Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Kamis, 18 Juli 2019

PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN MASA ABBASIYAH




Perkembangan kebudayaan pada masa Bani Abbasiyah

Bani Abbasiyah lahir tahun 750 M. Nama Abbasiyah yang dipakai untuk nama bani ini adalah di ambil dari nama bapak pendiri Abbasiyah yaitu Abas bin Abdul Mutalib paman Nabi Muhammad Saw. Proses lahirnya Abbasiyah di mulai dari kemenangan Abu Abbas Assafah dalam sebuah perang terbuka (al-Zab) melawan khalifah Bani Umayyah yang terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Abu Abbas diberi gelar Assafah karena dia pemberani dan mampu memainkan mata pedangnya kepada lawan politiknya. Semua lawan politiknya di perangi dan di kejar-kejar, diusir keluar dari wilayah kekuasaan Abbasiyah yang baru direbut dari Bani Umayyah di Damaskus. 

Proses pengembangan peradaban yang dibangun Bani Abbasiyah begitu cepat membawa perubahan besar bagi perkembangan peradaban ilmu pengetahuan selanjutnya. Bani Abbasiyah eksis selama 505 tahun dan diperintah oleh 37 khalifah dengan mampu menciptakan peradaban yang menjadi kiblat dunia pada saat itu, peradaban yang dikenang sepanjang masa. Pada waktu itu suasana belajar kondusif, fasilitas belajar disediakan pemerintah dengan lengkap. Motivasi belajar menjadi pendorong gairahnya masyarakat untuk belajar. Masyarakat mendatangi tempat-tempat belajar seperti kuttab dan madrasah maupun perguruan tinggi seperti universitas. Universitas yang terkenal pada saat itu adalah Nizamiyah yang dibangun oleh perdana menteri Nizamul Muluk dari khalifah Harun al- Rasyid. Khalifah Harun al-Rasyid terkenal sebagai khalifah yang sangat cinta pada ilmu pengetahuan, baik belajar maupun dalam hal membangun fasilitas belajar, seperti: sekolah, perpustakaan, menyediakan guru dan membentuk gerakan terjemahan.

Abu Abbas Assafah sebagai pendiri Bani Abbasiyah memiliki masa kepemimpinan yang sangat singkat. Hanya 4 tahun beliau memerintah, akan tetapi mampu menciptakan suasana dan kondisi
 
Abbasiyah yang seteril dari keturunan Bani Umayyah sebagai lawan politik yang baru di kalahkan dan dikuasainya. Sikap tegas dan berani yang ditunjukkan oleh Khalifah Abu Abas Assafah ketika membuat kebijakan memberantas semua keturunan Umayyah dari wilayah yang dikuasainya. Dampak dari kebijakan tersebut dapat dilihat dari suasana pusat wilayah dan rakyat Abbasiyah yang baru menjadi lebih kondusif dan perkembangan peradaban dapat dikendalikan oleh Khalifah Abu Abbas Assafah.

Berikut merupakan khalifah-khalifah yang memimpin Bani Abbasiyah:

1.     Abul Abbas As Saffah (750-754 M) 
Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas merupakan Khalifah pertama pemerintahan Abbasiyah. Ayahnya adalah orang yang melakukan gerakan untuk mendirikan pemerintahan Bani Abbasiyah dan menyebarkan kemana-mana. Inilah yang membuat Abdullah banyak mengetahui tentang gerakan ini dan rahasia-rahasianya. Dia diangkat oleh saudaranya yang bernama Ibrahim sebelum dia ditangkap oleh pemerintahan Umawiyah pada tahun 129 H / 746 M. Tertangkapnya Ibrahim membuat Abdullah harus berangkat ke Kufah bersama-sama dengan pengikutnya secara rahasia. Pada masa pemerintahannya, saat pasukan Abbasiyah menguasai Khurasan dan Irak, dia keluar dari persembunyiannya dan dibaiat sebagai Khalifah pada tahun 132 H/ 749 M. Setelah itu dia mengalahkan Marwan bin Muhammad dan menghancurkan pemerintahan Bani Muawyah pada tahun yang sama. Abu Abbas Assyafah meninggal pada tahun 136 H / 753 M. 

2.     Abu Ja’far Al Manshur (754-775 M) 
Abu Ja’far Al-Manshur menjabat Khalifah kedua Bani Abbasiyah menggantikan saudaranya Abul Abbas As Saffah. Abu Ja’far Al Manshur adalah putra Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib yang juga saudara kandung Ibrahim Al-Imam dan Abul Abbas As-Saffah. Ketiganya merupakan pendiri Bani Abbasiyah. Ketika Khalifah Abul Abbas As Saffah meninggal, Abu Ja’far sedang menunaikan ibadah haji bersama Panglima Besar Abu Muslim Al-Khurasani. Yang pertama kali dilakukan Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur setelah dilantik menjadi Khalifah pada 136 H/ 754 M adalah mengatur politik dan siasat pemerintahan Bani Abbasiyah. Jalur-jalur pemerintahan ditata rapi dan cermat, sehingga pada masa pemerintahannya terjalin kerja sama erat antara pemerintah pusat dan daerah. Begitu juga antara qadhi (hakim) kepala polisi rahasia, kepala jawatan pajak, dan kepalakepala dinas lainnya. 
Selama masa kepemimpinannya, kehidupan masyarakat berjalan tenteram, aman dan makmur. Stabilitas politik dalam negeri cenderung aman dan terkendali, tidak ada gejolak politik dan pemberontakan-pemberontakan. Menjelang pengujung 158 H, Khalifah Abu Ja’far Al Manshur berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Namun dalam perjalanan ia sakit lalu meninggal dunia. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan memerintah selama 22 tahun. Jenazahnya dibawa dan dikebumikan di Baghdad.

3.     Muhammad Al-Hadi 
Muhammad Al-Mahdi bin al-Mansur dilantik sebagai Khalifah sesuai dengan wasiat ayahnya pada tahun 158 H/ 774 M. Dia dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan dan pemurah. Pada masa pemerintahannya, kondisi dalam negeri saat itu sangat stabil, dan tidak ada satu gerakan penting dan signifikan di masanya. Dia berhasil mencapai kemenangan-kemenangan atas orang-orang Romawi. Anaknya, Harun Ar-Rasyid adalah panglima perang dalam penaklukan ini. Dia sampai ke Pantai Marmarah dan berhasil melakukan perjanjian damai dengan Kaisar Agustine yang bersedia untuk membayar jizyah pada tahun 166 H/ 782 M. Muhammad Al-Mahdi meninggal pada tahun 169 H / 785 M setelah memerintah selama 10 tahun beberapa bulan. 

4.     Musa Al-Hadi 
Musa Al-Hadi bin Muhammad Al-Mahdi yang dilantik sebagai Khalifah setelah ayahnya wafat. Pada masa itu, terjadi pemberontakan oleh Husein bin Ali bin Husein bin Hasan bin Ali di Makkah dan Madinah yang menginginkan agar pemerintahan berada di tangannya. Namun, Al-Hadi mampu menaklukannya dalam perang Fakh pada tahun 169 H / 785 M. Pada saat yang sama, Yahya bin Abdullah juga melakukan pemberontakan di Dailam. Al-Hadi memberangkatkan Ar-Rasyid sampai Yahya bin Abdullah mampu ditaklukan. Musa Al-Hadi meninggal pada tahun 170 H / 786 M. 

5.     Harun Al-Rasyid 
Harun Ar Rasyid bin al-Mahdi merupakan mutiara sejarah Bani Abbasiyah. Pada masanya pemerintahan Islam mengalami puncak kemegahan dan kesejahteraan yang belum pernah dicapai sebelumnya. Harun Ar-Rasyid dikenal sebagai sosok yang sangat pemberani. Dia telah melakukan penyerbuan dan penaklukan negeri Romawi pada saat baru berumur 20 tahun. Dia pun dikenal sebagai sosok yang takwa dan takut kepada Allah dalam segala perkara. Pada masa pemerintahannya adalah masa yang sangat tenang dan stabil, hanya ada beberapa pemberontakan kecil yang tidak berarti apa apa, di antaranya adalah pemberontakan Yahya Abdullah, kaum Khawarij, orang-orang Zindik, dan pemberontakan di Kharasan. Sebelum meninggal, dia mewariskan kekuasaan kepada kedua anaknya, Al-Amin dan Al Makmun. Hal ini menjadi fitnah yang bertiup kencang yang terjadi antara dua saudara ini setelah kematiannya. Harun meninggal pada tahun 193 H / 808 M setelah memerintah selama 23 tahun.

6.     Muhammad Al-Amin 
Dia bernama Muhammad Al-Amin bin Harun Ar-Rasyid. Ayahnya telah membaiatnya sebagai Khalifah, lalu untuk saudaranya Al Makmun, kemudian untuk Qasim. Dia diberi kekuasaan di Irak, sedangkan Al-Makmun di Kharasan. Namun, ada salah seorang menteri Al-Amin yang mendorongnya untuk mencopot posisi putera mahkota dari adiknya dan memberikannya kepada anaknya yang bernama Musa. Al-Amin termakan tipuan ini, dan Al-Amin segera memberontak. Pada tahun 195 H/ 810 M, AlAmin mengirimkan dua pasukan untuk memerangi saudaranya, namun berhasil dihancurkan oleh Thahir bin Husein, panglima perang Al-Makmun. Al-Amin sendiri dikenal sebagai seorang yang suka berfoya-foya serta banyak melalaikan urusan negara. Sehingga setelah lima tahun ia memerintah, kekhalifahannya digantikan oleh Abdullah Al Makmun. 

7.     Abdullah Al-Makmun 
Dia bernama Abdullah Al- Makmun bin Harun Ar- Rasyid. Pada masa pemerintahannya banyak peristiwa peristiwa penting yang terjadi, pertama adalah pemberontakan Bagdad dan penunjukkan Ibrahim Al Mahdi sebagai Khalifah, kedua Al-Khuramiyah, dan ketiga adanya fitnah bahwa Al-Quran adalah makhluk. Penaklukan-penaklukan pada masa pemerintahannya sangatlah terbatas. Dia hanya mampu menaklukan Laz, sebuah tempat di Dailam pada tahun 202 H/ 817 M. Pada masanya, dia tidak menjadikan anaknya Al- Abbas, untuk menggantikan dirinya. Dia malah mengangkat saudaranya Al Mu’tasim karena bisa melihat bahwa Al Mu’tasim lebih memiliki banyak kelebihan dibandingkan anaknya. Setelah berkuasa selama 20 tahun. Al Ma’mun meninggal pada tahun 218 H/ 833 M. 

8.     Abu Ishaq Al-Mu’tasim 
Dia bernama Muhammad bin Harun Ar-Rasyid diangkat khalifah setelah mendapat wasiat dari saudaranya. Pada masa pemerintahannya, dia banyak mengangkat pasukan dari orang orang Turki, sehingga ini sama artinya dengan meletakkan semua masalah pemerintahan di tangan orang-orang Turki yang berlebihan. Adapun peristiwa penting pada zaman pemerintahannya adalah gerakan Babik AlKhurami. Penaklukan yang dilakukan oleh Abu Ishaq Al-Mu’tasim pada pemerintahannya adalah penaklukan Al-Muriyah yang mana banyak perbuatan yang melampaui batas kesopanan. Kemudian setelah memerintah selama 9 tahun, Abu Ishaq Al-Mu’tasim meninggal dunia pada tahun 227 H/833 M. 

9.     Harun Al-Watsiq 
Dia adalah Harun bin Muhammad Al-Mu’tasim menjadi Khalifah setelah ayahnya Al-Mu’tasim, pada tahun 227 H/ 841 M. Panglima-panglima asal Turki pada masanya mencapai posisi-posisi yang sangat terhormat. Bahkan, Asynas mendapatkan gelar sultan dari Al-Watsiq. Harun Al-Watsiq meninggal pada tahun 223 H / 846 M setelah memerintah selama 5 tahun. 

10. Jakfar Al Mutawakkil 
 Dia bernama Ja’far bin Muhammad Al-Mu’tasim. Ja’far Al-Mutawakkil adalah salah seorang yang melarang dengan keras pendapat yang mentapkan bahwa Al Quran adalah makhluk. Pada masa pemerintahannya, orang-orang Romawi melakukan penyerangan di Dimyath, Mesir. Peristiwa ini terjadi pada tahun 238 H / 852 M. Al-Mutawakkil dibunuh oleh anaknya yang bernama Al-Muntasir pada tahun 247 H / 861 M.

Khalifah Abu Ja’far al-Mansur, khalifah kedua dari pemerintahan Bani Abbasiyah menetapkan beberapa kebijakan pemerintahan Abbasiyah sebagai kontrol pemerintahan, yaitu:

a.      Memindahkan pusat kekuasaan Bani Abbasiyah dari Hasyimiyah ke Bagdad
b.     Kota Bagdad sebagai pusat kekuasaan Abbasiyah di buka menjadi kota terbuka untuk semua peradaban dari berbagai bangsa masuk. Hal ini dilakuan oleh para khalifah melihat pengalaman pola pengembanga budaya dan ilmu masa Bani Umayyah yang bersifat Arab oriented, akibatnya adalah budaya dan ilmu pengetahuan menjadi lambat berkembang.
c.      Ilmu pengetahuan dipandang sabagai suatu yang sangat mulia dan berharga. Para khalifah adalah orang-orang yang sangat mencintai ilmu dan membuka kesempatan ilmu pengetahuan seluasluasnya.
d.     Rakyat diberi beban berfikir serta memperoleh hak asasinya dalam segala bidang, seperti; aqidah, ibadah, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
e.      Para menteri keturunan Persia di beri hak penuh untuk menjalankan pemerintahan sehingga mereka memegang peranan penting dalam memajukan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
f.       Berkat usaha khalifah Abbasiyah yang sungguh-sungguh dalam membangun ekonomi Islam, pemerintah Abbasiyah memiliki perbendaharaan harta yang cukup melimpah di baitu maal hasil rampasan perang dari kemenangan perang.
g.     Dalam pengembangan ilmu pengetahuan para khalifah banyak yang mendukug perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga banyak buku-buku yang dikarang oleh ilmuan dalam lembaga-lembaga ilmu pengetahuan yang dibangun untuk memfasilitasi kegiatan masyarakat dalam menimbah ilmu pengetahuan.
h.     Masyarakat dapat dibagi menjadi dua kelompok besar.
Kelompok pertama, kelompok khalifah, terdiri dari khalifah dan keluarga, para pembesar dan pekerja yang bekerja di istana. Mereka diberi penginapan di dalam wilayah istana (Daarul Khalifah).
Kelompok kedua, kelompok masyarakat umum, yang terdiri para guru, ulama, petani, buruh, filosof dan masyarakat pada umumnya.

Tujuan dari pembagian tersebut adalah agar pembagian tugas menjadi jelas, bukan justru untuk membuat jarak antara sesama masyarakat Islam atau antara masyarakat Islam dengan masyarakat non Islam. Meskipun demikian, kenyataannya terdapat dikotomi dalam masyarakat Islam Abbasiyah antara para pembesar dengan masyarakat umum.
    
Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241948329

Kebijakan-kebijakan tersebut oleh para pakar sejarah dipandang mampu meciptakan suasana belajar yang kondusif, memotivasi masyarakat Abbasiyah untuk belajar dengan sungguh-sungguh, dan mampu membentuk budaya belajar dengan sesungguhnya bagi masyarakat Abbasiyah pada umumnya.

Selama beberapa dekade pasca berdirinya pada tahun 132H/750M, Dinasti Abbasiyah berhasil melakukan konsolidasi internal dan memperkuat kontrol atas wilayah-wilayah yang mereka kuasai. Era kepemimpinan Khalifah kedua, Abū Ja`far bin `Abdullāh bin Muhamad Al-Mansūr (137-158H/754775M), menjadi titik yang cukup krusial dalam proses stabilisasi kekuasaan ini ketika ia mengambil dua langkah besar dalam sejarah kepemimpinannya. Pertama, menyingkirkan para musuh maupun bakal calon musuh serta menumpas sejumlah perlawanan lokal di beberapa wilayah kedaulatan Abbasiyah. Kedua, meninggalkan Al-Anbār dan membangun Baghdad sebagai ibukota baru, yang beberapa saat kemudian menjadi fokus aktivitas ekonomi, budaya dan keilmuan dunia Muslim saat itu. 

Gerakan penerjemahan yang kemudian menjadi salah satu ’ikon’ kemajuan peradaban Abbasiyah juga tidak lepas dari peranan Al-Mansūr sebagai Khalifah pertama yang mempelopori gerakan penerjemahan sejumlah buku-buku kuno warisan peradaban pra-Islam. Demikian dengan gerakan pembukuan (tasnīf) dan kodifikasi (tadwīn) ilmu tafsir, hadis, fikih, sastra serta sejarah mengalami perkembangan cukup signifikan di era Al-Mansūr pula. Konon, sebelum masa itu, para pelajar dan ulama dalam melakukan aktivitas keilmuan hanya menggunakan lembaran-lembaran yang belum tersusun rapi, sehingga tidak mengherankan jika Al-Qanūji secara tegas menyebut Al-Mansur sebagai Khalifah pertama yang memberikan perhatian besar terhadap ilmu-ilmu kuno pra-Islam, setelah sebelumnya terabaikan oleh para Khalifah Bani Umayyah. 

Ada beberapa faktor kemajuan peradaban Dinasti Bani Abbasiyah. Faktor politik, antara lain: (1) Pindahnya ibu kota negara dari al-Hasyimiyah ke Bagdad yang dilakukan oleh Khalifah al-Mansyur. (2) Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintah dan pegawai istana, dan (3) Diakuinya Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara pada masa al-Makmun pada tahun 827 M. Faktor Sosiografi, antara lain: (1) Meningkatnya kemakmuran umat Islam. (2) Luasnya wilayah kekuasaan Islam menyebabkan banyak orang Romawi dan Persia yang masuk Islam dan kemudian menjadi Muslim yang taat. (3) Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. (4) Adanya gerakan penerjemahan buku filsafat dan ilmu dari peradaban Yunani dalam Bait al-Hikmah sehingga menjelma sebagai pusat kegiatan intelektual.

Kemajuan dinasti Abasiyyah dalam bidang agama, filsafat dan sains tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kota Baghdad sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Baghdad adalah sebuah kota yang didirikan atas inisiatif al-Mansur yang terletak di sebelah barat sungai Tigris dikerjakan selama empat tahun oleh 100 ribu karyawan dan arsitektur dengan biaya 4000,833 dirham. Kemajuan Islam zaman Abasiyyah ini banyak dirintis oleh khalifah Ma’mun (813-833 H) dengan mendirikan pusat kerajaan ilmu pengatahuan dan teknologi dengan nama “Darul Hikmah”. Darul Hikmah ini di samping pusat kerajinan juga sebagai pusat perpustakaan dan kantor penterjemahan ilmu-ilmu non Arab ke dalam bahasa Arab, seperti filsafat Yunani, ilmu-ilmu Barat. Darul Hikmah membuat sekitar satu juta buku ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam penterjemahan dipimpin oleh seorang ilmuwan yang bernama Hunain bin Ishaq (809-973 H). di bawah pimpinan Hunain bin Ishaq inilah banyak dihasilkan buku-buku penting yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yang meliputi ilmu Kimia, Matematika, Filsafat Yunani, Astronomi dll.

Khalifah al Makmun sangat berbeda filosofi hidupnya dengan para khalifah Abbasiyah pada umumnya, juga berbeda dengan kakaknya al Amin bin Harun al Rasyid yang suka berpesta pora. Al Makmun cenderung lebih memperhatikan jalannya pemerintahan dan pembangunan negara, termasuk kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ketimbang bersukaria dengan pesta pora, minuman keras dan hasrat terhadap sesama jenis (Farag Faudah, 2008: 167).

Keterbukaan dalam pemerintahan Abbasiyah, khususnya masa khalifah al Makmun sungguhsungguh nyata. Banyak juru tulis tersebar dalam birokrasi adalah orang Khurosan, kelompok Kristen Nestorian. Kelompok minoritas, seperti Yahudi, banyak terlibat dalam urusan perpajakan dan perbankan. Keluarga-keluarga muslim Syi’ah juga berpengaruh terhadap kebijakan politik khalifah (Ira M. Lapidus, 1999: 108). Sebagai contoh al Makmun berusaha mendekati tokoh aliran Syi’ah pada saat itu dengan cara menikahi salah satu putri imam Ali al Ridlo, Imam Syi’ah kedelapan dan menyebut Ali al Ridla sebagai pewaris kekhalifahan sesudahnya (Keren Armstrong, 2002: 89). Sebagai penganut Mu’tazilah al Makmun sangat gemar ilmu pngetahuan dan filsafat, hal ini merupakan salah satu faKtor yang mampu menggerakkan umat Islam untuk kemajuan ilmu Pengetahuan dan teknologi dengan pesat. Berdasar uraian tersebut nampaknya al Makmun memiliki filosofi pluralistis dalam berbangsa dan bernegara, sehingga tak membedakan suku, agama, ras dan aliran (SARA).

Adapun faham keagamaan khalifah al Makmun adalah pengikut aliran Mu’tazilah dalam persolan ilmu Kalam. Sebagai sorang intelektual dan negarawan, al Makmun hampir tanpa cela. Seandainya ia tidak terseret yang terlalu dalam terhadap rasionalitas Mu’tazilah dan menjadikannya sebagai faham resmi dalam kenegaraan pada tahun 212 H/827 M serta membuka sikap fanatisme aliran yang kemudian membawa dampak adanya peristiwa yang dikenal dengan Mihnah al Qur’an yang pada prakteknya memeriksa batin seseorang mengakui kemakhluqan al Qu’an atau tidak. Jika tidak maka akan di hukum berat, praktek inkuisisi ini muncul dimana-mana, dan faham Mu’tazilah ini ditentang oleh Aliran ahli hadits yang di komendani Ahmad bin Hambal (Faisal Isma’il, 2010: 244-245).  

Dalam upaya memajukan pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan al Makmun menetapkan kebijakan politik pendidikan sebagaimana digambarkan oleh Philip K. Hitti secara panjang lebar, tetapi secara singkat bisa kita paparkan sebagai berikut. 
           a.      Al-Makmun sangat menghormati para ahli ilmu baik agama maupun umum termasuk para filosuf, sekalipun tidak seperti ayahnya Harun al Rasyid;
           b.      Mendirikan Perpustakaan Baitul hikmah yang di dalamnya orang bisa membaca menulis dan berdiskusi;
           c.      Cabang-cabang ilmu keislaman muncul dan berkembang pada masa ini, seperti: 'ulumul Qur'an, Ilmu Qira'at, ilmu Hadits, Ilmu kalam, dan lainnya termasuk muncul dan berkembangnya Fiqih dan ushul Fiqih dalam empat madzhab semacam imam Syafi'I (150 H- 204 H);
           d.      Ilmu pengetahuan umum juga berkembang, seperti: filsafat, matematika, ilmu alam, metafisika, geometri, al Jabar, aritmatika, astronomi, kedokteran, kimia, dan musik;
           e.      Penterjemahan buku-buku yang berisi tentang Ilmu pengetahuan dari bahasa Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa Arab. 
Ilmuwan Muslim (sumber: www.republika.co.id) 

Setelah kebijakan Khalifah al Makmun dengan mengembangkan Ilmu, di tengah masyarakat muncul dan berkembang tempat-tempat pendidikan, termasuk lembaga pendidikan yang tadinya sudah berdiri antara lain:
               1)           Buyut al Muslimin, termasuk Darul Arqom di Makkah ketika Nabi Muhammad SAW, memulai pendidikan para sahabat, juga Buyut al Ulama.
               2)           Suffah sebagian ruang di masjid
               3)           Al Kuttab yaitu tempat pendidikan tingkat pemula
               4)           Masjid dengan sistem Halaqah
               5)           Madrasah
               6)           Al Ribath yaitu lembaga pendidikan yang didirikan oleh para guru thariqoh
               7)           Al Zawiyah merupakan tempat pengajaran spiritual dengan memanfaatkan sebagian dari pinggiran masjid
               8)           Al Maristan yaitu rumah sakit untuk merawat dan mengobati orang-orang yang mengidap penyakit kronis, seperti buta dan kusta.
               9)           Al qushr (Istana) yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus untuk mendidik para putra pejabat pemerintah
          10)           Al Hawanith al Wariqin yaitu toko buku yang juga berfungsi tempat pembelajaran 
          11)           Al Shalun Adabiyah atau sanggar sastra yaitu tempat yang disediakan oleh Knalifah untuk membicarakan berbagai masalah penting dengan cara mengundang para Ulama 
          12)           Al Badiyah yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus mengajarkan bahasa Arab kuno. 
          13)           Observatorium yaitu lembaga pendidikan untuk penelitian dan percobaan 
          14)           Al Maktabah

Berangkat dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa al Makmun termasuk salah satu Khalifah Abbasiyah yang cenderung berkarakter baik, memikirkan kemajuan kekhalifahan Islam, kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat serta mampu menghindari perilaku yang bertentangan dengan syari’at Islam. Barangkali satu-satunya keteledoran al Makmun adalah memaksakan pendapat kepada umat Islam dengan mengikuti salah satu aliansi faham tentang al Qur’an yaitu faham Mu’tazilah (Ghani, 2015).
 

Berikut ini beberapa zaman keemasan dari Bani Abbasiyah:

1.     Kemajuan Ilmu-Ilmu Agama
  
Masa Abbasiyah dikenal sebagai era keemasan ilmu pengetahuan dan Agama. Ilmu-ilmu agama berkembang dengan subur dan diiringi oleh kemunculan tokoh-tokoh agama yang berpengaruh sampai sekarang ini. 

a.      Ilmu Tafsir

Ilmu Tafsir pada masa ini berkembang pesat karena sangat dibutuhkan, terutama oleh orangorang non Arab yang baru masuk Islam. Mereka membutuhkan makna dan penafsiran al-Qur’an. Hal inilah yang kemudian menyebabkan munculnya beberapa aliran dalam ilmu tafsir. Penafsiran Al Qur’an pun berkembang tidak hanya dengan penafsiran makna, tetapi juga penafsiran “Bil al Ma’sur dan “Bi al Ro’yi”. Pemerintahan Abasiyyah yang pertama menyusun tafsir dan memisahkan antara Tafsir dengan Hadis. Sebelum itu kaum Muslimin menafsirkan Qur’an melalui hadis-hadis Nabi, keterangan para sahabat, tabi’in. Di antara karya besar tafsir adalah Al-Farra’, yang merupakan karya Tafsir pertama yang disesuaikan dengan sistematika Al Qur’an. Kemudian muncul At Tabari yang menghimpun kumpulan-kumpulan tafsir dari tokoh sebelumnya. Kemudian muncul golongan Ulama’ yang menafsirkan Al Qur’an secara rasional, seperti Tafsir Al Jahiz. Ahli tafsir terkemuka yang muncul pada masa Abbasiyah adalah Abu Yunus Abdus Salam Al Qozwani yang merupakan salah satu penganut aliran Tafsir bi al Ra’yi. Sedangkan yang muncul dari aliran Tafsir Bi Al Aqli adalah Amar Ibnu Muhammad al-Khawarizmi, Amir al-Hasan bin Sahl. 

Selanjutnya muncul beragam metode penafsiran Alquran dengan berbagai ragamnya, sepertimetode Tafsir bi al-Ma’tsur. Metode ini fokus pada riwayat-riwayat yang sahih, baik menggunakan ayat dengan ayat, hadis, dan perkataan sahabat atau tabiin. Ada beberapa tokoh yang dikenal mempoulerkan metode ini.

1)    Imam at-Thabari (wafat: 923 M/310 H), karyanya adalah Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ayy al-Qur’an, yang menjadi rujukan para ulama pada masa berikutnya, seperti al-Baghawi, as-Suyuthi, dan Ibnu Katsir.
2)    Ibnu Katsir (wafat: 1372 M), karyanya adalah Tafsir al-Qurad al-Azhim. Dikenal juga sebagai seorang sejarawan dengan karya terkenalnya, al-Bidayah wa an-Nihayah.
3)    As-Suyuthi (lahir: 1445 M), karyanya adalah ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur. Karya lain dalam bidang al-Qur’an adalah al-Itqan fi ‘Ulum al-Alquran. 

b.     Ilmu Hadis
Pada masa ini kajian hadis sebagai sumber hukum setelah Al Qur’an berkembang dengan cara menelusuri keontentikkan (shohih) Hadis. Hal inilah yang mengilhami terbentuknya ilmu-ilmu Jarhi wa Ta’di dan ilmu Mustalahul Hadis, sehingga para ulama hadis berhasil mengkodifikasi hadis ke dalam kitab secara teratur dan sistemik. Pada masa sebelumnya belum ada pembukuan hadis secara formal seperti Al Qur’an. Oleh karena itu, sejarawan menganggap masa pembukuan hadis secara sistemik dimulai pada zaman Daulah Abbasiyah. Penggolongan Hadis dari aspek periwayatannya, sanad, matan yang akhirnya bisa diketahui apakah Hadis itu shahih, hasan, dhoif, juga terjadi pada masa Abasiyyah. Di antara kitab-kitab Hadis yang berhasil disusun adalah kitab Hadis “Kutub as-Sittah”, yang disusun oleh enam ulama’ Hadis, Imam Muslim (wafat 261 H), Imam Bukhori (wafat 256 H), Imam Turmudzi (wafat 279 H), Ibnu Majjah (wafat 273 H), Imam Nasa’i (wafat 303 H), Abu Daud (wafat 275 H). 

c.      Ilmu Kalam
Pada masa al-Ma’mun dan Harun al-Rasyid, ilmu kalam (teologi) mendapat tempat yang luas, bahkan sangat mempengaruhi keadaan pemerintahan saat itu. Seperti aliran Mu’tazilah dijadikan aliran resmi pemerintah Bani Abbas. Peran ilmu kalam pada saat itu sangat besar untuk membela Islam dari paham-paham Yahudi dan Nasrani. Jadi ilmu kalam tidak semata mengembangkan pemikiran agama tetapi mengembangkan juga pemikiran sosial, politik, dan mengembangkan pemikiran umat agar tidak statis, baik bidang agama maupun bidang kemasyarakatan. Para teolog fokus pada bidang aqidah sebagai obyek bahasan, seperti keesaan Tuhan, sifat-sifat, dan perbuatan Tuhan. Di antara teolog yang terkenal ialah Abu Huzail al-Allaf (wafat 235 H), An-Nazzam (wafat 835 H), Bisri Ibnu Mu’tamir, Abu Ishaq Ibrahim dan Amru bin Ubaid.

d.     Ilmu Fiqh
Di antara kebanggaan pemerintahan Abasiyyah adalah adanya empat ulama’ Fiqh yang terkenal pada saat itu sampai sekarang ini, yaitu Imam Abu Hanifah (wafat 129 H, Imam Malik (wafat 179 H), Imam Syafi’i (wafat 204 H) dan Imam Ahmad bin Hambal (wafat 241 H). Pada masa ini berkembang dua cara dalam mengambil hukum fiqih, yaitu: (1) Ahl al-Hadis, aliran yang berpegang teguh pada nash-nash Al Qur’an dan Hadis, mereka menghendaki hukum yang asli dari Rasulillah dan menolak hukum menurut akal. Pemuka aliran ini adalah Imam Malik, Imam Syafi’i dan pengikut Sufyan As Sauri. (2) Ahl al-Ra’yi, aliran yang menggunakan akal pikiran dalam mengistimbatkan hukum, di samping memakai al-Qur’an dan Hadis. Aliran ini dipelopori oleh Imam Abu Hanifah dan Fuqaha’ Irak. Dari sini kita bisa melihat bahwa pemikiran umat Islam pada saat itu sangat maju sekali, dengan bukti lahirnya ulama’ terkenal dan kirab-kitab termashur, seperti Al-Muwatta’, Al-Kharaj, dan Al-Mustasfa.

e.      Ilmu Tasawuf
Di samping ilmu Fiqh, pada masa Abbasiyah juga muncul dan berkembang ilmu Tasawuf. Ilmu ini telah memberi pengaruh yang besar bagi kebudayaan Islam. Perkembangan ilmu ini dimulai dari perkumpulan-perkumpulan tak resmi dan diskusi keagamaan (halaqah) dan latihan spiritual dengan membaca dzikir berulang-ulang. Hal ini berlangsung di mana-mana khususnya di masjid, kemudian menjadi konsep-konsep spiritual yang diberi nama Tasawuf yang berkembang sampai abad 9 Hijriyah. Ilmu ini menyebar di penjuru negeri Islam di wilayah Abasiyyah yang dibawa oleh para sufi-sufi terkemuka, seperti: (1) Abu Kasim Abdul Karim bin Hawzin al Qusairi (wafat 465 H), kitabnya yang terkenal adalah Ar-Risalah al-Qusyairiyah. (2) Abu Haffas Umar bin Muhammad Sahabuddin (wafat 632 H), kitabnya yang terkanal adalah Awariful Ma’arif. (3) Imam al Ghazali (wafat 502 H), kitabnya yang terkenal adalah Ihya’Ulumuddin yang memuat gabungan antara ilmu tasawwuf dan ilmu kemasyarakatan.

2.     Kemajuan Filsafat dan Sains

Pada masa Abasiyyah ilmu pengetahuan telah mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran khalifahnya yang mendukung kemajuan itu. Faktor yang paling menonjol dari perkembangan ini adalah dengan dikembangkannya penterjemahan kitab-kitab non Arab ke dalam bahasa Arab yang telah dirintis oleh khalifah Ja’far al-Mansur. Dengan memperkerjakan para ahli terjemah, di antaranya Fade Naubakt, Abdullah bin Muaqaffa’, yang pada akhirnya ilmu-ilmu dari Barat bisa dipahami oleh masyarakat umum.

lustrasi ilmuwan Muslim saat mengembangkan sains dan teknologi pada era Dinasti Abbasiyah di Baghdad (sumber: www.republika.co.id) Pada masa Harun al Rasyid juga dikembangkan suatu lembaga yang mengkaji dan mengembangkan pengetahuan yang dinamakan “Khizanat al-Hikmah” yang kemudian pada masa Al Ma’mun dikembangkan lagi menjadi “Bait Hikmah”, dan kemudian dikembangkan lagi menjadi “Darul Hikmah”, yang meliputi: perpustakaan, pusat penterjemahan, dan observatorium bintang.

a.      Filsafat dan Perkembangannya Zaman Abasiyyah
Filsafat berkembang pesat pada Daulah Abasiyyah terutama pada masa Al Ma’mun dan Harun Ar Rasyid karena pada saat itu kitab-kitab filsafat, khususnya Yunani, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Para ilmuwan muslim tidak mengambil gilsafat Yunani secara keseluruhan, akan tetapi mengadakan perubahan dengan disesuaikan dengan ajaran Islam, sehingga menjadi filsafat Islam. Mengenai pengambilan filsafat Yunani, Montotgomery Watt mengatakan “bahwa Filsafat tidak akan hidup hanya dengan menterjemahkan dan mengulang-ulang pemikirannya orang lain, tetapi menterjemahkan filsafat hanya bisa dilakukan kalau sudah ada dasar pemikiran dari bahasa itu”. Jadi, pengambilan filsafat Yunani dari menterjemah hanya dijadikan perbandingan dan rujukan para Filusuf Islam untuk menciptakan filsafat yang bernafas Islam, tetapi ada sebagian yang mengambil dan dirubah sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam.

Secara umum dalam bidang filsafat orang-orang Islam masih banyak mengambil dari filsafat Yunani, seperti filsafat Greek dan Coptic. Hal ini bagi umat Islam saat itu merupakan kepentingan yang utama (tracending importance). Pengambilan ini hanya berupa ide-ide, yang dilakukan pertama kali pada masa Al-Ma’mun, seperti Al-Kindi, Ibn Sinah, Ibnu Rush yang masih mengambil ide dari Aristoteles. Tokoh-tokoh penting dalam bidang filsafat antara lain: (1) Abu Yusuf bin Ishaq Al Kindi (wafat 873 M), dikenal sebagai Filusuf Arab yang memperkenalkan filsafat Yunani di kalangan kaum muslimin. Ajarannya tentang filsafat adalah bahwa antara agama dan filsafat sama-sama menghendaki kebenaran; agama menempuhnya melalui syari’at, sedangkan filsafat melalui pembuktian rasio. (2) Ibnu Sina (Aviccena) lahir tahun 980 M di Buchoro. Dalam ilmu filsafat beliau banyak mengarang buku, diantaranya As Sifa’, Al Isryara, Ti’su Rasail fil Hikmah, yang sebagian besar memuat hubungan agama dengan filsafat. (3) Al Farabi, lahir di Turkistan tahun 870 M. Beliau berguru di Baghdad untuk mempelajari Sains dan Filsafat. Beliau juga banyak belajar dari guru Kristen. Filsafat Al Farabi ini merupakan bentuk dari “Neoplatonisme” yang disesuaikan dengan dokrin Islam. Seperti halnya filsafat, politiknya Al Farabi banyak mengambil dari Replubic and Law-nya Plato. (4) Ibnu Rush (Averoush) (Wafat 594 H). Dalam hal filsafat beliau banyak mengambil dari ide-ide Aristoteles, dia banyak mengulas hubungan antara Filsafat dan Syari’at.

Penting juga dicatat dalam perkembangan filsafat ini adalah munculnya golongan rahasia (Jamiatus Sirriyah) yang bernama “Ihwan As-Safa” yang bergerak dalam ilmu pengetahuan, khususnya Filsafat. Ihwan As-Safa menyusun kitab “Rasail Ihwanussafa” yang terdiri dari 51 buku. Rasail ini memuat kumpulan filsafat Islam, yang meliputi: Maujudat, asal usul alam, rahasia alam dll.

Kebanyakan anggota Ihwan As-Safa ini adalah orang aliran Mu’tazilah dan Syi’ah yang ekstrem. Tokohnya adalah Abul Alla’al Ma’arri dan Ibnu Hayyan at Tauhidi, Ibnu Zanji.  Dalam bidang sejarah, ulama yang terkenal antara lain: Ibnu Ishaq, binu Hisyam, al-Waqidi, Ibnu Qutaibah, al-Thabari dan lain-lain. Dalam bidang ilmu bumi atau geografi ulama yang terkenal: alYakubi dengan karyanya al-Buldan, Ibnu Kharzabah dengan bukunya al-Mawalik wa al-Mawalik dan Hisyam al-Kalbi, yang terkenal pada abad ke-9 M, khususnya dalam studinya mengenai bidang kawasan Arab.
 
b.     Kemajuan Sains dan Tekonologi

Dalam bidang sains dan teknologi, orang-orang Arab masih kalah dengan orang Yunani. Sains dan Filsafat terbentuk atas rangsangan buku terjemahan dari orang Yunani. Kemudian perkembangan ilmu pengetahuan (Sains) ditandai dengan berdirinya Universitas-universitas Islam di Iraq dan Baghdad. baru setelah itu banyak penemuan-penemuan penting tentang sains dan teknologi yang akan dibahas di bawah ini:

1)    Ilmu Kedokteran
Ilmu Kedokteran tumbuh dan berkembang pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid abad 9 M. Hal ini ditandai dengan berdirinya rumah sakit yang didirikan oleh Harun Al-Rasyid dan selanjutnya berkembang menjadi 34 Rumah Sakit Islam. Rumah sakit ini dilengkapi dengan ruangan khusus wanita, apotik, dan yang terpenting adalah di setiap rumah sakit dilengkapi dengan perpustakaan media serta tempat-tempat kursus kedokteran dan pengobatan. Pada masa ini juga dibentuk klinik-klinik keliling yang melayani pengobatan di penjuru negeri, khususnya untuk orang-orang tak mampu.
Dalam ilmu kedokteran, Ulama’ yang terkenal dengan zaman ini adalah Ar-Razi dan Ibnu Sinah. Ar-Razi dikenal sebagai ahli kedokteran Islam yang cakap dan ahli kimia terbesar abad pertengahan. Beliau juga dienal sebagai penemu benang Fontanel yang berguna untuk menjahit luka akibat pembedahan dan sebagainya. Roger Bacon seorang ilmuwan Barat menterjemahkan kitab Ar-Razi yang berjudul “Kitab Rahasia” ke dalam bahasanya, dengan judul “De Spiritibu Et Corporibus” yang di dalamnya memuat penanggulangan penyakit cacar dan penyakit campak. Kitab Ar-Razi yang lain adalah “Al Hawi” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan nama “Contineus”, yang dijadikan rujukan oleh kedokteran Barat sampai tahun 1779 H. Sepeninggal Ar-Razi kegemilangan ilmu kedokteran diteruskan oleh Ibnu Sinah, kitabnya yang terkenal adalah “As Sifa” (Canon of Medicine), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin Inggris. Buku ini mendominasi pengajaran di Universitas di Eropa, paling tidak sampai abad ke-15. Kemudian muncul ulama’ ahli bedah yang bernama Abul Qosim Az Zahrawi, yang dalam bahasa latin disebut Abul Casis (wafat 1009 M). Jadi kemajuan kedokteran pada masa Abbasiyyah inilah yang mengilhami kemajuan ilmu kedokteran barat sekarang ini. Bahkan, kitab-kitab Ibnu Sinah sampai sekarang masih dikaji di Universitas di Eropa.

2)    Ilmu Kimia
Dalam bidang ilmu Kimia, ilmuwan yang terkenal adalah Jabir Ibnu Hayyam, yang diberi gelar “Bapa Ilmu Kimia Arab”. Dia banyak mengemukakan teori uap, pelelehan, dan sublimasi. Dalam teorinya, Jabir bin Hayyan mengatakan bahwa logam seperti timah putih atau hitam, besi dan tembaga bisa dirubah menjadi emas atau perak dengan menggunakan zat rahasia hingga pada sampai akhir hayatnya beliau masih melakukan eksperimen tentang hal ini. Jabir bin Hayyan merupakan perintis exprerimen pertama dalam dunia Islam. Di antara eksperimennya yang kemudian menjadi teori adalah: Teori Sublimasi, teori pengasaman, teori penyulingan, teori penguapan, teori pelelehan, dan beliau juga dikenal dengan penemu Karbit. Dari penemuan-penemuan teori baru inilah, kemakmuran dan kesejahteraan semakin bertambah baik, hasil-hasil eksperimen diterapkan pada kehidupan masyarakat.

3)    Ilmu Astronomi
Ilmu Astronomi pada mulanya dipakai untuk menentukan arah kiblat. Pada perkembangannya ilmu ini dipakai para pedagang, para pelaut dan para tentara untuk menyebarkan agama di luar negeri. Ulama’ yang ahli dalam ilmu astronomi adalah Al- Khawarizmi (wafat 846). Beliau banyak membuat tabel-tabel tentang letak negara, peta dunia, penetapan bujur-bujur panjang semua tempat di muka bumi ini, sekaligus mengukur jarak antara negara satu dengan negara yang lain. Teori ini dikumpulkan kemudian disebarkan di masyarakat.
Dengan ilmu Astronomi, sekitar abad ke 7–9 H. para pedagang muslim sudah sampai di negeri Tiongkok melalui laut, mendarat di pulau Zanzubar, pesisir Afrika, bahkan sampai pada negeri Rusia. Selain Al-Kawariszimi, ada ulama’ yang bernama Ibnu Kardabah yang banyak menemukan teori perbintangan dan ilmu Falak. Ibnu kardabah juga banyak menulis buku tentang Astronomi, diantaranya Al-Mashalih wal Mawalik, Al-Buldan, Al Jihani dan Al Muhtasar. Dengan ditemukannya ilmu Astronomi, umat Islam bisa menjual hasil pertaniannya dan kerajinannya ke negeri Tiongkok, Zanzibar, sekaligus mendatangkan hasil karya dari negeri lain untuk dijual di negeri Islam. Pemerintahan Abasiyyah semakin kaya karena setiap hasil perdagangan (ekspor/Impor) dikenakan pajak untuk negara, kemudian oleh negara disalurkan pada rakyat yang miskin.

4)    Ilmu Matematika
Dalam ilmu ini orang Arab (Islam) memberikan sumbangan yang besar sekali bagi peradaban manusia dengan menemukan “Angka Arab“, seperti yang kita pakai sampai sekarang (123456789). Orang-orang Islam di bawah pimpinan Ibnu Haitam dan Al-Khawarizimi membuat teori matematika, di antaranya adalah teori Al-Jabar, cara menghitung akar kuadrat dan desimal. Pada perkembangan selanjutnya Ibnu Haitam berhasil menemukan ilmu untuk mengukur sudut, yang diberi nama Trigonometri. Di samping ilmu-ilmu yang sudah diterangkan tersebut, masih ada beberapa ilmu yang ditemukan tetapi belum banyak berkambang pada masa Abbasiyyah ini. Penemuan-penemuan ilmu ini masih belum dibukukan secara sistematik, ilmu-ilmu itu adalah ilmu fisikis (Botani), ilmu Fisika, ilmu Geografi dan ilmu Sejarah. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar