Perkembangan
Islam di Australia
1.
Sejarah masuknya Islam di Australia
Islam
memang bukan merupakan agama mayoritas di Australia. Jumlah total umat Islam
hanya 500 ribu atau sekitar 3% dari jumlah penduduk total sebanyak 24 juta.
Meskipun demikian, Islam telah menjadi bagian dari kehidupan warga Australia.
Islam juga menjadi bagian sejarah dari negara berpenduduk asli bangsa Aborigin
itu. Di Islamic Museum Australia, yang berada di Anderson Road, Thornbury,
Victoria, dijelaskan detail tentang sejarah masuknya Islam di Australia.
Ternyata, Islam pertama kali dibawa oleh para pelaut dari Makassar ke Australia.
"Pelaut-pelaut
Makassar adalah yang pertama kali melakukan kontak dengan bangsa asli Australia
yaitu Aborigin. Mereka mendarat di Australia bagian utara sekitar tahun 1700an.
Kala itu mereka datang dengan sangat sopan dan meminta izin kepada penduduk asli,"
kata Education Director Islamic Museum Australia, Sherene Hassan saat ditemui
detikcom bersama dua media lain yang difasilitasi Australia Plus ABC
International pada Juni 2016. Para pelaut dari Makassar itu datang untuk
mencari teripang di pantai utara Australia, salah satunya di daerah Arnhemland.
Mereka datang pada bulan Desember dan menetap beberapa lama di Australia untuk
membeli teripang dari penduduk asli. Interaksi antara pelaut Makassar dan para
warga abrigin pun tak bisa dihindarkan.
Setelah
itu, pengaruh Islam juga datang ke Australia dengan dibawa oleh para penunggang
unta yang datang dari Pakistan dan Afghanistan sekitar tahun 1870-1920. Para
penunggang unta yang berjumlah lebih dari 2.000 orang itu datang untuk bekerja
di proyek pembangunan jalur kereta yang tengah dikerjakan pemerintah Inggris.
Kala itu unta dianggap sebagai hewan yang sangat berguna untuk dijadikan alat
angkut material. Para penunggang onta yang dalam sejarah Australia disebut
dengan kata “Camellers” berada cukup lama di daratan Australia. Sehingga,
sedikit banyak mereka juga membawa pengaruh spiritual. Bahkan, masjid pertama
di Australia didirikan pada masa itu.
Setelah
itu, masuk ke tahun 1900an, Australia mulai didatangi buruh migran dari
berbagai negara di timur tengah dan Afrika. Para imigran itu kebanyakan berasal
dari Turki, Albania, Bosnia, Libanon dan beberapa negara lain di Afrika. Jumlah
imigran yang terus bertambah seiring berjalannya waktu membawa pengaruh Islam
di Australia. Hingga, Islam terus berkembang di negeri kanguru tersebut. Hingga
saat ini, Islam merupakan agama yang perkembangannya cukup pesat di Australia.
Jumlah pemeluk agama Islam terus bertambah dan jumlah masjid dan sekolah Islam
pun terus meningkat. Sejak dua tahun lalu, Islamic Museum Australia resmi
dibuka. Tujuan awal didirikan museum itu adalah untuk mengenalkan wajah Islam
seutuhnya kepada warga Australia.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=Ae_BXpBwq10
Museum
Islam pertama di Australia itu benar-benar mengenalkan Islam seutuhnya bagi
warga. Saat masuk ke museum, pada bagian pertama adalah pengenalan tentang
Islam, mulai dari sejarah Islam hingga pengertian dan rukun Islam serta
beberapa petikan ayat Alquran. Masuk ke bagian kedua, museum menyajikan andil
Islam terhadap peradaban manusia. Beberapa penemuan ilmiah dari tokohtokoh
Islam yang mengubah dunia dipamerkan. Beberapa temuan seperti sistem hitung
Aljabar, permainan catur, alat untuk terbang dan berbagai penemuan lain membuka
mata warga Australia bahwa Islam telah turut ambil bagian dalam proses
perkembangan ilmu pengetahuan. Setelah itu, para pengunjung juga bisa melihat
hasil-hasil karya seni Islami. Bagian ketiga di museum ini ingin memberikan
pengertian bahwa Islam tidak pernah membatasi umatnya untuk berkreasi dan Islam
mengajarkan umatnya untuk mencintai keindahan.
Pada
bagian keempat, dipamerkan karya-karya arsitektur Islam. Bangunan masjid-masjid
megah dari berbagai penjuru dunia di tampilkan. Pada bagian ini, juga
diperdengarkan alunan suara azan, sehingga para pengunjung bisa mendengarkan
syahdunya suara azan. Untuk diketahui, di Australia masjid tidak diperbolehkan
mengumandangkan suara azan melalui speaker di luar. Kemudian salah satu bagian
yang paling menarik dari museum ini adalah sejarah Islam di Australia. Islamic
Museum Australia menyajikan data valid terkait sejarah masuk dan berkembangnya
Islam di Australia. Seorang pengunjung museum dari negara bagian Tazmania,
Paula Woodward mengaku sengaja mendatangi museum karena mendapatkan informasi
dari tayangan televisi. Dia mengaku mendapatkan banyak pengetahuan tentang
Islam yang sangat berbeda dengan yang didapatkan dari pemberitaan media
(Khabibi, 2018: detik.com)
Di
atas sudah disampaikan bahwa muslim di Australia memiliki sejarah yang panjang
dan bervariasi yang diperkirakan sudah hadir sebelum pemukiman Eropa. Beberapa
pengunjung awal Australia adalah Muslim dari Indonesia timur. Mereka membangun
hubungan dengan daratan Australia sejak abad ke 16 dan 17. Nelayan dan pedagang
Makassar tiba di pesisir utara Australia Barat, Australia Utara dan Queensland.
Para pelaut dari Makassar dan Bugis mengunjungi pantai utara Australia setiap
tahun setidaknya sejak tahun 1720-an sampai 1906 untuk mencari ikan teripang.
Mereka berdagang dengan penduduk asli dan memperdagangkan ikan teripang itu
dengan pedagang Cina.
Bukti-bukti
dari pengunjung awal ini dapat ditemukan pada kesamaan beberapa kata bahasa
Melayu, Bugis, dan Makassar dalam bahasa orang Aborijin di Australia Utara.
Misalnya, kata-kata berikut dijumpai dalam bahasa Enindiljaugwa, yang digunakan
oleh orang Wanindiljaugwa dari Groote Elyandt, di Teluk Carpentaria.
Sejumlah
peninggalan dan lukisan cadas yang menggambarkan perahu tradisional Makassar
yang baru-baru ini ditemukan di Australia utara membuktikan bahwa Suku Aborigin
yang merupakan penduduk asli benua Australia dimungkinkan sudah melakukan
interaksi begitu lama dengan para pelayar Bugis atau Makassar dari Makassar.
Perkawinan antara Penduduk Asli dan orang Makassar diyakini pernah terjadi, dan
lokasi pemakaman orang Makassar telah ditemukan sepanjang garis pantai.
Lukisan
Goa Aborigin (sumber: goodnewsfromindonesia.id) Suku Aborigin bahkan
kemungkinan pernah berlayar ke Makassar untuk melihat kebesaran Kerajaan
Makasar yang ada pada waktu itu. Ini dapat dilihat dari lukisan monyet di atas
pohon yang hanya dapat dilihat di Pulau Sulawesi. Gambar rumah-rumah adat
Makassar dan perahu phinisi juga tampak di antara ribuan lukisan cadas di
dinding gua dan batuan yang tersebar di kawasan adat Aborigin, Arnhem Land.
Lukisan lain menggambarkan tentara-tentara perang dunia II, satwa yang kini
telah punah, termasuk barang-barang modern seperti sepeda, pesawat, dan mobil.
Lukisan-lukisan tersebut berusia antara 15.000 tahun hingga 50 tahun. Suku Aborigin memperlihatkan gambar Perahu
Suku Makassar (sumber:
goodnewsfromindonesia.id)
Suku
Aborigin kental dengan budaya lisan. Namun, mereka suka menggambar di batuan
cadas sebagai gambaran kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dilakukan
turun-temurun dan tekniknya terus berubah dari generasi ke generasi. Pada
beberapa situs, lukisan sampai 17 lapisan. Saat ini, hanya orangorang tua yang
memiliki hak menggambar di cadas.
Sebuah
penelitian sejarah di Australia baru-baru ini memaksa Negeri Kanguru mengubah
pelajaran sejarah mereka. Penelitian yang dilakukan dosen sejarah University of
Griffith, Brisbane, Australia, Prof Regina Ganter, membuktikan agama Islam
masuk ke Australia sejak 1650-an dan bukan 1850-an, yang merupakan versi resmi
pemerintah Australia. Hebatnya lagi, Islam diperkenalkan pelautpelaut Makassar
yang memang menjalin hubungan dengan suku asli Australia, Aborigin. Studi itu
tentu saja mengubah banyak hal, termasuk klaim penyelam asal Malaysia yang
membawa Islam ke negara yang berpenduduk 21 juta jiwa itu pada 1875.
Pada
1760, seorang peneliti bernama Alexander Dalrymple memberikan informasi, orang
Bugis menggambarkan Australia sebagai penghasil emas. Mereka beragama Islam dan
gemar berdagang. Menurut Dalrymple, keislaman mereka didasarkan tradisi pengkhitanan,
yang akhirnya menjadi kebiasaan sejumlah penduduk di kawasan Australia Utara.
Meski tidak tercatat apakah nelayan Muslim Makassar juga menyebarkan Islam.
Namun dipastikan, Australia mengenal Islam pertama kali dari pelaut-pelaut
Makassar tadi. Pada akhir dasawarsa 1700an, Migran Muslim dari pesisir Afrika
dan wilayah pulau di bawah Kerajaan Inggris datang ke Australia sebagai pelaut
dan narapidana dalam armada pertama pendatang Eropa. Populasi Muslim semi
permanen pertama dalam jumlah yang signifikan terbentuk dengan kedatangan
penunggang unta pada dasawarsa 1800an. Datang dari anakbenua India, Muslim ini
sangat vital bagi penjelajahan awal pedalaman Australia dan pembentukan layanan
perhubungan. Salah satu proyek besar yang melibatkan penunggang unta Afganistan
adalah pembangunan jaringan rel kereta api antara Port Augusta dan Alice
Springs, yang kemudian dikenal sebagai Ghan. Jalur kereta api dilanjutkan
hingga ke Darwin pada 2004. Para penunggang unta ini juga memegang peran
penting dalam pembangunan jalur telegrafi darat antara Adelaide dan Darwin pada
1870-1872, yang akhirnya menghubungkan Australia dengan London lewat
India.
Lukisan
batu bergambar monyet, hewan yang tak ada di Australia dan perahu Pinisi
(sumber: goodnewsfromindonesia.id) Melalui karya awal ini, sejumlah kota ‘Ghan’
berdiri di sepanjang jalur kereta api. Banyak dari kota-kota ini yang memiliki
sedikitnya satu masjid, biasanya dibangun dari besi bergelombang dengan menara
kecil. Namun, kehadiran kendaraan bermotor dan transportasi lori bermesin
menandai akhir era penunggang unta. Sementara sebagian dari mereka pulang ke
negara asalnya, yang lainnya bermukim di daerah dekat Alice Springs dan daerah
lain di Australia Utara. Banyak yang menikah dengan penduduk Asli setempat.
Keturunan penunggang unta Afganistan sejak itu berperan aktif dalam berbagai
komunitas Muslim di Australia. Sejumlah kecil Muslim juga direkrut dari koloni
Belanda dan Inggris di Asia Tenggara untuk bekerja di industri mutiara
Australia pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20.
Jumlah
umat Islam Australia modern meningkat dengan cepat setelah Perang Dunia Kedua.
Pada 1947 - 1971, jumlah warga Muslim meningkat dari 2.704 menjadi 22.331. Hal
ini terjadi terutama karena ledakan ekonomi pasca perang, yang membuka lapangan
kerja baru. Banyak Muslim Eropa, terutama dari Turki, memanfaatkan kesempatan
ini untuk mencari kehidupan dan rumah baru di Australia. Pada Sensus 2006,
tercatat 23.126 Muslim kelahiran Turki di Australia. Migran Muslim Bosnia dan
Kosovo yang tiba di Australia pada dasawarsa 1960an memberi sumbangsih penting
terhadap Australia modern melalui peran mereka dalam pembangunan Skema PLTA
Snowy Mountains di New South Wales. Migran Libanon, banyak dari antara mereka
adalah Muslim, juga mulai berdatangan dalam jumlah yang lebih besar setelah
pecah perang saudara di Libanon pada 1975. Menurut Sensus 2006, tercatat 7.542
Muslim Australia kelahiran Bosnia dan Herzegovina dan 30.287 kelahiran
Libanon.
Muslim
Australia sangat majemuk. Pada Sensus 2006, tercatat lebih dari 340.000 Muslim
di Australia, di mana dari jumlah tersebut sebanyak 128.904 lahir di Australia
dan sisanya lahir di luar negeri. Selain migran dari Libanon dan Turki, negara
asal Muslim lainnya adalah: Afganistan (15.965), Pakistan (13.821), Banglades
(13.361), Irak (10.039), dan Indonesia (8.656). Dalam tiga dasawarsa terakhir,
banyak Muslim bermigrasi ke Australia melalui program pengungsi atau
kemanusiaan, dan dari negara-negara Afrika seperti Somalia dan Sudan.
Masyarakat Muslim Australia saat ini sebagian besar terkonsentrasi di Sydney
dan Melbourne. Sejak dasawarsa 1970an, masyarakat Muslim telah membangun banyak
masjid dan sekolah Islam dan memberi sumbangsih yang dinamis terhadap rajutan
multi-budaya masyarakat Australia.
2. Strategi
dakwah dan perkembangan Islam di Australia
Islam telah menjadi bagian dari kehidupan
warga Australia. Islam juga menjadi bagian sejarah dari negara berpenduduk asli
bangsa Aborigin itu. Di Islamic Museum Australia, yang berada di Anderson Road,
Thornbury, Victoria, dijelaskan detail tentang sejarah masuknya Islam di
Australia. Ternyata, Islam pertama kali dibawa oleh para pelaut dari Makassar
ke Australia. "Pelaut-pelaut Makassar adalah yang pertama kali melakukan
kontak dengan bangsa asli Australia yaitu Aborigin. Mereka mendarat di
Australia bagian utara sekitar tahun 1700an. Kala itu mereka datang dengan
sangat sopan dan meminta izin kepada penduduk asli," kata Education
Director Islamic Museum Australia, Sherene Hassan saat ditemui detikcom bersama
dua media lain yang difasilitasi Australia Plus ABC International pada Juni
2016.
Catatan sejarah Islam di Islamic Museum
Australia di Melbourne, Victoria (Foto: Ikhwanul Khabibi/detikcom)
Para pelaut dari Makassar itu datang untuk
mencari teripang di pantai utara Australia, salah satunya di daerah Arnhemland.
Mereka datang pada bulan Desember dan menetap beberapa lama di Australia untuk
membeli teripang dari penduduk asli. Interaksi antara pelaut Makassar dan para
warga abrigin pun tak bisa dihindarkan. "Sebagian besar pelaut dari
Makassar beragama Islam dan karena mereka berinteraksi dengan suku asli,
sehingga secara spiritual suku Aborigin di sebelah utara Australia terpengaruh
agama Islam yang dipeluk para pelaut," jelas Sherene. Setelah itu,
pengaruh Islam juga datang ke Australia dengan dibawa oleh para penunggang unta
yang datang dari Pakistan dan Afghanistan sekitar tahun 1870-1920. Para
penunggang unta yang berjumlah lebih dari 2.000 orang itu datang untuk bekerja
di proyek pembangunan jalur kereta yang tengah dikerjakan pemerintah Inggris.
Kala itu unta dianggap sebagai hewan yang sangat berguna untuk dijadikan alat
angkut material.
Islamic Museum Australia di Melbourne,
Victoria (Foto: Ikhwanul Khabibi/detikcom)
Para penunggang onta yang dalam sejarah
Australia disebut dengan kata 'Camellers' berada cukup lama di daratan
Australia. Sehingga, sedikit banyak mereka juga membawa pengaruh spiritual.
Bahkan, masjid pertama di Australia didirikan pada masa itu. Setelah itu, masuk
ke tahun 1900an, Australia mulai didatangi buruh migran dari berbagai negara di
timur tengah dan Afrika. Para imigran itu kebanyakan berasal dari Turki,
Albania, Bosnia, Libanon dan beberapa negara lain di Afrika. Jumlah imigran
yang terus bertambah seiring berjalannya waktu membawa pengaruh Islam di
Australia. Hingga, Islam terus berkembang di negeri kanguru tersebut. Hingga
saat ini, Islam merupakan agama yang perkembangannya cukup pesat di Australia.
Jumlah pemeluk agama Islam terus bertambah dan jumlah masjid dan sekolah Islam
pun terus meningkat (Khabibi, 2016: Detik.com)
Islamic Museum Australia di Melbourne, Victoria (Foto: Ikhwanul
Khabibi/detikcom)
3. Tokoh-tokoh
ilmu pengetahuan Islam di Australia
Australia merupakan benua terkecil
dibandingkan benua yang lainnya. Islam pun juga memenuhi beberapa persen dari
total populasi benua tersebut. Islam memiliki sejarah yang panjang di
Australia. Sejarah ini merentang tidak hanya ke beberapa Muslim yang tiba sebagai
bagian dari kontak pertama Eropa dan masa kolonial, tapi juga ke masa
sebelumnya dan kemunculan awal Kristen sebagai agama non-pribumi yang dominan
jumlah penganutnya.
Munculnya gerakan ISIS yang diklaim
sebagai respon atas gerakan Arab di Syria pada tahun 2011, menyebabkan Muslim
terkadang dipotret sebagai individu yang berbahaya bagi dunia barat dan
khususnya dalam kehidupan di Australia. Media lebih banyak menggambarkan Muslim
sebagai sosok berjanggut yang lebih banyak berdiam diri di masjid, yang
menyebabkan dakwah untuk bisa mengenal Islam menjadi lebih berat. Atas dasar
itulah, menampilkan sosok sebagai seorang Muslim, terlebih menyampaikan ajaran
Islam menjadi tantangan tersendiri. Berdasarkan laporan tahunan ICV 2013-2014
di Australia, gejala Islamophobia makin marak. Hal ini muncul dalam beberapa
cara, diantaranya; (1) Kampanye menolak Masjid dan Islamic Center karena alasan
rasis, kebohongan publik dan juga kesalahpahaman informasi lainnya. (2) Usulan
dari beberapa politisi untuk menolak niqab. (3) Kampanye sertifikat anti halal,
dengan asumsi bahwa halal sertifikat hanya akan mendukung terorisme.
Dari beberapa laporan di atas maka bisa
dikatakan Islam di Australia belum mencapai kejayaannya dan masih dianggap
masih pada tahap berkembang adalah :
a.
Penduduk yang menganut Islam baru 1.71 persen dari jumlah warga
Negara Australia
b.
Latarbelakang etnis yang berasal dari
berbagai Negara memerlukan waktu untuk mempersatukannya
c.
Belum adanya tokoh-tokoh Islam yang muncul
di Australia baik tokoh politik, tokoh ekonomi, tokoh ilmuwan maupun ketokohan
nasional dalam keagamaan.
d.
Belum banyaknya lembaga pendidikan Islam
yang representatif dan berkualitas.
e.
Masih adanya stigma Islam sebagai biangya
kekerasan dari masyarkat dan pemerintahan Australia apalagi setelah munculnya
peristiwa Bom London,Persitiwa 11 September di kota New York Amerika Serikat
dan Bom
f.
Dalam penguasaan Ilmu pengetahuan dan
Teknologi dari kaum Muslimin di Australia belum merata dan mumpuni,masih
tertinggal oleh kaum kulit putih keturunan Eropa (Pratio, 2011)
Salah satu kunci keberhasilan mengapa kaum
Muslim minoritas di suatu Negara khususnya benua Australia, adalah dapat
bekerjasama secara optimal dengan kaum mayoritas. Hal ini di negeri orang bukan
sebagai bagian asing dari negara tersebut meskipun negara itu dipimpin oleh
seorang yang nonmuslim. Metode hijrah internal adalah metode yang paling bagus
dengan sambil membangun social trust bahwa Islam tidak sebagaimana yang
dituduhkan oleh kaum mayoritas.
Faktor lain adalah dengan selalu melakukan
reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran klasik dan selanjutnya disesuaikan dengan
situasi sosial dan budaya yang ada sehingga hilang akan kesan bahwa Islam
adalah agama yang anti kemajuan, anti demokrasi, statis, dan sangar (adanya
hukum potong tangan). Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kesadaran bahwa
kaum minoritas adalah bagai tamu di negeri orang sehingga apabila ada keinginan
harus didialogkan dan dikomunikasikan dengan tuan rumah sehingga akan tercipta
keserasian. Mereka dapat melaksanakan tugasnya sebagai Muslim secara optimal
tanpa harus bertabrakan dengan pemerintah atau bahkan membentuk negara bagian
Muslim sendiri.
Nasib perempuan di Australia, baik pada
bidang pendidikan maupun profesi ternyata lebih baik apabila dibandingkan
dengan laki-laki, bahkan pada pos-pos tertentu yang selama ini diidentikkan
dengan profesi laki-laki seperti insinyur dan arsitek. Keberhasilan ini tentu
saja dipengaruhi oleh dua hal penting yaitu terbukanya wawasan di kalangan kaum
Muslim sendiri dan adanya jaminan pemerintah yang konsisten sebagai negara
demokrasi (Munjin, 2009: 140-157).
Di Western Sydney University (WSU) dan
Charles Sturt University (CSU), khususnya di lembaga yang berafiliasi dengannya
yang secara khusus untuk riset dan akademi Islam, yaitu Islam Science and Research
Academy Australia (ISRA). Di WSU terdapat program major untuk Islamic studies
pada tingkat diploma and bachelor. Di CSU-ISRA, terdapat program bachelor dan
postgraduate untuk studi Islam. Perkembangan studi Islam di perguruan tinggi di
Australia bukan saja dipengaruhi oleh konteks sejarah Islam di Australia dan
dinamikanya di dunia Islam pada umumnya, akan tetapi juga sebagai respon atas
tumbuhnya Islam dalam konteks yang lebih lokal dan spesifik seperti faktor
demografi Australia.
WSU dan CSU berada di Sydney yang
merupakan Kota Tua Australia, sebagaimana halnya Amsterdam di Belanda. Sebagai
Kota Tua, Sydney menjadi sentral aktivitas masyarakat Australia. Posisi yang
penting ini menjadikan Sydney menjadi salah satu kota tujuan pendatang, baik sebagai
imigran, pekerja maupun mahasiswa. Alhasil, Sydney merupakan salah satu kota
paling multikultural di Australia. Menurut data statistik tahun 2011, mayoritas
pendudukan Australia memeluk agama Kristen (62%: Roman Katolik 25%, Anglikan
17%, Sekte Kristen lainnya 18%), tidak beragama (22%), Budha (2,5%), Islam
(2.2%), Hindu (1.3%) dan Yahudi (0.5%) dari total penduduk yang berjumlah
sekitar 22.500.000 jiwa tahun 2011. Pada thaun 2016, penduduk Australia
berjumlah sekitar 23.900.000 akan tetapi belum tersedia data demografi agama.
Meski belum ada, kemungkinan besar peta
prosentase demografi agama Australia saat ini tidak jauh berbeda dari
tahun-tahun sebelumnya. Dari data itu, masyarakat Sydney, yang masuk negara
bagian New South Wales, adalah yang paling heterogen dari sisi etnis, budaya
dan agama. Data statistik yang terakses pada tahun 2006 menunjukkan bahwa
populasi umat Islam di wilayah Syndey cukup signifikan, yaitu 4.4%, sedangkan
mayoritasnya adalah Katolik (29%), disusul oleh Anglikan (16%), Kristen
Ortodoks (4.8%) dan diikuti minoritas lainnya, seperti Budha, Hindu dan Yahudi.
Data di atas mengungkap demografi Muslim di Syndey sebagai minoritas dengan
jumlah yang cukup signifikan dibanding dengan minoritas lainnya.
Di Sydney terdapat beberapa kantung
wilayah (enclave) Muslim dan beberapa masjid. Setidaknya ada belasan titik di
wilayah tersebut dimana umat Islam memiliki tempat ibadah baik ukuran
kecil/sedang (mushalla) maupun besar. Salah satu tempat ibadah umat Muslim di
sana adalah Masjid Gallipolli di Auburn, Sydney, yang didirikan oleh komunitas
Muslim Turki. Arsitek dan motif gambar atau kaligrafinya sangat dipengaruhi
oleh seni pahat dan bangunan Turki Usmani. Bendera Turki juga menjadi salah
satu ornament masjid, yang mampu menampung sekitar 3.000 jamaah. Selain warga
Turki, Muslim lain dari Timur Tengah, India, Pakistan, Afghanistan, Bangladesh,
Indonesia dan Rohingnya juga melaksanakan ibadah di tempat ini. Mayoritas
mereka adalah immigrant dan menjadi penduduk atau pendatang bukan penduduk yang
bekerja pada sektor non-kantoran. Mereka tinggal di sekitar Auburn, bagian
pinggiran barat Sydney. Penduduk Muslim kebanyakan tinggal di wilayahwilayah
pinggiran Barat Sydney ini, termasuk di Bankstown dan Lakemba. Di kampus WSU di
Bankstwon terlihat banyak sekali mahasiswa Muslim dan mahasiswi perempuan yang
berjilbab. Salah satu organisasi mahasiswa Muslim yang eksis adalah Muslim
Student Association (MSA). Di dalam kampus WSU, sebagaimana kampus-kampus di
Australia lainnya, terdapat mushalla.
Masjid Auburn, media-media Australia
sering sekali mempropagandakan Islam sebagai agama yang menaburkan kekerasan.
Tidak sedikit muncul stereotipe Muslim sebagai warga yang tidak ramah yang
dibentuk dan dicitrakan lewat media masa. Beberapa tahun belakangan ini,
terutama sekali semenjak paska peristiwa penyerangan World Trade Center/WTC di
Amerika pada tanggal 11 September 2001 silam, Bom Bali pertama tahun 2002 yang
banyak menelan korban warga negara Australia, Islam dan Muslim menjadi bahan
sorotan media massa dunia, tak terkecuali di Australia. Sayangnya sebagian umat
Islam sendiri tampaknya juga merespon peristiwa itu secara berlebihan sehingga
tanpa mereka sadari ikut menyuburkan peran media yang haus akan informasi dan
berita seputar masalah terorisme. Munculnya gerakan atau kelompok Islam garis
keras yang berafiliasi atau mendukung al-Qaeda atau ISIS, dan secara
terang-terangan mendukung aksi-aksi terror, telah menjadikan Islam dan
penganutnya sebagai fenomena politik global yang dianggap mengancam keamanan
dan demokrasi. Media coverage yang banyak mengenai Islam yang demikian sangat
berpengaruh terhadap pencitraan Islam baik dalam skala nasional Australia
maupun lokal di Sydney. Namun demikian, jika kita menengok everyday Muslim life
di Sydney, sesungguhnya banyak hal lain yang bisa diekspos yang menunjukkan
dinamika dan adaptasi mereka di Australia.
Selain ibadah, kegiatan sosial juga
acapkali digelar di masjid. Di sini terdapat layanan pendidikan dan kesehatan.
Ada bangunan di arena masjid untuk sekolah dasar. Arena olah raga (fitness)
yang sederhana juga menyatu dalam arena masjid. Secara regular ada program
pemeriksaan kesehatan secara gratis. Masjid dengan demikian berperan aktif
sebagai pusat kegiatan sosial-keagamaan yang membina para anggotanya menjadi
warga negara yang baik (good citizen). Kalau kita blusukan di daerah seputaran
masjid, terutama di Auburn Center, maka dengan mudah kita mendapatkan banyak
sekali restoran yang menyajikan makanan halal, baik rumah makan siap saji Kebab
Turki, restoran Lebanon yang nyampleng sampai restoran Thailand. Toko-toko
makanan atau restoran-restoran tersebut secara jelas menempelkan label halal.
Konsumen makanan halal bukan saja warga etnis Muslim, tapi banyak juga dari
kalangan warga kulit putih maupun lainnya. Pertumbuhan dan stabilitas ekonomi
di Sydney dengan demikian tidak bisa lepas dari peran umat Islam.
Di sisi lain, permintaan yang tinggi atas
semangat kerja dan pembagian jam kerja yang padat acapkali menimbulkan
persoalan. Belum lagi menyangkut keterbatasan sarana dan fasilitas yang
mengakomodir kepentingan ibadah umat Islam, seperti tempat wudhu dan shalat di
tempat kerja. Persoalan-persoalan normativitas fiqh dan aktualisasinya di
masyarakat urban “sekuler” berpengaruh besar terhadap tingkat keberagaman warga
Muslim. Misalnya, pada saat penulis membeli kaos di sebuah lapak, penjualnya
dengan enteng mengatakan dirinya sebagai Muslim. Dengan bahasa yang lugas dia
juga mengakui sebagai Muslim yang kurang baik karena kadang-kadang ia
melaksanakan shalat dengan tertib namun di lain waktu tidak mengingat beban dan
tuntutan kerja yang keras dan padat. Sebagaimana penulis argumentasikan di
bagian pendahuluan, kondisi lokal menyangkut pernikpernik kehidupan Muslim di
Syndney seperti inilah dan wacana global dunia tentang Islam berpengaruh kuat
terhadap studi Islam di Australia.
Salah satu pengaruh di atas bisa dilihat
di Charles Sturt University berlokasi di Sydney, yang kampusnya menyebar
beberapa kota lain di Australia. Pengaruh tersebut terrefleksikan dengan baik
sekali dalam silabus dan matakuliah yang ditawarkan, seperti yang akan
dijelaskan nanti. Program studi Islam di CSU bernama Centre for Islamic Studies
and Civilization (http://artsed.csu.edu.au/centres/cisac). Struktur studi Islam
dalam pusat-pusat studi atau centre semacam ini sangat lazim ditemui dibeberapa
perguruan tinggi di Barat yang tidak memiliki departemen, fakultas atau jurusan
khusus dalam studi Islam. Namun, karena minat kajian terhadap Islam dan budaya
Muslim dan signifikansinya meningkat, maka studi Islam menjadi salah satu
tawaran dan diakomodir dalam pusat-pusat studi, dan bukan dalam jurusan atau
departemen. Strukturisasi semacam ini tentu akan memberikan warna yang berbeda
ketika kajian itu terpusat dalam satu departemen atau jurusan. Karena, dalam
konteks Sydney, komunitas Muslim sangat kuat dan banyak, maka akomodasi dalam
pusat-pusat kajian (centre) kurang memadai. Di sinilah kemudian CSU menggandeng
lembaga keislaman untuk mendirikan program studi khusus tentang Islam. Dalam situsnya
dijelaskan bahwa Pusat Studi Islam dan Kebudayaan CSU bekerjasama dengan
Islamic Science and Research Academy Australia/ISRA yang berdiri pada tahun
2009. Berlatar belakang pada usaha dialog antar agama dan integrasi Muslim
dalam masyarakat Australia, ISRA kemudian tumbuh dan menjadi salah satu pusat
riset dan studi Islam ternama di Australia. Pada saat mengunjungi kantor ISRA
yang berada di wilayah Auburn, dekat dengan Masjid Gallipoli, penulis masuk ke
ruangan yang berada di lantai tiga di salah satu gedung di dekat pusat
aktivitas perekonomian di kota tersebut. Koleksi buku-buku di ruang utama dan
perpustakaan dipenuhi dengan buku-buku induk keislaman dan terjemahan karya
ulama klasik dalam bidang akidah, ibadah, fikih, akidah, sufi dan lain sebagainya.
Ada kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Ada pula buku Principle of
Islamic Jurisprudence karangan Hasyim Kamali dan lain sebagainya. Terlihat
beberapa mahasiswi yang sedang belajar di ruangan tersebut disamping staf yang
mayoritas perempuan.
Sementara di WSU, terutama di Kampusnya di
Bankstown, tidak ditemukan hal yang demikian. Meski boleh dibilang mahasiswa
Muslim cukup banyak, kajian Islam di kampus ini berbeda dengan di CSU. Pada
level diploma dan bachelor, WSU menawarkan program akademik studi Islam sebagai
juruan utama (major). Disamping itu, terdapat kelompok penelitian yang fokus
pada kajian agama dan masyarakat, yaitu Religion and Society Research Cluster,
dimana studi-studi dan riset yang lebih intensif dan mendalam tentang agama dan
budaya secara umum dalam leval sarjana, magister dan doktoral, diadakan dan
dibina lebih intens. Kelompok yang lebih kecil dalam kluster ini bertemakan
“Muslim in contemporary societies”. Sementara itu CSU menawarkan tiga level
strata pendidikan dalam program studi Islam, yaitu sarjana, magister dan
doktoral. Dalam situsnya, penjelasan yang sangat detail tersedia untuk program
sarjana dan masters.
Untuk melihat sedikit lebih jauh studi
Islam di dua perguruan tinggi tersebut, berikut akan ditampilkan dua data,
yaitu, pertama, sillabus atau matakuliah yang ditawarkan dan, kedua, koleksi
referensi perpustakaan yang terkait dengan Islam. Perbandingan Matakuliah
program S1 Studi Islam WSU credit details of Bachelor of Arts (major in Islamic
studies) CSU-ISRA Bachelor of Arts in Islamic Studies, dapat dilihat pada tabel
berikut.
Diambil dari situs WSU dan CSU-ISRA dan
diakses pada tanggal 25 September 2016.
Tabel matakuliah studi Islam di kedua
perguruan tinggi di atas menggambarkan orientasi studi keislaman di dalamnya
yang berbeda. Matakuliah tentang keislaman yang menjadi core subject di WSU
adalah pengantar studi al-Qur’an dan hadis. Aspek lain yang diberikan tentang
Islam adalah budaya dan sejarah modernnya. Artinya, pendekatan studi Islamnya
lebih seimbang antara aspek normatif dan sejarah-praktis-nya, atau mungkin
lebih menekankan aspek yang kedua karena ada matakuliah utama lainnya, seperti
ke-Australia-an dan kemasyarakatan. Sepertinya, konseptor silabus ingin
mahasiswa program studi Islam memeahami normativitas Islam dalam konteks
masyarakat setempat dan dalam kerangka nasionalisme. Sementara di CSU-ISRA,
matakuliah jurusan studi Islam didesian untuk menguasai hampir semua aspek dan
bidang core subject studi Islam, mulai pengantar tafsir, hadis, hukum Islam,
sejarah kenabian sampai usul fiqh. Hal ini dikarenakan di CSU-ISRA, studi Islam
menjadi jurusan tersendiri dan tujuan pembelajarannya bukan sekedar untuk
mendapatkan pengetahuan semata (kognitif), akan tetapi juga penguasaan dan
aplikasinya. Seperti dijelaskan dalam situsnya, kompetensi yang ingin dicapai
antara lain adalah pembangunan masyarakat Muslim dan sarjana yang menguasi
ilmu-ilmu keislaman. Oleh karena itu, matakuliah yang sama dengan level kajian
yang lebih mendalam diberikan pada program tingkat magister, dan, sepertinya
juga, doktoral.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kampus
CSU-ISRA juga berada di bagian kota Sydney yang paling heterogen dimana banyak
etnis keturunan Arab, Asia Selatan serta etnis lainnya yang Muslim berdiam.
Komunitas inilah sepertinya yang menjadi sasaran target menjadi mahasiswa di
CSU-ISRA. Problematika yang mereka hadapi terkait dengan pemahaman dan
penerapan Islam sebagai minoritas di Australia terakomodir dengan baik dalam
silabus dan kompetensi CSU-ISRA. Generasi awal Muslim yang tinggal di wilayah
ini adalah para immigrant yang telah telah banyak diantara mereka mengahsilkan
generasi baru. Karena alasan pendidikan yang kurang atau kesibukan, anak-anak
generasi baru ini tidak mendapatkan pendidikan agama yang cukup. Sementara
mereka tidak ingan identitas agama dan budayanya hilang begitu saja. Dengan
adanya program studi Islam di tingkat tinggi, yang menawarkan core ilmu-ilmu
keislaman merupakan jawaban atas krisis identitas dan akademik warga Muslim
Australia. Jelas sekali, oleh karena, studi Islam di lembaga ini merupakan
respon kondisi masyarakat Muslim di negara tersebut. Sementara itu, di WSU,
penulis tidak menemukan program studi Islam selain tingkat diploma dan bachelor
meskipun ada informasi lainnya mengenai studi Islam strata magister dari
National Centre of Excellence for Islamic Studies Australia (NCEIS) bahwa
program Masters of Art by research dalam studi Islam ditawarkan di WSU,
disamping di Universitas Melbourne dan Griffith.
Berikut adalah data koleksi perpustakaan
di WSU dan CSU. Metode pengumpulannya dengan cara yang sangat bisa dilakukan
oleh semua orang, yaitu masuk ke situs perpustakaan masing-masing dan kemudian
menuliskan kata kunci Islam dan yang relevan dengannya dalam kolom pencarian.
Hasil penelusuran tersebut adalah sebagai berikut:
Data diakses langsung dari situs
perpustakaan WSU dan CSU pada tanggal 26 September 2016.
Data kuantitatif di atas menunjukkan
dengan jelas bahwa bahwa SCU memiliki lebih banyak koleksi referensi terkait
Islam. Penulis tidak mengecek lebih lanjut masing-masing items tersebut. Namun
biasanya ketika dicari koleksi tertentu dengan memasukkan kata kuncinya, maka
akan keluar semua koleksi yang terkait dengannya, baik berupa buku, jurnal,
laporan, manuskrip dan lain sebagainya yang tersimpan di perpustakaan yang
bersangkutan.
Dari delapan kata kunci yang dicari,
hampir CSU memiliki referensi yang lebih banyak. Ini bisa terjadi, karena CSU
memiliki program studi Islam dalam semua tingkat atau jenjang pendidikan. Jika
sebuah universitas menyatakan membuka atau memiliki program studi tertentu,
maka salah satu hal mendasar yang wajib dipenuhi adalah dukungan referensial
yang kuat. Kualitas dunia dan lembaga pendidikan ilmiah salah satunya
ditentukan oleh seberapa banyak koleksi referensi yang dimilikinya, disamping
tentu saja ada faktor lain semisal reputasi dan keahlian staf pengajar, jumlah
mahasiswa, kelengkapan laboratorium, keunggulan riset dan jumlah publikasi
ilmiah. Meskipun hanya ada major dalam Islamic studies pada level diploma dan
bachelor, koleksi referensi WSU juga sangat banyak. Ini membuktikan bahwa,
dalam hal koleksi referensi terkait dengan satu agama yang tumbuh pesat seperti
Islam, mereka tidak akan kekeringan bahan bacaan dan informasi lain terkait
dengannya.
Secara keseluruhan, studi Islam atau
bahkan Islam di Indonesia sekalipun di pendidikan tinggi yang memiliki program
studi Islam ataupun tidak di Australua tidak akan mengalami kelangkaan
referensi. Bahkan, sangat mungkin jumlah koleksi yang mereka miliki jauh lebih
banyak disbanding yang rata-rata dimiliki oleh masing-masing perguruan tinggi
Islam di Indonesia. Kelebihan referensial inilah yang menjadi daya tarik
tersendiri studi Islam di Australia. Bahkan kalau kita tarik dalam konteks
studi Islam di Barat pada umumnya, maka di beberapa perpsutakaan di Eropa atau
Amerika memiliki koleksi-koleksi referensi, buku, manuskrip atau benda sejarah
yang tidak ditemukan di perpustakaan atau museum negara-negara Islam. Ini
menjadi poin tambahan tersendiri studi Islam di Barat. Secara lebih spesifik
kajian Islam di Australia lebih banyak dilakukan dalam disiplin social science
and humanities, antropology dan sociology dalam isu dan konteks kontemporer
keiIslaman. Sementara disiplin filsafat, sastra atau sejarah untuk kajian Islam
lebih dominan di Eropa dan Amerika.
Terlihat jelas bagaimana kajian Islam,
struktur dan desain pengkajian dan materi serta coursenya, di perguruan tinggi
di Australia dipengaruhi bukan saja oleh wacana gobal tentang Islam dan Muslim,
akan tetapi juga dibentuk sebagai respon atas kondisi, dinamika dan konteks
lokal Muslim di Australia salah satunya studi Islam di WSU dan CSU-ISRA (Nasir,
2016: Pengalaman Western Sydney University dan Charles Sturt University,
Bankstown, NSW, Australia).
4. Pusat-pusat
peradaban Islam di Australia
Sebelum kita kupas lebih lanjut mengenai
pusat peradaban Islam di Australia. Kita flashback sebentar mengenai benua
Australia. Australia adalah sebuah nama benua sekaligus negara yang terletak di
sebelah selatan Indonesia. Siapa sangka, selama ini, penjelajah Inggris James
Cook dianggap sebagai yang pertama kali menemukan Australia. Setelah dilakukan penelitian
dan pengkajian mutakhir di Benua Kanguru itu, ada fakta mengejutkan bahwa
ternyata pelaut Muslim-lah yang pertama kali menemukan benua itu.
Buku Muslim Melayu Penemu Australia yang
ditulis oleh DR Teuku Chalidin Yacob, seorang tokoh masyarakat Muslim dan
pendidikan Islam di Australia, mengungkap fakta tersebut. Dalam penelitiannya,
DR Chalidin mengungkap sejumlah bukti menarik di balik penelitiannya. Di antara
yang dibahas adalah waktu kedatangan Muslim Melayu di Australia, apa motif
kedatangannya, hingga kegiatan dan kisah sukses mereka serta bagaimana
mengatasi masalah yang dihadapinya. Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Mi'raj
News Agency (MINA) Foundation pada akhir 2016 lalu ini mendapat sambutan luar
biasa dari berbagai kalangan. Termasuk di dalamnya Dubes Indonesia untuk
Australia Nadjib Riphat Kosoema, hingga Presiden Dunia Melayu Dunia Islam
(DMDI) Tan Sri Haji Mohd Ali bin Mohd Rustam. Nadjib Riphat menyatakan,
interaksi aktif para pelopor dari Makassar (dalam beberapa literatur Australia
disebut Macassan) terjadi sekitar awal abad ke- 15, jauh sebelum kedatangan
bangsa pen jajah dari Eropa. Kenyataan ini menjadi menarik karena periode
itulah yang menjadi awal berkenalannya penduduk asli Australia dengan para
pelaut Mus lim dari Sulawesi yang membawa serta budaya dan tradisi mereka.
Pada abad ke-17, sejumlah petualang
Belanda mendarat di pantai utara dan barat benua Australia.Para petualang itu
kemudian menyebutnya dengan New Holland. Tetapi, mereka tidak menetap di situ,
hanya singga. Sementara itu, orang kulit putih pertama yang mendarat di wilayah
itu adalah Kapten James Cook yang mendarat di Pantai Timur (sekarang Sydney dan
New South Wales) dan mengklaim wilayah itu sebagai wilayah Inggris. Jauh
sebelum itu, orang-orang Aborigin (suku asli Australia berkulit hitam) sudah
diam dan tinggal di sana. Aborigin yang memang sudah menetap di sana sejak
beribu tahun lamanya sudah menyatakan bahwa wilayah itu adalah milik mereka
sendiri. Pada 1788, tepatnya setelah Kapten James Cook mendarat di Botany Bay
(sekarang Sydney), para pendatang yang merupakan narapidana Inggris membentuk
koloni yang kemudian disebut dengan New South Wales. Pada tahun itu juga
rombongan Inggris terus berdatangan untuk mencari tempat tinggal
baru.Australia, sedikit de mi sedikit, dikuasai oleh orang kulit pu tih,
khususnya dari kerajaan Inggris Raya.
Muslim Melayu Penemu Australia lahir dari
sebuah tesis yang ditulis pada 2009 lalu untuk memperoleh gelar doktor dari
University Malaya (UM) ini mengungkap sejumlah penemuan penting. Terdapat
beberapa bukti arkeologis yang menyebutkan bahwa orang-orang Muslim Melayu dari
Bugis Makassar sudah berada di sana. Keberadaan orang-orang Muslim Melayu di
sana dalam misi perdagangan internasional, mencari teripang (gamat)di Perairan
Utara Australia. Hasil buruannya itu kemudian dijual ke Cina Selatan, salah
satunya untuk bahan dasar obat-obatan dan makanan.
Sebagaimana pernyataan DR Steven Farram,
dosen sejarah North Australia dan ASEAN dari Charles Darwin Univer sity (CDU),
bahwa orang-orang Makassar tak semata-mata hanya mengambil Teripang, mereka
juga mengenalkan sejumlah barang-barang yang tergolong baru dikenal masyarakat
Aborigin. Sejarawan Australia dari Universitas Griffith, Brisbane, Prof Regina
Ganter menulis dalam bukunya Mixed Relationa: Asian-Aborginal Contact in North
Autraliamenyatakan bahwa kedatangan Muslim Melayu di Australia sejak 1650.
Mereka membangun industri pengolahan Teripang di wilayah utara Australia
(Sasongko, 2017: REPUBLIKA.CO.ID)
Selain kekayaan alamnya Australai ternyata
juga menyimpan harta yang tak kalah penting yaitu beberapara pusat peradaban
Islam. Di benua Kanguru atau yang biasa dipanggil benua Australia diantara ada
pusat-pusat peradaban Islam di Australia, yaitu:
1) Masjid
Masjid
pertama di Australia didirikan di Marree di sebelah utara Australia Selatan
pada 1861. Masjid besar pertama dibangun di Adelaide pada 1890, dan satu lagi
didirikan di Broken Hill (New South Wales) pada 1891. Masjid Marree, masjid
pertama di Australia (sumber: travel.detik.com)
Pada
abad 20 M perkembangan masjid-masjid di Australia cukup menggembirakan, karena
dibuat oleh arsitek Australia sendiri, seperti Brisbone tahun 1907 didirikan
mesjid yang indah oleh arsitek sharif Abosi dan Ismeth Abidin. Tahun 1967 di
Quesland didirikan masjid lengkap dengan Islamic Center dibawah pimpinan Fethi
Seit Mecca. Tahun 1970 di Mareeba diresmikan masjidyang mampu menampung 300
jamaah denganimam Haji Abdul Lathif. Di kota Sarrey Hill dibangun Masjid Raya
Faisal bantuan Saudi Arabia. Di Sidney dibangun masjid dengan biaya 900.000
dollas AS.
2)
Pendidikan
Di
Brisbone didirikan “Quesland islamic society”. Pelajarnya bukan hanya dari
Autraslia tetapi juga Indonesia, Turki, Pakistan, Afrika, Lebanon, India. Dan didirikan
pula sekolah yang melahirkan guru-guru muda di Goulbourn. Pendidikan Islam di
Australia diselenggarakan dengan tujuan agar dapat melestarikan pertumbuhan
kehidupan agama Islam. Oleh karena itu, di Brisbane didirikan Queesland Islamic
Society yang bertujuan menyadarkan anak-anak Muslim untuk melakukan shalat dan
hubungan baik sesama manusia. Mereka selama 5-15 tahun menerima pelajaran al-
Qur’an dan tata kehidupan secara Islam. Pelajar terdiri atas anak-anak dari
Indonesia, India, Pakistan, Turki, Afrika, Libanon, dan Australia. (sumber:
www.iscq.com.au)
Sekolah
Islam di Australia (sumber: BSE Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013, hal
178)
3)
Organisasi Islam
Australian
Federation of Islamic Councils (AFIC), himpunan dewan-dewan yang berpusat di
sydney. Federation of Islamic Societies, himpunan masyarakat muslim terdiri
dari 35 organisasi masyarakat muslim lokal dan 9 dewan islam negara-negara
bagian. Moslem Student Asociation, himpunan mahasiswa muslim yang menerbitkan
majalah “Al-Manaar”. Moslem Women Center, yang bertujuan memberikan pelajaran
keislaman dan bahasa inggris bagi masyarakat muslim yang baru datang ke
Australia.
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar