BANK, RIBA DAN FEE
A.
Bank
Dalam Ensiklopedia Indonesia,
bank atau perbankan adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan
kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang dengan
tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain. Dari pengertian ini maka bank
memiliki dua arti penting, yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan
menciptakan uang. Yang dimaksud dengan bank non Islam (convensional bank)
adalah lembaga keuangan yang fungsi utamanya untuk menghimpun dana yang
kemudian disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya guna
investasi (penanaman modal) dan
usaha-usaha yang produktif dengan sistem bunga. Contohnya BNI , BRI. BCA dan sebagainya.
Sedangan yang dimaksud dengan
bank Islam adalah suatau lembaga yang fungsi
utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang
membutuhkannya dengan sistem tanpa bunga. Contohnya Bank Muamalat. Tujuan didirikannya bank Islam
adalah untuk menghindari bunga uang yang diberlakukan oleh bank convensional. Dari
definsi di atas maka dapat dibedakan antara bank convensional dengan bank Islam
yaitu bank convensional memakai sistem bunga sedangkan bank Islam tidak.
Sebagai pengganti sistem bunga,
maka bank Islam menempuh cara-cara
sebagai berikut:
1. Wadiah yaitu titipan uang, barang
dan surat-surat berharga).
2. Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal
dengan pelaksana).
3. Musyarakah/syirkah (persekutuan).
Pihak bank dan penguasa sama-sama mempunyai andil (saham) pada usaha patungan.
4. Murabahah (jual beli barang
dengan tambahan harga atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur).
5. Qard hasan (pinjaman yang baik).
Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik
terutama para nasabah yang memiliki deposito di bank Islam.
6. Bank Islam boleh mengelola zakat
di Negara yang pemerintahannya tidak mengelola zakat secara langsung.
7. Membayar gaji para karyawan bank
yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, untuk sarana dan prasarana
yang disediakan oleh bank dan biaya administrasi pada umumnya.
B.
Riba
1.
Pengertian, hukum dan Jenisnya
Secara bahasa, kata riba berarti
tambahan. Dalam istilah hukum Islam, riba berarti tambahan baik berupa tunai, benda, maupun
jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain jumlah uang yang
dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada waktu pengembalian uang
pinjaman, riba semacam ini disebut
dengan riba nasiah.
Menurut Satria Effendi, riba nasiah adalah tambahan pembayaran
atas jumlah modal yang disyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh si
peminjam kepada yang meminjam tanpa
resiko sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran yang diberikan kepada si
peminjam.
Uraian di atas memberikan
kejelasan bahwa riba nasiah mengandung tiga unsur.
a. Terdapat tambahan pembayaran atau
modal yang dipinjamkan.
b. Tambahan itu tanpa resiko kecuali
sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si peminjam.
c. Tambahan itu disyaratkan dalam
bentuk pemberian piutang dan tenggang waktu.
Selain riba nasiah seperti telah
dijelaskan, dalam kajian fiqh dikenal juga riba dalam bentuk lain yang disebut
dengan riba fadhal. Menurut Ibnu Qayyum, riba
fadhal ialah riba yang kedudukannya sebagai penunjang keharaman riba
nasiah. Dengan kata lain bahwa riba fadhal diharamkan supaya seseorang tidak
melakukan riba nasiah yang sudah jelas keharamannya.
2.
Hikmah Keharaman Riba
Memperhatikan praktek riba dan
segala konsekuensi yang diakibatkan, maka dapat diberkesimpulan bahwa akibat
yang ditimbulkan oleh praktek riba dapat merusak tatanan kehidupan seseorang
baik secara personal maupun sosial yang diistilahkan dalam agama jauh dari
keberkahan hidup.
Jika praktek riba dibiarkan tanpa
usaha untuk mengembalikan kepada sistem perekonomian Islam yang terbebas dari
sistem riba maka sistem kapitalis di
mana terjadi pemerasan dan penganiayaan terhadap kaum lemah akan tetap merajai
sistem perekonomian dan di saat itu pula terjadi kegersangan yang dahsyat bagi kehidupan manusia modern.
Di sisi lain akan semakin kuatlah adigium yang menyatakan bahwa orang yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin tertindas.
3.
Ikhtilaf Hukum Bunga Bank
Terhadap konsep bunga bank
seperti tersebut terdapat perbedaan sikap para ulama dalam menghukuminya.
Menurut penelitian penulis sedikitnya terdapat empat kelompok ulama tentang
hukum bunga bank.
a. Yang termasuk kedalam kelompok
pertama ini antara lain Abu Zahra, Abu A’la alMaududi, M. Abdullah al-Araby dan
Yusuf Qardhawi, Sayyid Sabiq, Jaad al-Haqq Ali Jadd al-Haqq dan Fuad Muhammad
Fachruddin. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu riba nasiah yang mutlak
keharamannya oleh karena itu, umat Islam tidak boleh berhubungan dengan bank
yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat. Terkait dengan
kondisi yang tersebut terakhir ini, Yusuf Qardhawi berbeda dengan yang lainnya,
menurutnya tidak dikenal istilah darurat dalam keharaman bunga bank, keharamannya bersifat mutlak.
b. Yang termasuk ke dalam kelompok
yang kedua ini antara lain Mustafa A. Zarqa. Beliau berpendapat bahwa riba yang
diharamkan adalah yang bersifat konsumtif
seperti yang berlaku pada zaman jahiliyah sebagai bentuk pemerasan
kepada kaum lemah yang konsumtif berbeda yang bersifat produktif tidaklah termasuk haram. Hal senada juga
dikemukakan oleh M. Hatta. Tokoh yang tersebut terakhir ini membedakan antara riba dengan rente. Menurutnya
riba itu sifatnya konsumtif dan memeras si peminjam yang membutuhkan pinjaman
uang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangkan rente sifatnya produktif,
yaitu dana yang dipinjamkan kepada peminjam digunakan untuk modal usaha yang
menghasilkan keuntungan.
c. Yang termasuk kepada kelompok
ketiga antara lain A. Hasan (persis). Beliau berpendapat bahwa bunga bank
(rente) seperti yang belaku di Indonesia bukan termasuk riba yang diharamkan
karena tidak berlipat ganda sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130)
d. Yang termasuk ke dalam kelompok
keempat adalah Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamar di Siduarjo 1968
memutuskan bahwa bunga yang diberikan oleh bank kepada para nasabahnya atau
sebaliknya termasuk perkara syubhat (belum jelas keharamannya).
C.
Bank dan Fee
Fee artinya pungutan dana yang
dibebankan kepada nasabah bank untuk kepentingan administrasi, seperti
keperluan kertas, biaya operasional, dan lain-lain. Pungutan itu pada
hakikatnya bisa dikategorikan bunga, tapi apakah keberadaannya bisa
dipersamakan dengan hukum bunga bank.
Untuk menjawab masalah ini dapat
dikembalikan kepada pendapat ulama
tentang hukum bunga bank itu sendiri. Bagi kelompok ulama yang
mengharamkan bunga bank, maka merekapun mengharamkan fee, karena berarti itu
kelebihan, yaitu dengan mengambil manfaat dari sebuah transakasi utang piutang.
Tegasnya, mereka menganggap fee adalah riba, meskipun fee itu digunakan untuk
dana operasonal.
Sedangkan ulama yang menghalalkan
bunga bank dengan alasan keadaan bank itu darurat atau alasan lainnya,
merekapun mengatakan bahwa fee bukan termasuk riba, oleh karena itu hukumnya
boleh selain alasan bahwa tanpa fee, maka bank tidak bisa beroperasi maka
keberadaan sesuatu sebagai alat sama hukumnya dengan keberadaan asal. Dalam hal
ini, hukum fee sama dengan bunga bank, yaitu boleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar