Perkembangan
Islam di Eropa
1.
Sejarah masuknya Islam di Eropa
Kehadiran
Islam di Benua Eropa bukan gejala baru. Islam sesungguhnya telah lama masuk ke
Eropa. Puncak kejayaannya ketika Islam berpusat di Spanyol dengan ibu kota
Cordova semasa Bani Umayyah dan sebagian pada masa Bani Abbasiyah. Namun pada
perkembangan selanjutnya realitas sejarah menunjukan kondisi yang berbeda,
Islam menjadi tersingkirkan dari tanah Eropa dan menjadi masyarakat minoritas
saja. Kondisi ini terus berlanjut sampai masa sekarang. Hubungan Eropa dan
dunia Islam telah saling berhubungan dekat selama berabad-abad. Sejak, negara
Andalusia (756-1492) di Semenanjung Iberia, dan kemudian selama masa Perang
Salib (1095-1291), serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah
(1389) memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kedua masyarakat
itu.
Kini
banyak pakar sejarah dan sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah pemicu utama
perpindahan Eropa dari gelapnya Abad Pertengahan menuju terangbenderangnya Masa
Renaisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di bidang kedokteran, astronomi,
matematika, dan di banyak bidang lain, kaum Muslim memiliki perbendaharaan ilmu
pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat dalam membangun. Eropa
merupakan salah satu benua yang cukup luas sekitar 27.273.727 km2, dan terbagi
kepada 33 negara. Data ini sebelum terpecahnya negara Uni Soviet dan
Yugoslavia. Dari 33 negara itu diantaranya berada di bagian barat. Secara umum,
perkembangan Islam di negara-negara Eropa Barat bisa dikatakan tidaklah begitu
pesat. Hal ini terbukti bahwa agama Islam di Eropa Barat hanya dipeluk oleh
sebagian kecil masyarakat saja. Mayoritas agama di Eropa Barat adalah memeluk
agama Kristen, terutama Kristen Kathoik Roma (Nielsen, 1992: 12).
Bila
kita menelusuri sejarah pramodern Islam di Eropa Barat terdiri dari dua bagian:
Pertama, dari abad ke-8 hingga akhir abad ke-15, ada wilayah-wilayah yang
dikuasai oleh Muslim, tempat posisi Islam sebagai mayoritas, selain di Spanyol
Muslim juga seperti di Sicilia. Inilah kondisi yang terjadi selama berbagai
periode di sejumlah pulau di Laut Tengah dan kantong-kantong kecil di Italia
Selatan dan Prancis Selatan. Kedua, sejarah Islam sebagai minoritas di Eropa
Barat di mulai sekitar abad ke19, ketika para penguasa Kristen khususnya di
Semenanjung Iberia memutuskan untuk tidak lagi mengeksekusi tawanan Muslim, dan
mulai menjual dan menggunakan mereka sebagai budak (Esposito, 2001: 397).
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98021043410567427
Sejak
penghujung abad ke-11, fenomena sosial budak Muslim di wilayah-wilayah Kristen
semakin penting, khususnya di Semenanjung Iberia, Italia, Prancis Selatan,
Sisilia, dan Kepulauan Balearic. Bagi beberapa kerajaan Kristen di Semenanjung
Iberia, periode dari abad ke-12 hingga ke-16 merupakan kekecualian pola ini.
Ketika wilayah-wilayah Spanyol Muslim ditaklukan kembali oleh rajaraja Kristen,
komunitas-komunitas Muslim lokal mendapat kebebasan dan perlindungan beragama
meskipun diprotes oleh gereja Katolik. Akan tetapi, setelah kejatuhan Granada
(1492), komunitaskomunitas ini dibaptis secara paksa, dan akhirnya, pada awal
abad ke-17, dengan dicap "kaum sesat", mereka di usir, sebagian besar
ke Afrika Utara. Akan tetapi, hal ini tidak mengakhiri fenomena sosial para budak
Muslim. Keberadaan mereka di negara-negara Eropa sekitar Laut Tengah
terdokumentasi, tanpa terputus, hingga abad ke-19. Periode pencerahan, yang
diikuti dengan Revolusi Prancis, dimaklumkannya kebebasan beragama sebagai hak
asasi manusia universal dan dihapuskannya perbudakan, menciptakan
kondisi-kondisi yang amat diperlukan oleh era modern dalam Islam Eropa Barat
(Esposito, 2001: 398).
Hal
ini membuka peluang yang relatif menguntungkan untuk keberadaan umat Islam dan
kiprah mereka dalam melaksanakan dakwah. Umat Islam di Eropa, juga berasal dari
imigranimigran negaranegara mayoritas Muslim, terutama setelah perang dunia ke
II. Berbeda dengan ketika datangnya Islam di bawah panglima Thariq bin Ziyad ke
dataran Eropa sebagai tentara yang gagah dan siap menguasai Eropa, kedatangan
orang-orang Muslim selepas perang dunia ke II dalam keadaan sebaliknya. Akibat
usainya perang, Eropa perlu kembali membangun pabrik-pabrik yang telah hancur
dan menata kehidupan ekonomi lainnya. Untuk itu perlu tenaga kerja kasar yang
murah. Tenaga kerja yang didatangkan adalah sebagian besar umat Islam. Penguasa
Eropa memandang dirinya sebagai orang yang mendapat kepercayaan menjinakan
manusia-manusia biadab yang terbelakang, penyembah berhala, untuk diselamatkan
kepangkuan Gereja. Orang Muslim dipandang sebagai keturunan manusia yang memang
segalanya berbeda dengan orang Eropa yang gagah dan terpelajar (Darsh, 1980:
46-49).
Sikap
seperti ini sebagai salah satu ekses dari keberadaan Eropa yang dalam beberapa
abad lamanya mencengkram dengan kuku kolonialismenya terhadap bangsa Asia yang
mayoritas umat Islam. Penyebaran imigran Muslim di Eropa sekarang mencerminkan
wilayah pengaruh penjajah masa lalu. Kebanyakan imigran yang menetap di Prancis
adalah Maroko, Aljajair, dan sejumlah Muslim Afrika Selatan Sahara. Mereka
semua dulunya dijajah Prancis. Inggris banyak ditempati imigran dari anak benua
India, Malaysia, dan sejumlah orang Yaman, Somalia dan Afrika Utara. Sedangkan
Jerman agak berbeda, imigran yang ada di sana kebanyakan orang Turki, Maroko,
dan yang lainnya yang dahulunya tidak ada kaitan dengan pengaruh Jerman.
Sekalipun mereka semuanya orang Muslim, namun gaya hidup masing-masing sesuai
dengan kebiasaan dan sikap hidup yang dibawa dari negeri asalnya yang
menunjukkan adanya perbedaan (Darsh, 1980: 70).
Pendataan
tahun 1999 oleh PBB menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1998, jumlah
penduduk Muslim Eropa meningkat lebih dari 100 persen. Dilaporkan bahwa
terdapat sekitar 13 juta umat Muslim tinggal di Eropa saat ini: 3,2 juta di
Jerman, 2 juta di Inggris, 4-5 juta di Prancis, dan selebihnya tersebar di
bagian Eropa lainnya, terutama di Balkan. Angka ini mewakili lebih dari 2% dari
keseluruhan jumlah penduduk Eropa. Masalah umat Islam eropa sekarang adalah
sikap orang-orang eropa yang tengah terjangkiti paranoid berlebihan dan
cenderung diskriminatif terhadap orang Islam. Ketakutan semacam itu semakin
menjadi-jadi setelah Presiden Amerika Serikat, George W. Bush menyatakan perang
terhadap teroris menyusul peristiwa 11 September 2001, yang notabene
menyudutkan umat Islam (Aliyudin, 2008: 1055).
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605886991
2.
Strategi dakwah dan perkembangan Islam di
Eropa
Berdasarkan
data sejarah, Islam memasuki benua Eropa melalui empat periode, yaitu:
a.
Periode kekhalifahan Islam di Spanyol
(Andalusia) selama ± 8 abad dan pemerintahan umat Islam di beberapa pulau, di
antaranya: Perancis Selatan, Sicilia, dan Italia Selatan. Kekhalifahan Islam di
Spanyol berakhir pada tahun 1492.
b.
Adanya penyebaran tentara Mongol pada abad
ke-13. Di antara penguasa Mongol yakni Dinasti Khan yang beragama Islam.
Kekuasaannya berpusat di Sungai Volga sebelah utara Laut Kaspia dan Laut
Tengah. Ia meninggalkan penduduk muslim di sekitar sungai Volga hingga Kaukasus
dan Krimea, yang terdiri dari orang Tartar, kemudian mereka menyebar ke
berbagai wilayah kekaisaran Rusia. Mereka menjadi penduduk Finlandia, wilayah
Polandia, dan Ukraina.
c.
Periode ekspansi kekhalifahan Turki Usmani
sekitar abad ke-14 dan ke-15 ke wilayah Balkan dan Eropa Tengah. Bahkan di
Albania umat Islam merupakan penduduk mayoritas.
d.
Periode kaum imigran Muslim memasuki benua
Eropa setelah perang dunia ke-2, terutama ke negara-negara industri, seperti:
Perancis, Jerman, Inggris, Belanda, dan Belgia.
Sedangkan
perkembangan Islam di Eropa antar tiap negara berbeda-beda, baik karena
penganut agama setempat yang kuat, kondisi masyarakat setempat, hingga sifat
dan pemikiran masyarakat setempat. Berikut ini akan kita bahas bersama-sama beberapa
negara dengan perkembangan Islamnya, antara lain:
1)
Perkembangan Islam di Belanda
Agama
Islam di negara Belanda berkembang berkat perjuangan Abdul Wahid Van Bommel. Di
sana berdiri organisasi Islam seperti Federatie Organisaties Muslim Nederland
yang diketuai oleh Abdul Wahid. Organisai tersebut kemudian diubah menjadi
Islamitische Informatie Cendrum. Melalui organisasi tersebut beliau berjuang
menuntut hak agar dapat menunaikan shalat wajib lima waktu termasuk shalat
Jum’at. Berdasarkan data statistik Central Burea de Statistick 1994, jumlah
umat Islam Belanda mencapai 3,7% dari total penduduk 15.341.553 jiwa. Umat
Islam di Belanda umumnya imigran yang bersal dari Turki, Maroko, Suriname,
Pakistan, Mesir, Tunisia, dan Indonesia, selain warga negara asli Belanda. Pada
tahun 1990, di seluruh Belanda jumlah masjid mencapai 300 buah, di antaranya
Masjid Mubarak yang didirikan di kalangan Ahmadiyah, Masjid Maluku, dan Masjid
An-Nur di Balk. Masjid lain yang terkenal adalah Masjid Al-Hikma di
Heesurjkpein, Deen Haag.
Gedung
Pusat Kebudayaan Islam di Belanda (sumber: BSE 173 Sejarah Peradaban Islam
Kurikulum 2013, hal. 173)
2)
Perkembangan Islam di Inggris
Penyebaran
Islam di Inggris terjadi berkat jasa Mozambores. Mozambores merupakan dokter
Istana Raja Henry I. Pada tahun 1951, penduduk muslim di negara itu
diperkirakan baru mencapai 23.000 jiwa. Sepuluh tahun belakangan, populasi
penduduk muslim di Inggris menjadi 82.000, dan pada tahun 1971 sudah mencapai
369.000 jiwa. Saat ini, jumlah penduduk muslim di Inggris sekitar 2 juta jiwa.
Pendapat lain dikemukakan oleh M. Ali Kettani, bahwa pada tahun 1971 ada
sekitar setengah juta muslim di Inggris, atau 1,8 % dari jumlah penduduk. Angka
ini pada tahun 1982 naik menjadi 1.250.000 muslim (2,2 % dari penduduk).
Pemukiman
kaum muslim di Inggris umumnya terkonsentrasi di kota besar. Di London, penduduk
muslim merupakan komunitas kosmopolitan yang terdiri dari macam-macam latar
belakang kebudayaan. Hampir separuh dari jumlah keseluruhan kaum muslim di
Inggris tinggal di London dan wilayah sekitarnya. Sekitar dua pertiga sisanya
bermukim di West Midlands, Yorkshire, Glasgow, dan wilayah-wilayah di sekitar
Manchester.
Di
Inggris pada akhir 1960 hanya tercatat sembilan masjid sebagai tempat ibadah,
dan hanya bertambah empat masjid lagi selama lima tahun berikutnya. Tetapi pada
1966, terdapat loncatan sehingga jumlah masjid terus bertambah delapan buah
tiap tahunnya. Secara kuantitatif, jumlah masjid di wilayah Inggris ada sekitar
100 masjid di daerah London Raya, 50 di Lancashire, 40 di Yorkshire, dan 30 di
Midlands, ada 3 masjid di Skotlandia, dan 2 di Wales, serta 1 buah di Belfast.
Tentunya, saat ini terus mengalami peningkatan jumlah seiring semakin
berkembangnya Islam di Inggris pada saat ini di Inggris banyak berdiri berbagai
organisasi keislaman seperti: The Islamic Council of Europe (Majelis Islam
Eropa) sebagai pengawas kebudayaan Eropa, The Union of Moslem Organization
(Persatuan Organisasi Islam Inggris), The Association for British Moslem
(Perhimpunan Muslim Inggris), dan Islamic Foundation dan Moslem’s Institute,
keduanya bergerak dalam bidang penelitian. Anggotaanggotanya terdiri atas
orang-orang Inggris dan imigran.
Salah
satu bukti berkembangnya Islam di Inggris adalah adanya masjid di pusat kota
London. Yaitu Masjid Agung (Central Mosque) Regents Park yang mampu menampung
jamaah hingga 4.000 orang. Perancang Masjid tersebut adalah Fredrik Gobberd and
Patners. Masjid itu juga dilengkapi dengan perpustakaan sebagai pusat kegiatan
sisoal dan administrasi.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=mgXTFksbkQk
Bank
Islam di Inggris (sumber: BSE 173
Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013, hal. 175)
3) Perkembangan
Islam di Perancis
Islam
adalah satu dari beragam agama di Perancis. Meskipun sejak dahulu Muslim sudah
ada di Perancis, baik Perancis daratan maupun wilayah kependudukannya di luar
Eropa, imigrasi massal Muslim ke Perancis pada abad 20 dan 21 telah membuat
negara ini menjadi salah satu negara dengan komunitas muslim terbesar di Eropa.
Di Prancis, Islam berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20 M. Bahkan,
pada tahun 1922, telah berdiri sebuah masjid yang sangat megah bernama Masjid
Raya Yusuf di ibu kota Prancis, Paris. Hingga kini, lebih dari 1000 masjid
berdiri di seantero Prancis.
Di
negara ini, Islam berkembang melalui para imigran dari negeri Maghribi, seperti
Aljazair, Libya, Maroko, Mauritania, dan lainnya. Sekitar tahun 1960-an, ribuan
buruh Arab berimigrasi (hijrah) secara besar-besaran ke daratan Eropa, terutama
di Prancis. Saat ini, jumlah penganut agama Islam di Prancis mencapai tujuh
juta jiwa. Dengan jumlah tersebut, Prancis menjadi negara dengan pemeluk Islam
terbesar di Eropa. Menyusul kemudian negara Jerman sekitar empat juta jiwa dan
Inggris sekitar tiga juta jiwa. Peran buruh migran asal Afrika dan sebagian
Asia itu membuat agama Islam berkembang dengan pesat. Para buruh ini mendirikan
komunitas atau organisasi untuk mengembangkan Islam. Secara perlahan, penduduk
Prancis pun makin banyak yang memeluk Islam. Karena pengaruhnya yang demikian
pesat itu, Pemerintah Prancis sempat melarang buruh migran melakukan penyebaran
agama, khususnya Islam. Pemerintah Prancis khawatir organisasi agama Islam yang
dilakukan para buruh tersebut akan membuat pengkotak-kotakan masyarakat dalam
beberapa kelompok etnik, sehingga dapat menimbulkan disintegrasi dan dapat
memecah belah kelompok masyarakat. Tak hanya itu, pintu keimigrasian bagi
buruh-buruh yang beragama Islam pun makin dipersempit, bahkan ditutup. Meski
demikian, masyarakat Arab yang ingin berpindah ke Prancis tetap meningkat.
Pintu ke arah sana semakin terbuka.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=llAyo1G4Z94
4)
Perkembangan Islam di Jerman
Keberadaaan
orang-orang Islam pertama sekali di Jerman tidak terlepas dari masuknya bangsa
Turki ke wilayah tersebut di akhir abad ke 17, yang merupakan respons
perlawanan terhadap kolonialisme Barat. Mereka menetap dan berketurunan di
wilayah tersebut. Ketika bangkitnya industriindustri di Eropa, banyak warga
Muslim dari Turki dan Timur Tengah melakukan migrasi untuk mencari pekerjaan ke
Eropa termasuk Jerman. Tahun 1961, 1963, dan 1965 orang-orang keturunan Turki,
Maroko, dan Tunisia direkrut sebagai pekerja di Jerman atas persetujuan antara
pemerintah Jerman dengan negara-negara bersangkutan. Belakangan warga Muslim
dari Libanon, Palestina, Afganistan, Aljazair, Iran, Iran dan Bosnia juga
datang ke Jerman mengungsi karena negara mereka dilanda perang. Karena
merupakan negara maju, Jerman juga menjadi target bisnis dan pendidikan. Banyak
para profesional, pebisnis, pekerja dan mahasiswa Muslim dari India, Pakistan,
dan Asia Tenggara datang dan sebagian menetap di sana.
Masjid
di Berlin Jerman (sumber: BSE 173
Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013, hal. 176)
Jumlah
penduduk Muslim di Jerman saat ini berkisar 3,7 juta jiwa. Mayoritas adalah
keturunan Turki dengan jumlah lebih dari 2 juta orang. Pada tahun 1999,
komposisi negeri asal kaum Muslim di negeri ini adalah sebagai berikut: Turki
2.053.564, Bosnia 167.690, Iran 116.446, Marokko 81.450, Afghanistan 71.955,
Libanon 54.063, Pakistan 36.924, Tunisia 26.396, Syiria 19.055, Aljazair
17.705, Irak 16.745, Mesir 13.455, Yordania 12.249, Albania 10.528, Indonesia
9.470, Somalia 8.248, Banglades 7.156, Sudan 4.615, Malaysia 3.084, Senegal,
2.509, Gambia 2.371, Libya 1.898, Kirgistan 1.662, Azerbaijan 1.399, Guinea
1.287, Usbekistan 1.249, Yaman 1.083.
Sangat
menarik sekali dari uraian perkembangan Islam di beberapa negara Eropa di atas
ternyata Islam mampu membaur dengan masyarakat Eropa walaupun punya perbedaan
entah agama, ras, suku, hingga budaya. Berikut akan dijelaskan lebih seru lagi
terkait perkembangan Islam yang menyangkut negara ataupun kerajaan Inggris
hingga sampai salah satu kerajaan di Nusantara (Indonesia) walaupun kecil
tetapi sangat hebat yaitu kerajaan banten.
Islam
telah menjadi bagian dari sejarah Inggris lebih lama daripada yang dibayangkan
banyak orang. Pada abad ke-16, Ratu Elizabeth menjalankan kebijakan luar negeri
dan ekonomi dengan menjalin kerjasama negara-negara Islam. “Saat ini, saat
seruan anti-muslim semakin menggelora, sangat perlu untuk mengingat, masa lalu
kita lebih memiliki keterikatan (dengan Islam, red) daripada yang sering
disadari,” tulis Jerry Brotton, profesor dalam studi tentang Renaisans di Queen
Mary University of London, dikutip laman New York Times (17/9).
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=1pGqH9IntS4
Sejak
mahkota ratu resmi disandangnya pada 1558, Elizabeth memulai kerjasama
diplomatik, baik secara militer maupun komersial dengan negara-negara Islam,
seperti Iran, Turki, dan Maroko. Terutama ketika pada 1570, keyakinannya kepada
Kristen Protestan semakin jelas dan mempengaruhi pemerintahannya. Akibatnya,
dia dikucilkan oleh penguasa Katolik. Semua pedagang Inggris tak diperbolehkan
melakukan hubungan dagang dengan negara-negara Katolik, terutama dengan
Spanyol. “Terkucil secara ekonomi dan politik membuat negara Protestan yang
baru ini terancam akan kehancuran,” lanjut Brotton. Namun, sang ratu melihat
peluang lain. Dia pun berusaha menjalin kerjasama dengan para penguasa di
negara-negara Islam. Satu-satunya musuh besar bagi kerajaan Spanyol pada masa
itu adalah Kesultanan Ottoman. Sultannya adalah Murad III yang telah menguasai
wilayah Afrika Utara, Eropa Timur, sampai Samudra Hindia.
Elizabeth
berharap aliansinya dengan sang sultan membantu mengurangi kekuatan militer
Spanyol terhadap negaranya. Cara ini juga dinilai akan memberikan keuntungan
lain bagi pedagang Inggris untuk memperoleh pasar di wilayah timur. “Dia juga
menjalin hubungan dengan para pesaing Ottoman, Shah dari Persia dan penguasa
Maroko,” kata Brotton. Masalahnya adalah kekaisaran Muslim rupanya lebih
berkuasa dibanding kerajaan Elizabeth yang mungil. Niatnya membuka jalur
perdagangan baru, tetapi nyatanya dia tak sanggup mengongkosi usahanya itu.
Maka, dia pun mencoba membuka perusahaan saham gabungan. Perusahaan ini
dimiliki bersama dengan sistem bagi saham. Modalnya digunakan untuk mendanai
biaya pelayaran untuk berdagang. Keuntungan dan kerugian yang dihasilkan dibagi
kepada para pemegang saham. Dalam hal ini, Elizabeth sangat antusias mendukung
Perusahaan Muscovy yang menjalin hubungan dagang dengan Persia. Mereka pula
yang kemudian menginspirasi bagi terbentuknya Turkey Company yang melakukan perdagangan
dengan Ottoman dan East India Company (EIC), yang kemudian menguasai India dan
berdagang juga ke Nusantara.
Pada
1580, Elizabeth menyetujui kesepakatan komersil selama tiga abad dengan
pemerintah Ottoman. Kesepakatan ini menjamin pedagang Inggris mendapat akses
bebas masuk ke wilayah Ottoman. Dia pun membuat kesepakatan serupa dengan
Maroko, dan diam-diam mendapat jaminan bantuan militer untuk melawan Spanyol.
Berlanjut dari hubungan dagang, pengaruh dari negara-negara Islam semakin
terlihat di Inggris. Karpet, sutra, rempah-rempah menjadi bagian dari
keseharian orang Inggris. “Kata-kata seperti candy dan turquoise’ yang berasal
dari Turkish stone menjadi biasa untuk diucapkan,” ungkap Brotton. Bahkan,
Shakespeare menambahkan unsur budaya Islam itu pada pertunjukkan. Karya Othello
yang fenomenal itu lahir setelah utusan pertama dari Maroko datang ke Inggris.
Meski perusahaan saham gabungan itu sukses, tetapi ekonomi Inggris tidak bisa
mempertahankan diri dari ketergantungannya terhadap perdagangan jarak jauh.
Akhirnya, sepeninggal Elizabeth pada 1603, raja yang baru, James I menyetujui
kesepakatan damai dengan Spanyol. Kesepakatan ini sekaligus mengakhiri nasib
Inggris yang terkucilkan. Terlepas dari itu, kebijakan Elizabeth terhadap dunia
Islam telah berhasil menekan pengaruh Katolik di negaranya. Islam pun, tak
dipungkiri, merupakan bagian dari sejarah orang Inggris. “Islam mempengaruhi
segala aspek, politik, militer, dan perdagangan, bahkan budaya dalam sejarah
Inggris,” tulis Brotton.
Hubungan
dengan Islam di Nusatara pun pernah terjalin baik antara Kerajaan Inggris
dengan Kesultanan Banten. Ketika Elizabeth dinobatkan sebagai ratu Inggris,
sekitar 14 orang Inggris di Banten merayakannya. Mereka, tulis Bernard HM
Vlekke, memakai pakaian terbaik dan mengadakan parade, berbaris maju mundur,
menembakkan senapan dan berteriak “hore”, sampai semua penduduk kota lari
keluar rumah. “Begitu orang banyak berkumpul, orang Inggris itu memberi tahu
orang Banten tentang Ratu Elizabeth mereka yang mulia,” tulis Vlekke dalam
Nusantara: Sejarah Indonesia.
James
Lancaster, yang memimpin pelayaran pertama dengan empat kapal dagang EIC
mendarat di Banten pada 1602. Dia menyampaikan surat Ratu Elizabeth untuk
Sultan Banten yang bernada penuh persahabatan. Sultan Banten memberikan izin
kepada Inggris untuk membuka kantor dagang. Bahkan, Banten menjadi pusat
kegiatan dagang Inggris sampai tahun 1682. Hubungan baik Inggris dan Banten
terlihat juga dengan surat yang dikirimkan oleh Sultan Banten kepada Raja James
I, pengganti Elizabeth. Surat tersebut berisi ucapan selamat atas pengangkatan
James I sebagai raja Inggris. “Raja Banten juga mengucapkan terima kasih atas
hadiah yang dikirim oleh Raja James I melalui Jenderal Milton. Sebagai
balasannya, Raja Banten mengirimkan dua buah faizar kepada Raja Inggris,” tulis
Titik Pudjiastuti dalam Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan
Banten. Faizer diperkirakan sebagai benda yang berat karena satu faizer
disepadankan dengan seekor ternak berkaki empat.
Hubungan
baik Inggris dan Banten terus berlanjut. Pada 1681, Sultan Abu Nashar Abdul
Qahar atau Sultan Haji mengirim surat kepada Raja Charles II. Dalam suratnya,
dia berminat membeli senapan sebanyak 4000 pucuk dan peluru sebanyak 5000 butir
dari Inggris. Sebagai tanda persahabatan, Sultan Haji menghadiahkan permata
sebanyak 1757 butir. Surat ini juga merupakan pengantar untuk dua utusan Banten
bernama Kiai Ngabehi Naya Wipraya dan Kiai Ngabehi Jaya Sedana. Giliran ayah
Sultan haji, pada 1681 Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abul Fath Abdul
Fattah mengirim surat kepada Raja Charles II meminta bantuan berupa senjata dan
mesiu untuk berperang melawan putranya yang dibantu Kongsi Dagang Hindia
Belanda (VOC). Sultan Ageng Tirtayasa berjanji jika Inggris memberi bantuan dan
mereka menang, benteng (Jacetra atau Batavia) akan diberikan kepada Inggris.
Namun, bantuan itu tidak kunjung datang. VOC membantu Sultan Haji berhasil
menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Pusat-pusat
peradaban Islam di Eropa
Puncak
perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani
Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa
Bani Abbas sendiri Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan
Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal kebangkitan Islam, lembaga
pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari
dua tingkat: (1) Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah,
tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat
para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan
bahasa. (2) Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya,
pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam
bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmuilmu
agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama
bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bias berlangsung di istana atau di
rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana. Lembaga-lembaga ini
kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya
perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah
universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat
membaca, menulis dan berdiskusi (Siti, 2003: 126).
Perkembangan
lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik
sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun
sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Sejak pertama kali Islam menginjakkan kakinya
ditanah Spanyol hingga jatuhnyua kerajaan Islam terakhir di sana sekitar tujuh
setengan abad lamanya, Islam memainkan peranan yang besar, baik dalam bidang kemajuan
intelektual (filsafat, sains, fikih, musik dan kesenian, bahasa dan sastra),
kemegahan bangunan fisik (Cordova dan Granada)(Suwito, 2005: 111).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar