secara intensif
baik di rumah seperti prifat jika orang tua tidak sanggup mengajarkannya
sendiri atau di masyarakat dengan bentuk pendidikan diniyahnya.
Jika kondisi dan suasana kondusif
seperti di atas bisa diwujudkan, maka pendidikan Agama Islam sebgai pioneer
transfer ilmu agama dan pembentukan nilai tidak punya alasan lagi untuk
memaksimalisasikan pendidikan agamanya.
C.
Pengembangan
Kurikuler PAI
Masalah terpenting yang ada dalam
pembahasan kurikulum menyangkut masalah kondisi kurikulum itu sendiri yang
sudah semestinya diadakan inovasi atau bahkan reformasi secara berkala guna
disesuaikan dengan dinamika wacana dan masanya. Seperti adanya keluhan akan
sarat beban yang tentunya harus dikaji ulang secara serius, pakah memamng sarat
beban atau bahkan terlalu ringan? Analisis terhadap kurikulum PAI tentu dengan tetap mengedepankan pentingnya pertimbangan faktor psikologis
siswa, esensial dan fungsional dalam menentukan scope, dan squence, dengan segenap
keterbatasan yang ada.
Dari sudut pendekatan tampak jelas
bahwa kurikulum PAI selama ini cenderung
hanya menggunakan pendekatan yang dominan rasional. Problematika
kurikulum ini sangat krusial karena inilah aturan main yang harus diterapan
dalam proses pendidikan. Maka jika platform-nya bermasalah tentu akan sangat
kesulitan dalam implementasi proses belajar-mengajarnya. Masalah yang terkait
dengan kurikulum tersebut haruslah diseleseikan dengan pembahasan serius
tentangnya yang dihadiri oleh para pakar dengan tetap memperhatikan praktisi
dan “pasar”.
Hal yang juga sangat utopis adalah
harapan kita untuk menanamkan secara tuntas nilai-nilai Agama Islam hanya
dengan empat jam tatap muka setiap minggunya. Maka sebaiknya standarisasi
internalisasi nilai religiusitas itu terpaksa harus dikaji ulang jika jam
pengajaran PAI tidak bisa lagi di tambah. PAI dengan kondisi yang demikian
mungkin hanya mampu memenuhi kompetensi dasar Agama Islam saja. Gejala semacam
ini tampaknya telah disadari dan tengah dibenahi oleh para ahli kurikulum yang
ada.
Adapun masalah pendekatan, strategi
pembelajaran merupakan masalah yang diharapkan dapat memberikan solusi atas
segala keterbatasan yang ada. Apapun kondisi dan situasi yang dihadapi
pendidikan Agama Islam haruslah di tampilkan dengan pilihan strategi
pembelajaran yang tepat, sehingga segala keterbatasan tersebut dapat
diminimalisir. Karena menunggu tersedianya kondisi dan situasi seringkali hanya
menjadi tinggal harapan, maka alternatif pengembangan pembelajaran menjadi tak
terelakkan.
Di sinilah guru diharapkan dapat secara
cerdas dan kreatif memanipulasi segala hal -dalam pengertian positif- guna
memaksimalkan pendidikan Agama Islam. Di samping itu guru Agama Islam
diharapkan dapat, memberikan argumentasi yang tangguh sehingga dapat
membentengi keimanan peserta didik dari berbagai pemikiran yang terkadang
destruktif.Permasalahn ini akan dibicarakan lebih lanjut dalam pembahasan
pengembangan pembelajaran pendidikan Agama Islam di bawah.
D.
Sasaran
Ranah Pendidikan Agama Islam
Jika pemikiran taksonomi Bloom
dicermati dari sudut wacana Islam, maka tampak ada hal sangat penting yang
harus dipertimbangkan. Dalam wacana Bloom terlihat bahwa manusia terdiri atas
aspek jasmani dan ruhani. Dimana tampilan jasmaniah dilihat melalui aspek
psikomotorik dan tampilan ruhani diamati dari aspek kognitif dan afektif. Pada
dasarnya dalam wacana Islam, manusia juga dipersepsi terdiri atas aspek jasmani
dan ruhani. Tampilan jasmani akan dapat
juga terlihat dari ranah psikomotorik. Sedangkan tampilan ruhani semestinya
dapat telihat dari ‘ranah’ al-Aql, al-Nafs dan al-Qalb.
Masalahnya adalah apakah semua fenomena
ranah al-Aql sepenuhnya dapat disamakan dengan ranah kognitif? Apakah dapat dibenarkan bahwa afektif itu
disamakan dengan alnafs dan al-qalb? Jika tidak, sampai batas-batas mana
taksonomi Bloom dipakai? Tentu saja hal ini membutuhkan kajian lebih
lanjut secara serius.
Untuk melihat lebih jelasnya perbedaan wacana tentang
kualitas jiwa di bawah ini ditampilkan skematisasi daya manusia secara
sederhana anatara perspektif Bloom dengan pemikir Muslim.
Gb.1 Skematisasi manusia dalam
perspektif Bloom
Manusia Jasmani Psikomotorik
Ruhani Kognitif
Afektif
Gb.2 Skematisasi manusia dalam
perspektif Islam
Manusia Jasmani Psikomotoik
Ruhani Akal (al-Aql) ----
Kognitif
Nafsu
(al-Nafs) Afektif (?)
Hati (al-Qalb)
Yang membuat praktisi pendidikan Islam
lebih mengenal pola Bloom, dari pada
pola kualitas jiwa yang telah ada dalam wacana Islam adalah karena ranah
atau daya-daya jiwa dalam pemikiran Muslim tersebut mengalami stagnasi. Hingga
kini tampaknya tidak ada pemikir pendidikan Islam yang mencoba mem-break down
dalam kata-kata operasional. Praktisi terjebak dalam rutinitas yang membuat
mereka tidak terlalu berfikir banyak tentang ada tidaknya fakultas jiwa yang
tidak tergarap dengan pengambilan pola Bloom itu.
Dalam kondisi seperti ini yang
terpenting untuk segera disadari dan selanjutnya diharapkan menjadi landasan
dalam proses pembelajaran kita adalah adanya sebuah kesadaran bahwa pola Bloom
saja tidak memdahi untuk membentuk peserta didik yang sarat nilai. Perlu
disadari juga bahwa dalam wacana Islam – terutama filsafat dan tasawuf-
dinamika akal (kognitif) itu tidak hanya
sampai pada batas analisis saja. Tetapi, menurut al-Farabi kemampuan akal itu
bisa sampai pada level mustafad (acquired intellect), dimana akal dimungkinkan
dapat berhubungan dengan malaikat (akal sepuluh). Sehingga dapat mencapai
pengetahuan intuitif. Bahkan al-Ghazali menegaskan bahwa banyak membaca
sehingga dapat membuat abstraksi dan menemukan kesimpulan-kesimpulan universal
adalah bagian dari metode untuk mencapai ilmu ladunniy.
Mengenai ranah al-Nafs, haruslah
disadari sepenuhnya bahwa nature nafsu itu adalah senantiasa menyeru kepada
perbuatan buruk. Allah dalam al-Qur’an menyatakan:
وما ابرئ نفسي ان النفس لا مارة باالسؤ
الا ما رحم ربي ان ربي غفور رحيم
(Dan aku tidak (sanggup) membebaskan
diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu senantisa menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang dirahmati
oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Qs.
Yusuf (12): 53.
Dinamika nafsu dalam wacana Islam
bergerak dari titik negatif untuk diusahakan sekuat mungkin ke arah positif.
Secara sederhana graduasi itu di pilah menjadi tiga bagian nafsu ammarah bi
al-su`, lawwamah, dan nafsu muthma’innah.
Jika nafsu nafsu ammarah bi al-su` senantiasa menyeru pada keburukan,
maka nafsu lawwamah (nafsu yang mencerca) berada dalam posisi transisi antar
buruk dan baik. Seseorang yang dalam posisi ini ingin berada selalu dalam
kebaikan namun ia tidak kuasa menghalau nafsu itu saat berkuasa. Oleh karena
itu ia akan mencerca dirinya sendiri selepas melaksanakan keburukan itu.
Sedangkan nafsu muthma’innah adalah nafsu yang telah tenteram, konsisten dalam
kebenaran.
Secara lebih rinci dinamika nafsu
tersebut oleh para pemikir Muslim dirinci secara hirarkis sebagai berikut:
nafsu ammarah (ila Allah), lawwamah (li Allah), mulhamah (‘ala Allah), radliyah
(fiy Allah), mardliyah (‘an Allah), dan terakhir adalah nafsu kamilah (bi
Allah).
Jika proses pembelajaran itu ingin
berhasil dalam penanaman nilai-nilai religiusitas hendaknya dintisipasi dan
terus dikendalikan kondisi nafsu peserta didik. Karena keberanian kita untuk
menganggap remeh masalah ini dapat berakibat fatal pada prilaku mereka.
Siapapun mereka, -dalam perspektif ini- semua akan bergerak dari nafsu yang
cenderung negatif, maka selayaknya guru mencari cara untuk mengatasinya.
Tawuran pelajar yang tak jarang berakhir dengan kematian, misalnya, adalah
akibat gagalnya pengendalian nafsu amarah.
Adapu al-Qalb adalah ranah yang paling
‘halus’ paling dalam yang memiliki fungsi untuk mengadakan kontak spiritual
dengan Yang Transenden. Jika nafsu berhubungan dengan hal-hal yang bersifat
materi, dan akal berhubungan dengan masalah logika dan fenomena, maka hati
berhubungan dengan dunia spiritual. Kalau nafsu
memiliki nature negatif, akal memiliki nature netral, maka hati memiliki
nature positif. Karena hati adalah tempat hidayah Allah. Hati inilah yang dapat
menyerap -melalui dzauq- segenap realitas metfisika melalui proses tadzakkur
dan tafakkur. Oleh karenanya al-Ghazali menjelaskan bahwa cara lain untuk
mendapatkan ilmu ladunniy adalah dengan riyadlah dan tafakkur. Hal ini
dimungkinkan dalam Islam karena ilmu dalam perspektif Islam terbagi atas dua
bentuk yakni ilmu empiris-rasional (ilm kasbiy) dan ilmu yang datang langsung
dari Allah (ilm ladunniy).
Syekh Waqi’ juga telah menjawab
keluhan Imam Syafi’iy tentang berkurangnya daya ingatan itu dengan syair sebagai
berikut:
فان العلم نور من اله
ونور الله لا يهدى لعاصي
(Karena sesungguhnya ilmu itu adalah
‘cahaya’ dan ‘Cahaya Allah’ tidak akan menerangi para pendosa). Dalam pandangan Isam proses pembelajaran
haruslah dapat mengolah, mereka daya sedemikian rupa sehingga nafsu dapat
dikuasai oleh akal dengan pertimbangan hati. Kondisi pribadi yang harmonis itu
digambarkan al-Ghazali, secara metaforis sebagai berikut:
Jiwa itu laksana sebuah negeri.
Wilayahnya adalah dua tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh lainnya. Nafsu
seksual (syahwat) adalah tuannya dan nafsu agresi (ghadlab) adalah penjaganya
(polisi). Al-Qalb adalah raja dan alAql adalah perdana menterinya. Sang raja
memerintah mereka semua hingga kokoh kekuasaan dan posisinya. Karena tuan tanah atas wilayah negeri itu adalah
syahwat yang memiliki karakter pendusta, suka mementingkan hal yang remeh, dan
berprilaku rendah. Penjaganya adalah ghadlab yang selalu berbuat jahat,
pembunuh dan sekaligus pencuri. Jika sang raja membiarkan situasi negara
ditangan mereka (nafsu seks dan agresi), maka negara akan hancur dan bangkrut.
Merupakan suatu keharusan bagi sang
raja untuk senantiasa bermusyawarah dengan perdana menteri dan menjadikan tuan
tanah dan polisi itu ditangan perdana menteri. Jika hal ini dapat diwujudkan,
niscaya akan kokohlah kekuasaan dan makmurlah negeri. Demikian juga hati, harus
selalu bermusyawarah dengan akal dan menjadikan nafsu syahwat dan ghadlab di
bawah kendali perintah akal. Sehingga mantap kondisi jiwa dan mampu mancapai
sebab kebahagiaan dari ma’rifat al-hadlrah al-ilahiyyah. Namun bila akal diletakkan
di bawah kekuasaan agresi dan seks, maka hancurlah jiwanya. Sedangkan hatinya
akan bersedih di akhirat nanti.
Dari pemaparan di atas hendaklah
menjadi pertimbangkan pendidik dalam proses pembelajaran yang seharusnya
mempertimbangkan secara serius akan adanya keharmonisan tata ruhaniyah dari
peserta didik. Hanya dengan meletakkan hati sebagai raja dan akal sebagai
pemegang kendali segala keinginan seksual dan agresifitas sajalah, seorang
peserta didik itu akan menjdi baik dalam arti yang sesungguhnya. Bukan hanya
baik secara prestasi kognitif semata.
Perlu disadari juga bahwa pendidikan
Agama Islam -sebagaimana naturenya-, harus lebih diarahkan untuk sampai pada
pada proses internalisasi nilai menjadi sikap dan kepribadian pesertadidik.
Walaupun kita sadari sepenuhnya bahwa proses internalisasi itu haruslah
didahului oleh proses transfer of knowledge, transfer of competences.
Sebagaimana dirasakan bersama bahwa kecenderungan pendidikan Agama Islam hari
ini dominan kognitif.
Bahkan tak jarang ditemui bentuk-bentuk
prilaku pesertadidik yang bertentangan dengan teoritis yang mereka kuasai.
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa pengajaran agama terus dilaksanakan,
akan tetapi tawuran jalan terus. Ini adalah akibat terlantarnya fakultas
al-nafs dan al-qalb dalam proses pembelajaran PAI khususnya. Ketika kualitas
keberagamaan peserta didik hanya diukur dari seberapa mampu dia menghafal apa
yang diberikan oleh guru. Yang terjadi adalah pendanggalan dari realitas
beragama itu sendiri. Maka harus
dicarikan solusi untuk membuat pola pengajaran yang terintegratif, yang mampu
menampilkan agama dalam tataran teoritis (kognitif) hingga tataran
implementatif (afektif).
E.
Pengembangan Pembelajaran PAI
Holistik Hakekat belajar adalah proses
perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. Dalam bahasa Bloom belajar
adalah perubahan tingkah laku baik yang menyangkut pengetahuan, ketrampilan dan
sikap. Secara lebih tajam dalam perspektif Islam belajar adalah perubahan
prilaku sebagai pengejawantahan perubahan struktur ruhani yang in ballancing.
Belajar adalah upaya menempatkan kemabali dan mekokohkan posisi hati sebagai
penguasa ruhani, akal sebagai pengendali segenap aktifitas nafsu-baik seksual
maupun agresifitas- yang terwujud dalam prilaku fisik (psikomotorik).
Proses pembelajaran dalam pendidikan
Agama Islam, adalah proses restrukturisasi dan pensucian ruhani. Dalam bahasa
al-Ghazali pendidikan Agama Islam adalah proses penyembuhan ruhani yang sakit.
Karena menurut al-Ghazali, jiwa manusia itu ada yang terjaga dalam kesehatan
original (al-sihhah al-ashliyyah) yakni jiwa para nabi, dan jiwa yang sakit
yakni jiwa-jiwa manusia lainnya. Karena kesehatan, kesucian dan keasliannya
jiwa para nabi menjadi cerdas dengan sendirinya mampu menagkap segenap sinyal
metafisik (wahyu). Ia tidak pernah terdinding dari kebenaran berkat kemurnian
fitrahnya. Mereka tidak memerlukan pendidikan manusia, tetapi didik langsung
oleh Allah melalui malaikat Jibril. Sementara jiwa manusia lainnya menjadi
mutlak membutuhkan pendidikan untuk mengobati sakitnya itu.
Dalam kitab al-Risalah
al-Ladunniyah al-Ghazali membagi model
pendidikan itu menjadi dua yaitu pembelajaran humanistik (al-ta’lim al-insaniy)
dan pembelajaran transendental (al-ta’lim al-rabbaniy)
1. Pengembangan Pembelajaran Humanistik
PAI
(Al-Ta’lim
al-Insaniy) Proses pembelajaran humanistik (al-ta’lim al-insaniy) dapat berupa
dua bentuk yaitu proses belajar dari dalam diri ke luar melalui kontemplasi
(tafakkur) dari dapat juga dari luar ke dalam diri manusia. Pembelajaran humanistik (al-ta’lim al-insaniy) yang lebih
bernuansa horisontal biasanya melalui tatap muka di kelas. Pembelajaran ini
meliputi kegiatan mengorganisasikan pengalaman belajar, mengolah kegiatan
belajar-mengajar, menilai proses dan hasil belajar yang kesemuanya merupakan
tanggung jawab guru.
Pada
model pembelajaran ini semestinya Muslim tida terjebak untuk menerapkan
pendekatan sufistik yang amat ketat yang memang berlaku dalam pembelajaran
transendental (al-ta’lim al-rabbaniy), dimana murid tidak boleh memiliki
aktifitas lain selain diam. Dalam
pembelajaran humanis yang lebih empiris dan rasional sangat baik bila dipakai
berbagai model yang sudah diuji efektifitasnya oleh para pakar pendidikan.
Model-model
pembelajaran tersebut terus dikembangkan oleh para pakar pendidikan, guna
mengoptimalisasikan proses belajar mengajar yang ada. Cara belajar yang theacer
centered, sebagai bentuk cara belajar guru aktif, siswa pasif sudah lama
dialihkan menjadi student centered, yakni cara belajar siswa aktif. Perubahan
ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan akan pentingnya memeberikan ruang
yang lebih luas pada peserta didik.
Karena
sesungguhnya tidak akan pernah ada bentuk pendidikan yang benar-benar guru saja
yang aktif atau sebaliknya. Cara belajar
student centered (active learning) ini
juga diikuti dengan penawaran jenis belajar yang baru. Yaitu dari belajar
konsep menjadi belajar proses. Belajar konsep lebih menekankan hasil belajar
pada pemahaman terhadap fakta dan prinsip dan banyak bergantung pada penjelasan
guru (bahan/ isi pelajaran) serta dominan kognitif. Sedangkan belajar proses
(ketrampilan proses) menekankan pada bagaimana pelajaran itu diajarkan dan
dipelajari.
Namun
demikian belajar konsep tidak bisa dipertentangkan secara ekstrim dengan
belajar proses. Keduanya berada di dalam garis kontinum, dimana yang satu lebih
mengutamakan pada penghayatan proses dan yang lain lebih menekankan pada
perolehan hasil, pemahaman fakta dan prinsip. Belajar ketrampilan proses tidak
mungkin terjadi bila tidak ada materi yang akan dipelajari. Begitu juga dengan
belajar konsep tidak akan bisa dilaksanakan tanpa ketrampilan proses. Pada
pembelajaran yang bersifat ekspositori, belajar konsep dengan tingkat
keterlibatan siswa yang terbatas mungkin lebih efektif. Sementara ketrampilan
proses lebih efektif diberlakukan pada modus pembelajaran discovery yang
membutuhkan tingkat keaktifan siswa cukup tinggi.
Model
akhir yang kini lagi gencar-gencarnya dipromosikan adalah Contextual Teaching
and Learning (CTL). Belajar bukan sekedar persoalan peserta didik hafal apa
atau menguasai apa, tetapi lebih jauh dari itu. Apakah yang dipelajari itu
berguna dalam konteks kehidupannya? Apakah isi materi pembelajaran itu
benar-benar bermakna bagi diri peserta didik? Karena membelajarkan sesuatu yang
tidak terkait dengan konteks peserta didik akan sia-sia dan terbuang dari
ingatan. Sia-sia. Hasil penelitian ahli Psikokognitif modern menunjukkan bahwa
90 % dari yang dipelajari peserta didik seharian akan hilang dari pikiran
kecuali 10 %. Sepuluh persen yang tetap setia tinggaldalam pikiran kita dari
yang kita pelajari hanyalah yang menarik bagi kita.
Dalam
bahasa lain hanya content (materi) yang
bersesuaian dengan context-nya sajalah yang akan menciptakan meaning (makna).
Maka pembelajaran termasuk PAI di dalamnya harus memahami hal ini. Guru PAI
harus bias mengkaitan setiap pokok bahasan dengan diri dan situasi yang
melingkupi peserta didik baik itu keyakinannya, ideologinya, minat, kesenangannya,
kebiasaan, budaya yang berkembang, trend teknologi serta berbagai hal yang ada
di sekitar mereka. Dengan demikian pembelajaran PAI menjadi segar sesuai
situasi dan tidak jumud dan membosankan.
Menerapkan
CTL berarti harus juga mampu menerapkan varian model pembelajran yang ada di
dalamnya seperti: Direct instruction, problem based learning dan cooperative
learning. Model cooperative learning yang dipopulerkan oleh Vegot Sky
menekankan adanya kerjasama antar siswa dalam pembelajaran. Hal ini akan mampu
meningkatkan daya serap siswa secara keseluruhan dengan lebih baik. Di
Indonesia ini lebih dikenal dengan PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif dan
Menyenagkan). Berbagai teknik terbaru dalam pembelajaran model CTL ini juga
mutlakharus dikuasai oleg guru PAI seperti: The Power of Two, Snow balling,
Team Quiz, Jigsaw, Billboard Ranking, Video Comment, Poster Session, Critical
Incident, Every One is a Theacher Here, Learning Start with Question, dll.
Namun
begitu guru PAIjuga harus tetap mempertimbangkan model-model pembelajran
sebelumnya seperti Quantum Learning. Jika pada belajar konsep dan proses,
konsentrasi pengembangan pada peserta didik. Pada model pembelajaran quantum
learning ini konsentrasi pengembangan lebih diarahkan pada penciptaan kondisi
dan situasi belajar yang menyenangkan. Ini berarti titik tekannya lebih pada
optimalisasi pengelolaan kelas. Bobbi De Porter (1992) dalam hal ini
menyatakan:
Kami
percaya bahwa belajar baru efektif dalam suasana gembira. Kami percaya bahwa
belajar adalah proyek sepanjang hayat yang dapat dilakukan orang dengan penuh
ceria dan sukses. Kami percaya bahwa keseluruhan kepribadian sangat penting;
intelek, fisik dan emosi. Dan kami percaya bahwa harga diri yang tinggi adalah
unsur pokok dalam membentuk pelajar yang sehat dan bahagia.
Untuk
mendukung falsafah ini, kami berusaha menciptakan lingkungan belajar begitu
rupa sehingga mereka merasa penting, aman dan menyenangkan. Ini dimulai dari
lingkungan fisik yang dipercantik dengan
tanaman, seni, dan musik. Ruang belajar harus terasa menyenangkan agar belajar
optimal. Lingkungan emosional juga penting. Dalam program yang kami
selenggarakan, para pengajar sangat ahli dalam menciptakan hubungan akrab
dengan siswanya.
Yang
terpenting dalam model pembelajaran quantum learning ini adalah penciptaan
situasi dan kondisi kelas serta hubungan guru-murid yang menyenangkan. Hal
terpenting yang dapat diambil dari tiga model pembelajaran tersebut –belajar
konsep, proses dan quantum learning-
adalah bahwa untuk menjadi bermakna dan optimal pembelajaran harus
memperhatikan tiga hal: yaitu siswa, lingkungan belajar dan suasana emosional
pendidik-peserta didik. Dalam bahasa sederhana ketiga point harus
optimalisasikan. Guru harus benar-benar memahami, kapan, pada materi apa siswa
mesti aktif, dan pada saat kapan ia harus pasif. Sekolah harus bisa
memanipulasi lingkungan belajarnya menjadi tempat yang menyenangkan. Sedangkan
hubungan emosional gurumurid harus terbina dengan penuh keakraban.
Jika
ketiga persoalan di atas disusun secara hirarkis berdasarkan tingkat
urgensinya, maka tampaknya dalam masalah model pembelajaran yang efektif itu
hubungan emosional guru-murid merupakan faktor yang paling menentukan proses
pembelajaran. Kemudian masalah keaktifan siswa dan lingkungan belajar yang
kondusif.
Bagaimanapun
juga guru adalah pusat perhatian dan pemegang kendali proses pembelajaran. Maka
suasana emosional yang terbangun antara guru dan murid akan sangat menetukan
minat dan motivasi belajar peserta didik. Guru tidak boleh mengorbankan
kedekatan dengan peserta didik hanya karena alasan menjaga kewibawaan. Walaupun
benar bahwa hilangnya batasan guru dan murid dapat melunturkan kewibawaan
tersebut.
Untuk
bisa menampilkan model pembelajaran seperti dikehendaki oleh quantum learning
sekolah harus menyediakan dana yang cukup besar –untuk tidak menyebut sangat.
Model quantum learning akan sangat cocok untuk sekolah-sekolah unggulan yang
memang memiliki dukungan dana yang kuat. Sementara bagi sekolah-sekolah reguler
quantum learning akan dihadapkan pada
problem finansial.
Kalau
untuk menunjang belajar proses aktif/ Pakem saja, banyak terkendala oleh
tidak tersediakannya sarana-prasarana yang memadahi seperti:
meja-kursi yang mudah digerakkan dan ringan (mobile), perpustakaan yang
lengkap. Apalagi quantum learning yang semestinya membutuhkan ruangan ber-AC,
bersih, indah, ada peredam suaranya, dengan musik-musik klasik mengiringi
proses belajar mengajar, akan sangat sulit diterapkan secara ideal. Pada
akhirnya meskipun kita sangat setuju dengan model quantum learning tampaknya
kita mesti realistis bahwa tampilan quantum learning perlu inovasi kreatif dari
sang guru (sekolah) itu sendiri. Pada prinsipnya guru harus berusaha semaksimal
mungkin mengelola kelas menjadi bersih, indah, dan menyenangkan walaupun dalam
taraf yang sangat minimal.
2. Pengembangan Pembelajaran PAI
Transendental
(Ta’lim al-Rabbaniy) Adapun proses pembelajaran transendental (al-ta’lim
al-rabbaniy) adalah bentuk pembelajaran Gurunya adalah Allah SWT sendiri. Dalam
perspektif Islam Tuhan bukan hanya Penguasa tetapi juga Pemberi Ilmu
(Pengajar). Bahkan kata tarbiyah berasal dari kata fi’il madli
rabba (mengatur, memelihara). Sedangkan Tuhan dalam Bahasa Arab disebut
dengan Rabb (Yang Maha Memelihara, Mendidik).
Al-Ghazali
membagi model pembelajaran ini ke dalam dua bentuk yaitu; bentuk Wahyu dan
Ilham. Jika wahyu hanya berlaku pada nabi maka ilham dapat berlaku bagi mereka
yang bukan nabi. Maka pembelajaran transendental (al-ta’lim al-rabbaniy)
ini lebih diarahkan agar murid dapat
melakukan mobilitas vertikal secara intens dengan Allah SWT. Hal ini jugalah
yang secara hakiki menjadi tujuan PAI yakni mengantar murid ‘kembali’ kepada
Allah SWT. Secara hakiki pembelajaran PAI diharapkan mampu mengembalikan
kondisi ruhani murid untuk dapat menerima ilham dari Allah.
Sebelum
kita berbicara tentang apa yang harus dilakukan murid dalam pembelajaran ini,
terlebih dahulu guru harus telah ‘sempurna’. Guru harus ‘alim dan sekaligus
‘abid dalam bahasa sederhana guru harus
shaleh. Karena nantinya ia akan menjadi pusat figur bagi implementasi
nilai-nilai dan ajaran agama itu sendiri. Maka suri teladan yang baik dari guru
adalah hal yang mutlak dalam pembelajaran Agama Islam. Suri teladan itu
diharapkan bukan sekedar kamuflase, tetapi benar-benar telah terinternalisasi
dalam pribadi seorang guru.
Kamuflase
hanya akan membuat peserta didik kecewa akan gurunya, karena apa yang tampak
baik selama ini hanya sandiwara semata. Sikap fatal yang bisa muncul dari
kamuflase ini dapat berupa perlawanan, penolakan, pasif, cuek terhadap
pembelajaran atau bahkan murid akan mengikuti guru uuntuk bersifat ambigu.
Kalau murid telah pandai berpura-pura baik dihadapan guru dan sebaliknya di
belakang guru, maka ini artinya jiwa mereka telah pecah (splite personality).
Dalam bahasa agama ini adalah munafik yang diancam keras oleh Islam.
Banyak
sekali ayat-ayat al-Qur`an yang
mengancam mereka yang hanya bisa berbicara tetapi tidak pernah
melaksanakan. Begitu juga Hadis Nabi Muhammad SAW. Juga banyak yang mencaci
mereka yang hanya bisa berteori tetapi tidak pernah berbuat. Rasulullah
menyebut mereka sebagai ‘alim munafiq alim lisan jahil al-qalb wa al-‘amal
(intelektual munafik, yang lidahnya lincah namun hatinya bodoh amalnya tiada).
Wal’iyadzubillah.
Dalam
dunia pendidikan teladan menjadi penting karena penampilan guru adalah panutan
langsung dari sikap siswanya. Sebaik apapun kata-kata guru, jika ternyata
bertentangan dengan apa yang diperbuat pasti ia akan direndahkan oleh peserta
didik. Dalam pepatah Arab dikatan lisan
al-hal afshah min lisan al-maqal (bahasa prilaku itu jauh lebih tajam dari pada
bahasa lisan). Teladan yang baik adalah modal utama bagi kewibawaan guru yang
dalam pembelajaran agama aadalah mutlak.
Apalagi
dalam pembelajaran transendental seorang guru mutlak ‘perfect’’ sebelum ia
memberi bimbingan kepada muridnya. Guru itu harus sudah sembuh dari berbagai
penyakit ruhani sebelum ia mencoba menyembuhkan sakit ruhani muridnya. Guru itu
harus sudah mengerti jalan menuju Allah, bahkan idealnya telah washil, sebelum
mendidik murid-muridnya. Ini adalah tugas suci yang sangat berat yang
semestinya dicapai oleh setiap mereka yang berani menamakan guru Agama Islam.
Hal
lain yang harus senantiasa dilakukan oleh guru agama adalah mendoakan semua
pesertadidinya. Bahkan pada peserta didik yang membandel sekalipun guru agama
harus senantiasa mendoakannya. Doa adalah senjata ghaib yang diharapkan dapat
menyempurnakan segenap kekurangan aktifitas lahiriyah pembelajaran, sehingga
terbina jiwa-jiwa peserta didik yang benar-benar sholih-sholihah.
Adapun
yang sangat penting untuk dibiasakan pada peserta didik adalah tafakkur dan
latihan ibadah (riyadlah) . Semestinya peserta didik diajak memahami agama
melalui pemahama terhadap realitas yang ada. Mereka diajak untuk terbiasa
melihat kaitan antara segala sesuatu dengan Causa Prima Allah. Karena
sesungguhnya tafakkur adalah proses kembali ke Allah dengan menggunakan akal
sebagai sarananya.
Setelah
dididik secara rasional emosional, peserta didik semestinya dibiasakan dengan
berbagai amalan sunnah seperti: membaca al-Qur’an, berdzikir, puasa sunnah,
shalat-shalat sunnah dll. Riyadlah adalah aspek yang sering dinafikan dalam
proses pembelajaran agama kita hari ini. Padahal tanpanya tidak bisa
dibayangkan bagaimana nilai dan ajaran Islam itu dapat diinternalisasikan.
Untuk bisa menyembuhkan, memperbaiki dan menata ulang ruhani murid tampaknya
tidak ada yang lebih dibutuhkan dari riyadlah ini.
Al-Ghazali
menegaskan bahwa dzikir akan berdampak langsung pada perbaikan ruhani seseorang
jika itu dilakukan dengan benar. Al-Qur’an sendiri menjelakan bahwa ia adalah
petunjuk kebenaran (hudan), obat penyakit ruhani (syifa’), dan rahmat bagi
mereka yang beriman.
Dari
pembahasan di atas dapat diketahui bahwa untuk mengembangkan pembelajaran
pendidikan Agama Islam secara maksimal ternyata bukanlah pekerjaan yang mudah.
Maksimalisasi pendidikan agama hanya bisa dilakukan jika dibarengi dengan
suasana kondusif dari berbagai faktor. Konsep filosofis tentang pendidikan dan
ilmu pengetahuan Islami, kondisi dan suasana institusi sekolah yang Islami dan
kurikulum yang efektif dan efisien adalah hal-hal yang harus dipenuhi untuk
dapat mewujudkan proses belajar-mengajar –dalam hal ini PAI- yang bagus dan
menyenangkan.
Yang
juga perlu disadari adalah adanya kekhasan dari pembelajaran PAI itu sendiri
yang bersifat sarat nilai. Maka dengan mengikuti pola al-Ghazali,
pembelajaran Agama Islam harus melalui
dua model pendektan yaitu; pendekatan humanistik (al-ta’lim alinsaniyi) dan
pendekatan transendental (al-ta’lim al-rabbaniy). Pembelajaran yang selama ini
berlangsung tampaknya lebih –untuk tidak mengetakan hanya- menekankan ta’lim
insaniy-nya saja. Pembejaran seperti ini hanya mampu mengantarkan peserta didik
pandai tapi belum tentu shaleh. Padahal kualitas shaleh merupakan poin utama
dalam pembelajaran PAI.
Ketimpangan ini
nantinya harus segera diseleseikan dengan menggunakan pola ta’lim robbaniy.
Dengan ta’lim robbaniy tersebut
diharapkan dapat tergarap ruang-ruang esensial yang selama ini tertinggal. Sehingga apa yang dikeluhkan selama ini bahwa
pendidikan Agama Islam gagal menyentuh aspek prilaku, atau hanya menjadi
konsumsi rasional, dapat dijawab. Sehingga benar-benar dapat diwujudkan tujuan
pendidikan yang menginginkan terbentuknya out put yang beriman taqwa dengan tampilan ahlak yang
mulia.
SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar