PERNIKAHAN MONOGAMI, POLIGAMI DAN NIKAH MUT’AH
A. Syariat Pernikahan
Kedudukan nikah dalam Islam
merupakan syariat yang terkandung di dalamnya nila-inilai ibadah. Kelayakan
manusia untuk menerima syariat tersebut paling tidak diperkuat oleh tiga
argumen, yaitu:
1. Manusia adalah makhluk berakal
dan dengan akalnya tersebut manusia mampu menerima dan menjalankan syariat
dengan baik,
2. Manusia diciptakan oleh Allah
berpasangan,
3. Pernikahan dalam Islam disebut
sebagai prilaku para Nabi dan memasukkannya sebagai salah satu fitrah yang
dimiliki oleh manusia.
Pada
zaman Jahiliyah telah dikenal bebarapa praktek perkawinan yang merupakan
warisan turun temurun dari perkawinan Romawi dan Persia.
a.
Perkawinan
pacaran (khidn), yaitu berupa pergaulan bebas pria dan wanita sebelum
perkawinan yang resmi dilangsungkan yang tujuannya untuk mengetahui kepribadian
masing-masing pasangan
b.
Nikah
badl, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki lain untuk saling menukar
istrinya.
c.
Nikah
istibdha, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki kaya, bangsawan atau orang
pandai agar bersedia mengumpuli istrinya yang dalam keadaan suci sampai ia
hamil. Setelah itu baru si suami mengumpulinya.
d.
Nikah
Raht (urunan), seorang wanita dikumpuli oleh beberapa pria sampai hamil. Ketika
anaknya lahir, lalu wanita itu menunjuk salah satu pria yang telah
mengumpulinya untuk mengakui bayi yang telah dilahirkannya sebagai anaknya.
Nikah ini sama dengan nikah baghaaya (nikah pelacur).
B. Hikmah Nikah
Hikmah-hikmah menikah ialah
sebagai berikut:
1. Nafsu seks termasuk tuntutan
terkuat dan selalu meliputi kehidupan manusia.
2. Pernikahan jalan terbaik untuk
melahirkan anak, memperbanyak kelahiran dan melestarikan kehidupan dengan
selalu menjaga keturunan.
3. Naluri kebapakan dan keibuan akan
tumbuh dan berkembang dalam menaungi anak masa kanak-kanak serta tumbuhnya rasa
kasih-sayang.
4. Rasa tanggung jawab dari
pernikahan serta mengurus anak dapat membangkitkan semangat dan mencurahkan
segala kemampuan dalam memperkuat potensi diri.
5. Membagi-bagi pekerjaan dan
membatasi tanggung jawab pekerjaan kepada suami dan isteri.
C. Hukum Pernikahan
Berikut saya paparkan hukum-hukum
pernikahan dalam Islam, yaitu:
1. Wajib, hukum ini layak dibebakan
kepada orang yang telah mampu memberi nafkah, jiwanya terpanggil untuk nikah
dan jika tidak nikah khawatir terjerumus ke lembah perzinahan.
2. Sunah, hukum ini pantas bagi orang yang merindukan pernikahan dan
mampu memberi nafkah tapi sebenarnya ia masih mampu menahan dirinya dari
perbuatan zina. Maka bagi orang seperti ini hukum nikah menjadi sunah.
3. Haram, hukum ini layak bagi orang
yang tidak mampu memberikan nafkah dan jika ia memaksakan diri utnuk
menikah akan mengkhianati isterinya atau
suaminya, baik dalam pemberian nafkah lahiriyah maupun batiniyah, sehingga
dengan perkawinan itu hak-hak istri/suami tidak terpenuhi.
D. Hukum Pernikahan Monogami dan
Poligami
Monogami berarti sistem yang
memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu isteri pada jangka waktu
tertentu. Tujuannya untuk memberikan
landasan dan modal utama dalam pembinaan kehidupan rumah tangga yang
harmonis, sejahtera dan bahagia
Poligami berarti suami punya
istri lebih dari satu juga isteri punya suami lebih dari satu. Maka secara
kebahasaan yang lebih tepat adalah poligini artinya “Sistem perkawinan yang
membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai isterinya di waktu
yang bersamaan”.
E. Kebolehan Berpoligami
Allah swt berfirman dalam al-Qur’an
surat al-Nisa ayat 3 Yang rtinya: “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Dengan ayat
ini maka hukum berpoligami adalah “boleh” tapi harus adil dan paling banyak
sebanyak empat istri saja, lebih dari itu hukumnya menjadi haram.
F. Hikmah dari Poligami
Adapun hikmah memiliki istri lebih
dari satu (poligami), yakni:
1. Untuk mendapatkan anak bagi suami
yang subur dan isteri yang mandul.
2. Menjaga keutuhan keluarga tanpa
harus mencerai isteri pertama meski ia tidak berfungsi semestinya sebagai
isteri karena cacat fisik dan sebagainya.
3. Untuk menyelamatkan suami yang
hiperseks dari perbuatan free sex.
4. Menyelamatkan harkat dan martabat
wanita dari krisis akhlak (melacur), terutama bagi mereka yang tinggal di
negara yang jumlah wanitanya lebih banyak dibanding laki-laki akibat peperangan misalnya.
G. Nikah Mut’ah
Kata mut’ah mempunyai arti antara
lain bekal yang sedikit dan barang yang menyenangkan. Secara terminologi, yaitu
seorang laki-laki mengikat (menikahi) seorang perempuan untuk waktu yang
ditentukan dengan imbalan uang yang tertentu pula.
Dilihat dari penetapan pembatasan
waktu (ta’qit) tersebut, pernikahan
semacam itu bertentangan dengan syariat Islam yang menghendaki pernikahan itu
tidak terbatas oleh waktu. Diakui, bahwa
nikah mut’ah pada zaman Nabi diperbolehkan namun tidak berlaku untuk semua
orang hanya untuk orang tertentu dikarenakan terdapat suatu kondisi
yang sangat mendesak.
Berdasarkan keterangan di atas,
maka jelaslah bahwa kebolehan hukum nikah mut’ah pada zaman Nabi itu memiliki
alasan sebagai yakni; Merupakan keringanan hukum (rukhsah) untuk memberikan jalan keluar dari problematika yang
dihadapi oleh dua kelompok orang yang imannya kuat dan imannya lemah.
Namun, demikian penghalalan nikah
mut’ah pada masa sekarang ini dapat dikatakan bathil dan sangat mudah untuk ditolak baik secara aqli
maupun naqli. Karena alasan sebagai berikut:
1. Islam menetapkan pernikahan
sebagai ikatan perjanjian yang kuat.
Yang dibangun atas landasan motivasi untuk hubungan yang kekal yang akan
menumbuhkan cinta, kasih sayang dan ketentraman batin serta menciptakan
keturunan yang langgeng.
2. Menghalalkan kembali nikah mut’ah
berarti langkah mundur dari sesuatu yang telah ditetapkan secara sempurna oleh
Islam.
3. Alasan darurat untuk menghalalkan
kembali nikah mut’ah merupakan alasan yang terlalu dibuat-buat. Sebab alasan
darurat diperbolehkannya nikah mut’ah pada zaman Nabi itu dalam keadaan
berperang di mana isteri mereka tinggal berjauhan, sulit mereka untuk bertemu.
4. Dampak negatif yang diakibatkan
dari nikah mut’ah sangat merusak dimensi sosial. Sebab akibat nikah mut’ah akan
bermunculan perempuan-perempuan yang
kehilangan suaminya, seakan-akan wanita dijadikan pemuas nafsu laki-laki sesaat
dan akan muncul anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang ayahnya.
Maka tidak ada alasan yang dapat
dibenarkan untuk kembali mengahalakan nikah mut’ah sekarang ini. Hukum
nikah mut’ah ini telah tegas keharamannya baik dilihat
secara akal dan wahyu. “Yang haram telah jelas dan yang halalpun telah jelas”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar