Pengembangan Pembelajaran PAI
Holistik Hakekat
belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. Dalam
bahasa Bloom belajar adalah perubahan tingkah laku baik yang menyangkut
pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Secara lebih tajam dalam perspektif Islam
belajar adalah perubahan prilaku sebagai pengejawantahan perubahan struktur
ruhani yang in ballancing. Belajar adalah upaya menempatkan kemabali dan
mekokohkan posisi hati sebagai penguasa ruhani, akal sebagai pengendali segenap
aktifitas nafsu-baik seksual maupun agresifitas- yang terwujud dalam prilaku
fisik (psikomotorik).
Proses
pembelajaran dalam pendidikan Agama Islam, adalah proses restrukturisasi dan
pensucian ruhani. Dalam bahasa al-Ghazali pendidikan Agama Islam adalah proses
penyembuhan ruhani yang sakit. Karena menurut al-Ghazali, jiwa manusia itu ada
yang terjaga dalam kesehatan original (al-sihhah al-ashliyyah) yakni jiwa para
nabi, dan jiwa yang sakit yakni jiwa-jiwa manusia lainnya. Karena kesehatan,
kesucian dan keasliannya jiwa para nabi menjadi cerdas dengan sendirinya mampu
menagkap segenap sinyal metafisik (wahyu). Ia tidak pernah terdinding dari
kebenaran berkat kemurnian fitrahnya. Mereka tidak memerlukan pendidikan
manusia, tetapi didik langsung oleh Allah melalui malaikat Jibril. Sementara
jiwa manusia lainnya menjadi mutlak membutuhkan pendidikan untuk mengobati
sakitnya itu.
Dalam kitab
al-Risalah al-Ladunniyah al-Ghazali
membagi model pendidikan itu menjadi dua yaitu pembelajaran humanistik
(al-ta’lim al-insaniy) dan pembelajaran transendental (al-ta’lim al-rabbaniy)
1.
Pengembangan Pembelajaran Humanistik PAI
(Al-Ta’lim al-Insaniy) Proses pembelajaran humanistik
(al-ta’lim al-insaniy) dapat berupa dua bentuk yaitu proses belajar dari dalam
diri ke luar melalui kontemplasi (tafakkur) dari dapat juga dari luar ke dalam
diri manusia. Pembelajaran humanistik
(al-ta’lim al-insaniy) yang lebih bernuansa horisontal biasanya melalui tatap
muka di kelas. Pembelajaran ini meliputi kegiatan mengorganisasikan pengalaman
belajar, mengolah kegiatan belajar-mengajar, menilai proses dan hasil belajar
yang kesemuanya merupakan tanggung jawab guru.
Pada model pembelajaran ini semestinya Muslim tida
terjebak untuk menerapkan pendekatan sufistik yang amat ketat yang memang
berlaku dalam pembelajaran transendental (al-ta’lim al-rabbaniy), dimana murid
tidak boleh memiliki aktifitas lain selain diam. Dalam pembelajaran humanis yang lebih empiris
dan rasional sangat baik bila dipakai berbagai model yang sudah diuji
efektifitasnya oleh para pakar pendidikan.
Model-model pembelajaran tersebut terus dikembangkan oleh
para pakar pendidikan, guna mengoptimalisasikan proses belajar mengajar yang
ada. Cara belajar yang theacer centered, sebagai bentuk cara belajar guru
aktif, siswa pasif sudah lama dialihkan menjadi student centered, yakni cara
belajar siswa aktif. Perubahan ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan akan
pentingnya memeberikan ruang yang lebih luas pada peserta didik.
Karena sesungguhnya tidak akan pernah ada bentuk
pendidikan yang benar-benar guru saja yang aktif atau sebaliknya. Cara belajar student centered (active learning) ini juga diikuti dengan
penawaran jenis belajar yang baru. Yaitu dari belajar konsep menjadi belajar
proses. Belajar konsep lebih menekankan hasil belajar pada pemahaman terhadap
fakta dan prinsip dan banyak bergantung pada penjelasan guru (bahan/ isi
pelajaran) serta dominan kognitif. Sedangkan belajar proses (ketrampilan
proses) menekankan pada bagaimana pelajaran itu diajarkan dan dipelajari.
Namun demikian belajar konsep tidak bisa dipertentangkan
secara ekstrim dengan belajar proses. Keduanya berada di dalam garis kontinum,
dimana yang satu lebih mengutamakan pada penghayatan proses dan yang lain lebih
menekankan pada perolehan hasil, pemahaman fakta dan prinsip. Belajar ketrampilan
proses tidak mungkin terjadi bila tidak ada materi yang akan dipelajari. Begitu
juga dengan belajar konsep tidak akan bisa dilaksanakan tanpa ketrampilan
proses. Pada pembelajaran yang bersifat ekspositori, belajar konsep dengan
tingkat keterlibatan siswa yang terbatas mungkin lebih efektif. Sementara
ketrampilan proses lebih efektif diberlakukan pada modus pembelajaran discovery
yang membutuhkan tingkat keaktifan siswa cukup tinggi.
Model akhir yang kini lagi gencar-gencarnya dipromosikan
adalah Contextual Teaching and Learning (CTL). Belajar bukan sekedar persoalan
peserta didik hafal apa atau menguasai apa, tetapi lebih jauh dari itu. Apakah
yang dipelajari itu berguna dalam konteks kehidupannya? Apakah isi materi
pembelajaran itu benar-benar bermakna bagi diri peserta didik? Karena
membelajarkan sesuatu yang tidak terkait dengan konteks peserta didik akan
sia-sia dan terbuang dari ingatan. Sia-sia. Hasil penelitian ahli Psikokognitif
modern menunjukkan bahwa 90 % dari yang dipelajari peserta didik seharian akan
hilang dari pikiran kecuali 10 %. Sepuluh persen yang tetap setia tinggaldalam
pikiran kita dari yang kita pelajari hanyalah yang menarik bagi kita.
Dalam bahasa lain hanya content (materi) yang bersesuaian dengan context-nya sajalah
yang akan menciptakan meaning (makna). Maka pembelajaran termasuk PAI di
dalamnya harus memahami hal ini. Guru PAI harus bias mengkaitan setiap pokok
bahasan dengan diri dan situasi yang melingkupi peserta didik baik itu
keyakinannya, ideologinya, minat, kesenangannya, kebiasaan, budaya yang
berkembang, trend teknologi serta berbagai hal yang ada di sekitar mereka.
Dengan demikian pembelajaran PAI menjadi segar sesuai situasi dan tidak jumud
dan membosankan.
Menerapkan CTL berarti harus juga mampu menerapkan varian
model pembelajran yang ada di dalamnya seperti: Direct instruction, problem
based learning dan cooperative learning. Model cooperative learning yang
dipopulerkan oleh Vegot Sky menekankan adanya kerjasama antar siswa dalam
pembelajaran. Hal ini akan mampu meningkatkan daya serap siswa secara
keseluruhan dengan lebih baik. Di Indonesia ini lebih dikenal dengan PAKEM
(Pembelajaran Aktif Kreatif dan Menyenagkan). Berbagai teknik terbaru dalam
pembelajaran model CTL ini juga mutlakharus dikuasai oleg guru PAI seperti: The
Power of Two, Snow balling, Team Quiz, Jigsaw, Billboard Ranking, Video
Comment, Poster Session, Critical Incident, Every One is a Theacher Here,
Learning Start with Question, dll.
Namun begitu guru PAIjuga harus tetap mempertimbangkan
model-model pembelajran sebelumnya seperti Quantum Learning. Jika pada belajar
konsep dan proses, konsentrasi pengembangan pada peserta didik. Pada model
pembelajaran quantum learning ini konsentrasi pengembangan lebih diarahkan pada
penciptaan kondisi dan situasi belajar yang menyenangkan. Ini berarti titik
tekannya lebih pada optimalisasi pengelolaan kelas. Bobbi De Porter (1992)
dalam hal ini menyatakan:
Kami percaya bahwa belajar baru efektif dalam suasana
gembira. Kami percaya bahwa belajar adalah proyek sepanjang hayat yang dapat
dilakukan orang dengan penuh ceria dan sukses. Kami percaya bahwa keseluruhan
kepribadian sangat penting; intelek, fisik dan emosi. Dan kami percaya bahwa
harga diri yang tinggi adalah unsur pokok dalam membentuk pelajar yang sehat
dan bahagia.
Untuk mendukung falsafah ini, kami berusaha menciptakan
lingkungan belajar begitu rupa sehingga mereka merasa penting, aman dan
menyenangkan. Ini dimulai dari lingkungan fisik
yang dipercantik dengan tanaman, seni, dan musik. Ruang belajar harus
terasa menyenangkan agar belajar optimal. Lingkungan emosional juga penting.
Dalam program yang kami selenggarakan, para pengajar sangat ahli dalam
menciptakan hubungan akrab dengan siswanya.
Yang terpenting dalam model pembelajaran quantum learning
ini adalah penciptaan situasi dan kondisi kelas serta hubungan guru-murid yang
menyenangkan. Hal terpenting yang dapat diambil dari tiga model pembelajaran
tersebut –belajar konsep, proses dan quantum learning- adalah bahwa untuk menjadi bermakna dan
optimal pembelajaran harus memperhatikan tiga hal: yaitu siswa, lingkungan
belajar dan suasana emosional pendidik-peserta didik. Dalam bahasa sederhana
ketiga point harus optimalisasikan. Guru harus benar-benar memahami, kapan,
pada materi apa siswa mesti aktif, dan pada saat kapan ia harus pasif. Sekolah
harus bisa memanipulasi lingkungan belajarnya menjadi tempat yang menyenangkan.
Sedangkan hubungan emosional gurumurid harus terbina dengan penuh
keakraban.
Jika ketiga persoalan di atas disusun secara hirarkis
berdasarkan tingkat urgensinya, maka tampaknya dalam masalah model pembelajaran
yang efektif itu hubungan emosional guru-murid merupakan faktor yang paling
menentukan proses pembelajaran. Kemudian masalah keaktifan siswa dan lingkungan
belajar yang kondusif.
Bagaimanapun juga guru adalah pusat perhatian dan
pemegang kendali proses pembelajaran. Maka suasana emosional yang terbangun
antara guru dan murid akan sangat menetukan minat dan motivasi belajar peserta
didik. Guru tidak boleh mengorbankan kedekatan dengan peserta didik hanya
karena alasan menjaga kewibawaan. Walaupun benar bahwa hilangnya batasan guru
dan murid dapat melunturkan kewibawaan tersebut.
Untuk bisa menampilkan model pembelajaran seperti
dikehendaki oleh quantum learning sekolah harus menyediakan dana yang cukup
besar –untuk tidak menyebut sangat. Model quantum learning akan sangat cocok
untuk sekolah-sekolah unggulan yang memang memiliki dukungan dana yang kuat.
Sementara bagi sekolah-sekolah reguler quantum learning akan dihadapkan pada problem finansial.
Kalau untuk menunjang belajar proses aktif/ Pakem saja,
banyak terkendala oleh tidak
tersediakannya sarana-prasarana
yang memadahi seperti: meja-kursi yang mudah digerakkan dan ringan (mobile),
perpustakaan yang lengkap. Apalagi quantum learning yang semestinya membutuhkan
ruangan ber-AC, bersih, indah, ada peredam suaranya, dengan musik-musik klasik
mengiringi proses belajar mengajar, akan sangat sulit diterapkan secara ideal.
Pada akhirnya meskipun kita sangat setuju dengan model quantum learning
tampaknya kita mesti realistis bahwa tampilan quantum learning perlu inovasi
kreatif dari sang guru (sekolah) itu sendiri. Pada prinsipnya guru harus
berusaha semaksimal mungkin mengelola kelas menjadi bersih, indah, dan
menyenangkan walaupun dalam taraf yang sangat minimal.
2.
Pengembangan Pembelajaran PAI
Transendental (Ta’lim al-Rabbaniy) Adapun proses
pembelajaran transendental (al-ta’lim al-rabbaniy) adalah bentuk pembelajaran
Gurunya adalah Allah SWT sendiri. Dalam perspektif Islam Tuhan bukan hanya
Penguasa tetapi juga Pemberi Ilmu (Pengajar). Bahkan kata tarbiyah berasal dari
kata fi’il madli rabba (mengatur, memelihara). Sedangkan Tuhan
dalam Bahasa Arab disebut dengan Rabb (Yang Maha Memelihara, Mendidik).
Al-Ghazali membagi model pembelajaran ini ke dalam dua
bentuk yaitu; bentuk Wahyu dan Ilham. Jika wahyu hanya berlaku pada nabi maka
ilham dapat berlaku bagi mereka yang bukan nabi. Maka pembelajaran
transendental (al-ta’lim al-rabbaniy) ini
lebih diarahkan agar murid dapat melakukan mobilitas vertikal secara
intens dengan Allah SWT. Hal ini jugalah yang secara hakiki menjadi tujuan PAI
yakni mengantar murid ‘kembali’ kepada Allah SWT. Secara hakiki pembelajaran
PAI diharapkan mampu mengembalikan kondisi ruhani murid untuk dapat menerima
ilham dari Allah.
Sebelum kita berbicara tentang apa yang harus dilakukan
murid dalam pembelajaran ini, terlebih dahulu guru harus telah ‘sempurna’. Guru
harus ‘alim dan sekaligus ‘abid dalam
bahasa sederhana guru harus shaleh. Karena nantinya ia akan menjadi pusat figur
bagi implementasi nilai-nilai dan ajaran agama itu sendiri. Maka suri teladan
yang baik dari guru adalah hal yang mutlak dalam pembelajaran Agama Islam. Suri
teladan itu diharapkan bukan sekedar kamuflase, tetapi benar-benar telah terinternalisasi
dalam pribadi seorang guru.
Kamuflase hanya akan membuat peserta didik kecewa akan
gurunya, karena apa yang tampak baik selama ini hanya sandiwara semata. Sikap
fatal yang bisa muncul dari kamuflase ini dapat berupa perlawanan, penolakan, pasif,
cuek terhadap pembelajaran atau bahkan murid akan mengikuti guru uuntuk
bersifat ambigu. Kalau murid telah pandai berpura-pura baik dihadapan guru dan
sebaliknya di belakang guru, maka ini artinya jiwa mereka telah pecah (splite
personality). Dalam bahasa agama ini adalah munafik yang diancam keras oleh
Islam.
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur`an yang mengancam mereka yang hanya bisa berbicara
tetapi tidak pernah melaksanakan. Begitu juga Hadis Nabi Muhammad SAW. Juga
banyak yang mencaci mereka yang hanya bisa berteori tetapi tidak pernah
berbuat. Rasulullah menyebut mereka sebagai ‘alim munafiq alim lisan jahil
al-qalb wa al-‘amal (intelektual munafik, yang lidahnya lincah namun hatinya
bodoh amalnya tiada). Wal’iyadzubillah.
Dalam dunia pendidikan teladan menjadi penting karena
penampilan guru adalah panutan langsung dari sikap siswanya. Sebaik apapun
kata-kata guru, jika ternyata bertentangan dengan apa yang diperbuat pasti ia
akan direndahkan oleh peserta didik.
Dalam pepatah Arab dikatan lisan al-hal afshah min lisan al-maqal
(bahasa prilaku itu jauh lebih tajam dari pada bahasa lisan). Teladan yang baik
adalah modal utama bagi kewibawaan guru yang dalam pembelajaran agama aadalah
mutlak.
Apalagi dalam pembelajaran transendental seorang guru
mutlak ‘perfect’’ sebelum ia memberi bimbingan kepada muridnya. Guru itu harus
sudah sembuh dari berbagai penyakit ruhani sebelum ia mencoba menyembuhkan
sakit ruhani muridnya. Guru itu harus sudah mengerti jalan menuju Allah, bahkan
idealnya telah washil, sebelum mendidik murid-muridnya. Ini adalah tugas suci
yang sangat berat yang semestinya dicapai oleh setiap mereka yang berani
menamakan guru Agama Islam.
Hal lain yang harus senantiasa dilakukan oleh guru agama
adalah mendoakan semua pesertadidinya. Bahkan pada peserta didik yang membandel
sekalipun guru agama harus senantiasa mendoakannya. Doa adalah senjata ghaib
yang diharapkan dapat menyempurnakan segenap kekurangan aktifitas lahiriyah
pembelajaran, sehingga terbina jiwa-jiwa peserta didik yang benar-benar
sholih-sholihah.
Adapun yang sangat penting untuk dibiasakan pada peserta
didik adalah tafakkur dan latihan ibadah (riyadlah) . Semestinya peserta didik
diajak memahami agama melalui pemahama terhadap realitas yang ada. Mereka
diajak untuk terbiasa melihat kaitan antara segala sesuatu dengan Causa Prima
Allah. Karena sesungguhnya tafakkur adalah proses kembali ke Allah dengan menggunakan
akal sebagai sarananya.
Setelah dididik secara rasional emosional, peserta didik
semestinya dibiasakan dengan berbagai amalan sunnah seperti: membaca al-Qur’an,
berdzikir, puasa sunnah, shalat-shalat sunnah dll. Riyadlah adalah aspek yang
sering dinafikan dalam proses pembelajaran agama kita hari ini. Padahal
tanpanya tidak bisa dibayangkan bagaimana nilai dan ajaran Islam itu dapat
diinternalisasikan. Untuk bisa menyembuhkan, memperbaiki dan menata ulang
ruhani murid tampaknya tidak ada yang lebih dibutuhkan dari riyadlah ini.
Al-Ghazali menegaskan bahwa dzikir akan berdampak
langsung pada perbaikan ruhani seseorang jika itu dilakukan dengan benar.
Al-Qur’an sendiri menjelakan bahwa ia adalah petunjuk kebenaran (hudan), obat
penyakit ruhani (syifa’), dan rahmat bagi mereka yang beriman.
Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa untuk
mengembangkan pembelajaran pendidikan Agama Islam secara maksimal ternyata
bukanlah pekerjaan yang mudah. Maksimalisasi pendidikan agama hanya bisa
dilakukan jika dibarengi dengan suasana kondusif dari berbagai faktor. Konsep
filosofis tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan Islami, kondisi dan suasana
institusi sekolah yang Islami dan kurikulum yang efektif dan efisien adalah
hal-hal yang harus dipenuhi untuk dapat mewujudkan proses belajar-mengajar
–dalam hal ini PAI- yang bagus dan menyenangkan.
Yang juga perlu disadari adalah adanya kekhasan dari
pembelajaran PAI itu sendiri yang bersifat sarat nilai. Maka dengan mengikuti
pola al-Ghazali, pembelajaran Agama
Islam harus melalui dua model pendektan yaitu; pendekatan humanistik (al-ta’lim
alinsaniyi) dan pendekatan transendental (al-ta’lim al-rabbaniy). Pembelajaran
yang selama ini berlangsung tampaknya lebih –untuk tidak mengetakan hanya-
menekankan ta’lim insaniy-nya saja. Pembejaran seperti ini hanya mampu
mengantarkan peserta didik pandai tapi belum tentu shaleh. Padahal kualitas
shaleh merupakan poin utama dalam pembelajaran PAI.
Ketimpangan ini nantinya harus segera diseleseikan dengan
menggunakan pola ta’lim robbaniy. Dengan ta’lim robbaniy tersebut diharapkan dapat tergarap
ruang-ruang esensial yang selama ini tertinggal. Sehingga apa yang dikeluhkan selama ini bahwa
pendidikan Agama Islam gagal menyentuh aspek prilaku, atau hanya menjadi
konsumsi rasional, dapat dijawab. Sehingga benar-benar dapat diwujudkan tujuan
pendidikan yang menginginkan terbentuknya out put yang beriman taqwa dengan tampilan ahlak yang
mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar