HAKIKAT MANUSIA
1.
Ruh sebagai Hakikat Manusia
Manusia terdiri atas dua bagian yaitu badan dan jiwa. Keduanya
merupakan hal yang sama sekali berbeda. Badan adalah materi gelap yang kasar,
tersusun, bersifat tanah, tidak berfungsi keadaannya kecuali dengan ruh.
Manusia disatu sisi, jasmani, berasal dari alam khalq dan dari sisi lain,
Ruhanainya dari alam amr. Sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Farabi bahwa
Segala hal yang memungkinkan untuk diukur, dikuantifikasikan dan ditakar, maka
ia adalah dari alam khalq. Sedangkan jiwa tidak bisa diukur atau ditakar, karena
itu ia tidak bisa dibagi.
Adapun hakikat manusia adalah ruhani. Dalam rangkaian eksistensialnya
meskipun kelihatannya jasmanilah yang lebih awal, sesungguhnya ia adalah akhir.
Sedangkan ruhani itu memang kelihatannya terakhir (masa nafkh al-rûh pen.),
tetapi ia adalah yang awal. al-Ghazali (1058-1111) dalam al-Risâlah
al-Ladunniyah, menjelaskan bahwa jasmani manusia adalah aksiden (‘arad) sedang
substansinya (jauhar) adalah ruhani. Badan adalah perangkat ruhani. Ruhanilah
yang sesungguhnya menerima beban syariah (taklîf), yang menerima titah syar’i
(khitâb), ganjaran dan siksa, menerima kesenangan dan kesedihan. Jiwa inilah
yang disebut ruh sebagai hakikat manusia.
Di dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, al-Ghazali menjelaskan dua makna
untuk al-rûh yaitu pertama, sejenis sesuatu yang halus yang bersumber pada
lubang hati jasmani, lalu menyebar melalui pembuluh darah yang merasuk ke
seluruh anggota tubuh. Peredaran ruh pada tubuh dan limpahan cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan,
pendengaran, dan penciumannya, pada seluruh anggota tubuh seperti limpahan cahaya lampu yang diedarkan di
setiap sudut rumah. Sesungguhnya lampu itu tidak sampai pada suatu bagian
rumah, melainkan ia menerangi dengan cahaya itu. Kehidupan ini seperti cahaya
yang nampak pada dinding ruangan, sedangkan ruh adalah seperti lampunya.
Pergerakan ruh di dalam tubuh itu seperti gerakan lampu di sekeliling rumah
yang digerakkan oleh penggerak lampu itu.
Al-Rûh dalam makna ini tidak dipakai dalam tasawuf. Makna kedua,
adalah (sesuatu) yang halus, yang mengetahui, yang menyerap dari manusia. Ia
yang telah kami uraikan dalam salah satu dari makna hati dan itulah yang
dikehendaki oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya: “Qul al-rûh min amri rabbi.”
(Qs. Al-Isrâ`: 85). Ruh adalah persoalan yang mengagumkan, bersifat ketuhanan
(rabbâni) di mana mayoritas akal tidak mampu memahami hakikatnya. Ketika mengomentari Qs. Al-Isrâ`/ 17: 85, alGhazali mengatakan bahwa
amr al-bâriy ta’âla bukanlah jasmani dan bukan pula aksiden (‘arad),
akan tetapi ia adalah daya ketuhanan (quwwah ilâhiyah), substansi (jauhar) yang
kekal yang fenomenanya seperti Akal Pertama, al-Lauh al-Mahfûdz, dan al-Qalam.
Sesungguhnya ruh merupakan bagian dari keseluruhan qudrah ilâhiyah. Mengomentari
ayat di atas, Imam Fakhrur Razi menjelaskan bahwa ruh adalah substansi tunggal
yang unik (basît) yang tidak dapat tercipta kecuali melalui firman Allah kun fa
yakûn. Kehadiran ruh ini karena amr (perintah) Allah guna memberi mafaat bagi
badan. Ruh ini pada awalnya kosong dari ilmu pengetahuan.
Dalam proses kehidupan ia berubah dari satu kondisi ke kondisi yang
lebih maju, dari kekurangan menuju kesempurnaan. Abu Abdillah bin Nabaji
mengatakan bahwa ruh adalah sesuatu yang terlalu halus untuk dilihat dan
terlalu besar untuk disentuh. Ia tidak dapat diungkapkan dengan cara lain
kecuali bahwa dia itu maujud. Namun demikian menurut al-Hujwiri, semua sufi dan
kebanyakan muslim sepakat bahwa ruh adalah substansi bukan aksiden. Ruh itu
halus dan berjisim, karena itu ia dapat dilihat. Hanya saja untuk melihatnya
harus menggunakan mata hati. Ruh bisa menempati tembolok burung atau menjadi
pasukan yang bergerak ke sana ke mari, sebagaimana dijelaskan oleh hadis
Rasulullah saw.
Penjelasan al-Ghazali, yang membagi ruh dalam dua makna yakni makna
hakiki dan lahiriyah, kelihatannya mewakili keragaman penjelasan yang diberikan
oleh para ulama ini. Sesungguhnya menurut al-Ghazali, ruh yang merupakan
hakikat manusia adalah substansi tunggal yang tepisah dari materi. Ia adalah
sinar murni (adwa mujarradah) yang rasional dan bukan teresterial. Sebutan ruh
atau al-qalb dalam bahasa kita merupakan
keadaan substansi itu.
Masih menurut al-Ghazali, ruh itu tidak akan rusak, tidak akan hancur
dan tidak mati kecuali sekedar berpisah dengan badan dan yang menunggu kembali
kepada Allah pada hari Kiamat sebagaimana dijelaskan oleh syariat. Jadi al-rûh
al-nâtiq itu tidak berjisim, bukan aksiden (‘arad), tetapi ia adalah substansi
(jauhar) yang tetap (tsâbit), kekal (dâ`im), tidak rusak, tidak campur, tidak
hancur, tidak mati. Karena itu Allah menyandarkan ruh ini sesekali pada amr-Nya
(Qs. al-Isra`: 85) dan sesekali pada
keagungannya (Qs. al-Hajr/15: 29
alTahrîm/66: 12). Bunyi Qs.
al-Hajr/15: 29 adalah: yang artinya “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadianya, dan telah
meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduk kamu kepadanya dengan
bersujud.”) Bunyi Qs. al-Tahrîm/66: 12
adalah: artinya :
“dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami
tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan
kalimat Rabbnya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang
taat.) Bagi ruh yang merupakan substansi tunggal, jasmani adalah aksiden (arad)
yang tidak bisa tidak membutuhkan eksistensinya. Aksiden tidak akan eksis tanpa
substansi.
Akan tetapi substansi tersebut (ruh) tidak inkarnasi pada suatu
keadaan dan tidak menempati suatu tempat. Jadi badan bukanlah tempat ruh atau
al-qalb, tetapi ia adalah sarana bagi ruh, peralatan al-qalb serta kendaraan
bagi al-nafs. Dilihat dari substansinya, ruh adalah dari jenis malaikat. Akan
tetapi untuk mengerti hakikat ruh yang sesungguhnya adalah sangat sulit, karena
agama tidak menjelaskan bagaimana cara mengetahuinya. Tidak adanya penjelasan
yang cukup dari agama dalam hal ini, bukan karena tidak adanya kebutuhan agama
terhadap persoalan ini, tetapi karena agama adalah persoalan usaha (mujâhadah)
sedangkan pengenalan terhadap hakikat ruh adalah persoalan hidayah. Sebagaimana
firman Allah dalam Qs al-Ankabût/ 29: 69: walladzîna jâhadû fîna
lanahdiyannahum subulanâ(“Orang-orang yang benar-benar berusaha dalam agama
Kami, niscaya Kami akan beri petunjuk kepada mereka jalan Kami”).
Padahal ma’rifat terhadap hakikat dan sifatnya adalah kunci ma’rifat
Allah SWT. Dalam hal ini al-Ghazali
mewajibkan kita untuk bermujâhadah sehingga dapat mengetahui hakikat ruh
tersebut. Ia mewajibkan mujâhadah sebagai metode untuk menelusuri hakikat ruh,
bukan tafakkur karena obyek kajian yang akan dijangkau adalah hal ghaib yang
hanya bisa raih secara irfani/ huduri. Di dunia ini, ruh tidak menyibukkan
dirinya kecuali dengan mencari ilmu, karena ilmu itulah yang akan menjadi hiasannya
di akhirat nanti. Ruh yang telah mutma`innah tidak memiliki keinginan lain
kecuali ilmu dan tidak akan rida kecuali dengannya, bahkan ia akan senantiasa
belajar sepanjang hayatnya.
2.
Ragam Jiwa Manusia
Ruh adalah bersifat substantif, tunggal (al-jauhary al-mufrad) yang
menerangi, yang menyerap, pelaku, penggerak, penyempurna segenap perangkat dan
jasmani. Ruh yang oleh para filosof
muslim disebut jiwa rasional, inilah yang merupakan jiwa hikiki, namun demikian
ternyata dalam diri manusia masih terdapat jiwa-jiwa yang lain yang berkaitan
dan menjadi alat bagi jiwa hakiki ini. Ragam jiwa itu selanjutnya oleh para
filosof Muslim seperti al-Ghazali (450-505/ 1058-1111), mengikuti al-Farabi (w.
339/ 870-950) dan Ibn Sina (370429/ 980-1037), dibedakan menjadi tiga yaitu
jiwa vegetatif (al-nafs al-tabî'iy), jiwa sensitif (al-nafs al-hayawâniyah),
dan jiwa rasional (al-nafs al-nâtiqah).
Pembagian jiwa menjadi tiga bagian ini, yang mengadopsi penjelasan
Aristoteles. Aristoteles adalah filosof Yunani yang membagi jiwa dalam tiga
kategori yaitu Jiwa Tumbuhan (Ame Végétative) yang merupakan prinsip nutrisi,
tumbuh dan reproduksi; Jiwa Hewan (Ame Sensitive) yang merupakan landasan dari
indra dan gerak; serta Jiwa Rasional (Ame Pensante) yang merupakan landasan bagi
pemikiran. Aristoteles, sebagaimana dijelaskan Taftazani, mengkhususkan jiwa rasional itu pada manusia
tidak pada hewan. Sebagaimana Hewan memiliki kelebihan jiwa sensitif, sedangkan
tumbuhan tidak.
a.
Jiwa vegetatif (al-nafs al-tabî’iy) Jiwa vegetatif
merupakan penyempurna pertama badan yang merupakan potensi dan memiliki
perangkat untuk makanan/ nutrisi,
tumbuhan, dan reproduksi. Dayadaya pada jiwa vegetatif, menurut al-Ghazali,
semuanya dipersiapkan sebagai pelayan bagi jasmani, sedangkan jasmani merupakan
pelayan bagi daya sensitif/ hewani.
b.
Jiwa sensitif (al-nafs al-hayawâniyah) Jiwa Hayawaniyah
penyempurna pertama bagi jasmani yang merupakan potensi dan memiliki perangkat
untuk yang menyerap segala obyek parsial (juz`iyat) dan menggerakkan badan
dengan kehendak (irâdah). Nafsu yang terdiri atas syahwat dan ghadab berada
pada daya penggerak (al-quwwah al-muharrikah) yang ada pada jiwa ini. Jiwa hayawaniyah berbentuk badan halus
seperti cahaya lampu yang menyala dalam kaca al-qalb (yakni berbentuk jantung
yang tergantung di dada).
Hidup adalah sinar lampu tersebut, dan darah adalah tempat
tinggalnya, sensitifitas dan gerak adalah cahayanya. Nafsu syahwat adalah
panasnya. Nafsu ghadab (daya marah) adalah asapnya. Jiwa ini ada pada semua binatang
dan manusia. Jiwa hayawaniyah tidak
membutuhkan ilmu, tidak mengetahui cara penciptaan dan tidak juga mengetahui
hak Sang Pencipta. Karenanya jiwa ini bukanlah pemangku firman Allah dan bukan
penerima beban syariat. Sesungguhnya ia adalah pelayan bagi jiwa rasional yang
akan mati dengan matinya badan.
c.
Jiwa rasional (al-nafs al-nâtiqah) Jiwa rasional adalah
jiwa hakiki manusia. Ia adalah substansi (jauhar) tunggal, sempurna, dan hidup
dengan sendirinya. Kebaikan dalam beragama dan keburukannya akan lahir dari
jiwa ini. Adapun jiwa Vegetatif dan sensitif
serta seluruh daya fisik merupakan perangkatnya.
Substansi ini menerima segala ilustrasi fenomena dan esensi realitas,
tanpa disibukkan dengan rincian dan karakteristiknya. Jiwa rasional ini akan
abadi dan tidak hancur, bahkan lebih sempurna dengan matinya badan. Jiwa
rasional ini tidak memiliki menghendaki sesuatu kecuali berfikir (altafakkur),
menghafal (al-tahaffuz), membedakan (al-tamyîz), dan meriwayatkan/
mendeskripsikan (al-riwâyat), menerima seluruh pengetahuan tidak terlepas
penerimaan terhadap ilustrasi yang terlepas dari materi. Substansi (jiwa
rasional) ini adalah pemimpin jiwa-jiwa (nabâtiyah dan hayawâniyah) dan
penguasa daya-daya (al-quwwâ).
Seluruh jiwa dan daya-daya itu melayaninya dan menunaikan
perintahnya. Dia adalah substansi yang hidup, pelaku, dan penyerap Menurut
al-Ghazali jiwa rasional inilah yang oleh para filosof disebut al-jauhar
al-nafs al-nâtiqah. Al-Qur`an menyebutnya dengan al-nafs al-mutma`innah atau
disebut juga dengan al-rûh al-amriy. Para sufi menyebutnya dengan al-qalb.
Sedang al-Ghazali sendiri menggunakan berbagai istilah untuk menjelaskan jiwa
ini seperti: al-qalb, al-nafs al-nâtiqah, al-rûh al-nâtiq, al-rûh al-mutlaq,
dan al-rûh. Ia menegaskan bahwa perbedaan ini hanya dalam penyebutan sedangkan
maknanya satu dan tidak ada perbedaan dalam hal makna ini.
SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar