Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Rabu, 31 Juli 2019

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PAI


Pengembangan Pembelajaran PAI

Holistik Hakekat belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. Dalam bahasa Bloom belajar adalah perubahan tingkah laku baik yang menyangkut pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Secara lebih tajam dalam perspektif Islam belajar adalah perubahan prilaku sebagai pengejawantahan perubahan struktur ruhani yang in ballancing. Belajar adalah upaya menempatkan kemabali dan mekokohkan posisi hati sebagai penguasa ruhani, akal sebagai pengendali segenap aktifitas nafsu-baik seksual maupun agresifitas- yang terwujud dalam prilaku fisik (psikomotorik).

Proses pembelajaran dalam pendidikan Agama Islam, adalah proses restrukturisasi dan pensucian ruhani. Dalam bahasa al-Ghazali pendidikan Agama Islam adalah proses penyembuhan ruhani yang sakit. Karena menurut al-Ghazali, jiwa manusia itu ada yang terjaga dalam kesehatan original (al-sihhah al-ashliyyah) yakni jiwa para nabi, dan jiwa yang sakit yakni jiwa-jiwa manusia lainnya. Karena kesehatan, kesucian dan keasliannya jiwa para nabi menjadi cerdas dengan sendirinya mampu menagkap segenap sinyal metafisik (wahyu). Ia tidak pernah terdinding dari kebenaran berkat kemurnian fitrahnya. Mereka tidak memerlukan pendidikan manusia, tetapi didik langsung oleh Allah melalui malaikat Jibril. Sementara jiwa manusia lainnya menjadi mutlak membutuhkan pendidikan untuk mengobati sakitnya itu. 

Dalam kitab al-Risalah al-Ladunniyah  al-Ghazali membagi model pendidikan itu menjadi dua yaitu pembelajaran humanistik (al-ta’lim al-insaniy) dan pembelajaran transendental (al-ta’lim al-rabbaniy)
 
1. Pengembangan Pembelajaran Humanistik PAI 

(Al-Ta’lim al-Insaniy) Proses pembelajaran humanistik (al-ta’lim al-insaniy) dapat berupa dua bentuk yaitu proses belajar dari dalam diri ke luar melalui kontemplasi (tafakkur) dari dapat juga dari luar ke dalam diri manusia. Pembelajaran  humanistik (al-ta’lim al-insaniy) yang lebih bernuansa horisontal biasanya melalui tatap muka di kelas. Pembelajaran ini meliputi kegiatan mengorganisasikan pengalaman belajar, mengolah kegiatan belajar-mengajar, menilai proses dan hasil belajar yang kesemuanya merupakan tanggung jawab guru.

Pada model pembelajaran ini semestinya Muslim tida terjebak untuk menerapkan pendekatan sufistik yang amat ketat yang memang berlaku dalam pembelajaran transendental (al-ta’lim al-rabbaniy), dimana murid tidak boleh memiliki aktifitas lain selain diam.  Dalam pembelajaran humanis yang lebih empiris dan rasional sangat baik bila dipakai berbagai model yang sudah diuji efektifitasnya oleh para pakar pendidikan.

Model-model pembelajaran tersebut terus dikembangkan oleh para pakar pendidikan, guna mengoptimalisasikan proses belajar mengajar yang ada. Cara belajar yang theacer centered, sebagai bentuk cara belajar guru aktif, siswa pasif sudah lama dialihkan menjadi student centered, yakni cara belajar siswa aktif. Perubahan ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan akan pentingnya memeberikan ruang yang lebih luas pada peserta didik.

Karena sesungguhnya tidak akan pernah ada bentuk pendidikan yang benar-benar guru saja yang aktif atau sebaliknya.  Cara belajar student centered  (active learning) ini juga diikuti dengan penawaran jenis belajar yang baru. Yaitu dari belajar konsep menjadi belajar proses. Belajar konsep lebih menekankan hasil belajar pada pemahaman terhadap fakta dan prinsip dan banyak bergantung pada penjelasan guru (bahan/ isi pelajaran) serta dominan kognitif. Sedangkan belajar proses (ketrampilan proses) menekankan pada bagaimana pelajaran itu diajarkan dan dipelajari. 

Namun demikian belajar konsep tidak bisa dipertentangkan secara ekstrim dengan belajar proses. Keduanya berada di dalam garis kontinum, dimana yang satu lebih mengutamakan pada penghayatan proses dan yang lain lebih menekankan pada perolehan hasil, pemahaman fakta dan prinsip. Belajar ketrampilan proses tidak mungkin terjadi bila tidak ada materi yang akan dipelajari. Begitu juga dengan belajar konsep tidak akan bisa dilaksanakan tanpa ketrampilan proses. Pada pembelajaran yang bersifat ekspositori, belajar konsep dengan tingkat keterlibatan siswa yang terbatas mungkin lebih efektif. Sementara ketrampilan proses lebih efektif diberlakukan pada modus pembelajaran discovery yang membutuhkan tingkat keaktifan siswa cukup tinggi.

Model akhir yang kini lagi gencar-gencarnya dipromosikan adalah Contextual Teaching and Learning (CTL). Belajar bukan sekedar persoalan peserta didik hafal apa atau menguasai apa, tetapi lebih jauh dari itu. Apakah yang dipelajari itu berguna dalam konteks kehidupannya? Apakah isi materi pembelajaran itu benar-benar bermakna bagi diri peserta didik? Karena membelajarkan sesuatu yang tidak terkait dengan konteks peserta didik akan sia-sia dan terbuang dari ingatan. Sia-sia. Hasil penelitian ahli Psikokognitif modern menunjukkan bahwa 90 % dari yang dipelajari peserta didik seharian akan hilang dari pikiran kecuali 10 %. Sepuluh persen yang tetap setia tinggaldalam pikiran kita dari yang kita pelajari hanyalah yang menarik bagi kita.

Dalam bahasa lain hanya content (materi)  yang bersesuaian dengan context-nya sajalah yang akan menciptakan meaning (makna). Maka pembelajaran termasuk PAI di dalamnya harus memahami hal ini. Guru PAI harus bias mengkaitan setiap pokok bahasan dengan diri dan situasi yang melingkupi peserta didik baik itu keyakinannya, ideologinya, minat, kesenangannya, kebiasaan, budaya yang berkembang, trend teknologi serta berbagai hal yang ada di sekitar mereka. Dengan demikian pembelajaran PAI menjadi segar sesuai situasi dan tidak jumud dan membosankan.

Menerapkan CTL berarti harus juga mampu menerapkan varian model pembelajran yang ada di dalamnya seperti: Direct instruction, problem based learning dan cooperative learning. Model cooperative learning yang dipopulerkan oleh Vegot Sky menekankan adanya kerjasama antar siswa dalam pembelajaran. Hal ini akan mampu meningkatkan daya serap siswa secara keseluruhan dengan lebih baik. Di Indonesia ini lebih dikenal dengan PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif dan Menyenagkan). Berbagai teknik terbaru dalam pembelajaran model CTL ini juga mutlakharus dikuasai oleg guru PAI seperti: The Power of Two, Snow balling, Team Quiz, Jigsaw, Billboard Ranking, Video Comment, Poster Session, Critical Incident, Every One is a Theacher Here, Learning Start with Question,  dll. 

Namun begitu guru PAIjuga harus tetap mempertimbangkan model-model pembelajran sebelumnya seperti Quantum Learning. Jika pada belajar konsep dan proses, konsentrasi pengembangan pada peserta didik. Pada model pembelajaran quantum learning ini konsentrasi pengembangan lebih diarahkan pada penciptaan kondisi dan situasi belajar yang menyenangkan. Ini berarti titik tekannya lebih pada optimalisasi pengelolaan kelas. Bobbi De Porter (1992) dalam hal ini menyatakan:

Kami percaya bahwa belajar baru efektif dalam suasana gembira. Kami percaya bahwa belajar adalah proyek sepanjang hayat yang dapat dilakukan orang dengan penuh ceria dan sukses. Kami percaya bahwa keseluruhan kepribadian sangat penting; intelek, fisik dan emosi. Dan kami percaya bahwa harga diri yang tinggi adalah unsur pokok dalam membentuk pelajar yang sehat dan bahagia. 

Untuk mendukung falsafah ini, kami berusaha menciptakan lingkungan belajar begitu rupa sehingga mereka merasa penting, aman dan menyenangkan. Ini dimulai dari lingkungan fisik  yang dipercantik dengan tanaman, seni, dan musik. Ruang belajar harus terasa menyenangkan agar belajar optimal. Lingkungan emosional juga penting. Dalam program yang kami selenggarakan, para pengajar sangat ahli dalam menciptakan hubungan akrab dengan siswanya.

Yang terpenting dalam model pembelajaran quantum learning ini adalah penciptaan situasi dan kondisi kelas serta hubungan guru-murid yang menyenangkan. Hal terpenting yang dapat diambil dari tiga model pembelajaran tersebut –belajar konsep, proses dan quantum learning-  adalah bahwa untuk menjadi bermakna dan optimal pembelajaran harus memperhatikan tiga hal: yaitu siswa, lingkungan belajar dan suasana emosional pendidik-peserta didik. Dalam bahasa sederhana ketiga point harus optimalisasikan. Guru harus benar-benar memahami, kapan, pada materi apa siswa mesti aktif, dan pada saat kapan ia harus pasif. Sekolah harus bisa memanipulasi lingkungan belajarnya menjadi tempat yang menyenangkan. Sedangkan hubungan emosional gurumurid harus terbina dengan penuh keakraban. 

Jika ketiga persoalan di atas disusun secara hirarkis berdasarkan tingkat urgensinya, maka tampaknya dalam masalah model pembelajaran yang efektif itu hubungan emosional guru-murid merupakan faktor yang paling menentukan proses pembelajaran. Kemudian masalah keaktifan siswa dan lingkungan belajar yang kondusif. 

Bagaimanapun juga guru adalah pusat perhatian dan pemegang kendali proses pembelajaran. Maka suasana emosional yang terbangun antara guru dan murid akan sangat menetukan minat dan motivasi belajar peserta didik. Guru tidak boleh mengorbankan kedekatan dengan peserta didik hanya karena alasan menjaga kewibawaan. Walaupun benar bahwa hilangnya batasan guru dan murid dapat melunturkan kewibawaan tersebut. 

Untuk bisa menampilkan model pembelajaran seperti dikehendaki oleh quantum learning sekolah harus menyediakan dana yang cukup besar –untuk tidak menyebut sangat. Model quantum learning akan sangat cocok untuk sekolah-sekolah unggulan yang memang memiliki dukungan dana yang kuat. Sementara bagi sekolah-sekolah reguler quantum learning  akan dihadapkan pada problem finansial. 

Kalau untuk menunjang belajar proses aktif/ Pakem saja, banyak terkendala oleh tidak  tersediakannya  sarana-prasarana yang memadahi seperti: meja-kursi yang mudah digerakkan dan ringan (mobile), perpustakaan yang lengkap. Apalagi quantum learning yang semestinya membutuhkan ruangan ber-AC, bersih, indah, ada peredam suaranya, dengan musik-musik klasik mengiringi proses belajar mengajar, akan sangat sulit diterapkan secara ideal. Pada akhirnya meskipun kita sangat setuju dengan model quantum learning tampaknya kita mesti realistis bahwa tampilan quantum learning perlu inovasi kreatif dari sang guru (sekolah) itu sendiri. Pada prinsipnya guru harus berusaha semaksimal mungkin mengelola kelas menjadi bersih, indah, dan menyenangkan walaupun dalam taraf yang sangat minimal.
 
2. Pengembangan Pembelajaran PAI

Transendental (Ta’lim al-Rabbaniy) Adapun proses pembelajaran transendental (al-ta’lim al-rabbaniy) adalah bentuk pembelajaran Gurunya adalah Allah SWT sendiri. Dalam perspektif Islam Tuhan bukan hanya Penguasa tetapi juga Pemberi Ilmu (Pengajar). Bahkan kata tarbiyah berasal dari kata  fi’il madli  rabba (mengatur, memelihara). Sedangkan Tuhan dalam Bahasa Arab disebut dengan Rabb (Yang Maha Memelihara, Mendidik).

Al-Ghazali membagi model pembelajaran ini ke dalam dua bentuk yaitu; bentuk Wahyu dan Ilham. Jika wahyu hanya berlaku pada nabi maka ilham dapat berlaku bagi mereka yang bukan nabi. Maka pembelajaran transendental (al-ta’lim al-rabbaniy) ini  lebih diarahkan agar murid dapat melakukan mobilitas vertikal secara intens dengan Allah SWT. Hal ini jugalah yang secara hakiki menjadi tujuan PAI yakni mengantar murid ‘kembali’ kepada Allah SWT. Secara hakiki pembelajaran PAI diharapkan mampu mengembalikan kondisi ruhani murid untuk dapat menerima ilham dari Allah. 

Sebelum kita berbicara tentang apa yang harus dilakukan murid dalam pembelajaran ini, terlebih dahulu guru harus telah ‘sempurna’. Guru harus ‘alim dan sekaligus ‘abid  dalam bahasa sederhana guru harus shaleh. Karena nantinya ia akan menjadi pusat figur bagi implementasi nilai-nilai dan ajaran agama itu sendiri. Maka suri teladan yang baik dari guru adalah hal yang mutlak dalam pembelajaran Agama Islam. Suri teladan itu diharapkan bukan sekedar kamuflase, tetapi benar-benar telah terinternalisasi dalam pribadi seorang guru.

Kamuflase hanya akan membuat peserta didik kecewa akan gurunya, karena apa yang tampak baik selama ini hanya sandiwara semata. Sikap fatal yang bisa muncul dari kamuflase ini dapat berupa perlawanan, penolakan, pasif, cuek terhadap pembelajaran atau bahkan murid akan mengikuti guru uuntuk bersifat ambigu. Kalau murid telah pandai berpura-pura baik dihadapan guru dan sebaliknya di belakang guru, maka ini artinya jiwa mereka telah pecah (splite personality). Dalam bahasa agama ini adalah munafik yang diancam keras oleh Islam.

Banyak sekali ayat-ayat al-Qur`an yang  mengancam mereka yang hanya bisa berbicara tetapi tidak pernah melaksanakan. Begitu juga Hadis Nabi Muhammad SAW. Juga banyak yang mencaci mereka yang hanya bisa berteori tetapi tidak pernah berbuat. Rasulullah menyebut mereka sebagai ‘alim munafiq alim lisan jahil al-qalb wa al-‘amal (intelektual munafik, yang lidahnya lincah namun hatinya bodoh amalnya tiada). Wal’iyadzubillah.

Dalam dunia pendidikan teladan menjadi penting karena penampilan guru adalah panutan langsung dari sikap siswanya. Sebaik apapun kata-kata guru, jika ternyata bertentangan dengan apa yang diperbuat pasti ia akan direndahkan oleh peserta didik.  Dalam pepatah Arab dikatan lisan al-hal afshah min lisan al-maqal (bahasa prilaku itu jauh lebih tajam dari pada bahasa lisan). Teladan yang baik adalah modal utama bagi kewibawaan guru yang dalam pembelajaran agama aadalah mutlak.

Apalagi dalam pembelajaran transendental seorang guru mutlak ‘perfect’’ sebelum ia memberi bimbingan kepada muridnya. Guru itu harus sudah sembuh dari berbagai penyakit ruhani sebelum ia mencoba menyembuhkan sakit ruhani muridnya. Guru itu harus sudah mengerti jalan menuju Allah, bahkan idealnya telah washil, sebelum mendidik murid-muridnya. Ini adalah tugas suci yang sangat berat yang semestinya dicapai oleh setiap mereka yang berani menamakan guru Agama Islam.

Hal lain yang harus senantiasa dilakukan oleh guru agama adalah mendoakan semua pesertadidinya. Bahkan pada peserta didik yang membandel sekalipun guru agama harus senantiasa mendoakannya. Doa adalah senjata ghaib yang diharapkan dapat menyempurnakan segenap kekurangan aktifitas lahiriyah pembelajaran, sehingga terbina jiwa-jiwa peserta didik yang benar-benar sholih-sholihah.

Adapun yang sangat penting untuk dibiasakan pada peserta didik adalah tafakkur dan latihan ibadah (riyadlah) . Semestinya peserta didik diajak memahami agama melalui pemahama terhadap realitas yang ada. Mereka diajak untuk terbiasa melihat kaitan antara segala sesuatu dengan Causa Prima Allah. Karena sesungguhnya tafakkur adalah proses kembali ke Allah dengan menggunakan akal sebagai sarananya.

Setelah dididik secara rasional emosional, peserta didik semestinya dibiasakan dengan berbagai amalan sunnah seperti: membaca al-Qur’an, berdzikir, puasa sunnah, shalat-shalat sunnah dll. Riyadlah adalah aspek yang sering dinafikan dalam proses pembelajaran agama kita hari ini. Padahal tanpanya tidak bisa dibayangkan bagaimana nilai dan ajaran Islam itu dapat diinternalisasikan. Untuk bisa menyembuhkan, memperbaiki dan menata ulang ruhani murid tampaknya tidak ada yang lebih dibutuhkan dari riyadlah ini.

Al-Ghazali menegaskan bahwa dzikir akan berdampak langsung pada perbaikan ruhani seseorang jika itu dilakukan dengan benar. Al-Qur’an sendiri menjelakan bahwa ia adalah petunjuk kebenaran (hudan), obat penyakit ruhani (syifa’), dan rahmat bagi mereka yang beriman. 

Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa untuk mengembangkan pembelajaran pendidikan Agama Islam secara maksimal ternyata bukanlah pekerjaan yang mudah. Maksimalisasi pendidikan agama hanya bisa dilakukan jika dibarengi dengan suasana kondusif dari berbagai faktor. Konsep filosofis tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan Islami, kondisi dan suasana institusi sekolah yang Islami dan kurikulum yang efektif dan efisien adalah hal-hal yang harus dipenuhi untuk dapat mewujudkan proses belajar-mengajar –dalam hal ini PAI- yang bagus dan menyenangkan.

Yang juga perlu disadari adalah adanya kekhasan dari pembelajaran PAI itu sendiri yang bersifat sarat nilai. Maka dengan mengikuti pola al-Ghazali, pembelajaran  Agama Islam harus melalui dua model pendektan yaitu; pendekatan humanistik (al-ta’lim alinsaniyi) dan pendekatan transendental (al-ta’lim al-rabbaniy). Pembelajaran yang selama ini berlangsung tampaknya lebih –untuk tidak mengetakan hanya- menekankan ta’lim insaniy-nya saja. Pembejaran seperti ini hanya mampu mengantarkan peserta didik pandai tapi belum tentu shaleh. Padahal kualitas shaleh merupakan poin utama dalam pembelajaran PAI. 

Ketimpangan ini nantinya harus segera diseleseikan dengan menggunakan pola ta’lim robbaniy. Dengan ta’lim robbaniy  tersebut diharapkan dapat tergarap ruang-ruang esensial yang selama ini tertinggal.  Sehingga apa yang dikeluhkan selama ini bahwa pendidikan Agama Islam gagal menyentuh aspek prilaku, atau hanya menjadi konsumsi rasional, dapat dijawab. Sehingga benar-benar dapat diwujudkan tujuan pendidikan yang menginginkan terbentuknya out put  yang beriman taqwa dengan tampilan ahlak yang mulia.

SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM


Tidak ada komentar:

Posting Komentar