PERNIKAHAN
Pernikahan
Kedudukan nikah dalam Islam merupakan syariat yang terkandung di dalamnya
nilainilai ibadah. Kelayakan manusia untuk menerima syariat tersebut paling
tidak diperkuat oleh tiga argumen.
Pertama, manusia adalah makhluk berakal dan
dengan akalnya tersebut manusia mampu menerima dan menjalankan syariat dengan
baik. Di antara syariat tersebut adalah pernikahan, yang pengertiannya menurut ulama Syafi’iyah, sebagai:
(Akad
(perjanjian) yang mengandung kebolehan hubungan kelamin dengan sebab lafaz
nikah atau tajwiz)
Kedua, manusia diciptakan oleh Allah
berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan sebagaimana dijelaskan oleh Allah
swt:
Artinya:
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari
apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak
mereka ketahui.” (QS. Yasin: 36)
Dari
kehidupan berpasangan, manusia
disyariatkan untuk menjalin hubungan yang mulia, mengembangkan
keturunan, menegaskan hak dan kewajiban antara keduanya. Untuk itu Allah
menurunkan syariat yang bertujuan menjaga harkat dan martabat serta kehormatan
manusia yang disebut dengan nikah.
Ketiga,
pernikahan dalam Islam disebut sebagai prilaku para Nabi dan
memasukkannya sebagai salah satu fitrah yang dimiliki oleh manusia.
Rasulullah
saw bersabda “empat fitrah yang dimiliki oleh manusia, yaitu memakai pacar,
wangi-wangian, bersiwak (gosok gigi), dan nikah”. Untuk dijadikan sebuah
perbandingan, nampaknya sebelum pembahasan nikah menurut Islam secara lebih mendalam
perlu diungkap tentang pernikahan sebelum Islam (Jahiliyah).
Pada
zaman Jahiliyah telah dikenal bebarapa praktek perkawinan yang merupakan
warisan turun temurun dari perkawinan Romawi dan Persia.
Pertama, perkawinan pacaran (khidn), yaitu
berupa pergaulan bebas pria dan wanita sebelum perkawinan yang resmi
dilangsungkan yang tujuannya untuk mengetahui kepribadian masing-masing
pasangan
Kedua, nikah badl, yaitu seorang suami minta
kepada laki-laki lain untuk saling menukar istrinya.
Ketiga, nikah istibdha, yaitu seorang suami
minta kepada laki-laki kaya, bangsawan atau orang pandai agar bersedia
mengumpuli istrinya yang dalam keadaan suci sampai ia hamil. Setelah itu baru
si suami mengumpulinya.
Keempat, nikah Raht (urunan), seorang wanita
dikumpuli oleh beberapa pria sampai hamil. Ketika anaknya lahir, lalu wanita
itu menunjuk salah satu pria yang telah mengumpulinya untuk mengakui bayi yang
telah dilahirkannya sebagai anaknya. Nikah ini sama dengan nikah baghaaya
(nikah pelacur).
Kehadiran
Islam menghapus semua bentuk pernikahan di atas karena dipandang tidak sejalan
dengan naluriah dan kehormatan manusia serta dapat dikatakan cara binatang yang
tidak mengenal aturan.
Nikah dalam syariat Islam diartikan sebagai sebuah aqad yang menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara lakilaki dan perempuan
yang bukan mahromnya dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan.
Al-Qur’an menyebut nikah sebagai mitsaq (perjanjian)
antara suami dan isteri sejak terjadinya akad. Hal ini dipahami karena keduanya
berjanji untuk menjalankan hak dan kewajiban masing-masing dengan
sebaik-baiknya.
Artinya:
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu)
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa: 21)
Sepasang
calon suami istri yang ingin melangsungkan ikatan pernikahan diharuskan untuk
memenuhi syarat dan rukun nikah. Terkait dengan rukun nikah, para ulama
sepakat, terdapat lima hal yang menjadi rukun nikah.
1. calon suami istri,
2. Wali dari calon isteri,
3. dua orang saksi,
4. Mahar (mas kawin),
5. Ijab-qabul.
@MENZOUR_ID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar