Perkembangan
kebudayaan pada masa Bani Abbasiyah
Bani
Abbasiyah lahir tahun 750 M. Nama Abbasiyah yang dipakai untuk nama bani ini
adalah di ambil dari nama bapak pendiri Abbasiyah yaitu Abas bin Abdul Mutalib
paman Nabi Muhammad Saw. Proses lahirnya Abbasiyah di mulai dari kemenangan Abu
Abbas Assafah dalam sebuah perang terbuka (al-Zab) melawan khalifah Bani
Umayyah yang terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Abu Abbas diberi gelar Assafah
karena dia pemberani dan mampu memainkan mata pedangnya kepada lawan
politiknya. Semua lawan politiknya di perangi dan di kejar-kejar, diusir keluar
dari wilayah kekuasaan Abbasiyah yang baru direbut dari Bani Umayyah di
Damaskus.
Proses
pengembangan peradaban yang dibangun Bani Abbasiyah begitu cepat membawa
perubahan besar bagi perkembangan peradaban ilmu pengetahuan selanjutnya. Bani
Abbasiyah eksis selama 505 tahun dan diperintah oleh 37 khalifah dengan mampu
menciptakan peradaban yang menjadi kiblat dunia pada saat itu, peradaban yang
dikenang sepanjang masa. Pada waktu itu suasana belajar kondusif, fasilitas
belajar disediakan pemerintah dengan lengkap. Motivasi belajar menjadi
pendorong gairahnya masyarakat untuk belajar. Masyarakat mendatangi
tempat-tempat belajar seperti kuttab dan madrasah maupun perguruan tinggi
seperti universitas. Universitas yang terkenal pada saat itu adalah Nizamiyah
yang dibangun oleh perdana menteri Nizamul Muluk dari khalifah Harun al-
Rasyid. Khalifah Harun al-Rasyid terkenal sebagai khalifah yang sangat cinta
pada ilmu pengetahuan, baik belajar maupun dalam hal membangun fasilitas
belajar, seperti: sekolah, perpustakaan, menyediakan guru dan membentuk gerakan
terjemahan.
Abu
Abbas Assafah sebagai pendiri Bani Abbasiyah memiliki masa kepemimpinan yang
sangat singkat. Hanya 4 tahun beliau memerintah, akan tetapi mampu menciptakan
suasana dan kondisi
Abbasiyah
yang seteril dari keturunan Bani Umayyah sebagai lawan politik yang baru di
kalahkan dan dikuasainya. Sikap tegas dan berani yang ditunjukkan oleh Khalifah
Abu Abas Assafah ketika membuat kebijakan memberantas semua keturunan Umayyah
dari wilayah yang dikuasainya. Dampak dari kebijakan tersebut dapat dilihat
dari suasana pusat wilayah dan rakyat Abbasiyah yang baru menjadi lebih
kondusif dan perkembangan peradaban dapat dikendalikan oleh Khalifah Abu Abbas
Assafah.
Berikut
merupakan khalifah-khalifah yang memimpin Bani Abbasiyah:
1. Abul
Abbas As Saffah (750-754 M)
Abdullah
bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas merupakan Khalifah pertama
pemerintahan Abbasiyah. Ayahnya adalah orang yang melakukan gerakan untuk
mendirikan pemerintahan Bani Abbasiyah dan menyebarkan kemana-mana. Inilah yang
membuat Abdullah banyak mengetahui tentang gerakan ini dan rahasia-rahasianya.
Dia diangkat oleh saudaranya yang bernama Ibrahim sebelum dia ditangkap oleh
pemerintahan Umawiyah pada tahun 129 H / 746 M. Tertangkapnya Ibrahim membuat
Abdullah harus berangkat ke Kufah bersama-sama dengan pengikutnya secara
rahasia. Pada masa pemerintahannya, saat pasukan Abbasiyah menguasai Khurasan
dan Irak, dia keluar dari persembunyiannya dan dibaiat sebagai Khalifah pada
tahun 132 H/ 749 M. Setelah itu dia mengalahkan Marwan bin Muhammad dan
menghancurkan pemerintahan Bani Muawyah pada tahun yang sama. Abu Abbas
Assyafah meninggal pada tahun 136 H / 753 M.
2. Abu
Ja’far Al Manshur (754-775 M)
Abu
Ja’far Al-Manshur menjabat Khalifah kedua Bani Abbasiyah menggantikan
saudaranya Abul Abbas As Saffah. Abu Ja’far Al Manshur adalah putra Muhammad
bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib yang juga saudara kandung
Ibrahim Al-Imam dan Abul Abbas As-Saffah. Ketiganya merupakan pendiri Bani
Abbasiyah. Ketika Khalifah Abul Abbas As Saffah meninggal, Abu Ja’far sedang
menunaikan ibadah haji bersama Panglima Besar Abu Muslim Al-Khurasani. Yang
pertama kali dilakukan Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur setelah dilantik menjadi
Khalifah pada 136 H/ 754 M adalah mengatur politik dan siasat pemerintahan Bani
Abbasiyah. Jalur-jalur pemerintahan ditata rapi dan cermat, sehingga pada masa
pemerintahannya terjalin kerja sama erat antara pemerintah pusat dan daerah.
Begitu juga antara qadhi (hakim) kepala polisi rahasia, kepala jawatan pajak,
dan kepalakepala dinas lainnya.
Selama
masa kepemimpinannya, kehidupan masyarakat berjalan tenteram, aman dan makmur.
Stabilitas politik dalam negeri cenderung aman dan terkendali, tidak ada
gejolak politik dan pemberontakan-pemberontakan. Menjelang pengujung 158 H,
Khalifah Abu Ja’far Al Manshur berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah
haji. Namun dalam perjalanan ia sakit lalu meninggal dunia. Ia wafat dalam usia
63 tahun dan memerintah selama 22 tahun. Jenazahnya dibawa dan dikebumikan di
Baghdad.
3. Muhammad
Al-Hadi
Muhammad
Al-Mahdi bin al-Mansur dilantik sebagai Khalifah sesuai dengan wasiat ayahnya
pada tahun 158 H/ 774 M. Dia dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan dan
pemurah. Pada masa pemerintahannya, kondisi dalam negeri saat itu sangat
stabil, dan tidak ada satu gerakan penting dan signifikan di masanya. Dia
berhasil mencapai kemenangan-kemenangan atas orang-orang Romawi. Anaknya, Harun
Ar-Rasyid adalah panglima perang dalam penaklukan ini. Dia sampai ke Pantai
Marmarah dan berhasil melakukan perjanjian damai dengan Kaisar Agustine yang
bersedia untuk membayar jizyah pada tahun 166 H/ 782 M. Muhammad Al-Mahdi meninggal
pada tahun 169 H / 785 M setelah memerintah selama 10 tahun beberapa
bulan.
4. Musa
Al-Hadi
Musa
Al-Hadi bin Muhammad Al-Mahdi yang dilantik sebagai Khalifah setelah ayahnya
wafat. Pada masa itu, terjadi pemberontakan oleh Husein bin Ali bin Husein bin
Hasan bin Ali di Makkah dan Madinah yang menginginkan agar pemerintahan berada
di tangannya. Namun, Al-Hadi mampu menaklukannya dalam perang Fakh pada tahun
169 H / 785 M. Pada saat yang sama, Yahya bin Abdullah juga melakukan
pemberontakan di Dailam. Al-Hadi memberangkatkan Ar-Rasyid sampai Yahya bin
Abdullah mampu ditaklukan. Musa Al-Hadi meninggal pada tahun 170 H / 786
M.
5. Harun
Al-Rasyid
Harun
Ar Rasyid bin al-Mahdi merupakan mutiara sejarah Bani Abbasiyah. Pada masanya
pemerintahan Islam mengalami puncak kemegahan dan kesejahteraan yang belum
pernah dicapai sebelumnya. Harun Ar-Rasyid dikenal sebagai sosok yang sangat
pemberani. Dia telah melakukan penyerbuan dan penaklukan negeri Romawi pada
saat baru berumur 20 tahun. Dia pun dikenal sebagai sosok yang takwa dan takut
kepada Allah dalam segala perkara. Pada masa pemerintahannya adalah masa yang
sangat tenang dan stabil, hanya ada beberapa pemberontakan kecil yang tidak
berarti apa apa, di antaranya adalah pemberontakan Yahya Abdullah, kaum
Khawarij, orang-orang Zindik, dan pemberontakan di Kharasan. Sebelum meninggal,
dia mewariskan kekuasaan kepada kedua anaknya, Al-Amin dan Al Makmun. Hal ini
menjadi fitnah yang bertiup kencang yang terjadi antara dua saudara ini setelah
kematiannya. Harun meninggal pada tahun 193 H / 808 M setelah memerintah selama
23 tahun.
6. Muhammad
Al-Amin
Dia
bernama Muhammad Al-Amin bin Harun Ar-Rasyid. Ayahnya telah membaiatnya sebagai
Khalifah, lalu untuk saudaranya Al Makmun, kemudian untuk Qasim. Dia diberi
kekuasaan di Irak, sedangkan Al-Makmun di Kharasan. Namun, ada salah seorang
menteri Al-Amin yang mendorongnya untuk mencopot posisi putera mahkota dari
adiknya dan memberikannya kepada anaknya yang bernama Musa. Al-Amin termakan
tipuan ini, dan Al-Amin segera memberontak. Pada tahun 195 H/ 810 M, AlAmin
mengirimkan dua pasukan untuk memerangi saudaranya, namun berhasil dihancurkan
oleh Thahir bin Husein, panglima perang Al-Makmun. Al-Amin sendiri dikenal
sebagai seorang yang suka berfoya-foya serta banyak melalaikan urusan negara.
Sehingga setelah lima tahun ia memerintah, kekhalifahannya digantikan oleh
Abdullah Al Makmun.
7. Abdullah
Al-Makmun
Dia
bernama Abdullah Al- Makmun bin Harun Ar- Rasyid. Pada masa pemerintahannya
banyak peristiwa peristiwa penting yang terjadi, pertama adalah pemberontakan
Bagdad dan penunjukkan Ibrahim Al Mahdi sebagai Khalifah, kedua Al-Khuramiyah,
dan ketiga adanya fitnah bahwa Al-Quran adalah makhluk. Penaklukan-penaklukan
pada masa pemerintahannya sangatlah terbatas. Dia hanya mampu menaklukan Laz,
sebuah tempat di Dailam pada tahun 202 H/ 817 M. Pada masanya, dia tidak
menjadikan anaknya Al- Abbas, untuk menggantikan dirinya. Dia malah mengangkat
saudaranya Al Mu’tasim karena bisa melihat bahwa Al Mu’tasim lebih memiliki
banyak kelebihan dibandingkan anaknya. Setelah berkuasa selama 20 tahun. Al
Ma’mun meninggal pada tahun 218 H/ 833 M.
8. Abu
Ishaq Al-Mu’tasim
Dia
bernama Muhammad bin Harun Ar-Rasyid diangkat khalifah setelah mendapat wasiat
dari saudaranya. Pada masa pemerintahannya, dia banyak mengangkat pasukan dari
orang orang Turki, sehingga ini sama artinya dengan meletakkan semua masalah
pemerintahan di tangan orang-orang Turki yang berlebihan. Adapun peristiwa
penting pada zaman pemerintahannya adalah gerakan Babik AlKhurami. Penaklukan
yang dilakukan oleh Abu Ishaq Al-Mu’tasim pada pemerintahannya adalah
penaklukan Al-Muriyah yang mana banyak perbuatan yang melampaui batas
kesopanan. Kemudian setelah memerintah selama 9 tahun, Abu Ishaq Al-Mu’tasim
meninggal dunia pada tahun 227 H/833 M.
9. Harun
Al-Watsiq
Dia
adalah Harun bin Muhammad Al-Mu’tasim menjadi Khalifah setelah ayahnya Al-Mu’tasim,
pada tahun 227 H/ 841 M. Panglima-panglima asal Turki pada masanya mencapai
posisi-posisi yang sangat terhormat. Bahkan, Asynas mendapatkan gelar sultan
dari Al-Watsiq. Harun Al-Watsiq meninggal pada tahun 223 H / 846 M setelah
memerintah selama 5 tahun.
10. Jakfar
Al Mutawakkil
Dia bernama Ja’far bin Muhammad Al-Mu’tasim.
Ja’far Al-Mutawakkil adalah salah seorang yang melarang dengan keras pendapat
yang mentapkan bahwa Al Quran adalah makhluk. Pada masa pemerintahannya,
orang-orang Romawi melakukan penyerangan di Dimyath, Mesir. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 238 H / 852 M. Al-Mutawakkil dibunuh oleh anaknya yang
bernama Al-Muntasir pada tahun 247 H / 861 M.
Khalifah
Abu Ja’far al-Mansur, khalifah kedua dari pemerintahan Bani Abbasiyah menetapkan
beberapa kebijakan pemerintahan Abbasiyah sebagai kontrol pemerintahan, yaitu:
a. Memindahkan
pusat kekuasaan Bani Abbasiyah dari Hasyimiyah ke Bagdad
b. Kota
Bagdad sebagai pusat kekuasaan Abbasiyah di buka menjadi kota terbuka untuk
semua peradaban dari berbagai bangsa masuk. Hal ini dilakuan oleh para khalifah
melihat pengalaman pola pengembanga budaya dan ilmu masa Bani Umayyah yang
bersifat Arab oriented, akibatnya adalah budaya dan ilmu pengetahuan menjadi
lambat berkembang.
c. Ilmu
pengetahuan dipandang sabagai suatu yang sangat mulia dan berharga. Para
khalifah adalah orang-orang yang sangat mencintai ilmu dan membuka kesempatan
ilmu pengetahuan seluasluasnya.
d. Rakyat
diberi beban berfikir serta memperoleh hak asasinya dalam segala bidang,
seperti; aqidah, ibadah, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
e. Para
menteri keturunan Persia di beri hak penuh untuk menjalankan pemerintahan
sehingga mereka memegang peranan penting dalam memajukan kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.
f. Berkat
usaha khalifah Abbasiyah yang sungguh-sungguh dalam membangun ekonomi Islam,
pemerintah Abbasiyah memiliki perbendaharaan harta yang cukup melimpah di baitu
maal hasil rampasan perang dari kemenangan perang.
g. Dalam
pengembangan ilmu pengetahuan para khalifah banyak yang mendukug perkembangan
ilmu pengetahuan, sehingga banyak buku-buku yang dikarang oleh ilmuan dalam
lembaga-lembaga ilmu pengetahuan yang dibangun untuk memfasilitasi kegiatan
masyarakat dalam menimbah ilmu pengetahuan.
h. Masyarakat
dapat dibagi menjadi dua kelompok besar.
Kelompok
pertama, kelompok khalifah, terdiri dari khalifah dan keluarga, para pembesar
dan pekerja yang bekerja di istana. Mereka diberi penginapan di dalam wilayah
istana (Daarul Khalifah).
Kelompok
kedua, kelompok masyarakat umum, yang terdiri para guru, ulama, petani, buruh,
filosof dan masyarakat pada umumnya.
Tujuan
dari pembagian tersebut adalah agar pembagian tugas menjadi jelas, bukan justru
untuk membuat jarak antara sesama masyarakat Islam atau antara masyarakat Islam
dengan masyarakat non Islam. Meskipun demikian, kenyataannya terdapat dikotomi
dalam masyarakat Islam Abbasiyah antara para pembesar dengan masyarakat umum.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241948329
Kebijakan-kebijakan
tersebut oleh para pakar sejarah dipandang mampu meciptakan suasana belajar
yang kondusif, memotivasi masyarakat Abbasiyah untuk belajar dengan
sungguh-sungguh, dan mampu membentuk budaya belajar dengan sesungguhnya bagi
masyarakat Abbasiyah pada umumnya.
Selama
beberapa dekade pasca berdirinya pada tahun 132H/750M, Dinasti Abbasiyah
berhasil melakukan konsolidasi internal dan memperkuat kontrol atas
wilayah-wilayah yang mereka kuasai. Era kepemimpinan Khalifah kedua, Abū Ja`far
bin `Abdullāh bin Muhamad Al-Mansūr (137-158H/754775M), menjadi titik yang
cukup krusial dalam proses stabilisasi kekuasaan ini ketika ia mengambil dua
langkah besar dalam sejarah kepemimpinannya. Pertama, menyingkirkan para musuh
maupun bakal calon musuh serta menumpas sejumlah perlawanan lokal di beberapa
wilayah kedaulatan Abbasiyah. Kedua, meninggalkan Al-Anbār dan membangun
Baghdad sebagai ibukota baru, yang beberapa saat kemudian menjadi fokus
aktivitas ekonomi, budaya dan keilmuan dunia Muslim saat itu.
Gerakan
penerjemahan yang kemudian menjadi salah satu ’ikon’ kemajuan peradaban
Abbasiyah juga tidak lepas dari peranan Al-Mansūr sebagai Khalifah pertama yang
mempelopori gerakan penerjemahan sejumlah buku-buku kuno warisan peradaban
pra-Islam. Demikian dengan gerakan pembukuan (tasnīf) dan kodifikasi (tadwīn)
ilmu tafsir, hadis, fikih, sastra serta sejarah mengalami perkembangan cukup
signifikan di era Al-Mansūr pula. Konon, sebelum masa itu, para pelajar dan
ulama dalam melakukan aktivitas keilmuan hanya menggunakan lembaran-lembaran
yang belum tersusun rapi, sehingga tidak mengherankan jika Al-Qanūji secara
tegas menyebut Al-Mansur sebagai Khalifah pertama yang memberikan perhatian
besar terhadap ilmu-ilmu kuno pra-Islam, setelah sebelumnya terabaikan oleh
para Khalifah Bani Umayyah.
Ada
beberapa faktor kemajuan peradaban Dinasti Bani Abbasiyah. Faktor politik,
antara lain: (1) Pindahnya ibu kota negara dari al-Hasyimiyah ke Bagdad yang
dilakukan oleh Khalifah al-Mansyur. (2) Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi
pegawai pemerintah dan pegawai istana, dan (3) Diakuinya Mu’tazilah sebagai
mazhab resmi negara pada masa al-Makmun pada tahun 827 M. Faktor Sosiografi,
antara lain: (1) Meningkatnya kemakmuran umat Islam. (2) Luasnya wilayah
kekuasaan Islam menyebabkan banyak orang Romawi dan Persia yang masuk Islam dan
kemudian menjadi Muslim yang taat. (3) Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab
dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang
ilmu pengetahuan. (4) Adanya gerakan penerjemahan buku filsafat dan ilmu dari
peradaban Yunani dalam Bait al-Hikmah sehingga menjelma sebagai pusat kegiatan
intelektual.
Kemajuan
dinasti Abasiyyah dalam bidang agama, filsafat dan sains tidak bisa dilepaskan
dari keberadaan kota Baghdad sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
Baghdad adalah sebuah kota yang didirikan atas inisiatif al-Mansur yang
terletak di sebelah barat sungai Tigris dikerjakan selama empat tahun oleh 100
ribu karyawan dan arsitektur dengan biaya 4000,833 dirham. Kemajuan Islam zaman
Abasiyyah ini banyak dirintis oleh khalifah Ma’mun (813-833 H) dengan
mendirikan pusat kerajaan ilmu pengatahuan dan teknologi dengan nama “Darul
Hikmah”. Darul Hikmah ini di samping pusat kerajinan juga sebagai pusat
perpustakaan dan kantor penterjemahan ilmu-ilmu non Arab ke dalam bahasa Arab,
seperti filsafat Yunani, ilmu-ilmu Barat. Darul Hikmah membuat sekitar satu juta
buku ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam penterjemahan dipimpin oleh seorang
ilmuwan yang bernama Hunain bin Ishaq (809-973 H). di bawah pimpinan Hunain bin
Ishaq inilah banyak dihasilkan buku-buku penting yang sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab yang meliputi ilmu Kimia, Matematika, Filsafat Yunani,
Astronomi dll.
Khalifah
al Makmun sangat berbeda filosofi hidupnya dengan para khalifah Abbasiyah pada
umumnya, juga berbeda dengan kakaknya al Amin bin Harun al Rasyid yang suka
berpesta pora. Al Makmun cenderung lebih memperhatikan jalannya pemerintahan
dan pembangunan negara, termasuk kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, ketimbang bersukaria dengan pesta pora, minuman keras dan hasrat
terhadap sesama jenis (Farag Faudah, 2008: 167).
Keterbukaan
dalam pemerintahan Abbasiyah, khususnya masa khalifah al Makmun sungguhsungguh
nyata. Banyak juru tulis tersebar dalam birokrasi adalah orang Khurosan,
kelompok Kristen Nestorian. Kelompok minoritas, seperti Yahudi, banyak terlibat
dalam urusan perpajakan dan perbankan. Keluarga-keluarga muslim Syi’ah juga
berpengaruh terhadap kebijakan politik khalifah (Ira M. Lapidus, 1999: 108).
Sebagai contoh al Makmun berusaha mendekati tokoh aliran Syi’ah pada saat itu
dengan cara menikahi salah satu putri imam Ali al Ridlo, Imam Syi’ah kedelapan
dan menyebut Ali al Ridla sebagai pewaris kekhalifahan sesudahnya (Keren
Armstrong, 2002: 89). Sebagai penganut Mu’tazilah al Makmun sangat gemar ilmu
pngetahuan dan filsafat, hal ini merupakan salah satu faKtor yang mampu
menggerakkan umat Islam untuk kemajuan ilmu Pengetahuan dan teknologi dengan
pesat. Berdasar uraian tersebut nampaknya al Makmun memiliki filosofi
pluralistis dalam berbangsa dan bernegara, sehingga tak membedakan suku, agama,
ras dan aliran (SARA).
Adapun
faham keagamaan khalifah al Makmun adalah pengikut aliran Mu’tazilah dalam
persolan ilmu Kalam. Sebagai sorang intelektual dan negarawan, al Makmun hampir
tanpa cela. Seandainya ia tidak terseret yang terlalu dalam terhadap
rasionalitas Mu’tazilah dan menjadikannya sebagai faham resmi dalam kenegaraan
pada tahun 212 H/827 M serta membuka sikap fanatisme aliran yang kemudian
membawa dampak adanya peristiwa yang dikenal dengan Mihnah al Qur’an yang pada
prakteknya memeriksa batin seseorang mengakui kemakhluqan al Qu’an atau tidak.
Jika tidak maka akan di hukum berat, praktek inkuisisi ini muncul dimana-mana,
dan faham Mu’tazilah ini ditentang oleh Aliran ahli hadits yang di komendani
Ahmad bin Hambal (Faisal Isma’il, 2010: 244-245).
Dalam
upaya memajukan pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan al Makmun
menetapkan kebijakan politik pendidikan sebagaimana digambarkan oleh Philip K.
Hitti secara panjang lebar, tetapi secara singkat bisa kita paparkan sebagai
berikut.
a.
Al-Makmun sangat menghormati para ahli
ilmu baik agama maupun umum termasuk para filosuf, sekalipun tidak seperti
ayahnya Harun al Rasyid;
b.
Mendirikan Perpustakaan Baitul hikmah yang
di dalamnya orang bisa membaca menulis dan berdiskusi;
c.
Cabang-cabang ilmu keislaman muncul dan
berkembang pada masa ini, seperti: 'ulumul Qur'an, Ilmu Qira'at, ilmu Hadits,
Ilmu kalam, dan lainnya termasuk muncul dan berkembangnya Fiqih dan ushul Fiqih
dalam empat madzhab semacam imam Syafi'I (150 H- 204 H);
d.
Ilmu pengetahuan umum juga berkembang,
seperti: filsafat, matematika, ilmu alam, metafisika, geometri, al Jabar,
aritmatika, astronomi, kedokteran, kimia, dan musik;
e.
Penterjemahan buku-buku yang berisi
tentang Ilmu pengetahuan dari bahasa Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa
Arab.
Ilmuwan Muslim (sumber:
www.republika.co.id)
Setelah
kebijakan Khalifah al Makmun dengan mengembangkan Ilmu, di tengah masyarakat
muncul dan berkembang tempat-tempat pendidikan, termasuk lembaga pendidikan
yang tadinya sudah berdiri antara lain:
1)
Buyut al Muslimin, termasuk Darul Arqom di
Makkah ketika Nabi Muhammad SAW, memulai pendidikan para sahabat, juga Buyut al
Ulama.
2)
Suffah sebagian ruang di masjid
3)
Al Kuttab yaitu tempat pendidikan tingkat
pemula
4)
Masjid dengan sistem Halaqah
5)
Madrasah
6)
Al Ribath yaitu lembaga pendidikan yang
didirikan oleh para guru thariqoh
7)
Al Zawiyah merupakan tempat pengajaran
spiritual dengan memanfaatkan sebagian dari pinggiran masjid
8)
Al Maristan yaitu rumah sakit untuk
merawat dan mengobati orang-orang yang mengidap penyakit kronis, seperti buta
dan kusta.
9)
Al qushr (Istana) yaitu lembaga pendidikan
yang secara khusus untuk mendidik para putra pejabat pemerintah
10)
Al Hawanith al Wariqin yaitu toko buku
yang juga berfungsi tempat pembelajaran
11)
Al Shalun Adabiyah atau sanggar sastra
yaitu tempat yang disediakan oleh Knalifah untuk membicarakan berbagai masalah
penting dengan cara mengundang para Ulama
12)
Al Badiyah yaitu lembaga pendidikan yang
secara khusus mengajarkan bahasa Arab kuno.
13)
Observatorium yaitu lembaga pendidikan
untuk penelitian dan percobaan
14)
Al Maktabah
Berangkat
dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa al Makmun termasuk salah satu
Khalifah Abbasiyah yang cenderung berkarakter baik, memikirkan kemajuan
kekhalifahan Islam, kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat serta mampu
menghindari perilaku yang bertentangan dengan syari’at Islam. Barangkali
satu-satunya keteledoran al Makmun adalah memaksakan pendapat kepada umat Islam
dengan mengikuti salah satu aliansi faham tentang al Qur’an yaitu faham
Mu’tazilah (Ghani, 2015).
Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605887058
Berikut
ini beberapa zaman keemasan dari Bani Abbasiyah:
1. Kemajuan
Ilmu-Ilmu Agama
Masa
Abbasiyah dikenal sebagai era keemasan ilmu pengetahuan dan Agama. Ilmu-ilmu
agama berkembang dengan subur dan diiringi oleh kemunculan tokoh-tokoh agama
yang berpengaruh sampai sekarang ini.
a. Ilmu
Tafsir
Ilmu
Tafsir pada masa ini berkembang pesat karena sangat dibutuhkan, terutama oleh
orangorang non Arab yang baru masuk Islam. Mereka membutuhkan makna dan
penafsiran al-Qur’an. Hal inilah yang kemudian menyebabkan munculnya beberapa
aliran dalam ilmu tafsir. Penafsiran Al Qur’an pun berkembang tidak hanya
dengan penafsiran makna, tetapi juga penafsiran “Bil al Ma’sur dan “Bi al
Ro’yi”. Pemerintahan Abasiyyah yang pertama menyusun tafsir dan memisahkan
antara Tafsir dengan Hadis. Sebelum itu kaum Muslimin menafsirkan Qur’an
melalui hadis-hadis Nabi, keterangan para sahabat, tabi’in. Di antara karya
besar tafsir adalah Al-Farra’, yang merupakan karya Tafsir pertama yang
disesuaikan dengan sistematika Al Qur’an. Kemudian muncul At Tabari yang
menghimpun kumpulan-kumpulan tafsir dari tokoh sebelumnya. Kemudian muncul
golongan Ulama’ yang menafsirkan Al Qur’an secara rasional, seperti Tafsir Al
Jahiz. Ahli tafsir terkemuka yang muncul pada masa Abbasiyah adalah Abu Yunus
Abdus Salam Al Qozwani yang merupakan salah satu penganut aliran Tafsir bi al
Ra’yi. Sedangkan yang muncul dari aliran Tafsir Bi Al Aqli adalah Amar Ibnu
Muhammad al-Khawarizmi, Amir al-Hasan bin Sahl.
Selanjutnya
muncul beragam metode penafsiran Alquran dengan berbagai ragamnya,
sepertimetode Tafsir bi al-Ma’tsur. Metode ini fokus pada riwayat-riwayat yang
sahih, baik menggunakan ayat dengan ayat, hadis, dan perkataan sahabat atau
tabiin. Ada beberapa tokoh yang dikenal mempoulerkan metode ini.
1) Imam
at-Thabari (wafat: 923 M/310 H), karyanya adalah Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ayy
al-Qur’an, yang menjadi rujukan para ulama pada masa berikutnya, seperti
al-Baghawi, as-Suyuthi, dan Ibnu Katsir.
2) Ibnu
Katsir (wafat: 1372 M), karyanya adalah Tafsir al-Qurad al-Azhim. Dikenal juga
sebagai seorang sejarawan dengan karya terkenalnya, al-Bidayah wa an-Nihayah.
3) As-Suyuthi
(lahir: 1445 M), karyanya adalah ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur.
Karya lain dalam bidang al-Qur’an adalah al-Itqan fi ‘Ulum al-Alquran.
b. Ilmu
Hadis
Pada
masa ini kajian hadis sebagai sumber hukum setelah Al Qur’an berkembang dengan
cara menelusuri keontentikkan (shohih) Hadis. Hal inilah yang mengilhami
terbentuknya ilmu-ilmu Jarhi wa Ta’di dan ilmu Mustalahul Hadis, sehingga para
ulama hadis berhasil mengkodifikasi hadis ke dalam kitab secara teratur dan sistemik.
Pada masa sebelumnya belum ada pembukuan hadis secara formal seperti Al Qur’an.
Oleh karena itu, sejarawan menganggap masa pembukuan hadis secara sistemik
dimulai pada zaman Daulah Abbasiyah. Penggolongan Hadis dari aspek
periwayatannya, sanad, matan yang akhirnya bisa diketahui apakah Hadis itu
shahih, hasan, dhoif, juga terjadi pada masa Abasiyyah. Di antara kitab-kitab
Hadis yang berhasil disusun adalah kitab Hadis “Kutub as-Sittah”, yang disusun
oleh enam ulama’ Hadis, Imam Muslim (wafat 261 H), Imam Bukhori (wafat 256 H),
Imam Turmudzi (wafat 279 H), Ibnu Majjah (wafat 273 H), Imam Nasa’i (wafat 303
H), Abu Daud (wafat 275 H).
c. Ilmu
Kalam
Pada
masa al-Ma’mun dan Harun al-Rasyid, ilmu kalam (teologi) mendapat tempat yang
luas, bahkan sangat mempengaruhi keadaan pemerintahan saat itu. Seperti aliran
Mu’tazilah dijadikan aliran resmi pemerintah Bani Abbas. Peran ilmu kalam pada
saat itu sangat besar untuk membela Islam dari paham-paham Yahudi dan Nasrani.
Jadi ilmu kalam tidak semata mengembangkan pemikiran agama tetapi mengembangkan
juga pemikiran sosial, politik, dan mengembangkan pemikiran umat agar tidak
statis, baik bidang agama maupun bidang kemasyarakatan. Para teolog fokus pada
bidang aqidah sebagai obyek bahasan, seperti keesaan Tuhan, sifat-sifat, dan
perbuatan Tuhan. Di antara teolog yang terkenal ialah Abu Huzail al-Allaf
(wafat 235 H), An-Nazzam (wafat 835 H), Bisri Ibnu Mu’tamir, Abu Ishaq Ibrahim
dan Amru bin Ubaid.
d. Ilmu
Fiqh
Di
antara kebanggaan pemerintahan Abasiyyah adalah adanya empat ulama’ Fiqh yang
terkenal pada saat itu sampai sekarang ini, yaitu Imam Abu Hanifah (wafat 129
H, Imam Malik (wafat 179 H), Imam Syafi’i (wafat 204 H) dan Imam Ahmad bin
Hambal (wafat 241 H). Pada masa ini berkembang dua cara dalam mengambil hukum
fiqih, yaitu: (1) Ahl al-Hadis, aliran yang berpegang teguh pada nash-nash Al
Qur’an dan Hadis, mereka menghendaki hukum yang asli dari Rasulillah dan
menolak hukum menurut akal. Pemuka aliran ini adalah Imam Malik, Imam Syafi’i
dan pengikut Sufyan As Sauri. (2) Ahl al-Ra’yi, aliran yang menggunakan akal
pikiran dalam mengistimbatkan hukum, di samping memakai al-Qur’an dan Hadis.
Aliran ini dipelopori oleh Imam Abu Hanifah dan Fuqaha’ Irak. Dari sini kita
bisa melihat bahwa pemikiran umat Islam pada saat itu sangat maju sekali,
dengan bukti lahirnya ulama’ terkenal dan kirab-kitab termashur, seperti
Al-Muwatta’, Al-Kharaj, dan Al-Mustasfa.
e. Ilmu
Tasawuf
Di
samping ilmu Fiqh, pada masa Abbasiyah juga muncul dan berkembang ilmu Tasawuf.
Ilmu ini telah memberi pengaruh yang besar bagi kebudayaan Islam. Perkembangan
ilmu ini dimulai dari perkumpulan-perkumpulan tak resmi dan diskusi keagamaan
(halaqah) dan latihan spiritual dengan membaca dzikir berulang-ulang. Hal ini
berlangsung di mana-mana khususnya di masjid, kemudian menjadi konsep-konsep
spiritual yang diberi nama Tasawuf yang berkembang sampai abad 9 Hijriyah. Ilmu
ini menyebar di penjuru negeri Islam di wilayah Abasiyyah yang dibawa oleh para
sufi-sufi terkemuka, seperti: (1) Abu Kasim Abdul Karim bin Hawzin al Qusairi
(wafat 465 H), kitabnya yang terkenal adalah Ar-Risalah al-Qusyairiyah. (2) Abu
Haffas Umar bin Muhammad Sahabuddin (wafat 632 H), kitabnya yang terkanal
adalah Awariful Ma’arif. (3) Imam al Ghazali (wafat 502 H), kitabnya yang
terkenal adalah Ihya’Ulumuddin yang memuat gabungan antara ilmu tasawwuf dan
ilmu kemasyarakatan.
2. Kemajuan
Filsafat dan Sains
Pada
masa Abasiyyah ilmu pengetahuan telah mengalami perkembangan dan kemajuan yang
pesat. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran khalifahnya yang mendukung
kemajuan itu. Faktor yang paling menonjol dari perkembangan ini adalah dengan
dikembangkannya penterjemahan kitab-kitab non Arab ke dalam bahasa Arab yang
telah dirintis oleh khalifah Ja’far al-Mansur. Dengan memperkerjakan para ahli
terjemah, di antaranya Fade Naubakt, Abdullah bin Muaqaffa’, yang pada akhirnya
ilmu-ilmu dari Barat bisa dipahami oleh masyarakat umum.
lustrasi
ilmuwan Muslim saat mengembangkan sains dan teknologi pada era Dinasti
Abbasiyah di Baghdad (sumber: www.republika.co.id) Pada masa Harun al Rasyid
juga dikembangkan suatu lembaga yang mengkaji dan mengembangkan pengetahuan
yang dinamakan “Khizanat al-Hikmah” yang kemudian pada masa Al Ma’mun
dikembangkan lagi menjadi “Bait Hikmah”, dan kemudian dikembangkan lagi menjadi
“Darul Hikmah”, yang meliputi: perpustakaan, pusat penterjemahan, dan
observatorium bintang.
a. Filsafat
dan Perkembangannya Zaman Abasiyyah
Filsafat
berkembang pesat pada Daulah Abasiyyah terutama pada masa Al Ma’mun dan Harun
Ar Rasyid karena pada saat itu kitab-kitab filsafat, khususnya Yunani, sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Para ilmuwan muslim tidak mengambil
gilsafat Yunani secara keseluruhan, akan tetapi mengadakan perubahan dengan
disesuaikan dengan ajaran Islam, sehingga menjadi filsafat Islam. Mengenai pengambilan
filsafat Yunani, Montotgomery Watt mengatakan “bahwa Filsafat tidak akan hidup
hanya dengan menterjemahkan dan mengulang-ulang pemikirannya orang lain, tetapi
menterjemahkan filsafat hanya bisa dilakukan kalau sudah ada dasar pemikiran
dari bahasa itu”. Jadi, pengambilan filsafat Yunani dari menterjemah hanya
dijadikan perbandingan dan rujukan para Filusuf Islam untuk menciptakan
filsafat yang bernafas Islam, tetapi ada sebagian yang mengambil dan dirubah
sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam.
Secara
umum dalam bidang filsafat orang-orang Islam masih banyak mengambil dari
filsafat Yunani, seperti filsafat Greek dan Coptic. Hal ini bagi umat Islam
saat itu merupakan kepentingan yang utama (tracending importance). Pengambilan
ini hanya berupa ide-ide, yang dilakukan pertama kali pada masa Al-Ma’mun,
seperti Al-Kindi, Ibn Sinah, Ibnu Rush yang masih mengambil ide dari
Aristoteles. Tokoh-tokoh penting dalam bidang filsafat antara lain: (1) Abu
Yusuf bin Ishaq Al Kindi (wafat 873 M), dikenal sebagai Filusuf Arab yang
memperkenalkan filsafat Yunani di kalangan kaum muslimin. Ajarannya tentang
filsafat adalah bahwa antara agama dan filsafat sama-sama menghendaki
kebenaran; agama menempuhnya melalui syari’at, sedangkan filsafat melalui
pembuktian rasio. (2) Ibnu Sina (Aviccena) lahir tahun 980 M di Buchoro. Dalam
ilmu filsafat beliau banyak mengarang buku, diantaranya As Sifa’, Al Isryara,
Ti’su Rasail fil Hikmah, yang sebagian besar memuat hubungan agama dengan
filsafat. (3) Al Farabi, lahir di Turkistan tahun 870 M. Beliau berguru di
Baghdad untuk mempelajari Sains dan Filsafat. Beliau juga banyak belajar dari
guru Kristen. Filsafat Al Farabi ini merupakan bentuk dari “Neoplatonisme” yang
disesuaikan dengan dokrin Islam. Seperti halnya filsafat, politiknya Al Farabi
banyak mengambil dari Replubic and Law-nya Plato. (4) Ibnu Rush (Averoush)
(Wafat 594 H). Dalam hal filsafat beliau banyak mengambil dari ide-ide
Aristoteles, dia banyak mengulas hubungan antara Filsafat dan Syari’at.
Penting
juga dicatat dalam perkembangan filsafat ini adalah munculnya golongan rahasia
(Jamiatus Sirriyah) yang bernama “Ihwan As-Safa” yang bergerak dalam ilmu
pengetahuan, khususnya Filsafat. Ihwan As-Safa menyusun kitab “Rasail
Ihwanussafa” yang terdiri dari 51 buku. Rasail ini memuat kumpulan filsafat
Islam, yang meliputi: Maujudat, asal usul alam, rahasia alam dll.
Kebanyakan
anggota Ihwan As-Safa ini adalah orang aliran Mu’tazilah dan Syi’ah yang
ekstrem. Tokohnya adalah Abul Alla’al Ma’arri dan Ibnu Hayyan at Tauhidi, Ibnu
Zanji. Dalam bidang sejarah, ulama yang
terkenal antara lain: Ibnu Ishaq, binu Hisyam, al-Waqidi, Ibnu Qutaibah,
al-Thabari dan lain-lain. Dalam bidang ilmu bumi atau geografi ulama yang
terkenal: alYakubi dengan karyanya al-Buldan, Ibnu Kharzabah dengan bukunya
al-Mawalik wa al-Mawalik dan Hisyam al-Kalbi, yang terkenal pada abad ke-9 M,
khususnya dalam studinya mengenai bidang kawasan Arab.
b. Kemajuan
Sains dan Tekonologi
Dalam
bidang sains dan teknologi, orang-orang Arab masih kalah dengan orang Yunani.
Sains dan Filsafat terbentuk atas rangsangan buku terjemahan dari orang Yunani.
Kemudian perkembangan ilmu pengetahuan (Sains) ditandai dengan berdirinya
Universitas-universitas Islam di Iraq dan Baghdad. baru setelah itu banyak
penemuan-penemuan penting tentang sains dan teknologi yang akan dibahas di
bawah ini:
1) Ilmu
Kedokteran
Ilmu
Kedokteran tumbuh dan berkembang pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid abad 9 M.
Hal ini ditandai dengan berdirinya rumah sakit yang didirikan oleh Harun
Al-Rasyid dan selanjutnya berkembang menjadi 34 Rumah Sakit Islam. Rumah sakit
ini dilengkapi dengan ruangan khusus wanita, apotik, dan yang terpenting adalah
di setiap rumah sakit dilengkapi dengan perpustakaan media serta tempat-tempat
kursus kedokteran dan pengobatan. Pada masa ini juga dibentuk klinik-klinik
keliling yang melayani pengobatan di penjuru negeri, khususnya untuk
orang-orang tak mampu.
Dalam
ilmu kedokteran, Ulama’ yang terkenal dengan zaman ini adalah Ar-Razi dan Ibnu
Sinah. Ar-Razi dikenal sebagai ahli kedokteran Islam yang cakap dan ahli kimia
terbesar abad pertengahan. Beliau juga dienal sebagai penemu benang Fontanel
yang berguna untuk menjahit luka akibat pembedahan dan sebagainya. Roger Bacon
seorang ilmuwan Barat menterjemahkan kitab Ar-Razi yang berjudul “Kitab
Rahasia” ke dalam bahasanya, dengan judul “De Spiritibu Et Corporibus” yang di
dalamnya memuat penanggulangan penyakit cacar dan penyakit campak. Kitab
Ar-Razi yang lain adalah “Al Hawi” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
dengan nama “Contineus”, yang dijadikan rujukan oleh kedokteran Barat sampai
tahun 1779 H. Sepeninggal Ar-Razi kegemilangan ilmu kedokteran diteruskan oleh
Ibnu Sinah, kitabnya yang terkenal adalah “As Sifa” (Canon of Medicine), yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin Inggris. Buku ini mendominasi pengajaran di
Universitas di Eropa, paling tidak sampai abad ke-15. Kemudian muncul ulama’
ahli bedah yang bernama Abul Qosim Az Zahrawi, yang dalam bahasa latin disebut
Abul Casis (wafat 1009 M). Jadi kemajuan kedokteran pada masa Abbasiyyah inilah
yang mengilhami kemajuan ilmu kedokteran barat sekarang ini. Bahkan,
kitab-kitab Ibnu Sinah sampai sekarang masih dikaji di Universitas di Eropa.
2) Ilmu
Kimia
Dalam
bidang ilmu Kimia, ilmuwan yang terkenal adalah Jabir Ibnu Hayyam, yang diberi
gelar “Bapa Ilmu Kimia Arab”. Dia banyak mengemukakan teori uap, pelelehan, dan
sublimasi. Dalam teorinya, Jabir bin Hayyan mengatakan bahwa logam seperti
timah putih atau hitam, besi dan tembaga bisa dirubah menjadi emas atau perak
dengan menggunakan zat rahasia hingga pada sampai akhir hayatnya beliau masih
melakukan eksperimen tentang hal ini. Jabir bin Hayyan merupakan perintis
exprerimen pertama dalam dunia Islam. Di antara eksperimennya yang kemudian
menjadi teori adalah: Teori Sublimasi, teori pengasaman, teori penyulingan,
teori penguapan, teori pelelehan, dan beliau juga dikenal dengan penemu Karbit.
Dari penemuan-penemuan teori baru inilah, kemakmuran dan kesejahteraan semakin
bertambah baik, hasil-hasil eksperimen diterapkan pada kehidupan masyarakat.
3) Ilmu
Astronomi
Ilmu
Astronomi pada mulanya dipakai untuk menentukan arah kiblat. Pada
perkembangannya ilmu ini dipakai para pedagang, para pelaut dan para tentara
untuk menyebarkan agama di luar negeri. Ulama’ yang ahli dalam ilmu astronomi
adalah Al- Khawarizmi (wafat 846). Beliau banyak membuat tabel-tabel tentang
letak negara, peta dunia, penetapan bujur-bujur panjang semua tempat di muka bumi
ini, sekaligus mengukur jarak antara negara satu dengan negara yang lain. Teori
ini dikumpulkan kemudian disebarkan di masyarakat.
Dengan
ilmu Astronomi, sekitar abad ke 7–9 H. para pedagang muslim sudah sampai di
negeri Tiongkok melalui laut, mendarat di pulau Zanzubar, pesisir Afrika,
bahkan sampai pada negeri Rusia. Selain Al-Kawariszimi, ada ulama’ yang bernama
Ibnu Kardabah yang banyak menemukan teori perbintangan dan ilmu Falak. Ibnu
kardabah juga banyak menulis buku tentang Astronomi, diantaranya Al-Mashalih
wal Mawalik, Al-Buldan, Al Jihani dan Al Muhtasar. Dengan ditemukannya ilmu
Astronomi, umat Islam bisa menjual hasil pertaniannya dan kerajinannya ke
negeri Tiongkok, Zanzibar, sekaligus mendatangkan hasil karya dari negeri lain
untuk dijual di negeri Islam. Pemerintahan Abasiyyah semakin kaya karena setiap
hasil perdagangan (ekspor/Impor) dikenakan pajak untuk negara, kemudian oleh
negara disalurkan pada rakyat yang miskin.
4) Ilmu
Matematika
Dalam
ilmu ini orang Arab (Islam) memberikan sumbangan yang besar sekali bagi
peradaban manusia dengan menemukan “Angka Arab“, seperti yang kita pakai sampai
sekarang (123456789). Orang-orang Islam di bawah pimpinan Ibnu Haitam dan
Al-Khawarizimi membuat teori matematika, di antaranya adalah teori Al-Jabar,
cara menghitung akar kuadrat dan desimal. Pada perkembangan selanjutnya Ibnu
Haitam berhasil menemukan ilmu untuk mengukur sudut, yang diberi nama
Trigonometri. Di samping ilmu-ilmu yang sudah diterangkan tersebut, masih ada
beberapa ilmu yang ditemukan tetapi belum banyak berkambang pada masa
Abbasiyyah ini. Penemuan-penemuan ilmu ini masih belum dibukukan secara
sistematik, ilmu-ilmu itu adalah ilmu fisikis (Botani), ilmu Fisika, ilmu
Geografi dan ilmu Sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar