Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Jumat, 12 Juli 2019

SEKILAS TENTANG PERNIKAHAN




PERNIKAHAN 


Pernikahan Kedudukan nikah dalam Islam merupakan syariat yang terkandung di dalamnya nilainilai ibadah. Kelayakan manusia untuk menerima syariat tersebut paling tidak diperkuat oleh tiga argumen.


Pertama, manusia adalah makhluk berakal dan dengan akalnya tersebut manusia mampu menerima dan menjalankan syariat dengan baik. Di antara syariat tersebut adalah pernikahan, yang pengertiannya  menurut ulama Syafi’iyah, sebagai:




(Akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan hubungan kelamin dengan sebab lafaz nikah atau tajwiz)


Kedua, manusia diciptakan oleh Allah berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan sebagaimana dijelaskan oleh Allah swt:




Artinya: “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yasin: 36)


Dari kehidupan berpasangan, manusia  disyariatkan untuk menjalin hubungan yang mulia, mengembangkan keturunan, menegaskan hak dan kewajiban antara keduanya. Untuk itu Allah menurunkan syariat yang bertujuan menjaga harkat dan martabat serta kehormatan manusia yang disebut dengan nikah. 


Ketiga,  pernikahan dalam Islam disebut sebagai prilaku para Nabi dan memasukkannya sebagai salah satu fitrah yang dimiliki oleh manusia.


Rasulullah saw bersabda “empat fitrah yang dimiliki oleh manusia, yaitu memakai pacar, wangi-wangian, bersiwak (gosok gigi), dan nikah”. Untuk dijadikan sebuah perbandingan, nampaknya sebelum pembahasan nikah menurut Islam secara lebih mendalam perlu diungkap tentang pernikahan sebelum Islam (Jahiliyah).


Pada zaman Jahiliyah telah dikenal bebarapa praktek perkawinan yang merupakan warisan turun temurun dari perkawinan Romawi dan Persia.


Pertama, perkawinan pacaran (khidn), yaitu berupa pergaulan bebas pria dan wanita sebelum perkawinan yang resmi dilangsungkan yang tujuannya untuk mengetahui kepribadian masing-masing pasangan


Kedua, nikah badl, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki lain untuk saling menukar istrinya.


Ketiga, nikah istibdha, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki kaya, bangsawan atau orang pandai agar bersedia mengumpuli istrinya yang dalam keadaan suci sampai ia hamil. Setelah itu baru si suami mengumpulinya.


Keempat, nikah Raht (urunan), seorang wanita dikumpuli oleh beberapa pria sampai hamil. Ketika anaknya lahir, lalu wanita itu menunjuk salah satu pria yang telah mengumpulinya untuk mengakui bayi yang telah dilahirkannya sebagai anaknya. Nikah ini sama dengan nikah baghaaya (nikah pelacur).


Kehadiran Islam menghapus semua bentuk pernikahan di atas karena dipandang tidak sejalan dengan naluriah dan kehormatan manusia serta dapat dikatakan cara binatang yang tidak mengenal aturan. 


Nikah dalam syariat Islam diartikan sebagai sebuah  aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara lakilaki dan perempuan yang bukan mahromnya  dengan rukun  dan syarat yang telah ditentukan.


Al-Qur’an  menyebut nikah sebagai mitsaq (perjanjian) antara suami dan isteri sejak terjadinya akad. Hal ini dipahami karena keduanya berjanji untuk menjalankan hak dan kewajiban masing-masing dengan sebaik-baiknya.



Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa: 21)


Sepasang calon suami istri yang ingin melangsungkan ikatan pernikahan diharuskan untuk memenuhi syarat dan rukun nikah. Terkait dengan rukun nikah, para ulama sepakat, terdapat lima hal yang menjadi rukun nikah.


       1.  calon suami istri,
       2.  Wali dari calon isteri,
      3.  dua orang saksi,
      4.  Mahar (mas kawin), 
      5. Ijab-qabul.

@MENZOUR_ID







Tidak ada komentar:

Posting Komentar