PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN PADA MASA BANI UMAYYAH DAN
BANI ABBASIYAH
A. Perkembangan
kebudayaan pada masa Bani Umayyah di Damaskus
Dinasti Bani Umayah berdiri selama lebih kurang 90
tahun (40-132H atau 661-750 M), dengan Damaskus sebagai pusat pemerintahannya.
Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680 M) adalah pendiri Dinasti Bani Umayah dan
penguasa imperium yang sangat luas. Selama 20 tahun masa pemerintahannya ia
terlibat dalam sejumlah peperangan dengan penguasa Romawi baik dalam
pertempuran darat maupun laut. Wilayah kekuasaan dinasti ini meliputi daerah
Timur Tengah, Afrika Utara dan Spanyol. Muawiyah meninggal dunia pada Kamis
pertengahan Rajab 60 H dalam usia 78 tahun. Secara berturut-turut, para
Khalifah Daulah Umayyah di Damaskus adalah sebagai berikut.
1. Muawiyah
I (41-60 H/661-680 M)
2. Yazid
I (60-64 H/680-683 M)
3. Muawiyah
II (64 H/683 M)
4. Marwan
I (64-65 H/684-685 M)
5. Abdul
Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6. Al-Walid
I (86-96 H/705-715 M)
7. Sulaiman
bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8. Umar
bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9. Yazid
II (101-105 H/720-724 M)
10. Hisyam
bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11. Al-Walid
II (125-126 H/743-744 M)
12. Yazid
III (126 H/744 M)
13. Ibrahim
bin Walid (126 H/744 M)
14. Marwan
II (127-132 H/744-750 M)
Perkembangan kebudayaan Islam masa Bani Umayyah tidak
lepas dari berbagai kebijakan yang telah diambil. Secara umum, Bani Umayyah
lebih banyak mengarahkan kebijakannya pada perluasan kekuasan politik atau
perluasan wilayah, baik ke Timur maupun ke Barat. Peranan dinasti ini dalam
menyebarluaskan Islam cukup besar. Pada masa ini banyak daerah yang dikuasai
umat Islam.
Kebijakan pemerintahan yang sangat berpengaruh
terhadap perkembangan Islam Bani Umayyah adalah pada saat Muawiyah bin Abi
Sufyan memerintah sebagai khalifah pertama. Kebijakan-kebijakan berikut ini
menjadi fondasi Bani Umayyah menjadi kuat dan menjadi sumber inspirasi dan
motivasi besar bagi kekuasaan Bani Umayyah di dalam menata kekuasaan
selanjutnya.
a. Memperluas
wilayah Islam di tiga wilayah yang rata-rata subur: Afrika Utara, India dan
Byzantium. Dari ketiga wilayah tersebut, Byzantium lebih dahulu ditaklukan
karena selain subur, masyarakatnya menganut Nasrani Ortodoks.
b. Membentuk
Departemen dan Duta, tugasnya untuk mengirim beberapa duta Islam membawa misi
Islam ke beberapa wilayah; Cina, India, Indonesia, Bukara, Tajikistan,
Samarkan, Afrika Utara dan Andalusia.
c. (Mengangkat
beberapa profesional dalam bidang Administrasi keuangan dari orang-orang
Byzantium untuk dipekerjakan dalam pemerintahan Islam.
Khalifah-khalifah Bani Umayyah lain yang ikut
menetapkan beberapa kebijakan monumental pada masa pemerintahannya,
diantaranya:
1) Kebijakan
Marwan bin Hakam (64-65 H), menetapkan mata uang sebagai alat resmi pemerintah
untuk barter atau alat tukar. Sejarah mata uang pertama kali diciptakan di dunia
dan dijadikan sebagai alat tukar.
2) Kebijakan
Abdul Malik bin Marwan (65-86 H), antara lain:
a) Menumpas
pemberontakan yang terjadi, membuat keadaan pemerintahan menjadi kondusif dan
perkembangan peradaban menjadi lancar.
b) Merubah
bahasa administrasi dari bahasa Yunani dan bahasa Pahlawi ke bahasa Arab. Hal
inilah yang mendorong Sibawaihi menyusun Al-Kitab, yang kemudian menjadi
pegangan dalam tata bahasa Arab.
c) Pada
659 M. merubah mata uang yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam,
yang sebelumnya menggunakan mata uang Bizantium dan Persia berupa dinar dan
dirham, dengan mata uang yang dicetak sendiri dengan memakai kata-kata dan
tulisan Arab, berupa dinar yang terbuat dari emas, dan dirham dari perak.
3) Kebijakan
Al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H) mengirimkan 12.000 pasukan Islam ke Eropa
atau Andalusia terjadi pada tahun 711 M. d. Kebijakan Umar bin Abdul Aziz
(99-101 H), memerintahkan gubernur Madinah agar masyarakat Islam yang ada di
Madinah, Hijaz dan sekitarnya menghimpun, menyeleksi dan menyempurnakan hadits.
Dalam menjalankan politik pemerintahannya, Muawiyah
bin Abu Sufyan mengubah kebijakan sebelumnya. Kalau pada masa Khulafaur
Rasyidin pengangkatan khalifah dilakukan dengan cara pemilihan, Muawiyah
mengubah kebijakan itu dengan cara turun-temurun. Karenanya, khalifah
penggantinya adalah Yazid bin Muawiyah, putranya sendiri. Ada dua hal yang
menarik dari sistem pemerintahan yang dibangun oleh Bani Umayyah, yaitu politik
ekspansi (perluasan wilayah) dan sistem monarkhi (Monarchiheridetis).
a)
Sistem politik
Perluasan
wilayah begitu intens dilakukan Bani Umayyah, utamanya pada masa pemerintahan
Muawiyah bin Abi Sufyan (40-60 H), Abdul Malik Bin Marwan (65–86 H), dan Walid
Bin Abdul Malik (86–96H). Perluasan ini dilandasi oleh semangat dan keinginan
untuk merajai dan berkuasa yang telah berkobar dalam jiwa para khalifah untuk
mendatangkan kehebatan bagi negaranya. Penaklukan ini melibatkan sejumlah
penyerangan terhadap wilayah-wilayah terpencil yang dilaksanakan oleh sejumlah
kekuatan tambahan non-Arab. Oleh karena itu, perang yang terjadi pada masa ini
bukanlah perang ekspansi kesukuan, melainkan perang kerajaan yang berjuang
untuk meraih dominasi dunia. Hal ini berbeda dengan serangkaian penaklukan pada
masa Khulafaur Rasyidin, yang lebih dilatarbelakangi oleh sejumlah migrasi
kesukuan dan pengerahan kekuatan Arab yang berpusat di beberapa pangkalan
militer.
b) Sistem
Pemerintahan
Adapun
sistem pemerintahan yang diterapkan Bani Umayyah adalah sistem monarkhi (Monarchiheridetis),
yang mana suksesi kepemimpinan dilakukan secara turun temurun. Semenjak
Muawiyah berkuasa, raja-raja Umayyah yang berkuasa kelak menunjuk penggantinya
dan para pemuka agama diwajibkan menyatakan sumpah setia di hadapan raja.
Sistem pengangkatan penguasa seperti ini, bertentangan dengan prinsip dasar dan
ajaran permusyawaratan. Sistem ini merupakan bentuk kedua dari sistem
pemerintahan yang pernah dipraktekkan umat Islam sebelumnya, yakni musyawarah, dimana
sepeninggal Nabi Muhammad saw, khulafur rasyidin dipilih sebagai pemimpin
berdasarkan musyawarah.
Dalam
menata administrasi pemerintahan, Bani Umayyah mengembangkan administrasi
pemerintahan Khulafaurrasyidin. Pada masa Umar bin Khatab, telah ada lima
bentuk departemen, yaitu Nidhamul Maaly, Nidhamul harbi, Nidhamul Idary,
Nidhamul Siashi dan Nidhamul Qadhi. Bentuk departemen ini kemudian dikembangkan
lagi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dalam bentuk yang lebih luas dan menyeluruh,
sebagai berikut.
1) An-Nidham
Al-Idari
Organisasi
tata usaha negara pada permulaan Islam sangat sederhana, tidak diadakan
pembidangan usaha yang khusus. Demikian pula keadaannya pada masa Daulah Bani
Umayyah, administrasi negara sangat simpel. Pada umumnya, di daerah-daerah
Islam bekas daerah Romawi dan Persia, administrasi pemerintahan dibiarkan terus
berlaku seperti yang telah ada, kecuali diadakan perubahan-perubahan kecil. Ada
empat organisasi tata usaha pada masa Bani Umayyah, yaitu:
(a) Ad-Dawawin.
Untuk mengurus tata usaha pemerintahan, Daulah Umayyah
mendirikan empat dewan atau kantor pusat, yaitu: diwanul kharraj, diwanur
rasail, diwanul mustaghilat almutanawi’ah, dan diwanul Khatim. Keempat dewan
ini memiliki tugas dan tanggung jawab mengurus surat-surat lamaran raja,
menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan dibalut dengan lilin
kemudian di atasnya dicap.
(b) Al-Imarah
Ala Al-Buldan.
Daulah Umayyah membagi daerah Mamlakah Islamiyah
menjadi lima wilayah besar, yaitu Hijaz, Yaman dan Nejed (pedalaman jazirah
Arab), Irak Arab dan Irak Ajam, Aman dan Bahrain, Karman dan Sajistan, Kabul
dan Khurasan, negeri-negeri di belakang sungai (Ma Wara’a Nahri) dan Sind serta
sebagian negeri Punjab, Mesir dan Sudan, Armenia, Azerbaijan, dan Asia Kecil,
Afrika Utara, Libia, Andalusia, Sisilia, Sardinia dan Balyar. Setiap wilayah
besar diangkat seorang Amirul Umara (Gubernur Jenderal) yang di bawah
kekuasaannya terdapat beberapa orang amir (gubernur) yang mengepalai satu
wilayah. Dalam rangka pelaksanaan kesatuan politik bagi negeri-negeri Arab,
khalifah Umar mengangkat para gubernur jenderal yang berasal dari orang-orang
Arab. Politik ini dijalankan terus oleh khalifah-khalifah sesudahnya, termasuk
para khalifah Daulah Umayyah.
(c) Barid.
Organisasi pos dalam tata usaha pemerintahan semenjak
Muawiyah bin Abi Sofyan memegang jabatan khalifah. Setelah Abdul Malik bin
Marwan berkuasa organisasi pos dikembangkan sehingga menjadi alat penting dalam
administrasi negara.
(d) Syurthah.
Organisasi syurthah (kepolisian) dilanjutkan dan
dikembangkan pada masa Daulah Umayyah. Pada mulanya organisasi ini menjadi
bagian dari organisasi kehakiman yang bertugas melaksanakan perintah hakim dan
keputusan-keputusan pengadilan, yang kepalanya sekaligus sebagai pelaksana
al-Hudud. Kemudian organisasi kepolisian terpisah dari kehakiman dan berdiri
sendiri, dengan tugas mengawasi dan mengurus soal-soal kejahatan. Khalifah
Hisyam memasukkan dalam organisasi kepolisian satu badan yang bernama Nidhamul
Ahdas dengan tugas hampir serupa dengan tugas tentara yaitu semacam brigade
mobil.
2) An
Nidham Al-Mali
Organisasi
keuangan atau ekonomi. Sumber pemasukan keuangan pada zaman Daulah Umayyah pada
umumnya sama seperti pada masa permulaan Islam, sebagai berikut.
(a)
Al Dharaib, yaitu suatu kewajiban yang harus dibayar oleh warga negara (Al
Dharaib) pada zaman Daulah Umayyah. Penduduk dari wilayah-wilayah yang baru
ditaklukkan, terutama yang belum masuk Islam, ditetapkan pajak-pajak istimewa.
(b)
Masharif Baitul Mal, yaitu pengeluaran keuangan pada masa Daulah Umayyah, pada
umumnya sama seperti pada masa permulaan Islam yaitu untuk:
(1)
Gaji para pegawai dan tentara serta biaya tata usaha pemerintahan;
(2)
Pembangunan pertanian, termasuk irigasi dan penggalian terusanterusan;
(3)
Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang;
(4)
Biaya perlengkapan perang; dan
(5)
Hadiah-hadiah kepada para pujangga dan para ulama. Selain itu, para khalifah
Umayyah menyediakan dana khusus untuk dinas rahasia.
3) An
Nidham Al-Harbi
Organisasi
pertahanan pada masa Daulah Umayyah sama seperti yang telah dibuat oleh
khalifah Umar, hanya lebih disempurnakan. Bedanya, pada masa Khulafaur Rasyidin
tentara Islam adalah tentara sukarela, sedangkan pada masa Daulah Umayyah orang
masuk tentara kebanyakan dengan paksa atau setengah paksa, yang dinamakan
Nidhamut Tajnidil Ijbari, semacam undang-undang wajib militer. Politik
ketentaraan pada masa ini adalah Arab oriented, dimana anggota tentara haruslah
terdiri dari orang-orang Arab. Organisasi tentara pada masa ini banyak
mencontoh organisasi tentara Persia. Pada masa khalifah Utsman telah mulai
dibangun angkatan laut, tetapi sangat sederhana. Muawiyah membangun armada
musim panas dan armada musim dingin yang kuat dengan tujuan untuk: (1) mempertahankan
daerah-daerah Islam dari serangan armada Romawi; dan (2) memperluas dakwah
Islamiyah.
4) An
Nidhamm Al-Qadhai
Pada
masa Daulah Umayyah kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari kekuasaan
politik. Kehakiman pada zaman itu mempunyai dua ciri khas yaitu:
(a)
seorang qadhi memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum
ada lagi madzhab empat atau madzhab lainnya. Pada masa itu para qadhi menggali
hukum sendiri dari al-Qur'an dan As Sunnah dengan berijtihad.
(b)
Kehakiman belum terpengaruh dengan politik, karena para qadhi bebas merdeka
dengan hukumnya, tidak terpengaruh dengan kehendak para pembesar yang berkuasa.
Para hakim pada zaman Umayyah adalah manusia pilihan yang bertakwa kepada Allah
swt dan melaksanakan hukum dengan adil, sementara itu para khalifah mengawasi
gerak-gerik dan perilaku mereka, sehingga kalau ada yang menyeleweng langsung
dipecat.
Kekuasaan
kehakiman di zaman ini dibagi ke dalam tiga badan: (1) AlQadha, seorang qadhi
bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama; (2)
Al-Hisbah, seorang al-Muhtashib bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan
soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat; dan (3) An-Nadhar fil Madhalim
yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding. An Nadhar fil Madhalim
merupakan pengadilan tertinggi yang bertugas menerima banding dari pengadilan
yang berada di bawahnya dan mengadili para hakim dan para pembesar tinggi yang
bersalah. Pengadilan ini bersidang di bawah pimpinan khalifah atau orang yang
ditunjuk olehnya.
Para
khalifah Bani Umayyah menyediakan satu hari saja dalam seminggu untuk keperluan
ini dan yang pertama kali mengadakannya adalah Khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Seperti mahkamah-mahkamah yang lain, Mahkamah Madhalim ini diadakan dalam
masjid. Ketua Mahkamah Madhalim dibantu oleh lima orang pejabat lainnya, dimana
sidang mahkamah itu tidak sah tanpa mereka yaitu: (1) Para pengawal yang kuat,
yang sanggup bertindak kalau para pesakitan lari; (2) Para hakim dan qadhi; (3)
Para sarjana hukum (fuqaha) tempat para hakim meminta pendapat tentang hukum;
dan (4) Para penulis yang bertugas mencatat segala jalannya siding.
Selain
itu, pada masa Daulah Umayyah diadakan satu jabatan baru yang bernama
al-Hijabah, yaitu urusan pengawalan keselamatan khalifah. Kebijakan ini diambil
mungkin karena khawatir akan terulang peristiwa pembunuhan terhadap Ali dan
percobaan pembunuhan terhadap Muawiyah dan Amru bin Ash. Oleh karenanya,
diadakan penjagaan yang ketat terhadap diri khalifah, sehingga siapapun tidak
dapat menghadap sebelum mendapat izin dari para pengawal (hujjab). Kepala
pengawalan keselamatan khalifah adalah jabatan yang sangat tinggi dalam istana
kerajaan. Ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan melantik kepala pengawalnya,
antara lain dia memberi amanat, “Engkau telah kuangkat menjadi kepala
pengawalku. Siapapun tidak boleh masuk menghadap tanpa izinmu, kecuali muazzin,
pengantar pos dan pengurus dapur”.
c. Warisan
peradaban
Wujud
kebudayaan fisik berupa hasil aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam
masyarakat Islam pada masa Bani Umayyah tampak sekali, seperti: bangunan
istana, masjid, dan rumah sakit. Istana-istana yang didirikan sebagai tempat
beristirahat di padang pasir pada masa ini, antara lain
Qusayr
Amrah dan Al-Mushatta. Masjid-masjid pertama di luar semenanjung Arab dibangun
pada masa ini, antara lain:
1.
Katedral St. John di Damaskus dirubah
menjadi masjid. Bahkan katedral yang di Hims, di pusat kota Suriah digunakan
sekaligus untuk masjid dan gereja.
2.
Membangun masjid Sidi ‘Uqbah bin Nafi’ di
makam ‘Uqbah bin Nafi’, panglima Muawiyah yang berhasil menaklukkan Afrika pada
50 H, di Kairuwan, Tunisia.
3.
Abdul Malik membangun masjid Al-Aqsa di
Al-Quds, Jerusalem.
4.
Membangun monument Qubbah Al-Sakhr (Kubah
Batu Karang) di-Quds, Jerusalem, di sebuah tempat yang menurut riwayat adalah
tempat Nabi Ibrahim menyembelih Islmail dan Nabi Muhammad saw memulai mi’raj ke
langit.
5.
Qubbah Al-Sakhr (sumber: https://news.detik.com)
6.
Membangun masjid Cordova Masjid Agung Cordoba,
Spanyol (sumber: www.republika.co.id)
7.
Al-Walid Memperbaiki, mempercantik, dan
memperbesar Masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Al-Walid
membangun berbagai institusi untuk melayani para penderita lepra yang lumpuh
dan buta di Suriah. Ia merupakan penguasa pertama yang membangun rumah sakit
bagi penderita penyakit kronis dan rumah-rumah penderita lepra, yang kemudian
menginspirasi dan diikuti oleh Barat.
d. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan tokoh-tokohnya masa Bani Umayyah di Damaskus
Perkembangan
ilmu pengetahuan pada masa Bani Umayyah di Damaskus meliputi 3 bidang, yaitu
bidang diniyah, bidang tarikh dan bidang filsafat. Pada masa itu kaum muslimin
memperoleh kemajuan yang sangat pesat, tidak hanya penyebaran agama Islam saja,
tetapi juga penemuanpenemuan ilmu lainnya. Pembesar Bani Umayyah secara khusus
menyediakan dana tertentu untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Para khalifah
mengangkat ahli-ahli cerita dan mempekerjakan mereka dalam lembaga-lembaga
ilmu, berupa masjid-masjid dan lembaga lainnya yang disediakan oleh pemerintah.
Kebijakan ini mungkin karena didorong oleh beberapa hal: (1) Pemerintah Bani
Umayyah dibina atas dasar kekerasan karena itu mereka membutuhkan ahli syair,
tukang kisah dan ahli pidato untuk bercerita menghibur para khalifah dan
pembesar istana. (2) Jiwa Bani Umayyah adalah jiwa Arab murni yang belum begitu
berkenalan dengan Filsafat dan tidak begitu serasi dengan pembahasan agama yang
mendalam. Mereka merasa senang dan nikmat dengan syair-syair yang indah dan
khutbah-khutbah balighah (berbahasa indah).
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241968799
Para
ahli sejarah menyimpulkan bahwa perkembangan gerakan ilmu pengetahuan dan
budaya pada masa Bani Umaiyyah di Damaskus memfokuskan pada tiga gerakan besar
yaitu; (1) Gerakan ilmu agama, karena didorong oleh semangat agama yang sangat
kuat pada saat itu; (2) Gerakan Filsafat, karena ahli agama diakhir Daulah
Umayyah terpaksa menggunakan filsafat untuk menghadapi kaum Nasrani dan Yahudi;
dan (3) Gerakan sejarah, karena ilmu-ilmu agama memerlukan riwayat.
Pengembangan
ilmu pengetahuan pada masa Bani Umayyah di Damaskus tampak pada beberapa
bidang. Kegiatan-kegiatan ilmiah tersebut berpusat di Kuffah dan Basrah, Irak.
1. Ilmu
Tafsir
Setelah
Daulah Umayyah di Damaskus berdiri, kaum muslim berhajat kepada hukum dan
undang-undang yang bersumber dari al-Qur’an, sedangkan para qurra dan mufassirin
menjadi tempat bertanya masyarakat dalam bidang hukum. Pada zaman ini
keberadaan tafsir masih berkembang dalam bentuk lisan dan belum dibukukan. Ilmu
tafsir pada saat itu belum berkembang seperti pada zaman Bani Abbasiyah.
2. Ilmu
Hadis
Pada
saat mengartikan makna ayat-ayat al-Qur’an, kadang-kadang para ahli hadis
kesulitan mencari pengertian dalam hadis karena terdapat banyak hadis yang
sebenarnya bukan hadis. Dari kondisi semacam ini maka timbullah usaha para
muhaddisin untuk mencari riwayat dan sanad hadis. Proses seperti ini pada
akhirnya berkembang menjadi ilmu hadis dengan segala cabang-cabangnya.
Perkembangan hadist diawali dari masa khalifah Umar bin Abdul Aziz dan ulama
hadis yang mulamula membukukan hadis yaitu Ibnu Az Zuhri atas perintah khalifah
Umar bin Abdul Aziz.
3. Ilmu
kalam
Di
masa inilah dimulai ilmu kalam dan muncullah nama-nama, seperti Hasan Al-Basri,
Ibn Shihab Al-Zuhri, dan Wasil ibn Ata’. Perang yang diakhiri dengan tahkim
(arbitrase) telah menyebabkan munculnya berbagai golongan, yaitu Muawiyah,
Syiah (Pengikut) Ali, Khawarij dan sahabat-sahabat yang netral. Dari peristiwa
yang diakibatkan oleh perseteruan dalam bidang politik akhirnya bergeser ke
permasalahan teks-teks agama tepatnya masalah teologi atau ilmu kalam. Kaum Khawarij
memandang Ali telah berbuat salah dan telah berdosa dengan menerima arbitrase
itu. Menurut mereka penyelesaian dengan cara arbitrase atau tahkim itu
bertentangan dengan al-Quran. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 44, “Dan
barang siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan
Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” Dengan landasan ayat al-Quran
tersebut, mereka menghukum semua orang yang terlibat dalam tahkim itu telah
menjadi orang-orang kafir. Kafir dalam arti telah keluar dari Islam. Orang yang
keluar dari Islam di katakan murtad, dan orang murtad halal darahnya dan wajib
dibunuh. Maka dari itu mereka memutuskan untuk membunuh Ali, Muawiyah, Amr bin
Ash dan Abu Musa, dan yang berhasil dibunuh hanya Imam Ali (Yusuf, 2014: 9-10)
Persoalan
ini akhirnya menimbulkan tiga aliran Ilmu Kalam dalam Islam, yaitu: (a) Aliran
Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam
arti keluar dari Islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh. (b) Aliran
Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin dan
bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah untuk
mengampuni atau tidak mengampuninya. (c) Aliran Mu’tazilah yang tidak menerima
pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir,
tetapi bukan pula mukmin. Orang yang serupa ini mengambil posisi di antara ke
dua posisi mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arab terkenal dengan istilah
al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi) (Rozak, 2012:
35).
Setelah
ketiga aliran di atas, lalu muncul pula dua aliran Ilmu Kalam yang terkenal
dengan nama Qadariyah dan Jabariah. Menurut Qadariyah manusia memiliki
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.Sebaliknya, Jabariyah berpendapat
bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
Dari
paparan sekilas ini, secara jelas dapat diketahui bahwa peristiwa tahkim
berdampak dan berimplikasi kepada tumbuhnya aliran-aliran dalam Ilmu Kalam.
Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah merupakan aliran yang pertama sekali muncul
dalam sejarah peradaban Islam. Kemudian muncul aliran Qadariyah dan Jabariyah.
Kedua aliran ini kendatipun pada awalnya muncul dengan membentuk aliran
tersendiri, tetapi dalam perkembangannya tidak lagi dapat disebut sebagai
aliran. Paham Qadariyah dan Jabariyah kemudian memasuki aliran-aliran Ilmu
Kalam yang ada (Yusuf, 2014: 13).
4. Ilmu
Qira'at
Dalam
sejarah perkembangan ilmu, yang pertama kali berkembang adalah ilmu qiraat.
Cabang Ilmu ini mempunyai kedudukan yang sangat penting pada permulaan Islam
sehingga orang-orang yang pandai membaca al-Qur'an pada saat itu disebut para
Qurra. Setelah pembukuan dan penyempurnaan al-Qur’an pada masa Khulafaur
Rasyidin dan al-Qur’an yang sah dikirim ke berbagai kota wilayah bagian,
kemudian lahirlah dialek bacaan tertentu bagi masing-masing penduduk kota
tersebut dan mereka mengikuti bacaan seorang qari’ yang dianggap sah bacaannya.
Akhirnya muncul dan masyhurlah tujuh macam bacaan yang sekarang terkenal dengan
nama Qiraat sab’ah kemudian selanjutnya ditetapkan sebagai bacaan standar.
5. Ilmu
Nahwu
Dengan
meluasnya wilayah Islam dan didukung dengan adanya upaya Arabisasi maka ilmu
tata bahasa Arab sangat dibutuhkan. Sehingga dibukukanlah ilmu nahwu dan
menjadi salah satu ilmu yang penting untuk dipelajari. Memulai mempelajari tata
Bahasa Arab yang dikenal dengan nama nahwu adalah ketika seorang bayi memulai
berbicara dilingkungannya. Tanpa tata bahasa maka pembicaraan tidak akan baik
dan benar. Setelah banyak bangsa di luar bangsa Arab masuk Islam dan sekaligus
wilayahnya masuk dalam daerah kekuasaan Islam maka barulah terasa bagi bangsa
Arab dan mulai di perhatikan dengan cara menyusun ilmu nahwu. Adapun ilmuwan
bidang bahasa pertama yang tercatat dalam sejarah perkembangan ilmu yang
menyusun ilmu nahwu adalah Abu al-Aswad al-Du’ali yang berasal dari Baghdad.
Salah satu jasa dari Al-Du’ail adalah menyusun gramatika Arab dengan memberikan
titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak ada. Abu Aswad Ad Dualy yang
wafat tahun 69 H. Tercatat beliau belajar dari shahabat Ali bin Abi Thalib,
dengan demikian ada saja ahli sejarah mengatakan bahwa sahabat Ali bin Abi
Thalib-lah bapaknya ilmu nahwu.
6. Tarikh
dan Geografi
Geografi
dan tarikh pada masa ini telah menjadi cabang ilmu tersendiri. Dalam
mengembangkan ilmu tarih ilmuwan pada masa ini mengumpulkan kisah tentang Nabi
dan para Sahabatnya yang kemudian dijadikan landasan bagi penulisan buku-buku
tentang penaklukan (maghazi) dan biografi (sirah). Munculnya ilmu geografi
dipicu oleh berkembangnya dakwah Islam ke daerah-daerah baru yang luas dan
jauh. Penulisan sejarah Islam dimulai pada saat terjadi peristiwa-peristiwa
penting dalam Islam dan dibukukannya dimulai pada saat Bani Umayyah dan
perkembangan pesat terjadi pada saat Bani Abbasiyah. Demikian begitu pesatnya
perkembangan sejarah Islam sehingga para ilmuan berkecimpung dalam bidang itu
dapat mengarang kitab-kitab sejarah yang tidak dapat dihitung banyaknya. Sampai
sekarang prestasi penulisan sejarah pada saat Bani Umayyah dan Abbasiyah tidak
dapat ditandingi oleh bangsa manapun, tercatat kitab sejarah yang ditulis pada
zaman itu lebih dari 1.300 judul buku.
7. Seni
Bahasa
Umat
Islam masa Bani Umayyah selain telah mencapai kemajuan dalam bidang politik,
ekonomi dan ilmu pengetahuan, juga telah tumbuh dan berkembang seni bahasa.
Perhatian kepada syair Arab Jahiliyah timbul kembali dan penyair-penyair Arab
barupun timbul, seperti Umar Ibn Abi Rabi’ (w. 719 M), Jamil Al-Udhri (w. 701
M), Qays Ibn Al-Mulawwah (w. 699 M) yang lebih dikenal dengan nama Majnun
Laila, Al-Farazdaq (w. 732 M), Ummu Jarir (w. 792 M), penyair yang mendukung
dan memelihara kemulian Badui dan yang syair-syairnya menonjol karena
nafas-nafas spiritualnya, dan AlAkhtal (w. 710 M) yang beragama Kristen aliran
Jacobite. Pada masa ini seni dan bahasa mengambil tempat yang penting dalam
hati pemerintah dan masyarakat Islam pada umumnya. Pada saat kota-kota seperti
Bashra dan Kuffah adalah pusat perkembangan ilmu dan sastra. Orang-orang Arab
muslim berdiskusi dengn bangsa-bangsa yang telah maju dalam hal bahasa dan
sastra. Di kota–kota tersebut umat Islam menyusun riwayat Arab, seni bahasa dan
hikmah atau sejarah, nahwu, sharaf, balaghah dan juga berdiri klub-klub para
pujangga. Pada masa ini juga muncul terjemahan-terjemahan awal naskahnaskah
filsafat Yunani dari bahasa Suryani ke bahasa Arab.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605858257
B. Perkembangan
kebudayaan pada masa Bani Abbasiyah
Bani
Abbasiyah lahir tahun 750 M. Nama Abbasiyah yang dipakai untuk nama bani ini
adalah di ambil dari nama bapak pendiri Abbasiyah yaitu Abas bin Abdul Mutalib
paman Nabi Muhammad Saw. Proses lahirnya Abbasiyah di mulai dari kemenangan Abu
Abbas Assafah dalam sebuah perang terbuka (al-Zab) melawan khalifah Bani
Umayyah yang terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Abu Abbas diberi gelar Assafah
karena dia pemberani dan mampu memainkan mata pedangnya kepada lawan
politiknya. Semua lawan politiknya di perangi dan di kejar-kejar, diusir keluar
dari wilayah kekuasaan Abbasiyah yang baru direbut dari Bani Umayyah di
Damaskus.
Proses
pengembangan peradaban yang dibangun Bani Abbasiyah begitu cepat membawa
perubahan besar bagi perkembangan peradaban ilmu pengetahuan selanjutnya. Bani
Abbasiyah eksis selama 505 tahun dan diperintah oleh 37 khalifah dengan mampu
menciptakan peradaban yang menjadi kiblat dunia pada saat itu, peradaban yang
dikenang sepanjang masa. Pada waktu itu suasana belajar kondusif, fasilitas
belajar disediakan pemerintah dengan lengkap. Motivasi belajar menjadi
pendorong gairahnya masyarakat untuk belajar. Masyarakat mendatangi
tempat-tempat belajar seperti kuttab dan madrasah maupun perguruan tinggi
seperti universitas. Universitas yang terkenal pada saat itu adalah Nizamiyah
yang dibangun oleh perdana menteri Nizamul Muluk dari khalifah Harun al-
Rasyid. Khalifah Harun al-Rasyid terkenal sebagai khalifah yang sangat cinta
pada ilmu pengetahuan, baik belajar maupun dalam hal membangun fasilitas
belajar, seperti: sekolah, perpustakaan, menyediakan guru dan membentuk gerakan
terjemahan.
Abu
Abbas Assafah sebagai pendiri Bani Abbasiyah memiliki masa kepemimpinan yang
sangat singkat. Hanya 4 tahun beliau memerintah, akan tetapi mampu menciptakan
suasana dan kondisi
Abbasiyah
yang seteril dari keturunan Bani Umayyah sebagai lawan politik yang baru di
kalahkan dan dikuasainya. Sikap tegas dan berani yang ditunjukkan oleh Khalifah
Abu Abas Assafah ketika membuat kebijakan memberantas semua keturunan Umayyah
dari wilayah yang dikuasainya. Dampak dari kebijakan tersebut dapat dilihat
dari suasana pusat wilayah dan rakyat Abbasiyah yang baru menjadi lebih
kondusif dan perkembangan peradaban dapat dikendalikan oleh Khalifah Abu Abbas
Assafah.
Berikut
merupakan khalifah-khalifah yang memimpin Bani Abbasiyah:
1. Abul
Abbas As Saffah (750-754 M)
Abdullah
bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas merupakan Khalifah pertama
pemerintahan Abbasiyah. Ayahnya adalah orang yang melakukan gerakan untuk
mendirikan pemerintahan Bani Abbasiyah dan menyebarkan kemana-mana. Inilah yang
membuat Abdullah banyak mengetahui tentang gerakan ini dan rahasia-rahasianya.
Dia diangkat oleh saudaranya yang bernama Ibrahim sebelum dia ditangkap oleh
pemerintahan Umawiyah pada tahun 129 H / 746 M. Tertangkapnya Ibrahim membuat
Abdullah harus berangkat ke Kufah bersama-sama dengan pengikutnya secara
rahasia. Pada masa pemerintahannya, saat pasukan Abbasiyah menguasai Khurasan
dan Irak, dia keluar dari persembunyiannya dan dibaiat sebagai Khalifah pada
tahun 132 H/ 749 M. Setelah itu dia mengalahkan Marwan bin Muhammad dan
menghancurkan pemerintahan Bani Muawyah pada tahun yang sama. Abu Abbas
Assyafah meninggal pada tahun 136 H / 753 M.
2. Abu
Ja’far Al Manshur (754-775 M)
Abu
Ja’far Al-Manshur menjabat Khalifah kedua Bani Abbasiyah menggantikan
saudaranya Abul Abbas As Saffah. Abu Ja’far Al Manshur adalah putra Muhammad
bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib yang juga saudara kandung
Ibrahim Al-Imam dan Abul Abbas As-Saffah. Ketiganya merupakan pendiri Bani
Abbasiyah. Ketika Khalifah Abul Abbas As Saffah meninggal, Abu Ja’far sedang
menunaikan ibadah haji bersama Panglima Besar Abu Muslim Al-Khurasani. Yang
pertama kali dilakukan Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur setelah dilantik menjadi
Khalifah pada 136 H/ 754 M adalah mengatur politik dan siasat pemerintahan Bani
Abbasiyah. Jalur-jalur pemerintahan ditata rapi dan cermat, sehingga pada masa
pemerintahannya terjalin kerja sama erat antara pemerintah pusat dan daerah.
Begitu juga antara qadhi (hakim) kepala polisi rahasia, kepala jawatan pajak,
dan kepalakepala dinas lainnya.
Selama
masa kepemimpinannya, kehidupan masyarakat berjalan tenteram, aman dan makmur.
Stabilitas politik dalam negeri cenderung aman dan terkendali, tidak ada
gejolak politik dan pemberontakan-pemberontakan. Menjelang pengujung 158 H,
Khalifah Abu Ja’far Al Manshur berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah
haji. Namun dalam perjalanan ia sakit lalu meninggal dunia. Ia wafat dalam usia
63 tahun dan memerintah selama 22 tahun. Jenazahnya dibawa dan dikebumikan di
Baghdad.
3. Muhammad
Al-Hadi
Muhammad
Al-Mahdi bin al-Mansur dilantik sebagai Khalifah sesuai dengan wasiat ayahnya
pada tahun 158 H/ 774 M. Dia dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan dan
pemurah. Pada masa pemerintahannya, kondisi dalam negeri saat itu sangat
stabil, dan tidak ada satu gerakan penting dan signifikan di masanya. Dia
berhasil mencapai kemenangan-kemenangan atas orang-orang Romawi. Anaknya, Harun
Ar-Rasyid adalah panglima perang dalam penaklukan ini. Dia sampai ke Pantai
Marmarah dan berhasil melakukan perjanjian damai dengan Kaisar Agustine yang
bersedia untuk membayar jizyah pada tahun 166 H/ 782 M. Muhammad Al-Mahdi meninggal
pada tahun 169 H / 785 M setelah memerintah selama 10 tahun beberapa
bulan.
4. Musa
Al-Hadi
Musa
Al-Hadi bin Muhammad Al-Mahdi yang dilantik sebagai Khalifah setelah ayahnya
wafat. Pada masa itu, terjadi pemberontakan oleh Husein bin Ali bin Husein bin
Hasan bin Ali di Makkah dan Madinah yang menginginkan agar pemerintahan berada
di tangannya. Namun, Al-Hadi mampu menaklukannya dalam perang Fakh pada tahun
169 H / 785 M. Pada saat yang sama, Yahya bin Abdullah juga melakukan
pemberontakan di Dailam. Al-Hadi memberangkatkan Ar-Rasyid sampai Yahya bin
Abdullah mampu ditaklukan. Musa Al-Hadi meninggal pada tahun 170 H / 786
M.
5. Harun
Al-Rasyid
Harun
Ar Rasyid bin al-Mahdi merupakan mutiara sejarah Bani Abbasiyah. Pada masanya
pemerintahan Islam mengalami puncak kemegahan dan kesejahteraan yang belum
pernah dicapai sebelumnya. Harun Ar-Rasyid dikenal sebagai sosok yang sangat
pemberani. Dia telah melakukan penyerbuan dan penaklukan negeri Romawi pada
saat baru berumur 20 tahun. Dia pun dikenal sebagai sosok yang takwa dan takut
kepada Allah dalam segala perkara. Pada masa pemerintahannya adalah masa yang
sangat tenang dan stabil, hanya ada beberapa pemberontakan kecil yang tidak
berarti apa apa, di antaranya adalah pemberontakan Yahya Abdullah, kaum
Khawarij, orang-orang Zindik, dan pemberontakan di Kharasan. Sebelum meninggal,
dia mewariskan kekuasaan kepada kedua anaknya, Al-Amin dan Al Makmun. Hal ini
menjadi fitnah yang bertiup kencang yang terjadi antara dua saudara ini setelah
kematiannya. Harun meninggal pada tahun 193 H / 808 M setelah memerintah selama
23 tahun.
6. Muhammad
Al-Amin
Dia
bernama Muhammad Al-Amin bin Harun Ar-Rasyid. Ayahnya telah membaiatnya sebagai
Khalifah, lalu untuk saudaranya Al Makmun, kemudian untuk Qasim. Dia diberi
kekuasaan di Irak, sedangkan Al-Makmun di Kharasan. Namun, ada salah seorang
menteri Al-Amin yang mendorongnya untuk mencopot posisi putera mahkota dari
adiknya dan memberikannya kepada anaknya yang bernama Musa. Al-Amin termakan
tipuan ini, dan Al-Amin segera memberontak. Pada tahun 195 H/ 810 M, AlAmin
mengirimkan dua pasukan untuk memerangi saudaranya, namun berhasil dihancurkan
oleh Thahir bin Husein, panglima perang Al-Makmun. Al-Amin sendiri dikenal
sebagai seorang yang suka berfoya-foya serta banyak melalaikan urusan negara.
Sehingga setelah lima tahun ia memerintah, kekhalifahannya digantikan oleh
Abdullah Al Makmun.
7. Abdullah
Al-Makmun
Dia
bernama Abdullah Al- Makmun bin Harun Ar- Rasyid. Pada masa pemerintahannya
banyak peristiwa peristiwa penting yang terjadi, pertama adalah pemberontakan
Bagdad dan penunjukkan Ibrahim Al Mahdi sebagai Khalifah, kedua Al-Khuramiyah,
dan ketiga adanya fitnah bahwa Al-Quran adalah makhluk. Penaklukan-penaklukan
pada masa pemerintahannya sangatlah terbatas. Dia hanya mampu menaklukan Laz,
sebuah tempat di Dailam pada tahun 202 H/ 817 M. Pada masanya, dia tidak
menjadikan anaknya Al- Abbas, untuk menggantikan dirinya. Dia malah mengangkat
saudaranya Al Mu’tasim karena bisa melihat bahwa Al Mu’tasim lebih memiliki
banyak kelebihan dibandingkan anaknya. Setelah berkuasa selama 20 tahun. Al
Ma’mun meninggal pada tahun 218 H/ 833 M.
8. Abu
Ishaq Al-Mu’tasim
Dia
bernama Muhammad bin Harun Ar-Rasyid diangkat khalifah setelah mendapat wasiat
dari saudaranya. Pada masa pemerintahannya, dia banyak mengangkat pasukan dari
orang orang Turki, sehingga ini sama artinya dengan meletakkan semua masalah
pemerintahan di tangan orang-orang Turki yang berlebihan. Adapun peristiwa
penting pada zaman pemerintahannya adalah gerakan Babik AlKhurami. Penaklukan
yang dilakukan oleh Abu Ishaq Al-Mu’tasim pada pemerintahannya adalah
penaklukan Al-Muriyah yang mana banyak perbuatan yang melampaui batas
kesopanan. Kemudian setelah memerintah selama 9 tahun, Abu Ishaq Al-Mu’tasim
meninggal dunia pada tahun 227 H/833 M.
9. Harun
Al-Watsiq
Dia
adalah Harun bin Muhammad Al-Mu’tasim menjadi Khalifah setelah ayahnya Al-Mu’tasim,
pada tahun 227 H/ 841 M. Panglima-panglima asal Turki pada masanya mencapai
posisi-posisi yang sangat terhormat. Bahkan, Asynas mendapatkan gelar sultan
dari Al-Watsiq. Harun Al-Watsiq meninggal pada tahun 223 H / 846 M setelah
memerintah selama 5 tahun.
10. Jakfar
Al Mutawakkil
Dia bernama Ja’far bin Muhammad Al-Mu’tasim.
Ja’far Al-Mutawakkil adalah salah seorang yang melarang dengan keras pendapat
yang mentapkan bahwa Al Quran adalah makhluk. Pada masa pemerintahannya,
orang-orang Romawi melakukan penyerangan di Dimyath, Mesir. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 238 H / 852 M. Al-Mutawakkil dibunuh oleh anaknya yang
bernama Al-Muntasir pada tahun 247 H / 861 M.
Khalifah
Abu Ja’far al-Mansur, khalifah kedua dari pemerintahan Bani Abbasiyah menetapkan
beberapa kebijakan pemerintahan Abbasiyah sebagai kontrol pemerintahan, yaitu:
a. Memindahkan
pusat kekuasaan Bani Abbasiyah dari Hasyimiyah ke Bagdad
b. Kota
Bagdad sebagai pusat kekuasaan Abbasiyah di buka menjadi kota terbuka untuk
semua peradaban dari berbagai bangsa masuk. Hal ini dilakuan oleh para khalifah
melihat pengalaman pola pengembanga budaya dan ilmu masa Bani Umayyah yang
bersifat Arab oriented, akibatnya adalah budaya dan ilmu pengetahuan menjadi
lambat berkembang.
c. Ilmu
pengetahuan dipandang sabagai suatu yang sangat mulia dan berharga. Para
khalifah adalah orang-orang yang sangat mencintai ilmu dan membuka kesempatan
ilmu pengetahuan seluasluasnya.
d. Rakyat
diberi beban berfikir serta memperoleh hak asasinya dalam segala bidang,
seperti; aqidah, ibadah, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
e. Para
menteri keturunan Persia di beri hak penuh untuk menjalankan pemerintahan
sehingga mereka memegang peranan penting dalam memajukan kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.
f. Berkat
usaha khalifah Abbasiyah yang sungguh-sungguh dalam membangun ekonomi Islam,
pemerintah Abbasiyah memiliki perbendaharaan harta yang cukup melimpah di baitu
maal hasil rampasan perang dari kemenangan perang.
g. Dalam
pengembangan ilmu pengetahuan para khalifah banyak yang mendukug perkembangan
ilmu pengetahuan, sehingga banyak buku-buku yang dikarang oleh ilmuan dalam
lembaga-lembaga ilmu pengetahuan yang dibangun untuk memfasilitasi kegiatan
masyarakat dalam menimbah ilmu pengetahuan.
h. Masyarakat
dapat dibagi menjadi dua kelompok besar.
Kelompok
pertama, kelompok khalifah, terdiri dari khalifah dan keluarga, para pembesar
dan pekerja yang bekerja di istana. Mereka diberi penginapan di dalam wilayah
istana (Daarul Khalifah).
Kelompok
kedua, kelompok masyarakat umum, yang terdiri para guru, ulama, petani, buruh,
filosof dan masyarakat pada umumnya.
Tujuan
dari pembagian tersebut adalah agar pembagian tugas menjadi jelas, bukan justru
untuk membuat jarak antara sesama masyarakat Islam atau antara masyarakat Islam
dengan masyarakat non Islam. Meskipun demikian, kenyataannya terdapat dikotomi
dalam masyarakat Islam Abbasiyah antara para pembesar dengan masyarakat umum.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241948329
Kebijakan-kebijakan
tersebut oleh para pakar sejarah dipandang mampu meciptakan suasana belajar
yang kondusif, memotivasi masyarakat Abbasiyah untuk belajar dengan
sungguh-sungguh, dan mampu membentuk budaya belajar dengan sesungguhnya bagi
masyarakat Abbasiyah pada umumnya.
Selama
beberapa dekade pasca berdirinya pada tahun 132H/750M, Dinasti Abbasiyah
berhasil melakukan konsolidasi internal dan memperkuat kontrol atas
wilayah-wilayah yang mereka kuasai. Era kepemimpinan Khalifah kedua, Abū Ja`far
bin `Abdullāh bin Muhamad Al-Mansūr (137-158H/754775M), menjadi titik yang
cukup krusial dalam proses stabilisasi kekuasaan ini ketika ia mengambil dua
langkah besar dalam sejarah kepemimpinannya. Pertama, menyingkirkan para musuh
maupun bakal calon musuh serta menumpas sejumlah perlawanan lokal di beberapa
wilayah kedaulatan Abbasiyah. Kedua, meninggalkan Al-Anbār dan membangun
Baghdad sebagai ibukota baru, yang beberapa saat kemudian menjadi fokus
aktivitas ekonomi, budaya dan keilmuan dunia Muslim saat itu.
Gerakan
penerjemahan yang kemudian menjadi salah satu ’ikon’ kemajuan peradaban
Abbasiyah juga tidak lepas dari peranan Al-Mansūr sebagai Khalifah pertama yang
mempelopori gerakan penerjemahan sejumlah buku-buku kuno warisan peradaban
pra-Islam. Demikian dengan gerakan pembukuan (tasnīf) dan kodifikasi (tadwīn)
ilmu tafsir, hadis, fikih, sastra serta sejarah mengalami perkembangan cukup
signifikan di era Al-Mansūr pula. Konon, sebelum masa itu, para pelajar dan
ulama dalam melakukan aktivitas keilmuan hanya menggunakan lembaran-lembaran
yang belum tersusun rapi, sehingga tidak mengherankan jika Al-Qanūji secara
tegas menyebut Al-Mansur sebagai Khalifah pertama yang memberikan perhatian
besar terhadap ilmu-ilmu kuno pra-Islam, setelah sebelumnya terabaikan oleh
para Khalifah Bani Umayyah.
Ada
beberapa faktor kemajuan peradaban Dinasti Bani Abbasiyah. Faktor politik,
antara lain: (1) Pindahnya ibu kota negara dari al-Hasyimiyah ke Bagdad yang
dilakukan oleh Khalifah al-Mansyur. (2) Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi
pegawai pemerintah dan pegawai istana, dan (3) Diakuinya Mu’tazilah sebagai
mazhab resmi negara pada masa al-Makmun pada tahun 827 M. Faktor Sosiografi,
antara lain: (1) Meningkatnya kemakmuran umat Islam. (2) Luasnya wilayah
kekuasaan Islam menyebabkan banyak orang Romawi dan Persia yang masuk Islam dan
kemudian menjadi Muslim yang taat. (3) Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab
dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang
ilmu pengetahuan. (4) Adanya gerakan penerjemahan buku filsafat dan ilmu dari
peradaban Yunani dalam Bait al-Hikmah sehingga menjelma sebagai pusat kegiatan
intelektual.
Kemajuan
dinasti Abasiyyah dalam bidang agama, filsafat dan sains tidak bisa dilepaskan
dari keberadaan kota Baghdad sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
Baghdad adalah sebuah kota yang didirikan atas inisiatif al-Mansur yang
terletak di sebelah barat sungai Tigris dikerjakan selama empat tahun oleh 100
ribu karyawan dan arsitektur dengan biaya 4000,833 dirham. Kemajuan Islam zaman
Abasiyyah ini banyak dirintis oleh khalifah Ma’mun (813-833 H) dengan
mendirikan pusat kerajaan ilmu pengatahuan dan teknologi dengan nama “Darul
Hikmah”. Darul Hikmah ini di samping pusat kerajinan juga sebagai pusat
perpustakaan dan kantor penterjemahan ilmu-ilmu non Arab ke dalam bahasa Arab,
seperti filsafat Yunani, ilmu-ilmu Barat. Darul Hikmah membuat sekitar satu juta
buku ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam penterjemahan dipimpin oleh seorang
ilmuwan yang bernama Hunain bin Ishaq (809-973 H). di bawah pimpinan Hunain bin
Ishaq inilah banyak dihasilkan buku-buku penting yang sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab yang meliputi ilmu Kimia, Matematika, Filsafat Yunani,
Astronomi dll.
Khalifah
al Makmun sangat berbeda filosofi hidupnya dengan para khalifah Abbasiyah pada
umumnya, juga berbeda dengan kakaknya al Amin bin Harun al Rasyid yang suka
berpesta pora. Al Makmun cenderung lebih memperhatikan jalannya pemerintahan
dan pembangunan negara, termasuk kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, ketimbang bersukaria dengan pesta pora, minuman keras dan hasrat
terhadap sesama jenis (Farag Faudah, 2008: 167).
Keterbukaan
dalam pemerintahan Abbasiyah, khususnya masa khalifah al Makmun sungguhsungguh
nyata. Banyak juru tulis tersebar dalam birokrasi adalah orang Khurosan,
kelompok Kristen Nestorian. Kelompok minoritas, seperti Yahudi, banyak terlibat
dalam urusan perpajakan dan perbankan. Keluarga-keluarga muslim Syi’ah juga
berpengaruh terhadap kebijakan politik khalifah (Ira M. Lapidus, 1999: 108).
Sebagai contoh al Makmun berusaha mendekati tokoh aliran Syi’ah pada saat itu
dengan cara menikahi salah satu putri imam Ali al Ridlo, Imam Syi’ah kedelapan
dan menyebut Ali al Ridla sebagai pewaris kekhalifahan sesudahnya (Keren
Armstrong, 2002: 89). Sebagai penganut Mu’tazilah al Makmun sangat gemar ilmu
pngetahuan dan filsafat, hal ini merupakan salah satu faKtor yang mampu
menggerakkan umat Islam untuk kemajuan ilmu Pengetahuan dan teknologi dengan
pesat. Berdasar uraian tersebut nampaknya al Makmun memiliki filosofi
pluralistis dalam berbangsa dan bernegara, sehingga tak membedakan suku, agama,
ras dan aliran (SARA).
Adapun
faham keagamaan khalifah al Makmun adalah pengikut aliran Mu’tazilah dalam
persolan ilmu Kalam. Sebagai sorang intelektual dan negarawan, al Makmun hampir
tanpa cela. Seandainya ia tidak terseret yang terlalu dalam terhadap
rasionalitas Mu’tazilah dan menjadikannya sebagai faham resmi dalam kenegaraan
pada tahun 212 H/827 M serta membuka sikap fanatisme aliran yang kemudian
membawa dampak adanya peristiwa yang dikenal dengan Mihnah al Qur’an yang pada
prakteknya memeriksa batin seseorang mengakui kemakhluqan al Qu’an atau tidak.
Jika tidak maka akan di hukum berat, praktek inkuisisi ini muncul dimana-mana,
dan faham Mu’tazilah ini ditentang oleh Aliran ahli hadits yang di komendani
Ahmad bin Hambal (Faisal Isma’il, 2010: 244-245).
Dalam
upaya memajukan pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan al Makmun
menetapkan kebijakan politik pendidikan sebagaimana digambarkan oleh Philip K.
Hitti secara panjang lebar, tetapi secara singkat bisa kita paparkan sebagai
berikut.
a.
Al-Makmun sangat menghormati para ahli
ilmu baik agama maupun umum termasuk para filosuf, sekalipun tidak seperti
ayahnya Harun al Rasyid;
b.
Mendirikan Perpustakaan Baitul hikmah yang
di dalamnya orang bisa membaca menulis dan berdiskusi;
c.
Cabang-cabang ilmu keislaman muncul dan
berkembang pada masa ini, seperti: 'ulumul Qur'an, Ilmu Qira'at, ilmu Hadits,
Ilmu kalam, dan lainnya termasuk muncul dan berkembangnya Fiqih dan ushul Fiqih
dalam empat madzhab semacam imam Syafi'I (150 H- 204 H);
d.
Ilmu pengetahuan umum juga berkembang,
seperti: filsafat, matematika, ilmu alam, metafisika, geometri, al Jabar,
aritmatika, astronomi, kedokteran, kimia, dan musik;
e.
Penterjemahan buku-buku yang berisi
tentang Ilmu pengetahuan dari bahasa Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa
Arab.
Ilmuwan Muslim (sumber:
www.republika.co.id)
Setelah
kebijakan Khalifah al Makmun dengan mengembangkan Ilmu, di tengah masyarakat
muncul dan berkembang tempat-tempat pendidikan, termasuk lembaga pendidikan
yang tadinya sudah berdiri antara lain:
1)
Buyut al Muslimin, termasuk Darul Arqom di
Makkah ketika Nabi Muhammad SAW, memulai pendidikan para sahabat, juga Buyut al
Ulama.
2)
Suffah sebagian ruang di masjid
3)
Al Kuttab yaitu tempat pendidikan tingkat
pemula
4)
Masjid dengan sistem Halaqah
5)
Madrasah
6)
Al Ribath yaitu lembaga pendidikan yang
didirikan oleh para guru thariqoh
7)
Al Zawiyah merupakan tempat pengajaran
spiritual dengan memanfaatkan sebagian dari pinggiran masjid
8)
Al Maristan yaitu rumah sakit untuk
merawat dan mengobati orang-orang yang mengidap penyakit kronis, seperti buta
dan kusta.
9)
Al qushr (Istana) yaitu lembaga pendidikan
yang secara khusus untuk mendidik para putra pejabat pemerintah
10)
Al Hawanith al Wariqin yaitu toko buku
yang juga berfungsi tempat pembelajaran
11)
Al Shalun Adabiyah atau sanggar sastra
yaitu tempat yang disediakan oleh Knalifah untuk membicarakan berbagai masalah
penting dengan cara mengundang para Ulama
12)
Al Badiyah yaitu lembaga pendidikan yang
secara khusus mengajarkan bahasa Arab kuno.
13)
Observatorium yaitu lembaga pendidikan
untuk penelitian dan percobaan
14)
Al Maktabah
Berangkat
dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa al Makmun termasuk salah satu
Khalifah Abbasiyah yang cenderung berkarakter baik, memikirkan kemajuan
kekhalifahan Islam, kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat serta mampu
menghindari perilaku yang bertentangan dengan syari’at Islam. Barangkali
satu-satunya keteledoran al Makmun adalah memaksakan pendapat kepada umat Islam
dengan mengikuti salah satu aliansi faham tentang al Qur’an yaitu faham
Mu’tazilah (Ghani, 2015).
Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605887058
Berikut
ini beberapa zaman keemasan dari Bani Abbasiyah:
1. Kemajuan
Ilmu-Ilmu Agama
Masa
Abbasiyah dikenal sebagai era keemasan ilmu pengetahuan dan Agama. Ilmu-ilmu
agama berkembang dengan subur dan diiringi oleh kemunculan tokoh-tokoh agama
yang berpengaruh sampai sekarang ini.
a. Ilmu
Tafsir
Ilmu
Tafsir pada masa ini berkembang pesat karena sangat dibutuhkan, terutama oleh
orangorang non Arab yang baru masuk Islam. Mereka membutuhkan makna dan
penafsiran al-Qur’an. Hal inilah yang kemudian menyebabkan munculnya beberapa
aliran dalam ilmu tafsir. Penafsiran Al Qur’an pun berkembang tidak hanya
dengan penafsiran makna, tetapi juga penafsiran “Bil al Ma’sur dan “Bi al
Ro’yi”. Pemerintahan Abasiyyah yang pertama menyusun tafsir dan memisahkan
antara Tafsir dengan Hadis. Sebelum itu kaum Muslimin menafsirkan Qur’an
melalui hadis-hadis Nabi, keterangan para sahabat, tabi’in. Di antara karya
besar tafsir adalah Al-Farra’, yang merupakan karya Tafsir pertama yang
disesuaikan dengan sistematika Al Qur’an. Kemudian muncul At Tabari yang
menghimpun kumpulan-kumpulan tafsir dari tokoh sebelumnya. Kemudian muncul
golongan Ulama’ yang menafsirkan Al Qur’an secara rasional, seperti Tafsir Al
Jahiz. Ahli tafsir terkemuka yang muncul pada masa Abbasiyah adalah Abu Yunus
Abdus Salam Al Qozwani yang merupakan salah satu penganut aliran Tafsir bi al
Ra’yi. Sedangkan yang muncul dari aliran Tafsir Bi Al Aqli adalah Amar Ibnu
Muhammad al-Khawarizmi, Amir al-Hasan bin Sahl.
Selanjutnya
muncul beragam metode penafsiran Alquran dengan berbagai ragamnya,
sepertimetode Tafsir bi al-Ma’tsur. Metode ini fokus pada riwayat-riwayat yang
sahih, baik menggunakan ayat dengan ayat, hadis, dan perkataan sahabat atau
tabiin. Ada beberapa tokoh yang dikenal mempoulerkan metode ini.
1) Imam
at-Thabari (wafat: 923 M/310 H), karyanya adalah Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ayy
al-Qur’an, yang menjadi rujukan para ulama pada masa berikutnya, seperti
al-Baghawi, as-Suyuthi, dan Ibnu Katsir.
2) Ibnu
Katsir (wafat: 1372 M), karyanya adalah Tafsir al-Qurad al-Azhim. Dikenal juga
sebagai seorang sejarawan dengan karya terkenalnya, al-Bidayah wa an-Nihayah.
3) As-Suyuthi
(lahir: 1445 M), karyanya adalah ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur.
Karya lain dalam bidang al-Qur’an adalah al-Itqan fi ‘Ulum al-Alquran.
b. Ilmu
Hadis
Pada
masa ini kajian hadis sebagai sumber hukum setelah Al Qur’an berkembang dengan
cara menelusuri keontentikkan (shohih) Hadis. Hal inilah yang mengilhami
terbentuknya ilmu-ilmu Jarhi wa Ta’di dan ilmu Mustalahul Hadis, sehingga para
ulama hadis berhasil mengkodifikasi hadis ke dalam kitab secara teratur dan sistemik.
Pada masa sebelumnya belum ada pembukuan hadis secara formal seperti Al Qur’an.
Oleh karena itu, sejarawan menganggap masa pembukuan hadis secara sistemik
dimulai pada zaman Daulah Abbasiyah. Penggolongan Hadis dari aspek
periwayatannya, sanad, matan yang akhirnya bisa diketahui apakah Hadis itu
shahih, hasan, dhoif, juga terjadi pada masa Abasiyyah. Di antara kitab-kitab
Hadis yang berhasil disusun adalah kitab Hadis “Kutub as-Sittah”, yang disusun
oleh enam ulama’ Hadis, Imam Muslim (wafat 261 H), Imam Bukhori (wafat 256 H),
Imam Turmudzi (wafat 279 H), Ibnu Majjah (wafat 273 H), Imam Nasa’i (wafat 303
H), Abu Daud (wafat 275 H).
c. Ilmu
Kalam
Pada
masa al-Ma’mun dan Harun al-Rasyid, ilmu kalam (teologi) mendapat tempat yang
luas, bahkan sangat mempengaruhi keadaan pemerintahan saat itu. Seperti aliran
Mu’tazilah dijadikan aliran resmi pemerintah Bani Abbas. Peran ilmu kalam pada
saat itu sangat besar untuk membela Islam dari paham-paham Yahudi dan Nasrani.
Jadi ilmu kalam tidak semata mengembangkan pemikiran agama tetapi mengembangkan
juga pemikiran sosial, politik, dan mengembangkan pemikiran umat agar tidak
statis, baik bidang agama maupun bidang kemasyarakatan. Para teolog fokus pada
bidang aqidah sebagai obyek bahasan, seperti keesaan Tuhan, sifat-sifat, dan
perbuatan Tuhan. Di antara teolog yang terkenal ialah Abu Huzail al-Allaf
(wafat 235 H), An-Nazzam (wafat 835 H), Bisri Ibnu Mu’tamir, Abu Ishaq Ibrahim
dan Amru bin Ubaid.
d. Ilmu
Fiqh
Di
antara kebanggaan pemerintahan Abasiyyah adalah adanya empat ulama’ Fiqh yang
terkenal pada saat itu sampai sekarang ini, yaitu Imam Abu Hanifah (wafat 129
H, Imam Malik (wafat 179 H), Imam Syafi’i (wafat 204 H) dan Imam Ahmad bin
Hambal (wafat 241 H). Pada masa ini berkembang dua cara dalam mengambil hukum
fiqih, yaitu: (1) Ahl al-Hadis, aliran yang berpegang teguh pada nash-nash Al
Qur’an dan Hadis, mereka menghendaki hukum yang asli dari Rasulillah dan
menolak hukum menurut akal. Pemuka aliran ini adalah Imam Malik, Imam Syafi’i
dan pengikut Sufyan As Sauri. (2) Ahl al-Ra’yi, aliran yang menggunakan akal
pikiran dalam mengistimbatkan hukum, di samping memakai al-Qur’an dan Hadis.
Aliran ini dipelopori oleh Imam Abu Hanifah dan Fuqaha’ Irak. Dari sini kita
bisa melihat bahwa pemikiran umat Islam pada saat itu sangat maju sekali,
dengan bukti lahirnya ulama’ terkenal dan kirab-kitab termashur, seperti
Al-Muwatta’, Al-Kharaj, dan Al-Mustasfa.
e. Ilmu
Tasawuf
Di
samping ilmu Fiqh, pada masa Abbasiyah juga muncul dan berkembang ilmu Tasawuf.
Ilmu ini telah memberi pengaruh yang besar bagi kebudayaan Islam. Perkembangan
ilmu ini dimulai dari perkumpulan-perkumpulan tak resmi dan diskusi keagamaan
(halaqah) dan latihan spiritual dengan membaca dzikir berulang-ulang. Hal ini
berlangsung di mana-mana khususnya di masjid, kemudian menjadi konsep-konsep
spiritual yang diberi nama Tasawuf yang berkembang sampai abad 9 Hijriyah. Ilmu
ini menyebar di penjuru negeri Islam di wilayah Abasiyyah yang dibawa oleh para
sufi-sufi terkemuka, seperti: (1) Abu Kasim Abdul Karim bin Hawzin al Qusairi
(wafat 465 H), kitabnya yang terkenal adalah Ar-Risalah al-Qusyairiyah. (2) Abu
Haffas Umar bin Muhammad Sahabuddin (wafat 632 H), kitabnya yang terkanal
adalah Awariful Ma’arif. (3) Imam al Ghazali (wafat 502 H), kitabnya yang
terkenal adalah Ihya’Ulumuddin yang memuat gabungan antara ilmu tasawwuf dan
ilmu kemasyarakatan.
2. Kemajuan
Filsafat dan Sains
Pada
masa Abasiyyah ilmu pengetahuan telah mengalami perkembangan dan kemajuan yang
pesat. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran khalifahnya yang mendukung
kemajuan itu. Faktor yang paling menonjol dari perkembangan ini adalah dengan
dikembangkannya penterjemahan kitab-kitab non Arab ke dalam bahasa Arab yang
telah dirintis oleh khalifah Ja’far al-Mansur. Dengan memperkerjakan para ahli
terjemah, di antaranya Fade Naubakt, Abdullah bin Muaqaffa’, yang pada akhirnya
ilmu-ilmu dari Barat bisa dipahami oleh masyarakat umum.
lustrasi
ilmuwan Muslim saat mengembangkan sains dan teknologi pada era Dinasti
Abbasiyah di Baghdad (sumber: www.republika.co.id) Pada masa Harun al Rasyid
juga dikembangkan suatu lembaga yang mengkaji dan mengembangkan pengetahuan
yang dinamakan “Khizanat al-Hikmah” yang kemudian pada masa Al Ma’mun
dikembangkan lagi menjadi “Bait Hikmah”, dan kemudian dikembangkan lagi menjadi
“Darul Hikmah”, yang meliputi: perpustakaan, pusat penterjemahan, dan
observatorium bintang.
a. Filsafat
dan Perkembangannya Zaman Abasiyyah
Filsafat
berkembang pesat pada Daulah Abasiyyah terutama pada masa Al Ma’mun dan Harun
Ar Rasyid karena pada saat itu kitab-kitab filsafat, khususnya Yunani, sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Para ilmuwan muslim tidak mengambil
gilsafat Yunani secara keseluruhan, akan tetapi mengadakan perubahan dengan
disesuaikan dengan ajaran Islam, sehingga menjadi filsafat Islam. Mengenai pengambilan
filsafat Yunani, Montotgomery Watt mengatakan “bahwa Filsafat tidak akan hidup
hanya dengan menterjemahkan dan mengulang-ulang pemikirannya orang lain, tetapi
menterjemahkan filsafat hanya bisa dilakukan kalau sudah ada dasar pemikiran
dari bahasa itu”. Jadi, pengambilan filsafat Yunani dari menterjemah hanya
dijadikan perbandingan dan rujukan para Filusuf Islam untuk menciptakan
filsafat yang bernafas Islam, tetapi ada sebagian yang mengambil dan dirubah
sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam.
Secara
umum dalam bidang filsafat orang-orang Islam masih banyak mengambil dari
filsafat Yunani, seperti filsafat Greek dan Coptic. Hal ini bagi umat Islam
saat itu merupakan kepentingan yang utama (tracending importance). Pengambilan
ini hanya berupa ide-ide, yang dilakukan pertama kali pada masa Al-Ma’mun,
seperti Al-Kindi, Ibn Sinah, Ibnu Rush yang masih mengambil ide dari
Aristoteles. Tokoh-tokoh penting dalam bidang filsafat antara lain: (1) Abu
Yusuf bin Ishaq Al Kindi (wafat 873 M), dikenal sebagai Filusuf Arab yang
memperkenalkan filsafat Yunani di kalangan kaum muslimin. Ajarannya tentang
filsafat adalah bahwa antara agama dan filsafat sama-sama menghendaki
kebenaran; agama menempuhnya melalui syari’at, sedangkan filsafat melalui
pembuktian rasio. (2) Ibnu Sina (Aviccena) lahir tahun 980 M di Buchoro. Dalam
ilmu filsafat beliau banyak mengarang buku, diantaranya As Sifa’, Al Isryara,
Ti’su Rasail fil Hikmah, yang sebagian besar memuat hubungan agama dengan
filsafat. (3) Al Farabi, lahir di Turkistan tahun 870 M. Beliau berguru di
Baghdad untuk mempelajari Sains dan Filsafat. Beliau juga banyak belajar dari
guru Kristen. Filsafat Al Farabi ini merupakan bentuk dari “Neoplatonisme” yang
disesuaikan dengan dokrin Islam. Seperti halnya filsafat, politiknya Al Farabi
banyak mengambil dari Replubic and Law-nya Plato. (4) Ibnu Rush (Averoush)
(Wafat 594 H). Dalam hal filsafat beliau banyak mengambil dari ide-ide
Aristoteles, dia banyak mengulas hubungan antara Filsafat dan Syari’at.
Penting
juga dicatat dalam perkembangan filsafat ini adalah munculnya golongan rahasia
(Jamiatus Sirriyah) yang bernama “Ihwan As-Safa” yang bergerak dalam ilmu
pengetahuan, khususnya Filsafat. Ihwan As-Safa menyusun kitab “Rasail
Ihwanussafa” yang terdiri dari 51 buku. Rasail ini memuat kumpulan filsafat
Islam, yang meliputi: Maujudat, asal usul alam, rahasia alam dll.
Kebanyakan
anggota Ihwan As-Safa ini adalah orang aliran Mu’tazilah dan Syi’ah yang
ekstrem. Tokohnya adalah Abul Alla’al Ma’arri dan Ibnu Hayyan at Tauhidi, Ibnu
Zanji. Dalam bidang sejarah, ulama yang
terkenal antara lain: Ibnu Ishaq, binu Hisyam, al-Waqidi, Ibnu Qutaibah,
al-Thabari dan lain-lain. Dalam bidang ilmu bumi atau geografi ulama yang
terkenal: alYakubi dengan karyanya al-Buldan, Ibnu Kharzabah dengan bukunya
al-Mawalik wa al-Mawalik dan Hisyam al-Kalbi, yang terkenal pada abad ke-9 M,
khususnya dalam studinya mengenai bidang kawasan Arab.
b. Kemajuan
Sains dan Tekonologi
Dalam
bidang sains dan teknologi, orang-orang Arab masih kalah dengan orang Yunani.
Sains dan Filsafat terbentuk atas rangsangan buku terjemahan dari orang Yunani.
Kemudian perkembangan ilmu pengetahuan (Sains) ditandai dengan berdirinya
Universitas-universitas Islam di Iraq dan Baghdad. baru setelah itu banyak
penemuan-penemuan penting tentang sains dan teknologi yang akan dibahas di
bawah ini:
1) Ilmu
Kedokteran
Ilmu
Kedokteran tumbuh dan berkembang pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid abad 9 M.
Hal ini ditandai dengan berdirinya rumah sakit yang didirikan oleh Harun
Al-Rasyid dan selanjutnya berkembang menjadi 34 Rumah Sakit Islam. Rumah sakit
ini dilengkapi dengan ruangan khusus wanita, apotik, dan yang terpenting adalah
di setiap rumah sakit dilengkapi dengan perpustakaan media serta tempat-tempat
kursus kedokteran dan pengobatan. Pada masa ini juga dibentuk klinik-klinik
keliling yang melayani pengobatan di penjuru negeri, khususnya untuk
orang-orang tak mampu.
Dalam
ilmu kedokteran, Ulama’ yang terkenal dengan zaman ini adalah Ar-Razi dan Ibnu
Sinah. Ar-Razi dikenal sebagai ahli kedokteran Islam yang cakap dan ahli kimia
terbesar abad pertengahan. Beliau juga dienal sebagai penemu benang Fontanel
yang berguna untuk menjahit luka akibat pembedahan dan sebagainya. Roger Bacon
seorang ilmuwan Barat menterjemahkan kitab Ar-Razi yang berjudul “Kitab
Rahasia” ke dalam bahasanya, dengan judul “De Spiritibu Et Corporibus” yang di
dalamnya memuat penanggulangan penyakit cacar dan penyakit campak. Kitab
Ar-Razi yang lain adalah “Al Hawi” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
dengan nama “Contineus”, yang dijadikan rujukan oleh kedokteran Barat sampai
tahun 1779 H. Sepeninggal Ar-Razi kegemilangan ilmu kedokteran diteruskan oleh
Ibnu Sinah, kitabnya yang terkenal adalah “As Sifa” (Canon of Medicine), yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin Inggris. Buku ini mendominasi pengajaran di
Universitas di Eropa, paling tidak sampai abad ke-15. Kemudian muncul ulama’
ahli bedah yang bernama Abul Qosim Az Zahrawi, yang dalam bahasa latin disebut
Abul Casis (wafat 1009 M). Jadi kemajuan kedokteran pada masa Abbasiyyah inilah
yang mengilhami kemajuan ilmu kedokteran barat sekarang ini. Bahkan,
kitab-kitab Ibnu Sinah sampai sekarang masih dikaji di Universitas di Eropa.
2) Ilmu
Kimia
Dalam
bidang ilmu Kimia, ilmuwan yang terkenal adalah Jabir Ibnu Hayyam, yang diberi
gelar “Bapa Ilmu Kimia Arab”. Dia banyak mengemukakan teori uap, pelelehan, dan
sublimasi. Dalam teorinya, Jabir bin Hayyan mengatakan bahwa logam seperti
timah putih atau hitam, besi dan tembaga bisa dirubah menjadi emas atau perak
dengan menggunakan zat rahasia hingga pada sampai akhir hayatnya beliau masih
melakukan eksperimen tentang hal ini. Jabir bin Hayyan merupakan perintis
exprerimen pertama dalam dunia Islam. Di antara eksperimennya yang kemudian
menjadi teori adalah: Teori Sublimasi, teori pengasaman, teori penyulingan,
teori penguapan, teori pelelehan, dan beliau juga dikenal dengan penemu Karbit.
Dari penemuan-penemuan teori baru inilah, kemakmuran dan kesejahteraan semakin
bertambah baik, hasil-hasil eksperimen diterapkan pada kehidupan masyarakat.
3) Ilmu
Astronomi
Ilmu
Astronomi pada mulanya dipakai untuk menentukan arah kiblat. Pada
perkembangannya ilmu ini dipakai para pedagang, para pelaut dan para tentara
untuk menyebarkan agama di luar negeri. Ulama’ yang ahli dalam ilmu astronomi
adalah Al- Khawarizmi (wafat 846). Beliau banyak membuat tabel-tabel tentang
letak negara, peta dunia, penetapan bujur-bujur panjang semua tempat di muka bumi
ini, sekaligus mengukur jarak antara negara satu dengan negara yang lain. Teori
ini dikumpulkan kemudian disebarkan di masyarakat.
Dengan
ilmu Astronomi, sekitar abad ke 7–9 H. para pedagang muslim sudah sampai di
negeri Tiongkok melalui laut, mendarat di pulau Zanzubar, pesisir Afrika,
bahkan sampai pada negeri Rusia. Selain Al-Kawariszimi, ada ulama’ yang bernama
Ibnu Kardabah yang banyak menemukan teori perbintangan dan ilmu Falak. Ibnu
kardabah juga banyak menulis buku tentang Astronomi, diantaranya Al-Mashalih
wal Mawalik, Al-Buldan, Al Jihani dan Al Muhtasar. Dengan ditemukannya ilmu
Astronomi, umat Islam bisa menjual hasil pertaniannya dan kerajinannya ke
negeri Tiongkok, Zanzibar, sekaligus mendatangkan hasil karya dari negeri lain
untuk dijual di negeri Islam. Pemerintahan Abasiyyah semakin kaya karena setiap
hasil perdagangan (ekspor/Impor) dikenakan pajak untuk negara, kemudian oleh
negara disalurkan pada rakyat yang miskin.
4) Ilmu
Matematika
Dalam
ilmu ini orang Arab (Islam) memberikan sumbangan yang besar sekali bagi
peradaban manusia dengan menemukan “Angka Arab“, seperti yang kita pakai sampai
sekarang (123456789). Orang-orang Islam di bawah pimpinan Ibnu Haitam dan
Al-Khawarizimi membuat teori matematika, di antaranya adalah teori Al-Jabar,
cara menghitung akar kuadrat dan desimal. Pada perkembangan selanjutnya Ibnu
Haitam berhasil menemukan ilmu untuk mengukur sudut, yang diberi nama
Trigonometri. Di samping ilmu-ilmu yang sudah diterangkan tersebut, masih ada
beberapa ilmu yang ditemukan tetapi belum banyak berkambang pada masa
Abbasiyyah ini. Penemuan-penemuan ilmu ini masih belum dibukukan secara
sistematik, ilmu-ilmu itu adalah ilmu fisikis (Botani), ilmu Fisika, ilmu
Geografi dan ilmu Sejarah.
C.
Perkembangan
kebudayaan pada masa Bani Ummayah di Andalusia
Bani
Umayyah di Andalusia adalah kekhalifahan Islam yang pernah berkuasa di
Semenanjung Iberia dalam rentang waktu antara abad ke-8 sampai abad ke-12. Ada
2 faktor utama yang diidentifikasi menjadi sebab masuknya Islam di Andalusia.
Pertama, faktor internal, yakni kemauan kuat para penguasa Islam untuk
mengembangkan dan membebaskan menjadi wilayah Islam. Andalusia atau Semenanjung
Iberia (Spanyol dan Portugal termasuk selatan Perancis sekarang) mulai
ditaklukan oleh umat Islam pada masa khalifah Al-Walid bin Abdul Malik (705-715
M). Dalam proses penaklukan Spanyol ini terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat
dikatakan paling berjasa yaitu Tharif bin Malik, Tariq bin Ziyad, dan Musa bin
Nushair. Kemenangan pertama yang dicapai oleh Tariq bin Ziyad menjadi jalan
untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Untuk itu, Musa bin Nushair
merasa perlu melibatkan diri dalam gelanggang pertempuran dengan maksud
membantu perjuangan tersebut. Dengan suatu pasukan yang besar, ia berangkat
menyeberangi selat itu, dan satu persatu kota yang dilewatinya dapat
ditaklukkannya. Setelah Musa bin Nushair berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona,
Seville, dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Goth lainnya, Theodomir
di Orihuela, ia bergabung dengan Tariq bin Ziyad di Toledo. Selanjutnya,
keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian
utaranya, mulai dari Zaragoza sampai Navarre.
Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241958069
Kedua,
faktor eksternal, yakni suatu kondisi yang terdapat di dalam negeri Spanyol
sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial,
politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara
politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi-bagi ke dalam beberapa
negeri kecil. Bersamaan dengan itu penguasa Gothic bersikap tidak toleran
terhadap aliran agama yang dianut penguasa, yaitu aliran Monofisit, apalagi
terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan
bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen,
yang tidak bersedia disiksa dan dibunuh secara brutal.
Perpecahan
politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika Islam masuk ke Spanyol,
ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh. Padahal, sewaktu Spanyol masih berada
di bawah pemerintahan Romawi (Byzantine), berkat kesuburan tanahnya, pertanian
maju pesat. Demikian juga pertambangan, industri dan perdagangan karena
didukung oleh sarana transportasi yang baik. Akan tetapi, setelah Spanyol
berada di bawah kekuasaan kerajaan Goth, perekonomian lumpuh dan kesejahteraan
masyarakat menurun. Hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa digarap, beberapa
pabrik ditutup, dan antara satu daerah dan daerah lain sulit dilalui akibat
jalan-jalan tidak mendapat perawatan.
Sejarah
panjang umat Islam di Spanyol terbagi pada enam periode, yaitu:
1. Periode
Pertama (711 -755 M)
Spanyol
di bawah pemerintahan Wali yang diangkat Khalifah di Damaskus. Pada masa ini
masih terdapat gangguan dari dalam, antara lain antar elit penguasa akibat
perbedaan etnis dan golongan. Antara Khalifah di Damaskus dan Gubernur Afrika
Utara di Kairawan saling mengklaim paling berhak menguasai Spanyol, hingga
terjadi pergantian Gubernur sebanyak 30 kali dalam waktu singkat. Perbedaan
etnis antara suku Barbar dan Arab menimbulkan konflik politik sehingga tidak
ditemukan figur yang tangguh. Gangguan dari luar datang dari sisa musuh-musuh
Islam yang terus memperkuat diri dan tidak pernah tunduk pada pemerintahan
Islam. Gangguan ini menyebabkan belum terwujudnya peradaban dan periode ini
berakhir dengan datangnya Abdurrahman al-Dakhil tahun 138 H/755 M.
2. Periode
Kedua (755-912 M)
Spanyol
di bawah pemerintahan Amir namun tidak tunduk pada pusat pemerintahan Islam
yang saat itu dipegang Khilafah Bani Abbasiyah di Baghdad. Amir pertama
Abdurrahman I (ad-Dakhil) keturunan Bani Umayyah yang lolos dari kejaran Bani
Abbasiyah. Penguasa Spanyol periode ini: 1) Abdurrahman al-Dakhil, berhasil
mendirikan masjid di Cordova dan sekolah-sekolah. 2) Hisyam I, berhasil
menegakkan hukum Islam. 3) Hakam I, sebagai pembaharu bidang militer. 4)
Abdurrahman al-Ausath, penguasa yang cinta ilmu. 5) Muhammad bin Abdurrahman 6)
Munzir bin Muhammad 7) Abdullah bin Muhammad
Pada
abad ke-9, stabilitas negara terganggu akibat gerakan Martyrdom Kristen fanatik
yang mencari kesyahidan. Namun pihak Gereja tidak mendukung gerakan itu karena
pemerintah Islam mengembangkan kebebasan beragama. Pemerintah menyediakan
peradilan hukum khusus Kristen dan tidak dihalangi untuk bekerja sebagai
pegawai pada instansi militer. Gangguan juga timbul akibat pemberontak di
Toledo, percobaan revolusi yang dipimpin Hafshun yang berpusat di pegunungan
dekat Malaga, serta perselisihan orang Barbar dan Arab.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952813342
3. Periode
Ketiga (912-1013 M)
Dimulai
oleh Abdurrahman an-Nashir, Spanyol di bawah pemerintahan bergelar Khalifah
(mulai tahun 929 M). Bermula dari berita terbunuhnya Khalifah al-Muqtadir oleh
pengawalnya sendiri, menurutnya ini saat yang tepat untuk memakai gelar
Khalifah setelah 150 tahun lebih hilang dari kekuasaan Bani Umayyah. Khalifah
yang memerintah pada periode ini antara lain:
a. Abdurrahman
al-Nashir (912-961 M)
Abdur
Rahman menggantikan kedudukan ayahnya pada usia 21 tahun. Penobatannya disambut
dan diterima segenap kalangan. Pada tahun 301 H/913 M, Abdur Rahman
mengumpulkan pasukan militer yang sangat besar. Pihak perusuh dan pihak musuh
gentar dengan kekuatan militer Abdur Rahman III. Dengan demikian tanpa
perlawanan ia menaklukkan kota-kota besar di belahan utara Spanyol, kemudian
Saville. Suku Berber dan umat Kristen Spanyol yang selama ini menjadi
perintang, tunduk kepada Abdur Rahman
III. Hanya masyarakat Toledo yang berusaha melawan sang Sultan, namun segera
dapat ditundukkan. Selanjutnya Abdur Rahman mengerahkan pasukannya ke belahan
utara Spanyol untuk menundukkan umat Kristen wilayah ini yang senantiasa
berusaha menghancurkan kekuatan Muslim.
Dua
tahun dari masa penobatan Abdur Rahman III, Ordano II, kepala suku Leon, datang
menyerbu beberapa wilayah lslam. Pada saat itu Abdur Rahman sedang terlibat
perselisihan dengan Khalifah Fatimiyah di Mesir. Ahmad lbn Abu Abda ditunjuk
memimpin pasukan untuk menghadapi pasukan Ordano II. Setelah terdesak, Ordano
ll kemudian bersekutu dengan Sancho, kepala suku Navarre. Suku Leon dan suku
Navarre dihancurkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Abdur Rahman sendiri,
bersamaan dengan terbunuhnya Ordano ll dan Sancho. Penguasa Muslim Spanyol
selama ini berkedudukan sebagai Amir atau Sultan. Abdur Rahman merupakan orang
pertama yang mengklaim kedudukannya sebagai khalifah dengan gelar an-Nasir Li
Dinillah (penegak agama Allah), setelah ia berhasil dalam perjuangan menumpas
pemberontakan Kristen suku Leon dan Navarre serta mencapai puncak kemajuan
menyaingi kemajuan Daulah Bani Abbasiyah di Baghdad. Dengan demikian pada masa
ini terdapat dua khalifah Sunni di dunia Islam: Khalifah Abbasiyah di Bagdad
dan Khalifah Umayyah dispanyol, dan seorang khalifah Syi’ah Fatimiyah Afrika
Utara.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952787071
b. Hakam
II (961-976 M)
Hakam
II menggantikan kedudukan ayahnya, Abdur Rahman.Masyarakat menikmati
kesejahteraan dan kemakmuran karena pembangunan yang berlangsung cepat. Pada
masa ini, pimpinan suku Navarre, yang semula telah mengakui otoritas
pemerintahan Islam semasa Abdur Rahman III, berusaha melepaskan diri dengan
anggapan bahwa Hakam yang terkenal suka perdamaian dan terpelajar tersebut
tidak akan menuntut ketentuan dalam perjanjian sebelumnya, dan seandainya dia
memilih jalan perang niscaya kekuatan Hakam tidak sekuat kecakapan militer
ayahnya. Tapi ternyata bahwa Hakam membuktikan dirinya tidak hanya sebagai
orang terpelajar melainkan juga pemimpin militer yang cakap. Sancho, pimpinan
Kristen suku Leo, dan pimpinan Kristen lainnya ditundukkan ketika melancarkan
pemberontakan. Ia juga mengerahkan pasukannya yang dipimpin Ghalib ke Atrika
untuk menekan kekuatan Fatimiyah. Ghalib mencapai sukses menegakkan kekuasaan
Umayyah Spanyol di Afrika Barat. Suku Berber di Maghrawa, Mikansa, dan Zenate
mengakui kepemimpinan Hakam.
Setelah
berhasil mengamankan situasi politik dalam negeri, Hakam selanjutnya
menunjukkan jati dirinya dalam gerakan pendidikan. la mengungguli seluruh penguasa
sebelumnya dalam kegiatan intelektual. Ia mengirimkan sejumlah utusan ke
seluruh wilayah timur untuk membeli buku-buku dan manuskrip, atau harus
menyalinnya jika sebuah buku tidak terbeli sekalipun dengan harga mahal untuk
dibawa pulang ke Cordoba. Dalam gerakan ini ia berhasil mengumpulkan tidak
kurang dari 100.000 buku dalam perpustakaan negara di Cordoba. Katalog
perpustakaan ini terdiri 44 jilid. Para ilmuan, filosof dan ulama dapat secara
bebas memasukinya. Untuk meningkatkan kecerdasan rakyatnya, ia mendirikan
sejumlah sekolah di ibukota. Hasilnya, seluruh rakyat Spanyol mengenal baca tulis.
Sementara itu umat Kristen Eropa, kecuali-para pendeta, tetap dalam kebodohan.
Universitas Cordoba merupakan universitas termasyhur di dunia pada saat itu.
Dengan meninggalnya Hakam pada tahun 366 H/976 M, masa kejayaan Dinasti Umayyah
di Spanyol berakhir.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241978030
c. Hisyam
II (976-1009 M)
Hakam
mewariskan kedudukannya kepada Hisyam II, anaknya yang baru berusia sebelas
tahun. Karena usianya yang terlalu belia, ibunya yang bernama Sulthana Subh dan
seorang yang bernama Muhammad bin Abi Amir mengambil alih kekuasaan
pemerintahan. Muhammad bin Abi Amir seorang yang sangat ambisius. Setelah
berhasil merebut jabatan perdana menteri, ia menggelari namanya sebagai Hajib
al-Manshur. Ia merekrut militer dari kalangan suku Berber menggantikan militer
Arab. Dengan kekuatan militer Berber inilah berhasil menundukkan kekuatan
Kristen di wilayah utara Spanyol, dan berhasil memperluas pengaruh Bani Umayyah
di Barat Laut Afrika. Ia akhirnya memegang seluruh cabang kekuasaan negara,
sementara sang khalifah tidak lebih sebagai boneka mainannya. Surat resmi dan
maklumat negari diterbitkan atas namanya.
Hajib
Al Manshur meninggal tahun 393 H/1002 M di Madinaceli. Ia merupakan negarawan
dan jenderal Arab yang terbesar di Spanyol. Ia merupakan seorang jenderal yang
paling berjasa yang pernah hidup di Spanyol. Pada masa ini, rakyat lebih makmur
daripada masa sebelumnya. Ia digantikan oleh anaknya yang bernama al-Muzaffar
yang berhasil mempertahankan kondisi ini selama enam tahun. Sepeninggal
al-Muzaffar, Spanyol dilanda berbagai kerusuhan. Muzaffar mewariskan jabatan
Hajib kepada saudaranya yang bernama Abdur Rahman yang mendapat julukan
“Sanchol”. Ia lebih ambisius daripada pendahulunya, lantaran ia menginginkan
jabatan sebagai khalifah Cordoba. Ketika ia sedang melancarkan ekspedisi ke
wilayah utara, timbul gerakan pemberontakan di Cardoba yang dipimpin oleh
Muhammad. Sang pemberontak berhasil menghancurkan pertahanan khalifah Spanyol
dan menurunkan Hisyam dari jabatan khalifah dan menduduki jabatan ini dengan
gelar al-Mahdi. Sanchol ditangkap dan dipenjarakan. Tidak lama setelah berhasil
merebut jabatan khalifah, Muhammad al-Mahdi meninggal.
d. Sulaiman
Muhammad
al-Mahdi digantikan tokoh Umayyah lainnya yang bernama Sulaiman. Semenjak masa
ini proses kemunduran dan kejatuhan kekhalifahan Spanyol berlangsung secara
cepat. Tidak beberapa lama Hisyam II merebut jabatan khalifah untuk kedua
kalinya. Bersamaan dengan ini Cordoba, pusat kekhalifahan Spanyol, dilanda
kekacauan politik. Akhirnya pada tahun 1013 M dewan menteri yang memerintah
Cordoba menghapuskan jabatan khalifah. Pada saat itu kekuatan Muslim Spanyol
terpecah dalam banyak negara kecil di bawah pimpinan raja-raja atau muluk al
Thawaif. Tercatat lebih tiga puluh negara kecil yang berpusat di Seville,
Cordoba, Toledo dan lain-lain. Kekuatan Kristen wilayah utara Spanyol bergerak
untuk bangkit. Kekacauan pemerintahan pusat dimanfaatkan mereka sebaik-baiknya.
Alfonso VI, penguasa Castille yang menjabat sejak tahun 486 H/1065 M. berhasil
menyatukan tiga basis kekuatan Kristen: Castile, Leon, dan Navarre, menjadi
sebuah kekuatan militer hebat untuk menyerbu Toledo.
4. Periode
Keempat (1013-1086 M)
Spanyol
terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negara kecil dibawah pemerintahan
al-Muluk athThawaif (raja-raja golongan) berpusat di Seville, Cordova, Toledo
dan sebagainya. Konflik internal antar raja terjadi dan mereka yang bertikai
sering meminta bantuan raja-raja Kristen. Orang-orang Kristen yang melihat
kelemahan ini pun memulai inisiatif penyerangan. Meski situasi politik tidak
stabil, namun pendidikan dan peradaban terus berkembang karena para sarjana dan
sastrawan terlindungi dari satu istana ke istana lain.
5. Periode
Kelima (1086-1248 M)
Meski
terpecah dalam beberapa negara, terdapat kekuatan dominan yaitu Dinasti
Murabithun (1086-1143 M) dan Dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti
Murabithun didirikan Yusuf bin Tasyfin di Afrika Utara, memasuki Spanyol tahun
1086 M dengan mengalahkan pasukan Castilia. Perpecahan di kalangan Muslim
menyebabkan Yusuf bin Tasyfin mudah menguasai Spanyol. Tahun 1143 M
kekuasaannya berakhir karena para penggantinya lemah dan diganti DInasti
Muwahhidun yang didirikan Muhammad bin Tumart tahun 1146 M. Untuk beberapa
dekade mengalami kemajuan dan setelah itu mengalami kemunduran akibat serangan
tentara Kristen di Las Navas de Tolessa 1212 M, di Cordova 1238 M, dan Seville
1248 M. Seluruh kekuasaan Islam lepas kecuali Granada.
6. Periode
Keenam (1248-1492 M)
Granada
dikuasai Bani Ahmar (1232-1492 M) dan mengalami kemajuan peradaban seperti masa
Abdurrahman al-Nashir. Namun secara politik mereka lemah karena perebutan
kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad tidak senang pada ayahnya yang menunjuk
anaknya yang lain menggantikan sebagai raja. Ayahnya terbunuh dan diganti
Muhammad bin Sa’ad. Abu Abdullah pun meminta bantuan Raja Ferdinand dan
Isabella yang akhirnya ia naik tahta. Namun Ferdinand dan Isabella ingin merebut
kekuasaan Islam dan dengan terus menyerang kekuasaan Islam. Abu Abdullah
menyerah dan hijrah ke Afrika Utara. Umat Islam dihadapkan dua pilihan, yakni
masuk Kristen atau pergi dari Spanyol. Tahun 1609 M tidak ada lagi umat Islam
di daerah ini.
Kebudayaan
Islam masa Bani Umayyah mengalami perkembangan yang sangat mengesankan dan
mengagumkan pada periode pemerintahan Abdurrahman III an-Nashir (300-350
H/912-961 M). Di bawah khalifah ‘Abd al-Rahmân III dan penerusnya, al-Hakam II
dan al-Manshûr, Andalusia benarbenar mencapai puncak kejayaannya dalam bidang
keagamaan maupun kebudayaan. Kota Kordova berkembang menjadi pusat kebudayaan
yang sebanding dengan Kairawan, Damaskus, atau Baghdad. Menurut satu laporan
pada pengujung abad ke 4/10 kota Kordova saja memiliki 1.600 masjid, 900
pemandian umum, 60.300 villa, 213.077 rumah, dan 80.455 toko. Kemegahan dan
kemeriahan kota Kordova juga dimiliki oleh kota-kota lain di Andalusia. Ibn
Hawqal yang mengunjungi Andalusia pada pertengahan abad ke 4/10 melaporkan
bahwa semua kota di wilayah tersebut besar dan ramai, memiliki fasilitas
perkotaan yang sangat lengkap: jalan-jalan yang lapang dan bersih, pemandian,
dan penginapan. Pada saat yang sama dia juga mencatat bahwa Andalusia masih
memiliki sejumlah wilayah pedesaan yang kurang berkembang, biasanya dihuni oleh
penduduk beragama Kristen.
Menurut
analisis Chejne, laporan tentang banyaknya pemandian umum dapat digunakan
sebagai indikasi tingkat Islamisasi yang telah terjadi di kota-kota Andalusia.
Sebab, pemandian umum adalah sebuah fitur budaya yang tidak dikenal di
Andalusia sebelum masuknya Islam. Lagi pula pemandian umum pada masa tersebut
lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan keagamaan. Karena itu pula
(asosiasi pemandian umum dengan agama Islam) penduduk Kristen Andalusia pada
umumnya tidak menyukai pemandian umum, sama seperti mereka tidak menyukai
adanya masjid dalam jumlah besar.
Pada
masa kejayaan ini, ketergantungan kultural Andalusia kepada Dunia Islam Timur
sudah berakhir, dan Andalusia mulai mengembangkan kebudayaannya sendiri dengan
identitasnya yang khas Andalusia. Islam dan bahasa Arab jelas merupakan faktor
terpenting dan sekaligus menjadi identitas dalam kemajuan budaya Andalusia saat
itu, sama dengan di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Akan tetapi, kini
Andalusia mulai membangun identitas sosio kulturalnya sendiri. Sekadar contoh,
jika di berbagai tempat lain pendidikan anak dimulai dengan menghapal
al-Qur’an, di Andalusia pendidikan anak dimulai dengan pelajaran membaca dan
menulis menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai materi. Dengan cara itu mereka
dapat menguasai keterampilan membaca, menulis dan penguasaan kitab suci pada
saat yang bersamaan. Contoh lain adalah penggunaan penanggalan non-hijri oleh
sementara penulis Muslim di Andalusia. Bukan hal yang aneh jika seorang penulis
Muslim di Andalusia menggunakan secara paralel penanggalan hijri (Islam),
penanggalan Romawi (Masehi), dan penanggalan Koptik. Praktik ini misalnya dapat
dilihat dalam karya-karya Ibn al-Banna’ al-Marakkusyi, Ibn al-Idzari, dan Ibn
al-Khathib. Di sisi lain hal yang sama juga dilakukan oleh beberapa penulis
beragama Kristen.
Pada
masa keemasan ini Islamisasi Andalusia benar-benar mengalami kemajuan. Kemajuan
ini tentu saja dimungkinkan karena tersedianya stabilitas dan kemapanan sosial
politik yang diupayakan oleh para penguasanya. Dalam iklim yang mendukung
inilah kemudian tercapai berbagai pencapaian spektakuler pada berbagai bidang.
Ilmu-ilmu keagamaan berkembang sedemikian rupa mengimbangi perkembangan yang
terjadi di lingkup dinasti Abbasiyah. Lembaga pendidikan madrasah juga
berkembang dengan baik dan menjadi wadah pengembangan ilmu-ilmu keislaman
secara umum. Ibn Rusyd dikenal sebagai seorang penulis besar di bidang fikih,
terutama sekali karena karyanya Bidâyah al-Mujtahid. Perkembangan di bidang
ini dapat juga diapresiasi secara umum melalui berbagai karya yang merekam
biografi para ulama, di bidang fikih khususnya.
Sebuah
observasi menarik disampaikan oleh Watt dan Cachia tentang dominannya paham dan
pengamalan mazhab Maliki di Andalusia berbanding dengan mazhab-mazhab fikih
lainnya yang lebih popular di bagian dunia Islam lainnya. Menurut mereka,
kuatnya akar Helenisme di provinsi-provinsi Islam Timur menjadi landasan bagi
populernya mazhab Hanafi dan Syafi‘i yang lebih rasionalistik di lingkungan
dinasti Abbasiyah. Sementara itu di Andalusia, agama dan kebudayaan Islam dapat
dikatakan sepenuhnya ditafsirkan dan diamalkan sesuai dengan selera asli orang
Arab pendatang, dan karenanya menjadi lebih cenderung kepada penafsiran imam
Malik yang lebih literalistik dan berbasis pada pengalaman umat Islam Hijaz.
Dengan kata lain Islam Andalusia tidak bersentuhan secara intens dengan
Helenisme.
Ibn
Rusyd juga dikenal luas berkat pemikiran-pemikiran filsafatnya yang kemudian
menjadi sebuah paham tersendiri, lumrah dikenal sebagai Averroisme. Masih dalam
kelompok filsafat dan sains terdapat nama-nama popular semacam Ibn Bajah atau
Ibn Thufayl. Tetapi ada juga Ibn Barghut, Ibn Khayrah al-‘Attar, Ibn Ahmad al-Sarqasti,
atau Muhammad ibn al-Layth. Pada bidang bahasa dan sastra Arab, zaman keemasan
Andalusia juga melahirkan sejumlah besar nama-nama cemerlang, seperti Ibn Syahr
al-Ra‘ini, dan Yahya ibn Hisyâm al-Qarsyi.
Perkembangan
syair yang ditorehkan oleh umat Islam di Andalusia, nantinya berpengaruh cukup
signifikan terhadap perkembangan puisi di kalangan bangsa-bangsa Eropa.
Jelaslah dengan demikian bahwa pada penghujung abad ke 4/10 Andalusia telah
mengalami perkembangan peradaban yang sangat tinggi, dan dalam perkembangan ini
Islam dan bahasa Arab jelas merupakan unsur pembentuk yang sangat penting. Di
antara kemajuan yang bahkan memengaruhi Eropa yaitu:
a. Kemajuan
Intelektual Filsafat
Dikembangkan
abad ke-9 selama pemerintahan Muhammad bin Abdurrahman. Tokohnya adalah: Abu
Bakar Muhammad bin al-Sayigh (Ibn Bajjah). Masalah yang dikemukakan bersifat
etis dan eskatologis. Magnum Opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid Abu Bakar bin
Thufail. Ibn Rusyd menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dengan cermat dan
hati-hati dalam menyelaraskan antara filsafat dan agama. Abbas bin Farnas, ahli
kimia dan astronomi, menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim al-Naqqash,
ahli astronomi, dapat menentukan waktu gerhana matahari, membuat teropong, dan dapat
menentuklan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad bin Ibas dari
Cordova merupakan ahli farmasi. Umm al-Hasan bint Abi Ja’far dan saudara
perempuan al-Hafidz, dua ahli kedokteran dari kalangan wanita. Ibn Jubair,
menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterranea dan Sicilia. Ibn Batutah,
menulis tentang negeri Samudera Pasai dan Cina. Ibn Khaldun, perumus filsafat
sejarah. Ziyad bin Abdurrahman yang memperkenalkan mazhab Maliki. Ibn Yahya
yang menjadi Qadhi. Musik dan Seni, al-Hasan bin Nafi, sang penggubah lagu yang
dijuluki Zaryab. Bahasa dan Sastra Ibn Sayyidih Ibn Malik (pengarang Alfiyah),
Ibn Khuruf, Ibn al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu Hasan bin Usfur, Abu Hayyan
al-Gharnathi.
Ibn
Rusyd yang dianggap sebagai “Avicenna dari Barat”, mencurahkan tenaganya pada
filsafat, matematika, kedokteran, astronomi, logika, dan hukum Islam. Adapun
karya filosofinya yang utama adalah “Tahafut al-Tahafut.” Mempelajari filsafat
mulai dikembangkan pada abad ke 9 M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah
yang ke-5, yakni Muhammad Ibn al-Rahman (832-886). Tokoh utama pertama dalam
sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad bin alSayigh yang lebih
dikenal dengan Ibnu Bajjah. Tokoh utama kedua adalah Abu Bakr bin Thufail,
penduduk asli Wadi Asy, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat
pada usia lanjut tahun 1185 M. Ia banyak menulis masalah kedokteran, astronomi
dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hay bin Yaqzhan.
Pada
akhir abad ke-12 M, muncullah seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di
gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibnu Rusyd dari Cordova. Ciri khasnya
adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian
dalam menggeluti keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli fikih dengan
karyanya Bidayatul Mujtahid. Dari berbagai tokoh cendekiawan muslim di atas
ternyata mereka mencoba berfikir keras dan mendalam. Maka bisa dikatakan bahwa
kemajuan peradaban itu dipengaruhi oleh kemajuan intelektual yang di dalamnya
terdapat ilmu filsafat, sains, fikih, musik dan kesenian, begitu juga dengan
bahasa dan sastra, dan kemegahan pembangunan fisik. Islam telah membuktikan
pada masa lalu bahwa dengan kemajuan intelektual, khususnya ilmu filsafat,
kejayaan dan keemasan akan diraih dan dirasakan.
b. Kemajuan
Pembangunan
1) Cordova
Cordova
adalah ibu kota Spanyol sebelum Islam, yang kemudian diambil alih oleh Bani
Umayyah. Oleh penguasa Muslim, kota ini dibangun, diperindah untuk nantinya
dijadikan pusat kota juga pusat pemerintahan Andalusia. Jembatan besar dibangun
di atas sungai yang mengalir di tengah kota. Masjid-masjid hingga taman-taman
tak luput dibangun untuk peribadahan umat muslim juga menghiasi ibu kota
Spanyol Islam itu.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=jyzqwZMVQKM
Masjid
Cordoba di Spanyol (sumber: www.republika.co.id)
Masjid
Cordoba yang beralih fungsi menjadi Gereja Kathedral.(sumber: www.republika.co.id)
Pohon-pohon
dan bunga-bunga diimpor dari Timur. Di seputar ibu kota berdiri istana-istana
yang megah yang semakin mempercantik pemandangan. Setiap istana dan taman
diberi nama tersendiri dan di puncaknya terpancang istana Damsyik. Di antara
kebanggaan kota Cordova lainnya adalah masjid Cordova.
Posisi
Cordova diambil alih Granada di masa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol.
Arsitekturarsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa. Istana al-Hambra
yang indah dan megah adalah pusat dan puncak ketinggian arsitektur Spanyol
Islam. Istana itu dikelilingi taman-taman yang tidak kalah indahnya. Kisah
tentang kemajuan pembangunan fisik ini masih bisa diperpanjang dengan kota dan
istana az-Zahra, istana al-Gazar, dan menara Girilda.
Reruntuhan
Istana Az-Zahra di Cordoba, Spanyol (sumber: www.republika.co.id)
2) Perdagangan:
pembangunan jalan raya dan pasar
Di
Cordoba juga dibangun sebuah istana yang indah, Az-Zahra, yang dianggap sebagai
suatu keajaiban kesenian Islam. Istana kerajaan ini memiliki 400 kamar yang
konon dapat menampung ribuan budak dan pegawai. Istana Az-Zahra terbuat dari
pualam putih yang didatangkan dari Nurmidia dan Carthago. Penerangan dilakukan
di jalan Cordoba sepanjang 16 kilometer dengan cahaya yang begitu terang.
Padahal, jalan-jalan yang bagus di Inggris dan Prancis pada saat itu masih
langka.
Untuk
melancarkan aktivititas perniagaan dan perdagangan, peranan sebuah pasar
amatlah penting. Pasar-pasar sebagai tempat berniaga akan memudahkan segala
aktivitas jual beli berbagai barang. Pada zaman pemerintahan Bani Umayyah di
Andalus, terdapat banyak pasar yang didirikan untuk menjadi pusat kegiatan
perdagangan dan memudahkan rakyat mendapatkan barangan keperluan mereka.
Pasar-pasar yang terdapat di Andalus, antara lain: al-qaysariyyah (special
market) dan pasarpasar biasa (common market). Penduduk di Andalus juga
menjalankan sistem pemusatan pasaran (centralization of market) yang terdiri
suq al-itr (pasar minyak wangi), suq al-attarin (pasar rempah ratus),
al-bazzazin (pasar pakaian), al-qarraqin (pasar kasut), suq al-zayyatin (pasar
minyak zaitun) dan banyak lagi (Yusuf dan Ezad Azraai Jamsari, 2012: 68).
3)
Pertanian: sistem irigasi
Sektor
pertanian telah memanfaatkan dam untuk mengecek curah air, waduk untuk konservasi,
dan pengaturan hidrolik dengan water wheel (roda air). Tanaman lain yang turut
dihasilkan di Andalus ialah buah zaitun, buah anggur, sayur-sayuran dan
beberapa jenis buah-buahan yang lain. Hasil pertanian ini penting untuk
memenuhi keperluan penduduk di Andalus. Selain tanaman untuk dimakan, Andalus
juga menghasilkan tanaman, seperti kapas dan linen, untuk diproses dan
dijadikan pakaian mereka sehari-hari. Tanaman kapas dan linen ini kebanyakannya
terdapat di wilayah Jativa. Di samping itu, Andalus turut menghasilkan
produk-produk hutan, seperti kayu-kayuan bermutu tinggi. Di wilayah Carthago
Nova, sejenis spesis tumbuhan liar yang dikenali sebagai esparto dalam bahasa
Sepanyol tumbuh dengan banyak. Tumbuhan ini digunakan oleh orang Rum untuk
membuat tali dan tikar.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952783010
c. Kemajaun
sains dan teknologi
1) Ilmu Kedokteran
Ilmu
kedokteran mengalami kemajuan yang cukup menonjol. Spanyol yang membentuk
sebuah unit kebudayaan, juga melahirkan ahli kedokteran, seperti Ibn Rusyd dan
Ibn Juljul. Ibn Juljul disamping sebagai dokter juga dikenal sebagai filosof.
Abu Qasim al-Zanrawi yang namanya dilatinkan sebagai Abulcasim of the west
adalah figure seorang ahli bedah yang besar. Dia mengembangkan ilmunya di masa
pemerintahan Abdurrahman al-Nasir. Dia dikenal sebagai perintis ilmu pengenalan
penyakit diagnotic, cara penyembuhan dan pembedahan. Dia juga seorang dokter
gigi. Ibnu Khatib dan Ibn Khatima, keduanya ahli dalam penyakit kolera dan
mata. Tokoh lain dalam ilmu kedokteran adalah Ibn Wafid (Abu Guefit) yang
terkenal dalam metode rasional di dalam makanan. Ahmad Ibnu Ibas dari Cordova
adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Ummul Hasan binti Abi Ja’far dan saudara
perempuan al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita. Dari
berbagai cendekiawan muslim di atas terutama dibagian kedokteran, merupakan
dasar pengembangan ilmu kedokteran zaman sekarang, baik itu metode
kedokterannya hingga peralatan yang dibutuhkannya.
2)
Astronomi
Dalam
bidang astronomi dapat disebutkan tokohnya adalah Abu Ma’syar alias Albumasar.
Ia dikenal sebagai seorang astronomi yang sangat terkenal. Dia mempunyai
kepercayaan tentang adanya pengaruh bintang dalam pokok-pokok kehidupan manusia,
tentang lahir maupun matinya. Al-Majriti juga salah seorang ahli astronomi,
disamping ahli hitung, kedokteran dan kimia. Sedang Al-Zarqali adalah seorang
ahli astronomi dan juga ahli nujum yang terkenal pada masanya. Dia juga
mengemukakan perkiraan gerak matahari dengan melihat posisi bintang-bintang.
Ibrahim bin Yahya al- Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat
menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia
juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata
surya dan bintang-bintang.
3)
Matematika
Dalam
bidang matematika yang berkembang pada masa itu adalah perhitungan. Terkadang
kita berfikir nilai nol tidak begitu penting, tetapi cendekiawan muslim
matematika angka nol merupakan bagian dari angka, sehingga mereka menemukan
angka nol dalam perhitungan. Hal ini dikemukakan oleh seorang ahli matematika
bahwa dengan angka nol akan mempermudah dalam penggunaan bilangan bila
dibandingkan dengan angka romawi yang dipakai di dunia Kristen ketika itu.
d. Musik
dan Kesenian
Dalam
bidang musik dan seni, pada masa Bani Umayyah juga telah mengalami pengembangan
hingga mencapai puncak kecemerlangan dengan tokohnya, al-Hasan Ibn Nafi, yang
dijuluki Zaryab. Setiap kali diselenggarakan pertemuan dan perjamuan, Zaryab
selalu menampilkan kebolehannya menggubah lagu. Keahliannya itu diwariskan
kepada anak-anaknya dan juga kepada budak-budak sehingga kemasyhurannya
tersebar luas.
e. Bahasa
dan Sastra
Bahasa
dan sastra telah menjadi bahasa administrasi pemerintahan Islam di Spanyol,
khususnya di Cordova. Hal ini dapat diterima oleh orang-orang muslim dan non
muslim. Bahkan, penduduk asli Spanyol menomor-duakan bahasa asli mereka. Mereka
juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara
maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibn Malik, pengarang
Alfiyah, Ibnu Khuruf, Ibnu al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan bin Usfur,
dan Abu Hayyan al-Ghamathi. Seiring dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya
sastra bermunculan, seperti Al’Iqd al-Farid karya Ibnu Abd Rabbih,
al-Dzakhirahji Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibnu Bassam, Kitab al-Qalaid buah
karya al-Fath bin Khaqan, dan banyak lagi yang lain.
f. Sejarah
dan Geografi
Dalam
bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak
pemikir terkenal, Ibnu Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang
negeri-negeri Muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibnu Batuthah dari Tangier
(1304-1377 M) mencapai Samudera Pasai dan Cina. Ibnu Khatib (1317-1374 M)
menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibnu Khaldun dari Tunisia adalah perumus
filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol, yang
kemudian pindah ke Afrika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar