Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Jumat, 12 Juli 2019

MODUL FIQIH KB 2 PPG PAI




PERNIKAHAN MONOGAMI, POLIGAMI DAN NIKAH MUT’AH
 
A.  Syariat

Pernikahan Kedudukan nikah dalam Islam merupakan syariat yang terkandung di dalamnya nilainilai ibadah. Kelayakan manusia untuk menerima syariat tersebut paling tidak diperkuat oleh tiga argumen.

Pertama, manusia adalah makhluk berakal dan dengan akalnya tersebut manusia mampu menerima dan menjalankan syariat dengan baik. Di antara syariat tersebut adalah pernikahan, yang pengertiannya  menurut ulama Syafi’iyah, sebagai:





(Akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan hubungan kelamin dengan sebab lafaz nikah atau tajwiz)

Kedua, manusia diciptakan oleh Allah berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan sebagaimana dijelaskan oleh Allah swt:





Artinya: “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yasin: 36)

Dari kehidupan berpasangan, manusia  disyariatkan untuk menjalin hubungan yang mulia, mengembangkan keturunan, menegaskan hak dan kewajiban antara keduanya. Untuk itu Allah menurunkan syariat yang bertujuan menjaga harkat dan martabat serta kehormatan manusia yang disebut dengan nikah. 

Ketiga,  pernikahan dalam Islam disebut sebagai prilaku para Nabi dan memasukkannya sebagai salah satu fitrah yang dimiliki oleh manusia.

Rasulullah saw bersabda “empat fitrah yang dimiliki oleh manusia, yaitu memakai pacar, wangi-wangian, bersiwak (gosok gigi), dan nikah”. Untuk dijadikan sebuah perbandingan, nampaknya sebelum pembahasan nikah menurut Islam secara lebih mendalam perlu diungkap tentang pernikahan sebelum Islam (Jahiliyah).

Pada zaman Jahiliyah telah dikenal bebarapa praktek perkawinan yang merupakan warisan turun temurun dari perkawinan Romawi dan Persia.

Pertama, perkawinan pacaran (khidn), yaitu berupa pergaulan bebas pria dan wanita sebelum perkawinan yang resmi dilangsungkan yang tujuannya untuk mengetahui kepribadian masing-masing pasangan

Kedua, nikah badl, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki lain untuk saling menukar istrinya.

Ketiga, nikah istibdha, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki kaya, bangsawan atau orang pandai agar bersedia mengumpuli istrinya yang dalam keadaan suci sampai ia hamil. Setelah itu baru si suami mengumpulinya.

Keempat, nikah Raht (urunan), seorang wanita dikumpuli oleh beberapa pria sampai hamil. Ketika anaknya lahir, lalu wanita itu menunjuk salah satu pria yang telah mengumpulinya untuk mengakui bayi yang telah dilahirkannya sebagai anaknya. Nikah ini sama dengan nikah baghaaya (nikah pelacur).

Kehadiran Islam menghapus semua bentuk pernikahan di atas karena dipandang tidak sejalan dengan naluriah dan kehormatan manusia serta dapat dikatakan cara binatang yang tidak mengenal aturan. Nikah dalam syariat Islam diartikan sebagai sebuah  aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara lakilaki dan perempuan yang bukan mahromnya  dengan rukun  dan syarat yang telah ditentukan.

Al-Qur’an  menyebut nikah sebagai mitsaq (perjanjian) antara suami dan isteri sejak terjadinya akad. Hal ini dipahami karena keduanya berjanji untuk menjalankan hak dan kewajiban masing-masing dengan sebaik-baiknya.





Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa: 21)

Sepasang calon suami istri yang ingin melangsungkan ikatan pernikahan diharuskan untuk memenuhi syarat dan rukun nikah. Terkait dengan rukun nikah, para ulama sepakat, terdapat lima hal yang menjadi rukun nikah.
       1.  calon suami istri,
       2.  Wali dari calon isteri,
       3.  dua orang saksi,
       4.  Mahar (mas kawin), 5. Ijab-qabul.

B.  Hikmah Nikah  

Setiap syariat yang diturunkan oleh Allah dipastikan terdapat hikmah untuk kehidupan manusia. Sedikitnya terdapat lima point  penting yang penulis kutip dari pendapat Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunah berkaitan dengan hikmah dari sebuah pernikahan.

  1.  Nafsu seks termasuk tuntutan terkuat dan selalu meliputi kehidupan manusia. Ketika tidak ada jalan keluar untuk melampiaskan, maka manusia akan dirundung kegelisahan dan dikhawatirkan melakukan prostitusi (perzinahan). Maka pernikahan merupakan aturan yang paling baik dan jalan keluar yang  menyejukkan untuk memuaskan seks manusia.

Dengan nikah jasad menjadi segar, jiwa menjadi tentram dan penglihatan akan menutupi sesuatu yang diharamkan. Ini semua terkandung dari petunjuk Allah dalam firmanNya:







Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum: 21)

    2.  Pernikahan jalan terbaik untuk melahirkan anak, memperbanyak kelahiran dan melestarikan kehidupan dengan selalu menjaga keturunan.

  3.  Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh dan berkembang dalam menaungi anak masa kanak-kanak serta tumbuhnya rasa kasih-sayang. Semua kelebihan itu tidak akan sempurna tanpa adanya tali pernikahan.

    4.  Rasa tanggung jawab dari pernikahan serta mengurus anak dapat membangkitkan semangat dan mencurahkan segala kemampuan dalam memperkuat potensi diri. Maka bangkitlah untuk bekerja dengan segala  kewajiban  sehingga banyak kesibukan yang dapat menambah harta dan kesuksesan. Dan tergugah semangat untuk mengeluarkan kekayaan alam dan yang terpendam di dalamnya.

  5.  Membagi-bagi pekerjaan dan membatasi tanggung jawab pekerjaan kepada suami dan isteri. Isteri mengurus rumah, hingga tertata dengan rapih, mendidik anak dan mempersiapkan “udara” segar untuk suami agar dapat beristirahat yang dapat menghilangkan kelelahannya dan menimbulkan semangat baru yang dapat membangkitkan semangat kerja untuk memperoleh harta dan nafkah yang dibutuhkan. Pembagian kerja yang adil terhadap suami istri sesuai dengan tugas alamiah mereka masing-masing ini akan diridhai oleh Allah dan pujian manusia serta menghasilkan buah yang diberkahi.

C.  Hukum Pernikahan

Penetapkan hukum nikah termasuk perkara yang selalu dikaitkan dengan kondisi orang yang akan melakukannya. Dengan demikian kondisi tersebut dapat dijadikan sebagai illat hukumnya. Hal yang dapat dimaklumi bahwa kondisi  seseorang  itu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya jika dilihat dari aspek gejolak seks dan kemampuan pemberian nafkah.

Berangkat dari perbedaan kondisi tersebut maka para ulama menghukumi nikah itu sesuai dengan illat (sebab) yang ditemui dari seseorang yang akan melangsungkan pernikahan. Memperhatikan berbagai macam  illat nikah maka hukum nikah dapat ditetapkan sebagai berikut:

    1.  Wajib, hukum ini layak dibebakan kepada orang yang telah mampu memberi nafkah, jiwanya terpanggil untuk nikah dan jika tidak nikah khawatir terjerumus ke lembah perzinahan. Hal ini diperkuat  oleh tuntunan agama bahwa menjaga diri dari perbuatan haram adalah wajib. Sedangkan bagi yang hanya memiliki  keinginan yang kuat  tapi belum mampu memberi nafkah, maka lebih baik ia menahan diri. Hal ini didasari oleh firman Allah swt:
    
    





Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. AnNuur: 33)
 
Salah satu cara untuk menjaga diri ketika gejolak nafsu bilogis yang memuncak bagi orang yang belum layak nikah karena belum mampu menafkahi seperti tersebut di atas.  disarankan agar ia memperbanyak puasa. Hal ini diperkuat oleh  Hadits Rasulullah saw berikut ini:







Artinya: “Hai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah dapat menahan pandangan dari maksiat dan dapat menjaga kemaluan dari berbuat zina. Namun bagi siapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa karena puasa dapat membentengi dorongan sahwat.” (HR. Bukhari)
 
    2.  Sunah, hukum ini pantas  bagi orang yang merindukan pernikahan dan mampu memberi nafkah tapi sebenarnya ia masih mampu menahan dirinya dari perbuatan zina. Maka bagi orang seperti ini hukum nikah menjadi sunah. Akan tetapi jika demikian kondisinya, nikah lebih baik baginya dari pada membujang karena dalam nikah terdapat ibadah yang banyak. Sedangkan  membujang (tidak nikah) itu seperti  para pendeta Nasrani yang dilarang oleh Rasulullah.
    




Artinya: “Nikahlah kamu sekalian karena aku akan berbanyak-banyak umat pada hari Qiamat dan janganlah kamu seperti pendeta Nasrani.”

   3.  Memperkuat anjuran nikah, Umar pernah berkata kepada Abi Zawaid, hanya sifat lemah atau melacurlah yang mencegahmu dari nikah. Berkata juga Ibnu Abbas bahwa tidak akan sempurna ibadah seseorang  sampai ia menikah. 3. Haram, hukum ini layak bagi orang yang tidak mampu memberikan nafkah dan jika ia memaksakan diri utnuk menikah  akan mengkhianati isterinya atau suaminya, baik dalam pemberian nafkah lahiriyah maupun batiniyah, sehingga dengan perkawinan itu hak-hak istri/suami tidak terpenuhi.

a.  Hukum Pernikahan Monogami dan Poligami 

Dalam kamus bahasa Indonesia, monogami berarti sistem yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu isteri pada jangka waktu tertentu. Dari ta’rif tersebut dapat dipahami bahwa seorang suami yang beristerikan satu isteri saja tidak dua atau tiga  maka suami itu menganut monogami.  Azas monogami telah ditetapkan oleh Islam sejak lima belas abad yang lalu sebagai salah satu asas perkawinan dalam Islam.

Tujuannya untuk memberikan  landasan dan modal utama dalam pembinaan kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Oleh karena itu hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami. Hakum ini sangatlah beralasan karena dengan monogami tujuan pernikahan untuk menghantarkan keluarga bahagia akan lebih mudah  karena tidak terlalu banyak beban. Selain dengan bermonogami  juga akan lebih mudah untuk menetralisir dan meredam sifat cemburu, iri hati dan perasaan mengeluh  dalam kehidupan isteri sehari-hari. Islam memerintahkan kepada laki-laki untuk nikah dengan seorang perempuan yang dicintainya.

Bagi laki-laki, selayaknya selayaknya sikap monogami ini. Jika tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk beristeri lebih dari satu, seperti si isteri ternyata  mandul, sekali lagi pada asalnya hukum Islam menetapkan kepada laki-laki untuk beristeri satu saja. Isyarat al-Qur’an  untuk bermonogami  bagi laki-laki dapat kita pahami dari berbagai ayat al-Qur’an yang memerintahkan kepada laki-laki untuk menikah jika sudah mampu,  sikap membujang berkepanjangan tanpa alasan adalah sikap yang tidak dibenarka  karena dalam nikah banyak terdapat kebaikan. Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’an antara lain:



Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) Lagi Maha Mengetahui”. (QS. AnNur 32)

Hukum dalam Islam tidak terlepas dari illatnya. Asal perintah monogami dalam pernikahan dapat berubah menjadi perintah berpoligami jika benar-benar ditemukan illat yang dapat dibenarkan. Maka permasalahan baru setelah Islam membolehkan monogomi adalah persoalan poligami. Namun sebelum lebih jauh membahas tentang hukum poligami nampaknya perlu diluruskan terlebih dahulu pemakaian istilah poligami.

Jika merujuk kepada makna seorang suami beristeri lebih dari satu sebenarnya istilah poligami yang sudah populer di masyarakat tidak tepat untuk istilah itu. Karena poligami dalam kamus bahasa bisa juga berarti di samping suami punya istri lebih dari satu juga isteri punya suami lebih dari satu. Maka secara kebahasaan yang lebih tepat adalah poligini yang dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai “Sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai isterinya di waktu yang bersamaan”.

Namun dalam tulisan ini, selanjutnya penulis cenderung untuk menggunakan istilah poligami untuk pembahasan dimaksud, yaitu poligami yang bermakna pologini (suami beristeri lebih dari satu) karena selain bisa dibenarkan secara kebahasaan juga istilah tersebut sudah populer penyebutnya di masyarakat  untuk lakilaki yang beristeri lebih dari satu. 

Memasuki tulisannya tentang hukum kebolehan poligami, Yusuf Qardhawi menulis, bahwa Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia, mengakui fakta yang dapat membimbing dan manjauhkan manusia dari perbuatan dungu. Inilah kenyataan yang “memaksa” Islam membolehkan poligami. Sebelum Islam datang, agama-agama terdahulu telah membolehkan praktek poligami sampai seratus isteri tanpa terikat oleh syarat dan aturan. Itulah kultur yang terjadi di masyarakat dahulu.

Islam datang tidak menghapus secara serta merta sistem poligami “Jahiliyah”, yang sudah mendarah daging namun membangun aturan poligam penerapan pembatasan jumlah istri tidak boleh lebih dari empat di samping adanya syarat-syarat lain yang berhubungan dengan keadilan. Tercatat dalam sejarah bahwa seorang sahabat bernama Ghailan al-Tsaqafi, ketika ia masuk Islam beristerikan sepuluh orang. Lalu Nabi berkata kepadanya “pilih empat dan sisanya ceraikan”. Lalu banyak orang bertanya, bagaimana dengan Rasulullah yang punya isteri lebih dari empat. Ini adalah sebuah keistimewaan dari Allah karena keperluan da’wah Rosul dan kebutuhan kehadiran para istri Nabi setelah wafat Nabi.
 
b.  Kebolehan Berpoligami

Di masyarakat seperti sekarang ini, sikap berpoligami bagi sebagian laki-laki seakan menjadi sesuatu yang dianggap mudah untuk dilakukan karena hanya semata mengikuti nafsu biologis dan tidak mengikuti aturan yang sebenranya. Memang  Pada asalnya hukum poligami itu diperbolehkan jika seseorang suami tidak dikhawatirkan berbuat zhalim terhadap isteriisterinya.

Jika dipastikan akan berlaku zhalim, maka seorang suami lebih baik untuk beristeri satu saja.  Islam diperuntukan untuk semua jenis dan golongan manusia serta memelihara kepentingan dan kemashlahatan yang bersifat pribadi dan umum. Nampaknya kebolehan  poligami karena untuk mewujudkan  kemashlahatan bagi manusia agar tidak berlaku zina  dan tidak terjatuh ke dalam pintu kemaksiatan.

Dengan kata lain menurut Mahmud Syaltut, bahwa pada asalnya Islam memerintahkan laki-laki untuk beristeri satu, boleh beristeri lebih dari satu jika dipandang darurat. Apa yang dimaksud dengan darurat tersebut? Menurut Yusuf Qardhawi,  kondisi darurat yang dengannya seorang laki-laki dibolehkan berpoligami  adalah sebagai berikut: 

1)  Ditemukan seorang suami yang menginginkan keturunan, akan tetapi  ternyata isterinya  tidak dapat melahirkan anak disebabkan karena mandul atau penyakit.

2)  Di antara suami ada yang memiliki overseks, akan tetapi isterinya memiliki kelemahan seks, memiliki penyakit atau masa haidhnya terlalu panjang sedangkan suaminya tidak sabar menghadapi kelemahan isterinya tersebut.

3)  Jumlah wanita lebih banyak dibanding jumlah laki-laki, khususnya setelah terjadi peperangan. Di situ terdapat kemashlahatan yang harus didapat oleh sebuah masyarakat dan para wanita yang tidak menginginkan hidup tanpa suami dan keinginan hidup tenang, cinta dan terlindungi serta menikmati sifat keibuan.

Namun permasalahan yang harus dihadapi bahwa kebolehan seorang suami untuk beristeri lebih dari satu bukan hanya dikarenakan kondisi mendesak sebagaimana tersebut di atas. Katakanlah itu adalah pasal yang harus dimililiki oleh seorang suami sebelum berpoligami. Namun ada pasal penting lainnya yang wajib dipenuhi setelah poligami itu terealisasi yaitu seorang suami harus  berlaku adil dalam memberikan nafkah.

Kewajiban bagi seorang suami untuk berlaku adil dalam memberikan nafkah terhadap isteri-isterinya adalah konsekuansi dari tindakan berpoligami dalam Islam. Sikap adil  dimaksud berarti seorang suami dapat memenuhi hak kewajibannya terhadap isteri-isterinya secara proporsional sesuai dengan kebutuhan secara wajar.  Nafkah itu  ada yang bersifat lahiriyah, yaitu nafkah yang bersifat materi dan ada yang bersifat batiniyah (immateri).

Sehubungan dengan pembagian nafkah tersebut maka keadilanpun terbagi mejadi dua yaitu keadilan dalam memberikan nafkah lahiriyah dan keadilan dalam memberikan nafkah batiniyah. Pada keadilan bentuk pertama, seorang suami dituntut untuk berlaku adil terhadap isteri-isterinya dalam memberikan makan, minum, pakaian, rumah, serta waktu giliran.

Pemenuhan rasa keadilan bentuk pertama ini sangat mungkin dapat dilakukan oleh seorang suami terhadap istrei-isterinya.  Maka jika seorang suami tidak dapat berlaku adil dalam nafkah lahir ini yang mengakibatkan isteri-isteri terzalimi, maka haram bagi laki-laki untuk berpoligami. Allah swt berfirman dalam al-Qur’an surat alNisa ayat 3:



Artinya: “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”  Rasulullah bersabda:



Artinya: “Siapa yang memilki dua orang isteri tapi ia lebih berpihak kepada salah satunya, maka pada hari qiamat ia berjalan dalam keadaan menarik salah satu pundaknya (miring).” (HR. Abu Daud)  

Yang dianggap perbuatan menzalimi dalam Hadits di atas adalah ketidak-adilan seorang suami dalam memenuhi hak-hak isteri yang dipandang kuasa bagi suami untuk memenuhinya seperti nafkah lahir dan waktu gilir.

Terkait dengan keadilan bentuk kedua yakni keadilan yang bersifat batin :

kecenderungan hati/cinta. Usaha untuk berlaku adil dalam membagi cinta kepada isteri-isteri inilah yang sesungguhnya sangat berat bagi seorang suami. Dan hal ini sudah bisa dipastikan tidak dapat dilakukan oleh suami untuk berlaku adil sebagaimana diisyaratkan oleh al-Qur’an:





Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS. an-Nisa:129)

 Kalau seandainya keadilan membagi cinta ini menjadi syarat yang mutlak bagi seorang suami, maka tertutup hukum kebolehan  bagi seorang suami untuk berpoligami meskipun  sudah berada pada kondisi yang darurat. Oleh karena sulitnya beralaku adil dalam  membagi cinta, maka Menurut Yusuf Qardhawi ini adalah keadilan yang dimaafkan dan diberikan toleransi, namun tidak termaafkan untuk  nafkah lahir. 

Dijelaskan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah adalah orang yang selalu berusaha untuk berlaku adil sampai kepada masalah bepergian dan untuk memenuhi rasa keadilan tersebut,  Rasulullah mengundi di antara isteri-isterinya. Bagi yang keluar undiannya, maka dialah yang menjadi teman pergi Rasulullah, hal ini dilakukan oleh Rasulullah supaya tidak melukai perasaan dan meminta kerelaan dari isteri-isteri yang tidak pergi bersama Rosul.

c.   Hikmah dari Poligami 

Berpoligamim bagi sebagian orang terkadang tidak terlalu sulit untuk dilakukan. Permasalahannya adalah tidak mudah untuk berlaku adil dalam memenuhi sesuatu yang menjadi  hak para isteri. Terlihat, banyak suami yang beristeri lebih dari satu tapi sebenarnya mereka tidak mampu untuk memberikan nafkah. Motif mereka berpoligami bukan karena masalah darurat, tapi karena ingin memperturutkan hawa nafsu seksual.

Kalaupun mereka mampu memberikan nafkah namun terkadang perlakuan suami kepada isteri-isterinya banyak berlaku tidak adil dalam pemenuhan kebutuhan seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dan waktu bergilir.

Oleh karena itu, alasan kebolehan berpoligami bagi sang suami dikarenakan  terdapat  kondisi darurat dan  syarat beraku adil terdapat hikmah di dalamnya yang  Menurut  Rasyid Ridh sedikitya terdapat empat hikmah.

1)  Untuk mendapatkan anak bagi suami yang subur dan isteri yang mandul.

2)  Menjaga keutuhan keluarga tanpa harus mencerai isteri pertama meski ia tidak berfungsi semestinya sebagai isteri karena cacat fisik dan sebagainya.

3)  Untuk menyelamatkan suami yang hiperseks dari perbuatan free sex. Tercatat di beberapa negara Barat yang melarang poligami mengakibatkan merajalelanya praktek prostitusi dan free sex (kumpul kebo) dan lahirnya anak-zina  yang mencapai jumlah cukup tinggi.

4)  Menyelamatkan harkat dan martabat wanita dari krisis akhlak (melacur), terutama bagi mereka yang tinggal di negara yang jumlah wanitanya lebih banyak dibanding laki-laki  akibat peperangan misalnya.

Sedangkan hikmah kebolehan Rasulullah beristeri lebih dari empat bukanlah karena dorongan hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum orientalis, tapi mengandung hikmah yang besar, yaitu kepentingan dakwah Islam sebagaimana dikemukakan oleh Abbas Mahmud al-Aqqad sebagai berikut:

a)      Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Semua isteri Nabi yang berjumlah sembilan dapat dijadikan sumber informasi  bagi umat Islam yang hendak mengetahui ajaran-ajaran Nabi dan praktek kehidupan beliau dalam berkeluarga, bermasyarakat, terutama masalah rumah tangga.
b)      Untuk kepentingan politik, yaitu mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan sekaligus menarik mereka masuk Islam. Seperti perkawinan Nabi dengan Juwairiyah putri al-Harist kepala suku bani al-Musthaliq dan Shafiyah, seorang tokoh dari Bani Quiraizhah dan Bani al-Nadhir.
c)       Untuk kepentingan sosial dan kamanusiaan. Seperti perkawinan beliau dengan janda  dermawan bernama Khadijah dan janda pahlawan Islam seperti Saudah binti Zuma’ah (suaminya meninggal setelah kembali dari hijrah ke Abesenia), Hafsah binti Umar (suaminya gugur pada perang badar), Hindun Ummu Salamah (suaminya gugur di perang Uhud).

Seandainya saja motif Rosul untuk nikah lebih dari satu karena dorongan sex, mungkin yang wanita yang dinikahi adalah gadis-gadis  cantik bangsa Arab. Tapi hal itu sama sekali tidak dilakukan oleh Rasulullah tapi justru dengan Siti khadijah yang umurnya lebih tua 15 tahun dibandingkan umur beliau.

Demikian dengan  isteri-isteri beliau yang lain, semuanya dinikahi   bukan karena tuntutan  nafsu , tapi bermotif dakwah yang ternyata motif tersebut dapat membantu keberhasilan tugas beliiau sebagai utusann Allah. Dengan demikian, pada pernikahan Rasul terdapat hikmah yang tinggi yang bernilai dakwah, pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Argumentasi logis sepertitelah tersebut  dapat meruntuhkan  segala tuduhan negatif yang dilontarkan oleh kaum orientalis terhadap kebolehan rasul bersiteri lebih dari satu.

D. Nikah Mut’ah 

Semarak nikah mut’ah atau sering disebut dengan nikah kontrak nampaknya masih menghiasi kehidupan sebagian kecil masyarakat. Keprihatinan dan kehwatiranpun muncul dari orang tua, tokoh masyarakat, pendidik bahkan ulama terhadap pernikahan yang terkesan “main-main” ini. Praktek nikah mut’ah seperti tersebut terjadi selain karena terdapat legitimasi dari kelompok yang membolehkan, juga ditemukan alasan untuk terhindar dari perzinahan demi memenuhi tuntutan sex sesaat.

Untuk dapat menguji keabsahan nikah mut’ah yang banyak dilakukan oleh orang yang tinggal jauh dari isterinya karena memenuhi tugas kerja misalnya, bahkan tak luput  pelakunya adalah  pemuda dan mahasiswa, berikut ini  akan dijelaskan duduk masalahnya.  

Kata mut’ah ( ٌ Ø©َعْتُÙ…), berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain bekal yang sedikit dan barang yang menyenangkan. Pengertian ini sejalan dengan kata mut’ah yang terdapat dalam al-Quran yang berarti bercampur (bersenang-senang bersama istri  dengan bersenggama) dan pemberian yang menyenangkan oleh suami kepada isterinya yang dicerai. Firman Allah swt:



Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut`ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)

Yusuf Qardhawi memberikan pengertian nikah mut’ah secara terminologi, yaitu seorang laki-laki mengikat (menikahi) seorang perempuan untuk waktu yang ditentukan dengan imbalan uang yang tertentu pula. Di Indonesia, kawin mut’ah ini popular dengan sebutan kawin kontrak.  Uraian di atas memeberikan gambaran cukup jelas tentang nikah mut’ah. Bahwa  tidaklah nikah mut’ah itu dilakukan, kecuali kecenderungan seseorang  untuk memenuhi kebutuhan seksual, berakhir tanpa talaq karena secara otomatis jika  sudah habis waktu kontrak yang telah ditentukan maka berakhirlah riwayat pernikahan itu.

Dilihat dari penetapan pembatasan waktu (ta’qit) tersebut,   pernikahan semacam itu bertentangan dengan syariat Islam yang mmenghendaki pernikahan itu tidak terbatas oleh waktu.  Diakui, bahwa nikah mut’ah pada zaman Nabi diperbolehkan namun tidak berlaku untuk semua orang hanya untuk orang tertentu dikarenakan terdapat  suatu kondisi  yang sangat mendesak. 

Menurut Yusuf Qardhawi, rahasia diperbolehkan nikah mut’ah pertama kali pada  zaman Nabi, karena umat ketika itu berada pada “masa transisi” dari dunia Jahiliyah ke dunia Islam. Di mana pada zaman Jahiliyah, perzinahan merupakan budaya yang sudah menyebar luas. Ketika Islam mewajibkan kepada kaum untuk pergi berjihad, mereka merasakan sangat berat tinggal jauh dengan isteri-isteri mereka.

Di antara kaum yang ikut berijihad dengan Rosulullah itu ada yang memiliki iman yang kuat dan ada yang lemah. Mereka yang lemah imannya sangat takut terjerumus ke jurang perzinahan. sedangkan mereka yang kuat imannya bersikeras untuk menghilangkan nafsu seksnya dengan cara mengebiri, sebagaimana informasi Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu mas’ud:






Artinya: “Kami ikut berperang dengan Rosulullah dan istri-istri kami tidak ada di samping kami. Kemudian kami bertanya kepada Rosulullah, bolehkah kami mengebiri? Maka Rosulullah melarang kami untuk mengebiri dan memberikan keringanan kepada kami untuk menikahi perempuan dengan membayar imbalan untuk waktu yang ditentukan. (HR. Bukhari Muslim) 

Berdasarkan keterangan di atas, maka jelaslah bahwa kebolehan hukum nikah mut’ah pada zaman Nabi itu memiliki alasan sebagai berikut:
1.  Merupakan keringanan hukum (rukhsah) untuk memberikan jalan keluar dari problematika yang dihadapi oleh dua kelompok orang yang imannya kuat dan imannya lemah.
2.  Sebagai langkah perjalanan hukum Islam menuju ditetapkannya kehidupan rumah tangga yang sempurna untuk mewujudkan semua tujuan pernikahan yaitu melestarikan keturunan, cinta kasih sayang dan memperluas  pergaulan melalui perbesanan.

Terkait dengan hukumnya, dilihat dari prosesnya nampaknya langkah pengharaman nikah mut’ah yang ditempuh oleh Islam dilakukan secara priodik seperti proses pengharaman khamar.

Rosulullah memperbolehkan nikah mut’ah dalam kondisi tertentu (darurat), kemudian Rosulullah saw mengharamkan nikah mut’ah sebagai bentuk pernikahan. Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Syibrah al-Juhani “bahwasanya ia berperang bersama Rosulullah saw pada waktu fathu Makkah, maka Rosulullah mengizinkan mereka untuk melakukan nikah mut’ah.

Ia berkata:  “Maka kaum tetap melakukan nikah mut’ah itu sampai Rosulullah mengharamkan nikah mut’ah. Dan dalam redaksi yang lain, terdapat Hadits yang berbunyi”



Artinya: Wahai manusia, aku pernah membolehkan untuk mu  melakukan nikah mut’ah  dengan wanita kemudian Allah mengharamkan nikah mut’ah itu. Oleh karena itu jika masih terdapat memiliki wanita yang diperoleh dengan cara nikah mut’ah maka hendaknya ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka (HR Muslim)  Dari penjelasan hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kebolehan hukum nikah mut’ah itu telah dinasakh  (dihapus hukumnya) oleh keharamnnya.

Dengan demikian hukum yang berlaku sejak terjadinya penghapusan sampai sekarang dan seterusnya adalah keharaman nikah mut’ah.   Di kalangan sahabat orang yang secara tegas mengharamkan nikah mut’ah adalah  Umar bin Khattab, dengan lantang beliau melarang nikah mut’ah serta mengancam hukuman bagi pelakunya. Kemudian timbul pertanyaan, apakah keharaman nikah mut’ah ini sudah mutlak tanpa ada pengecualian seperti haramnya menikahi ibu dan anak kandung perempuan?

Apakah keharamannya seperti keharaman minum khamar, darah dan daging babi yang diperbolehkan ketika dalam keadaan darurat? Jawabannya adalah menurut jumhur sahabat dan ulama bahwa keharaman nikah mut’ah adalah mutlak tanpa ada pengecualian meski dalam kondisi darurat.

Pendapat ini diperkuat oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia yang secara tegas  memutuskan bahwa hukum nikah  itu haram karena selain dadasari oleh dalil yang kuat, selain nikah ini juga bertentangan dengan tujuan pensyariatan pernikahan.  

a.  Nikah Mut’ah Masa Kini Seperti telah dikemukakan di awal, nikah mut’ah saat ini masih banyak dilakukan oleh sebagaian masyarakat meski mendapat protes yang cukup keras juga. Kecenderungan itu muncul karena dirasakan mudah untuk dilakukan pada zaman di mana orang banyak berfikir pragmatis. Selain jika dilihat dari tabiatnya bahwa salah satu kesamaan manusia masa lampau dengan masa kini di antaranya adalah masalah nafsu seks. Ternyata dengan dalih yang sama, di masa sekarang ini praktek nikah mut’ah ini terjadi lagi dan bahkan ada yang melegalkan kembali seperti yang ditetapakan oleh kelompok syiah. Nampaknya alasan yang dikemukakan oleh orang yang membolehkan nikah mut’ah di atas sangatlah lemah dan sama sekali tidak mempertimbangkan aspek tujuan dari sebuah pernikahan yang sesungguhnya.  Dengan demikian penghalalan nikah mut’ah pada masa sekarang ini dapat dikatakan bathil dan  sangat mudah untuk ditolak baik secara aqli maupun naqli.

b.   Islam menetapkan pernikahan sebagai  ikatan perjanjian yang kuat. Yang dibangun atas landasan motivasi untuk hubungan yang kekal yang akan menumbuhkan cinta, kasih sayang dan ketentraman batin serta menciptakan keturunan yang langgeng. Sedangkan dalam nikah mut’ah (kontrak) perkawinan tidak bersifat kekal, tapi dibatasi oleh waktu yang telah disepakati. Dan perceraian kedua pasangan itu secara otomatis dikarenakan  habisnya masa kontrak. Jelas nikah mut’ah ini bertentangan dengan prinsip dan tujuan nikah dalam Islam.

c.   Menghalalkan kembali nikah mut’ah berarti langkah mundur dari sesuatu yang telah ditetapkan secara sempurna oleh Islam. Salah satu sebab diperbolehkannya nikah pada zaman Nabi karena kondisi “transisi” dari Jahiliyah kepada Islam. Di mana perzinahan pada zaman Jahiliyah merupakan budaya yang sudah menyebar. Diperboehkannya nikah mut’ah ketika itu sebagai langkah proses menuju pernikahan yang sempurna. Jadi nikah mut’ah sekarang ini tidak dapat dibenarkan karena sudah disyariatkannya nikah yang sempurna.

d.  Alasan darurat untuk menghalalkan kembali nikah mut’ah merupakan alasan yang terlalu dibuat-buat. Sebab alasan darurat diperbolehkannya nikah mut’ah pada zaman Nabi itu dalam keadaan berperang di mana isteri mereka tinggal berjauhan, sulit mereka untuk bertemu. Apakah relevan kalau hanya alasan nafsu seks itu dijadikan dalih untuk membolehkan nikah mut’ah sekarang ini? Tentu tidak relevan karena itu qiyas fariq yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

e.  Dampak negatif yang diakibatkan dari nikah mut’ah sangat merusak dimensi sosial. Sebab akibat nikah mut’ah akan bermunculan  perempuan-perempuan yang kehilangan suaminya, seakan-akan wanita dijadikan pemuas nafsu laki-laki sesaat dan akan muncul anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang ayahnya. Hal ini akan menggangu pertumbuhan psikologis anak.

Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa nikah mut’ah yang dibolehkan dalam Islam sudah berakhir, yaitu hanya boleh ketika zaman  Nabi dengan alasan darurat dan ada hikmah tasyri’ di dalamnya. Maka tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk kembali mengahalakan nikah mut’ah sekarang ini.

Hukum nikah  mut’ah  ini telah tegas keharamannya baik dilihat secara akal dan wahyu. “Yang haram telah jelas dan yang halalpun telah jelas”. 



@menzour_id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar