Perkembangan
kebudayaan pada masa Bani Umayyah di Damaskus
Dinasti Bani Umayah berdiri selama lebih kurang 90
tahun (40-132H atau 661-750 M), dengan Damaskus sebagai pusat pemerintahannya.
Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680 M) adalah pendiri Dinasti Bani Umayah dan
penguasa imperium yang sangat luas. Selama 20 tahun masa pemerintahannya ia
terlibat dalam sejumlah peperangan dengan penguasa Romawi baik dalam
pertempuran darat maupun laut. Wilayah kekuasaan dinasti ini meliputi daerah
Timur Tengah, Afrika Utara dan Spanyol. Muawiyah meninggal dunia pada Kamis
pertengahan Rajab 60 H dalam usia 78 tahun. Secara berturut-turut, para
Khalifah Daulah Umayyah di Damaskus adalah sebagai berikut.
1. Muawiyah
I (41-60 H/661-680 M)
2. Yazid
I (60-64 H/680-683 M)
3. Muawiyah
II (64 H/683 M)
4. Marwan
I (64-65 H/684-685 M)
5. Abdul
Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6. Al-Walid
I (86-96 H/705-715 M)
7. Sulaiman
bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8. Umar
bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9. Yazid
II (101-105 H/720-724 M)
10. Hisyam
bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11. Al-Walid
II (125-126 H/743-744 M)
12. Yazid
III (126 H/744 M)
13. Ibrahim
bin Walid (126 H/744 M)
14. Marwan
II (127-132 H/744-750 M)
Perkembangan kebudayaan Islam masa Bani Umayyah tidak
lepas dari berbagai kebijakan yang telah diambil. Secara umum, Bani Umayyah
lebih banyak mengarahkan kebijakannya pada perluasan kekuasan politik atau
perluasan wilayah, baik ke Timur maupun ke Barat. Peranan dinasti ini dalam
menyebarluaskan Islam cukup besar. Pada masa ini banyak daerah yang dikuasai
umat Islam.
Kebijakan pemerintahan yang sangat berpengaruh
terhadap perkembangan Islam Bani Umayyah adalah pada saat Muawiyah bin Abi
Sufyan memerintah sebagai khalifah pertama. Kebijakan-kebijakan berikut ini
menjadi fondasi Bani Umayyah menjadi kuat dan menjadi sumber inspirasi dan
motivasi besar bagi kekuasaan Bani Umayyah di dalam menata kekuasaan
selanjutnya.
a. Memperluas
wilayah Islam di tiga wilayah yang rata-rata subur: Afrika Utara, India dan
Byzantium. Dari ketiga wilayah tersebut, Byzantium lebih dahulu ditaklukan
karena selain subur, masyarakatnya menganut Nasrani Ortodoks.
b. Membentuk
Departemen dan Duta, tugasnya untuk mengirim beberapa duta Islam membawa misi
Islam ke beberapa wilayah; Cina, India, Indonesia, Bukara, Tajikistan,
Samarkan, Afrika Utara dan Andalusia.
c. (Mengangkat
beberapa profesional dalam bidang Administrasi keuangan dari orang-orang
Byzantium untuk dipekerjakan dalam pemerintahan Islam.
Khalifah-khalifah Bani Umayyah lain yang ikut
menetapkan beberapa kebijakan monumental pada masa pemerintahannya,
diantaranya:
1) Kebijakan
Marwan bin Hakam (64-65 H), menetapkan mata uang sebagai alat resmi pemerintah
untuk barter atau alat tukar. Sejarah mata uang pertama kali diciptakan di dunia
dan dijadikan sebagai alat tukar.
2) Kebijakan
Abdul Malik bin Marwan (65-86 H), antara lain:
a) Menumpas
pemberontakan yang terjadi, membuat keadaan pemerintahan menjadi kondusif dan
perkembangan peradaban menjadi lancar.
b) Merubah
bahasa administrasi dari bahasa Yunani dan bahasa Pahlawi ke bahasa Arab. Hal
inilah yang mendorong Sibawaihi menyusun Al-Kitab, yang kemudian menjadi
pegangan dalam tata bahasa Arab.
c) Pada
659 M. merubah mata uang yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam,
yang sebelumnya menggunakan mata uang Bizantium dan Persia berupa dinar dan
dirham, dengan mata uang yang dicetak sendiri dengan memakai kata-kata dan
tulisan Arab, berupa dinar yang terbuat dari emas, dan dirham dari perak.
3) Kebijakan
Al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H) mengirimkan 12.000 pasukan Islam ke Eropa
atau Andalusia terjadi pada tahun 711 M. d. Kebijakan Umar bin Abdul Aziz
(99-101 H), memerintahkan gubernur Madinah agar masyarakat Islam yang ada di
Madinah, Hijaz dan sekitarnya menghimpun, menyeleksi dan menyempurnakan hadits.
Dalam menjalankan politik pemerintahannya, Muawiyah
bin Abu Sufyan mengubah kebijakan sebelumnya. Kalau pada masa Khulafaur
Rasyidin pengangkatan khalifah dilakukan dengan cara pemilihan, Muawiyah
mengubah kebijakan itu dengan cara turun-temurun. Karenanya, khalifah
penggantinya adalah Yazid bin Muawiyah, putranya sendiri. Ada dua hal yang
menarik dari sistem pemerintahan yang dibangun oleh Bani Umayyah, yaitu politik
ekspansi (perluasan wilayah) dan sistem monarkhi (Monarchiheridetis).
a)
Sistem politik
Perluasan
wilayah begitu intens dilakukan Bani Umayyah, utamanya pada masa pemerintahan
Muawiyah bin Abi Sufyan (40-60 H), Abdul Malik Bin Marwan (65–86 H), dan Walid
Bin Abdul Malik (86–96H). Perluasan ini dilandasi oleh semangat dan keinginan
untuk merajai dan berkuasa yang telah berkobar dalam jiwa para khalifah untuk
mendatangkan kehebatan bagi negaranya. Penaklukan ini melibatkan sejumlah
penyerangan terhadap wilayah-wilayah terpencil yang dilaksanakan oleh sejumlah
kekuatan tambahan non-Arab. Oleh karena itu, perang yang terjadi pada masa ini
bukanlah perang ekspansi kesukuan, melainkan perang kerajaan yang berjuang
untuk meraih dominasi dunia. Hal ini berbeda dengan serangkaian penaklukan pada
masa Khulafaur Rasyidin, yang lebih dilatarbelakangi oleh sejumlah migrasi
kesukuan dan pengerahan kekuatan Arab yang berpusat di beberapa pangkalan
militer.
b) Sistem
Pemerintahan
Adapun
sistem pemerintahan yang diterapkan Bani Umayyah adalah sistem monarkhi (Monarchiheridetis),
yang mana suksesi kepemimpinan dilakukan secara turun temurun. Semenjak
Muawiyah berkuasa, raja-raja Umayyah yang berkuasa kelak menunjuk penggantinya
dan para pemuka agama diwajibkan menyatakan sumpah setia di hadapan raja.
Sistem pengangkatan penguasa seperti ini, bertentangan dengan prinsip dasar dan
ajaran permusyawaratan. Sistem ini merupakan bentuk kedua dari sistem
pemerintahan yang pernah dipraktekkan umat Islam sebelumnya, yakni musyawarah, dimana
sepeninggal Nabi Muhammad saw, khulafur rasyidin dipilih sebagai pemimpin
berdasarkan musyawarah.
Dalam
menata administrasi pemerintahan, Bani Umayyah mengembangkan administrasi
pemerintahan Khulafaurrasyidin. Pada masa Umar bin Khatab, telah ada lima
bentuk departemen, yaitu Nidhamul Maaly, Nidhamul harbi, Nidhamul Idary,
Nidhamul Siashi dan Nidhamul Qadhi. Bentuk departemen ini kemudian dikembangkan
lagi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dalam bentuk yang lebih luas dan menyeluruh,
sebagai berikut.
1) An-Nidham
Al-Idari
Organisasi
tata usaha negara pada permulaan Islam sangat sederhana, tidak diadakan
pembidangan usaha yang khusus. Demikian pula keadaannya pada masa Daulah Bani
Umayyah, administrasi negara sangat simpel. Pada umumnya, di daerah-daerah
Islam bekas daerah Romawi dan Persia, administrasi pemerintahan dibiarkan terus
berlaku seperti yang telah ada, kecuali diadakan perubahan-perubahan kecil. Ada
empat organisasi tata usaha pada masa Bani Umayyah, yaitu:
(a) Ad-Dawawin.
Untuk mengurus tata usaha pemerintahan, Daulah Umayyah
mendirikan empat dewan atau kantor pusat, yaitu: diwanul kharraj, diwanur
rasail, diwanul mustaghilat almutanawi’ah, dan diwanul Khatim. Keempat dewan
ini memiliki tugas dan tanggung jawab mengurus surat-surat lamaran raja,
menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan dibalut dengan lilin
kemudian di atasnya dicap.
(b) Al-Imarah
Ala Al-Buldan.
Daulah Umayyah membagi daerah Mamlakah Islamiyah
menjadi lima wilayah besar, yaitu Hijaz, Yaman dan Nejed (pedalaman jazirah
Arab), Irak Arab dan Irak Ajam, Aman dan Bahrain, Karman dan Sajistan, Kabul
dan Khurasan, negeri-negeri di belakang sungai (Ma Wara’a Nahri) dan Sind serta
sebagian negeri Punjab, Mesir dan Sudan, Armenia, Azerbaijan, dan Asia Kecil,
Afrika Utara, Libia, Andalusia, Sisilia, Sardinia dan Balyar. Setiap wilayah
besar diangkat seorang Amirul Umara (Gubernur Jenderal) yang di bawah
kekuasaannya terdapat beberapa orang amir (gubernur) yang mengepalai satu
wilayah. Dalam rangka pelaksanaan kesatuan politik bagi negeri-negeri Arab,
khalifah Umar mengangkat para gubernur jenderal yang berasal dari orang-orang
Arab. Politik ini dijalankan terus oleh khalifah-khalifah sesudahnya, termasuk
para khalifah Daulah Umayyah.
(c) Barid.
Organisasi pos dalam tata usaha pemerintahan semenjak
Muawiyah bin Abi Sofyan memegang jabatan khalifah. Setelah Abdul Malik bin
Marwan berkuasa organisasi pos dikembangkan sehingga menjadi alat penting dalam
administrasi negara.
(d) Syurthah.
Organisasi syurthah (kepolisian) dilanjutkan dan
dikembangkan pada masa Daulah Umayyah. Pada mulanya organisasi ini menjadi
bagian dari organisasi kehakiman yang bertugas melaksanakan perintah hakim dan
keputusan-keputusan pengadilan, yang kepalanya sekaligus sebagai pelaksana
al-Hudud. Kemudian organisasi kepolisian terpisah dari kehakiman dan berdiri
sendiri, dengan tugas mengawasi dan mengurus soal-soal kejahatan. Khalifah
Hisyam memasukkan dalam organisasi kepolisian satu badan yang bernama Nidhamul
Ahdas dengan tugas hampir serupa dengan tugas tentara yaitu semacam brigade
mobil.
2) An
Nidham Al-Mali
Organisasi
keuangan atau ekonomi. Sumber pemasukan keuangan pada zaman Daulah Umayyah pada
umumnya sama seperti pada masa permulaan Islam, sebagai berikut.
(a)
Al Dharaib, yaitu suatu kewajiban yang harus dibayar oleh warga negara (Al
Dharaib) pada zaman Daulah Umayyah. Penduduk dari wilayah-wilayah yang baru
ditaklukkan, terutama yang belum masuk Islam, ditetapkan pajak-pajak istimewa.
(b)
Masharif Baitul Mal, yaitu pengeluaran keuangan pada masa Daulah Umayyah, pada
umumnya sama seperti pada masa permulaan Islam yaitu untuk:
(1)
Gaji para pegawai dan tentara serta biaya tata usaha pemerintahan;
(2)
Pembangunan pertanian, termasuk irigasi dan penggalian terusanterusan;
(3)
Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang;
(4)
Biaya perlengkapan perang; dan
(5)
Hadiah-hadiah kepada para pujangga dan para ulama. Selain itu, para khalifah
Umayyah menyediakan dana khusus untuk dinas rahasia.
3) An
Nidham Al-Harbi
Organisasi
pertahanan pada masa Daulah Umayyah sama seperti yang telah dibuat oleh
khalifah Umar, hanya lebih disempurnakan. Bedanya, pada masa Khulafaur Rasyidin
tentara Islam adalah tentara sukarela, sedangkan pada masa Daulah Umayyah orang
masuk tentara kebanyakan dengan paksa atau setengah paksa, yang dinamakan
Nidhamut Tajnidil Ijbari, semacam undang-undang wajib militer. Politik
ketentaraan pada masa ini adalah Arab oriented, dimana anggota tentara haruslah
terdiri dari orang-orang Arab. Organisasi tentara pada masa ini banyak
mencontoh organisasi tentara Persia. Pada masa khalifah Utsman telah mulai
dibangun angkatan laut, tetapi sangat sederhana. Muawiyah membangun armada
musim panas dan armada musim dingin yang kuat dengan tujuan untuk: (1) mempertahankan
daerah-daerah Islam dari serangan armada Romawi; dan (2) memperluas dakwah
Islamiyah.
4) An
Nidhamm Al-Qadhai
Pada
masa Daulah Umayyah kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari kekuasaan
politik. Kehakiman pada zaman itu mempunyai dua ciri khas yaitu:
(a)
seorang qadhi memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum
ada lagi madzhab empat atau madzhab lainnya. Pada masa itu para qadhi menggali
hukum sendiri dari al-Qur'an dan As Sunnah dengan berijtihad.
(b)
Kehakiman belum terpengaruh dengan politik, karena para qadhi bebas merdeka
dengan hukumnya, tidak terpengaruh dengan kehendak para pembesar yang berkuasa.
Para hakim pada zaman Umayyah adalah manusia pilihan yang bertakwa kepada Allah
swt dan melaksanakan hukum dengan adil, sementara itu para khalifah mengawasi
gerak-gerik dan perilaku mereka, sehingga kalau ada yang menyeleweng langsung
dipecat.
Kekuasaan
kehakiman di zaman ini dibagi ke dalam tiga badan: (1) AlQadha, seorang qadhi
bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama; (2)
Al-Hisbah, seorang al-Muhtashib bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan
soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat; dan (3) An-Nadhar fil Madhalim
yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding. An Nadhar fil Madhalim
merupakan pengadilan tertinggi yang bertugas menerima banding dari pengadilan
yang berada di bawahnya dan mengadili para hakim dan para pembesar tinggi yang
bersalah. Pengadilan ini bersidang di bawah pimpinan khalifah atau orang yang
ditunjuk olehnya.
Para
khalifah Bani Umayyah menyediakan satu hari saja dalam seminggu untuk keperluan
ini dan yang pertama kali mengadakannya adalah Khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Seperti mahkamah-mahkamah yang lain, Mahkamah Madhalim ini diadakan dalam
masjid. Ketua Mahkamah Madhalim dibantu oleh lima orang pejabat lainnya, dimana
sidang mahkamah itu tidak sah tanpa mereka yaitu: (1) Para pengawal yang kuat,
yang sanggup bertindak kalau para pesakitan lari; (2) Para hakim dan qadhi; (3)
Para sarjana hukum (fuqaha) tempat para hakim meminta pendapat tentang hukum;
dan (4) Para penulis yang bertugas mencatat segala jalannya siding.
Selain
itu, pada masa Daulah Umayyah diadakan satu jabatan baru yang bernama
al-Hijabah, yaitu urusan pengawalan keselamatan khalifah. Kebijakan ini diambil
mungkin karena khawatir akan terulang peristiwa pembunuhan terhadap Ali dan
percobaan pembunuhan terhadap Muawiyah dan Amru bin Ash. Oleh karenanya,
diadakan penjagaan yang ketat terhadap diri khalifah, sehingga siapapun tidak
dapat menghadap sebelum mendapat izin dari para pengawal (hujjab). Kepala
pengawalan keselamatan khalifah adalah jabatan yang sangat tinggi dalam istana
kerajaan. Ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan melantik kepala pengawalnya,
antara lain dia memberi amanat, “Engkau telah kuangkat menjadi kepala
pengawalku. Siapapun tidak boleh masuk menghadap tanpa izinmu, kecuali muazzin,
pengantar pos dan pengurus dapur”.
c. Warisan
peradaban
Wujud
kebudayaan fisik berupa hasil aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam
masyarakat Islam pada masa Bani Umayyah tampak sekali, seperti: bangunan
istana, masjid, dan rumah sakit. Istana-istana yang didirikan sebagai tempat
beristirahat di padang pasir pada masa ini, antara lain
Qusayr
Amrah dan Al-Mushatta. Masjid-masjid pertama di luar semenanjung Arab dibangun
pada masa ini, antara lain:
1.
Katedral St. John di Damaskus dirubah
menjadi masjid. Bahkan katedral yang di Hims, di pusat kota Suriah digunakan
sekaligus untuk masjid dan gereja.
2.
Membangun masjid Sidi ‘Uqbah bin Nafi’ di
makam ‘Uqbah bin Nafi’, panglima Muawiyah yang berhasil menaklukkan Afrika pada
50 H, di Kairuwan, Tunisia.
3.
Abdul Malik membangun masjid Al-Aqsa di
Al-Quds, Jerusalem.
4.
Membangun monument Qubbah Al-Sakhr (Kubah
Batu Karang) di-Quds, Jerusalem, di sebuah tempat yang menurut riwayat adalah
tempat Nabi Ibrahim menyembelih Islmail dan Nabi Muhammad saw memulai mi’raj ke
langit.
5.
Qubbah Al-Sakhr (sumber: https://news.detik.com)
6.
Membangun masjid Cordova Masjid Agung Cordoba,
Spanyol (sumber: www.republika.co.id)
7.
Al-Walid Memperbaiki, mempercantik, dan
memperbesar Masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Al-Walid
membangun berbagai institusi untuk melayani para penderita lepra yang lumpuh
dan buta di Suriah. Ia merupakan penguasa pertama yang membangun rumah sakit
bagi penderita penyakit kronis dan rumah-rumah penderita lepra, yang kemudian
menginspirasi dan diikuti oleh Barat.
d. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan tokoh-tokohnya masa Bani Umayyah di Damaskus
Perkembangan
ilmu pengetahuan pada masa Bani Umayyah di Damaskus meliputi 3 bidang, yaitu
bidang diniyah, bidang tarikh dan bidang filsafat. Pada masa itu kaum muslimin
memperoleh kemajuan yang sangat pesat, tidak hanya penyebaran agama Islam saja,
tetapi juga penemuanpenemuan ilmu lainnya. Pembesar Bani Umayyah secara khusus
menyediakan dana tertentu untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Para khalifah
mengangkat ahli-ahli cerita dan mempekerjakan mereka dalam lembaga-lembaga
ilmu, berupa masjid-masjid dan lembaga lainnya yang disediakan oleh pemerintah.
Kebijakan ini mungkin karena didorong oleh beberapa hal: (1) Pemerintah Bani
Umayyah dibina atas dasar kekerasan karena itu mereka membutuhkan ahli syair,
tukang kisah dan ahli pidato untuk bercerita menghibur para khalifah dan
pembesar istana. (2) Jiwa Bani Umayyah adalah jiwa Arab murni yang belum begitu
berkenalan dengan Filsafat dan tidak begitu serasi dengan pembahasan agama yang
mendalam. Mereka merasa senang dan nikmat dengan syair-syair yang indah dan
khutbah-khutbah balighah (berbahasa indah).
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241968799
Para
ahli sejarah menyimpulkan bahwa perkembangan gerakan ilmu pengetahuan dan
budaya pada masa Bani Umaiyyah di Damaskus memfokuskan pada tiga gerakan besar
yaitu; (1) Gerakan ilmu agama, karena didorong oleh semangat agama yang sangat
kuat pada saat itu; (2) Gerakan Filsafat, karena ahli agama diakhir Daulah
Umayyah terpaksa menggunakan filsafat untuk menghadapi kaum Nasrani dan Yahudi;
dan (3) Gerakan sejarah, karena ilmu-ilmu agama memerlukan riwayat.
Pengembangan
ilmu pengetahuan pada masa Bani Umayyah di Damaskus tampak pada beberapa
bidang. Kegiatan-kegiatan ilmiah tersebut berpusat di Kuffah dan Basrah, Irak.
1. Ilmu
Tafsir
Setelah
Daulah Umayyah di Damaskus berdiri, kaum muslim berhajat kepada hukum dan
undang-undang yang bersumber dari al-Qur’an, sedangkan para qurra dan mufassirin
menjadi tempat bertanya masyarakat dalam bidang hukum. Pada zaman ini
keberadaan tafsir masih berkembang dalam bentuk lisan dan belum dibukukan. Ilmu
tafsir pada saat itu belum berkembang seperti pada zaman Bani Abbasiyah.
2. Ilmu
Hadis
Pada
saat mengartikan makna ayat-ayat al-Qur’an, kadang-kadang para ahli hadis
kesulitan mencari pengertian dalam hadis karena terdapat banyak hadis yang
sebenarnya bukan hadis. Dari kondisi semacam ini maka timbullah usaha para
muhaddisin untuk mencari riwayat dan sanad hadis. Proses seperti ini pada
akhirnya berkembang menjadi ilmu hadis dengan segala cabang-cabangnya.
Perkembangan hadist diawali dari masa khalifah Umar bin Abdul Aziz dan ulama
hadis yang mulamula membukukan hadis yaitu Ibnu Az Zuhri atas perintah khalifah
Umar bin Abdul Aziz.
3. Ilmu
kalam
Di
masa inilah dimulai ilmu kalam dan muncullah nama-nama, seperti Hasan Al-Basri,
Ibn Shihab Al-Zuhri, dan Wasil ibn Ata’. Perang yang diakhiri dengan tahkim
(arbitrase) telah menyebabkan munculnya berbagai golongan, yaitu Muawiyah,
Syiah (Pengikut) Ali, Khawarij dan sahabat-sahabat yang netral. Dari peristiwa
yang diakibatkan oleh perseteruan dalam bidang politik akhirnya bergeser ke
permasalahan teks-teks agama tepatnya masalah teologi atau ilmu kalam. Kaum Khawarij
memandang Ali telah berbuat salah dan telah berdosa dengan menerima arbitrase
itu. Menurut mereka penyelesaian dengan cara arbitrase atau tahkim itu
bertentangan dengan al-Quran. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 44, “Dan
barang siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan
Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” Dengan landasan ayat al-Quran
tersebut, mereka menghukum semua orang yang terlibat dalam tahkim itu telah
menjadi orang-orang kafir. Kafir dalam arti telah keluar dari Islam. Orang yang
keluar dari Islam di katakan murtad, dan orang murtad halal darahnya dan wajib
dibunuh. Maka dari itu mereka memutuskan untuk membunuh Ali, Muawiyah, Amr bin
Ash dan Abu Musa, dan yang berhasil dibunuh hanya Imam Ali (Yusuf, 2014: 9-10)
Persoalan
ini akhirnya menimbulkan tiga aliran Ilmu Kalam dalam Islam, yaitu: (a) Aliran
Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam
arti keluar dari Islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh. (b) Aliran
Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin dan
bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah untuk
mengampuni atau tidak mengampuninya. (c) Aliran Mu’tazilah yang tidak menerima
pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir,
tetapi bukan pula mukmin. Orang yang serupa ini mengambil posisi di antara ke
dua posisi mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arab terkenal dengan istilah
al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi) (Rozak, 2012:
35).
Setelah
ketiga aliran di atas, lalu muncul pula dua aliran Ilmu Kalam yang terkenal
dengan nama Qadariyah dan Jabariah. Menurut Qadariyah manusia memiliki
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.Sebaliknya, Jabariyah berpendapat
bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
Dari
paparan sekilas ini, secara jelas dapat diketahui bahwa peristiwa tahkim
berdampak dan berimplikasi kepada tumbuhnya aliran-aliran dalam Ilmu Kalam.
Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah merupakan aliran yang pertama sekali muncul
dalam sejarah peradaban Islam. Kemudian muncul aliran Qadariyah dan Jabariyah.
Kedua aliran ini kendatipun pada awalnya muncul dengan membentuk aliran
tersendiri, tetapi dalam perkembangannya tidak lagi dapat disebut sebagai
aliran. Paham Qadariyah dan Jabariyah kemudian memasuki aliran-aliran Ilmu
Kalam yang ada (Yusuf, 2014: 13).
4. Ilmu
Qira'at
Dalam
sejarah perkembangan ilmu, yang pertama kali berkembang adalah ilmu qiraat.
Cabang Ilmu ini mempunyai kedudukan yang sangat penting pada permulaan Islam
sehingga orang-orang yang pandai membaca al-Qur'an pada saat itu disebut para
Qurra. Setelah pembukuan dan penyempurnaan al-Qur’an pada masa Khulafaur
Rasyidin dan al-Qur’an yang sah dikirim ke berbagai kota wilayah bagian,
kemudian lahirlah dialek bacaan tertentu bagi masing-masing penduduk kota
tersebut dan mereka mengikuti bacaan seorang qari’ yang dianggap sah bacaannya.
Akhirnya muncul dan masyhurlah tujuh macam bacaan yang sekarang terkenal dengan
nama Qiraat sab’ah kemudian selanjutnya ditetapkan sebagai bacaan standar.
5. Ilmu
Nahwu
Dengan
meluasnya wilayah Islam dan didukung dengan adanya upaya Arabisasi maka ilmu
tata bahasa Arab sangat dibutuhkan. Sehingga dibukukanlah ilmu nahwu dan
menjadi salah satu ilmu yang penting untuk dipelajari. Memulai mempelajari tata
Bahasa Arab yang dikenal dengan nama nahwu adalah ketika seorang bayi memulai
berbicara dilingkungannya. Tanpa tata bahasa maka pembicaraan tidak akan baik
dan benar. Setelah banyak bangsa di luar bangsa Arab masuk Islam dan sekaligus
wilayahnya masuk dalam daerah kekuasaan Islam maka barulah terasa bagi bangsa
Arab dan mulai di perhatikan dengan cara menyusun ilmu nahwu. Adapun ilmuwan
bidang bahasa pertama yang tercatat dalam sejarah perkembangan ilmu yang
menyusun ilmu nahwu adalah Abu al-Aswad al-Du’ali yang berasal dari Baghdad.
Salah satu jasa dari Al-Du’ail adalah menyusun gramatika Arab dengan memberikan
titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak ada. Abu Aswad Ad Dualy yang
wafat tahun 69 H. Tercatat beliau belajar dari shahabat Ali bin Abi Thalib,
dengan demikian ada saja ahli sejarah mengatakan bahwa sahabat Ali bin Abi
Thalib-lah bapaknya ilmu nahwu.
6. Tarikh
dan Geografi
Geografi
dan tarikh pada masa ini telah menjadi cabang ilmu tersendiri. Dalam
mengembangkan ilmu tarih ilmuwan pada masa ini mengumpulkan kisah tentang Nabi
dan para Sahabatnya yang kemudian dijadikan landasan bagi penulisan buku-buku
tentang penaklukan (maghazi) dan biografi (sirah). Munculnya ilmu geografi
dipicu oleh berkembangnya dakwah Islam ke daerah-daerah baru yang luas dan
jauh. Penulisan sejarah Islam dimulai pada saat terjadi peristiwa-peristiwa
penting dalam Islam dan dibukukannya dimulai pada saat Bani Umayyah dan
perkembangan pesat terjadi pada saat Bani Abbasiyah. Demikian begitu pesatnya
perkembangan sejarah Islam sehingga para ilmuan berkecimpung dalam bidang itu
dapat mengarang kitab-kitab sejarah yang tidak dapat dihitung banyaknya. Sampai
sekarang prestasi penulisan sejarah pada saat Bani Umayyah dan Abbasiyah tidak
dapat ditandingi oleh bangsa manapun, tercatat kitab sejarah yang ditulis pada
zaman itu lebih dari 1.300 judul buku.
7. Seni
Bahasa
Umat
Islam masa Bani Umayyah selain telah mencapai kemajuan dalam bidang politik,
ekonomi dan ilmu pengetahuan, juga telah tumbuh dan berkembang seni bahasa.
Perhatian kepada syair Arab Jahiliyah timbul kembali dan penyair-penyair Arab
barupun timbul, seperti Umar Ibn Abi Rabi’ (w. 719 M), Jamil Al-Udhri (w. 701
M), Qays Ibn Al-Mulawwah (w. 699 M) yang lebih dikenal dengan nama Majnun
Laila, Al-Farazdaq (w. 732 M), Ummu Jarir (w. 792 M), penyair yang mendukung
dan memelihara kemulian Badui dan yang syair-syairnya menonjol karena
nafas-nafas spiritualnya, dan AlAkhtal (w. 710 M) yang beragama Kristen aliran
Jacobite. Pada masa ini seni dan bahasa mengambil tempat yang penting dalam
hati pemerintah dan masyarakat Islam pada umumnya. Pada saat kota-kota seperti
Bashra dan Kuffah adalah pusat perkembangan ilmu dan sastra. Orang-orang Arab
muslim berdiskusi dengn bangsa-bangsa yang telah maju dalam hal bahasa dan
sastra. Di kota–kota tersebut umat Islam menyusun riwayat Arab, seni bahasa dan
hikmah atau sejarah, nahwu, sharaf, balaghah dan juga berdiri klub-klub para
pujangga. Pada masa ini juga muncul terjemahan-terjemahan awal naskahnaskah
filsafat Yunani dari bahasa Suryani ke bahasa Arab.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605858257
Tidak ada komentar:
Posting Komentar