PERNIKAHAN
MONOGAMI, POLIGAMI DAN NIKAH MUT’AH
A. Syariat
Pernikahan
Kedudukan nikah dalam Islam merupakan syariat yang terkandung di dalamnya
nilainilai ibadah. Kelayakan manusia untuk menerima syariat tersebut paling
tidak diperkuat oleh tiga argumen.
Pertama, manusia adalah makhluk berakal dan
dengan akalnya tersebut manusia mampu menerima dan menjalankan syariat dengan
baik. Di antara syariat tersebut adalah pernikahan, yang pengertiannya menurut ulama Syafi’iyah, sebagai:
(Akad
(perjanjian) yang mengandung kebolehan hubungan kelamin dengan sebab lafaz
nikah atau tajwiz)
Kedua, manusia diciptakan oleh Allah
berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan sebagaimana dijelaskan oleh Allah
swt:
Artinya:
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari
apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak
mereka ketahui.” (QS. Yasin: 36)
Dari
kehidupan berpasangan, manusia
disyariatkan untuk menjalin hubungan yang mulia, mengembangkan
keturunan, menegaskan hak dan kewajiban antara keduanya. Untuk itu Allah
menurunkan syariat yang bertujuan menjaga harkat dan martabat serta kehormatan
manusia yang disebut dengan nikah.
Ketiga,
pernikahan dalam Islam disebut sebagai prilaku para Nabi dan
memasukkannya sebagai salah satu fitrah yang dimiliki oleh manusia.
Rasulullah
saw bersabda “empat fitrah yang dimiliki oleh manusia, yaitu memakai pacar,
wangi-wangian, bersiwak (gosok gigi), dan nikah”. Untuk dijadikan sebuah
perbandingan, nampaknya sebelum pembahasan nikah menurut Islam secara lebih mendalam
perlu diungkap tentang pernikahan sebelum Islam (Jahiliyah).
Pada
zaman Jahiliyah telah dikenal bebarapa praktek perkawinan yang merupakan
warisan turun temurun dari perkawinan Romawi dan Persia.
Pertama, perkawinan pacaran (khidn), yaitu
berupa pergaulan bebas pria dan wanita sebelum perkawinan yang resmi
dilangsungkan yang tujuannya untuk mengetahui kepribadian masing-masing
pasangan
Kedua, nikah badl, yaitu seorang suami minta
kepada laki-laki lain untuk saling menukar istrinya.
Ketiga, nikah istibdha, yaitu seorang suami
minta kepada laki-laki kaya, bangsawan atau orang pandai agar bersedia
mengumpuli istrinya yang dalam keadaan suci sampai ia hamil. Setelah itu baru
si suami mengumpulinya.
Keempat, nikah Raht (urunan), seorang wanita
dikumpuli oleh beberapa pria sampai hamil. Ketika anaknya lahir, lalu wanita
itu menunjuk salah satu pria yang telah mengumpulinya untuk mengakui bayi yang
telah dilahirkannya sebagai anaknya. Nikah ini sama dengan nikah baghaaya
(nikah pelacur).
Kehadiran
Islam menghapus semua bentuk pernikahan di atas karena dipandang tidak sejalan
dengan naluriah dan kehormatan manusia serta dapat dikatakan cara binatang yang
tidak mengenal aturan. Nikah dalam syariat Islam diartikan sebagai sebuah aqad yang menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara lakilaki dan perempuan
yang bukan mahromnya dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan.
Al-Qur’an menyebut nikah sebagai mitsaq (perjanjian)
antara suami dan isteri sejak terjadinya akad. Hal ini dipahami karena keduanya
berjanji untuk menjalankan hak dan kewajiban masing-masing dengan
sebaik-baiknya.
Artinya:
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu)
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa: 21)
Sepasang
calon suami istri yang ingin melangsungkan ikatan pernikahan diharuskan untuk
memenuhi syarat dan rukun nikah. Terkait dengan rukun nikah, para ulama
sepakat, terdapat lima hal yang menjadi rukun nikah.
1. calon suami istri,
2. Wali dari calon isteri,
3. dua orang saksi,
4. Mahar (mas kawin), 5. Ijab-qabul.
B. Hikmah Nikah
Setiap
syariat yang diturunkan oleh Allah dipastikan terdapat hikmah untuk kehidupan
manusia. Sedikitnya terdapat lima point
penting yang penulis kutip dari pendapat Sayyid Sabiq dalam kitabnya
Fiqh Sunah berkaitan dengan hikmah dari sebuah pernikahan.
1. Nafsu seks termasuk tuntutan terkuat
dan selalu meliputi kehidupan manusia. Ketika tidak ada jalan keluar untuk
melampiaskan, maka manusia akan dirundung kegelisahan dan dikhawatirkan
melakukan prostitusi (perzinahan). Maka pernikahan merupakan aturan yang paling
baik dan jalan keluar yang menyejukkan
untuk memuaskan seks manusia.
Dengan nikah jasad menjadi segar, jiwa
menjadi tentram dan penglihatan akan menutupi sesuatu yang diharamkan. Ini
semua terkandung dari petunjuk Allah dalam firmanNya:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum: 21)
2. Pernikahan jalan terbaik untuk
melahirkan anak, memperbanyak kelahiran dan melestarikan kehidupan dengan
selalu menjaga keturunan.
3. Naluri kebapakan dan keibuan akan
tumbuh dan berkembang dalam menaungi anak masa kanak-kanak serta tumbuhnya rasa
kasih-sayang. Semua kelebihan itu tidak akan sempurna tanpa adanya tali
pernikahan.
4. Rasa tanggung jawab dari pernikahan
serta mengurus anak dapat membangkitkan semangat dan mencurahkan segala
kemampuan dalam memperkuat potensi diri. Maka bangkitlah untuk bekerja dengan
segala kewajiban sehingga banyak kesibukan yang dapat menambah
harta dan kesuksesan. Dan tergugah semangat untuk mengeluarkan kekayaan alam
dan yang terpendam di dalamnya.
5. Membagi-bagi pekerjaan dan membatasi
tanggung jawab pekerjaan kepada suami dan isteri. Isteri mengurus rumah, hingga
tertata dengan rapih, mendidik anak dan mempersiapkan “udara” segar untuk suami
agar dapat beristirahat yang dapat menghilangkan kelelahannya dan menimbulkan
semangat baru yang dapat membangkitkan semangat kerja untuk memperoleh harta
dan nafkah yang dibutuhkan. Pembagian kerja yang adil terhadap suami istri
sesuai dengan tugas alamiah mereka masing-masing ini akan diridhai oleh Allah
dan pujian manusia serta menghasilkan buah yang diberkahi.
C. Hukum Pernikahan
Penetapkan
hukum nikah termasuk perkara yang selalu dikaitkan dengan kondisi orang yang
akan melakukannya. Dengan demikian kondisi tersebut dapat dijadikan sebagai
illat hukumnya. Hal yang dapat dimaklumi bahwa kondisi seseorang
itu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya jika dilihat dari aspek
gejolak seks dan kemampuan pemberian nafkah.
Berangkat
dari perbedaan kondisi tersebut maka para ulama menghukumi nikah itu sesuai
dengan illat (sebab) yang ditemui dari seseorang yang akan melangsungkan
pernikahan. Memperhatikan berbagai macam
illat nikah maka hukum nikah dapat ditetapkan sebagai berikut:
1. Wajib, hukum ini layak dibebakan kepada
orang yang telah mampu memberi nafkah, jiwanya terpanggil untuk nikah dan jika
tidak nikah khawatir terjerumus ke lembah perzinahan. Hal ini diperkuat oleh tuntunan agama bahwa menjaga diri dari
perbuatan haram adalah wajib. Sedangkan bagi yang hanya memiliki keinginan yang kuat tapi belum mampu memberi nafkah, maka lebih
baik ia menahan diri. Hal ini didasari oleh firman Allah swt:
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak
mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan
mereka dengan karunia-Nya.” (QS. AnNuur: 33)
Salah satu cara untuk menjaga diri
ketika gejolak nafsu bilogis yang memuncak bagi orang yang belum layak nikah
karena belum mampu menafkahi seperti tersebut di atas. disarankan agar ia memperbanyak puasa. Hal
ini diperkuat oleh Hadits Rasulullah saw
berikut ini:
Artinya: “Hai para pemuda, siapa
diantara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah
dapat menahan pandangan dari maksiat dan dapat menjaga kemaluan dari berbuat
zina. Namun bagi siapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa karena puasa dapat
membentengi dorongan sahwat.” (HR. Bukhari)
2. Sunah, hukum ini pantas bagi orang yang merindukan pernikahan dan
mampu memberi nafkah tapi sebenarnya ia masih mampu menahan dirinya dari
perbuatan zina. Maka bagi orang seperti ini hukum nikah menjadi sunah. Akan
tetapi jika demikian kondisinya, nikah lebih baik baginya dari pada membujang
karena dalam nikah terdapat ibadah yang banyak. Sedangkan membujang (tidak nikah) itu seperti para pendeta Nasrani yang dilarang oleh
Rasulullah.
Artinya: “Nikahlah kamu sekalian karena
aku akan berbanyak-banyak umat pada hari Qiamat dan janganlah kamu seperti
pendeta Nasrani.”
3. Memperkuat anjuran nikah, Umar pernah
berkata kepada Abi Zawaid, hanya sifat lemah atau melacurlah yang mencegahmu
dari nikah. Berkata juga Ibnu Abbas bahwa tidak akan sempurna ibadah
seseorang sampai ia menikah. 3. Haram,
hukum ini layak bagi orang yang tidak mampu memberikan nafkah dan jika ia
memaksakan diri utnuk menikah akan
mengkhianati isterinya atau suaminya, baik dalam pemberian nafkah lahiriyah
maupun batiniyah, sehingga dengan perkawinan itu hak-hak istri/suami tidak
terpenuhi.
a. Hukum Pernikahan Monogami dan Poligami
Dalam
kamus bahasa Indonesia, monogami berarti sistem yang memperbolehkan seorang
laki-laki mempunyai satu isteri pada jangka waktu tertentu. Dari ta’rif
tersebut dapat dipahami bahwa seorang suami yang beristerikan satu isteri saja
tidak dua atau tiga maka suami itu
menganut monogami. Azas monogami telah
ditetapkan oleh Islam sejak lima belas abad yang lalu sebagai salah satu asas
perkawinan dalam Islam.
Tujuannya
untuk memberikan landasan dan modal
utama dalam pembinaan kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan
bahagia. Oleh karena itu hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami.
Hakum ini sangatlah beralasan karena dengan monogami tujuan pernikahan untuk
menghantarkan keluarga bahagia akan lebih mudah
karena tidak terlalu banyak beban. Selain dengan bermonogami juga akan lebih mudah untuk menetralisir dan
meredam sifat cemburu, iri hati dan perasaan mengeluh dalam kehidupan isteri sehari-hari. Islam
memerintahkan kepada laki-laki untuk nikah dengan seorang perempuan yang
dicintainya.
Bagi
laki-laki, selayaknya selayaknya sikap monogami ini. Jika tidak ada alasan yang
dapat dibenarkan untuk beristeri lebih dari satu, seperti si isteri
ternyata mandul, sekali lagi pada
asalnya hukum Islam menetapkan kepada laki-laki untuk beristeri satu saja.
Isyarat al-Qur’an untuk bermonogami bagi laki-laki dapat kita pahami dari
berbagai ayat al-Qur’an yang memerintahkan kepada laki-laki untuk menikah jika
sudah mampu, sikap membujang
berkepanjangan tanpa alasan adalah sikap yang tidak dibenarka karena dalam nikah banyak terdapat kebaikan.
Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’an antara lain:
Artinya:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) Lagi Maha Mengetahui”. (QS.
AnNur 32)
Hukum
dalam Islam tidak terlepas dari illatnya. Asal perintah monogami dalam
pernikahan dapat berubah menjadi perintah berpoligami jika benar-benar
ditemukan illat yang dapat dibenarkan. Maka permasalahan baru setelah Islam
membolehkan monogomi adalah persoalan poligami. Namun sebelum lebih jauh
membahas tentang hukum poligami nampaknya perlu diluruskan terlebih dahulu pemakaian
istilah poligami.
Jika
merujuk kepada makna seorang suami beristeri lebih dari satu sebenarnya istilah
poligami yang sudah populer di masyarakat tidak tepat untuk istilah itu. Karena
poligami dalam kamus bahasa bisa juga berarti di samping suami punya istri
lebih dari satu juga isteri punya suami lebih dari satu. Maka secara kebahasaan
yang lebih tepat adalah poligini yang dalam kamus bahasa Indonesia diartikan
sebagai “Sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa
wanita sebagai isterinya di waktu yang bersamaan”.
Namun
dalam tulisan ini, selanjutnya penulis cenderung untuk menggunakan istilah
poligami untuk pembahasan dimaksud, yaitu poligami yang bermakna pologini
(suami beristeri lebih dari satu) karena selain bisa dibenarkan secara
kebahasaan juga istilah tersebut sudah populer penyebutnya di masyarakat untuk lakilaki yang beristeri lebih dari
satu.
Memasuki
tulisannya tentang hukum kebolehan poligami, Yusuf Qardhawi menulis, bahwa
Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia, mengakui fakta yang
dapat membimbing dan manjauhkan manusia dari perbuatan dungu. Inilah kenyataan
yang “memaksa” Islam membolehkan poligami. Sebelum Islam datang, agama-agama
terdahulu telah membolehkan praktek poligami sampai seratus isteri tanpa
terikat oleh syarat dan aturan. Itulah kultur yang terjadi di masyarakat
dahulu.
Islam
datang tidak menghapus secara serta merta sistem poligami “Jahiliyah”, yang
sudah mendarah daging namun membangun aturan poligam penerapan pembatasan
jumlah istri tidak boleh lebih dari empat di samping adanya syarat-syarat lain
yang berhubungan dengan keadilan. Tercatat dalam sejarah bahwa seorang sahabat
bernama Ghailan al-Tsaqafi, ketika ia masuk Islam beristerikan sepuluh orang.
Lalu Nabi berkata kepadanya “pilih empat dan sisanya ceraikan”. Lalu banyak
orang bertanya, bagaimana dengan Rasulullah yang punya isteri lebih dari empat.
Ini adalah sebuah keistimewaan dari Allah karena keperluan da’wah Rosul dan
kebutuhan kehadiran para istri Nabi setelah wafat Nabi.
b. Kebolehan Berpoligami
Di
masyarakat seperti sekarang ini, sikap berpoligami bagi sebagian laki-laki
seakan menjadi sesuatu yang dianggap mudah untuk dilakukan karena hanya semata
mengikuti nafsu biologis dan tidak mengikuti aturan yang sebenranya. Memang Pada asalnya hukum poligami itu diperbolehkan
jika seseorang suami tidak dikhawatirkan berbuat zhalim terhadap
isteriisterinya.
Jika
dipastikan akan berlaku zhalim, maka seorang suami lebih baik untuk beristeri
satu saja. Islam diperuntukan untuk semua
jenis dan golongan manusia serta memelihara kepentingan dan kemashlahatan yang
bersifat pribadi dan umum. Nampaknya kebolehan
poligami karena untuk mewujudkan
kemashlahatan bagi manusia agar tidak berlaku zina dan tidak terjatuh ke dalam pintu kemaksiatan.
Dengan
kata lain menurut Mahmud Syaltut, bahwa pada asalnya Islam memerintahkan
laki-laki untuk beristeri satu, boleh beristeri lebih dari satu jika dipandang
darurat. Apa yang dimaksud dengan darurat tersebut? Menurut Yusuf Qardhawi, kondisi darurat yang dengannya seorang
laki-laki dibolehkan berpoligami adalah
sebagai berikut:
1) Ditemukan seorang suami yang
menginginkan keturunan, akan tetapi
ternyata isterinya tidak dapat
melahirkan anak disebabkan karena mandul atau penyakit.
2) Di antara suami ada yang memiliki
overseks, akan tetapi isterinya memiliki kelemahan seks, memiliki penyakit atau
masa haidhnya terlalu panjang sedangkan suaminya tidak sabar menghadapi
kelemahan isterinya tersebut.
3) Jumlah wanita lebih banyak dibanding
jumlah laki-laki, khususnya setelah terjadi peperangan. Di situ terdapat
kemashlahatan yang harus didapat oleh sebuah masyarakat dan para wanita yang
tidak menginginkan hidup tanpa suami dan keinginan hidup tenang, cinta dan
terlindungi serta menikmati sifat keibuan.
Namun
permasalahan yang harus dihadapi bahwa kebolehan seorang suami untuk beristeri
lebih dari satu bukan hanya dikarenakan kondisi mendesak sebagaimana tersebut
di atas. Katakanlah itu adalah pasal yang harus dimililiki oleh seorang suami
sebelum berpoligami. Namun ada pasal penting lainnya yang wajib dipenuhi
setelah poligami itu terealisasi yaitu seorang suami harus berlaku adil dalam memberikan nafkah.
Kewajiban
bagi seorang suami untuk berlaku adil dalam memberikan nafkah terhadap
isteri-isterinya adalah konsekuansi dari tindakan berpoligami dalam Islam.
Sikap adil dimaksud berarti seorang
suami dapat memenuhi hak kewajibannya terhadap isteri-isterinya secara
proporsional sesuai dengan kebutuhan secara wajar. Nafkah itu
ada yang bersifat lahiriyah, yaitu nafkah yang bersifat materi dan ada
yang bersifat batiniyah (immateri).
Sehubungan
dengan pembagian nafkah tersebut maka keadilanpun terbagi mejadi dua yaitu
keadilan dalam memberikan nafkah lahiriyah dan keadilan dalam memberikan nafkah
batiniyah. Pada keadilan bentuk pertama, seorang suami dituntut untuk berlaku
adil terhadap isteri-isterinya dalam memberikan makan, minum, pakaian, rumah,
serta waktu giliran.
Pemenuhan
rasa keadilan bentuk pertama ini sangat mungkin dapat dilakukan oleh seorang
suami terhadap istrei-isterinya. Maka
jika seorang suami tidak dapat berlaku adil dalam nafkah lahir ini yang
mengakibatkan isteri-isteri terzalimi, maka haram bagi laki-laki untuk
berpoligami. Allah swt berfirman dalam al-Qur’an surat alNisa ayat 3:
Artinya:
“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Rasulullah
bersabda:
Artinya:
“Siapa yang memilki dua orang isteri tapi ia lebih berpihak kepada salah
satunya, maka pada hari qiamat ia berjalan dalam keadaan menarik salah satu
pundaknya (miring).” (HR. Abu Daud)
Yang
dianggap perbuatan menzalimi dalam Hadits di atas adalah ketidak-adilan seorang
suami dalam memenuhi hak-hak isteri yang dipandang kuasa bagi suami untuk
memenuhinya seperti nafkah lahir dan waktu gilir.
Terkait
dengan keadilan bentuk kedua yakni keadilan yang bersifat batin :
kecenderungan
hati/cinta. Usaha untuk berlaku adil dalam membagi cinta kepada isteri-isteri
inilah yang sesungguhnya sangat berat bagi seorang suami. Dan hal ini sudah
bisa dipastikan tidak dapat dilakukan oleh suami untuk berlaku adil sebagaimana
diisyaratkan oleh al-Qur’an:
Artinya:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri
(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisa:129)
Kalau seandainya keadilan membagi cinta ini
menjadi syarat yang mutlak bagi seorang suami, maka tertutup hukum
kebolehan bagi seorang suami untuk
berpoligami meskipun sudah berada pada
kondisi yang darurat. Oleh karena sulitnya beralaku adil dalam membagi cinta, maka Menurut Yusuf Qardhawi
ini adalah keadilan yang dimaafkan dan diberikan toleransi, namun tidak
termaafkan untuk nafkah lahir.
Dijelaskan
dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah adalah orang yang selalu berusaha untuk
berlaku adil sampai kepada masalah bepergian dan untuk memenuhi rasa keadilan
tersebut, Rasulullah mengundi di antara
isteri-isterinya. Bagi yang keluar undiannya, maka dialah yang menjadi teman
pergi Rasulullah, hal ini dilakukan oleh Rasulullah supaya tidak melukai perasaan
dan meminta kerelaan dari isteri-isteri yang tidak pergi bersama Rosul.
c. Hikmah dari Poligami
Berpoligamim
bagi sebagian orang terkadang tidak terlalu sulit untuk dilakukan.
Permasalahannya adalah tidak mudah untuk berlaku adil dalam memenuhi sesuatu
yang menjadi hak para isteri. Terlihat,
banyak suami yang beristeri lebih dari satu tapi sebenarnya mereka tidak mampu
untuk memberikan nafkah. Motif mereka berpoligami bukan karena masalah darurat,
tapi karena ingin memperturutkan hawa nafsu seksual.
Kalaupun
mereka mampu memberikan nafkah namun terkadang perlakuan suami kepada
isteri-isterinya banyak berlaku tidak adil dalam pemenuhan kebutuhan seperti
makan, pakaian, tempat tinggal, dan waktu bergilir.
Oleh
karena itu, alasan kebolehan berpoligami bagi sang suami dikarenakan terdapat
kondisi darurat dan syarat beraku
adil terdapat hikmah di dalamnya yang
Menurut Rasyid Ridh sedikitya
terdapat empat hikmah.
1) Untuk mendapatkan anak bagi suami yang
subur dan isteri yang mandul.
2) Menjaga keutuhan keluarga tanpa harus
mencerai isteri pertama meski ia tidak berfungsi semestinya sebagai isteri
karena cacat fisik dan sebagainya.
3) Untuk menyelamatkan suami yang
hiperseks dari perbuatan free sex. Tercatat di beberapa negara Barat yang
melarang poligami mengakibatkan merajalelanya praktek prostitusi dan free sex
(kumpul kebo) dan lahirnya anak-zina
yang mencapai jumlah cukup tinggi.
4) Menyelamatkan harkat dan martabat
wanita dari krisis akhlak (melacur), terutama bagi mereka yang tinggal di
negara yang jumlah wanitanya lebih banyak dibanding laki-laki akibat peperangan misalnya.
Sedangkan
hikmah kebolehan Rasulullah beristeri lebih dari empat bukanlah karena dorongan
hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum orientalis, tapi mengandung
hikmah yang besar, yaitu kepentingan dakwah Islam sebagaimana dikemukakan oleh
Abbas Mahmud al-Aqqad sebagai berikut:
a) Untuk kepentingan pendidikan dan
pengajaran agama. Semua isteri Nabi yang berjumlah sembilan dapat dijadikan
sumber informasi bagi umat Islam yang
hendak mengetahui ajaran-ajaran Nabi dan praktek kehidupan beliau dalam
berkeluarga, bermasyarakat, terutama masalah rumah tangga.
b) Untuk kepentingan politik, yaitu
mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan sekaligus menarik mereka masuk Islam.
Seperti perkawinan Nabi dengan Juwairiyah putri al-Harist kepala suku bani
al-Musthaliq dan Shafiyah, seorang tokoh dari Bani Quiraizhah dan Bani
al-Nadhir.
c) Untuk kepentingan sosial dan
kamanusiaan. Seperti perkawinan beliau dengan janda dermawan bernama Khadijah dan janda pahlawan
Islam seperti Saudah binti Zuma’ah (suaminya meninggal setelah kembali dari
hijrah ke Abesenia), Hafsah binti Umar (suaminya gugur pada perang badar),
Hindun Ummu Salamah (suaminya gugur di perang Uhud).
Seandainya
saja motif Rosul untuk nikah lebih dari satu karena dorongan sex, mungkin yang
wanita yang dinikahi adalah gadis-gadis
cantik bangsa Arab. Tapi hal itu sama sekali tidak dilakukan oleh
Rasulullah tapi justru dengan Siti khadijah yang umurnya lebih tua 15 tahun
dibandingkan umur beliau.
Demikian
dengan isteri-isteri beliau yang lain,
semuanya dinikahi bukan karena
tuntutan nafsu , tapi bermotif dakwah
yang ternyata motif tersebut dapat membantu keberhasilan tugas beliiau sebagai
utusann Allah. Dengan demikian, pada pernikahan Rasul terdapat hikmah yang
tinggi yang bernilai dakwah, pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Argumentasi
logis sepertitelah tersebut dapat
meruntuhkan segala tuduhan negatif yang
dilontarkan oleh kaum orientalis terhadap kebolehan rasul bersiteri lebih dari
satu.
D. Nikah Mut’ah
Semarak
nikah mut’ah atau sering disebut dengan nikah kontrak nampaknya masih menghiasi
kehidupan sebagian kecil masyarakat. Keprihatinan dan kehwatiranpun muncul dari
orang tua, tokoh masyarakat, pendidik bahkan ulama terhadap pernikahan yang
terkesan “main-main” ini. Praktek nikah mut’ah seperti tersebut terjadi selain
karena terdapat legitimasi dari kelompok yang membolehkan, juga ditemukan
alasan untuk terhindar dari perzinahan demi memenuhi tuntutan sex sesaat.
Untuk
dapat menguji keabsahan nikah mut’ah yang banyak dilakukan oleh orang yang
tinggal jauh dari isterinya karena memenuhi tugas kerja misalnya, bahkan tak
luput pelakunya adalah pemuda dan mahasiswa, berikut ini akan dijelaskan duduk masalahnya.
Kata
mut’ah ( ٌ Ø©َعْتُÙ…), berasal dari bahasa Arab yang
mempunyai arti antara lain bekal yang sedikit dan barang yang menyenangkan.
Pengertian ini sejalan dengan kata mut’ah yang terdapat dalam al-Quran yang
berarti bercampur (bersenang-senang bersama istri dengan bersenggama) dan pemberian yang
menyenangkan oleh suami kepada isterinya yang dicerai. Firman Allah swt:
Artinya:
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut`ah (pemberian) kepada
mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah:
236)
Yusuf
Qardhawi memberikan pengertian nikah mut’ah secara terminologi, yaitu seorang
laki-laki mengikat (menikahi) seorang perempuan untuk waktu yang ditentukan
dengan imbalan uang yang tertentu pula. Di Indonesia, kawin mut’ah ini popular
dengan sebutan kawin kontrak. Uraian di
atas memeberikan gambaran cukup jelas tentang nikah mut’ah. Bahwa tidaklah nikah mut’ah itu dilakukan, kecuali
kecenderungan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan seksual, berakhir tanpa talaq karena secara otomatis jika sudah habis waktu kontrak yang telah
ditentukan maka berakhirlah riwayat pernikahan itu.
Dilihat
dari penetapan pembatasan waktu (ta’qit) tersebut, pernikahan semacam itu bertentangan dengan
syariat Islam yang mmenghendaki pernikahan itu tidak terbatas oleh waktu. Diakui, bahwa nikah mut’ah pada zaman Nabi
diperbolehkan namun tidak berlaku untuk semua orang hanya untuk orang tertentu
dikarenakan terdapat suatu kondisi yang sangat mendesak.
Menurut
Yusuf Qardhawi, rahasia diperbolehkan nikah mut’ah pertama kali pada zaman Nabi, karena umat ketika itu berada
pada “masa transisi” dari dunia Jahiliyah ke dunia Islam. Di mana pada zaman
Jahiliyah, perzinahan merupakan budaya yang sudah menyebar luas. Ketika Islam
mewajibkan kepada kaum untuk pergi berjihad, mereka merasakan sangat berat
tinggal jauh dengan isteri-isteri mereka.
Di
antara kaum yang ikut berijihad dengan Rosulullah itu ada yang memiliki iman
yang kuat dan ada yang lemah. Mereka yang lemah imannya sangat takut terjerumus
ke jurang perzinahan. sedangkan mereka yang kuat imannya bersikeras untuk
menghilangkan nafsu seksnya dengan cara mengebiri, sebagaimana informasi Hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu mas’ud:
Artinya:
“Kami ikut berperang dengan Rosulullah dan istri-istri kami tidak ada di
samping kami. Kemudian kami bertanya kepada Rosulullah, bolehkah kami
mengebiri? Maka Rosulullah melarang kami untuk mengebiri dan memberikan
keringanan kepada kami untuk menikahi perempuan dengan membayar imbalan untuk
waktu yang ditentukan. (HR. Bukhari Muslim)
Berdasarkan
keterangan di atas, maka jelaslah bahwa kebolehan hukum nikah mut’ah pada zaman
Nabi itu memiliki alasan sebagai berikut:
1. Merupakan keringanan hukum (rukhsah)
untuk memberikan jalan keluar dari problematika yang dihadapi oleh dua kelompok
orang yang imannya kuat dan imannya lemah.
2. Sebagai langkah perjalanan hukum Islam
menuju ditetapkannya kehidupan rumah tangga yang sempurna untuk mewujudkan
semua tujuan pernikahan yaitu melestarikan keturunan, cinta kasih sayang dan
memperluas pergaulan melalui perbesanan.
Terkait
dengan hukumnya, dilihat dari prosesnya nampaknya langkah pengharaman nikah
mut’ah yang ditempuh oleh Islam dilakukan secara priodik seperti proses
pengharaman khamar.
Rosulullah
memperbolehkan nikah mut’ah dalam kondisi tertentu (darurat), kemudian
Rosulullah saw mengharamkan nikah mut’ah sebagai bentuk pernikahan. Sebagaimana
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Syibrah
al-Juhani “bahwasanya ia berperang bersama Rosulullah saw pada waktu fathu
Makkah, maka Rosulullah mengizinkan mereka untuk melakukan nikah mut’ah.
Ia
berkata: “Maka kaum tetap melakukan
nikah mut’ah itu sampai Rosulullah mengharamkan nikah mut’ah. Dan dalam redaksi
yang lain, terdapat Hadits yang berbunyi”
Artinya:
Wahai manusia, aku pernah membolehkan untuk mu
melakukan nikah mut’ah dengan
wanita kemudian Allah mengharamkan nikah mut’ah itu. Oleh karena itu jika masih
terdapat memiliki wanita yang diperoleh dengan cara nikah mut’ah maka hendaknya
ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah
kamu berikan kepada mereka (HR Muslim)
Dari penjelasan hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kebolehan
hukum nikah mut’ah itu telah dinasakh
(dihapus hukumnya) oleh keharamnnya.
Dengan
demikian hukum yang berlaku sejak terjadinya penghapusan sampai sekarang dan
seterusnya adalah keharaman nikah mut’ah.
Di kalangan sahabat orang yang secara tegas mengharamkan nikah mut’ah
adalah Umar bin Khattab, dengan lantang
beliau melarang nikah mut’ah serta mengancam hukuman bagi pelakunya. Kemudian
timbul pertanyaan, apakah keharaman nikah mut’ah ini sudah mutlak tanpa ada
pengecualian seperti haramnya menikahi ibu dan anak kandung perempuan?
Apakah
keharamannya seperti keharaman minum khamar, darah dan daging babi yang
diperbolehkan ketika dalam keadaan darurat? Jawabannya adalah menurut jumhur
sahabat dan ulama bahwa keharaman nikah mut’ah adalah mutlak tanpa ada
pengecualian meski dalam kondisi darurat.
Pendapat
ini diperkuat oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia yang secara tegas memutuskan bahwa hukum nikah itu haram karena selain dadasari oleh dalil
yang kuat, selain nikah ini juga bertentangan dengan tujuan pensyariatan
pernikahan.
a. Nikah Mut’ah Masa Kini Seperti telah
dikemukakan di awal, nikah mut’ah saat ini masih banyak dilakukan oleh
sebagaian masyarakat meski mendapat protes yang cukup keras juga. Kecenderungan
itu muncul karena dirasakan mudah untuk dilakukan pada zaman di mana orang
banyak berfikir pragmatis. Selain jika dilihat dari tabiatnya bahwa salah satu
kesamaan manusia masa lampau dengan masa kini di antaranya adalah masalah nafsu
seks. Ternyata dengan dalih yang sama, di masa sekarang ini praktek nikah
mut’ah ini terjadi lagi dan bahkan ada yang melegalkan kembali seperti yang
ditetapakan oleh kelompok syiah. Nampaknya alasan yang dikemukakan oleh orang
yang membolehkan nikah mut’ah di atas sangatlah lemah dan sama sekali tidak
mempertimbangkan aspek tujuan dari sebuah pernikahan yang sesungguhnya. Dengan demikian penghalalan nikah mut’ah pada
masa sekarang ini dapat dikatakan bathil dan
sangat mudah untuk ditolak baik secara aqli maupun naqli.
b. Islam
menetapkan pernikahan sebagai ikatan
perjanjian yang kuat. Yang dibangun atas landasan motivasi untuk hubungan yang
kekal yang akan menumbuhkan cinta, kasih sayang dan ketentraman batin serta
menciptakan keturunan yang langgeng. Sedangkan dalam nikah mut’ah (kontrak)
perkawinan tidak bersifat kekal, tapi dibatasi oleh waktu yang telah
disepakati. Dan perceraian kedua pasangan itu secara otomatis dikarenakan habisnya masa kontrak. Jelas nikah mut’ah ini
bertentangan dengan prinsip dan tujuan nikah dalam Islam.
c. Menghalalkan kembali nikah mut’ah
berarti langkah mundur dari sesuatu yang telah ditetapkan secara sempurna oleh
Islam. Salah satu sebab diperbolehkannya nikah pada zaman Nabi karena kondisi
“transisi” dari Jahiliyah kepada Islam. Di mana perzinahan pada zaman Jahiliyah
merupakan budaya yang sudah menyebar. Diperboehkannya nikah mut’ah ketika itu
sebagai langkah proses menuju pernikahan yang sempurna. Jadi nikah mut’ah
sekarang ini tidak dapat dibenarkan karena sudah disyariatkannya nikah yang
sempurna.
d. Alasan darurat untuk menghalalkan
kembali nikah mut’ah merupakan alasan yang terlalu dibuat-buat. Sebab alasan
darurat diperbolehkannya nikah mut’ah pada zaman Nabi itu dalam keadaan
berperang di mana isteri mereka tinggal berjauhan, sulit mereka untuk bertemu.
Apakah relevan kalau hanya alasan nafsu seks itu dijadikan dalih untuk
membolehkan nikah mut’ah sekarang ini? Tentu tidak relevan karena itu qiyas
fariq yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.
e. Dampak negatif yang diakibatkan dari
nikah mut’ah sangat merusak dimensi sosial. Sebab akibat nikah mut’ah akan
bermunculan perempuan-perempuan yang
kehilangan suaminya, seakan-akan wanita dijadikan pemuas nafsu laki-laki sesaat
dan akan muncul anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang ayahnya. Hal ini
akan menggangu pertumbuhan psikologis anak.
Berdasarkan
alasan tersebut di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa nikah mut’ah yang
dibolehkan dalam Islam sudah berakhir, yaitu hanya boleh ketika zaman Nabi dengan alasan darurat dan ada hikmah
tasyri’ di dalamnya. Maka tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk kembali
mengahalakan nikah mut’ah sekarang ini.
Hukum
nikah mut’ah ini telah tegas keharamannya baik dilihat
secara akal dan wahyu. “Yang haram telah jelas dan yang halalpun telah
jelas”.
Sumber
: http://ppg.siagapendis.com
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar