DAYA-DAYA RUHANI
1.
Ragam Daya Ruhani
Di samping jiwa hakikat manusia ini ternyata masih ada dua jiwa lagi
yang ada pada manusia yaitu jiwa tumbuhan dan binatang. Al-Ghazali dan Ibn Sina (980-1037) menyebut tiga jiwa itu
dengan al-nafs al-nabâtiyah, al-nafs al-hayawâniyah dan al-nafs al-nâtiqah/
alnafs al-insâniyah. Manusia sesungguhnya adalah makhluk integrasi antara
fenonema materi (al-nafs al-nabâtiyah) dan immateri (al-nafs al-nâtiqah),
dengan al-nafs al-hayawâniyah adalah substansi pengantara antara keduanya. Jika
tumbuh kembangnya aspek fisiologis ditentukan oleh al-nafs al-nabâtiyah, maka
perkembangan aspek ruhani, sangat ditentukan oleh kesucian dan ketajaman
al-nafs al-nâtiqah. sedangkan kualitas al-nafs al-hayawâniyah - sebagai
pengantara- justru menjadi penentu kualitas aspek fisiologis dan ruhani secara
bersamaan.
Baik al-Ghazali maupun Ibn Ataillah memastikan bahwa pada al-nafs
alhayawâniyah inilah nafsu (syahwat dan ghadab) berada. Nafsu adalah penentu
baik-buruknya ruhani yang selalu tergambar dalam ekspresi jasmani. Nafsu adalah
daya ruhani yang memiliki natur negatif.
Dalam konteks daya-daya ruhani ini, para sufi secara lebih lengkap
menegaskan bahwa struktur ruhani manusia itu terdiri atas lima bagian yaitu: al-nafs, al-‘aql, al-qalb,
al-rûh dan al-sirr. Al-Nafs adalah wadah dari syahwat dan ghdab, sedangkan
al-’aql (rasio) merupakan standard kebenaran. Imam al-Qusyairiy (w. 465/ 1072) dalam al-Risâlah
al-Qusyairiyah menyatakan bahwa al-qalb adalah tempat ma’rifat, al-rûh adalah
tempat cinta kasih (almahabbah) dan
al-sirr adalah tempat musyahadah.
Dari penjelasan para sufi tersebut, diketahui bahwa potensi dan daya
ruhani sangat variatif. Menjadi sangat naïf jika selama ini yang diberdayakan,
diadabkan dalam kehidupan nyata hanya sampai pada pemberdayaan aspek rasional
bahkan fisik saja. Menjadi manusia berkualitas adalah bagaimana
mengoptimalisasikan lima daya ruhani tersebut secara gradual dan simultan.
Hanya orang-orang sufi hakikilah yang sanggup mengortimalkan seluruh daya ini.
Pada masyarakat kebanyakan, daya ruhani yang paling menentukan dalam dinamika
ruhani hanya tiga yaitu al-nafs, al-’aql,dan al-qalb. Secara metaforis,
Al-Ghazali dalam Kîmiyâ` al-Sa’âdah, menggambarkan peran ketiga daya ruhani itu
secara metaforis. Menurutnya, jiwa itu laksana sebuah negeri. Ladangnya adalah
dua tangan, dua kaki, dan seluruh anggota tubuh lainnya. Tuan tanahnya adalah
nafsu seksual (syahwat) dan nafsu agresi (ghadab) adalah penjaganya. Al-Qalb
adalah rajanya dan al-’aql adalah perdana menterinya.
Wajib bagi sang raja tersebut bermusyawarah dengan perdana menteri,
guna menjadikan tuan tanah itu tunduk di bawah kendali perintah perdana
menteri, demi kelanggengan kerajaan dan kemakmuran negeri. Demikianlah
–menurutnya- kondisi al-qalb yang selalu bermusyawarah dengan al-’aql, guna
menjadikan nafsu syahwat dan ghadab di bawah
kendali perintahnya. Situasi jiwa benar-benar tentram tersebut akhirnya
mampu mencapai sebab kebahagiaan dan ma'rifat terhadap realitas transendental
(al-hadrah al-ilâhiyah). Akan tetapi jika akal berada di bawah al-ghadab dan
syahwat, maka hancurlah jiwa itu dan jadilah al-qalb sebagai yang celaka di akhirat.”
Dari ilustrasi di atas terlihat bahwa al-qalb adalah yang paling
utama, namun demikian posisi al-’aql bukanlah hal yang tidak penting. Sebagai
wazîr (perdana menteri) ia punya otoritas yang sangat urgen. Dilihat dari
penekanan al-Ghazali pada kesepakatan antara al-qalb dan al-’aql dalam
membentuk keputusan sikap batin, membuktikan sangat pentingnya hubungan antara
keduanya. Al-qalb (dalam makna ruh/ hakikat manusia) itu bukanlah berasal dari
alam kasat mata (‘âlam al-khalq) tetapi ia berasal dari alam ghaib (‘âlam
al-amr). Oleh karena itu ia menjadi terasing dalam alam ini. Eksistensinya
dalam dinamika ruhani adalah sebagai "raja" di mana seluruh anggota
tubuh bertindak sebagai pelayannya. Natur dasarnya adalah mengetahui Allah
(ma'rîfah Allah) dan menyaksikan
keindahan wajahNya (musyâhadah).
Dari metafor di atas dapat diketahui bahwa kendali dinamika ruhanilah
yang akan menentukan nilai sebuah perilaku. Jika dinamika ruhani tersebut
dikendalikan oleh nafsu maka sudah pasti yang akan muncul adalah perilaku
negatif (al-akhlâk al-madzmûmah). Sebaliknya jika kendali dalam dinamika ruhani
itu berada pada al-qalb yang merupakan wadah hidayah, maka perilaku yang muncul
adalah perilaku positif (al-akhlâk
al-mahmûdah). Pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya cara mengendalikan
sikap batin agar selalu dalam keputusan positif? Bagaimana cara mengendalikan
nafsu yang efektif? Tentu ini bukan persolan mudah. Jika al-Ghazali, menyebut
fenomena ruhani terdalam hanya sampai pada al-rûh, Imam al-Qusyairiy (w. 465/ 1072)
di samping menyebutkan al-qalb sebagai tempat ma’rifat, al-rûh sebagai tempat
cinta kasih (al-mahabbah), ia juga menyebut daya al-sirr adalah tempat
musyahadah.
Analisis tentang daya-daya ruhani oleh para syekh tarikat tampaknya
lebih utuh lagi. Syekh Ahmad Khatib Sambas, misalnya, menjelaskan bahwa manusia
itu terdiri atas sepuluh unsur halus (latâ`if) di mana lima latâ`if termasuk
alam khalqi dan lima berikutnya termasuk alam amr. Yang termasuk alam amr
adalah al-qalb, al-rûh, al-sirr, al-khafiy dan al-akhfâ.
Sedangkan lima latâ`if yang termasuk alam khalqi adalah latîfat
al-nafs dan empat unsur. Kyai Mushlih Mranggen menjelaskan keempat unsur itu
adalah air, udara, api dan tanah.
2.
Daya Ruhani Utama
Lebih detail mengenai daya-daya ruhani dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a.
Al-Nafs
Dalam Ihyâ`, al-Ghazali menjelaskan makna al-nafs dengan dua makna
sebagai berikut: pertama, al-nafs adalah makna menyeluruh bagi daya marah/
agresifitas (al-ghadab) dan daya keinginan (syahwat) dalam diri manusia. Makna
ini yang biasanya digunakan oleh ahli tasawuf, karena sesungguhnya mereka
menghendaki dengan kata al-nafs itu adalah pokok yang menghimpun bagi sifat
buruk dari manusia. Maka mereka mengatakan bahwa harus bermujâhadah (perang)
melawan nafsu dan memecahkannya.
Adapun makna kedua, al-nafs adalah sesuatu yang halus, sebagaimana
telah kami jelaskan. Ia adalah manusia secara hakikat. Ia adalah jiwa manusia
dan dzatnya. Dalam kitab Ma’ârij al-Quds
al-Ghazali juga menjelaskan dua makna tersebut. Yang dimaksud dengan al-nasf
dalam makna pertama adalah pengertian yang meliputi keseluruhan sifat buruk. ia
adalah daya hewani yang berlawanan dengan daya akal. Inilah pemahaman bagi
umumnya para sufi, hingga dikatakan bahwa jihad yang paling utama hendaklah
engkau memerangi nafsumu.
Al-Razi menegaskan bahwa mengekang dan mengendalikan nafsu merupakan
kewajiban bagi semua orang, bagi orang yang berakal dan bagi semua agama,
karena ia merupakan sumber kehinaan jiwa.
b.
Al-Syahwat
Nafsu syahwat adalah segala keinginan yang berkaitan dengan
seksualitas, makanan, materi, kedudukan/ jabatan dan prestise. Natur nafsu
syahwat selalu rakus dan berhasrat bila melihat lawan jenis, makanan, materi,
kekuasaan. Nafsu syahwat menjanjikan kenikmatan badani yang telah banyak
menjerumuskan orang untuk hidup sekedar memenuhi aspek ini. Mereka yang
terpedaya dengan syahwatnya akan makan dengan berbagai variasi tanpa
mempertimbangkan batasan yang diperkenankan agama. Ia tidak mampu mengontrol
syahwat, berzina, bangga dengan materi dan kekuasaan, sangat mencintai dunia
yang berujung pada melupakan Allah.
Ibn Miskawaih menyebut daya syahwat ini dengan al-nafs al-bahîmiyah
(jiwa kebinatangan) yang menjadi dasar bagi syahwat, keinginan terhadap
makanan, minum, kawin serta kenikmatan indrawi lainnya.
Berbeda dengan al-Ghazali menurutnya daya ini berada di hati.
Daya syahwat merupakan daya pertama yang ada sejak bayi, baru
kemudian disusul daya ghadab saat usia
tujuh tahun. Setelah daya ghadab mulai matang baru disusul oleh daya
tamyîz. Karena nafsu syahwat dan ghadab mendahului adanya dibanding kematangan
daya ruhani lainnya, maka ia lebih membekas di hati dari yang lain. Sebab kedua adalah akhlak yang ada
sedari awal kehidupan - di mana daya-daya ruhani belum stabil- terus dikuatkan
oleh prilaku yang menuntut kesenangan nafsu itu. Dua sebab itu yang membuat
proses perbaikan ruhani ini menjadi tidak mudah. Tujuan perbaikan dan penyucian
ruhani bukan meniadakan nafsu secara total, karena hal itu melawan fitrah.
Perbaikan ruhani ini lebih ditujukan untuk mengarahkan gejolak nafsu itu pada
koridor syara` dan nalar yang sehat.
c.
Al-Ghadab
Nafsu ghadab (daya marah) adalah daya agresivitas yang berfungsi
sebagai penjamin keamanan, sehingga setiap individu dapat tetap survive. Daya
agresifitas atau emosi ini sangat penting untuk dapat maraih setiap yang
dinginkan syahwat baik berupa makanan, kekayaan, jabatan dan lawan jenis yang
menentukan kelangsungan hidup setiap individu. Ibn Miskawaih menyebutnya dengan
al-nafs al-syabu’iyah (jiwa kebuasan) yang merupakan sumber kemarahan,
penentangan, keberanian, ingin berkuasa, ingin pangkat dan jabatan dan berbagai
kesempurnaan lainnya. Berbeda dengan al-Ghazali, ia menganggap pusat daya ini
berada di hati.
Pada hakekatnya kedua daya ini (syahwat dan ghadab) merupakan
prasyarat mutlak untuk kehidupan jasmani. Tanpa adanya keinginan terhadap
materi, makan minum, seksualitas dan kekuasaan tentu tidak mungkin manusia
dapat bertahan hidup. Tanpa adanya daya agresifitas (ghadab) tentu segala
keinginan (syahwat) tidak akan pernah didapatkan. Keinginan tanpa upaya
mendapatkan adalah sia-sia. Tanpa keduanya manusia tidak akan bisa eksis.
Begitu ia dilahirkan, segera ia akan mati. Bahkan untuk dilahirkan
tentu harus ada syahwat yang mengawali, tanpa syahwat tidak ada nikah, tanpa
nikah tidak ada kehamilan, tanpa kehamilan tidak ada kelahiran. Maka spesies
manusia segera musnah. Inilah fungsi dasar nafsu. Akan tetapi kodrat nafsu yang
senantiasa cenderung ke arah materi, seksualitas dan kekuasaan mengantarkan
manusia terpenjara di alam rendah materi. Ibn Ataillah mengatakan jika
kehidupan ini sekedar memenuhi hal-hal tersebut semata, sungguh hal sama
terjadi pada orang kafir bahkan ini adalah keadaan binatang melata.
d.
Al-Aql
Dua makna dasar dijelaskan al-Ghazali ketika menjelaskan al- ’aql
dalam Ihyâ`, yaitu pertama, al-‘aql adalah ilmu tentang hakikat
persoalan-persoalan. Maka akal dalam konteks ini adalah gambaran dari sifat
ilmu yang tempatnya di dalam hati. Adapun makna kedua, alaql adalah yang
menyerap ilmu pengetahuan. Dia ini adalah al-qalb yakni sesuatu yang halus.
Istilah al-’aql ini sangat samar karena ia bisa bermakna pelaku
sekaligus sifatnya, yang berilmu dan ilmunya. Sesunngguhnya substansi yang
mengetahui itu berbeda dengan sifat mengetahui. Akal kadang disebut sebagai
sifat, tetapi kadang disebut sebagai yang disifati. Secara hakiki al-’aql adalah substansi yang mengetahui. Sebagaimana
dijelaskan oleh Rasululllah SAW bahwa ia adalah yang pertama kali dicipta oleh
Allah: ا ول ماخلق الله العقل ”Hal pertama
yang Allah ciptakan (dalam wujud ini) adalah al-’aql.” Jika al-’aql di sini
adalah makhluk maka tidak mungkin dia diartikan sebagai ilmu pengetahuan. HR
al-Tabrani
Dalam kenyataan sehari-hari diketahui bahwa kemampuan akal untuk
memmperoleh pengetahuan tidak berdiri sendiri dan tidak serta merta. Akal
mengetahui melalui berbagai proses kematangan. Dinamika penyerapan pengetahuan
tersebut diawali dari pengetahuan empiris melalui panca indra yang mengalami
kematangan fisiologis secara bertahap. Pada usia sekitar tujuh tahun baru ada
sarana pengetahuan rasional yakni dengan munculnya daya pembeda (al-tamyîz)
yang oleh al-Ghazali disebut sebagai tahapan lain dari wujud.
Daya ini mampu melampaui indra dan membentuk dalil-dalil aksiomatis
(pengetahuan darurîy). Beberapa tahun kemudian muncullah daya akal yang
lebih sempurna. Dengan daya akal itu
seseorang dapat mengetahui hal-hal yang wajib, jaiz dan mustahil serta hal-hal
yang terdapat pada tahapan sebelumnya. Pada fase selanjutnya terbukalah
sepasang mata batin yang mampu melihat alam ghaib dan menyaksikan apa-apa yang
terjadi pada masa lalu dan yang akan datang serta berbagai permasalahan
metafisika lainnya.
Penjelasan lebih lanjut tentang evolusi akal teoritis tersebut adalah
sebagai berikut:
1)
Akal Material (Al-'Aql al-Hayulaniy).
Perkembangan akal pada fase awal ini masih berupa potensi. Al-Farabi
menyebutnya al-‘aql bi al-quwwah sebagai kondisi materi yang siap menerima
gambaran obyek rasional (ma’qûlât). Kondisi akal pada tahap ini oleh al-Ghazali
diumpamakan seperti adanya kemampuan menulis pada anak kecil yang belum dapat
menulis. Potensi menulis itu ada tapi belum aktual.
2)
Akal Habitual (Al-'Aql bi al-Malakah).
Dalam al-Qistâs al-Mustaqîm akal ini disebut dengan gharîzah al-'aql
(insting akal). Yang oleh al-Kindi disebut sebagai al-'aql bi al-mumkin. Disebut demikian karena akal telah
dimungkinkan untuk mengetahui pengetahuan aksiomatis (al-‘ulûm al-darûriyyât)
secara reflektif. Pengetahuan inilah yang disebut sebagai pengetahuan rasional
pertama (al-ma'qûlah al-ûlâ).
3)
Akal Aktual (Al-'Aql bi al-Fi'il).
Perkembangan akal pada fase ketiga ini telah mampu menggunakan
pengetahuan pertama Akal Habitual sebagai premis mayor dalam dialektika untuk
memperoleh pengetahuan rasional kedua (al-ma'qûlah al-tsâniyah). Kegiatan
berfikir pada fase ini bukan semata-mata merupakan aktifitas akal murni, tetapi
juga menggunakan daya al-mutakhayyilah
yang ada pada jiwa sensitif. Jadi informasi dari al-mutakhayyilah-yang
berfungsi untuk menyusun dan atau memisahkan pengetahuan- diambil kesimpulannya
oleh akal tersebut.
Kegiatan berfikir pada tahap ini merupakan kegiatan bersama antara
al-mutakhayyilah dengan akal. Dalam filasafat Yunani dan Romawi sebelum Islam,
perkembangan akal pada fase ini adalah puncak dari perkembangan akal yang tidak
mungkin bias dberdayakan lebih tinggi lagi. Namun menurut para filoosf Muslim
terutama al-Farabi, hal itu masih bias dikembangkan lagi menjadi akal mustafād.
4)
Akal Perolehan (Al-Aql al-Mustafâd).
Pada perkembangan fase terakhir ini menurut parea filosof Muslim
seperti alFarabi, Ibn Sina, al-Ghazali dan lain-lain, merupakan bentuk
pengaktifan akal hingga mampu mencapai level ladunni. Pada tingkatan ini, akal telah mempunyai
pengetahuan-pengetahuan aktual dan memiliki kesadarannya secara faktual.
Berbeda dengan aktifitas berfikir pada fase sebelumnya, di mana akal secara
aktif menciptakan bentuk-bentuk pengetahuan baru; pada tahap ini akal hanya
bersifat pasif. Pengetahuan-pengetahuan pada fase terakhir ini, telah hadir
dengan sendirinya tanpa memerlukan kegiatan berfikir.
Oleh karena itu ia disebut dengan al-mustafâd (perolehan). Akal ini
juga sering disebut dengan alaql al-qudsiy (akal suci). Pengetahuan tersebut
merupakan limpahan dari akal yang selamanya aktual yaitu Akal Aktif. Seperti
juga al-Farabi dan para filosof sebelumnya, al-Ghazali -dalam Mi'yâr
al-'Ilm- menyatakan bahwa Akal Aktif itu
adalah malaikat yang bertugas untuk memberii pengetahuan kepada manusia.
Dalam pandangan al-Ghazali tabiat akal adalah obyektif dan selamanya
benar. Jika ia tersalah dalam kesimpulannya itu, bukan karena fitrahnya tetapi
lebih dikarenakan oleh adanya kesalahan dari perangat luar yang dapat
menghalangi cahaya kebenaran seperti kesalahan indra dalam menyerap empiris,
adanya hayalan (wahm). Ketika akal terbebas dari kabut hayalan, ia akan dapat
melihat segala sesuatu secara obyektif sebagaimana adanya. Oleh karena itu
al-Ghazali menjadikan akal tersebut sebagai standar (mizân) bagi kebenaran dalam
setiap kondisi.
Namun demikian menurut al-Ghazali tabiat akal itu tidak mampu untuk
mengetahui kebenaran dalam permasalahan ghaib. Oleh karena itu akal semestinya
"diam" dan menerima pengetahuan yang disampaikan oleh intuisi. Dalam
al-Maqsûd al-Asnâ sebagaimana dikutip oleh Qasim, ia mengatakan bahwa seluruh
ilmuwan menyadari bahwasanya akal tidak dapat menunjukkan kejadian setelah
mati, tidak mampu menguraikan bahayanya
maksiat dan manfaatnya taat, baik secara terinci maupun global. Bahkan mereka
sepakat bahwa seseorang tidak akan mampu mencapai alam ghaib kecuali hanya
dengan cahaya kenabian yang merupakan daya di luar akal. Dengan nûr itulah
diungkap permasalahan ghaib masa lalu dan yang akan datang, bukan dengan cara
menyelidiki sebab-sebab rasional.
Jadi, menurut al-Ghazali tingkatan kebenaran tertinggi adalah
tingkatan basîrah yang sempurna yang ada pada para rasul dan nabi, disusul para
ahli musyâhadah dan dzauq. Tingkat di bawahnya adalah tingkatan rasional
‘kemudian tingkatan tamyîz (daya pembeda) dan tingkat terendah adalah tingkatan
indrawi.
Penjelasan ini menunjukkan transformasi intelektualitas manusia
bergerak dari potensial menuju kemampuan sederhana hingga mencapai tingkat
kemampuan yang lebih kompleks. Secara
global dapat dikatakan bahwa pengetahuan itu diawali dari pengetahuan empirik
kepada pengetahuan rasional dan selanjutnya kepada kemampuan intuitif.
al-khârij), maka untuk menjangkau fenomena rasional ia dibekali otak yang
merupakan indra dalam (al-mudrikah min al-dâkhil). Adapun pengetahuan intuitif
Jika untuk menjangkau fakta empirik manusia telah dilengkapi panca indra
(al-mudrikah min / hudûri merupakan pemberian dari Allah untuk hati yang telah mencapai
kadar kesucian dan kekuatan isti`ânah tertentu tanpa perantara antara dirinya
dan Allah.
Inilah ilham, sedangkan wahyu adalah proses penerimaan nûr ilahi yang
mempersyaratkan kesempurnaan dan kebersihan jiwa dari kesalahan, terputus dari
syahwat duniawi, dan penyerahan diri seutuhnya kepada Allah. Hal inilah yang
membuahkan kejernihan batin dan kesiapan jiwa untuk menerima pancaran nûr ilahi
dan seluruh ilmu tergambar di dalamnya. Pengetahuan
manusia yang bersifat indrawi dan rasional adalah pengetahuan terbatas dan
tidak dapat mengaitkan diri dengan alam ghaib.
Adapun pengetahuan rabbaniyah (ladunni) merupakan satu-satunya
pengetahuan yang mengaitkan –secara langsung- antara manusia dengan Allah.
Pengetahuan inilah yang dapat menimbulkan ketenangan, kebahagiaan dan
kenikmatan pengetahuan hakiki.
5)
Al-Qalb
Sebagaimana al-nafs, al-‘aql dan al-rûh, kata al-qalb oleh al-Ghazali
dibedakan atas dua makna yakni: pertama, Daging berbentuk buah sanaubar yang
terletak di dada sebelah kiri yaitu daging khusus yang di dalamnya ada lubang,
dan di dalam lubang itu ada darah hitam yang merupakan sumber ruh (dalam arti
jiwa sensitif-pen.) dan tambangnya (pembuluh darah pen.).
Hati dalam makna ini ada pada binatang bahkan ada pada mayat dan
karena ia hanyalah sepotong daging yang tidak ada kemulyaannya dan termasuk
alam materi (‘alam al-mulki wa al-syahâdah) karena binatang dapat mengetahuinya
dengan indra penglihatannya, lebih-lebih manusia. Makna kedua, Al-qalb adalah sesuatu yang
halus, bersifat ketuhanan (rabbâniyah), bersifat ruhani dan berkaitan dengan
hati jasmani.
Hati ini adalah hakikat manusia. Dialah yang menyerap, mengetahui,
mengenal dari manusia, yang diajak bicara (oleh Allah), yang disiksa, yang
dicela dan yang dituntut. Kaitannya dengan hati jasmani itu seperti kaitan
perangai yang baik dengan tubuh dan sifat-sifat dengan yang disifati, atau
kaitannya pemakai alat dengan alatnya atau seperti orang yang menempati suatu
tempat dengan tempatnya.
Al-qalb dalam makna hakiki ini berkaitan dengan hati jasmaniyah.
Kaitan itu seperti kaitan sifat dengan yang disifati, atau seperti kaitan alat
dengan pemakainya, atau seperti kaitan tempat dengan yang menempatinya.
Kelihatannya ada dua hal yang menghambat al-Ghazali untuk menjelaskan lebih
lanjut tentang persoalan hakikat al-qalb ini yaitu:
Pertama, karena ini
termasuk persoalan ilmu mukasyafah yang bukan menjadi tujuan pembicaraan ilmu
muamalah.
Kedua, karena
persoalan pengungkapan hakikat ruh tidak dibicarakan oleh Rasulullah.
Karenanya pembahasan tentang al-qalb ini lebih pada persoalan sifat
dan keadaannya saja. Mirip penjelasan
al-Ghazali, al-’ârif billâh Ibn ’Ajibah al-Hasani-pen-syarakh Hikam- menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan nafs, aql, rûh, dan sirri adalah hal yang satu.
Perbedaan sebutan itu kalau menurutnya lebih karena perbedaan capaian dan
pemahaman. Adapun yang capaiannya syahwat itu disebut nafs, yang capaiannya
hukum-hukum syariat disebut ’aql,
sedangkan yang capaiannya penampakan keagungan Allah (tajalliyât) disebut ruh.
Adapun yang capaiannya hakikat sesuatu disebut sirri. Semua itu
menurut Ibn ’Ajibah, menempati tempat yang satu. Sedikit berbeda dengan Ibn
’Ajibah, secara fungsional Imam Qusyairi menjelaskan bahwa sirr adalah tempat
penyaksian keagungan Allah (musyahadah), ruh tempat cinta ilahiyah (mahabbah),
dan qalb adalah tempat mengenal Allah (ma’rifat).
Adanya perbedaan analisis para sufi ini –meskipun tipis- menunjukkan
bahwa persoalan hakikat daya ruhani merupakan persoalan yang sangat halus.
Namun demikian mereka sepakat bahwa hakikat dari semua daya itu adalah satu.
Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa nafsu adalah tempat syahwat dan
ghadab. Aql tempat segala yang rasional dan qalb adalah tempat ma’rifat.
SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar