Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Selasa, 30 Juli 2019

DAYA-DAYA ROHANI DALAM ISLAM


DAYA-DAYA RUHANI
 
1.  Ragam Daya Ruhani

Di samping jiwa hakikat manusia ini ternyata masih ada dua jiwa lagi yang ada pada manusia yaitu jiwa tumbuhan dan binatang. Al-Ghazali dan  Ibn Sina (980-1037) menyebut tiga jiwa itu dengan al-nafs al-nabâtiyah, al-nafs al-hayawâniyah dan al-nafs al-nâtiqah/ alnafs al-insâniyah. Manusia sesungguhnya adalah makhluk integrasi antara fenonema materi (al-nafs al-nabâtiyah) dan immateri (al-nafs al-nâtiqah), dengan al-nafs al-hayawâniyah adalah substansi pengantara antara keduanya. Jika tumbuh kembangnya aspek fisiologis ditentukan oleh al-nafs al-nabâtiyah, maka perkembangan aspek ruhani, sangat ditentukan oleh kesucian dan ketajaman al-nafs al-nâtiqah. sedangkan kualitas al-nafs al-hayawâniyah - sebagai pengantara- justru menjadi penentu kualitas aspek fisiologis dan ruhani secara bersamaan.

Baik al-Ghazali maupun Ibn Ataillah memastikan bahwa pada al-nafs alhayawâniyah inilah nafsu (syahwat dan ghadab) berada. Nafsu adalah penentu baik-buruknya ruhani yang selalu tergambar dalam ekspresi jasmani. Nafsu adalah daya ruhani yang memiliki natur negatif.  Dalam konteks daya-daya ruhani ini, para sufi secara lebih lengkap menegaskan bahwa struktur ruhani manusia itu terdiri atas  lima bagian yaitu: al-nafs, al-‘aql, al-qalb, al-rûh dan al-sirr. Al-Nafs adalah wadah dari syahwat dan ghdab, sedangkan al-’aql (rasio) merupakan standard kebenaran. Imam   al-Qusyairiy (w. 465/ 1072) dalam al-Risâlah al-Qusyairiyah menyatakan bahwa al-qalb adalah tempat ma’rifat, al-rûh adalah tempat cinta kasih   (almahabbah) dan al-sirr adalah tempat musyahadah. 

Dari penjelasan para sufi tersebut, diketahui bahwa potensi dan daya ruhani sangat variatif. Menjadi sangat naïf jika selama ini yang diberdayakan, diadabkan dalam kehidupan nyata hanya sampai pada pemberdayaan aspek rasional bahkan fisik saja. Menjadi manusia berkualitas adalah bagaimana mengoptimalisasikan lima daya ruhani tersebut secara gradual dan simultan. Hanya orang-orang sufi hakikilah yang sanggup mengortimalkan seluruh daya ini. Pada masyarakat kebanyakan, daya ruhani yang paling menentukan dalam dinamika ruhani hanya tiga yaitu al-nafs, al-’aql,dan al-qalb. Secara metaforis, Al-Ghazali dalam Kîmiyâ` al-Sa’âdah, menggambarkan peran ketiga daya ruhani itu secara metaforis. Menurutnya, jiwa itu laksana sebuah negeri. Ladangnya adalah dua tangan, dua kaki, dan seluruh anggota tubuh lainnya. Tuan tanahnya adalah nafsu seksual (syahwat) dan nafsu agresi (ghadab) adalah penjaganya. Al-Qalb adalah rajanya dan al-’aql adalah perdana menterinya.

Wajib bagi sang raja tersebut bermusyawarah dengan perdana menteri, guna menjadikan tuan tanah itu tunduk di bawah kendali perintah perdana menteri, demi kelanggengan kerajaan dan kemakmuran negeri. Demikianlah –menurutnya- kondisi al-qalb yang selalu bermusyawarah dengan al-’aql, guna menjadikan nafsu syahwat dan ghadab di bawah  kendali perintahnya. Situasi jiwa benar-benar tentram tersebut akhirnya mampu mencapai sebab kebahagiaan dan ma'rifat terhadap realitas transendental (al-hadrah al-ilâhiyah). Akan tetapi jika akal berada di bawah al-ghadab dan syahwat, maka hancurlah jiwa itu dan jadilah al-qalb sebagai yang celaka di akhirat.”

Dari ilustrasi di atas terlihat bahwa al-qalb adalah yang paling utama, namun demikian posisi al-’aql bukanlah hal yang tidak penting. Sebagai wazîr (perdana menteri) ia punya otoritas yang sangat urgen. Dilihat dari penekanan al-Ghazali pada kesepakatan antara al-qalb dan al-’aql dalam membentuk keputusan sikap batin, membuktikan sangat pentingnya hubungan antara keduanya. Al-qalb (dalam makna ruh/ hakikat manusia) itu bukanlah berasal dari alam kasat mata (‘âlam al-khalq) tetapi ia berasal dari alam ghaib (‘âlam al-amr). Oleh karena itu ia menjadi terasing dalam alam ini. Eksistensinya dalam dinamika ruhani adalah sebagai "raja" di mana seluruh anggota tubuh bertindak sebagai pelayannya. Natur dasarnya adalah mengetahui Allah (ma'rîfah Allah) dan menyaksikan  keindahan wajahNya (musyâhadah).

Dari metafor di atas dapat diketahui bahwa kendali dinamika ruhanilah yang akan menentukan nilai sebuah perilaku. Jika dinamika ruhani tersebut dikendalikan oleh nafsu maka sudah pasti yang akan muncul adalah perilaku negatif (al-akhlâk al-madzmûmah). Sebaliknya jika kendali dalam dinamika ruhani itu berada pada al-qalb yang merupakan wadah hidayah, maka perilaku yang muncul adalah perilaku positif  (al-akhlâk al-mahmûdah). Pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya cara mengendalikan sikap batin agar selalu dalam keputusan positif? Bagaimana cara mengendalikan nafsu yang efektif? Tentu ini bukan persolan mudah. Jika al-Ghazali, menyebut fenomena ruhani terdalam hanya sampai pada al-rûh, Imam al-Qusyairiy (w. 465/ 1072) di samping menyebutkan al-qalb sebagai tempat ma’rifat, al-rûh sebagai tempat cinta kasih (al-mahabbah), ia juga menyebut daya al-sirr adalah tempat musyahadah. 

Analisis tentang daya-daya ruhani oleh para syekh tarikat tampaknya lebih utuh lagi. Syekh Ahmad Khatib Sambas, misalnya, menjelaskan bahwa manusia itu terdiri atas sepuluh unsur halus (latâ`if) di mana lima latâ`if termasuk alam khalqi dan lima berikutnya termasuk alam amr. Yang termasuk alam amr adalah al-qalb, al-rûh, al-sirr, al-khafiy dan al-akhfâ.

Sedangkan lima latâ`if yang termasuk alam khalqi adalah latîfat al-nafs dan empat unsur. Kyai Mushlih Mranggen menjelaskan keempat unsur itu adalah air, udara, api dan tanah.
 
2.  Daya Ruhani Utama

Lebih detail mengenai daya-daya ruhani dapat dijelaskan sebagai berikut: 

a.    Al-Nafs

Dalam Ihyâ`, al-Ghazali menjelaskan makna al-nafs dengan dua makna sebagai berikut: pertama, al-nafs adalah makna menyeluruh bagi daya marah/ agresifitas (al-ghadab) dan daya keinginan (syahwat) dalam diri manusia. Makna ini yang biasanya digunakan oleh ahli tasawuf, karena sesungguhnya mereka menghendaki dengan kata al-nafs itu adalah pokok yang menghimpun bagi sifat buruk dari manusia. Maka mereka mengatakan bahwa harus bermujâhadah (perang) melawan nafsu dan memecahkannya.

Adapun makna kedua, al-nafs adalah sesuatu yang halus, sebagaimana telah kami jelaskan. Ia adalah manusia secara hakikat. Ia adalah jiwa manusia dan dzatnya.  Dalam kitab Ma’ârij al-Quds al-Ghazali juga menjelaskan dua makna tersebut. Yang dimaksud dengan al-nasf dalam makna pertama adalah pengertian yang meliputi keseluruhan sifat buruk. ia adalah daya hewani yang berlawanan dengan daya akal. Inilah pemahaman bagi umumnya para sufi, hingga dikatakan bahwa jihad yang paling utama hendaklah engkau memerangi nafsumu.

Al-Razi menegaskan bahwa mengekang dan mengendalikan nafsu merupakan kewajiban bagi semua orang, bagi orang yang berakal dan bagi semua agama, karena ia merupakan sumber kehinaan jiwa. 

b.    Al-Syahwat

Nafsu syahwat adalah segala keinginan yang berkaitan dengan seksualitas, makanan, materi, kedudukan/ jabatan dan prestise. Natur nafsu syahwat selalu rakus dan berhasrat bila melihat lawan jenis, makanan, materi, kekuasaan. Nafsu syahwat menjanjikan kenikmatan badani yang telah banyak menjerumuskan orang untuk hidup sekedar memenuhi aspek ini. Mereka yang terpedaya dengan syahwatnya akan makan dengan berbagai variasi tanpa mempertimbangkan batasan yang diperkenankan agama. Ia tidak mampu mengontrol syahwat, berzina, bangga dengan materi dan kekuasaan, sangat mencintai dunia yang berujung pada melupakan Allah.

Ibn Miskawaih menyebut daya syahwat ini dengan al-nafs al-bahîmiyah (jiwa kebinatangan) yang menjadi dasar bagi syahwat, keinginan terhadap makanan, minum, kawin serta kenikmatan indrawi lainnya.

Berbeda dengan al-Ghazali menurutnya daya ini berada di hati.
Daya syahwat merupakan daya pertama yang ada sejak bayi, baru kemudian disusul daya ghadab saat usia  tujuh tahun. Setelah daya ghadab mulai matang baru disusul oleh daya tamyîz. Karena nafsu syahwat dan ghadab mendahului adanya dibanding kematangan daya ruhani lainnya, maka ia lebih membekas di hati dari yang lain. Sebab kedua adalah akhlak yang ada sedari awal kehidupan - di mana daya-daya ruhani belum stabil- terus dikuatkan oleh prilaku yang menuntut kesenangan nafsu itu. Dua sebab itu yang membuat proses perbaikan ruhani ini menjadi tidak mudah. Tujuan perbaikan dan penyucian ruhani bukan meniadakan nafsu secara total, karena hal itu melawan fitrah. Perbaikan ruhani ini lebih ditujukan untuk mengarahkan gejolak nafsu itu pada koridor syara` dan nalar yang sehat.

c.    Al-Ghadab
Nafsu ghadab (daya marah) adalah daya agresivitas yang berfungsi sebagai penjamin keamanan, sehingga setiap individu dapat tetap survive. Daya agresifitas atau emosi ini sangat penting untuk dapat maraih setiap yang dinginkan syahwat baik berupa makanan, kekayaan, jabatan dan lawan jenis yang menentukan kelangsungan hidup setiap individu. Ibn Miskawaih menyebutnya dengan al-nafs al-syabu’iyah (jiwa kebuasan) yang merupakan sumber kemarahan, penentangan, keberanian, ingin berkuasa, ingin pangkat dan jabatan dan berbagai kesempurnaan lainnya. Berbeda dengan al-Ghazali, ia menganggap pusat daya ini berada di hati.

Pada hakekatnya kedua daya ini (syahwat dan ghadab) merupakan prasyarat mutlak untuk kehidupan jasmani. Tanpa adanya keinginan terhadap materi, makan minum, seksualitas dan kekuasaan tentu tidak mungkin manusia dapat bertahan hidup. Tanpa adanya daya agresifitas (ghadab) tentu segala keinginan (syahwat) tidak akan pernah didapatkan. Keinginan tanpa upaya mendapatkan adalah sia-sia. Tanpa keduanya manusia tidak akan bisa eksis.

Begitu ia dilahirkan, segera ia akan mati. Bahkan untuk dilahirkan tentu harus ada syahwat yang mengawali, tanpa syahwat tidak ada nikah, tanpa nikah tidak ada kehamilan, tanpa kehamilan tidak ada kelahiran. Maka spesies manusia segera musnah. Inilah fungsi dasar nafsu. Akan tetapi kodrat nafsu yang senantiasa cenderung ke arah materi, seksualitas dan kekuasaan mengantarkan manusia terpenjara di alam rendah materi. Ibn Ataillah mengatakan jika kehidupan ini sekedar memenuhi hal-hal tersebut semata, sungguh hal sama terjadi pada orang kafir bahkan ini adalah keadaan binatang melata. 

d.    Al-Aql

Dua makna dasar dijelaskan al-Ghazali ketika menjelaskan al- ’aql dalam Ihyâ`, yaitu pertama, al-‘aql adalah ilmu tentang hakikat persoalan-persoalan. Maka akal dalam konteks ini adalah gambaran dari sifat ilmu yang tempatnya di dalam hati. Adapun makna kedua, alaql adalah yang menyerap ilmu pengetahuan. Dia ini adalah al-qalb yakni sesuatu yang halus.

Istilah al-’aql ini sangat samar karena ia bisa bermakna pelaku sekaligus sifatnya, yang berilmu dan ilmunya. Sesunngguhnya substansi yang mengetahui itu berbeda dengan sifat mengetahui. Akal kadang disebut sebagai sifat, tetapi kadang disebut sebagai yang disifati. Secara hakiki al-’aql  adalah substansi yang mengetahui. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasululllah SAW bahwa ia adalah yang pertama kali dicipta oleh Allah:  ا ول ماخلق الله العقل ”Hal pertama yang Allah ciptakan (dalam wujud ini) adalah al-’aql.” Jika al-’aql di sini adalah makhluk maka tidak mungkin dia diartikan sebagai ilmu pengetahuan. HR al-Tabrani

Dalam kenyataan sehari-hari diketahui bahwa kemampuan akal untuk memmperoleh pengetahuan tidak berdiri sendiri dan tidak serta merta. Akal mengetahui melalui berbagai proses kematangan. Dinamika penyerapan pengetahuan tersebut diawali dari pengetahuan empiris melalui panca indra yang mengalami kematangan fisiologis secara bertahap. Pada usia sekitar tujuh tahun baru ada sarana pengetahuan rasional yakni dengan munculnya daya pembeda (al-tamyîz) yang oleh al-Ghazali disebut sebagai tahapan lain dari wujud.

Daya ini mampu melampaui indra dan membentuk dalil-dalil aksiomatis (pengetahuan darurîy). Beberapa tahun kemudian muncullah daya akal yang lebih   sempurna. Dengan daya akal itu seseorang dapat mengetahui hal-hal yang wajib, jaiz dan mustahil serta hal-hal yang terdapat pada tahapan sebelumnya. Pada fase selanjutnya terbukalah sepasang mata batin yang mampu melihat alam ghaib dan menyaksikan apa-apa yang terjadi pada masa lalu dan yang akan datang serta berbagai permasalahan metafisika lainnya.

Penjelasan lebih lanjut tentang evolusi akal teoritis tersebut adalah sebagai berikut:

1) Akal Material (Al-'Aql al-Hayulaniy).

Perkembangan akal pada fase awal ini masih berupa potensi. Al-Farabi menyebutnya al-‘aql bi al-quwwah sebagai kondisi materi yang siap menerima gambaran obyek rasional (ma’qûlât). Kondisi akal pada tahap ini oleh al-Ghazali diumpamakan seperti adanya kemampuan menulis pada anak kecil yang belum dapat menulis. Potensi menulis itu ada tapi belum aktual. 

2) Akal Habitual (Al-'Aql bi al-Malakah).
Dalam al-Qistâs al-Mustaqîm akal ini disebut dengan gharîzah al-'aql (insting akal). Yang oleh al-Kindi disebut sebagai al-'aql bi al-mumkin.   Disebut demikian karena akal telah dimungkinkan untuk mengetahui pengetahuan aksiomatis (al-‘ulûm al-darûriyyât) secara reflektif. Pengetahuan inilah yang disebut sebagai pengetahuan rasional pertama (al-ma'qûlah al-ûlâ).  

3) Akal Aktual (Al-'Aql bi al-Fi'il).

Perkembangan akal pada fase ketiga ini telah mampu menggunakan pengetahuan pertama Akal Habitual sebagai premis mayor dalam dialektika untuk memperoleh pengetahuan rasional kedua (al-ma'qûlah al-tsâniyah). Kegiatan berfikir pada fase ini bukan semata-mata merupakan aktifitas akal murni, tetapi juga   menggunakan daya al-mutakhayyilah yang ada pada jiwa sensitif. Jadi informasi dari al-mutakhayyilah-yang berfungsi untuk menyusun dan atau memisahkan pengetahuan- diambil kesimpulannya oleh akal tersebut.

Kegiatan berfikir pada tahap ini merupakan kegiatan bersama antara al-mutakhayyilah dengan akal. Dalam filasafat Yunani dan Romawi sebelum Islam, perkembangan akal pada fase ini adalah puncak dari perkembangan akal yang tidak mungkin bias dberdayakan lebih tinggi lagi. Namun menurut para filoosf Muslim terutama al-Farabi, hal itu masih bias dikembangkan lagi menjadi akal mustafād.

4) Akal Perolehan (Al-Aql al-Mustafâd).

Pada perkembangan fase terakhir ini menurut parea filosof Muslim seperti alFarabi, Ibn Sina, al-Ghazali dan lain-lain, merupakan bentuk pengaktifan akal hingga mampu mencapai level ladunni.    Pada tingkatan ini, akal telah mempunyai pengetahuan-pengetahuan aktual dan memiliki kesadarannya secara faktual. Berbeda dengan aktifitas berfikir pada fase sebelumnya, di mana akal secara aktif menciptakan bentuk-bentuk pengetahuan baru; pada tahap ini akal hanya bersifat pasif. Pengetahuan-pengetahuan pada fase terakhir ini, telah hadir dengan sendirinya tanpa memerlukan kegiatan berfikir.

Oleh karena itu ia disebut dengan al-mustafâd (perolehan). Akal ini juga sering disebut dengan alaql al-qudsiy (akal suci). Pengetahuan tersebut merupakan limpahan dari akal yang selamanya aktual yaitu Akal Aktif. Seperti juga al-Farabi dan para filosof sebelumnya, al-Ghazali -dalam Mi'yâr al-'Ilm-  menyatakan bahwa Akal Aktif itu adalah malaikat yang bertugas untuk memberii pengetahuan kepada manusia. 

Dalam pandangan al-Ghazali tabiat akal adalah obyektif dan selamanya benar. Jika ia tersalah dalam kesimpulannya itu, bukan karena fitrahnya tetapi lebih dikarenakan oleh adanya kesalahan dari perangat luar yang dapat menghalangi cahaya kebenaran seperti kesalahan indra dalam menyerap empiris, adanya hayalan (wahm). Ketika akal terbebas dari kabut hayalan, ia akan dapat melihat segala sesuatu secara obyektif sebagaimana adanya. Oleh karena itu al-Ghazali menjadikan akal tersebut sebagai standar (mizân) bagi kebenaran dalam setiap kondisi.

Namun demikian menurut al-Ghazali tabiat akal itu tidak mampu untuk mengetahui kebenaran dalam permasalahan ghaib. Oleh karena itu akal semestinya "diam" dan menerima pengetahuan yang disampaikan oleh intuisi. Dalam al-Maqsûd al-Asnâ sebagaimana dikutip oleh Qasim, ia mengatakan bahwa seluruh ilmuwan menyadari bahwasanya akal tidak dapat menunjukkan kejadian setelah mati, tidak  mampu menguraikan bahayanya maksiat dan manfaatnya taat, baik secara terinci maupun global. Bahkan mereka sepakat bahwa seseorang tidak akan mampu mencapai alam ghaib kecuali hanya dengan cahaya kenabian yang merupakan daya di luar akal. Dengan nûr itulah diungkap permasalahan ghaib masa lalu dan yang akan datang, bukan dengan cara menyelidiki sebab-sebab rasional.

Jadi, menurut al-Ghazali tingkatan kebenaran tertinggi adalah tingkatan basîrah yang sempurna yang ada pada para rasul dan nabi, disusul para ahli musyâhadah dan dzauq. Tingkat di bawahnya adalah tingkatan rasional ‘kemudian tingkatan tamyîz (daya pembeda) dan tingkat terendah adalah tingkatan indrawi.

Penjelasan ini menunjukkan transformasi intelektualitas manusia bergerak dari potensial menuju kemampuan sederhana hingga mencapai tingkat kemampuan yang lebih kompleks.  Secara global dapat dikatakan bahwa pengetahuan itu diawali dari pengetahuan empirik kepada pengetahuan rasional dan selanjutnya kepada kemampuan intuitif. al-khârij), maka untuk menjangkau fenomena rasional ia dibekali otak yang merupakan indra dalam (al-mudrikah min al-dâkhil). Adapun pengetahuan intuitif Jika untuk menjangkau fakta empirik manusia telah dilengkapi panca indra (al-mudrikah min / hudûri merupakan pemberian dari Allah untuk hati yang telah mencapai kadar kesucian dan kekuatan isti`ânah tertentu tanpa perantara antara dirinya dan Allah.

Inilah ilham, sedangkan wahyu adalah proses penerimaan nûr ilahi yang mempersyaratkan kesempurnaan dan kebersihan jiwa dari kesalahan, terputus dari syahwat duniawi, dan penyerahan diri seutuhnya kepada Allah. Hal inilah yang membuahkan kejernihan batin dan kesiapan jiwa untuk menerima pancaran nûr ilahi dan seluruh ilmu tergambar di dalamnya.  Pengetahuan manusia yang bersifat indrawi dan rasional adalah pengetahuan terbatas dan tidak dapat mengaitkan diri dengan alam ghaib.

Adapun pengetahuan rabbaniyah (ladunni) merupakan satu-satunya pengetahuan yang mengaitkan –secara langsung- antara manusia dengan Allah. Pengetahuan inilah yang dapat menimbulkan ketenangan, kebahagiaan dan kenikmatan pengetahuan hakiki.

5) Al-Qalb 

Sebagaimana al-nafs, al-‘aql dan al-rûh, kata al-qalb oleh al-Ghazali dibedakan atas dua makna yakni: pertama, Daging berbentuk buah sanaubar yang terletak di dada sebelah kiri yaitu daging khusus yang di dalamnya ada lubang, dan di dalam lubang itu ada darah hitam yang merupakan sumber ruh (dalam arti jiwa sensitif-pen.) dan tambangnya (pembuluh darah pen.).

Hati dalam makna ini ada pada binatang bahkan ada pada mayat dan karena ia hanyalah sepotong daging yang tidak ada kemulyaannya dan termasuk alam materi (‘alam al-mulki wa al-syahâdah) karena binatang dapat mengetahuinya dengan indra penglihatannya, lebih-lebih manusia.  Makna kedua, Al-qalb adalah sesuatu yang halus, bersifat ketuhanan (rabbâniyah), bersifat ruhani dan berkaitan dengan hati jasmani.

Hati ini adalah hakikat manusia. Dialah yang menyerap, mengetahui, mengenal dari manusia, yang diajak bicara (oleh Allah), yang disiksa, yang dicela dan yang dituntut. Kaitannya dengan hati jasmani itu seperti kaitan perangai yang baik dengan tubuh dan sifat-sifat dengan yang disifati, atau kaitannya pemakai alat dengan alatnya atau seperti orang yang menempati suatu tempat dengan tempatnya. 

Al-qalb dalam makna hakiki ini berkaitan dengan hati jasmaniyah. Kaitan itu seperti kaitan sifat dengan yang disifati, atau seperti kaitan alat dengan pemakainya, atau seperti kaitan tempat dengan yang menempatinya. Kelihatannya ada dua hal yang menghambat al-Ghazali untuk menjelaskan lebih lanjut tentang persoalan hakikat al-qalb ini yaitu:

Pertama, karena ini termasuk persoalan ilmu mukasyafah yang bukan menjadi tujuan pembicaraan ilmu muamalah.
Kedua, karena persoalan pengungkapan hakikat ruh tidak dibicarakan oleh Rasulullah. 

Karenanya pembahasan tentang al-qalb ini lebih pada persoalan sifat dan keadaannya saja.  Mirip penjelasan al-Ghazali, al-’ârif billâh Ibn ’Ajibah al-Hasani-pen-syarakh Hikam- menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nafs, aql, rûh, dan sirri adalah hal yang satu. Perbedaan sebutan itu kalau menurutnya lebih karena perbedaan capaian dan pemahaman. Adapun yang capaiannya syahwat itu disebut nafs, yang capaiannya hukum-hukum syariat  disebut ’aql, sedangkan yang capaiannya penampakan keagungan Allah (tajalliyât) disebut ruh.

Adapun yang capaiannya hakikat sesuatu disebut sirri. Semua itu menurut Ibn ’Ajibah, menempati tempat yang satu. Sedikit berbeda dengan Ibn ’Ajibah, secara fungsional Imam Qusyairi menjelaskan bahwa sirr adalah tempat penyaksian keagungan Allah (musyahadah), ruh tempat cinta ilahiyah (mahabbah), dan qalb adalah tempat mengenal Allah (ma’rifat).

Adanya perbedaan analisis para sufi ini –meskipun tipis- menunjukkan bahwa persoalan hakikat daya ruhani merupakan persoalan yang sangat halus. Namun demikian mereka sepakat bahwa hakikat dari semua daya itu adalah satu. Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa nafsu adalah tempat syahwat dan ghadab. Aql tempat segala yang rasional dan qalb adalah tempat ma’rifat. 

SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM

  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar