Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Selasa, 30 Juli 2019

SEKELUMIT TENTANG HAKEKAT MANUSIA





















HAKIKAT MANUSIA

1.          Ruh sebagai Hakikat Manusia

Manusia terdiri atas dua bagian yaitu badan dan jiwa. Keduanya merupakan hal yang sama sekali berbeda. Badan adalah materi gelap yang kasar, tersusun, bersifat tanah, tidak berfungsi keadaannya kecuali dengan ruh. Manusia disatu sisi, jasmani, berasal dari alam khalq dan dari sisi lain, Ruhanainya dari alam amr. Sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Farabi bahwa Segala hal yang memungkinkan untuk diukur, dikuantifikasikan dan ditakar, maka ia adalah dari alam khalq. Sedangkan jiwa tidak bisa diukur atau ditakar, karena itu ia tidak bisa dibagi.

Adapun hakikat manusia adalah ruhani. Dalam rangkaian eksistensialnya meskipun kelihatannya jasmanilah yang lebih awal, sesungguhnya ia adalah akhir. Sedangkan ruhani itu memang kelihatannya terakhir (masa nafkh al-rûh pen.), tetapi ia adalah yang awal. al-Ghazali (1058-1111) dalam al-Risâlah al-Ladunniyah, menjelaskan bahwa jasmani manusia adalah aksiden (‘arad) sedang substansinya (jauhar) adalah ruhani. Badan adalah perangkat ruhani. Ruhanilah yang sesungguhnya menerima beban syariah (taklîf), yang menerima titah syar’i (khitâb), ganjaran dan siksa, menerima kesenangan dan kesedihan. Jiwa inilah yang disebut ruh sebagai hakikat manusia.

Di dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, al-Ghazali menjelaskan dua makna untuk al-rûh yaitu pertama, sejenis sesuatu yang halus yang bersumber pada lubang hati jasmani, lalu menyebar melalui pembuluh darah yang merasuk ke seluruh anggota tubuh. Peredaran ruh pada tubuh dan limpahan cahaya  kehidupan, perasaan, penglihatan, pendengaran, dan penciumannya, pada seluruh anggota tubuh seperti  limpahan cahaya lampu yang diedarkan di setiap sudut rumah. Sesungguhnya lampu itu tidak sampai pada suatu bagian rumah, melainkan ia menerangi dengan cahaya itu. Kehidupan ini seperti cahaya yang nampak pada dinding ruangan, sedangkan ruh adalah seperti lampunya. Pergerakan ruh di dalam tubuh itu seperti gerakan lampu di sekeliling rumah yang digerakkan oleh penggerak lampu itu.

Al-Rûh dalam makna ini tidak dipakai dalam tasawuf. Makna kedua, adalah (sesuatu) yang halus, yang mengetahui, yang menyerap dari manusia. Ia yang telah kami uraikan dalam salah satu dari makna hati dan itulah yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya: “Qul al-rûh min amri rabbi.” (Qs. Al-Isrâ`: 85). Ruh adalah persoalan yang mengagumkan, bersifat ketuhanan (rabbâni) di mana mayoritas akal tidak mampu memahami hakikatnya.     Ketika mengomentari Qs. Al-Isrâ`/ 17: 85, alGhazali  mengatakan  bahwa  amr al-bâriy ta’âla bukanlah jasmani dan bukan pula aksiden (‘arad), akan tetapi ia adalah daya ketuhanan (quwwah ilâhiyah), substansi (jauhar) yang kekal yang fenomenanya seperti Akal Pertama, al-Lauh al-Mahfûdz, dan al-Qalam. Sesungguhnya ruh merupakan bagian dari keseluruhan qudrah ilâhiyah. Mengomentari ayat di atas, Imam Fakhrur Razi menjelaskan bahwa ruh adalah substansi tunggal yang unik (basît) yang tidak dapat tercipta kecuali melalui firman Allah kun fa yakûn. Kehadiran ruh ini karena amr (perintah) Allah guna memberi mafaat bagi badan. Ruh ini pada awalnya kosong dari ilmu pengetahuan.

Dalam proses kehidupan ia berubah dari satu kondisi ke kondisi yang lebih maju, dari kekurangan menuju kesempurnaan. Abu Abdillah bin Nabaji mengatakan bahwa ruh adalah sesuatu yang terlalu halus untuk dilihat dan terlalu besar untuk disentuh. Ia tidak dapat diungkapkan dengan cara lain kecuali bahwa dia itu maujud. Namun demikian menurut al-Hujwiri, semua sufi dan kebanyakan muslim sepakat bahwa ruh adalah substansi bukan aksiden. Ruh itu halus dan berjisim, karena itu ia dapat dilihat. Hanya saja untuk melihatnya harus menggunakan mata hati. Ruh bisa menempati tembolok burung atau menjadi pasukan yang bergerak ke sana ke mari, sebagaimana dijelaskan oleh hadis Rasulullah saw.

Penjelasan al-Ghazali, yang membagi ruh dalam dua makna yakni makna hakiki dan lahiriyah, kelihatannya mewakili keragaman penjelasan yang diberikan oleh para ulama ini. Sesungguhnya menurut al-Ghazali, ruh yang merupakan hakikat manusia adalah substansi tunggal yang tepisah dari materi. Ia adalah sinar murni (adwa mujarradah) yang rasional dan bukan teresterial. Sebutan ruh atau  al-qalb dalam bahasa kita merupakan keadaan substansi itu.

Masih menurut al-Ghazali, ruh itu tidak akan rusak, tidak akan hancur dan tidak mati kecuali sekedar berpisah dengan badan dan yang menunggu kembali kepada Allah pada hari Kiamat sebagaimana dijelaskan oleh syariat. Jadi al-rûh al-nâtiq itu tidak berjisim, bukan aksiden (‘arad), tetapi ia adalah substansi (jauhar) yang tetap (tsâbit), kekal (dâ`im), tidak rusak, tidak campur, tidak hancur, tidak mati. Karena itu Allah menyandarkan ruh ini sesekali pada amr-Nya (Qs.   al-Isra`: 85) dan sesekali pada keagungannya (Qs. al-Hajr/15: 29  alTahrîm/66: 12).  Bunyi Qs. al-Hajr/15: 29 adalah: yang artinya “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadianya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduk kamu kepadanya dengan bersujud.”)  Bunyi Qs. al-Tahrîm/66: 12 adalah: artinya :
“dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.) Bagi ruh yang merupakan substansi tunggal, jasmani adalah aksiden (arad) yang tidak bisa tidak membutuhkan eksistensinya. Aksiden tidak akan eksis tanpa substansi.

Akan tetapi substansi tersebut (ruh) tidak inkarnasi pada suatu keadaan dan tidak menempati suatu tempat. Jadi badan bukanlah tempat ruh atau al-qalb, tetapi ia adalah sarana bagi ruh, peralatan al-qalb serta kendaraan bagi al-nafs. Dilihat dari substansinya, ruh adalah dari jenis malaikat. Akan tetapi untuk mengerti hakikat ruh yang sesungguhnya adalah sangat sulit, karena agama tidak menjelaskan bagaimana cara mengetahuinya. Tidak adanya penjelasan yang cukup dari agama dalam hal ini, bukan karena tidak adanya kebutuhan agama terhadap persoalan ini, tetapi karena agama adalah persoalan usaha (mujâhadah) sedangkan pengenalan terhadap hakikat ruh adalah persoalan hidayah. Sebagaimana firman Allah dalam Qs al-Ankabût/ 29: 69: walladzîna jâhadû fîna lanahdiyannahum subulanâ(“Orang-orang yang benar-benar berusaha dalam agama Kami, niscaya Kami akan beri petunjuk kepada mereka jalan Kami”).

Padahal ma’rifat terhadap hakikat dan sifatnya adalah kunci ma’rifat Allah SWT.  Dalam hal ini al-Ghazali mewajibkan kita untuk bermujâhadah sehingga dapat mengetahui hakikat ruh tersebut. Ia mewajibkan mujâhadah sebagai metode untuk menelusuri hakikat ruh, bukan tafakkur karena obyek kajian yang akan dijangkau adalah hal ghaib yang hanya bisa raih secara irfani/ huduri. Di dunia ini, ruh tidak menyibukkan dirinya kecuali dengan mencari ilmu, karena ilmu itulah yang akan menjadi hiasannya di akhirat nanti. Ruh yang telah mutma`innah tidak memiliki keinginan lain kecuali ilmu dan tidak akan rida kecuali dengannya, bahkan ia akan senantiasa belajar sepanjang hayatnya.
  
2.          Ragam Jiwa Manusia

Ruh adalah bersifat substantif, tunggal (al-jauhary al-mufrad) yang menerangi, yang menyerap, pelaku, penggerak, penyempurna segenap perangkat dan jasmani.  Ruh yang oleh para filosof muslim disebut jiwa rasional, inilah yang merupakan jiwa hikiki, namun demikian ternyata dalam diri manusia masih terdapat jiwa-jiwa yang lain yang berkaitan dan menjadi alat bagi jiwa hakiki ini. Ragam jiwa itu selanjutnya oleh para filosof Muslim seperti al-Ghazali (450-505/ 1058-1111), mengikuti al-Farabi (w. 339/ 870-950) dan Ibn Sina (370429/ 980-1037), dibedakan menjadi tiga yaitu jiwa vegetatif (al-nafs al-tabî'iy), jiwa sensitif (al-nafs al-hayawâniyah), dan jiwa rasional (al-nafs al-nâtiqah).

Pembagian jiwa menjadi tiga bagian ini, yang mengadopsi penjelasan Aristoteles. Aristoteles adalah filosof Yunani yang membagi jiwa dalam tiga kategori yaitu Jiwa Tumbuhan (Ame Végétative) yang merupakan prinsip nutrisi, tumbuh dan reproduksi; Jiwa Hewan (Ame Sensitive) yang merupakan landasan dari indra dan gerak; serta Jiwa Rasional (Ame Pensante) yang merupakan landasan bagi pemikiran. Aristoteles, sebagaimana dijelaskan Taftazani,  mengkhususkan jiwa rasional itu pada manusia tidak pada hewan. Sebagaimana Hewan memiliki kelebihan jiwa sensitif, sedangkan tumbuhan tidak.

a.      Jiwa vegetatif (al-nafs al-tabî’iy) Jiwa vegetatif merupakan penyempurna pertama badan yang merupakan potensi dan memiliki perangkat  untuk makanan/ nutrisi, tumbuhan, dan reproduksi. Dayadaya pada jiwa vegetatif, menurut al-Ghazali, semuanya dipersiapkan sebagai pelayan bagi jasmani, sedangkan jasmani merupakan pelayan bagi daya sensitif/ hewani.

b.      Jiwa sensitif (al-nafs al-hayawâniyah) Jiwa Hayawaniyah penyempurna pertama bagi jasmani yang merupakan potensi dan memiliki perangkat untuk yang menyerap segala obyek parsial (juz`iyat) dan menggerakkan badan dengan kehendak (irâdah). Nafsu yang terdiri atas syahwat dan ghadab berada pada daya penggerak (al-quwwah al-muharrikah) yang ada pada jiwa ini.   Jiwa hayawaniyah berbentuk badan halus seperti cahaya lampu yang menyala dalam kaca al-qalb (yakni berbentuk jantung yang tergantung di dada).

Hidup adalah sinar lampu tersebut, dan darah adalah tempat tinggalnya, sensitifitas dan gerak adalah cahayanya. Nafsu syahwat adalah panasnya. Nafsu ghadab (daya marah) adalah asapnya. Jiwa ini ada pada semua binatang dan manusia.  Jiwa hayawaniyah tidak membutuhkan ilmu, tidak mengetahui cara penciptaan dan tidak juga mengetahui hak Sang Pencipta. Karenanya jiwa ini bukanlah pemangku firman Allah dan bukan penerima beban syariat. Sesungguhnya ia adalah pelayan bagi jiwa rasional yang akan mati dengan matinya badan. 

c.      Jiwa rasional (al-nafs al-nâtiqah) Jiwa rasional adalah jiwa hakiki manusia. Ia adalah substansi (jauhar) tunggal, sempurna, dan hidup dengan sendirinya. Kebaikan dalam beragama dan keburukannya akan lahir dari jiwa ini. Adapun jiwa Vegetatif dan sensitif  serta seluruh daya fisik merupakan perangkatnya.

Substansi ini menerima segala ilustrasi fenomena dan esensi realitas, tanpa disibukkan dengan rincian dan karakteristiknya. Jiwa rasional ini akan abadi dan tidak hancur, bahkan lebih sempurna dengan matinya badan. Jiwa rasional ini tidak memiliki menghendaki sesuatu kecuali berfikir (altafakkur), menghafal (al-tahaffuz), membedakan (al-tamyîz), dan meriwayatkan/ mendeskripsikan (al-riwâyat), menerima seluruh pengetahuan tidak terlepas penerimaan terhadap ilustrasi yang terlepas dari materi. Substansi (jiwa rasional) ini adalah pemimpin jiwa-jiwa (nabâtiyah dan hayawâniyah) dan penguasa daya-daya (al-quwwâ).

Seluruh jiwa dan daya-daya itu melayaninya dan menunaikan perintahnya. Dia adalah substansi yang hidup, pelaku, dan penyerap Menurut al-Ghazali jiwa rasional inilah yang oleh para filosof disebut al-jauhar al-nafs al-nâtiqah. Al-Qur`an menyebutnya dengan al-nafs al-mutma`innah atau disebut juga dengan al-rûh al-amriy. Para sufi menyebutnya dengan al-qalb. Sedang al-Ghazali sendiri menggunakan berbagai istilah untuk menjelaskan jiwa ini seperti: al-qalb, al-nafs al-nâtiqah, al-rûh al-nâtiq, al-rûh al-mutlaq, dan al-rûh. Ia menegaskan bahwa perbedaan ini hanya dalam penyebutan sedangkan maknanya satu dan tidak ada perbedaan dalam hal makna ini.

SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM


Tidak ada komentar:

Posting Komentar