Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Kamis, 18 Juli 2019

MODUL SKI KB 2 PPG PAI





PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN PADA MASA BANI UMAYYAH DAN BANI ABBASIYAH

A.   Perkembangan kebudayaan pada masa Bani Umayyah di Damaskus

Dinasti Bani Umayah berdiri selama lebih kurang 90 tahun (40-132H atau 661-750 M), dengan Damaskus sebagai pusat pemerintahannya. Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680 M) adalah pendiri Dinasti Bani Umayah dan penguasa imperium yang sangat luas. Selama 20 tahun masa pemerintahannya ia terlibat dalam sejumlah peperangan dengan penguasa Romawi baik dalam pertempuran darat maupun laut. Wilayah kekuasaan dinasti ini meliputi daerah Timur Tengah, Afrika Utara dan Spanyol. Muawiyah meninggal dunia pada Kamis pertengahan Rajab 60 H dalam usia 78 tahun. Secara berturut-turut, para Khalifah Daulah Umayyah di Damaskus adalah sebagai berikut.

1.     Muawiyah I (41-60 H/661-680 M)
2.     Yazid I (60-64 H/680-683 M)
3.     Muawiyah II (64 H/683 M)
4.     Marwan I (64-65 H/684-685 M)
5.     Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6.     Al-Walid I (86-96 H/705-715 M)
7.     Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8.     Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9.     Yazid II (101-105 H/720-724 M)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11. Al-Walid II (125-126 H/743-744 M)
12. Yazid III (126 H/744 M)
13. Ibrahim bin Walid (126 H/744 M)
14. Marwan II (127-132 H/744-750 M)

Perkembangan kebudayaan Islam masa Bani Umayyah tidak lepas dari berbagai kebijakan yang telah diambil. Secara umum, Bani Umayyah lebih banyak mengarahkan kebijakannya pada perluasan kekuasan politik atau perluasan wilayah, baik ke Timur maupun ke Barat. Peranan dinasti ini dalam menyebarluaskan Islam cukup besar. Pada masa ini banyak daerah yang dikuasai umat Islam.

Kebijakan pemerintahan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan Islam Bani Umayyah adalah pada saat Muawiyah bin Abi Sufyan memerintah sebagai khalifah pertama. Kebijakan-kebijakan berikut ini menjadi fondasi Bani Umayyah menjadi kuat dan menjadi sumber inspirasi dan motivasi besar bagi kekuasaan Bani Umayyah di dalam menata kekuasaan selanjutnya. 

a.      Memperluas wilayah Islam di tiga wilayah yang rata-rata subur: Afrika Utara, India dan Byzantium. Dari ketiga wilayah tersebut, Byzantium lebih dahulu ditaklukan karena selain subur, masyarakatnya menganut Nasrani Ortodoks. 
b.     Membentuk Departemen dan Duta, tugasnya untuk mengirim beberapa duta Islam membawa misi Islam ke beberapa wilayah; Cina, India, Indonesia, Bukara, Tajikistan, Samarkan, Afrika Utara dan Andalusia. 
c.      (Mengangkat beberapa profesional dalam bidang Administrasi keuangan dari orang-orang Byzantium untuk dipekerjakan dalam pemerintahan Islam.

Khalifah-khalifah Bani Umayyah lain yang ikut menetapkan beberapa kebijakan monumental pada masa pemerintahannya, diantaranya:

1)    Kebijakan Marwan bin Hakam (64-65 H), menetapkan mata uang sebagai alat resmi pemerintah untuk barter atau alat tukar. Sejarah mata uang pertama kali diciptakan di dunia dan dijadikan sebagai alat tukar.
2)    Kebijakan Abdul Malik bin Marwan (65-86 H), antara lain:
a)       Menumpas pemberontakan yang terjadi, membuat keadaan pemerintahan menjadi kondusif dan perkembangan peradaban menjadi lancar.
b)      Merubah bahasa administrasi dari bahasa Yunani dan bahasa Pahlawi ke bahasa Arab. Hal inilah yang mendorong Sibawaihi menyusun Al-Kitab, yang kemudian menjadi pegangan dalam tata bahasa Arab.
c)       Pada 659 M. merubah mata uang yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam, yang sebelumnya menggunakan mata uang Bizantium dan Persia berupa dinar dan dirham, dengan mata uang yang dicetak sendiri dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab, berupa dinar yang terbuat dari emas, dan dirham dari perak.
3)    Kebijakan Al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H) mengirimkan 12.000 pasukan Islam ke Eropa atau Andalusia terjadi pada tahun 711 M. d. Kebijakan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H), memerintahkan gubernur Madinah agar masyarakat Islam yang ada di Madinah, Hijaz dan sekitarnya menghimpun, menyeleksi dan menyempurnakan hadits.

Dalam menjalankan politik pemerintahannya, Muawiyah bin Abu Sufyan mengubah kebijakan sebelumnya. Kalau pada masa Khulafaur Rasyidin pengangkatan khalifah dilakukan dengan cara pemilihan, Muawiyah mengubah kebijakan itu dengan cara turun-temurun. Karenanya, khalifah penggantinya adalah Yazid bin Muawiyah, putranya sendiri. Ada dua hal yang menarik dari sistem pemerintahan yang dibangun oleh Bani Umayyah, yaitu politik ekspansi (perluasan wilayah) dan sistem monarkhi (Monarchiheridetis).

a)        Sistem politik

Perluasan wilayah begitu intens dilakukan Bani Umayyah, utamanya pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan (40-60 H), Abdul Malik Bin Marwan (65–86 H), dan Walid Bin Abdul Malik (86–96H). Perluasan ini dilandasi oleh semangat dan keinginan untuk merajai dan berkuasa yang telah berkobar dalam jiwa para khalifah untuk mendatangkan kehebatan bagi negaranya. Penaklukan ini melibatkan sejumlah penyerangan terhadap wilayah-wilayah terpencil yang dilaksanakan oleh sejumlah kekuatan tambahan non-Arab. Oleh karena itu, perang yang terjadi pada masa ini bukanlah perang ekspansi kesukuan, melainkan perang kerajaan yang berjuang untuk meraih dominasi dunia. Hal ini berbeda dengan serangkaian penaklukan pada masa Khulafaur Rasyidin, yang lebih dilatarbelakangi oleh sejumlah migrasi kesukuan dan pengerahan kekuatan Arab yang berpusat di beberapa pangkalan militer.

b)       Sistem Pemerintahan

Adapun sistem pemerintahan yang diterapkan Bani Umayyah adalah sistem monarkhi (Monarchiheridetis), yang mana suksesi kepemimpinan dilakukan secara turun temurun. Semenjak Muawiyah berkuasa, raja-raja Umayyah yang berkuasa kelak menunjuk penggantinya dan para pemuka agama diwajibkan menyatakan sumpah setia di hadapan raja. Sistem pengangkatan penguasa seperti ini, bertentangan dengan prinsip dasar dan ajaran permusyawaratan. Sistem ini merupakan bentuk kedua dari sistem pemerintahan yang pernah dipraktekkan umat Islam sebelumnya, yakni musyawarah, dimana sepeninggal Nabi Muhammad saw, khulafur rasyidin dipilih sebagai pemimpin berdasarkan musyawarah.

Dalam menata administrasi pemerintahan, Bani Umayyah mengembangkan administrasi pemerintahan Khulafaurrasyidin. Pada masa Umar bin Khatab, telah ada lima bentuk departemen, yaitu Nidhamul Maaly, Nidhamul harbi, Nidhamul Idary, Nidhamul Siashi dan Nidhamul Qadhi. Bentuk departemen ini kemudian dikembangkan lagi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dalam bentuk yang lebih luas dan menyeluruh, sebagai berikut.

1)    An-Nidham Al-Idari

Organisasi tata usaha negara pada permulaan Islam sangat sederhana, tidak diadakan pembidangan usaha yang khusus. Demikian pula keadaannya pada masa Daulah Bani Umayyah, administrasi negara sangat simpel. Pada umumnya, di daerah-daerah Islam bekas daerah Romawi dan Persia, administrasi pemerintahan dibiarkan terus berlaku seperti yang telah ada, kecuali diadakan perubahan-perubahan kecil. Ada empat organisasi tata usaha pada masa Bani Umayyah, yaitu:

(a)  Ad-Dawawin.

Untuk mengurus tata usaha pemerintahan, Daulah Umayyah mendirikan empat dewan atau kantor pusat, yaitu: diwanul kharraj, diwanur rasail, diwanul mustaghilat almutanawi’ah, dan diwanul Khatim. Keempat dewan ini memiliki tugas dan tanggung jawab mengurus surat-surat lamaran raja, menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan dibalut dengan lilin kemudian di atasnya dicap. 

(b) Al-Imarah Ala Al-Buldan.

Daulah Umayyah membagi daerah Mamlakah Islamiyah menjadi lima wilayah besar, yaitu Hijaz, Yaman dan Nejed (pedalaman jazirah Arab), Irak Arab dan Irak Ajam, Aman dan Bahrain, Karman dan Sajistan, Kabul dan Khurasan, negeri-negeri di belakang sungai (Ma Wara’a Nahri) dan Sind serta sebagian negeri Punjab, Mesir dan Sudan, Armenia, Azerbaijan, dan Asia Kecil, Afrika Utara, Libia, Andalusia, Sisilia, Sardinia dan Balyar. Setiap wilayah besar diangkat seorang Amirul Umara (Gubernur Jenderal) yang di bawah kekuasaannya terdapat beberapa orang amir (gubernur) yang mengepalai satu wilayah. Dalam rangka pelaksanaan kesatuan politik bagi negeri-negeri Arab, khalifah Umar mengangkat para gubernur jenderal yang berasal dari orang-orang Arab. Politik ini dijalankan terus oleh khalifah-khalifah sesudahnya, termasuk para khalifah Daulah Umayyah.   

(c)  Barid.

Organisasi pos dalam tata usaha pemerintahan semenjak Muawiyah bin Abi Sofyan memegang jabatan khalifah. Setelah Abdul Malik bin Marwan berkuasa organisasi pos dikembangkan sehingga menjadi alat penting dalam administrasi negara.

(d) Syurthah.

Organisasi syurthah (kepolisian) dilanjutkan dan dikembangkan pada masa Daulah Umayyah. Pada mulanya organisasi ini menjadi bagian dari organisasi kehakiman yang bertugas melaksanakan perintah hakim dan keputusan-keputusan pengadilan, yang kepalanya sekaligus sebagai pelaksana al-Hudud. Kemudian organisasi kepolisian terpisah dari kehakiman dan berdiri sendiri, dengan tugas mengawasi dan mengurus soal-soal kejahatan. Khalifah Hisyam memasukkan dalam organisasi kepolisian satu badan yang bernama Nidhamul Ahdas dengan tugas hampir serupa dengan tugas tentara yaitu semacam brigade mobil.
 
2)    An Nidham Al-Mali

Organisasi keuangan atau ekonomi. Sumber pemasukan keuangan pada zaman Daulah Umayyah pada umumnya sama seperti pada masa permulaan Islam, sebagai berikut.

(a) Al Dharaib, yaitu suatu kewajiban yang harus dibayar oleh warga negara (Al Dharaib) pada zaman Daulah Umayyah. Penduduk dari wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan, terutama yang belum masuk Islam, ditetapkan pajak-pajak istimewa. 
(b) Masharif Baitul Mal, yaitu pengeluaran keuangan pada masa Daulah Umayyah, pada umumnya sama seperti pada masa permulaan Islam yaitu untuk:
(1) Gaji para pegawai dan tentara serta biaya tata usaha pemerintahan;
(2) Pembangunan pertanian, termasuk irigasi dan penggalian terusanterusan;
(3) Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang;
(4) Biaya perlengkapan perang; dan
(5) Hadiah-hadiah kepada para pujangga dan para ulama. Selain itu, para khalifah Umayyah menyediakan dana khusus untuk dinas rahasia.
 
3)    An Nidham Al-Harbi

Organisasi pertahanan pada masa Daulah Umayyah sama seperti yang telah dibuat oleh khalifah Umar, hanya lebih disempurnakan. Bedanya, pada masa Khulafaur Rasyidin tentara Islam adalah tentara sukarela, sedangkan pada masa Daulah Umayyah orang masuk tentara kebanyakan dengan paksa atau setengah paksa, yang dinamakan Nidhamut Tajnidil Ijbari, semacam undang-undang wajib militer. Politik ketentaraan pada masa ini adalah Arab oriented, dimana anggota tentara haruslah terdiri dari orang-orang Arab. Organisasi tentara pada masa ini banyak mencontoh organisasi tentara Persia. Pada masa khalifah Utsman telah mulai dibangun angkatan laut, tetapi sangat sederhana. Muawiyah membangun armada musim panas dan armada musim dingin yang kuat dengan tujuan untuk: (1) mempertahankan daerah-daerah Islam dari serangan armada Romawi; dan (2) memperluas dakwah Islamiyah.

4)    An Nidhamm Al-Qadhai

Pada masa Daulah Umayyah kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari kekuasaan politik. Kehakiman pada zaman itu mempunyai dua ciri khas yaitu:
(a) seorang qadhi memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada lagi madzhab empat atau madzhab lainnya. Pada masa itu para qadhi menggali hukum sendiri dari al-Qur'an dan As Sunnah dengan berijtihad.
(b) Kehakiman belum terpengaruh dengan politik, karena para qadhi bebas merdeka dengan hukumnya, tidak terpengaruh dengan kehendak para pembesar yang berkuasa. Para hakim pada zaman Umayyah adalah manusia pilihan yang bertakwa kepada Allah swt dan melaksanakan hukum dengan adil, sementara itu para khalifah mengawasi gerak-gerik dan perilaku mereka, sehingga kalau ada yang menyeleweng langsung dipecat.

Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi ke dalam tiga badan: (1) AlQadha, seorang qadhi bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama; (2) Al-Hisbah, seorang al-Muhtashib bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat; dan (3) An-Nadhar fil Madhalim yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding. An Nadhar fil Madhalim merupakan pengadilan tertinggi yang bertugas menerima banding dari pengadilan yang berada di bawahnya dan mengadili para hakim dan para pembesar tinggi yang bersalah. Pengadilan ini bersidang di bawah pimpinan khalifah atau orang yang ditunjuk olehnya.

Para khalifah Bani Umayyah menyediakan satu hari saja dalam seminggu untuk keperluan ini dan yang pertama kali mengadakannya adalah Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Seperti mahkamah-mahkamah yang lain, Mahkamah Madhalim ini diadakan dalam masjid. Ketua Mahkamah Madhalim dibantu oleh lima orang pejabat lainnya, dimana sidang mahkamah itu tidak sah tanpa mereka yaitu: (1) Para pengawal yang kuat, yang sanggup bertindak kalau para pesakitan lari; (2) Para hakim dan qadhi; (3) Para sarjana hukum (fuqaha) tempat para hakim meminta pendapat tentang hukum; dan (4) Para penulis yang bertugas mencatat segala jalannya siding.

Selain itu, pada masa Daulah Umayyah diadakan satu jabatan baru yang bernama al-Hijabah, yaitu urusan pengawalan keselamatan khalifah. Kebijakan ini diambil mungkin karena khawatir akan terulang peristiwa pembunuhan terhadap Ali dan percobaan pembunuhan terhadap Muawiyah dan Amru bin Ash. Oleh karenanya, diadakan penjagaan yang ketat terhadap diri khalifah, sehingga siapapun tidak dapat menghadap sebelum mendapat izin dari para pengawal (hujjab). Kepala pengawalan keselamatan khalifah adalah jabatan yang sangat tinggi dalam istana kerajaan. Ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan melantik kepala pengawalnya, antara lain dia memberi amanat, “Engkau telah kuangkat menjadi kepala pengawalku. Siapapun tidak boleh masuk menghadap tanpa izinmu, kecuali muazzin, pengantar pos dan pengurus dapur”.

c.      Warisan peradaban

Wujud kebudayaan fisik berupa hasil aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat Islam pada masa Bani Umayyah tampak sekali, seperti: bangunan istana, masjid, dan rumah sakit. Istana-istana yang didirikan sebagai tempat beristirahat di padang pasir pada masa ini, antara lain

Qusayr Amrah dan Al-Mushatta. Masjid-masjid pertama di luar semenanjung Arab dibangun pada masa ini, antara lain:

1.        Katedral St. John di Damaskus dirubah menjadi masjid. Bahkan katedral yang di Hims, di pusat kota Suriah digunakan sekaligus untuk masjid dan gereja.
2.        Membangun masjid Sidi ‘Uqbah bin Nafi’ di makam ‘Uqbah bin Nafi’, panglima Muawiyah yang berhasil menaklukkan Afrika pada 50 H, di Kairuwan, Tunisia.
3.        Abdul Malik membangun masjid Al-Aqsa di Al-Quds, Jerusalem.
4.        Membangun monument Qubbah Al-Sakhr (Kubah Batu Karang) di-Quds, Jerusalem, di sebuah tempat yang menurut riwayat adalah tempat Nabi Ibrahim menyembelih Islmail dan Nabi Muhammad saw memulai mi’raj ke langit. 
5.        Qubbah Al-Sakhr (sumber: https://news.detik.com)
6.        Membangun masjid Cordova Masjid Agung Cordoba, Spanyol (sumber: www.republika.co.id)
7.        Al-Walid Memperbaiki, mempercantik, dan memperbesar Masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.

Al-Walid membangun berbagai institusi untuk melayani para penderita lepra yang lumpuh dan buta di Suriah. Ia merupakan penguasa pertama yang membangun rumah sakit bagi penderita penyakit kronis dan rumah-rumah penderita lepra, yang kemudian menginspirasi dan diikuti oleh Barat. 


d.     Perkembangan ilmu pengetahuan dan tokoh-tokohnya masa Bani Umayyah di Damaskus

Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Bani Umayyah di Damaskus meliputi 3 bidang, yaitu bidang diniyah, bidang tarikh dan bidang filsafat. Pada masa itu kaum muslimin memperoleh kemajuan yang sangat pesat, tidak hanya penyebaran agama Islam saja, tetapi juga penemuanpenemuan ilmu lainnya. Pembesar Bani Umayyah secara khusus menyediakan dana tertentu untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Para khalifah mengangkat ahli-ahli cerita dan mempekerjakan mereka dalam lembaga-lembaga ilmu, berupa masjid-masjid dan lembaga lainnya yang disediakan oleh pemerintah. Kebijakan ini mungkin karena didorong oleh beberapa hal: (1) Pemerintah Bani Umayyah dibina atas dasar kekerasan karena itu mereka membutuhkan ahli syair, tukang kisah dan ahli pidato untuk bercerita menghibur para khalifah dan pembesar istana. (2) Jiwa Bani Umayyah adalah jiwa Arab murni yang belum begitu berkenalan dengan Filsafat dan tidak begitu serasi dengan pembahasan agama yang mendalam. Mereka merasa senang dan nikmat dengan syair-syair yang indah dan khutbah-khutbah balighah (berbahasa indah).

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241968799

Para ahli sejarah menyimpulkan bahwa perkembangan gerakan ilmu pengetahuan dan budaya pada masa Bani Umaiyyah di Damaskus memfokuskan pada tiga gerakan besar yaitu; (1) Gerakan ilmu agama, karena didorong oleh semangat agama yang sangat kuat pada saat itu; (2) Gerakan Filsafat, karena ahli agama diakhir Daulah Umayyah terpaksa menggunakan filsafat untuk menghadapi kaum Nasrani dan Yahudi; dan (3) Gerakan sejarah, karena ilmu-ilmu agama memerlukan riwayat.

Pengembangan ilmu pengetahuan pada masa Bani Umayyah di Damaskus tampak pada beberapa bidang. Kegiatan-kegiatan ilmiah tersebut berpusat di Kuffah dan Basrah, Irak.

1.     Ilmu Tafsir
Setelah Daulah Umayyah di Damaskus berdiri, kaum muslim berhajat kepada hukum dan undang-undang yang bersumber dari al-Qur’an, sedangkan para qurra dan mufassirin menjadi tempat bertanya masyarakat dalam bidang hukum. Pada zaman ini keberadaan tafsir masih berkembang dalam bentuk lisan dan belum dibukukan. Ilmu tafsir pada saat itu belum berkembang seperti pada zaman Bani Abbasiyah.

2.     Ilmu Hadis
Pada saat mengartikan makna ayat-ayat al-Qur’an, kadang-kadang para ahli hadis kesulitan mencari pengertian dalam hadis karena terdapat banyak hadis yang sebenarnya bukan hadis. Dari kondisi semacam ini maka timbullah usaha para muhaddisin untuk mencari riwayat dan sanad hadis. Proses seperti ini pada akhirnya berkembang menjadi ilmu hadis dengan segala cabang-cabangnya. Perkembangan hadist diawali dari masa khalifah Umar bin Abdul Aziz dan ulama hadis yang mulamula membukukan hadis yaitu Ibnu Az Zuhri atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz.

3.     Ilmu kalam
Di masa inilah dimulai ilmu kalam dan muncullah nama-nama, seperti Hasan Al-Basri, Ibn Shihab Al-Zuhri, dan Wasil ibn Ata’. Perang yang diakhiri dengan tahkim (arbitrase) telah menyebabkan munculnya berbagai golongan, yaitu Muawiyah, Syiah (Pengikut) Ali, Khawarij dan sahabat-sahabat yang netral. Dari peristiwa yang diakibatkan oleh perseteruan dalam bidang politik akhirnya bergeser ke permasalahan teks-teks agama tepatnya masalah teologi atau ilmu kalam. Kaum Khawarij memandang Ali telah berbuat salah dan telah berdosa dengan menerima arbitrase itu. Menurut mereka penyelesaian dengan cara arbitrase atau tahkim itu bertentangan dengan al-Quran. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 44, “Dan barang siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” Dengan landasan ayat al-Quran tersebut, mereka menghukum semua orang yang terlibat dalam tahkim itu telah menjadi orang-orang kafir. Kafir dalam arti telah keluar dari Islam. Orang yang keluar dari Islam di katakan murtad, dan orang murtad halal darahnya dan wajib dibunuh. Maka dari itu mereka memutuskan untuk membunuh Ali, Muawiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa, dan yang berhasil dibunuh hanya Imam Ali (Yusuf, 2014: 9-10)

Persoalan ini akhirnya menimbulkan tiga aliran Ilmu Kalam dalam Islam, yaitu: (a) Aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh. (b) Aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. (c) Aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Orang yang serupa ini mengambil posisi di antara ke dua posisi mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arab terkenal dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi) (Rozak, 2012: 35).

Setelah ketiga aliran di atas, lalu muncul pula dua aliran Ilmu Kalam yang terkenal dengan nama Qadariyah dan Jabariah. Menurut Qadariyah manusia memiliki kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.Sebaliknya, Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.

Dari paparan sekilas ini, secara jelas dapat diketahui bahwa peristiwa tahkim berdampak dan berimplikasi kepada tumbuhnya aliran-aliran dalam Ilmu Kalam. Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah merupakan aliran yang pertama sekali muncul dalam sejarah peradaban Islam. Kemudian muncul aliran Qadariyah dan Jabariyah. Kedua aliran ini kendatipun pada awalnya muncul dengan membentuk aliran tersendiri, tetapi dalam perkembangannya tidak lagi dapat disebut sebagai aliran. Paham Qadariyah dan Jabariyah kemudian memasuki aliran-aliran Ilmu Kalam yang ada (Yusuf, 2014: 13).

4.     Ilmu Qira'at
Dalam sejarah perkembangan ilmu, yang pertama kali berkembang adalah ilmu qiraat. Cabang Ilmu ini mempunyai kedudukan yang sangat penting pada permulaan Islam sehingga orang-orang yang pandai membaca al-Qur'an pada saat itu disebut para Qurra. Setelah pembukuan dan penyempurnaan al-Qur’an pada masa Khulafaur Rasyidin dan al-Qur’an yang sah dikirim ke berbagai kota wilayah bagian, kemudian lahirlah dialek bacaan tertentu bagi masing-masing penduduk kota tersebut dan mereka mengikuti bacaan seorang qari’ yang dianggap sah bacaannya. Akhirnya muncul dan masyhurlah tujuh macam bacaan yang sekarang terkenal dengan nama Qiraat sab’ah kemudian selanjutnya ditetapkan sebagai bacaan standar.

5.     Ilmu Nahwu
Dengan meluasnya wilayah Islam dan didukung dengan adanya upaya Arabisasi maka ilmu tata bahasa Arab sangat dibutuhkan. Sehingga dibukukanlah ilmu nahwu dan menjadi salah satu ilmu yang penting untuk dipelajari. Memulai mempelajari tata Bahasa Arab yang dikenal dengan nama nahwu adalah ketika seorang bayi memulai berbicara dilingkungannya. Tanpa tata bahasa maka pembicaraan tidak akan baik dan benar. Setelah banyak bangsa di luar bangsa Arab masuk Islam dan sekaligus wilayahnya masuk dalam daerah kekuasaan Islam maka barulah terasa bagi bangsa Arab dan mulai di perhatikan dengan cara menyusun ilmu nahwu. Adapun ilmuwan bidang bahasa pertama yang tercatat dalam sejarah perkembangan ilmu yang menyusun ilmu nahwu adalah Abu al-Aswad al-Du’ali yang berasal dari Baghdad. Salah satu jasa dari Al-Du’ail adalah menyusun gramatika Arab dengan memberikan titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak ada. Abu Aswad Ad Dualy yang wafat tahun 69 H. Tercatat beliau belajar dari shahabat Ali bin Abi Thalib, dengan demikian ada saja ahli sejarah mengatakan bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib-lah bapaknya ilmu nahwu.

6.     Tarikh dan Geografi
Geografi dan tarikh pada masa ini telah menjadi cabang ilmu tersendiri. Dalam mengembangkan ilmu tarih ilmuwan pada masa ini mengumpulkan kisah tentang Nabi dan para Sahabatnya yang kemudian dijadikan landasan bagi penulisan buku-buku tentang penaklukan (maghazi) dan biografi (sirah). Munculnya ilmu geografi dipicu oleh berkembangnya dakwah Islam ke daerah-daerah baru yang luas dan jauh. Penulisan sejarah Islam dimulai pada saat terjadi peristiwa-peristiwa penting dalam Islam dan dibukukannya dimulai pada saat Bani Umayyah dan perkembangan pesat terjadi pada saat Bani Abbasiyah. Demikian begitu pesatnya perkembangan sejarah Islam sehingga para ilmuan berkecimpung dalam bidang itu dapat mengarang kitab-kitab sejarah yang tidak dapat dihitung banyaknya. Sampai sekarang prestasi penulisan sejarah pada saat Bani Umayyah dan Abbasiyah tidak dapat ditandingi oleh bangsa manapun, tercatat kitab sejarah yang ditulis pada zaman itu lebih dari 1.300 judul buku.

7.     Seni Bahasa
Umat Islam masa Bani Umayyah selain telah mencapai kemajuan dalam bidang politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan, juga telah tumbuh dan berkembang seni bahasa. Perhatian kepada syair Arab Jahiliyah timbul kembali dan penyair-penyair Arab barupun timbul, seperti Umar Ibn Abi Rabi’ (w. 719 M), Jamil Al-Udhri (w. 701 M), Qays Ibn Al-Mulawwah (w. 699 M) yang lebih dikenal dengan nama Majnun Laila, Al-Farazdaq (w. 732 M), Ummu Jarir (w. 792 M), penyair yang mendukung dan memelihara kemulian Badui dan yang syair-syairnya menonjol karena nafas-nafas spiritualnya, dan AlAkhtal (w. 710 M) yang beragama Kristen aliran Jacobite. Pada masa ini seni dan bahasa mengambil tempat yang penting dalam hati pemerintah dan masyarakat Islam pada umumnya. Pada saat kota-kota seperti Bashra dan Kuffah adalah pusat perkembangan ilmu dan sastra. Orang-orang Arab muslim berdiskusi dengn bangsa-bangsa yang telah maju dalam hal bahasa dan sastra. Di kota–kota tersebut umat Islam menyusun riwayat Arab, seni bahasa dan hikmah atau sejarah, nahwu, sharaf, balaghah dan juga berdiri klub-klub para pujangga. Pada masa ini juga muncul terjemahan-terjemahan awal naskahnaskah filsafat Yunani dari bahasa Suryani ke bahasa Arab.


B.    Perkembangan kebudayaan pada masa Bani Abbasiyah

Bani Abbasiyah lahir tahun 750 M. Nama Abbasiyah yang dipakai untuk nama bani ini adalah di ambil dari nama bapak pendiri Abbasiyah yaitu Abas bin Abdul Mutalib paman Nabi Muhammad Saw. Proses lahirnya Abbasiyah di mulai dari kemenangan Abu Abbas Assafah dalam sebuah perang terbuka (al-Zab) melawan khalifah Bani Umayyah yang terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Abu Abbas diberi gelar Assafah karena dia pemberani dan mampu memainkan mata pedangnya kepada lawan politiknya. Semua lawan politiknya di perangi dan di kejar-kejar, diusir keluar dari wilayah kekuasaan Abbasiyah yang baru direbut dari Bani Umayyah di Damaskus. 

Proses pengembangan peradaban yang dibangun Bani Abbasiyah begitu cepat membawa perubahan besar bagi perkembangan peradaban ilmu pengetahuan selanjutnya. Bani Abbasiyah eksis selama 505 tahun dan diperintah oleh 37 khalifah dengan mampu menciptakan peradaban yang menjadi kiblat dunia pada saat itu, peradaban yang dikenang sepanjang masa. Pada waktu itu suasana belajar kondusif, fasilitas belajar disediakan pemerintah dengan lengkap. Motivasi belajar menjadi pendorong gairahnya masyarakat untuk belajar. Masyarakat mendatangi tempat-tempat belajar seperti kuttab dan madrasah maupun perguruan tinggi seperti universitas. Universitas yang terkenal pada saat itu adalah Nizamiyah yang dibangun oleh perdana menteri Nizamul Muluk dari khalifah Harun al- Rasyid. Khalifah Harun al-Rasyid terkenal sebagai khalifah yang sangat cinta pada ilmu pengetahuan, baik belajar maupun dalam hal membangun fasilitas belajar, seperti: sekolah, perpustakaan, menyediakan guru dan membentuk gerakan terjemahan.

Abu Abbas Assafah sebagai pendiri Bani Abbasiyah memiliki masa kepemimpinan yang sangat singkat. Hanya 4 tahun beliau memerintah, akan tetapi mampu menciptakan suasana dan kondisi
 
Abbasiyah yang seteril dari keturunan Bani Umayyah sebagai lawan politik yang baru di kalahkan dan dikuasainya. Sikap tegas dan berani yang ditunjukkan oleh Khalifah Abu Abas Assafah ketika membuat kebijakan memberantas semua keturunan Umayyah dari wilayah yang dikuasainya. Dampak dari kebijakan tersebut dapat dilihat dari suasana pusat wilayah dan rakyat Abbasiyah yang baru menjadi lebih kondusif dan perkembangan peradaban dapat dikendalikan oleh Khalifah Abu Abbas Assafah.

Berikut merupakan khalifah-khalifah yang memimpin Bani Abbasiyah:

1.     Abul Abbas As Saffah (750-754 M) 
Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas merupakan Khalifah pertama pemerintahan Abbasiyah. Ayahnya adalah orang yang melakukan gerakan untuk mendirikan pemerintahan Bani Abbasiyah dan menyebarkan kemana-mana. Inilah yang membuat Abdullah banyak mengetahui tentang gerakan ini dan rahasia-rahasianya. Dia diangkat oleh saudaranya yang bernama Ibrahim sebelum dia ditangkap oleh pemerintahan Umawiyah pada tahun 129 H / 746 M. Tertangkapnya Ibrahim membuat Abdullah harus berangkat ke Kufah bersama-sama dengan pengikutnya secara rahasia. Pada masa pemerintahannya, saat pasukan Abbasiyah menguasai Khurasan dan Irak, dia keluar dari persembunyiannya dan dibaiat sebagai Khalifah pada tahun 132 H/ 749 M. Setelah itu dia mengalahkan Marwan bin Muhammad dan menghancurkan pemerintahan Bani Muawyah pada tahun yang sama. Abu Abbas Assyafah meninggal pada tahun 136 H / 753 M. 

2.     Abu Ja’far Al Manshur (754-775 M) 
Abu Ja’far Al-Manshur menjabat Khalifah kedua Bani Abbasiyah menggantikan saudaranya Abul Abbas As Saffah. Abu Ja’far Al Manshur adalah putra Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib yang juga saudara kandung Ibrahim Al-Imam dan Abul Abbas As-Saffah. Ketiganya merupakan pendiri Bani Abbasiyah. Ketika Khalifah Abul Abbas As Saffah meninggal, Abu Ja’far sedang menunaikan ibadah haji bersama Panglima Besar Abu Muslim Al-Khurasani. Yang pertama kali dilakukan Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur setelah dilantik menjadi Khalifah pada 136 H/ 754 M adalah mengatur politik dan siasat pemerintahan Bani Abbasiyah. Jalur-jalur pemerintahan ditata rapi dan cermat, sehingga pada masa pemerintahannya terjalin kerja sama erat antara pemerintah pusat dan daerah. Begitu juga antara qadhi (hakim) kepala polisi rahasia, kepala jawatan pajak, dan kepalakepala dinas lainnya. 
Selama masa kepemimpinannya, kehidupan masyarakat berjalan tenteram, aman dan makmur. Stabilitas politik dalam negeri cenderung aman dan terkendali, tidak ada gejolak politik dan pemberontakan-pemberontakan. Menjelang pengujung 158 H, Khalifah Abu Ja’far Al Manshur berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Namun dalam perjalanan ia sakit lalu meninggal dunia. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan memerintah selama 22 tahun. Jenazahnya dibawa dan dikebumikan di Baghdad.

3.     Muhammad Al-Hadi 
Muhammad Al-Mahdi bin al-Mansur dilantik sebagai Khalifah sesuai dengan wasiat ayahnya pada tahun 158 H/ 774 M. Dia dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan dan pemurah. Pada masa pemerintahannya, kondisi dalam negeri saat itu sangat stabil, dan tidak ada satu gerakan penting dan signifikan di masanya. Dia berhasil mencapai kemenangan-kemenangan atas orang-orang Romawi. Anaknya, Harun Ar-Rasyid adalah panglima perang dalam penaklukan ini. Dia sampai ke Pantai Marmarah dan berhasil melakukan perjanjian damai dengan Kaisar Agustine yang bersedia untuk membayar jizyah pada tahun 166 H/ 782 M. Muhammad Al-Mahdi meninggal pada tahun 169 H / 785 M setelah memerintah selama 10 tahun beberapa bulan. 

4.     Musa Al-Hadi 
Musa Al-Hadi bin Muhammad Al-Mahdi yang dilantik sebagai Khalifah setelah ayahnya wafat. Pada masa itu, terjadi pemberontakan oleh Husein bin Ali bin Husein bin Hasan bin Ali di Makkah dan Madinah yang menginginkan agar pemerintahan berada di tangannya. Namun, Al-Hadi mampu menaklukannya dalam perang Fakh pada tahun 169 H / 785 M. Pada saat yang sama, Yahya bin Abdullah juga melakukan pemberontakan di Dailam. Al-Hadi memberangkatkan Ar-Rasyid sampai Yahya bin Abdullah mampu ditaklukan. Musa Al-Hadi meninggal pada tahun 170 H / 786 M. 

5.     Harun Al-Rasyid 
Harun Ar Rasyid bin al-Mahdi merupakan mutiara sejarah Bani Abbasiyah. Pada masanya pemerintahan Islam mengalami puncak kemegahan dan kesejahteraan yang belum pernah dicapai sebelumnya. Harun Ar-Rasyid dikenal sebagai sosok yang sangat pemberani. Dia telah melakukan penyerbuan dan penaklukan negeri Romawi pada saat baru berumur 20 tahun. Dia pun dikenal sebagai sosok yang takwa dan takut kepada Allah dalam segala perkara. Pada masa pemerintahannya adalah masa yang sangat tenang dan stabil, hanya ada beberapa pemberontakan kecil yang tidak berarti apa apa, di antaranya adalah pemberontakan Yahya Abdullah, kaum Khawarij, orang-orang Zindik, dan pemberontakan di Kharasan. Sebelum meninggal, dia mewariskan kekuasaan kepada kedua anaknya, Al-Amin dan Al Makmun. Hal ini menjadi fitnah yang bertiup kencang yang terjadi antara dua saudara ini setelah kematiannya. Harun meninggal pada tahun 193 H / 808 M setelah memerintah selama 23 tahun.

6.     Muhammad Al-Amin 
Dia bernama Muhammad Al-Amin bin Harun Ar-Rasyid. Ayahnya telah membaiatnya sebagai Khalifah, lalu untuk saudaranya Al Makmun, kemudian untuk Qasim. Dia diberi kekuasaan di Irak, sedangkan Al-Makmun di Kharasan. Namun, ada salah seorang menteri Al-Amin yang mendorongnya untuk mencopot posisi putera mahkota dari adiknya dan memberikannya kepada anaknya yang bernama Musa. Al-Amin termakan tipuan ini, dan Al-Amin segera memberontak. Pada tahun 195 H/ 810 M, AlAmin mengirimkan dua pasukan untuk memerangi saudaranya, namun berhasil dihancurkan oleh Thahir bin Husein, panglima perang Al-Makmun. Al-Amin sendiri dikenal sebagai seorang yang suka berfoya-foya serta banyak melalaikan urusan negara. Sehingga setelah lima tahun ia memerintah, kekhalifahannya digantikan oleh Abdullah Al Makmun. 

7.     Abdullah Al-Makmun 
Dia bernama Abdullah Al- Makmun bin Harun Ar- Rasyid. Pada masa pemerintahannya banyak peristiwa peristiwa penting yang terjadi, pertama adalah pemberontakan Bagdad dan penunjukkan Ibrahim Al Mahdi sebagai Khalifah, kedua Al-Khuramiyah, dan ketiga adanya fitnah bahwa Al-Quran adalah makhluk. Penaklukan-penaklukan pada masa pemerintahannya sangatlah terbatas. Dia hanya mampu menaklukan Laz, sebuah tempat di Dailam pada tahun 202 H/ 817 M. Pada masanya, dia tidak menjadikan anaknya Al- Abbas, untuk menggantikan dirinya. Dia malah mengangkat saudaranya Al Mu’tasim karena bisa melihat bahwa Al Mu’tasim lebih memiliki banyak kelebihan dibandingkan anaknya. Setelah berkuasa selama 20 tahun. Al Ma’mun meninggal pada tahun 218 H/ 833 M. 

8.     Abu Ishaq Al-Mu’tasim 
Dia bernama Muhammad bin Harun Ar-Rasyid diangkat khalifah setelah mendapat wasiat dari saudaranya. Pada masa pemerintahannya, dia banyak mengangkat pasukan dari orang orang Turki, sehingga ini sama artinya dengan meletakkan semua masalah pemerintahan di tangan orang-orang Turki yang berlebihan. Adapun peristiwa penting pada zaman pemerintahannya adalah gerakan Babik AlKhurami. Penaklukan yang dilakukan oleh Abu Ishaq Al-Mu’tasim pada pemerintahannya adalah penaklukan Al-Muriyah yang mana banyak perbuatan yang melampaui batas kesopanan. Kemudian setelah memerintah selama 9 tahun, Abu Ishaq Al-Mu’tasim meninggal dunia pada tahun 227 H/833 M. 

9.     Harun Al-Watsiq 
Dia adalah Harun bin Muhammad Al-Mu’tasim menjadi Khalifah setelah ayahnya Al-Mu’tasim, pada tahun 227 H/ 841 M. Panglima-panglima asal Turki pada masanya mencapai posisi-posisi yang sangat terhormat. Bahkan, Asynas mendapatkan gelar sultan dari Al-Watsiq. Harun Al-Watsiq meninggal pada tahun 223 H / 846 M setelah memerintah selama 5 tahun. 

10. Jakfar Al Mutawakkil 
 Dia bernama Ja’far bin Muhammad Al-Mu’tasim. Ja’far Al-Mutawakkil adalah salah seorang yang melarang dengan keras pendapat yang mentapkan bahwa Al Quran adalah makhluk. Pada masa pemerintahannya, orang-orang Romawi melakukan penyerangan di Dimyath, Mesir. Peristiwa ini terjadi pada tahun 238 H / 852 M. Al-Mutawakkil dibunuh oleh anaknya yang bernama Al-Muntasir pada tahun 247 H / 861 M.

Khalifah Abu Ja’far al-Mansur, khalifah kedua dari pemerintahan Bani Abbasiyah menetapkan beberapa kebijakan pemerintahan Abbasiyah sebagai kontrol pemerintahan, yaitu:

a.      Memindahkan pusat kekuasaan Bani Abbasiyah dari Hasyimiyah ke Bagdad
b.     Kota Bagdad sebagai pusat kekuasaan Abbasiyah di buka menjadi kota terbuka untuk semua peradaban dari berbagai bangsa masuk. Hal ini dilakuan oleh para khalifah melihat pengalaman pola pengembanga budaya dan ilmu masa Bani Umayyah yang bersifat Arab oriented, akibatnya adalah budaya dan ilmu pengetahuan menjadi lambat berkembang.
c.      Ilmu pengetahuan dipandang sabagai suatu yang sangat mulia dan berharga. Para khalifah adalah orang-orang yang sangat mencintai ilmu dan membuka kesempatan ilmu pengetahuan seluasluasnya.
d.     Rakyat diberi beban berfikir serta memperoleh hak asasinya dalam segala bidang, seperti; aqidah, ibadah, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
e.      Para menteri keturunan Persia di beri hak penuh untuk menjalankan pemerintahan sehingga mereka memegang peranan penting dalam memajukan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
f.       Berkat usaha khalifah Abbasiyah yang sungguh-sungguh dalam membangun ekonomi Islam, pemerintah Abbasiyah memiliki perbendaharaan harta yang cukup melimpah di baitu maal hasil rampasan perang dari kemenangan perang.
g.     Dalam pengembangan ilmu pengetahuan para khalifah banyak yang mendukug perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga banyak buku-buku yang dikarang oleh ilmuan dalam lembaga-lembaga ilmu pengetahuan yang dibangun untuk memfasilitasi kegiatan masyarakat dalam menimbah ilmu pengetahuan.
h.     Masyarakat dapat dibagi menjadi dua kelompok besar.
Kelompok pertama, kelompok khalifah, terdiri dari khalifah dan keluarga, para pembesar dan pekerja yang bekerja di istana. Mereka diberi penginapan di dalam wilayah istana (Daarul Khalifah).
Kelompok kedua, kelompok masyarakat umum, yang terdiri para guru, ulama, petani, buruh, filosof dan masyarakat pada umumnya.

Tujuan dari pembagian tersebut adalah agar pembagian tugas menjadi jelas, bukan justru untuk membuat jarak antara sesama masyarakat Islam atau antara masyarakat Islam dengan masyarakat non Islam. Meskipun demikian, kenyataannya terdapat dikotomi dalam masyarakat Islam Abbasiyah antara para pembesar dengan masyarakat umum.
    
Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241948329

Kebijakan-kebijakan tersebut oleh para pakar sejarah dipandang mampu meciptakan suasana belajar yang kondusif, memotivasi masyarakat Abbasiyah untuk belajar dengan sungguh-sungguh, dan mampu membentuk budaya belajar dengan sesungguhnya bagi masyarakat Abbasiyah pada umumnya.

Selama beberapa dekade pasca berdirinya pada tahun 132H/750M, Dinasti Abbasiyah berhasil melakukan konsolidasi internal dan memperkuat kontrol atas wilayah-wilayah yang mereka kuasai. Era kepemimpinan Khalifah kedua, Abū Ja`far bin `Abdullāh bin Muhamad Al-Mansūr (137-158H/754775M), menjadi titik yang cukup krusial dalam proses stabilisasi kekuasaan ini ketika ia mengambil dua langkah besar dalam sejarah kepemimpinannya. Pertama, menyingkirkan para musuh maupun bakal calon musuh serta menumpas sejumlah perlawanan lokal di beberapa wilayah kedaulatan Abbasiyah. Kedua, meninggalkan Al-Anbār dan membangun Baghdad sebagai ibukota baru, yang beberapa saat kemudian menjadi fokus aktivitas ekonomi, budaya dan keilmuan dunia Muslim saat itu. 

Gerakan penerjemahan yang kemudian menjadi salah satu ’ikon’ kemajuan peradaban Abbasiyah juga tidak lepas dari peranan Al-Mansūr sebagai Khalifah pertama yang mempelopori gerakan penerjemahan sejumlah buku-buku kuno warisan peradaban pra-Islam. Demikian dengan gerakan pembukuan (tasnīf) dan kodifikasi (tadwīn) ilmu tafsir, hadis, fikih, sastra serta sejarah mengalami perkembangan cukup signifikan di era Al-Mansūr pula. Konon, sebelum masa itu, para pelajar dan ulama dalam melakukan aktivitas keilmuan hanya menggunakan lembaran-lembaran yang belum tersusun rapi, sehingga tidak mengherankan jika Al-Qanūji secara tegas menyebut Al-Mansur sebagai Khalifah pertama yang memberikan perhatian besar terhadap ilmu-ilmu kuno pra-Islam, setelah sebelumnya terabaikan oleh para Khalifah Bani Umayyah. 

Ada beberapa faktor kemajuan peradaban Dinasti Bani Abbasiyah. Faktor politik, antara lain: (1) Pindahnya ibu kota negara dari al-Hasyimiyah ke Bagdad yang dilakukan oleh Khalifah al-Mansyur. (2) Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintah dan pegawai istana, dan (3) Diakuinya Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara pada masa al-Makmun pada tahun 827 M. Faktor Sosiografi, antara lain: (1) Meningkatnya kemakmuran umat Islam. (2) Luasnya wilayah kekuasaan Islam menyebabkan banyak orang Romawi dan Persia yang masuk Islam dan kemudian menjadi Muslim yang taat. (3) Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. (4) Adanya gerakan penerjemahan buku filsafat dan ilmu dari peradaban Yunani dalam Bait al-Hikmah sehingga menjelma sebagai pusat kegiatan intelektual.

Kemajuan dinasti Abasiyyah dalam bidang agama, filsafat dan sains tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kota Baghdad sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Baghdad adalah sebuah kota yang didirikan atas inisiatif al-Mansur yang terletak di sebelah barat sungai Tigris dikerjakan selama empat tahun oleh 100 ribu karyawan dan arsitektur dengan biaya 4000,833 dirham. Kemajuan Islam zaman Abasiyyah ini banyak dirintis oleh khalifah Ma’mun (813-833 H) dengan mendirikan pusat kerajaan ilmu pengatahuan dan teknologi dengan nama “Darul Hikmah”. Darul Hikmah ini di samping pusat kerajinan juga sebagai pusat perpustakaan dan kantor penterjemahan ilmu-ilmu non Arab ke dalam bahasa Arab, seperti filsafat Yunani, ilmu-ilmu Barat. Darul Hikmah membuat sekitar satu juta buku ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam penterjemahan dipimpin oleh seorang ilmuwan yang bernama Hunain bin Ishaq (809-973 H). di bawah pimpinan Hunain bin Ishaq inilah banyak dihasilkan buku-buku penting yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yang meliputi ilmu Kimia, Matematika, Filsafat Yunani, Astronomi dll.

Khalifah al Makmun sangat berbeda filosofi hidupnya dengan para khalifah Abbasiyah pada umumnya, juga berbeda dengan kakaknya al Amin bin Harun al Rasyid yang suka berpesta pora. Al Makmun cenderung lebih memperhatikan jalannya pemerintahan dan pembangunan negara, termasuk kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ketimbang bersukaria dengan pesta pora, minuman keras dan hasrat terhadap sesama jenis (Farag Faudah, 2008: 167).

Keterbukaan dalam pemerintahan Abbasiyah, khususnya masa khalifah al Makmun sungguhsungguh nyata. Banyak juru tulis tersebar dalam birokrasi adalah orang Khurosan, kelompok Kristen Nestorian. Kelompok minoritas, seperti Yahudi, banyak terlibat dalam urusan perpajakan dan perbankan. Keluarga-keluarga muslim Syi’ah juga berpengaruh terhadap kebijakan politik khalifah (Ira M. Lapidus, 1999: 108). Sebagai contoh al Makmun berusaha mendekati tokoh aliran Syi’ah pada saat itu dengan cara menikahi salah satu putri imam Ali al Ridlo, Imam Syi’ah kedelapan dan menyebut Ali al Ridla sebagai pewaris kekhalifahan sesudahnya (Keren Armstrong, 2002: 89). Sebagai penganut Mu’tazilah al Makmun sangat gemar ilmu pngetahuan dan filsafat, hal ini merupakan salah satu faKtor yang mampu menggerakkan umat Islam untuk kemajuan ilmu Pengetahuan dan teknologi dengan pesat. Berdasar uraian tersebut nampaknya al Makmun memiliki filosofi pluralistis dalam berbangsa dan bernegara, sehingga tak membedakan suku, agama, ras dan aliran (SARA).

Adapun faham keagamaan khalifah al Makmun adalah pengikut aliran Mu’tazilah dalam persolan ilmu Kalam. Sebagai sorang intelektual dan negarawan, al Makmun hampir tanpa cela. Seandainya ia tidak terseret yang terlalu dalam terhadap rasionalitas Mu’tazilah dan menjadikannya sebagai faham resmi dalam kenegaraan pada tahun 212 H/827 M serta membuka sikap fanatisme aliran yang kemudian membawa dampak adanya peristiwa yang dikenal dengan Mihnah al Qur’an yang pada prakteknya memeriksa batin seseorang mengakui kemakhluqan al Qu’an atau tidak. Jika tidak maka akan di hukum berat, praktek inkuisisi ini muncul dimana-mana, dan faham Mu’tazilah ini ditentang oleh Aliran ahli hadits yang di komendani Ahmad bin Hambal (Faisal Isma’il, 2010: 244-245).  

Dalam upaya memajukan pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan al Makmun menetapkan kebijakan politik pendidikan sebagaimana digambarkan oleh Philip K. Hitti secara panjang lebar, tetapi secara singkat bisa kita paparkan sebagai berikut. 
           a.      Al-Makmun sangat menghormati para ahli ilmu baik agama maupun umum termasuk para filosuf, sekalipun tidak seperti ayahnya Harun al Rasyid;
           b.      Mendirikan Perpustakaan Baitul hikmah yang di dalamnya orang bisa membaca menulis dan berdiskusi;
           c.      Cabang-cabang ilmu keislaman muncul dan berkembang pada masa ini, seperti: 'ulumul Qur'an, Ilmu Qira'at, ilmu Hadits, Ilmu kalam, dan lainnya termasuk muncul dan berkembangnya Fiqih dan ushul Fiqih dalam empat madzhab semacam imam Syafi'I (150 H- 204 H);
           d.      Ilmu pengetahuan umum juga berkembang, seperti: filsafat, matematika, ilmu alam, metafisika, geometri, al Jabar, aritmatika, astronomi, kedokteran, kimia, dan musik;
           e.      Penterjemahan buku-buku yang berisi tentang Ilmu pengetahuan dari bahasa Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa Arab. 
Ilmuwan Muslim (sumber: www.republika.co.id) 

Setelah kebijakan Khalifah al Makmun dengan mengembangkan Ilmu, di tengah masyarakat muncul dan berkembang tempat-tempat pendidikan, termasuk lembaga pendidikan yang tadinya sudah berdiri antara lain:
               1)           Buyut al Muslimin, termasuk Darul Arqom di Makkah ketika Nabi Muhammad SAW, memulai pendidikan para sahabat, juga Buyut al Ulama.
               2)           Suffah sebagian ruang di masjid
               3)           Al Kuttab yaitu tempat pendidikan tingkat pemula
               4)           Masjid dengan sistem Halaqah
               5)           Madrasah
               6)           Al Ribath yaitu lembaga pendidikan yang didirikan oleh para guru thariqoh
               7)           Al Zawiyah merupakan tempat pengajaran spiritual dengan memanfaatkan sebagian dari pinggiran masjid
               8)           Al Maristan yaitu rumah sakit untuk merawat dan mengobati orang-orang yang mengidap penyakit kronis, seperti buta dan kusta.
               9)           Al qushr (Istana) yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus untuk mendidik para putra pejabat pemerintah
          10)           Al Hawanith al Wariqin yaitu toko buku yang juga berfungsi tempat pembelajaran 
          11)           Al Shalun Adabiyah atau sanggar sastra yaitu tempat yang disediakan oleh Knalifah untuk membicarakan berbagai masalah penting dengan cara mengundang para Ulama 
          12)           Al Badiyah yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus mengajarkan bahasa Arab kuno. 
          13)           Observatorium yaitu lembaga pendidikan untuk penelitian dan percobaan 
          14)           Al Maktabah

Berangkat dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa al Makmun termasuk salah satu Khalifah Abbasiyah yang cenderung berkarakter baik, memikirkan kemajuan kekhalifahan Islam, kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat serta mampu menghindari perilaku yang bertentangan dengan syari’at Islam. Barangkali satu-satunya keteledoran al Makmun adalah memaksakan pendapat kepada umat Islam dengan mengikuti salah satu aliansi faham tentang al Qur’an yaitu faham Mu’tazilah (Ghani, 2015).
 

Berikut ini beberapa zaman keemasan dari Bani Abbasiyah:

1.     Kemajuan Ilmu-Ilmu Agama
  
Masa Abbasiyah dikenal sebagai era keemasan ilmu pengetahuan dan Agama. Ilmu-ilmu agama berkembang dengan subur dan diiringi oleh kemunculan tokoh-tokoh agama yang berpengaruh sampai sekarang ini. 

a.      Ilmu Tafsir

Ilmu Tafsir pada masa ini berkembang pesat karena sangat dibutuhkan, terutama oleh orangorang non Arab yang baru masuk Islam. Mereka membutuhkan makna dan penafsiran al-Qur’an. Hal inilah yang kemudian menyebabkan munculnya beberapa aliran dalam ilmu tafsir. Penafsiran Al Qur’an pun berkembang tidak hanya dengan penafsiran makna, tetapi juga penafsiran “Bil al Ma’sur dan “Bi al Ro’yi”. Pemerintahan Abasiyyah yang pertama menyusun tafsir dan memisahkan antara Tafsir dengan Hadis. Sebelum itu kaum Muslimin menafsirkan Qur’an melalui hadis-hadis Nabi, keterangan para sahabat, tabi’in. Di antara karya besar tafsir adalah Al-Farra’, yang merupakan karya Tafsir pertama yang disesuaikan dengan sistematika Al Qur’an. Kemudian muncul At Tabari yang menghimpun kumpulan-kumpulan tafsir dari tokoh sebelumnya. Kemudian muncul golongan Ulama’ yang menafsirkan Al Qur’an secara rasional, seperti Tafsir Al Jahiz. Ahli tafsir terkemuka yang muncul pada masa Abbasiyah adalah Abu Yunus Abdus Salam Al Qozwani yang merupakan salah satu penganut aliran Tafsir bi al Ra’yi. Sedangkan yang muncul dari aliran Tafsir Bi Al Aqli adalah Amar Ibnu Muhammad al-Khawarizmi, Amir al-Hasan bin Sahl. 

Selanjutnya muncul beragam metode penafsiran Alquran dengan berbagai ragamnya, sepertimetode Tafsir bi al-Ma’tsur. Metode ini fokus pada riwayat-riwayat yang sahih, baik menggunakan ayat dengan ayat, hadis, dan perkataan sahabat atau tabiin. Ada beberapa tokoh yang dikenal mempoulerkan metode ini.

1)    Imam at-Thabari (wafat: 923 M/310 H), karyanya adalah Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ayy al-Qur’an, yang menjadi rujukan para ulama pada masa berikutnya, seperti al-Baghawi, as-Suyuthi, dan Ibnu Katsir.
2)    Ibnu Katsir (wafat: 1372 M), karyanya adalah Tafsir al-Qurad al-Azhim. Dikenal juga sebagai seorang sejarawan dengan karya terkenalnya, al-Bidayah wa an-Nihayah.
3)    As-Suyuthi (lahir: 1445 M), karyanya adalah ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur. Karya lain dalam bidang al-Qur’an adalah al-Itqan fi ‘Ulum al-Alquran. 

b.     Ilmu Hadis
Pada masa ini kajian hadis sebagai sumber hukum setelah Al Qur’an berkembang dengan cara menelusuri keontentikkan (shohih) Hadis. Hal inilah yang mengilhami terbentuknya ilmu-ilmu Jarhi wa Ta’di dan ilmu Mustalahul Hadis, sehingga para ulama hadis berhasil mengkodifikasi hadis ke dalam kitab secara teratur dan sistemik. Pada masa sebelumnya belum ada pembukuan hadis secara formal seperti Al Qur’an. Oleh karena itu, sejarawan menganggap masa pembukuan hadis secara sistemik dimulai pada zaman Daulah Abbasiyah. Penggolongan Hadis dari aspek periwayatannya, sanad, matan yang akhirnya bisa diketahui apakah Hadis itu shahih, hasan, dhoif, juga terjadi pada masa Abasiyyah. Di antara kitab-kitab Hadis yang berhasil disusun adalah kitab Hadis “Kutub as-Sittah”, yang disusun oleh enam ulama’ Hadis, Imam Muslim (wafat 261 H), Imam Bukhori (wafat 256 H), Imam Turmudzi (wafat 279 H), Ibnu Majjah (wafat 273 H), Imam Nasa’i (wafat 303 H), Abu Daud (wafat 275 H). 

c.      Ilmu Kalam
Pada masa al-Ma’mun dan Harun al-Rasyid, ilmu kalam (teologi) mendapat tempat yang luas, bahkan sangat mempengaruhi keadaan pemerintahan saat itu. Seperti aliran Mu’tazilah dijadikan aliran resmi pemerintah Bani Abbas. Peran ilmu kalam pada saat itu sangat besar untuk membela Islam dari paham-paham Yahudi dan Nasrani. Jadi ilmu kalam tidak semata mengembangkan pemikiran agama tetapi mengembangkan juga pemikiran sosial, politik, dan mengembangkan pemikiran umat agar tidak statis, baik bidang agama maupun bidang kemasyarakatan. Para teolog fokus pada bidang aqidah sebagai obyek bahasan, seperti keesaan Tuhan, sifat-sifat, dan perbuatan Tuhan. Di antara teolog yang terkenal ialah Abu Huzail al-Allaf (wafat 235 H), An-Nazzam (wafat 835 H), Bisri Ibnu Mu’tamir, Abu Ishaq Ibrahim dan Amru bin Ubaid.

d.     Ilmu Fiqh
Di antara kebanggaan pemerintahan Abasiyyah adalah adanya empat ulama’ Fiqh yang terkenal pada saat itu sampai sekarang ini, yaitu Imam Abu Hanifah (wafat 129 H, Imam Malik (wafat 179 H), Imam Syafi’i (wafat 204 H) dan Imam Ahmad bin Hambal (wafat 241 H). Pada masa ini berkembang dua cara dalam mengambil hukum fiqih, yaitu: (1) Ahl al-Hadis, aliran yang berpegang teguh pada nash-nash Al Qur’an dan Hadis, mereka menghendaki hukum yang asli dari Rasulillah dan menolak hukum menurut akal. Pemuka aliran ini adalah Imam Malik, Imam Syafi’i dan pengikut Sufyan As Sauri. (2) Ahl al-Ra’yi, aliran yang menggunakan akal pikiran dalam mengistimbatkan hukum, di samping memakai al-Qur’an dan Hadis. Aliran ini dipelopori oleh Imam Abu Hanifah dan Fuqaha’ Irak. Dari sini kita bisa melihat bahwa pemikiran umat Islam pada saat itu sangat maju sekali, dengan bukti lahirnya ulama’ terkenal dan kirab-kitab termashur, seperti Al-Muwatta’, Al-Kharaj, dan Al-Mustasfa.

e.      Ilmu Tasawuf
Di samping ilmu Fiqh, pada masa Abbasiyah juga muncul dan berkembang ilmu Tasawuf. Ilmu ini telah memberi pengaruh yang besar bagi kebudayaan Islam. Perkembangan ilmu ini dimulai dari perkumpulan-perkumpulan tak resmi dan diskusi keagamaan (halaqah) dan latihan spiritual dengan membaca dzikir berulang-ulang. Hal ini berlangsung di mana-mana khususnya di masjid, kemudian menjadi konsep-konsep spiritual yang diberi nama Tasawuf yang berkembang sampai abad 9 Hijriyah. Ilmu ini menyebar di penjuru negeri Islam di wilayah Abasiyyah yang dibawa oleh para sufi-sufi terkemuka, seperti: (1) Abu Kasim Abdul Karim bin Hawzin al Qusairi (wafat 465 H), kitabnya yang terkenal adalah Ar-Risalah al-Qusyairiyah. (2) Abu Haffas Umar bin Muhammad Sahabuddin (wafat 632 H), kitabnya yang terkanal adalah Awariful Ma’arif. (3) Imam al Ghazali (wafat 502 H), kitabnya yang terkenal adalah Ihya’Ulumuddin yang memuat gabungan antara ilmu tasawwuf dan ilmu kemasyarakatan.

2.     Kemajuan Filsafat dan Sains

Pada masa Abasiyyah ilmu pengetahuan telah mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran khalifahnya yang mendukung kemajuan itu. Faktor yang paling menonjol dari perkembangan ini adalah dengan dikembangkannya penterjemahan kitab-kitab non Arab ke dalam bahasa Arab yang telah dirintis oleh khalifah Ja’far al-Mansur. Dengan memperkerjakan para ahli terjemah, di antaranya Fade Naubakt, Abdullah bin Muaqaffa’, yang pada akhirnya ilmu-ilmu dari Barat bisa dipahami oleh masyarakat umum.

lustrasi ilmuwan Muslim saat mengembangkan sains dan teknologi pada era Dinasti Abbasiyah di Baghdad (sumber: www.republika.co.id) Pada masa Harun al Rasyid juga dikembangkan suatu lembaga yang mengkaji dan mengembangkan pengetahuan yang dinamakan “Khizanat al-Hikmah” yang kemudian pada masa Al Ma’mun dikembangkan lagi menjadi “Bait Hikmah”, dan kemudian dikembangkan lagi menjadi “Darul Hikmah”, yang meliputi: perpustakaan, pusat penterjemahan, dan observatorium bintang.

          a.      Filsafat dan Perkembangannya Zaman Abasiyyah
Filsafat berkembang pesat pada Daulah Abasiyyah terutama pada masa Al Ma’mun dan Harun Ar Rasyid karena pada saat itu kitab-kitab filsafat, khususnya Yunani, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Para ilmuwan muslim tidak mengambil gilsafat Yunani secara keseluruhan, akan tetapi mengadakan perubahan dengan disesuaikan dengan ajaran Islam, sehingga menjadi filsafat Islam. Mengenai pengambilan filsafat Yunani, Montotgomery Watt mengatakan “bahwa Filsafat tidak akan hidup hanya dengan menterjemahkan dan mengulang-ulang pemikirannya orang lain, tetapi menterjemahkan filsafat hanya bisa dilakukan kalau sudah ada dasar pemikiran dari bahasa itu”. Jadi, pengambilan filsafat Yunani dari menterjemah hanya dijadikan perbandingan dan rujukan para Filusuf Islam untuk menciptakan filsafat yang bernafas Islam, tetapi ada sebagian yang mengambil dan dirubah sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam.

Secara umum dalam bidang filsafat orang-orang Islam masih banyak mengambil dari filsafat Yunani, seperti filsafat Greek dan Coptic. Hal ini bagi umat Islam saat itu merupakan kepentingan yang utama (tracending importance). Pengambilan ini hanya berupa ide-ide, yang dilakukan pertama kali pada masa Al-Ma’mun, seperti Al-Kindi, Ibn Sinah, Ibnu Rush yang masih mengambil ide dari Aristoteles. Tokoh-tokoh penting dalam bidang filsafat antara lain: (1) Abu Yusuf bin Ishaq Al Kindi (wafat 873 M), dikenal sebagai Filusuf Arab yang memperkenalkan filsafat Yunani di kalangan kaum muslimin. Ajarannya tentang filsafat adalah bahwa antara agama dan filsafat sama-sama menghendaki kebenaran; agama menempuhnya melalui syari’at, sedangkan filsafat melalui pembuktian rasio. (2) Ibnu Sina (Aviccena) lahir tahun 980 M di Buchoro. Dalam ilmu filsafat beliau banyak mengarang buku, diantaranya As Sifa’, Al Isryara, Ti’su Rasail fil Hikmah, yang sebagian besar memuat hubungan agama dengan filsafat. (3) Al Farabi, lahir di Turkistan tahun 870 M. Beliau berguru di Baghdad untuk mempelajari Sains dan Filsafat. Beliau juga banyak belajar dari guru Kristen. Filsafat Al Farabi ini merupakan bentuk dari “Neoplatonisme” yang disesuaikan dengan dokrin Islam. Seperti halnya filsafat, politiknya Al Farabi banyak mengambil dari Replubic and Law-nya Plato. (4) Ibnu Rush (Averoush) (Wafat 594 H). Dalam hal filsafat beliau banyak mengambil dari ide-ide Aristoteles, dia banyak mengulas hubungan antara Filsafat dan Syari’at.

Penting juga dicatat dalam perkembangan filsafat ini adalah munculnya golongan rahasia (Jamiatus Sirriyah) yang bernama “Ihwan As-Safa” yang bergerak dalam ilmu pengetahuan, khususnya Filsafat. Ihwan As-Safa menyusun kitab “Rasail Ihwanussafa” yang terdiri dari 51 buku. Rasail ini memuat kumpulan filsafat Islam, yang meliputi: Maujudat, asal usul alam, rahasia alam dll.

Kebanyakan anggota Ihwan As-Safa ini adalah orang aliran Mu’tazilah dan Syi’ah yang ekstrem. Tokohnya adalah Abul Alla’al Ma’arri dan Ibnu Hayyan at Tauhidi, Ibnu Zanji.  Dalam bidang sejarah, ulama yang terkenal antara lain: Ibnu Ishaq, binu Hisyam, al-Waqidi, Ibnu Qutaibah, al-Thabari dan lain-lain. Dalam bidang ilmu bumi atau geografi ulama yang terkenal: alYakubi dengan karyanya al-Buldan, Ibnu Kharzabah dengan bukunya al-Mawalik wa al-Mawalik dan Hisyam al-Kalbi, yang terkenal pada abad ke-9 M, khususnya dalam studinya mengenai bidang kawasan Arab.
 
          b.     Kemajuan Sains dan Tekonologi

Dalam bidang sains dan teknologi, orang-orang Arab masih kalah dengan orang Yunani. Sains dan Filsafat terbentuk atas rangsangan buku terjemahan dari orang Yunani. Kemudian perkembangan ilmu pengetahuan (Sains) ditandai dengan berdirinya Universitas-universitas Islam di Iraq dan Baghdad. baru setelah itu banyak penemuan-penemuan penting tentang sains dan teknologi yang akan dibahas di bawah ini:

1)    Ilmu Kedokteran
Ilmu Kedokteran tumbuh dan berkembang pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid abad 9 M. Hal ini ditandai dengan berdirinya rumah sakit yang didirikan oleh Harun Al-Rasyid dan selanjutnya berkembang menjadi 34 Rumah Sakit Islam. Rumah sakit ini dilengkapi dengan ruangan khusus wanita, apotik, dan yang terpenting adalah di setiap rumah sakit dilengkapi dengan perpustakaan media serta tempat-tempat kursus kedokteran dan pengobatan. Pada masa ini juga dibentuk klinik-klinik keliling yang melayani pengobatan di penjuru negeri, khususnya untuk orang-orang tak mampu.
Dalam ilmu kedokteran, Ulama’ yang terkenal dengan zaman ini adalah Ar-Razi dan Ibnu Sinah. Ar-Razi dikenal sebagai ahli kedokteran Islam yang cakap dan ahli kimia terbesar abad pertengahan. Beliau juga dienal sebagai penemu benang Fontanel yang berguna untuk menjahit luka akibat pembedahan dan sebagainya. Roger Bacon seorang ilmuwan Barat menterjemahkan kitab Ar-Razi yang berjudul “Kitab Rahasia” ke dalam bahasanya, dengan judul “De Spiritibu Et Corporibus” yang di dalamnya memuat penanggulangan penyakit cacar dan penyakit campak. Kitab Ar-Razi yang lain adalah “Al Hawi” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan nama “Contineus”, yang dijadikan rujukan oleh kedokteran Barat sampai tahun 1779 H. Sepeninggal Ar-Razi kegemilangan ilmu kedokteran diteruskan oleh Ibnu Sinah, kitabnya yang terkenal adalah “As Sifa” (Canon of Medicine), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin Inggris. Buku ini mendominasi pengajaran di Universitas di Eropa, paling tidak sampai abad ke-15. Kemudian muncul ulama’ ahli bedah yang bernama Abul Qosim Az Zahrawi, yang dalam bahasa latin disebut Abul Casis (wafat 1009 M). Jadi kemajuan kedokteran pada masa Abbasiyyah inilah yang mengilhami kemajuan ilmu kedokteran barat sekarang ini. Bahkan, kitab-kitab Ibnu Sinah sampai sekarang masih dikaji di Universitas di Eropa.

2)    Ilmu Kimia
Dalam bidang ilmu Kimia, ilmuwan yang terkenal adalah Jabir Ibnu Hayyam, yang diberi gelar “Bapa Ilmu Kimia Arab”. Dia banyak mengemukakan teori uap, pelelehan, dan sublimasi. Dalam teorinya, Jabir bin Hayyan mengatakan bahwa logam seperti timah putih atau hitam, besi dan tembaga bisa dirubah menjadi emas atau perak dengan menggunakan zat rahasia hingga pada sampai akhir hayatnya beliau masih melakukan eksperimen tentang hal ini. Jabir bin Hayyan merupakan perintis exprerimen pertama dalam dunia Islam. Di antara eksperimennya yang kemudian menjadi teori adalah: Teori Sublimasi, teori pengasaman, teori penyulingan, teori penguapan, teori pelelehan, dan beliau juga dikenal dengan penemu Karbit. Dari penemuan-penemuan teori baru inilah, kemakmuran dan kesejahteraan semakin bertambah baik, hasil-hasil eksperimen diterapkan pada kehidupan masyarakat.

3)    Ilmu Astronomi
Ilmu Astronomi pada mulanya dipakai untuk menentukan arah kiblat. Pada perkembangannya ilmu ini dipakai para pedagang, para pelaut dan para tentara untuk menyebarkan agama di luar negeri. Ulama’ yang ahli dalam ilmu astronomi adalah Al- Khawarizmi (wafat 846). Beliau banyak membuat tabel-tabel tentang letak negara, peta dunia, penetapan bujur-bujur panjang semua tempat di muka bumi ini, sekaligus mengukur jarak antara negara satu dengan negara yang lain. Teori ini dikumpulkan kemudian disebarkan di masyarakat.
Dengan ilmu Astronomi, sekitar abad ke 7–9 H. para pedagang muslim sudah sampai di negeri Tiongkok melalui laut, mendarat di pulau Zanzubar, pesisir Afrika, bahkan sampai pada negeri Rusia. Selain Al-Kawariszimi, ada ulama’ yang bernama Ibnu Kardabah yang banyak menemukan teori perbintangan dan ilmu Falak. Ibnu kardabah juga banyak menulis buku tentang Astronomi, diantaranya Al-Mashalih wal Mawalik, Al-Buldan, Al Jihani dan Al Muhtasar. Dengan ditemukannya ilmu Astronomi, umat Islam bisa menjual hasil pertaniannya dan kerajinannya ke negeri Tiongkok, Zanzibar, sekaligus mendatangkan hasil karya dari negeri lain untuk dijual di negeri Islam. Pemerintahan Abasiyyah semakin kaya karena setiap hasil perdagangan (ekspor/Impor) dikenakan pajak untuk negara, kemudian oleh negara disalurkan pada rakyat yang miskin.

4)    Ilmu Matematika
Dalam ilmu ini orang Arab (Islam) memberikan sumbangan yang besar sekali bagi peradaban manusia dengan menemukan “Angka Arab“, seperti yang kita pakai sampai sekarang (123456789). Orang-orang Islam di bawah pimpinan Ibnu Haitam dan Al-Khawarizimi membuat teori matematika, di antaranya adalah teori Al-Jabar, cara menghitung akar kuadrat dan desimal. Pada perkembangan selanjutnya Ibnu Haitam berhasil menemukan ilmu untuk mengukur sudut, yang diberi nama Trigonometri. Di samping ilmu-ilmu yang sudah diterangkan tersebut, masih ada beberapa ilmu yang ditemukan tetapi belum banyak berkambang pada masa Abbasiyyah ini. Penemuan-penemuan ilmu ini masih belum dibukukan secara sistematik, ilmu-ilmu itu adalah ilmu fisikis (Botani), ilmu Fisika, ilmu Geografi dan ilmu Sejarah. 

C.   Perkembangan kebudayaan pada masa Bani Ummayah di Andalusia

Bani Umayyah di Andalusia adalah kekhalifahan Islam yang pernah berkuasa di Semenanjung Iberia dalam rentang waktu antara abad ke-8 sampai abad ke-12. Ada 2 faktor utama yang diidentifikasi menjadi sebab masuknya Islam di Andalusia. Pertama, faktor internal, yakni kemauan kuat para penguasa Islam untuk mengembangkan dan membebaskan menjadi wilayah Islam. Andalusia atau Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal termasuk selatan Perancis sekarang) mulai ditaklukan oleh umat Islam pada masa khalifah Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M). Dalam proses penaklukan Spanyol ini terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa yaitu Tharif bin Malik, Tariq bin Ziyad, dan Musa bin Nushair. Kemenangan pertama yang dicapai oleh Tariq bin Ziyad menjadi jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Untuk itu, Musa bin Nushair merasa perlu melibatkan diri dalam gelanggang pertempuran dengan maksud membantu perjuangan tersebut. Dengan suatu pasukan yang besar, ia berangkat menyeberangi selat itu, dan satu persatu kota yang dilewatinya dapat ditaklukkannya. Setelah Musa bin Nushair berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Goth lainnya, Theodomir di Orihuela, ia bergabung dengan Tariq bin Ziyad di Toledo. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai dari Zaragoza sampai Navarre.


Kedua, faktor eksternal, yakni suatu kondisi yang terdapat di dalam negeri Spanyol sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu penguasa Gothic bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut penguasa, yaitu aliran Monofisit, apalagi terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen, yang tidak bersedia disiksa dan dibunuh secara brutal.

Perpecahan politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika Islam masuk ke Spanyol, ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh. Padahal, sewaktu Spanyol masih berada di bawah pemerintahan Romawi (Byzantine), berkat kesuburan tanahnya, pertanian maju pesat. Demikian juga pertambangan, industri dan perdagangan karena didukung oleh sarana transportasi yang baik. Akan tetapi, setelah Spanyol berada di bawah kekuasaan kerajaan Goth, perekonomian lumpuh dan kesejahteraan masyarakat menurun. Hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa digarap, beberapa pabrik ditutup, dan antara satu daerah dan daerah lain sulit dilalui akibat jalan-jalan tidak mendapat perawatan.

Sejarah panjang umat Islam di Spanyol terbagi pada enam periode, yaitu:

1.     Periode Pertama (711 -755 M) 
Spanyol di bawah pemerintahan Wali yang diangkat Khalifah di Damaskus. Pada masa ini masih terdapat gangguan dari dalam, antara lain antar elit penguasa akibat perbedaan etnis dan golongan. Antara Khalifah di Damaskus dan Gubernur Afrika Utara di Kairawan saling mengklaim paling berhak menguasai Spanyol, hingga terjadi pergantian Gubernur sebanyak 30 kali dalam waktu singkat. Perbedaan etnis antara suku Barbar dan Arab menimbulkan konflik politik sehingga tidak ditemukan figur yang tangguh. Gangguan dari luar datang dari sisa musuh-musuh Islam yang terus memperkuat diri dan tidak pernah tunduk pada pemerintahan Islam. Gangguan ini menyebabkan belum terwujudnya peradaban dan periode ini berakhir dengan datangnya Abdurrahman al-Dakhil tahun 138 H/755 M.
 
2.     Periode Kedua (755-912 M) 
Spanyol di bawah pemerintahan Amir namun tidak tunduk pada pusat pemerintahan Islam yang saat itu dipegang Khilafah Bani Abbasiyah di Baghdad. Amir pertama Abdurrahman I (ad-Dakhil) keturunan Bani Umayyah yang lolos dari kejaran Bani Abbasiyah. Penguasa Spanyol periode ini: 1) Abdurrahman al-Dakhil, berhasil mendirikan masjid di Cordova dan sekolah-sekolah. 2) Hisyam I, berhasil menegakkan hukum Islam. 3) Hakam I, sebagai pembaharu bidang militer. 4) Abdurrahman al-Ausath, penguasa yang cinta ilmu. 5) Muhammad bin Abdurrahman 6) Munzir bin Muhammad 7) Abdullah bin Muhammad 

Pada abad ke-9, stabilitas negara terganggu akibat gerakan Martyrdom Kristen fanatik yang mencari kesyahidan. Namun pihak Gereja tidak mendukung gerakan itu karena pemerintah Islam mengembangkan kebebasan beragama. Pemerintah menyediakan peradilan hukum khusus Kristen dan tidak dihalangi untuk bekerja sebagai pegawai pada instansi militer. Gangguan juga timbul akibat pemberontak di Toledo, percobaan revolusi yang dipimpin Hafshun yang berpusat di pegunungan dekat Malaga, serta perselisihan orang Barbar dan Arab.


3.     Periode Ketiga (912-1013 M) 
Dimulai oleh Abdurrahman an-Nashir, Spanyol di bawah pemerintahan bergelar Khalifah (mulai tahun 929 M). Bermula dari berita terbunuhnya Khalifah al-Muqtadir oleh pengawalnya sendiri, menurutnya ini saat yang tepat untuk memakai gelar Khalifah setelah 150 tahun lebih hilang dari kekuasaan Bani Umayyah. Khalifah yang memerintah pada periode ini antara lain:

a.   Abdurrahman al-Nashir (912-961 M) 
Abdur Rahman menggantikan kedudukan ayahnya pada usia 21 tahun. Penobatannya disambut dan diterima segenap kalangan. Pada tahun 301 H/913 M, Abdur Rahman mengumpulkan pasukan militer yang sangat besar. Pihak perusuh dan pihak musuh gentar dengan kekuatan militer Abdur Rahman III. Dengan demikian tanpa perlawanan ia menaklukkan kota-kota besar di belahan utara Spanyol, kemudian Saville. Suku Berber dan umat Kristen Spanyol yang selama ini menjadi perintang,  tunduk kepada Abdur Rahman III. Hanya masyarakat Toledo yang berusaha melawan sang Sultan, namun segera dapat ditundukkan. Selanjutnya Abdur Rahman mengerahkan pasukannya ke belahan utara Spanyol untuk menundukkan umat Kristen wilayah ini yang senantiasa berusaha menghancurkan kekuatan Muslim.

Dua tahun dari masa penobatan Abdur Rahman III, Ordano II, kepala suku Leon, datang menyerbu beberapa wilayah lslam. Pada saat itu Abdur Rahman sedang terlibat perselisihan dengan Khalifah Fatimiyah di Mesir. Ahmad lbn Abu Abda ditunjuk memimpin pasukan untuk menghadapi pasukan Ordano II. Setelah terdesak, Ordano ll kemudian bersekutu dengan Sancho, kepala suku Navarre. Suku Leon dan suku Navarre dihancurkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Abdur Rahman sendiri, bersamaan dengan terbunuhnya Ordano ll dan Sancho. Penguasa Muslim Spanyol selama ini berkedudukan sebagai Amir atau Sultan. Abdur Rahman merupakan orang pertama yang mengklaim kedudukannya sebagai khalifah dengan gelar an-Nasir Li Dinillah (penegak agama Allah), setelah ia berhasil dalam perjuangan menumpas pemberontakan Kristen suku Leon dan Navarre serta mencapai puncak kemajuan menyaingi kemajuan Daulah Bani Abbasiyah di Baghdad. Dengan demikian pada masa ini terdapat dua khalifah Sunni di dunia Islam: Khalifah Abbasiyah di Bagdad dan Khalifah Umayyah dispanyol, dan seorang khalifah Syi’ah Fatimiyah Afrika Utara.



b.   Hakam II (961-976 M) 
Hakam II menggantikan kedudukan ayahnya, Abdur Rahman.Masyarakat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran karena pembangunan yang berlangsung cepat. Pada masa ini, pimpinan suku Navarre, yang semula telah mengakui otoritas pemerintahan Islam semasa Abdur Rahman III, berusaha melepaskan diri dengan anggapan bahwa Hakam yang terkenal suka perdamaian dan terpelajar tersebut tidak akan menuntut ketentuan dalam perjanjian sebelumnya, dan seandainya dia memilih jalan perang niscaya kekuatan Hakam tidak sekuat kecakapan militer ayahnya. Tapi ternyata bahwa Hakam membuktikan dirinya tidak hanya sebagai orang terpelajar melainkan juga pemimpin militer yang cakap. Sancho, pimpinan Kristen suku Leo, dan pimpinan Kristen lainnya ditundukkan ketika melancarkan pemberontakan. Ia juga mengerahkan pasukannya yang dipimpin Ghalib ke Atrika untuk menekan kekuatan Fatimiyah. Ghalib mencapai sukses menegakkan kekuasaan Umayyah Spanyol di Afrika Barat. Suku Berber di Maghrawa, Mikansa, dan Zenate mengakui kepemimpinan Hakam.

Setelah berhasil mengamankan situasi politik dalam negeri, Hakam selanjutnya menunjukkan jati dirinya dalam gerakan pendidikan. la mengungguli seluruh penguasa sebelumnya dalam kegiatan intelektual. Ia mengirimkan sejumlah utusan ke seluruh wilayah timur untuk membeli buku-buku dan manuskrip, atau harus menyalinnya jika sebuah buku tidak terbeli sekalipun dengan harga mahal untuk dibawa pulang ke Cordoba. Dalam gerakan ini ia berhasil mengumpulkan tidak kurang dari 100.000 buku dalam perpustakaan negara di Cordoba. Katalog perpustakaan ini terdiri 44 jilid. Para ilmuan, filosof dan ulama dapat secara bebas memasukinya. Untuk meningkatkan kecerdasan rakyatnya, ia mendirikan sejumlah sekolah di ibukota. Hasilnya, seluruh rakyat Spanyol mengenal baca tulis. Sementara itu umat Kristen Eropa, kecuali-para pendeta, tetap dalam kebodohan. Universitas Cordoba merupakan universitas termasyhur di dunia pada saat itu. Dengan meninggalnya Hakam pada tahun 366 H/976 M, masa kejayaan Dinasti Umayyah di Spanyol berakhir.




c.   Hisyam II (976-1009 M) 
Hakam mewariskan kedudukannya kepada Hisyam II, anaknya yang baru berusia sebelas tahun. Karena usianya yang terlalu belia, ibunya yang bernama Sulthana Subh dan seorang yang bernama Muhammad bin Abi Amir mengambil alih kekuasaan pemerintahan. Muhammad bin Abi Amir seorang yang sangat ambisius. Setelah berhasil merebut jabatan perdana menteri, ia menggelari namanya sebagai Hajib al-Manshur. Ia merekrut militer dari kalangan suku Berber menggantikan militer Arab. Dengan kekuatan militer Berber inilah berhasil menundukkan kekuatan Kristen di wilayah utara Spanyol, dan berhasil memperluas pengaruh Bani Umayyah di Barat Laut Afrika. Ia akhirnya memegang seluruh cabang kekuasaan negara, sementara sang khalifah tidak lebih sebagai boneka mainannya. Surat resmi dan maklumat negari diterbitkan atas namanya.

Hajib Al Manshur meninggal tahun 393 H/1002 M di Madinaceli. Ia merupakan negarawan dan jenderal Arab yang terbesar di Spanyol. Ia merupakan seorang jenderal yang paling berjasa yang pernah hidup di Spanyol. Pada masa ini, rakyat lebih makmur daripada masa sebelumnya. Ia digantikan oleh anaknya yang bernama al-Muzaffar yang berhasil mempertahankan kondisi ini selama enam tahun. Sepeninggal al-Muzaffar, Spanyol dilanda berbagai kerusuhan. Muzaffar mewariskan jabatan Hajib kepada saudaranya yang bernama Abdur Rahman yang mendapat julukan “Sanchol”. Ia lebih ambisius daripada pendahulunya, lantaran ia menginginkan jabatan sebagai khalifah Cordoba. Ketika ia sedang melancarkan ekspedisi ke wilayah utara, timbul gerakan pemberontakan di Cardoba yang dipimpin oleh Muhammad. Sang pemberontak berhasil menghancurkan pertahanan khalifah Spanyol dan menurunkan Hisyam dari jabatan khalifah dan menduduki jabatan ini dengan gelar al-Mahdi. Sanchol ditangkap dan dipenjarakan. Tidak lama setelah berhasil merebut jabatan khalifah, Muhammad al-Mahdi meninggal.

d.   Sulaiman
Muhammad al-Mahdi digantikan tokoh Umayyah lainnya yang bernama Sulaiman. Semenjak masa ini proses kemunduran dan kejatuhan kekhalifahan Spanyol berlangsung secara cepat. Tidak beberapa lama Hisyam II merebut jabatan khalifah untuk kedua kalinya. Bersamaan dengan ini Cordoba, pusat kekhalifahan Spanyol, dilanda kekacauan politik. Akhirnya pada tahun 1013 M dewan menteri yang memerintah Cordoba menghapuskan jabatan khalifah. Pada saat itu kekuatan Muslim Spanyol terpecah dalam banyak negara kecil di bawah pimpinan raja-raja atau muluk al Thawaif. Tercatat lebih tiga puluh negara kecil yang berpusat di Seville, Cordoba, Toledo dan lain-lain. Kekuatan Kristen wilayah utara Spanyol bergerak untuk bangkit. Kekacauan pemerintahan pusat dimanfaatkan mereka sebaik-baiknya. Alfonso VI, penguasa Castille yang menjabat sejak tahun 486 H/1065 M. berhasil menyatukan tiga basis kekuatan Kristen: Castile, Leon, dan Navarre, menjadi sebuah kekuatan militer hebat untuk menyerbu Toledo.

4.     Periode Keempat (1013-1086 M) 
Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negara kecil dibawah pemerintahan al-Muluk athThawaif (raja-raja golongan) berpusat di Seville, Cordova, Toledo dan sebagainya. Konflik internal antar raja terjadi dan mereka yang bertikai sering meminta bantuan raja-raja Kristen. Orang-orang Kristen yang melihat kelemahan ini pun memulai inisiatif penyerangan. Meski situasi politik tidak stabil, namun pendidikan dan peradaban terus berkembang karena para sarjana dan sastrawan terlindungi dari satu istana ke istana lain.

5.     Periode Kelima (1086-1248 M) 
Meski terpecah dalam beberapa negara, terdapat kekuatan dominan yaitu Dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan Dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti Murabithun didirikan Yusuf bin Tasyfin di Afrika Utara, memasuki Spanyol tahun 1086 M dengan mengalahkan pasukan Castilia. Perpecahan di kalangan Muslim menyebabkan Yusuf bin Tasyfin mudah menguasai Spanyol. Tahun 1143 M kekuasaannya berakhir karena para penggantinya lemah dan diganti DInasti Muwahhidun yang didirikan Muhammad bin Tumart tahun 1146 M. Untuk beberapa dekade mengalami kemajuan dan setelah itu mengalami kemunduran akibat serangan tentara Kristen di Las Navas de Tolessa 1212 M, di Cordova 1238 M, dan Seville 1248 M. Seluruh kekuasaan Islam lepas kecuali Granada.

6.     Periode Keenam (1248-1492 M) 
Granada dikuasai Bani Ahmar (1232-1492 M) dan mengalami kemajuan peradaban seperti masa Abdurrahman al-Nashir. Namun secara politik mereka lemah karena perebutan kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad tidak senang pada ayahnya yang menunjuk anaknya yang lain menggantikan sebagai raja. Ayahnya terbunuh dan diganti Muhammad bin Sa’ad. Abu Abdullah pun meminta bantuan Raja Ferdinand dan Isabella yang akhirnya ia naik tahta. Namun Ferdinand dan Isabella ingin merebut kekuasaan Islam dan dengan terus menyerang kekuasaan Islam. Abu Abdullah menyerah dan hijrah ke Afrika Utara. Umat Islam dihadapkan dua pilihan, yakni masuk Kristen atau pergi dari Spanyol. Tahun 1609 M tidak ada lagi umat Islam di daerah ini.

Kebudayaan Islam masa Bani Umayyah mengalami perkembangan yang sangat mengesankan dan mengagumkan pada periode pemerintahan Abdurrahman III an-Nashir (300-350 H/912-961 M). Di bawah khalifah ‘Abd al-Rahmân III dan penerusnya, al-Hakam II dan al-Manshûr, Andalusia benarbenar mencapai puncak kejayaannya dalam bidang keagamaan maupun kebudayaan. Kota Kordova berkembang menjadi pusat kebudayaan yang sebanding dengan Kairawan, Damaskus, atau Baghdad. Menurut satu laporan pada pengujung abad ke 4/10 kota Kordova saja memiliki 1.600 masjid, 900 pemandian umum, 60.300 villa, 213.077 rumah, dan 80.455 toko. Kemegahan dan kemeriahan kota Kordova juga dimiliki oleh kota-kota lain di Andalusia. Ibn Hawqal yang mengunjungi Andalusia pada pertengahan abad ke 4/10 melaporkan bahwa semua kota di wilayah tersebut besar dan ramai, memiliki fasilitas perkotaan yang sangat lengkap: jalan-jalan yang lapang dan bersih, pemandian, dan penginapan. Pada saat yang sama dia juga mencatat bahwa Andalusia masih memiliki sejumlah wilayah pedesaan yang kurang berkembang, biasanya dihuni oleh penduduk beragama Kristen. 

Menurut analisis Chejne, laporan tentang banyaknya pemandian umum dapat digunakan sebagai indikasi tingkat Islamisasi yang telah terjadi di kota-kota Andalusia. Sebab, pemandian umum adalah sebuah fitur budaya yang tidak dikenal di Andalusia sebelum masuknya Islam. Lagi pula pemandian umum pada masa tersebut lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan keagamaan. Karena itu pula (asosiasi pemandian umum dengan agama Islam) penduduk Kristen Andalusia pada umumnya tidak menyukai pemandian umum, sama seperti mereka tidak menyukai adanya masjid dalam jumlah besar.

Pada masa kejayaan ini, ketergantungan kultural Andalusia kepada Dunia Islam Timur sudah berakhir, dan Andalusia mulai mengembangkan kebudayaannya sendiri dengan identitasnya yang khas Andalusia. Islam dan bahasa Arab jelas merupakan faktor terpenting dan sekaligus menjadi identitas dalam kemajuan budaya Andalusia saat itu, sama dengan di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Akan tetapi, kini Andalusia mulai membangun identitas sosio kulturalnya sendiri. Sekadar contoh, jika di berbagai tempat lain pendidikan anak dimulai dengan menghapal al-Qur’an, di Andalusia pendidikan anak dimulai dengan pelajaran membaca dan menulis menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai materi. Dengan cara itu mereka dapat menguasai keterampilan membaca, menulis dan penguasaan kitab suci pada saat yang bersamaan. Contoh lain adalah penggunaan penanggalan non-hijri oleh sementara penulis Muslim di Andalusia. Bukan hal yang aneh jika seorang penulis Muslim di Andalusia menggunakan secara paralel penanggalan hijri (Islam), penanggalan Romawi (Masehi), dan penanggalan Koptik. Praktik ini misalnya dapat dilihat dalam karya-karya Ibn al-Banna’ al-Marakkusyi, Ibn al-Idzari, dan Ibn al-Khathib. Di sisi lain hal yang sama juga dilakukan oleh beberapa penulis beragama Kristen.

Pada masa keemasan ini Islamisasi Andalusia benar-benar mengalami kemajuan. Kemajuan ini tentu saja dimungkinkan karena tersedianya stabilitas dan kemapanan sosial politik yang diupayakan oleh para penguasanya. Dalam iklim yang mendukung inilah kemudian tercapai berbagai pencapaian spektakuler pada berbagai bidang. Ilmu-ilmu keagamaan berkembang sedemikian rupa mengimbangi perkembangan yang terjadi di lingkup dinasti Abbasiyah. Lembaga pendidikan madrasah juga berkembang dengan baik dan menjadi wadah pengembangan ilmu-ilmu keislaman secara umum. Ibn Rusyd dikenal sebagai seorang penulis besar di bidang fikih, terutama sekali karena karyanya Bidâyah al-Mujtahid. Perkembangan di bidang ini dapat juga diapresiasi secara umum melalui berbagai karya yang merekam biografi para ulama, di bidang fikih khususnya.

Sebuah observasi menarik disampaikan oleh Watt dan Cachia tentang dominannya paham dan pengamalan mazhab Maliki di Andalusia berbanding dengan mazhab-mazhab fikih lainnya yang lebih popular di bagian dunia Islam lainnya. Menurut mereka, kuatnya akar Helenisme di provinsi-provinsi Islam Timur menjadi landasan bagi populernya mazhab Hanafi dan Syafi‘i yang lebih rasionalistik di lingkungan dinasti Abbasiyah. Sementara itu di Andalusia, agama dan kebudayaan Islam dapat dikatakan sepenuhnya ditafsirkan dan diamalkan sesuai dengan selera asli orang Arab pendatang, dan karenanya menjadi lebih cenderung kepada penafsiran imam Malik yang lebih literalistik dan berbasis pada pengalaman umat Islam Hijaz. Dengan kata lain Islam Andalusia tidak bersentuhan secara intens dengan Helenisme.
Ibn Rusyd juga dikenal luas berkat pemikiran-pemikiran filsafatnya yang kemudian menjadi sebuah paham tersendiri, lumrah dikenal sebagai Averroisme. Masih dalam kelompok filsafat dan sains terdapat nama-nama popular semacam Ibn Bajah atau Ibn Thufayl. Tetapi ada juga Ibn Barghut, Ibn Khayrah al-‘Attar, Ibn Ahmad al-Sarqasti, atau Muhammad ibn al-Layth. Pada bidang bahasa dan sastra Arab, zaman keemasan Andalusia juga melahirkan sejumlah besar nama-nama cemerlang, seperti Ibn Syahr al-Ra‘ini, dan Yahya ibn Hisyâm al-Qarsyi. 

Perkembangan syair yang ditorehkan oleh umat Islam di Andalusia, nantinya berpengaruh cukup signifikan terhadap perkembangan puisi di kalangan bangsa-bangsa Eropa. Jelaslah dengan demikian bahwa pada penghujung abad ke 4/10 Andalusia telah mengalami perkembangan peradaban yang sangat tinggi, dan dalam perkembangan ini Islam dan bahasa Arab jelas merupakan unsur pembentuk yang sangat penting. Di antara kemajuan yang bahkan memengaruhi Eropa yaitu:

a.      Kemajuan Intelektual Filsafat
Dikembangkan abad ke-9 selama pemerintahan Muhammad bin Abdurrahman. Tokohnya adalah: Abu Bakar Muhammad bin al-Sayigh (Ibn Bajjah). Masalah yang dikemukakan bersifat etis dan eskatologis. Magnum Opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid Abu Bakar bin Thufail. Ibn Rusyd menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dengan cermat dan hati-hati dalam menyelaraskan antara filsafat dan agama. Abbas bin Farnas, ahli kimia dan astronomi, menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim al-Naqqash, ahli astronomi, dapat menentukan waktu gerhana matahari, membuat teropong, dan dapat menentuklan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad bin Ibas dari Cordova merupakan ahli farmasi. Umm al-Hasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan al-Hafidz, dua ahli kedokteran dari kalangan wanita. Ibn Jubair, menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterranea dan Sicilia. Ibn Batutah, menulis tentang negeri Samudera Pasai dan Cina. Ibn Khaldun, perumus filsafat sejarah. Ziyad bin Abdurrahman yang memperkenalkan mazhab Maliki. Ibn Yahya yang menjadi Qadhi. Musik dan Seni, al-Hasan bin Nafi, sang penggubah lagu yang dijuluki Zaryab. Bahasa dan Sastra Ibn Sayyidih Ibn Malik (pengarang Alfiyah), Ibn Khuruf, Ibn al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu Hasan bin Usfur, Abu Hayyan al-Gharnathi.

Ibn Rusyd yang dianggap sebagai “Avicenna dari Barat”, mencurahkan tenaganya pada filsafat, matematika, kedokteran, astronomi, logika, dan hukum Islam. Adapun karya filosofinya yang utama adalah “Tahafut al-Tahafut.” Mempelajari filsafat mulai dikembangkan pada abad ke 9 M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, yakni Muhammad Ibn al-Rahman (832-886). Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad bin alSayigh yang lebih dikenal dengan Ibnu Bajjah. Tokoh utama kedua adalah Abu Bakr bin Thufail, penduduk asli Wadi Asy, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut tahun 1185 M. Ia banyak menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hay bin Yaqzhan.

Pada akhir abad ke-12 M, muncullah seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibnu Rusyd dari Cordova. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli fikih dengan karyanya Bidayatul Mujtahid. Dari berbagai tokoh cendekiawan muslim di atas ternyata mereka mencoba berfikir keras dan mendalam. Maka bisa dikatakan bahwa kemajuan peradaban itu dipengaruhi oleh kemajuan intelektual yang di dalamnya terdapat ilmu filsafat, sains, fikih, musik dan kesenian, begitu juga dengan bahasa dan sastra, dan kemegahan pembangunan fisik. Islam telah membuktikan pada masa lalu bahwa dengan kemajuan intelektual, khususnya ilmu filsafat, kejayaan dan keemasan akan diraih dan dirasakan.

b.     Kemajuan Pembangunan
1) Cordova
Cordova adalah ibu kota Spanyol sebelum Islam, yang kemudian diambil alih oleh Bani Umayyah. Oleh penguasa Muslim, kota ini dibangun, diperindah untuk nantinya dijadikan pusat kota juga pusat pemerintahan Andalusia. Jembatan besar dibangun di atas sungai yang mengalir di tengah kota. Masjid-masjid hingga taman-taman tak luput dibangun untuk peribadahan umat muslim juga menghiasi ibu kota Spanyol Islam itu.

Video: https://www.youtube.com/watch?v=jyzqwZMVQKM
Masjid Cordoba di Spanyol (sumber: www.republika.co.id) 
  
 
Masjid Cordoba yang beralih fungsi menjadi Gereja Kathedral.(sumber: www.republika.co.id)

Pohon-pohon dan bunga-bunga diimpor dari Timur. Di seputar ibu kota berdiri istana-istana yang megah yang semakin mempercantik pemandangan. Setiap istana dan taman diberi nama tersendiri dan di puncaknya terpancang istana Damsyik. Di antara kebanggaan kota Cordova lainnya adalah masjid Cordova.

Posisi Cordova diambil alih Granada di masa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Arsitekturarsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa. Istana al-Hambra yang indah dan megah adalah pusat dan puncak ketinggian arsitektur Spanyol Islam. Istana itu dikelilingi taman-taman yang tidak kalah indahnya. Kisah tentang kemajuan pembangunan fisik ini masih bisa diperpanjang dengan kota dan istana az-Zahra, istana al-Gazar, dan menara Girilda. 

Reruntuhan Istana Az-Zahra di Cordoba, Spanyol (sumber: www.republika.co.id)

2)    Perdagangan: pembangunan jalan raya dan pasar
Di Cordoba juga dibangun sebuah istana yang indah, Az-Zahra, yang dianggap sebagai suatu keajaiban kesenian Islam. Istana kerajaan ini memiliki 400 kamar yang konon dapat menampung ribuan budak dan pegawai. Istana Az-Zahra terbuat dari pualam putih yang didatangkan dari Nurmidia dan Carthago. Penerangan dilakukan di jalan Cordoba sepanjang 16 kilometer dengan cahaya yang begitu terang. Padahal, jalan-jalan yang bagus di Inggris dan Prancis pada saat itu masih langka.

Untuk melancarkan aktivititas perniagaan dan perdagangan, peranan sebuah pasar amatlah penting. Pasar-pasar sebagai tempat berniaga akan memudahkan segala aktivitas jual beli berbagai barang. Pada zaman pemerintahan Bani Umayyah di Andalus, terdapat banyak pasar yang didirikan untuk menjadi pusat kegiatan perdagangan dan memudahkan rakyat mendapatkan barangan keperluan mereka. Pasar-pasar yang terdapat di Andalus, antara lain: al-qaysariyyah (special market) dan pasarpasar biasa (common market). Penduduk di Andalus juga menjalankan sistem pemusatan pasaran (centralization of market) yang terdiri suq al-itr (pasar minyak wangi), suq al-attarin (pasar rempah ratus), al-bazzazin (pasar pakaian), al-qarraqin (pasar kasut), suq al-zayyatin (pasar minyak zaitun) dan banyak lagi (Yusuf dan Ezad Azraai Jamsari, 2012: 68).

3) Pertanian: sistem irigasi 
Sektor pertanian telah memanfaatkan dam untuk mengecek curah air, waduk untuk konservasi, dan pengaturan hidrolik dengan water wheel (roda air). Tanaman lain yang turut dihasilkan di Andalus ialah buah zaitun, buah anggur, sayur-sayuran dan beberapa jenis buah-buahan yang lain. Hasil pertanian ini penting untuk memenuhi keperluan penduduk di Andalus. Selain tanaman untuk dimakan, Andalus juga menghasilkan tanaman, seperti kapas dan linen, untuk diproses dan dijadikan pakaian mereka sehari-hari. Tanaman kapas dan linen ini kebanyakannya terdapat di wilayah Jativa. Di samping itu, Andalus turut menghasilkan produk-produk hutan, seperti kayu-kayuan bermutu tinggi. Di wilayah Carthago Nova, sejenis spesis tumbuhan liar yang dikenali sebagai esparto dalam bahasa Sepanyol tumbuh dengan banyak. Tumbuhan ini digunakan oleh orang Rum untuk membuat tali dan tikar.
Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952783010
c.      Kemajaun sains dan teknologi

1) Ilmu Kedokteran
Ilmu kedokteran mengalami kemajuan yang cukup menonjol. Spanyol yang membentuk sebuah unit kebudayaan, juga melahirkan ahli kedokteran, seperti Ibn Rusyd dan Ibn Juljul. Ibn Juljul disamping sebagai dokter juga dikenal sebagai filosof. Abu Qasim al-Zanrawi yang namanya dilatinkan sebagai Abulcasim of the west adalah figure seorang ahli bedah yang besar. Dia mengembangkan ilmunya di masa pemerintahan Abdurrahman al-Nasir. Dia dikenal sebagai perintis ilmu pengenalan penyakit diagnotic, cara penyembuhan dan pembedahan. Dia juga seorang dokter gigi. Ibnu Khatib dan Ibn Khatima, keduanya ahli dalam penyakit kolera dan mata. Tokoh lain dalam ilmu kedokteran adalah Ibn Wafid (Abu Guefit) yang terkenal dalam metode rasional di dalam makanan. Ahmad Ibnu Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Ummul Hasan binti Abi Ja’far dan saudara perempuan al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita. Dari berbagai cendekiawan muslim di atas terutama dibagian kedokteran, merupakan dasar pengembangan ilmu kedokteran zaman sekarang, baik itu metode kedokterannya hingga peralatan yang dibutuhkannya.

2) Astronomi
Dalam bidang astronomi dapat disebutkan tokohnya adalah Abu Ma’syar alias Albumasar. Ia dikenal sebagai seorang astronomi yang sangat terkenal. Dia mempunyai kepercayaan tentang adanya pengaruh bintang dalam pokok-pokok kehidupan manusia, tentang lahir maupun matinya. Al-Majriti juga salah seorang ahli astronomi, disamping ahli hitung, kedokteran dan kimia. Sedang Al-Zarqali adalah seorang ahli astronomi dan juga ahli nujum yang terkenal pada masanya. Dia juga mengemukakan perkiraan gerak matahari dengan melihat posisi bintang-bintang. Ibrahim bin Yahya al- Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang.

3) Matematika
Dalam bidang matematika yang berkembang pada masa itu adalah perhitungan. Terkadang kita berfikir nilai nol tidak begitu penting, tetapi cendekiawan muslim matematika angka nol merupakan bagian dari angka, sehingga mereka menemukan angka nol dalam perhitungan. Hal ini dikemukakan oleh seorang ahli matematika bahwa dengan angka nol akan mempermudah dalam penggunaan bilangan bila dibandingkan dengan angka romawi yang dipakai di dunia Kristen ketika itu. 

d.     Musik dan Kesenian
Dalam bidang musik dan seni, pada masa Bani Umayyah juga telah mengalami pengembangan hingga mencapai puncak kecemerlangan dengan tokohnya, al-Hasan Ibn Nafi, yang dijuluki Zaryab. Setiap kali diselenggarakan pertemuan dan perjamuan, Zaryab selalu menampilkan kebolehannya menggubah lagu. Keahliannya itu diwariskan kepada anak-anaknya dan juga kepada budak-budak sehingga kemasyhurannya tersebar luas.

e.      Bahasa dan Sastra
Bahasa dan sastra telah menjadi bahasa administrasi pemerintahan Islam di Spanyol, khususnya di Cordova. Hal ini dapat diterima oleh orang-orang muslim dan non muslim. Bahkan, penduduk asli Spanyol menomor-duakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibn Malik, pengarang Alfiyah, Ibnu Khuruf, Ibnu al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan bin Usfur, dan Abu Hayyan al-Ghamathi. Seiring dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra bermunculan, seperti Al’Iqd al-Farid karya Ibnu Abd Rabbih, al-Dzakhirahji Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibnu Bassam, Kitab al-Qalaid buah karya al-Fath bin Khaqan, dan banyak lagi yang lain.

f.       Sejarah dan Geografi
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal, Ibnu Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri Muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibnu Batuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudera Pasai dan Cina. Ibnu Khatib (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibnu Khaldun dari Tunisia adalah perumus filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol, yang kemudian pindah ke Afrika.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar