Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 21 Juli 2019

PERKEMBANGAN ISLAM DI BENUA EROPA



Perkembangan Islam di Eropa

            1.      Sejarah masuknya Islam di Eropa
Kehadiran Islam di Benua Eropa bukan gejala baru. Islam sesungguhnya telah lama masuk ke Eropa. Puncak kejayaannya ketika Islam berpusat di Spanyol dengan ibu kota Cordova semasa Bani Umayyah dan sebagian pada masa Bani Abbasiyah. Namun pada perkembangan selanjutnya realitas sejarah menunjukan kondisi yang berbeda, Islam menjadi tersingkirkan dari tanah Eropa dan menjadi masyarakat minoritas saja. Kondisi ini terus berlanjut sampai masa sekarang. Hubungan Eropa dan dunia Islam telah saling berhubungan dekat selama berabad-abad. Sejak, negara Andalusia (756-1492) di Semenanjung Iberia, dan kemudian selama masa Perang Salib (1095-1291), serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah (1389) memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kedua masyarakat itu.
Kini banyak pakar sejarah dan sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah pemicu utama perpindahan Eropa dari gelapnya Abad Pertengahan menuju terangbenderangnya Masa Renaisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di bidang kedokteran, astronomi, matematika, dan di banyak bidang lain, kaum Muslim memiliki perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat dalam membangun. Eropa merupakan salah satu benua yang cukup luas sekitar 27.273.727 km2, dan terbagi kepada 33 negara. Data ini sebelum terpecahnya negara Uni Soviet dan Yugoslavia. Dari 33 negara itu diantaranya berada di bagian barat. Secara umum, perkembangan Islam di negara-negara Eropa Barat bisa dikatakan tidaklah begitu pesat. Hal ini terbukti bahwa agama Islam di Eropa Barat hanya dipeluk oleh sebagian kecil masyarakat saja. Mayoritas agama di Eropa Barat adalah memeluk agama Kristen, terutama Kristen Kathoik Roma (Nielsen, 1992: 12).
Bila kita menelusuri sejarah pramodern Islam di Eropa Barat terdiri dari dua bagian: Pertama, dari abad ke-8 hingga akhir abad ke-15, ada wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Muslim, tempat posisi Islam sebagai mayoritas, selain di Spanyol Muslim juga seperti di Sicilia. Inilah kondisi yang terjadi selama berbagai periode di sejumlah pulau di Laut Tengah dan kantong-kantong kecil di Italia Selatan dan Prancis Selatan. Kedua, sejarah Islam sebagai minoritas di Eropa Barat di mulai sekitar abad ke19, ketika para penguasa Kristen khususnya di Semenanjung Iberia memutuskan untuk tidak lagi mengeksekusi tawanan Muslim, dan mulai menjual dan menggunakan mereka sebagai budak (Esposito, 2001: 397).
Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98021043410567427
Sejak penghujung abad ke-11, fenomena sosial budak Muslim di wilayah-wilayah Kristen semakin penting, khususnya di Semenanjung Iberia, Italia, Prancis Selatan, Sisilia, dan Kepulauan Balearic. Bagi beberapa kerajaan Kristen di Semenanjung Iberia, periode dari abad ke-12 hingga ke-16 merupakan kekecualian pola ini. Ketika wilayah-wilayah Spanyol Muslim ditaklukan kembali oleh rajaraja Kristen, komunitas-komunitas Muslim lokal mendapat kebebasan dan perlindungan beragama meskipun diprotes oleh gereja Katolik. Akan tetapi, setelah kejatuhan Granada (1492), komunitaskomunitas ini dibaptis secara paksa, dan akhirnya, pada awal abad ke-17, dengan dicap "kaum sesat", mereka di usir, sebagian besar ke Afrika Utara. Akan tetapi, hal ini tidak mengakhiri fenomena sosial para budak Muslim. Keberadaan mereka di negara-negara Eropa sekitar Laut Tengah terdokumentasi, tanpa terputus, hingga abad ke-19. Periode pencerahan, yang diikuti dengan Revolusi Prancis, dimaklumkannya kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia universal dan dihapuskannya perbudakan, menciptakan kondisi-kondisi yang amat diperlukan oleh era modern dalam Islam Eropa Barat (Esposito, 2001: 398).
Hal ini membuka peluang yang relatif menguntungkan untuk keberadaan umat Islam dan kiprah mereka dalam melaksanakan dakwah. Umat Islam di Eropa, juga berasal dari imigranimigran negaranegara mayoritas Muslim, terutama setelah perang dunia ke II. Berbeda dengan ketika datangnya Islam di bawah panglima Thariq bin Ziyad ke dataran Eropa sebagai tentara yang gagah dan siap menguasai Eropa, kedatangan orang-orang Muslim selepas perang dunia ke II dalam keadaan sebaliknya. Akibat usainya perang, Eropa perlu kembali membangun pabrik-pabrik yang telah hancur dan menata kehidupan ekonomi lainnya. Untuk itu perlu tenaga kerja kasar yang murah. Tenaga kerja yang didatangkan adalah sebagian besar umat Islam. Penguasa Eropa memandang dirinya sebagai orang yang mendapat kepercayaan menjinakan manusia-manusia biadab yang terbelakang, penyembah berhala, untuk diselamatkan kepangkuan Gereja. Orang Muslim dipandang sebagai keturunan manusia yang memang segalanya berbeda dengan orang Eropa yang gagah dan terpelajar (Darsh, 1980: 46-49).
Sikap seperti ini sebagai salah satu ekses dari keberadaan Eropa yang dalam beberapa abad lamanya mencengkram dengan kuku kolonialismenya terhadap bangsa Asia yang mayoritas umat Islam. Penyebaran imigran Muslim di Eropa sekarang mencerminkan wilayah pengaruh penjajah masa lalu. Kebanyakan imigran yang menetap di Prancis adalah Maroko, Aljajair, dan sejumlah Muslim Afrika Selatan Sahara. Mereka semua dulunya dijajah Prancis. Inggris banyak ditempati imigran dari anak benua India, Malaysia, dan sejumlah orang Yaman, Somalia dan Afrika Utara. Sedangkan Jerman agak berbeda, imigran yang ada di sana kebanyakan orang Turki, Maroko, dan yang lainnya yang dahulunya tidak ada kaitan dengan pengaruh Jerman. Sekalipun mereka semuanya orang Muslim, namun gaya hidup masing-masing sesuai dengan kebiasaan dan sikap hidup yang dibawa dari negeri asalnya yang menunjukkan adanya perbedaan (Darsh, 1980: 70).
Pendataan tahun 1999 oleh PBB menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1998, jumlah penduduk Muslim Eropa meningkat lebih dari 100 persen. Dilaporkan bahwa terdapat sekitar 13 juta umat Muslim tinggal di Eropa saat ini: 3,2 juta di Jerman, 2 juta di Inggris, 4-5 juta di Prancis, dan selebihnya tersebar di bagian Eropa lainnya, terutama di Balkan. Angka ini mewakili lebih dari 2% dari keseluruhan jumlah penduduk Eropa. Masalah umat Islam eropa sekarang adalah sikap orang-orang eropa yang tengah terjangkiti paranoid berlebihan dan cenderung diskriminatif terhadap orang Islam. Ketakutan semacam itu semakin menjadi-jadi setelah Presiden Amerika Serikat, George W. Bush menyatakan perang terhadap teroris menyusul peristiwa 11 September 2001, yang notabene menyudutkan umat Islam (Aliyudin, 2008: 1055).
Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605886991 

           2.      Strategi dakwah dan perkembangan Islam di Eropa

Berdasarkan data sejarah, Islam memasuki benua Eropa melalui empat periode, yaitu:
                          a.       Periode kekhalifahan Islam di Spanyol (Andalusia) selama ± 8 abad dan pemerintahan umat Islam di beberapa pulau, di antaranya: Perancis Selatan, Sicilia, dan Italia Selatan. Kekhalifahan Islam di Spanyol berakhir pada tahun 1492.
                          b.      Adanya penyebaran tentara Mongol pada abad ke-13. Di antara penguasa Mongol yakni Dinasti Khan yang beragama Islam. Kekuasaannya berpusat di Sungai Volga sebelah utara Laut Kaspia dan Laut Tengah. Ia meninggalkan penduduk muslim di sekitar sungai Volga hingga Kaukasus dan Krimea, yang terdiri dari orang Tartar, kemudian mereka menyebar ke berbagai wilayah kekaisaran Rusia. Mereka menjadi penduduk Finlandia, wilayah Polandia, dan Ukraina.
                          c.       Periode ekspansi kekhalifahan Turki Usmani sekitar abad ke-14 dan ke-15 ke wilayah Balkan dan Eropa Tengah. Bahkan di Albania umat Islam merupakan penduduk mayoritas.
                          d.      Periode kaum imigran Muslim memasuki benua Eropa setelah perang dunia ke-2, terutama ke negara-negara industri, seperti: Perancis, Jerman, Inggris, Belanda, dan Belgia.
Sedangkan perkembangan Islam di Eropa antar tiap negara berbeda-beda, baik karena penganut agama setempat yang kuat, kondisi masyarakat setempat, hingga sifat dan pemikiran masyarakat setempat. Berikut ini akan kita bahas bersama-sama beberapa negara dengan perkembangan Islamnya, antara lain:

1) Perkembangan Islam di Belanda 
Agama Islam di negara Belanda berkembang berkat perjuangan Abdul Wahid Van Bommel. Di sana berdiri organisasi Islam seperti Federatie Organisaties Muslim Nederland yang diketuai oleh Abdul Wahid. Organisai tersebut kemudian diubah menjadi Islamitische Informatie Cendrum. Melalui organisasi tersebut beliau berjuang menuntut hak agar dapat menunaikan shalat wajib lima waktu termasuk shalat Jum’at. Berdasarkan data statistik Central Burea de Statistick 1994, jumlah umat Islam Belanda mencapai 3,7% dari total penduduk 15.341.553 jiwa. Umat Islam di Belanda umumnya imigran yang bersal dari Turki, Maroko, Suriname, Pakistan, Mesir, Tunisia, dan Indonesia, selain warga negara asli Belanda. Pada tahun 1990, di seluruh Belanda jumlah masjid mencapai 300 buah, di antaranya Masjid Mubarak yang didirikan di kalangan Ahmadiyah, Masjid Maluku, dan Masjid An-Nur di Balk. Masjid lain yang terkenal adalah Masjid Al-Hikma di Heesurjkpein, Deen Haag.
Gedung Pusat Kebudayaan Islam di Belanda (sumber: BSE 173 Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013, hal. 173) 

2) Perkembangan Islam di Inggris 
Penyebaran Islam di Inggris terjadi berkat jasa Mozambores. Mozambores merupakan dokter Istana Raja Henry I. Pada tahun 1951, penduduk muslim di negara itu diperkirakan baru mencapai 23.000 jiwa. Sepuluh tahun belakangan, populasi penduduk muslim di Inggris menjadi 82.000, dan pada tahun 1971 sudah mencapai 369.000 jiwa. Saat ini, jumlah penduduk muslim di Inggris sekitar 2 juta jiwa. Pendapat lain dikemukakan oleh M. Ali Kettani, bahwa pada tahun 1971 ada sekitar setengah juta muslim di Inggris, atau 1,8 % dari jumlah penduduk. Angka ini pada tahun 1982 naik menjadi 1.250.000 muslim (2,2 % dari penduduk).
Pemukiman kaum muslim di Inggris umumnya terkonsentrasi di kota besar. Di London, penduduk muslim merupakan komunitas kosmopolitan yang terdiri dari macam-macam latar belakang kebudayaan. Hampir separuh dari jumlah keseluruhan kaum muslim di Inggris tinggal di London dan wilayah sekitarnya. Sekitar dua pertiga sisanya bermukim di West Midlands, Yorkshire, Glasgow, dan wilayah-wilayah di sekitar Manchester.
Di Inggris pada akhir 1960 hanya tercatat sembilan masjid sebagai tempat ibadah, dan hanya bertambah empat masjid lagi selama lima tahun berikutnya. Tetapi pada 1966, terdapat loncatan sehingga jumlah masjid terus bertambah delapan buah tiap tahunnya. Secara kuantitatif, jumlah masjid di wilayah Inggris ada sekitar 100 masjid di daerah London Raya, 50 di Lancashire, 40 di Yorkshire, dan 30 di Midlands, ada 3 masjid di Skotlandia, dan 2 di Wales, serta 1 buah di Belfast. Tentunya, saat ini terus mengalami peningkatan jumlah seiring semakin berkembangnya Islam di Inggris pada saat ini di Inggris banyak berdiri berbagai organisasi keislaman seperti: The Islamic Council of Europe (Majelis Islam Eropa) sebagai pengawas kebudayaan Eropa, The Union of Moslem Organization (Persatuan Organisasi Islam Inggris), The Association for British Moslem (Perhimpunan Muslim Inggris), dan Islamic Foundation dan Moslem’s Institute, keduanya bergerak dalam bidang penelitian. Anggotaanggotanya terdiri atas orang-orang Inggris dan imigran.
Salah satu bukti berkembangnya Islam di Inggris adalah adanya masjid di pusat kota London. Yaitu Masjid Agung (Central Mosque) Regents Park yang mampu menampung jamaah hingga 4.000 orang. Perancang Masjid tersebut adalah Fredrik Gobberd and Patners. Masjid itu juga dilengkapi dengan perpustakaan sebagai pusat kegiatan sisoal dan administrasi.
Video: https://www.youtube.com/watch?v=mgXTFksbkQk 
Bank Islam di Inggris  (sumber: BSE 173 Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013, hal. 175)

 3)  Perkembangan Islam di Perancis
Islam adalah satu dari beragam agama di Perancis. Meskipun sejak dahulu Muslim sudah ada di Perancis, baik Perancis daratan maupun wilayah kependudukannya di luar Eropa, imigrasi massal Muslim ke Perancis pada abad 20 dan 21 telah membuat negara ini menjadi salah satu negara dengan komunitas muslim terbesar di Eropa. Di Prancis, Islam berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20 M. Bahkan, pada tahun 1922, telah berdiri sebuah masjid yang sangat megah bernama Masjid Raya Yusuf di ibu kota Prancis, Paris. Hingga kini, lebih dari 1000 masjid berdiri di seantero Prancis.
Di negara ini, Islam berkembang melalui para imigran dari negeri Maghribi, seperti Aljazair, Libya, Maroko, Mauritania, dan lainnya. Sekitar tahun 1960-an, ribuan buruh Arab berimigrasi (hijrah) secara besar-besaran ke daratan Eropa, terutama di Prancis. Saat ini, jumlah penganut agama Islam di Prancis mencapai tujuh juta jiwa. Dengan jumlah tersebut, Prancis menjadi negara dengan pemeluk Islam terbesar di Eropa. Menyusul kemudian negara Jerman sekitar empat juta jiwa dan Inggris sekitar tiga juta jiwa. Peran buruh migran asal Afrika dan sebagian Asia itu membuat agama Islam berkembang dengan pesat. Para buruh ini mendirikan komunitas atau organisasi untuk mengembangkan Islam. Secara perlahan, penduduk Prancis pun makin banyak yang memeluk Islam. Karena pengaruhnya yang demikian pesat itu, Pemerintah Prancis sempat melarang buruh migran melakukan penyebaran agama, khususnya Islam. Pemerintah Prancis khawatir organisasi agama Islam yang dilakukan para buruh tersebut akan membuat pengkotak-kotakan masyarakat dalam beberapa kelompok etnik, sehingga dapat menimbulkan disintegrasi dan dapat memecah belah kelompok masyarakat. Tak hanya itu, pintu keimigrasian bagi buruh-buruh yang beragama Islam pun makin dipersempit, bahkan ditutup. Meski demikian, masyarakat Arab yang ingin berpindah ke Prancis tetap meningkat. Pintu ke arah sana semakin terbuka.
Video: https://www.youtube.com/watch?v=llAyo1G4Z94

4)  Perkembangan Islam di Jerman
Keberadaaan orang-orang Islam pertama sekali di Jerman tidak terlepas dari masuknya bangsa Turki ke wilayah tersebut di akhir abad ke 17, yang merupakan respons perlawanan terhadap kolonialisme Barat. Mereka menetap dan berketurunan di wilayah tersebut. Ketika bangkitnya industriindustri di Eropa, banyak warga Muslim dari Turki dan Timur Tengah melakukan migrasi untuk mencari pekerjaan ke Eropa termasuk Jerman. Tahun 1961, 1963, dan 1965 orang-orang keturunan Turki, Maroko, dan Tunisia direkrut sebagai pekerja di Jerman atas persetujuan antara pemerintah Jerman dengan negara-negara bersangkutan. Belakangan warga Muslim dari Libanon, Palestina, Afganistan, Aljazair, Iran, Iran dan Bosnia juga datang ke Jerman mengungsi karena negara mereka dilanda perang. Karena merupakan negara maju, Jerman juga menjadi target bisnis dan pendidikan. Banyak para profesional, pebisnis, pekerja dan mahasiswa Muslim dari India, Pakistan, dan Asia Tenggara datang dan sebagian menetap di sana. 
Masjid di Berlin Jerman  (sumber: BSE 173 Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013, hal. 176)
Jumlah penduduk Muslim di Jerman saat ini berkisar 3,7 juta jiwa. Mayoritas adalah keturunan Turki dengan jumlah lebih dari 2 juta orang. Pada tahun 1999, komposisi negeri asal kaum Muslim di negeri ini adalah sebagai berikut: Turki 2.053.564, Bosnia 167.690, Iran 116.446, Marokko 81.450, Afghanistan 71.955, Libanon 54.063, Pakistan 36.924, Tunisia 26.396, Syiria 19.055, Aljazair 17.705, Irak 16.745, Mesir 13.455, Yordania 12.249, Albania 10.528, Indonesia 9.470, Somalia 8.248, Banglades 7.156, Sudan 4.615, Malaysia 3.084, Senegal, 2.509, Gambia 2.371, Libya 1.898, Kirgistan 1.662, Azerbaijan 1.399, Guinea 1.287, Usbekistan 1.249, Yaman 1.083.
Sangat menarik sekali dari uraian perkembangan Islam di beberapa negara Eropa di atas ternyata Islam mampu membaur dengan masyarakat Eropa walaupun punya perbedaan entah agama, ras, suku, hingga budaya. Berikut akan dijelaskan lebih seru lagi terkait perkembangan Islam yang menyangkut negara ataupun kerajaan Inggris hingga sampai salah satu kerajaan di Nusantara (Indonesia) walaupun kecil tetapi sangat hebat yaitu kerajaan banten.
Islam telah menjadi bagian dari sejarah Inggris lebih lama daripada yang dibayangkan banyak orang. Pada abad ke-16, Ratu Elizabeth menjalankan kebijakan luar negeri dan ekonomi dengan menjalin kerjasama negara-negara Islam. “Saat ini, saat seruan anti-muslim semakin menggelora, sangat perlu untuk mengingat, masa lalu kita lebih memiliki keterikatan (dengan Islam, red) daripada yang sering disadari,” tulis Jerry Brotton, profesor dalam studi tentang Renaisans di Queen Mary University of London, dikutip laman New York Times (17/9).
Video: https://www.youtube.com/watch?v=1pGqH9IntS4
Sejak mahkota ratu resmi disandangnya pada 1558, Elizabeth memulai kerjasama diplomatik, baik secara militer maupun komersial dengan negara-negara Islam, seperti Iran, Turki, dan Maroko. Terutama ketika pada 1570, keyakinannya kepada Kristen Protestan semakin jelas dan mempengaruhi pemerintahannya. Akibatnya, dia dikucilkan oleh penguasa Katolik. Semua pedagang Inggris tak diperbolehkan melakukan hubungan dagang dengan negara-negara Katolik, terutama dengan Spanyol. “Terkucil secara ekonomi dan politik membuat negara Protestan yang baru ini terancam akan kehancuran,” lanjut Brotton. Namun, sang ratu melihat peluang lain. Dia pun berusaha menjalin kerjasama dengan para penguasa di negara-negara Islam. Satu-satunya musuh besar bagi kerajaan Spanyol pada masa itu adalah Kesultanan Ottoman. Sultannya adalah Murad III yang telah menguasai wilayah Afrika Utara, Eropa Timur, sampai Samudra Hindia.
Elizabeth berharap aliansinya dengan sang sultan membantu mengurangi kekuatan militer Spanyol terhadap negaranya. Cara ini juga dinilai akan memberikan keuntungan lain bagi pedagang Inggris untuk memperoleh pasar di wilayah timur. “Dia juga menjalin hubungan dengan para pesaing Ottoman, Shah dari Persia dan penguasa Maroko,” kata Brotton. Masalahnya adalah kekaisaran Muslim rupanya lebih berkuasa dibanding kerajaan Elizabeth yang mungil. Niatnya membuka jalur perdagangan baru, tetapi nyatanya dia tak sanggup mengongkosi usahanya itu. Maka, dia pun mencoba membuka perusahaan saham gabungan. Perusahaan ini dimiliki bersama dengan sistem bagi saham. Modalnya digunakan untuk mendanai biaya pelayaran untuk berdagang. Keuntungan dan kerugian yang dihasilkan dibagi kepada para pemegang saham. Dalam hal ini, Elizabeth sangat antusias mendukung Perusahaan Muscovy yang menjalin hubungan dagang dengan Persia. Mereka pula yang kemudian menginspirasi bagi terbentuknya Turkey Company yang melakukan perdagangan dengan Ottoman dan East India Company (EIC), yang kemudian menguasai India dan berdagang juga ke Nusantara.
Pada 1580, Elizabeth menyetujui kesepakatan komersil selama tiga abad dengan pemerintah Ottoman. Kesepakatan ini menjamin pedagang Inggris mendapat akses bebas masuk ke wilayah Ottoman. Dia pun membuat kesepakatan serupa dengan Maroko, dan diam-diam mendapat jaminan bantuan militer untuk melawan Spanyol. Berlanjut dari hubungan dagang, pengaruh dari negara-negara Islam semakin terlihat di Inggris. Karpet, sutra, rempah-rempah menjadi bagian dari keseharian orang Inggris. “Kata-kata seperti candy dan turquoise’ yang berasal dari Turkish stone menjadi biasa untuk diucapkan,” ungkap Brotton. Bahkan, Shakespeare menambahkan unsur budaya Islam itu pada pertunjukkan. Karya Othello yang fenomenal itu lahir setelah utusan pertama dari Maroko datang ke Inggris. Meski perusahaan saham gabungan itu sukses, tetapi ekonomi Inggris tidak bisa mempertahankan diri dari ketergantungannya terhadap perdagangan jarak jauh. Akhirnya, sepeninggal Elizabeth pada 1603, raja yang baru, James I menyetujui kesepakatan damai dengan Spanyol. Kesepakatan ini sekaligus mengakhiri nasib Inggris yang terkucilkan. Terlepas dari itu, kebijakan Elizabeth terhadap dunia Islam telah berhasil menekan pengaruh Katolik di negaranya. Islam pun, tak dipungkiri, merupakan bagian dari sejarah orang Inggris. “Islam mempengaruhi segala aspek, politik, militer, dan perdagangan, bahkan budaya dalam sejarah Inggris,” tulis Brotton. 
Hubungan dengan Islam di Nusatara pun pernah terjalin baik antara Kerajaan Inggris dengan Kesultanan Banten. Ketika Elizabeth dinobatkan sebagai ratu Inggris, sekitar 14 orang Inggris di Banten merayakannya. Mereka, tulis Bernard HM Vlekke, memakai pakaian terbaik dan mengadakan parade, berbaris maju mundur, menembakkan senapan dan berteriak “hore”, sampai semua penduduk kota lari keluar rumah. “Begitu orang banyak berkumpul, orang Inggris itu memberi tahu orang Banten tentang Ratu Elizabeth mereka yang mulia,” tulis Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia.
James Lancaster, yang memimpin pelayaran pertama dengan empat kapal dagang EIC mendarat di Banten pada 1602. Dia menyampaikan surat Ratu Elizabeth untuk Sultan Banten yang bernada penuh persahabatan. Sultan Banten memberikan izin kepada Inggris untuk membuka kantor dagang. Bahkan, Banten menjadi pusat kegiatan dagang Inggris sampai tahun 1682. Hubungan baik Inggris dan Banten terlihat juga dengan surat yang dikirimkan oleh Sultan Banten kepada Raja James I, pengganti Elizabeth. Surat tersebut berisi ucapan selamat atas pengangkatan James I sebagai raja Inggris. “Raja Banten juga mengucapkan terima kasih atas hadiah yang dikirim oleh Raja James I melalui Jenderal Milton. Sebagai balasannya, Raja Banten mengirimkan dua buah faizar kepada Raja Inggris,” tulis Titik Pudjiastuti dalam Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten. Faizer diperkirakan sebagai benda yang berat karena satu faizer disepadankan dengan seekor ternak berkaki empat.
Hubungan baik Inggris dan Banten terus berlanjut. Pada 1681, Sultan Abu Nashar Abdul Qahar atau Sultan Haji mengirim surat kepada Raja Charles II. Dalam suratnya, dia berminat membeli senapan sebanyak 4000 pucuk dan peluru sebanyak 5000 butir dari Inggris. Sebagai tanda persahabatan, Sultan Haji menghadiahkan permata sebanyak 1757 butir. Surat ini juga merupakan pengantar untuk dua utusan Banten bernama Kiai Ngabehi Naya Wipraya dan Kiai Ngabehi Jaya Sedana. Giliran ayah Sultan haji, pada 1681 Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abul Fath Abdul Fattah mengirim surat kepada Raja Charles II meminta bantuan berupa senjata dan mesiu untuk berperang melawan putranya yang dibantu Kongsi Dagang Hindia Belanda (VOC). Sultan Ageng Tirtayasa berjanji jika Inggris memberi bantuan dan mereka menang, benteng (Jacetra atau Batavia) akan diberikan kepada Inggris. Namun, bantuan itu tidak kunjung datang. VOC membantu Sultan Haji berhasil menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.

3.    Pusat-pusat peradaban Islam di Eropa
Puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal kebangkitan Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat: (1) Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa. (2) Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmuilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bias berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana. Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi (Siti, 2003: 126). 
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Sejak pertama kali Islam menginjakkan kakinya ditanah Spanyol hingga jatuhnyua kerajaan Islam terakhir di sana sekitar tujuh setengan abad lamanya, Islam memainkan peranan yang besar, baik dalam bidang kemajuan intelektual (filsafat, sains, fikih, musik dan kesenian, bahasa dan sastra), kemegahan bangunan fisik (Cordova dan Granada)(Suwito, 2005: 111). 

Sumber : ppg.siagapendis.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar