Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 21 Juli 2019

PERKEMBANGAN ISLAM DI BENUA AUSTRALIA



Perkembangan Islam di Australia

1.      Sejarah masuknya Islam di Australia

Islam memang bukan merupakan agama mayoritas di Australia. Jumlah total umat Islam hanya 500 ribu atau sekitar 3% dari jumlah penduduk total sebanyak 24 juta. Meskipun demikian, Islam telah menjadi bagian dari kehidupan warga Australia. Islam juga menjadi bagian sejarah dari negara berpenduduk asli bangsa Aborigin itu. Di Islamic Museum Australia, yang berada di Anderson Road, Thornbury, Victoria, dijelaskan detail tentang sejarah masuknya Islam di Australia. Ternyata, Islam pertama kali dibawa oleh para pelaut dari Makassar ke Australia.

"Pelaut-pelaut Makassar adalah yang pertama kali melakukan kontak dengan bangsa asli Australia yaitu Aborigin. Mereka mendarat di Australia bagian utara sekitar tahun 1700an. Kala itu mereka datang dengan sangat sopan dan meminta izin kepada penduduk asli," kata Education Director Islamic Museum Australia, Sherene Hassan saat ditemui detikcom bersama dua media lain yang difasilitasi Australia Plus ABC International pada Juni 2016. Para pelaut dari Makassar itu datang untuk mencari teripang di pantai utara Australia, salah satunya di daerah Arnhemland. Mereka datang pada bulan Desember dan menetap beberapa lama di Australia untuk membeli teripang dari penduduk asli. Interaksi antara pelaut Makassar dan para warga abrigin pun tak bisa dihindarkan.

Setelah itu, pengaruh Islam juga datang ke Australia dengan dibawa oleh para penunggang unta yang datang dari Pakistan dan Afghanistan sekitar tahun 1870-1920. Para penunggang unta yang berjumlah lebih dari 2.000 orang itu datang untuk bekerja di proyek pembangunan jalur kereta yang tengah dikerjakan pemerintah Inggris. Kala itu unta dianggap sebagai hewan yang sangat berguna untuk dijadikan alat angkut material. Para penunggang onta yang dalam sejarah Australia disebut dengan kata “Camellers” berada cukup lama di daratan Australia. Sehingga, sedikit banyak mereka juga membawa pengaruh spiritual. Bahkan, masjid pertama di Australia didirikan pada masa itu.

Setelah itu, masuk ke tahun 1900an, Australia mulai didatangi buruh migran dari berbagai negara di timur tengah dan Afrika. Para imigran itu kebanyakan berasal dari Turki, Albania, Bosnia, Libanon dan beberapa negara lain di Afrika. Jumlah imigran yang terus bertambah seiring berjalannya waktu membawa pengaruh Islam di Australia. Hingga, Islam terus berkembang di negeri kanguru tersebut. Hingga saat ini, Islam merupakan agama yang perkembangannya cukup pesat di Australia. Jumlah pemeluk agama Islam terus bertambah dan jumlah masjid dan sekolah Islam pun terus meningkat. Sejak dua tahun lalu, Islamic Museum Australia resmi dibuka. Tujuan awal didirikan museum itu adalah untuk mengenalkan wajah Islam seutuhnya kepada warga Australia.

Video: https://www.youtube.com/watch?v=Ae_BXpBwq10 

Islamic Museum Australia berada di Anderson Road, Thornbury, Victoria. Untuk menuju ke museum, hanya memerlukan waktu 30 menit berkendara dari pusat Kota Melbourne, atau bisa juga dengan menaiki trem, moda transportasi andalan Kota Melbourne. Bangunan museum berdiri megah di lahan seluas sekitar 3.000 meter persegi. Islamic Museum dibangun pada tahun 2010 dan selesai pada 2014. Sejak dibuka pada 2014, sudah lebih dari 20 ribu orang mengunjungi museum tersebut.  

"Museum ini didirikan enam tahun lalu dan sudah dibuka selama 2 tahun. Sudah lebih dari 20 ribu orang yang mendatangi museum ini dan sebagian besar di antaranya adalah non muslim”. Sherene menjelaskan, ide awal didirikannya museum adalah untuk memberikan gambaran utuh tentang Islam kepada masyarakat. Pasalnya, selama ini masyarakat Australia banyak disajikan berbagai informasi miring tentang Islam dari berbagai media, terutama seringnya menghubungkan tindakan ektremisme dan terorisme dengan Islam. Padahal secara jelas tindakan-tindakan tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan Islam. "Bagi orang-orang yang memiliki pandangan negatif tentang Islam, kami harap mereka datang ke museum ini dan buktikan apakah pandangan negatif tentang Islam itu benar atau tidak”..

Museum Islam pertama di Australia itu benar-benar mengenalkan Islam seutuhnya bagi warga. Saat masuk ke museum, pada bagian pertama adalah pengenalan tentang Islam, mulai dari sejarah Islam hingga pengertian dan rukun Islam serta beberapa petikan ayat Alquran. Masuk ke bagian kedua, museum menyajikan andil Islam terhadap peradaban manusia. Beberapa penemuan ilmiah dari tokohtokoh Islam yang mengubah dunia dipamerkan. Beberapa temuan seperti sistem hitung Aljabar, permainan catur, alat untuk terbang dan berbagai penemuan lain membuka mata warga Australia bahwa Islam telah turut ambil bagian dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan. Setelah itu, para pengunjung juga bisa melihat hasil-hasil karya seni Islami. Bagian ketiga di museum ini ingin memberikan pengertian bahwa Islam tidak pernah membatasi umatnya untuk berkreasi dan Islam mengajarkan umatnya untuk mencintai keindahan.

Pada bagian keempat, dipamerkan karya-karya arsitektur Islam. Bangunan masjid-masjid megah dari berbagai penjuru dunia di tampilkan. Pada bagian ini, juga diperdengarkan alunan suara azan, sehingga para pengunjung bisa mendengarkan syahdunya suara azan. Untuk diketahui, di Australia masjid tidak diperbolehkan mengumandangkan suara azan melalui speaker di luar. Kemudian salah satu bagian yang paling menarik dari museum ini adalah sejarah Islam di Australia. Islamic Museum Australia menyajikan data valid terkait sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Australia. Seorang pengunjung museum dari negara bagian Tazmania, Paula Woodward mengaku sengaja mendatangi museum karena mendapatkan informasi dari tayangan televisi. Dia mengaku mendapatkan banyak pengetahuan tentang Islam yang sangat berbeda dengan yang didapatkan dari pemberitaan media (Khabibi, 2018: detik.com)

Di atas sudah disampaikan bahwa muslim di Australia memiliki sejarah yang panjang dan bervariasi yang diperkirakan sudah hadir sebelum pemukiman Eropa. Beberapa pengunjung awal Australia adalah Muslim dari Indonesia timur. Mereka membangun hubungan dengan daratan Australia sejak abad ke 16 dan 17. Nelayan dan pedagang Makassar tiba di pesisir utara Australia Barat, Australia Utara dan Queensland. Para pelaut dari Makassar dan Bugis mengunjungi pantai utara Australia setiap tahun setidaknya sejak tahun 1720-an sampai 1906 untuk mencari ikan teripang. Mereka berdagang dengan penduduk asli dan memperdagangkan ikan teripang itu dengan pedagang Cina. 

Bukti-bukti dari pengunjung awal ini dapat ditemukan pada kesamaan beberapa kata bahasa Melayu, Bugis, dan Makassar dalam bahasa orang Aborijin di Australia Utara. Misalnya, kata-kata berikut dijumpai dalam bahasa Enindiljaugwa, yang digunakan oleh orang Wanindiljaugwa dari Groote Elyandt, di Teluk Carpentaria.   
 
Sejumlah peninggalan dan lukisan cadas yang menggambarkan perahu tradisional Makassar yang baru-baru ini ditemukan di Australia utara membuktikan bahwa Suku Aborigin yang merupakan penduduk asli benua Australia dimungkinkan sudah melakukan interaksi begitu lama dengan para pelayar Bugis atau Makassar dari Makassar. Perkawinan antara Penduduk Asli dan orang Makassar diyakini pernah terjadi, dan lokasi pemakaman orang Makassar telah ditemukan sepanjang garis pantai.

Lukisan Goa Aborigin (sumber: goodnewsfromindonesia.id) Suku Aborigin bahkan kemungkinan pernah berlayar ke Makassar untuk melihat kebesaran Kerajaan Makasar yang ada pada waktu itu. Ini dapat dilihat dari lukisan monyet di atas pohon yang hanya dapat dilihat di Pulau Sulawesi. Gambar rumah-rumah adat Makassar dan perahu phinisi juga tampak di antara ribuan lukisan cadas di dinding gua dan batuan yang tersebar di kawasan adat Aborigin, Arnhem Land. Lukisan lain menggambarkan tentara-tentara perang dunia II, satwa yang kini telah punah, termasuk barang-barang modern seperti sepeda, pesawat, dan mobil. Lukisan-lukisan tersebut berusia antara 15.000 tahun hingga 50 tahun.  Suku Aborigin memperlihatkan gambar Perahu Suku Makassar  (sumber: goodnewsfromindonesia.id) 
Suku Aborigin kental dengan budaya lisan. Namun, mereka suka menggambar di batuan cadas sebagai gambaran kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dilakukan turun-temurun dan tekniknya terus berubah dari generasi ke generasi. Pada beberapa situs, lukisan sampai 17 lapisan. Saat ini, hanya orangorang tua yang memiliki hak menggambar di cadas. 

Beberapa bukti tersebut mematahkan sejarah nasional Australia yang menyatakan bahwa Suku Aborigin umumnya terisolasi dengan kebudayaan luar sebelum pendatang kulit putih mendiami benua tersebut. Namun, penduduk asli di utara ternyata telah berhubungan dengan orang Makassar. Mungkin ratusan tahun lebih dulu daripada orang-orang Eropa yang datang ke sana tahun 1700-an.

Sebuah penelitian sejarah di Australia baru-baru ini memaksa Negeri Kanguru mengubah pelajaran sejarah mereka. Penelitian yang dilakukan dosen sejarah University of Griffith, Brisbane, Australia, Prof Regina Ganter, membuktikan agama Islam masuk ke Australia sejak 1650-an dan bukan 1850-an, yang merupakan versi resmi pemerintah Australia. Hebatnya lagi, Islam diperkenalkan pelautpelaut Makassar yang memang menjalin hubungan dengan suku asli Australia, Aborigin. Studi itu tentu saja mengubah banyak hal, termasuk klaim penyelam asal Malaysia yang membawa Islam ke negara yang berpenduduk 21 juta jiwa itu pada 1875.

Pada 1760, seorang peneliti bernama Alexander Dalrymple memberikan informasi, orang Bugis menggambarkan Australia sebagai penghasil emas. Mereka beragama Islam dan gemar berdagang. Menurut Dalrymple, keislaman mereka didasarkan tradisi pengkhitanan, yang akhirnya menjadi kebiasaan sejumlah penduduk di kawasan Australia Utara. Meski tidak tercatat apakah nelayan Muslim Makassar juga menyebarkan Islam. Namun dipastikan, Australia mengenal Islam pertama kali dari pelaut-pelaut Makassar tadi. Pada akhir dasawarsa 1700an, Migran Muslim dari pesisir Afrika dan wilayah pulau di bawah Kerajaan Inggris datang ke Australia sebagai pelaut dan narapidana dalam armada pertama pendatang Eropa. Populasi Muslim semi permanen pertama dalam jumlah yang signifikan terbentuk dengan kedatangan penunggang unta pada dasawarsa 1800an. Datang dari anakbenua India, Muslim ini sangat vital bagi penjelajahan awal pedalaman Australia dan pembentukan layanan perhubungan. Salah satu proyek besar yang melibatkan penunggang unta Afganistan adalah pembangunan jaringan rel kereta api antara Port Augusta dan Alice Springs, yang kemudian dikenal sebagai Ghan. Jalur kereta api dilanjutkan hingga ke Darwin pada 2004. Para penunggang unta ini juga memegang peran penting dalam pembangunan jalur telegrafi darat antara Adelaide dan Darwin pada 1870-1872, yang akhirnya menghubungkan Australia dengan London lewat India.  

Lukisan batu bergambar monyet, hewan yang tak ada di Australia dan perahu Pinisi (sumber: goodnewsfromindonesia.id) Melalui karya awal ini, sejumlah kota ‘Ghan’ berdiri di sepanjang jalur kereta api. Banyak dari kota-kota ini yang memiliki sedikitnya satu masjid, biasanya dibangun dari besi bergelombang dengan menara kecil. Namun, kehadiran kendaraan bermotor dan transportasi lori bermesin menandai akhir era penunggang unta. Sementara sebagian dari mereka pulang ke negara asalnya, yang lainnya bermukim di daerah dekat Alice Springs dan daerah lain di Australia Utara. Banyak yang menikah dengan penduduk Asli setempat. Keturunan penunggang unta Afganistan sejak itu berperan aktif dalam berbagai komunitas Muslim di Australia. Sejumlah kecil Muslim juga direkrut dari koloni Belanda dan Inggris di Asia Tenggara untuk bekerja di industri mutiara Australia pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. 

Jumlah umat Islam Australia modern meningkat dengan cepat setelah Perang Dunia Kedua. Pada 1947 - 1971, jumlah warga Muslim meningkat dari 2.704 menjadi 22.331. Hal ini terjadi terutama karena ledakan ekonomi pasca perang, yang membuka lapangan kerja baru. Banyak Muslim Eropa, terutama dari Turki, memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari kehidupan dan rumah baru di Australia. Pada Sensus 2006, tercatat 23.126 Muslim kelahiran Turki di Australia. Migran Muslim Bosnia dan Kosovo yang tiba di Australia pada dasawarsa 1960an memberi sumbangsih penting terhadap Australia modern melalui peran mereka dalam pembangunan Skema PLTA Snowy Mountains di New South Wales. Migran Libanon, banyak dari antara mereka adalah Muslim, juga mulai berdatangan dalam jumlah yang lebih besar setelah pecah perang saudara di Libanon pada 1975. Menurut Sensus 2006, tercatat 7.542 Muslim Australia kelahiran Bosnia dan Herzegovina dan 30.287 kelahiran Libanon. 

Muslim Australia sangat majemuk. Pada Sensus 2006, tercatat lebih dari 340.000 Muslim di Australia, di mana dari jumlah tersebut sebanyak 128.904 lahir di Australia dan sisanya lahir di luar negeri. Selain migran dari Libanon dan Turki, negara asal Muslim lainnya adalah: Afganistan (15.965), Pakistan (13.821), Banglades (13.361), Irak (10.039), dan Indonesia (8.656). Dalam tiga dasawarsa terakhir, banyak Muslim bermigrasi ke Australia melalui program pengungsi atau kemanusiaan, dan dari negara-negara Afrika seperti Somalia dan Sudan. Masyarakat Muslim Australia saat ini sebagian besar terkonsentrasi di Sydney dan Melbourne. Sejak dasawarsa 1970an, masyarakat Muslim telah membangun banyak masjid dan sekolah Islam dan memberi sumbangsih yang dinamis terhadap rajutan multi-budaya masyarakat Australia. 

2.      Strategi dakwah dan perkembangan Islam di Australia 

Islam telah menjadi bagian dari kehidupan warga Australia. Islam juga menjadi bagian sejarah dari negara berpenduduk asli bangsa Aborigin itu. Di Islamic Museum Australia, yang berada di Anderson Road, Thornbury, Victoria, dijelaskan detail tentang sejarah masuknya Islam di Australia. Ternyata, Islam pertama kali dibawa oleh para pelaut dari Makassar ke Australia. "Pelaut-pelaut Makassar adalah yang pertama kali melakukan kontak dengan bangsa asli Australia yaitu Aborigin. Mereka mendarat di Australia bagian utara sekitar tahun 1700an. Kala itu mereka datang dengan sangat sopan dan meminta izin kepada penduduk asli," kata Education Director Islamic Museum Australia, Sherene Hassan saat ditemui detikcom bersama dua media lain yang difasilitasi Australia Plus ABC International pada Juni 2016.

Catatan sejarah Islam di Islamic Museum Australia di Melbourne, Victoria (Foto: Ikhwanul Khabibi/detikcom) 

Para pelaut dari Makassar itu datang untuk mencari teripang di pantai utara Australia, salah satunya di daerah Arnhemland. Mereka datang pada bulan Desember dan menetap beberapa lama di Australia untuk membeli teripang dari penduduk asli. Interaksi antara pelaut Makassar dan para warga abrigin pun tak bisa dihindarkan. "Sebagian besar pelaut dari Makassar beragama Islam dan karena mereka berinteraksi dengan suku asli, sehingga secara spiritual suku Aborigin di sebelah utara Australia terpengaruh agama Islam yang dipeluk para pelaut," jelas Sherene. Setelah itu, pengaruh Islam juga datang ke Australia dengan dibawa oleh para penunggang unta yang datang dari Pakistan dan Afghanistan sekitar tahun 1870-1920. Para penunggang unta yang berjumlah lebih dari 2.000 orang itu datang untuk bekerja di proyek pembangunan jalur kereta yang tengah dikerjakan pemerintah Inggris. Kala itu unta dianggap sebagai hewan yang sangat berguna untuk dijadikan alat angkut material.

Islamic Museum Australia di Melbourne, Victoria (Foto: Ikhwanul Khabibi/detikcom) 

Para penunggang onta yang dalam sejarah Australia disebut dengan kata 'Camellers' berada cukup lama di daratan Australia. Sehingga, sedikit banyak mereka juga membawa pengaruh spiritual. Bahkan, masjid pertama di Australia didirikan pada masa itu. Setelah itu, masuk ke tahun 1900an, Australia mulai didatangi buruh migran dari berbagai negara di timur tengah dan Afrika. Para imigran itu kebanyakan berasal dari Turki, Albania, Bosnia, Libanon dan beberapa negara lain di Afrika. Jumlah imigran yang terus bertambah seiring berjalannya waktu membawa pengaruh Islam di Australia. Hingga, Islam terus berkembang di negeri kanguru tersebut. Hingga saat ini, Islam merupakan agama yang perkembangannya cukup pesat di Australia. Jumlah pemeluk agama Islam terus bertambah dan jumlah masjid dan sekolah Islam pun terus meningkat (Khabibi, 2016: Detik.com)  Islamic Museum Australia di Melbourne, Victoria (Foto: Ikhwanul Khabibi/detikcom)

3.      Tokoh-tokoh ilmu pengetahuan Islam di Australia

Australia merupakan benua terkecil dibandingkan benua yang lainnya. Islam pun juga memenuhi beberapa persen dari total populasi benua tersebut. Islam memiliki sejarah yang panjang di Australia. Sejarah ini merentang tidak hanya ke beberapa Muslim yang tiba sebagai bagian dari kontak pertama Eropa dan masa kolonial, tapi juga ke masa sebelumnya dan kemunculan awal Kristen sebagai agama non-pribumi yang dominan jumlah penganutnya.

Munculnya gerakan ISIS yang diklaim sebagai respon atas gerakan Arab di Syria pada tahun 2011, menyebabkan Muslim terkadang dipotret sebagai individu yang berbahaya bagi dunia barat dan khususnya dalam kehidupan di Australia. Media lebih banyak menggambarkan Muslim sebagai sosok berjanggut yang lebih banyak berdiam diri di masjid, yang menyebabkan dakwah untuk bisa mengenal Islam menjadi lebih berat. Atas dasar itulah, menampilkan sosok sebagai seorang Muslim, terlebih menyampaikan ajaran Islam menjadi tantangan tersendiri. Berdasarkan laporan tahunan ICV 2013-2014 di Australia, gejala Islamophobia makin marak. Hal ini muncul dalam beberapa cara, diantaranya; (1) Kampanye menolak Masjid dan Islamic Center karena alasan rasis, kebohongan publik dan juga kesalahpahaman informasi lainnya. (2) Usulan dari beberapa politisi untuk menolak niqab. (3) Kampanye sertifikat anti halal, dengan asumsi bahwa halal sertifikat hanya akan mendukung terorisme.

Dari beberapa laporan di atas maka bisa dikatakan Islam di Australia belum mencapai kejayaannya dan masih dianggap masih pada tahap berkembang adalah :
                       a.          Penduduk yang menganut  Islam baru 1.71 persen dari jumlah warga Negara Australia
                       b.          Latarbelakang etnis yang berasal dari berbagai Negara memerlukan waktu untuk mempersatukannya
                       c.          Belum adanya tokoh-tokoh Islam yang muncul di Australia baik tokoh politik, tokoh ekonomi, tokoh ilmuwan maupun ketokohan nasional dalam keagamaan.
                       d.          Belum banyaknya lembaga pendidikan Islam yang representatif dan berkualitas.
                       e.          Masih adanya stigma Islam sebagai biangya kekerasan dari masyarkat dan pemerintahan Australia apalagi setelah munculnya peristiwa Bom London,Persitiwa 11 September di kota New York Amerika Serikat dan Bom
                        f.          Dalam penguasaan Ilmu pengetahuan dan Teknologi dari kaum Muslimin di Australia belum merata dan mumpuni,masih tertinggal oleh kaum kulit putih keturunan Eropa (Pratio, 2011)
Salah satu kunci keberhasilan mengapa kaum Muslim minoritas di suatu Negara khususnya benua Australia, adalah dapat bekerjasama secara optimal dengan kaum mayoritas. Hal ini di negeri orang bukan sebagai bagian asing dari negara tersebut meskipun negara itu dipimpin oleh seorang yang nonmuslim. Metode hijrah internal adalah metode yang paling bagus dengan sambil membangun social trust bahwa Islam tidak sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum mayoritas.

Faktor lain adalah dengan selalu melakukan reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran klasik dan selanjutnya disesuaikan dengan situasi sosial dan budaya yang ada sehingga hilang akan kesan bahwa Islam adalah agama yang anti kemajuan, anti demokrasi, statis, dan sangar (adanya hukum potong tangan). Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kesadaran bahwa kaum minoritas adalah bagai tamu di negeri orang sehingga apabila ada keinginan harus didialogkan dan dikomunikasikan dengan tuan rumah sehingga akan tercipta keserasian. Mereka dapat melaksanakan tugasnya sebagai Muslim secara optimal tanpa harus bertabrakan dengan pemerintah atau bahkan membentuk negara bagian Muslim sendiri.

Nasib perempuan di Australia, baik pada bidang pendidikan maupun profesi ternyata lebih baik apabila dibandingkan dengan laki-laki, bahkan pada pos-pos tertentu yang selama ini diidentikkan dengan profesi laki-laki seperti insinyur dan arsitek. Keberhasilan ini tentu saja dipengaruhi oleh dua hal penting yaitu terbukanya wawasan di kalangan kaum Muslim sendiri dan adanya jaminan pemerintah yang konsisten sebagai negara demokrasi (Munjin, 2009: 140-157).

Di Western Sydney University (WSU) dan Charles Sturt University (CSU), khususnya di lembaga yang berafiliasi dengannya yang secara khusus untuk riset dan akademi Islam, yaitu Islam Science and Research Academy Australia (ISRA). Di WSU terdapat program major untuk Islamic studies pada tingkat diploma and bachelor. Di CSU-ISRA, terdapat program bachelor dan postgraduate untuk studi Islam. Perkembangan studi Islam di perguruan tinggi di Australia bukan saja dipengaruhi oleh konteks sejarah Islam di Australia dan dinamikanya di dunia Islam pada umumnya, akan tetapi juga sebagai respon atas tumbuhnya Islam dalam konteks yang lebih lokal dan spesifik seperti faktor demografi Australia.

WSU dan CSU berada di Sydney yang merupakan Kota Tua Australia, sebagaimana halnya Amsterdam di Belanda. Sebagai Kota Tua, Sydney menjadi sentral aktivitas masyarakat Australia. Posisi yang penting ini menjadikan Sydney menjadi salah satu kota tujuan pendatang, baik sebagai imigran, pekerja maupun mahasiswa. Alhasil, Sydney merupakan salah satu kota paling multikultural di Australia. Menurut data statistik tahun 2011, mayoritas pendudukan Australia memeluk agama Kristen (62%: Roman Katolik 25%, Anglikan 17%, Sekte Kristen lainnya 18%), tidak beragama (22%), Budha (2,5%), Islam (2.2%), Hindu (1.3%) dan Yahudi (0.5%) dari total penduduk yang berjumlah sekitar 22.500.000 jiwa tahun 2011. Pada thaun 2016, penduduk Australia berjumlah sekitar 23.900.000 akan tetapi belum tersedia data demografi agama.

Meski belum ada, kemungkinan besar peta prosentase demografi agama Australia saat ini tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dari data itu, masyarakat Sydney, yang masuk negara bagian New South Wales, adalah yang paling heterogen dari sisi etnis, budaya dan agama. Data statistik yang terakses pada tahun 2006 menunjukkan bahwa populasi umat Islam di wilayah Syndey cukup signifikan, yaitu 4.4%, sedangkan mayoritasnya adalah Katolik (29%), disusul oleh Anglikan (16%), Kristen Ortodoks (4.8%) dan diikuti minoritas lainnya, seperti Budha, Hindu dan Yahudi. Data di atas mengungkap demografi Muslim di Syndey sebagai minoritas dengan jumlah yang cukup signifikan dibanding dengan minoritas lainnya. 

Di Sydney terdapat beberapa kantung wilayah (enclave) Muslim dan beberapa masjid. Setidaknya ada belasan titik di wilayah tersebut dimana umat Islam memiliki tempat ibadah baik ukuran kecil/sedang (mushalla) maupun besar. Salah satu tempat ibadah umat Muslim di sana adalah Masjid Gallipolli di Auburn, Sydney, yang didirikan oleh komunitas Muslim Turki. Arsitek dan motif gambar atau kaligrafinya sangat dipengaruhi oleh seni pahat dan bangunan Turki Usmani. Bendera Turki juga menjadi salah satu ornament masjid, yang mampu menampung sekitar 3.000 jamaah. Selain warga Turki, Muslim lain dari Timur Tengah, India, Pakistan, Afghanistan, Bangladesh, Indonesia dan Rohingnya juga melaksanakan ibadah di tempat ini. Mayoritas mereka adalah immigrant dan menjadi penduduk atau pendatang bukan penduduk yang bekerja pada sektor non-kantoran. Mereka tinggal di sekitar Auburn, bagian pinggiran barat Sydney. Penduduk Muslim kebanyakan tinggal di wilayahwilayah pinggiran Barat Sydney ini, termasuk di Bankstown dan Lakemba. Di kampus WSU di Bankstwon terlihat banyak sekali mahasiswa Muslim dan mahasiswi perempuan yang berjilbab. Salah satu organisasi mahasiswa Muslim yang eksis adalah Muslim Student Association (MSA). Di dalam kampus WSU, sebagaimana kampus-kampus di Australia lainnya, terdapat mushalla.

Masjid Auburn, media-media Australia sering sekali mempropagandakan Islam sebagai agama yang menaburkan kekerasan. Tidak sedikit muncul stereotipe Muslim sebagai warga yang tidak ramah yang dibentuk dan dicitrakan lewat media masa. Beberapa tahun belakangan ini, terutama sekali semenjak paska peristiwa penyerangan World Trade Center/WTC di Amerika pada tanggal 11 September 2001 silam, Bom Bali pertama tahun 2002 yang banyak menelan korban warga negara Australia, Islam dan Muslim menjadi bahan sorotan media massa dunia, tak terkecuali di Australia. Sayangnya sebagian umat Islam sendiri tampaknya juga merespon peristiwa itu secara berlebihan sehingga tanpa mereka sadari ikut menyuburkan peran media yang haus akan informasi dan berita seputar masalah terorisme. Munculnya gerakan atau kelompok Islam garis keras yang berafiliasi atau mendukung al-Qaeda atau ISIS, dan secara terang-terangan mendukung aksi-aksi terror, telah menjadikan Islam dan penganutnya sebagai fenomena politik global yang dianggap mengancam keamanan dan demokrasi. Media coverage yang banyak mengenai Islam yang demikian sangat berpengaruh terhadap pencitraan Islam baik dalam skala nasional Australia maupun lokal di Sydney. Namun demikian, jika kita menengok everyday Muslim life di Sydney, sesungguhnya banyak hal lain yang bisa diekspos yang menunjukkan dinamika dan adaptasi mereka di Australia.

Selain ibadah, kegiatan sosial juga acapkali digelar di masjid. Di sini terdapat layanan pendidikan dan kesehatan. Ada bangunan di arena masjid untuk sekolah dasar. Arena olah raga (fitness) yang sederhana juga menyatu dalam arena masjid. Secara regular ada program pemeriksaan kesehatan secara gratis. Masjid dengan demikian berperan aktif sebagai pusat kegiatan sosial-keagamaan yang membina para anggotanya menjadi warga negara yang baik (good citizen). Kalau kita blusukan di daerah seputaran masjid, terutama di Auburn Center, maka dengan mudah kita mendapatkan banyak sekali restoran yang menyajikan makanan halal, baik rumah makan siap saji Kebab Turki, restoran Lebanon yang nyampleng sampai restoran Thailand. Toko-toko makanan atau restoran-restoran tersebut secara jelas menempelkan label halal. Konsumen makanan halal bukan saja warga etnis Muslim, tapi banyak juga dari kalangan warga kulit putih maupun lainnya. Pertumbuhan dan stabilitas ekonomi di Sydney dengan demikian tidak bisa lepas dari peran umat Islam.

Di sisi lain, permintaan yang tinggi atas semangat kerja dan pembagian jam kerja yang padat acapkali menimbulkan persoalan. Belum lagi menyangkut keterbatasan sarana dan fasilitas yang mengakomodir kepentingan ibadah umat Islam, seperti tempat wudhu dan shalat di tempat kerja. Persoalan-persoalan normativitas fiqh dan aktualisasinya di masyarakat urban “sekuler” berpengaruh besar terhadap tingkat keberagaman warga Muslim. Misalnya, pada saat penulis membeli kaos di sebuah lapak, penjualnya dengan enteng mengatakan dirinya sebagai Muslim. Dengan bahasa yang lugas dia juga mengakui sebagai Muslim yang kurang baik karena kadang-kadang ia melaksanakan shalat dengan tertib namun di lain waktu tidak mengingat beban dan tuntutan kerja yang keras dan padat. Sebagaimana penulis argumentasikan di bagian pendahuluan, kondisi lokal menyangkut pernikpernik kehidupan Muslim di Syndney seperti inilah dan wacana global dunia tentang Islam berpengaruh kuat terhadap studi Islam di Australia.

Salah satu pengaruh di atas bisa dilihat di Charles Sturt University berlokasi di Sydney, yang kampusnya menyebar beberapa kota lain di Australia. Pengaruh tersebut terrefleksikan dengan baik sekali dalam silabus dan matakuliah yang ditawarkan, seperti yang akan dijelaskan nanti. Program studi Islam di CSU bernama Centre for Islamic Studies and Civilization (http://artsed.csu.edu.au/centres/cisac). Struktur studi Islam dalam pusat-pusat studi atau centre semacam ini sangat lazim ditemui dibeberapa perguruan tinggi di Barat yang tidak memiliki departemen, fakultas atau jurusan khusus dalam studi Islam. Namun, karena minat kajian terhadap Islam dan budaya Muslim dan signifikansinya meningkat, maka studi Islam menjadi salah satu tawaran dan diakomodir dalam pusat-pusat studi, dan bukan dalam jurusan atau departemen. Strukturisasi semacam ini tentu akan memberikan warna yang berbeda ketika kajian itu terpusat dalam satu departemen atau jurusan. Karena, dalam konteks Sydney, komunitas Muslim sangat kuat dan banyak, maka akomodasi dalam pusat-pusat kajian (centre) kurang memadai. Di sinilah kemudian CSU menggandeng lembaga keislaman untuk mendirikan program studi khusus tentang Islam. Dalam situsnya dijelaskan bahwa Pusat Studi Islam dan Kebudayaan CSU bekerjasama dengan Islamic Science and Research Academy Australia/ISRA yang berdiri pada tahun 2009. Berlatar belakang pada usaha dialog antar agama dan integrasi Muslim dalam masyarakat Australia, ISRA kemudian tumbuh dan menjadi salah satu pusat riset dan studi Islam ternama di Australia. Pada saat mengunjungi kantor ISRA yang berada di wilayah Auburn, dekat dengan Masjid Gallipoli, penulis masuk ke ruangan yang berada di lantai tiga di salah satu gedung di dekat pusat aktivitas perekonomian di kota tersebut. Koleksi buku-buku di ruang utama dan perpustakaan dipenuhi dengan buku-buku induk keislaman dan terjemahan karya ulama klasik dalam bidang akidah, ibadah, fikih, akidah, sufi dan lain sebagainya. Ada kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Ada pula buku Principle of Islamic Jurisprudence karangan Hasyim Kamali dan lain sebagainya. Terlihat beberapa mahasiswi yang sedang belajar di ruangan tersebut disamping staf yang mayoritas perempuan. 

Sementara di WSU, terutama di Kampusnya di Bankstown, tidak ditemukan hal yang demikian. Meski boleh dibilang mahasiswa Muslim cukup banyak, kajian Islam di kampus ini berbeda dengan di CSU. Pada level diploma dan bachelor, WSU menawarkan program akademik studi Islam sebagai juruan utama (major). Disamping itu, terdapat kelompok penelitian yang fokus pada kajian agama dan masyarakat, yaitu Religion and Society Research Cluster, dimana studi-studi dan riset yang lebih intensif dan mendalam tentang agama dan budaya secara umum dalam leval sarjana, magister dan doktoral, diadakan dan dibina lebih intens. Kelompok yang lebih kecil dalam kluster ini bertemakan “Muslim in contemporary societies”. Sementara itu CSU menawarkan tiga level strata pendidikan dalam program studi Islam, yaitu sarjana, magister dan doktoral. Dalam situsnya, penjelasan yang sangat detail tersedia untuk program sarjana dan masters.

Untuk melihat sedikit lebih jauh studi Islam di dua perguruan tinggi tersebut, berikut akan ditampilkan dua data, yaitu, pertama, sillabus atau matakuliah yang ditawarkan dan, kedua, koleksi referensi perpustakaan yang terkait dengan Islam. Perbandingan Matakuliah program S1 Studi Islam WSU credit details of Bachelor of Arts (major in Islamic studies) CSU-ISRA Bachelor of Arts in Islamic Studies, dapat dilihat pada tabel berikut.

Diambil dari situs WSU dan CSU-ISRA dan diakses pada tanggal 25 September 2016.

Tabel matakuliah studi Islam di kedua perguruan tinggi di atas menggambarkan orientasi studi keislaman di dalamnya yang berbeda. Matakuliah tentang keislaman yang menjadi core subject di WSU adalah pengantar studi al-Qur’an dan hadis. Aspek lain yang diberikan tentang Islam adalah budaya dan sejarah modernnya. Artinya, pendekatan studi Islamnya lebih seimbang antara aspek normatif dan sejarah-praktis-nya, atau mungkin lebih menekankan aspek yang kedua karena ada matakuliah utama lainnya, seperti ke-Australia-an dan kemasyarakatan. Sepertinya, konseptor silabus ingin mahasiswa program studi Islam memeahami normativitas Islam dalam konteks masyarakat setempat dan dalam kerangka nasionalisme. Sementara di CSU-ISRA, matakuliah jurusan studi Islam didesian untuk menguasai hampir semua aspek dan bidang core subject studi Islam, mulai pengantar tafsir, hadis, hukum Islam, sejarah kenabian sampai usul fiqh. Hal ini dikarenakan di CSU-ISRA, studi Islam menjadi jurusan tersendiri dan tujuan pembelajarannya bukan sekedar untuk mendapatkan pengetahuan semata (kognitif), akan tetapi juga penguasaan dan aplikasinya. Seperti dijelaskan dalam situsnya, kompetensi yang ingin dicapai antara lain adalah pembangunan masyarakat Muslim dan sarjana yang menguasi ilmu-ilmu keislaman. Oleh karena itu, matakuliah yang sama dengan level kajian yang lebih mendalam diberikan pada program tingkat magister, dan, sepertinya juga, doktoral.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kampus CSU-ISRA juga berada di bagian kota Sydney yang paling heterogen dimana banyak etnis keturunan Arab, Asia Selatan serta etnis lainnya yang Muslim berdiam. Komunitas inilah sepertinya yang menjadi sasaran target menjadi mahasiswa di CSU-ISRA. Problematika yang mereka hadapi terkait dengan pemahaman dan penerapan Islam sebagai minoritas di Australia terakomodir dengan baik dalam silabus dan kompetensi CSU-ISRA. Generasi awal Muslim yang tinggal di wilayah ini adalah para immigrant yang telah telah banyak diantara mereka mengahsilkan generasi baru. Karena alasan pendidikan yang kurang atau kesibukan, anak-anak generasi baru ini tidak mendapatkan pendidikan agama yang cukup. Sementara mereka tidak ingan identitas agama dan budayanya hilang begitu saja. Dengan adanya program studi Islam di tingkat tinggi, yang menawarkan core ilmu-ilmu keislaman merupakan jawaban atas krisis identitas dan akademik warga Muslim Australia. Jelas sekali, oleh karena, studi Islam di lembaga ini merupakan respon kondisi masyarakat Muslim di negara tersebut. Sementara itu, di WSU, penulis tidak menemukan program studi Islam selain tingkat diploma dan bachelor meskipun ada informasi lainnya mengenai studi Islam strata magister dari National Centre of Excellence for Islamic Studies Australia (NCEIS) bahwa program Masters of Art by research dalam studi Islam ditawarkan di WSU, disamping di Universitas Melbourne dan Griffith.

Berikut adalah data koleksi perpustakaan di WSU dan CSU. Metode pengumpulannya dengan cara yang sangat bisa dilakukan oleh semua orang, yaitu masuk ke situs perpustakaan masing-masing dan kemudian menuliskan kata kunci Islam dan yang relevan dengannya dalam kolom pencarian. Hasil penelusuran tersebut adalah sebagai berikut: 

Data diakses langsung dari situs perpustakaan WSU dan CSU pada tanggal 26 September 2016.

Data kuantitatif di atas menunjukkan dengan jelas bahwa bahwa SCU memiliki lebih banyak koleksi referensi terkait Islam. Penulis tidak mengecek lebih lanjut masing-masing items tersebut. Namun biasanya ketika dicari koleksi tertentu dengan memasukkan kata kuncinya, maka akan keluar semua koleksi yang terkait dengannya, baik berupa buku, jurnal, laporan, manuskrip dan lain sebagainya yang tersimpan di perpustakaan yang bersangkutan. 

Dari delapan kata kunci yang dicari, hampir CSU memiliki referensi yang lebih banyak. Ini bisa terjadi, karena CSU memiliki program studi Islam dalam semua tingkat atau jenjang pendidikan. Jika sebuah universitas menyatakan membuka atau memiliki program studi tertentu, maka salah satu hal mendasar yang wajib dipenuhi adalah dukungan referensial yang kuat. Kualitas dunia dan lembaga pendidikan ilmiah salah satunya ditentukan oleh seberapa banyak koleksi referensi yang dimilikinya, disamping tentu saja ada faktor lain semisal reputasi dan keahlian staf pengajar, jumlah mahasiswa, kelengkapan laboratorium, keunggulan riset dan jumlah publikasi ilmiah. Meskipun hanya ada major dalam Islamic studies pada level diploma dan bachelor, koleksi referensi WSU juga sangat banyak. Ini membuktikan bahwa, dalam hal koleksi referensi terkait dengan satu agama yang tumbuh pesat seperti Islam, mereka tidak akan kekeringan bahan bacaan dan informasi lain terkait dengannya. 

Secara keseluruhan, studi Islam atau bahkan Islam di Indonesia sekalipun di pendidikan tinggi yang memiliki program studi Islam ataupun tidak di Australua tidak akan mengalami kelangkaan referensi. Bahkan, sangat mungkin jumlah koleksi yang mereka miliki jauh lebih banyak disbanding yang rata-rata dimiliki oleh masing-masing perguruan tinggi Islam di Indonesia. Kelebihan referensial inilah yang menjadi daya tarik tersendiri studi Islam di Australia. Bahkan kalau kita tarik dalam konteks studi Islam di Barat pada umumnya, maka di beberapa perpsutakaan di Eropa atau Amerika memiliki koleksi-koleksi referensi, buku, manuskrip atau benda sejarah yang tidak ditemukan di perpustakaan atau museum negara-negara Islam. Ini menjadi poin tambahan tersendiri studi Islam di Barat. Secara lebih spesifik kajian Islam di Australia lebih banyak dilakukan dalam disiplin social science and humanities, antropology dan sociology dalam isu dan konteks kontemporer keiIslaman. Sementara disiplin filsafat, sastra atau sejarah untuk kajian Islam lebih dominan di Eropa dan Amerika.

Terlihat jelas bagaimana kajian Islam, struktur dan desain pengkajian dan materi serta coursenya, di perguruan tinggi di Australia dipengaruhi bukan saja oleh wacana gobal tentang Islam dan Muslim, akan tetapi juga dibentuk sebagai respon atas kondisi, dinamika dan konteks lokal Muslim di Australia salah satunya studi Islam di WSU dan CSU-ISRA (Nasir, 2016: Pengalaman Western Sydney University dan Charles Sturt University, Bankstown, NSW, Australia).

4.    Pusat-pusat peradaban Islam di Australia

Sebelum kita kupas lebih lanjut mengenai pusat peradaban Islam di Australia. Kita flashback sebentar mengenai benua Australia. Australia adalah sebuah nama benua sekaligus negara yang terletak di sebelah selatan Indonesia. Siapa sangka, selama ini, penjelajah Inggris James Cook dianggap sebagai yang pertama kali menemukan Australia. Setelah dilakukan penelitian dan pengkajian mutakhir di Benua Kanguru itu, ada fakta mengejutkan bahwa ternyata pelaut Muslim-lah yang pertama kali menemukan benua itu.
Buku Muslim Melayu Penemu Australia yang ditulis oleh DR Teuku Chalidin Yacob, seorang tokoh masyarakat Muslim dan pendidikan Islam di Australia, mengungkap fakta tersebut. Dalam penelitiannya, DR Chalidin mengungkap sejumlah bukti menarik di balik penelitiannya. Di antara yang dibahas adalah waktu kedatangan Muslim Melayu di Australia, apa motif kedatangannya, hingga kegiatan dan kisah sukses mereka serta bagaimana mengatasi masalah yang dihadapinya. Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Mi'raj News Agency (MINA) Foundation pada akhir 2016 lalu ini mendapat sambutan luar biasa dari berbagai kalangan. Termasuk di dalamnya Dubes Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kosoema, hingga Presiden Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) Tan Sri Haji Mohd Ali bin Mohd Rustam. Nadjib Riphat menyatakan, interaksi aktif para pelopor dari Makassar (dalam beberapa literatur Australia disebut Macassan) terjadi sekitar awal abad ke- 15, jauh sebelum kedatangan bangsa pen jajah dari Eropa. Kenyataan ini menjadi menarik karena periode itulah yang menjadi awal berkenalannya penduduk asli Australia dengan para pelaut Mus lim dari Sulawesi yang membawa serta budaya dan tradisi mereka.

Pada abad ke-17, sejumlah petualang Belanda mendarat di pantai utara dan barat benua Australia.Para petualang itu kemudian menyebutnya dengan New Holland. Tetapi, mereka tidak menetap di situ, hanya singga. Sementara itu, orang kulit putih pertama yang mendarat di wilayah itu adalah Kapten James Cook yang mendarat di Pantai Timur (sekarang Sydney dan New South Wales) dan mengklaim wilayah itu sebagai wilayah Inggris. Jauh sebelum itu, orang-orang Aborigin (suku asli Australia berkulit hitam) sudah diam dan tinggal di sana. Aborigin yang memang sudah menetap di sana sejak beribu tahun lamanya sudah menyatakan bahwa wilayah itu adalah milik mereka sendiri. Pada 1788, tepatnya setelah Kapten James Cook mendarat di Botany Bay (sekarang Sydney), para pendatang yang merupakan narapidana Inggris membentuk koloni yang kemudian disebut dengan New South Wales. Pada tahun itu juga rombongan Inggris terus berdatangan untuk mencari tempat tinggal baru.Australia, sedikit de mi sedikit, dikuasai oleh orang kulit pu tih, khususnya dari kerajaan Inggris Raya.

Muslim Melayu Penemu Australia lahir dari sebuah tesis yang ditulis pada 2009 lalu untuk memperoleh gelar doktor dari University Malaya (UM) ini mengungkap sejumlah penemuan penting. Terdapat beberapa bukti arkeologis yang menyebutkan bahwa orang-orang Muslim Melayu dari Bugis Makassar sudah berada di sana. Keberadaan orang-orang Muslim Melayu di sana dalam misi perdagangan internasional, mencari teripang (gamat)di Perairan Utara Australia. Hasil buruannya itu kemudian dijual ke Cina Selatan, salah satunya untuk bahan dasar obat-obatan dan makanan.

Sebagaimana pernyataan DR Steven Farram, dosen sejarah North Australia dan ASEAN dari Charles Darwin Univer sity (CDU), bahwa orang-orang Makassar tak semata-mata hanya mengambil Teripang, mereka juga mengenalkan sejumlah barang-barang yang tergolong baru dikenal masyarakat Aborigin. Sejarawan Australia dari Universitas Griffith, Brisbane, Prof Regina Ganter menulis dalam bukunya Mixed Relationa: Asian-Aborginal Contact in North Autraliamenyatakan bahwa kedatangan Muslim Melayu di Australia sejak 1650. Mereka membangun industri pengolahan Teripang di wilayah utara Australia (Sasongko, 2017: REPUBLIKA.CO.ID)

Selain kekayaan alamnya Australai ternyata juga menyimpan harta yang tak kalah penting yaitu beberapara pusat peradaban Islam. Di benua Kanguru atau yang biasa dipanggil benua Australia diantara ada pusat-pusat peradaban Islam di Australia, yaitu: 
 1) Masjid
Masjid pertama di Australia didirikan di Marree di sebelah utara Australia Selatan pada 1861. Masjid besar pertama dibangun di Adelaide pada 1890, dan satu lagi didirikan di Broken Hill (New South Wales) pada 1891. Masjid Marree, masjid pertama di Australia (sumber: travel.detik.com)
Pada abad 20 M perkembangan masjid-masjid di Australia cukup menggembirakan, karena dibuat oleh arsitek Australia sendiri, seperti Brisbone tahun 1907 didirikan mesjid yang indah oleh arsitek sharif Abosi dan Ismeth Abidin. Tahun 1967 di Quesland didirikan masjid lengkap dengan Islamic Center dibawah pimpinan Fethi Seit Mecca. Tahun 1970 di Mareeba diresmikan masjidyang mampu menampung 300 jamaah denganimam Haji Abdul Lathif. Di kota Sarrey Hill dibangun Masjid Raya Faisal bantuan Saudi Arabia. Di Sidney dibangun masjid dengan biaya 900.000 dollas AS.
2) Pendidikan 
Di Brisbone didirikan “Quesland islamic society”. Pelajarnya bukan hanya dari Autraslia tetapi juga Indonesia, Turki, Pakistan, Afrika, Lebanon, India. Dan didirikan pula sekolah yang melahirkan guru-guru muda di Goulbourn. Pendidikan Islam di Australia diselenggarakan dengan tujuan agar dapat melestarikan pertumbuhan kehidupan agama Islam. Oleh karena itu, di Brisbane didirikan Queesland Islamic Society yang bertujuan menyadarkan anak-anak Muslim untuk melakukan shalat dan hubungan baik sesama manusia. Mereka selama 5-15 tahun menerima pelajaran al- Qur’an dan tata kehidupan secara Islam. Pelajar terdiri atas anak-anak dari Indonesia, India, Pakistan, Turki, Afrika, Libanon, dan Australia. (sumber: www.iscq.com.au) 
Sekolah Islam di Australia (sumber: BSE Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013, hal 178)
3) Organisasi Islam
Australian Federation of Islamic Councils (AFIC), himpunan dewan-dewan yang berpusat di sydney. Federation of Islamic Societies, himpunan masyarakat muslim terdiri dari 35 organisasi masyarakat muslim lokal dan 9 dewan islam negara-negara bagian. Moslem Student Asociation, himpunan mahasiswa muslim yang menerbitkan majalah “Al-Manaar”. Moslem Women Center, yang bertujuan memberikan pelajaran keislaman dan bahasa inggris bagi masyarakat muslim yang baru datang ke Australia.

@menzour_id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar