Perkembangan
Islam di Afrika
1. Sejarah
masuknya Islam di Afrika
Salah
satu guru besar sejarawan Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat
adalah Nezar al-Sayyad. Beliau mengungkapkan, ada beberapa faktor yang
mendorong bangsa Arab melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah di luar Arab.
Diantara faktor tersebut antara lain untuk menjalankan misi Ilahiah dalam
menyebarkan syiar Islam, memelihara kekuasaan politik di bawah kontrol kelompok
elite Arab, serta mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam di tanah yang
telah ditaklukkan. Kendati demikian, ekspansi oleh bangsa Arab tidak selalu
menghadapi konfrontasi di wilayah-wilayah yang mereka taklukkan. Seperti di
Damaskus dan Sisilia, dominasi bangsa Arab di sana justru membawa dampak yang
jauh lebih positif dibandingkan eksploitasi yang kerap dilakukan oleh rezim Bizantium
(Romawi Timur) pada masa-masa sebelumnya.
Artikel:https://www.republika.co.id/berita/duniaislam/dunia/19/03/04/pnu0hy313-islam-di-afrika-terus-berkembang-dantantangannya
Sebaliknya,
penetrasi Islam di wilayah sub-Sahara Afrika yang terjadi sekitar abad ke-9,
justru bukan melalui misi penaklukan, melainkan karena adanya hubungan
perdagangan. Pada zaman itu, wilayah tersebut memang termasuk salah satu
kawasan yang lazim dilintasi oleh para kafilah dagang. Al-Sayyad menjelaskan,
ada dua rute perdagangan yang ikut membentuk pengaruh Islam di Afrika Barat.
Yang pertama adalah jalur yang menghubungkan negeri-negeri Maghribi (Maroko,
Aljazair, Tunisia, dan Libya) dengan pusat-pusat perdagangan emas Berber-Afrika
seperti negeri Soninke (sekarang Negara Ghana). Jalur perdagangan lainnya
adalah rute timur yang menghubungkan Sudan Tengah, Kanem, Bornu, serta
Negara-negara Hausa dengan Libya, Tunisia, dan Mesir. Meskipun terdiri dari
berbagai daerah dan etnis, tapi salah satu faktor pemersatu Islam di Afrika adalah
dominasi mazhab Maliki yang kebanyakan diikuti oleh masyarakat negeri-negeri
Maghribi.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=m0cmvIM_Awg
Setelah
Islam berkembang di kawasan sub-Sahara, raja-raja di Afrika mulai menerima kaum
Muslim. Bahkan, tak sedikit raja-raja itu memeluk Islam dan mengubahnya menjadi
kerajaan Islam. Dengan munculnya dinasti-dinasti Islam, perkembangan Islam dan
peradabannya semakin pesat di kawasan Afrika Barat. Diantara dinasti-dinasti
Islam tersebut yaitu:
a. Kekaisaran
Ghana
Salah
satu kerajaan pertama yang bisa menerima Islam di Afrika Barat adalah
Kekaisaran Ghana (830-1235 M). Kerajaan itu berada Mauritania dan Mali bagian
barat. Menurut Prof. A. Rahman I Doi, keberadaan Kekaisaran Ghana sempat
ditulis oleh geografer Muslim bernama al-Bakri dalam kitab Fi Masalik wal
Mamalik. Menurut al-Bakri, pada 1068 M Kerajaan Ghana telah mencapai kemajuan.
Secara ekonomi, negara itu begitu kaya dan makmur. Raja Kekaisaran Ghana sudah
mempekerjakan Muslim sebagai penerjemah. Tak hanya itu, sebagian besar menteri
dan bendahara negara adalah umat Islam. Al-Bakri pun melukiskan perkembangan
Islam di Kekaisaran Ghana pada abad ke-11 M dengan seuntai kata. Kota Ghana
memiliki dua kota yang terletak pada sebuah dataran, salah satunya dihuni umat Islam
dalam jumlah yang banyak. Komunitas ini memiliki 12 masjid yang biasa digunakan
untuk shalat Jumat. Setiap masjid memiliki imam, muazin, serta para pembaca
Alquran. Kota Muslim itu banyak memiliki ahli hukum, pengacara, dan orang-orang
pintar.
b. Dinasti
Za di Gao
Dinasti
Za berbasis di Kota Kukiya dan Gao di Sungai Niger River sekarang dikenal
sebagai Mali modern. Dinasti itu didirikan Za Alayaman pada abad ke-11 M.
Pendiri raja itu berasal dari Yamen dan menetap di Kota Kukiya. Dinasti itu
berubah menjadi kerajaan Islam setelah pada 1009-1010 M, Za Kusoy penguasa
ke-15 memeluk Islam. Kerajaan itu ditaklukkan Kekaisaran Mali pada awal abad
ke13 M.
c. Kekaisaran
Mali
Menurut
sejarawan Margari Hill dari Stanford University, Kerajaan Mali didirikan oleh
Raja Sunjiata Keita. Ia bukanlah seorang Muslim. Raja Mali pertama yang masuk
Islam adalah Mansa Musa (1307-1332). Ia menjadikan Islam sebagai agama resmi
kerajaan,” ujar Hill. Di era kepemimpinan Mansa Musa, Kekaisaran Mali mengalami
masa keemasan. Pada 1325 M, Timbuktu mulai dikuasai Kaisar Mali, Mansa Mussa
(1307-1332). Raja Mali yang terkenal dengan sebutan Kan Kan Mussa itu begitu
terkesan dengan warisan Islam di Timbuktu. Sepulang menunaikan haji di Makkah,
Sultan Musa membawa seorang arsitek terkemuka asal Mesir bernama Abu Es Haq Es
Saheli. Sang sultan menggaji arsitek itu dengan 200 kilogram emas untuk
membangun Masjid Jingaray Bermasjid untuk shalat Jumat.
Sultan
Musa juga membangun istana kerajaannya atau Madugu di Timbuktu. Pada masa
kekuasaannya, Musa juga membangun masjid di Djenne dan masjid agung di Gao
(1324-1325) M. Kini tinggal tersisa fondasinya saja. Kerajaan Mali mulai
dikenal di seluruh dunia ketika Sultan Musa menunaikan ibadah haji di Tanah
Suci, Makkah pada 1325 M. Sebagai penguasa yang besar, dia membawa 60 ribu
pegawai dalam perjalanan menuju Makkah. Hebatnya, setiap pegawai membawa tiga
kilogram emas. Itu berarti dia membawa 180 ribu kilogram emas. Saat Sultan Musa
dan rombongannya singgah di Mesir, mata uang di Negeri Piramida itu langsung
anjlok. Pesiar yang dilakukan sultan itu membuat Mali dan Timbuktu mulai masuk
dalam peta pada abad ke-14 M.
Kesuksesan
yang dicapai Timbuktu membuat seorang kerabat Sultan Musa, Abu Bakar II,
menjelajah samudra dengan menggunakan kapal. Abu Bakar dan tim ekspedisi
maritim yang dipimpinnya meninggalkan Senegal untuk berlayar ke Lautan
Atlantik. Pangeran Kerajaan Mali itu kemungkinan yang menemukan benua Amerika.
Hal itu dibuktikan dengan keberadaan bahasa, tradisi, dan adat Mandika di
Brasil.
d. Kekaisaran
Songhay
Islam
mulai menyebar ke wilayah Kekaisaran Songhay pada abad ke-11 M. Menurut Prof
Rahman, negara Songhay amat kaya karena pengaruh perdagangan dengan Gao. Pada
abad ke-13, kerajaan itu sempat dikuasai Kekaisaran Mali. Namun, pada akhir
abad ke-14 bisa melepaskan diri ketika dipimpin oleh Sunni Ali. Di bawah
kepemimpinan Raja Sunni Ali, pada periode 1464-1492 wilayah barat Sudan pun
sempat dikuasai Kekaisaran Songhay. Kota Timbuktu dan Jenne yang dikenal
sebagai pusat peradaban Islam juga dikuasai Sunni Ali pada 1471-1476.
Sunni
Ali adalah seorang Muslim. Namun, ia tetap mempraktikkan tradisi lokal dan
magis. Ia kerap menghukum ulama dan cendekiawan Muslim yang mengkritisinya
karena mempraktikkan kepercayaan pagan. Umat Islam dan ulama Muslim di Timbuktu
bergembira setalah Sunni Ali meninggal.
e. Dinasti
Asykiya
Posisinya
diganti oleh Sunni Barou. Aski Muhammad Toure (Towri), seorang jenderal
Songhay, meminta Barou untuk mengucap sumpah dengan cara Islam sebelum memimpin
kerajaan, namun menolaknya. Muhammad Toure menggulingkannya dan mendirikan
Dinasti Askiya. Pada masa kepemimpian Muhammad Toure, Islam kembali berjaya. Ia
menerapkan hukum Islam, juga melatih dan mengangkat hakim-hakim baru. Muhammad
Toure melindungi dan membiayai para ilmuwan, ulama, dan cendekiawan Muslim.
Mereka yang berprestasi dalam bidang intelektual dan agama diberi hadiah yang
melimpah.
Sultan
Muhammad Toure pun sangat dekat dengan ulama dan cendekiawan terkemuka Muhammad
al-Maghilli. Sang sultan juga mendukung pengembangan Universitas Sankore-universitas
Islam pertama di Afrika Barat. Sama seperti Mansa Musa Sultan Mali, Askia
Muhammad juga sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah. Ia dikenal memiliki
kedekatan dengan ulama dan penguasa di negara-negara Arab. Di Makkah, ia
disambut penguasa Arab. Ia juga mendapat hadiah pedang dan gelar Khalifah Sudan
Barat. Sekembalinya dari Makkah pada 1497, ia menggunakan gelar al-Hajj pada
namanya. Wilayah sub-Sahara Afrika Barat pernah menjadi saksi kejayaan
peradaban Islam. Di wilayah yang dikenal dengan sebutan Bilad al-Sudan itu
sempat berdiri dinasti-dinasti Islam. Bahkan, di kawasan Afrika Barat juga
pernah berdiri perguruan tinggi berkelas dunia bernama Universitas Sankore.
Prof
A Rahman I Doi dalam tulisannya bertajuk Spread Islam in West Africa,
mengungkapkan, “Islam mencapai wilayah Savannah (Afrika Barat) pada abad ke-8
M. Ajaran Islam mulai diterima oleh Dinasti Dya’ogo dari Kerajaan Tekur pada
awal 850 M,’’ ungkap guru besar pada berbagai universitas di Afrika itu. Fakta
itu terungkap dari catatan sejarawan dan penjelajah Muslim di era keemasan
Islam, seperti Al-Khwarzimi, Ibnu Munabbah, Al-Masudi, Al-Bakri, Abul Fida,
Yaqut, Ibnu Batutah, Ibnu Khaldun, Ibnu Fadlallah al-’Umari, Mahmud al-Kati,
Ibnu al Mukhtar, dan Abd alRahman al-Sa’di.
Margari
Hill, sejarawan dari Stanford University, menjelaskan, Islam menyebar di Afrika
Barat secara bertahap dan kompleks. Ada tiga tahap sejarah yang telah dilalui
Islam di wilayah sub-Sahara. Ketiga tahap sejarah itu adalah tahap penahanan,
pembauran, dan reformasi. Pada tahap pertama, raja-raja Afrika menahan atau
membendung pengaruh Muslim dengan memisahkan komunitas Muslim. Pada tahap
kedua, penguasa Islam Afrika mencampur Islam dengan tradisi lokal. Pada tahap
ketiga, Muslim Afrika ditekan melakukan reformasi untuk menyingkirkan kebiasaan
mencampur tradisi lokal dan Syariah sehingga umat Islam menjalankan ajaran
Islam secara benar.
Dinasti
Dya’ogo merupakan orang Negro pertama yang menerima Islam di Afrika Barat.
Karenanya, para sejarawan Muslim menyebut wilayah Kerajaan Tekur dengan julukan
Bilad al-Tekur atau Tanah Muslim Hitam”. Ajaran Islam, menurut Prof Rahman-mengutip
catatan Ibnu Munabbah yang bertarikh 738 M dan Al-Masudi pada 947-masuk dan
berkembang di wilayah Afrika Barat melalui jalur perdagangan.
Ketika
Islam telah menyebar, di Kota Timbuktu, Mali, telah berdiri sebuah perguruan
tinggi berkelas dunia, Universitas Sankore. Pada abad ke-12, jumlah mahasiswa
yang menimba ilmu di Universitas Sankore mencapai 25 ribu orang. Universitas
Sankore diakui sebagai perguruan tinggi berkelas dunia. Karena, lulusannya
mampu menghasilkan publikasi berupa buku dan kitab yang berkualitas. Buktinya,
baru-baru ini di Timbuktu, Mali, ditemukan lebih dari satu juta risalah. Selain
itu, di kawasan Afrika Barat juga ditemukan tak kurang dari 20 juta manuskrip.
Sejarawan Abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu dalam buku
yang ditulisnya. Begitu banyak hakim, doktor, dan ulama di sini (Timbuktu).
Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad-penguasa
Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat belajar,”
tutur Africanus.
Di
era keemasan Islam, ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di
Timbuktu. Rakyat di wilayah itu begitu gemar membaca buku. Menurut Africanus,
permintaan buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang berlomba membeli dan
mengoleksi buku. Alhasil, perdagangan buku di kota itu menjanjikan keuntungan
yang lebih besar dibanding bisnis lainnya.
6)
Dinasti Islam di Afrika Barat 7) Dinasti Sayfawa (1075-1846 M) 8) Kekaisaran
Mali (1230-1600 M) 9) Dinasti Keita (1235 -1670 M) 10) Kerajaan Bornu (1396-1893 M) 11) Kerajaan Baguirmi (1522-1897 M) 12) Kerajaan Dendi
(1591-1901 M) 13) Kesultanan Damagaram (1731-1851 M) 14) Kerajaan Fouta Tooro (1776-1861 M) 15) Kekhalifahan
Sokoto (1804-1903 M) 16) Kerajaan Toucouleur (1836-1890 M)
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=AMcELwXLUWo
Penyebaran
agama Islam di Afrika, khususnya Afrika Selatan dimulai dengan
pertemuanpertemuan secara sembunyi-sembunyi dengan para budak. Agama Islam
masuk ke daratan Afrika pada masa Khalifah Umar bin Khattab, waktu Amru bin Ash
memohon kepada Khalifah untuk memperluas penyebaran Islam ke Mesir lantaran dia
melihat bahwa rakyat Mesir telah lama menderita akibat ditindas oleh penguasa
Romawi dibawah Raja Muqauqis. Sehingga mereka sangat memerlukan uluran tangan
untuk membebaskannya dari ketertindasan itu. Muqauqis sesungguhnya tertarik
hendak masuk Islam setelah menerima surat dari Rasulullah SAW. Namun, karena
lebih mencintai tahtanya maka sebagai tanda simpatinya beliau kirimkan hadiah
kepada Rasulullah SAW.
Selain
alasan di atas, Amru bin Ash memandang bahwa Mesir dilihat dari kacamata
militer maupun perdagangan letaknya sangat strategis, tanahnya subur karena
terdapat sungai Nil sebagai sumber makanan. Maka dengan restu Khalifah Umar bin
Khattab dia membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi pada tahun 19 H (640 M)
hingga sekarang. Dia hanya membawa 400 orang pasukan karena sebagian besar
diantaranya tersebar di Persia dan Syria. Berkat siasat yang baik serta
dukungan masyarakat yang dibebaskannya maka ia berhasil memenangkan berbagai
peperangan. Mula-mula memasuki kota Al-Arisy dan dikota ini tidak ada
perlawanan, baru setelah memasuki Al-Farma yang merupakan pintu gerbang
memasuki Mesir mendapat perlawanan, oleh Amru bin Ash kota itu dikepung selama
1 bulan.
Setelah
Al-Farma jatuh, menyusul pula kota Bilbis, Tendonius, Ainu Syam hingga benteng
Babil (istana lilin) yang merupakan pusat pemerintahan Muqauqis. Pada saat
hendak menyerbu Babil yang dipertahankan mati-matian oleh pasukan Muqauqis itu,
datang bala bantuan 4.000 orang pasukan lagi dipimpin empat panglima kenamaan,
yaitu Zubair bin Awwam, Mekdad bin Aswad, Ubadah bin Samit dan Mukhollad
sehingga menambah kekuatan pasukan muslim yang merasa cukup kesulitan untuk
menyerbu karena benteng itu dikelilingi sungai. Akhirnya, pada tahun 22 H (642
M) pasukan Muqauqis bersedia mengadakan perdamaian dengan Amru bi Ash yang
menandai berakhirnya kekuasaan Romawi di Mesir. Pembahasan mengenai masuk dan
berkembangnya Islam di Afrika mencakup beberapa wilayah negara yaitu Mesir,
Libia, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Nigeria, Mali, Pantai Gading, Sudan,
Ethiopia, Kenya, Zambia dan lain-laannya.
2. Strategi
dakwah dan perkembangan Islam di Afrika
Pada tahun ke-5 dari kenabian, Rasulullah SAW
memerintahkan beberapa orang sahabatnya (berjumlah 15 orang: 11 laki-laki dan 4
wanita) untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia). Hijrah ini dipimpin oleh Usman
bin Maz’un yang bertujuan untuk menghindari penyiksaan-penyiksaan dan
menyelamatkan diri dari kaum kafir Quraisy serta mendakwahkan agama Islam.
Selain itu, pada sekitar tahun ke-6 Hijrah, Nabi SAW mengutus sahabatnya Hatib
bin Abi Balta’ah untuk menyampaikan surat dakwah (seruan masuk Islam) kepada
Muqauqis (penguasa Mesir, Gubernur Romawi Timur). Islam akhirnya mulai menyebar
ke negara-negara Afrika Utara serta terjadi proses Islamisasi. Hal ini terjadi
sekitar abad 7 – 8 M.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=Aopx1gHusEY
Adapun
di Afrika Timur, faktor Islamisasi tampak jelas dengan kedatangan dan ekspansi
Islam ke Afrika Selatan, antara lain dilakukan oleh para budak Melayu yang
dibawa oleh orang-orang Eropa ke wilayah itu. Setelah dibebaskan dari Pulau
Robben, tak jauh dari Cape Town, pada tahun 1793, Imam Abdullah membuat petisi
pertamanya untuk pembangunan masjid. Saat itu, petisi tersebut sempat mendapat
penolakan meski akhirnya memperoleh izin dari Pemerintah Hindia Belanda untuk
mendirikan masjid. Ia pun menulis sebuah buku tentang yurisprudensi Islam pada
1781 dalam bahasa Melayu dan Arab. Judul buku itu adalah Ma’rifa alIslam wa
alIman. Buku ini memberi pengaruh sosial dan keagamaan yang besar di kalangan
komunitas Muslim di Cape Town. Pada 1793, Imam Abdullah membangun sekolah
Muslim pertama. Lokasinya di Dorp Street, Bokaap, yang akhirnya menjadi bagian
dari Masjid Auwal, masjid pertama di Cape Town. Pada 1825, sekolah ini memiliki
491 siswa, sebagian besar dari kalangan budak negro. Di kemudian hari, sekolah
inilah yang melahirkan orang-orang Afrika Arab yang memahami bahasa Arab.
Setelah Imam Abdullah wafat, kepemimpinan sekolah ini dilanjutkan oleh Imam
Achmat van Bengalen.
Pada
masa awal kedatangannya di Cape Town, Islam adalah agama yang diawasi secara
ketat oleh penguasa. Pemerintah Hindia Belanda secara tegas melarang aktivitas
Islam di tempat umum, meski ibadah pribadi diperbolehkan. Tak ada komunitas
Muslim yang diizinkan untuk melakukan perkumpulan. Mengingat kondisi itu, ulama
seperti Imam Abdullah, Syaikh Yusuf, dan juga lainnya menggunakan rumah mereka
sebagai tempat untuk belajar Islam. Mereka berusaha keras mempertahankan
keberadaan Islam di Cape Town. Beruntung, pembatasan ini kian lama kian surut.
Pada 1770, di rumah seorang budak yang dibebaskan bernama Mohammodan, secara
rutin diselenggarakan pertemuan. Dalam pertemuan itu, mereka yang hadir
membaca, shalat, dan mempelajari ayat-ayat al-Quran.
Pada
25 Juli 1804, Islam secara resmi tak lagi menjadi agama yang dilarang. Warga
setempat pun bebas memilih agama yang diyakininya. Sementara, para ulama bisa
berdakwah secara leluasa. Penyebaran Islam di Benua Afrika tidak terlepas dari
persaingan antara Islam dan Kristen, serta antara Islam dan westernisasi
sekuler. Walaupun begitu, Islam di benua Afrika tetap berkembang ke arah yang
lebih maju, baik kuantitas maupun kualitas. Di Benua Afrika banyak negara yang
penduduknya mayoritas Islam, seperti: Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko,
Sahara Barat, Mauritania, Mali, Nigeria, Senegal, Gambia, Guinea, Somalia, dan
Sudan. Sedangkan negara-negara di Benua Afrika yang minoritas Islam adalah:
Zambia, Uganda, Mozambique, Kenya, Kongo, dan Afrika Selatan.
Azan
Asar berkumandang dari Masjid Auwal di daerah Bo-Kaap, Cape Town. Belasan orang
kemudian datang ke mesjid yang tidak begitu besar tersebut. Masjid Auwal adalah
masjid pertama yang dibangun di Afrika Selatan pada tahun 1794. Bangsa
Indonesia harus bangga karena masjid ini dibangun oleh orang Indonesia yang
bernama Imam Abdullah Kadi Abdus Salaam, atau yang lebih terkenal dengan
julukkan Tuan Guru. Tuan Guru adalah orang Indonesia kedua yang menyebarkan
Islam di Afrika Selatan setelah Syech Yusuf. Keduanya memiliki nasib yang sama,
dibuang Belanda di benua Afrika. Syech Yusuf dibuang ke Cape Town pada 1693 dan
meninggal di pengasingan pada 23 Mei 1699. Sementara itu, Tuan Guru, Pangeran
Tidore dari Kepulauan Ternate yang lahir pada 1712, ditangkap karena menentang
Belanda dan diasingkan ke Robben Island di Cape Town pada 6 April 1780 bersama
dengan tiga orang rekannya yaitu Abdul Rauf, Badroedin, dan Nur Al-Iman.
Selama
dalam pengasingan selama 13 tahun, Tuan Guru menulis buku antara lain
Ma'rifatul Islami wal Imani yang diselesaikannya pada 1781. Buku tersebut
berbahasa Melaju tetapi berhuruf Arab. Tuan Guru juga menulis Alquran dengan
tangannya sekitar 600 halaman. Setelah era Alquran cetak, baru diketahui
Alquran tulisan tangan Tuan Guru memiliki sedikit kesalahan. Setelah bebas dari
pengasingan, Tuan Guru menikah dengan Kaija van de Kaap dan tinggal di Dorp
Street, Cape Town. Dari pernikahan tersebut, lahir Abdol Rakief dan Abdol Rauf,
yang juga sangat berperan dalam penyebaran Islam di Afrika Selatan. Di sebuah
gudang di tempat tinggal yang baru inilah Tuan Guru mendirikan madrasah, yang
juga merupakan sekolah muslim pertama di Afrika Selatan. Sekolah ini sangat
popular di kalangan budak dan komunitas warga kulit hitam nonbudak. Sekolah ini
juga menjadi tempat lahirnya ulama-ulama Afrika Selatan ketika itu seperti
Abdul Bazier, Abdul Barrie, Achmad van Bengalen, dan Imam Hadjie. Murid Tuan
Guru ketika itu mencapai 375 orang.
Pada
1793, Tuan Guru mengajukan permintaan untuk membangun masjid pada 1794 kepada
pemerintah Afrika Selatan yang saat itu dikuasai Belanda. Permintaan Tuan Guru
ditolak. Belanda takut perkembangan Islam akan menganggu kekuasaannya. Bahkan,
penjajah Belanda di Afrika Selatan juga melarang penyelenggaraan ibadah Islam.
Namun, Tuan Guru menentang kebijakan Belanda tersebut. Walau pembangunan masjid
dilarang, Tuan Guru tetap menggelar Salat Jumat di tempat terbuka tersebut,
yang juga tercatat sebagai Salat Jumat pertama yang dilakukan secara terbuka di
Afrika Selatan.
Ketika
Afrika Selatan dikuasai Inggris pada 1795, Jenderal Craig mempersilakan warga
Muslilm untuk membangun masjid. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan Tuan
Guru. Dia langsung membangun masjid di tempat yang semula menjadi madrasah
tersebut. Masjid inilah yang kemudian dinamai Masjid Auwal, mesjid pertama di
Afrika Selatan. Tuan Guru meninggal pada 1807 yang dikebumikan pada 1807 di
Tana Baru, yang juga merupakan tempat pemakaman Muslim pertama yang dibangunnya
di Afrika Selatan. Sekarang ini, Masjid Auwal berdiri di kawasan bisnis dekat
Waterfront. Masjid tersebut berada di kawasan penduduk padat dan tidak memiliki
halaman. satu-satunya yang membedakan adalah gerbang masjid.
Masjid
Auwal beberapa kali dipugar. Namun, dinding asli yang terdiri atas batu gunung,
masih terdapat di dekat mimbar masjid tersebut. Imam Mesjid Auwal sekarang ini,
Moehammed Fadil Soekr mengatakan sangat bangga dengan keberadaan masjid ini.
Menurut Soekr, selama zaman apartheid, setiap warga Muslim tidak leluasa
menjalankan ibadahnya.
Ketika
apartheid runtuh pada 1994, Nelson Mandela datang ke Masjid Auwal ini dan
mempersilakan warga Muslim untuk menjalankan ibadahnya. "Setelah
apartheid, perkembangan Islam berjalan cepat. Daerah sekitar Bo-Kaap, hampir 90
persen penduduknya sekarang muslim," ujar Soekr. Soekr yang mengaku
sebagai warga Cape Malays, keturunan Indonesia di Afrika Selatan, mengatakan
sangat ingin mengunjungi Indonesia. "Indonesia adalah tempat asal nenek
moyang saya. Jika punya uang, saya ingin ke sana. Indonesia selalu speasial di
mata saya," ujarnya.
3. Tokoh-tokoh
ilmu pengetahuan Islam di Afrika
Keberadaan
Islam di benua Afrika telahmembuat penduduk Afrika semakin meningkat keinginan
umat muslim yang ada disana untuk mendalami ajaran Islam. Selain itu juga
muncul tokoh tokoh Islam yang menjadi pembaharu di benua Afrika. Diantara tokoh
tokoh muslim yang ada tersebut diantaranya adalah sebagai berikut ini:
a. Al-Qalbisi
Al-Qabisi
nama aslinya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Khalaf al Ma’rif al-qobisi,
beliau lahir di daerah kairawan,Tunisia pada bulan rajab tahun 224 H/tanggal 13
Mei 936 M. Ia pernah merantau ke timur tengah selama 5 tahun, kemudian ia
kembali ke negeri asalnya dan meninggal dan dunia pada tanggal 3 Rabiul Awal
403 H/Tangga 23 oktober 1012 M. Ibn Khalikan berpendapat, alQabisi dilahirkan
pada hari Senin setelah hari hari yang kedua bulan Rajab tahun 324 H. Sedangkan
alSayuthi, Ibn al-„Imad al-Hanbali ibn Fadhlullah al-Umari, dan Abd al-Rahman
tidak menyebutkan tentang hari kelahirannya, akan tetapi mereka sepakat bahwa
al-Qabisi dilahirkan pada tahun 324 H. bertepatan dengan 935 M. (Al-Ahwani,
1955: 21-25)
Menurut
catatan sejarah, bahwa pada masa khalifah Umar bin Khaththab tentara Islam
telah sampai ke Afrika Utara bagian Tarablis yang dipimpin oleh Amru bin Ash,
kemudian dilanjutkan pada masa khalifah Utsman bin „Affan yang dipimpin oleh
Abdullah bin Said bin Abi Sarah. Pada masa inilah tentara Islam telah sampai ke
Qairawan kota kelahiran al-Qabisi. Penaklukan Afrika Utara berakhir pada masa
Khalifah Muawiyah, khalifah mengutus 10.000 tentara kaum muslimin yang dipimpin
oleh Uqbah bin Nafi’.
Ketika
Abdul Malik bin Marwan diangkat menjadi Khalifah ia mengutus Zuhair bin Qais
untuk memerangi suku Barbar, kemudian Zuhair kembali memasuki Afrika dan Qairawan,
kemudian Abdul Malik bin Marwan memerintahkan Hasan bin Ni‟man al-Ghasani untuk
memperkuat tentara kaum muslimin dan menetap tinggal di sana bersama kaum
muslimin lainnya untuk berkhidmat bagi negeri tersebut dan menyiarkan agama
Islam. Maka kaum muslimin yang pertama membawa Islam dan berkhidmat di Afrika
Utara ialah mereka yang terdiri dari para sahabat Nabi dan para tabi’in besar,
seperti Abdullah bin Abi Sarah, Ma’bad bin Abbas bin Abdul Muthalib, Marwan bin
Hakim bin Abi Ash bin Umaiyah, Haris bin Hakim, Abdullah bin Zubair bin Awam,
Abdullah bin Umar ibn Khaththab dan Abdurrahman bin Abi Bakr.
Penyebarluasan
Islam yang dilakukan oleh kaum muslimin ke negara-negara yang belum Islam, baik
sejak dari Nabi Muhammad SAW. dan para khalifah sesudahnya, senantiasa
memberikan ketenangan dan menjadi rahmat bagi suatu wilayah yang dikuasainya.
Oleh sebab itu, selama Islam masih berkuasa di suatu negara atau wilayah,
negara tersebut akan senantiasa kondusif dalam tataran masyarakat yang Islami,
sehingga mewarnai seluruh aktivitas masyarakat, dan tidak dapat dinafikan bahwa
lingkungan yang agamis ketika itu memberikan kontribusi yang positif bagi dunia
pendidikan khususnya pendidikan Islam, sekaligus akan mewarnai pendidikan
secara keseluruhan. Oleh sebab itu, nilai-nilai pendidikan senantiasa
bernuansakan Islami, tidak heran jika al-Qabisi, sebagaimana anakanak yang
lainnya, mempelajari ilmu-ilmu agama terlebih dahulu dan penanaman
akhlak-akhlak yang mulia sejak dini, seperti mempelajari shalat, menghafal al-Qur'an
dan lain sebagainya.
Namun,
tidak berhenti di situ saja, sudah menjadi tradisi di zaman ini, bahwa para
penuntut ilmu senantiasa melakukan perjalanan atau rihlah ke luar daerah baik
ke negeri Timur, seperti Makkah dan Madinah maupun ke negeri Barat seperti
Andalusia atau Spanyol untuk menemui ulama-ulama yang ahli di bidangnya dan
mereka mempelajari ilmunya sesuai dengan keahlian yang mereka inginkan secara
berhadapan langsung. Al-Qabisi sendiri, menurut catatan sejarah, melakukan
hijrah ke negeri Timur, yakni Makkah dan
Madinah, di samping menuntut ilmu, beliau juga menunaikan ibadah haji.
Dalam
perjalanannya ke Timur al-Qabisi juga singgah dan menetap beberapa waktu di
Iskandariyah dan Mesir untuk menuntut ilmu. Di Mekah, beliau mempelajari ilmu
fiqh dan hadis Bukhari melalui ulama terkenal Ali Abu al-Hasan bin Ziyad
al-Iskandari salah seorang ulama yang termashur dalam meriwayatkan Imam Malik.
Hal inilah yang membuat ia menjadi seorang ahli fiqh Imam Malik. Demikian
halnya selama beliau di Iskandariyah beliau juga belajar hadis dengan Abu
al-Hasan Ali bin Ja’far. Perjalanannya ke negeri Timur ini memberikan kefakihan
dan menambahnya wawasan beliau dalam ilmu-ilmu keislaman, sehingga ia dapat
memberikan corak pendidikan Islam walaupun dalam bentuk sederhana. Salah satu
kegemilangan yang beliau peroleh dari perjalanannya ke Timur ialah alQabisi
adalah orang yang pertama kali membawa kitab Shahih Bukhari ke Afrika Utara
(Nasir, 2003: 73).
Oleh
sebab itu, para ulama banyak memberikan interpretasi tentang keilmuan yang
dimiliki alQabisi dan begitu juga tentang sifat-sifat atau keutamaan beliau,
al-Suyuti misalnya, mengatakan bahwa al-Qabisi adalah seorang huffazh, dan
al-Qabisi juga orang yang banyak hafal hadis, ahli teologi, dan ahli fiqh,
bersifat zahid dan wara’. Sedangkan Ibn Khaldun berkomentar bahwa al-Qabisi
adalah seorang yang ahli hadis, baik dari segi maknanya maupun dari segi sanad
hadis. Demikian halnya Qadhi Iyad berpendapat selain al-Qabisi juga seorang
yang wara’, beliau juga seorang da’i yang mashur dan ahli fiqih di Qairawan.
(Al-Ahwani, 1955: 28)
Al-Qabisi
adalah seorang ilmuan sekaligus sebagai pemikiran pendidikan yang sangat jenius, di mana banyak karya-karya
yang ditinggalkannya dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan sebagai khazanah
bagi intelektual muslim, sebagaimana menurut Qadhi Iyad, Ibn Farhun dan
Abdurrahman. Kitab-kitab yang dikarang al-Qabisi ialah (Mushthafa, 1994: 549):
Al-Muhid al-Fiqh wa Ahkam adDiyanah, Al-Mub’id min Syibhi at-Ta’wil,
Al-Munabbih li al-Fithan an Ghawail Fitan, Al-Risalah alMufashshalah li Ahwal
al-Muta’allimin wa Ahkam al-Mu’allimin wa al-Muta’allimin, Al-I’tiqadat,
Manasik al-Hajj, Mulakhkhas li al-Muwattha’, Al-Risalah an-Nasyiriyah fi
al-Radd ala’ al-Bikriyyah, dan Al-Zikr wa al-Du’a`.
Dengan
pemikiran al-Qabisi tentang pendidikan Islam dapat disimpulkan bahwa al-Qabisi
adalah seorang faqih dan hafizh al-Qur`an dan hadis dan seorang yang memahami
bahasa Arab dengan baik. Dengan demikian, konsep-konsep yang beliau tawarkan
dalam pendidikan cenderung berlandaskan alQur`an dan Sunnah, yang paradigma
pemikirannya terkesan normatif. Meski demikian, kondisi lingkungannya ketika
itu masih mempunyai relevansi dengan konsep yang ia tawarkan, sehingga
dijadikan pedoman bagi pengajaran anak-anak pada masa abad keempat hijriyah.
Pada
prinsipnya pengembangan konsep pendidikan Islam tidak hanya berhenti dalam
tekstual normatif saja, perlu pengkajian yang mendalam dari berbagai aspek,
baik sosiologis, geografis, maupun falsafah suatu bangsa itu sendiri. Sangat
tidak mungkin menetapkan kurikulum pendidikan atau metode mengajar dan tujuan
pendidikan berdasarkan satu aspek saja. Pendidikan yang maju dalam perspektif
al-Qabisi dapat dilihat dari terwujudnya lingkungan keagamaan di berbagai
daerah kekuasaan Islam ketika itu. Adalah suatu hal yang wajar jika beliau
menetapkan konsep pendidikan yang menjadi pedoman di masanya (Muslim, 2016:
210-211).
b. Muhammad
Abduh
Muhammad
Abduh lahir di sebuah dusun di Delta sungai Nil pada tahun 1849, dan beliau
meninggal pada 11 juli 1905. Keluarganya terkenal berpegang teguh pada ilmu dan
agama. Sejak muda beliau sudah di kenal hafal Al-Qur’an, Muhammad Abduh adalah
sajana pendidik dan mufti, theology, alim dan juga pembaharuan (Suwito dan
Fauzan, 2008: 88).
Menginjak
usianya yang ke tiga belas tahun serta bekal pendidikan rumahan, Abduh dikirim
ke masjid Ahmadi yang terletak di Thantha untuk menimba ilmu tajwid dan ilmu
pengetahuan lainnya. Sebagai tempat ibadah sekaligus merangkap tempat
pendidikan, Masjid Ahmadi memang tidak semegah dan seterkenal universitas
Al-Azhar, tetapi dari sumberdaya dan kepeiawayannya dalam mendidik siswa
lebih-lebih persoalan Al-Quran, Masjid Ahmadi dipandang satu tingkat berada
dibawah Al-Azhar. Pengalaman pertama Abduh kecil di lembaga tersebut dalam upayanya
menghafal dan memberikan ulasan serta memahami Al-Quran, untuk kemudian menjadi
sebuah produk hukum membuat Abduh kecil jenuh, sebab sistem pengajaran yang
dibangun, serta penerapan pengajarannya jauh dari apa yang Abduh kecil
harapkan. Karena merasa mandul dalam berfikir dan dambaan kebahagiaan dalam
belajar tidak dirasakan, akhirnya Abduh kecil meninggalkan Masjid Ahmadi di
Tantha dan bertekad untuk tidak kembali pada kehidupan akademis. Dalam kondisi
“galau” tersebut Abduh kecil pulang ke kampung halamannya. Menjadi seorang
pemuda Dusun dengan keruwetan hidup ditengah keluarga yang berpoligami, membuat
Abduh di usia enambelas tahun mengambil keputusan final yang terlalu dini dan
berani yaitu: menikah dengan seorang gadis pujaannya (Hourani, 1970: 131).
Abduh
mencoba mengakhiri waktu lajangnya dengan segenap kekecewaan dalam hidup
sepulang dari pengembaraan intelektual, untuk membangun suatu kehidupan baru
dengan mahligai rumah tangga (Shihab, 1994: 12). Perjalanan mahligai rumah tangga Abduh berjalan
seperti layaknya rumah tangga kebanyakan orang. Susah-senang menjadi selimut
kisah dalam kehidupan rumah tangganya. Kemudian Abduh mencoba hidup
bermasyarakat sebab hal itu adalah salah satu keharusan sebagai bagian dari
sebuah masyarakat. Menjelang empat puluh hari usia pernikahannya, ayah Abduh
menyuruhnya untuk kembali belajar ke masjid Ahmadi. Sebagai anak yang taat,
Abduh mengikuti kehendak sang ayah, namun diperjalanan Aduh membayangkan
kejenuhan belajar di masjid Ahmadi, Akhirnya Abduh membelot pada sebuah distrik
Gereja orent yang disekitar distrik tersebut dihuni oleh mayoritas keluarga dan
kerabat ayahnya Abduh (Ahmad, 1978: 66).
Darwisy
Khadar adalah seorang syekh (guru spritual) sufi dari tarekat Syadzili.
Ditempat inilah Abduh berjumpa dengan Darwisy Khadar. (Mengenai Darwisy Khadar
terjadi kesimpang-siuran informasi. Ada yang berpendapat bahwa Darwisy adalah
paman Abduh tetapi ada juga yang berpendapat bahwa Ia adalah paman dari ayahnya
Abduh). Darwisy memberikan pandanganpandangannya kepada Abduh. Sederet mutiara
sufi terlontar dalam percakapan-percakapan lepas. Abduh yang telah sekian lama
meninggalkan dunia berfikir (dunia akademis) menjadi kembali tercerahkan.
Perjumpaan Abduh dengan Darwisy membuat geliat intelektual Abduh kembali bersemi.
Darwisy
masuk dalam kehidupan Abduh dan menjadi guru spritualnya ditengah galaunya
kehidupan Abduh. Darwisy terus menerus menyirami Abduh dengan berbagai macam
keilmuan. Abduh tidak hanya menerima pelajaran tantang bagaimana dunia sufi
dari Darwisy tetapi, pelajaran etika dan moral serta praktik kezuhudan dalam
dunia sufi. Memang tidak terlalu lama Abduh bersama Darwsy tetapi dari
pertemuan tersebut Abduh seakan menemukan “ruh” baru serta semangat yang
menggebu dalam mengarungi lautan keilmuan. Dengan tasawuf rasa haus Abduh
selama masa keputus-asaan seakan sirna. Tetes madu ajaran tasawuf membuat Abduh
berenergi kembali. Abduh menjadi lebih tertarik untuk masuk dalam kehidupan
dunia tasawuf bahkan, dalam pengembaraannya di dunia tasawuf, Abduh sempat melakukan
zuhud walau sesaat. Hal tersebut dilakukan oleh Abduh sebagai bentuk
keterasingan dirinya menyikapi ajaran tasawuf yang secara lahiriah menurut
Abduh banyak hal yang perlu dikritisi. Nasehat Darwsiy mengakhiri sikap zuhud
Abduh untuk meninggalkannya.
Akhir
dari pengalaman spritualnya dalam dunia tasawuf setelah keluar dari kezuhudan,
membuat Abduh semakin bergairah untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Pada saat itulah Abduh merasa berada disimpang jalan sebab, disatu sisi Abduh
sudah memiliki istri tetapi disisi lain, semangat keilmuannya terus-menerus
merong-rongnya. Pilihan pelik tersebut akhirnya mendapatkan jawaban pada tahun
1866 sebab, pada tahun itulah Abduh meninggalkan Darwisy menuju masjid Ahmady.
Namun sayang banyak guru besar di lembaga tersebut telah tiada. Ditengah
kebimbangannya, Abduh mendapat saran dari seseoranng untuk meneruskan
pendidikannya ke Al-Azhar. Saat itulah Abduh mengambil keputusan dan melakukan
pengembaraan intelektual menuju Kairo untuk belajar di AlAzhar. ketika sedang
mengikuti kegiatan pendidikan di AlAzhar, kembali Abduh menelan kekecewaan yang
disebabkan oleh sikap menonjolkan diri para siswa Al-Azhar, baik dari sisi
keilmuan, lebih-lebih dalam menghafal Al-Quran yang menurut kacamata Abduh, hal
tersebut hanya berupa hafalan yang kering pemahaman terhadap makna naṣ
Al-Quran.
Apa
yang dirasakan Abduh mendapat pembenaran dari Syekh Mustafa Kamal Al-Maraghi
mengenai pembelajaran Al-Quran. Maraghi menyatakan bahwa Al-Azhar pada saat
Abduh belajar memang masih suram, karena sistem pembelajarannya masih
menggunakan standar aturan pudar yang terputus dari sumbernya, yakni Al-Quran
yang tercerabut dari akarnya, bahasa Arab. Al-Azhar bagi Abduh kurang
memberikan rangsangan dalam membangun minat intelektualnya. Metode-metode
pengajaran yang kolot serta kurikulum yang kuno membuat Abduh sering tidak
kerasan. Kekosongankekosongan terbesar dalam kurikulum tersebut bagi Abduh
adalah tidak adanya mata kuliah teologi dan filsafat sebab di Al-Azhar kala itu
dua mata kuliah tersebut dianggap bid’ah. Ketidak kerasanan Abduh di Al-Azhar
semakin mengental ketika Abduh berjumpa dengan Jamaluddin AlAfghani
(1839-1897), dan dari perjumpaan itulah Abduh mulai mengenal bagaimana
menafsirkan AlQuran yang baik dan lebih rasional. Kemudian pada (Al-Maraghi,
1996: 37).
Dalam
hal berkarya, Abduh juga termasuk salah satu tokoh yang sangat produktif,
karyakaryanya berserakan, terutama di surat kabar yang memang sengaja diasuhnya
sebagai media pembaharuan, baik bersama gurunya Afghani ataupun Abduh sendiri.
Diantara karya Abduh yang dibukukan adalah Risālah Al-Ridat (1873) yang
kemudian disusul dengan karya berikutnya yaitu Hasyiah Syirah Al-Jalal
Ad-Dawwani Lil-Aqo’id AlAḍuḍiyah (1875). Karya-karya tersebut berisi tentang
aliran-aliran filsafat, kalam dan tasawuf serta berisi keritikan-keritikan yang
dianggapnya salah. Karyanya ini ditulis oleh Abduh sejak dua tahun pertemuannya
dengan Al-Afghani dan usianya ketika itu sekitar 26 tahun.
Kemudian
karyanya yang lain adalah Risālah At-Tauhid dalam bidang teologi yang
ditulisnya pada tahun 1885 dan Sharah Nahjul Balāgah yang berisi tentang
komentar atas kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali bin Abi Ṭalib. Selanjutnya
Abduh juga melakukan penerjemahan-penerjemahan diantaranya Abduh menerjemahkan
Ar-Raddu Ala AlDahriyyīn dari bahasa Persia kedalam bahasa Arab. Buku tersebut
berisi tentang bantahan terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan
kemudian Sharah Maqamal Badi al-Zaman Al-Hamazani, kitab yang berisi tentang
bahasa dan sastra Arab. Kedua karya tersebut merupakan karya guru sekaligus
sahabat Abduh yaitu Al-Afghani (Nasution, 1992: 61).
Pemikiran
Abduh tersebut merefleksikan sebuah gagasan masa depan umat Islam dalam
merumuskan setiap persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Dalam hal apapun,
sesungguhnya Islam tidak mengikat umatnya untuk tunduk dan pasrah pada hasil
olah pikir masa lalu. Bahwa produk pemikiran keislaman tentu bersumber dari
Al-quran dan hadist. Tugas setiap generasi Islam adalah menggali makna-makna
yang terkandung dalam Alquran. Dan hadis untuk kepentingan zamannya. Produk
pemikiran atau produk hukum yang ada tidak untuk disingkirkan apalagi menjadi
belenggu tetapi menjadi titik pijak guna menentukan memproduksi pemikiran yang
tepat. Sehingga perbedaan simpulan hukum tidak dimaknai sebagai pembangkangan,
tetapi sebagai sebuah kreasi pemikiran yang betul-betul maslahah bagi umat.
Abduh telah membentangkan cara berfikir yang brilian untuk masa depan umat
Islam. Tidak takut dianggap bid’ah dan berfikir objektif guna kemaslahatan umat
Islam.
c. Hasan
Al-Banna
Nama
lengkapnya adalah Hasan Ahmad Abdurrahman Al-Banna as-Sa’ati, atau lebih
dikenal dengan panggilan Hasan al-Banna, seorang da’i pembaharu. Ia dilahirkan
pada hari Ahad tanggal 25 Sya’ban 1324 H. bertepatan tangal 14 Oktober 1906 M,
di Hamudiyah, Provinsi Buhairah, Mesir. Ayahnya bernama Asy-Syaikh al-Alim
Ahmad Abdurrahman al-Banna as-Sa’ati, salah seorang ulama besar di zamannya.
Beliau merupakan ulama yang menertibkan dan mensyarah kitab Musnad al-Imam
Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani. Kitabnya adalah Bulug al-Amani min Asrar al-Fath
ar-Rabbani, dalam 14 jilid. Hasan al-Banna mulai perjalanan ilmiahnya dengan
memelajari al-Qur`an ketika berumur empat tahun. Di usianya yang masih belia,
al-Banna sudah berhasil mengkhatamkan al-Quran dan juga diberi banyak wawasan
oleh ayahandanya (Al-Bana, t.th: 13-14).
Antusias
dalam memperluas cakrawala keimuannya. Ia mulai menghafal banyak matan kitab
berbagai disiplin ilmu, seperti Milhat al-I’rab karya al-Hariri, Alfiyyah karya
Ibnu Malik, al-Yaqutiyah kitab Mustalah Hadis, Jauharah at-Tauhid, Rahabiyyah,
as-Sullam, berbagai matan al-Qaduri kitab fikih Abu Hanifah, Matan Gayah wa
at-Taqrib karya Abu Syuja’ kitab fikih Syafi’iyyah, dan beberapa Manzumah Ibnu
Amir tentang fikih Malikiyyah. Ayahandanya senantiasa memotivasi al-Banna kecil
dengan ungkapannya yang menyentuh, “Man Hafiza al-Mutun, Haza al-Funun” (Siapa
rajin menghafal matan, ia akan menguasai berbagai disiplin ilmu). Tidak heran,
jika al-Banna sedari kecil sudah begitu mencintai ilmu dan memiliki wawasan
yang luas (Asy-Syurbaji, 1998: 46)
Hasan
al-Banna telah mendirikan dakwah di Ismailiyyah, serta banyak membangun
lembagalembaga. Jumlah Ikhwanul Muslimin semakin banyak dan semakin menguat.
Setelah itu, Hasan alBanna pindah dakwah ke Kairo untuk menyebarkannya ke
penjuru dunia. Pada bulan Februari 1941, akibat desakan dari Inggris, Hasan
al-Banna diasingkan di Qina, Mesir. Adapun orang yang memutuskan hal tersebut
adalah Husain Sari dan Muhammad Husain Haikal, selaku menteri pendidikan.
Pengasingan ini tidak hanya awal mula permusuhannya terhadap Hasan al-Banna dan
dakwahnya, namun persoalannya semakin meluas. Terutama setelah para duta besar
Inggris, Amerika dan Prancis berkumpul di Fayed dan mengambil keputusan supaya
membubarkan kelompok Ikhwanul Muslimin. Mereka mengancam kemerdekaan Kairo dan
Alexandria. Dengan demikian, pada tanggal 8 Desember 1948, menteri dalam negeri
mengeluarkan putusan pembubaran kelompok Ikhwanul Muslimin. Adapun terkait
sikap Hasan al-Banna terhadap peradaban Barat adalah sama dengan sikap yang
ditunjukkan oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan para
pembaharu Islam di era modern, yaitu tetap menerima ilmu dan pengetahuan Barat
tanpa harus tenggelam dalam kehidupan sosial dan akhlak mereka. Pengaruh dakwah
dan pemikiran Hasan al-Banna tetap berlanggung hingga sekarang ini. Bahkan,
hasil pemikirannya mampu mencetuskan nama-nama tokoh besar, baik penulis, da’i,
dan ulama di berbagai aspek pemikiran Islam.
Dengan
pemikiran dakwah dan pembaharuannya, Hasan al-Banna telah berhasil memberi
banyak pengaruh terhadap tokoh-tokoh pembangkit Islam. Sehingga tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa beliau merupakan tokoh Islam terdepan abad ke
14 H. Hal ini melihat begitu detil dan tersrukturnya dasar-dasar pemikiran yang
dibangunnya padahal ketika itu baru berumur 23 tahun. Andaikata bukan karena
struktur ini, tentu Hasan al-Banna tidak lebih sekedar seorang dai yang
memiliki kemampuan memikat hati saja. Akan tetapi, dengan pola yang terstruktur
ini, Hasan al-Banna telah berhasil menciptakan jamaah yang solid yang tidak
bisa dilakukan oleh para ulama dan dai, meski syahid diusia muda.
Benar
apa yang disampaikan Rasulullah dalam prediksinya, bahwa pada setiap 100 tahun
Allah akan mengutus seseorang yang memperbaruhi persoalan agamanya. Maka,
diutuslah Hasan al-Banna yang menghidupkan akidah di hati kaum muslimin,
mengikat hati-hati mereka dengan cinta dan persaudaraan, memperbaharui
pemikiran serta menghidupkan jihad dan pergerakan guna menyebakan dakwah Islam
di muka bumi (Misbah, 2015: 409-410).
d. Ibnu
Khaldun
Nama
lengkapnya adalah Abd al-Rahman bin Muhammad bin Khaldun al-Hadrawi, dikenal
dengan panggilan Waliyuddin Abu Zaid, Qadi al-Qudat. Ia lahir tahun 732 H di
Tunis. Ia bermazhab Maliki, Muhadist al-Hafidz, pakar ushul fiqh, sejarawan,
pelancong, penulis dan sastrawan (AlMaraghi, 2001: 287).
Nenek
moyangnya berasal dari Hadramaut yang kemudian berimigrasi ke Seville (Spanyol)
pada abad ke-8 setelah semenanjung itu dikuasai Arab muslim. Keluarga yang
dikenal pro Umayah ini selama berabad-abad menduduki posisi tinggi dalam
politik di Spanyol, sampai akhirnya hijrah ke Maroko beberapa tahun sebelum
Seville jatuh ke tangan Kristen pada 1248 M. Setelah itu mereka menetap di
Tunisia. Di kota ini mereka dihormati oleh pihak istana, diberi tanah milik
dinasti Hafsiah (Ma’arif, 1996: 12).
Latar
belakang keluarga dari kelas atas ini rupanya menjadi salah satu faktor penting
yang kemudian mewarnai karir hidup Ibnu Khaldun dalam politik sebelum ia terjun
sepenuhnya ke dunia ilmu. Otak cerdas yang dimilikinya jelas turut bertanggung
jawab mengapa ia tidak puas bila tetap berada di bawah. Orientasi ke atas
inilah yang mendorongnya untuk terlibat dalam berbagai intrik politik yang
melelahkan di Afrika Utara dan Spanyol. Dalam usia muda Ibnu Khaldun sudah
menguasai beberapa disiplin ilmu Islam klasik, termasuk ‘ulum aqliyah
(ilmu-ilmu kefilsafatan, tasawuf dan metafisika). Di bidang hukum, ia mengikuti
mazhab Maliki. Di samping itu semua, ia juga tertarik pada ilmu politik,
sejarah, ekonomi, geografi, dan lain-lain (Mahdi, 1971: 27-29).
Otaknya
memang tidak puas dengan satu dua disiplin ilmu saja. Di sinilah terletak
kekuatan dan sekaligus kelemahan Ibnu Khaldun. Pengetahuannya begitu luas dan
berfariasi ibarat sebuah ensiklopedi. Namun dari catatan sejarah, ia tidak
dikenal sebagai seorang yang sangat menguasai satu bidang disiplin. Karya-karya
Ibnu Khaldun, termasuk karya-karya yang monumental. Ibnu Khaldun menulis banyak
buku, antara lain; Syarh al- Burdah, sejumlah ringkasan atas buku-buku karya
Ibnu Rusyd, sebuah catatan atas buku Mantiq, ringkasan (mukhtasor) kitab
al-Mahsul karya Fakhr al-Din alRazi (Ushul Fiqh), sebuah buku lain tentang
matematika, sebuah buku lain lagi tentang ushul fiqh dan buku sejarah yang
sangat dikenal luas. Buku sejarah tersebut berjudul Al-Ibar wa Diwan
al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Tarikh al-Arab wa al-Ajam wa al-Barbar. Ibnu Khaldun
melalui buku ini benar-benar menunjukkan penguasaannya atas sejarah dan
berbagai bidang ilmu pengetahuan (Al-Maraghi, 2001: 287).
Di
samping kitab tersebut, kitab al-Muqoddimah Ibnu Khaldun merupakan karya
monumental yang mengundang para pakar untuk meneliti dan mengkajinya. Buku
Muqaddimah yang ia tulis benarbenar telah mebuka mata para ilmuwan muslim
maupun non muslim untuk mengkajinya. Karya ini diterjemahkan dalam banyak
bahasa, dan dalam proses tersebut, Ibnu Khaldun akhirnya memperoleh atribut
yang luar biasa, sebagai filosof sejarah, sejarawan, bapak sosiologi,
geografer, ekonom, ilmuwan politik, dan lain-lain. Khusus berkaitan dengan tema ekonomi, Ibnu
Khaldun telah pula memprediksikan banyak hal yang akhirnya menjadi persoalan
yang sampai pada dunia modern saat ini tetap mengemuka sebagai wacana yang
tidak akan berhenti untuk dibicarakan. Sebagai contoh yang ia ajukan adalah
kasus usaha pribadi dan usaha publik, perlakuan dunia atas mata uang yang
akhirnya mempunyai fungsi yang sangat fital dalam dunia ekonomi, dan lain-lain.
Apa yang dikemukakan tersebut, murni berasal dari pemikiran cerdas Ibnu Khaldun
(Huda, 2013: 121-122).
e. Ibnu
Battutah
Ketika
disebut nama Maroko, maka yang paling terlintas di benak orang Indonesia adalah
Ibnu Batutah, Sang petualang legendaris dari Negeri Matahari Terbenam ini. Ia
dianggap sebagai pelopor penjelajah abad 13 M yang belum tertandingi, sekalipun
ada Marcopolo yang juga melakukan penjelajahan dunia. Namun Marcopolo masih
tidak sebanding dengan Ibnu Batutah terutama dalam kuantitas perjalanan.
Karenanya, ia dijuluki dengan sebutan “Pengembara muslim Arab”. Perjalanan
panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia itu mampu melampaui sejumlah
penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti Christopher Columbus,
Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai setelah Ibnu Batutah. Sejarawan Barat,
George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Batutah melebihi
capaian Marcopolo. Tak heran, bila Sarton geleng-geleng kepala dan mengagumi
ketangguhan seorang Ibnu Batutah yang mampu mengarungi lautan dan menjelajahi
daratan.
Nama
lengkap Ibnu Batutah adalah Muhammad Abu Abdullah bin Muhammad Al Lawati Al
Tanjawi yang kemudian dikenal dengan Ibnu Batutoh. Lahir di Tanger (kota di
sebelah utara Maroko) 24 Februari 1304 M/ 703 H dan wafat di kota kelahirannya
pada tahun 1377 M/ 779 H. Versi lain mengatakan, ia wafat di kota Fez atau
Casablanca. Namun pendapat yang rajih (benar) ia dimakamkan di tanah
kelahirannya, sebagaimana makamnya terdapat di kota wisata Tanger-Maroko. Ibnu
Batutah berasal dari keturunan bangsa Barbar. Besar dalam keluarga yang taat
memelihara tradisi Islam. Saat itu, Maroko sedang dikuasai Dinasti Mariniah. Ia
dikenal sangat giat mempelajari fiqh dari para ahli yang sebagian besarnya
menduduki jabatan Qadhi (hakim).
Beliau
juga mempelajari sastra dan syair Arab. Pencapaian Ibnu Battutah yang luar
biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah
benua Afrika. ''Aku tinggalkan Tangier, kampung halamanku, pada Kamis 2 Rajab
725 H/ 14 Juni 1325 M. Saat itu usiaku baru 21 tahun empat bulan. Tujuanku
adalah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci di Makkah dan berziarah ke makam
Rasulullah SAW di Madinah”, kisah Ibnu Battutah pengembara dan penjelajah
Muslim terhebat di dunia membuka pengalaman perjalanan panjangnya dalam buku
catatannya, Rihlah. Dengan penuh kesedihan, Ia meninggalkan orangtua serta
sahabat sahabatnya di Tangier. Tekadnya sudah bulat untuk menunaikan rukun iman
kelima. Perjalananya menuju ke Baitullah telah membawanya bertualang dan
menjelajahi dunia. Seorang diri, dia mengarungi samudera dan menjelajah daratan
demi sebuah tujuan mulia.
Selama
hampir 30 tahun, dia telah mengunjungi tiga benua mulai dari Afrika Utara,
Afrika Barat, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia engah, Asia
Tenggara, dan Cina. Perjalanan panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia
itu mencapai ratusan ribu kilometer. Tak heran, bila kehebatannya mampu
melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti
Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai berlayar 125 tahun
setelah Ibnu Battutah.
Sejarawan
Barat, George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Battutah
melebihi capaian Marco Polo. Pria kelahiran Tangier 17 Rajab 703 H/ 25 Februari
1304 itu bernama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim
At-Tanji, bergelar Syamsuddin bin Battutahh. Sejak kecil, Ibnu Battutah
dibesarkan dalam keluarga yang taat menjaga tradisi Islam. Ibnu Battutah
tertarik untuk mendalami ilmu-ilmu fikih dan sastra dan syair Arab. Kelak, ilmu
yang dipelajarinya semasa kecil hingga dewasa itu banyak membantunya dalam
melalui perjalanan panjangnya. Ketika Ibnu Battutah tumbuh menjadi seorang
pemuda, dunia Islam terbagi-bagi atas kerajaan-kerajaan dan dinasti. Ia sempat
mengalami kejayaan Bani Marrin yang berkuasa di Maroko pada abad ke-13 dan 14
M.
Latar
belakang Ibnu Battutah begitu jauh berbeda bila dibandingkan Marco Polo yang
seorang pedagang dan Columbus yang benar-benar seorang petualang sejati. Meski
Ibnu Battutah adalah seorang teologis, sastrawan puis,i dan cendekiawan, serta
humanis, namun ketangguhannya mampu mengalahkan keduanya. Meski hatinya berat
untuk meninggalkan orang-orang yang dicintainya, Ibnu Battutah tetap
meninggalkan kampung halamannya untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah yang
berjarak 3.000 mil ke arah Timur. Dari Tangier, Afrika Utara dia menuju
Iskandariah. Lalu kembali bergerak ke Dimyath dan Kaherah. Setelah itu, dia
menginjakkan kakinya di Palestina dan selanjutnya menuju Damaskus. Ia lalu
berjalan kaki ke Ladzikiyah hingga sampai di Allepo. Pintu menuju Makkah
terbuka dihadapannya setelah dia melihat satu kafilah sedang bergerak untuk
menunaikan ibadat haji ke Tanah Suci. Ia pun bergabung dengan rombongan itu.
Beliau menetap di Makkah kurang lebih selama dua tahun. Setelah cita-citanya
tercapai, Ibnu Battutah, ternyata tak langsung pulang ke Tangier, Maroko. Ia
lebih memilih untuk meneruskan pengembaraannya ke Yaman melalui jalan laut dan
melawat ke Aden, Mombosa, Timur Afrika dan menuju ke Kulwa. Ia kembali ke Oman
dan kembali lagi ke Makkah untuk menunaikan Haji tahun 1332 M, melaui Hormuz,
Siraf, Bahrin dan Yamama.
Itulah
putaran pertama perjalanan yang tempuh Ibnu Battutah. Pengembaraan putara
kedua, dilalu Ibnu Battutah dengan menjelajahi Syam dan Laut Hitam. Ia lalu
meneruskan pengembaraannya ke Bulgaria, Roma, Rusia, Turki serta pelabuhan
terpenting di Laut Hitam yaitu Odesia, kemudian menyusuri sepanjang Sungai
Danube. Ia lalu berlayar menyeberangi Laut Hitam ke Semenanjung Crimea dan
mengunjungi Rusia Selatan dan seterusnya ke India. Di India, ia pernah diangkat
menjadi kadi. Dia lalu bergerak lagi ke Sri Langka, Indonesia, dan Canton.
Kemudian Ibnu Battutah mengembara pula ke Sumatera, Indonesia dan melanjutkan
perjalanan melalui laut Amman dan akhirnya eneruskan perjalanan darat ke Iran,
Irak, Palestina, dan Mesir. Beliau lalu kembali ke Makkah untuk menunaikan
ibadah hajinya yang ke tujuh pada bulan November 1348 M. Perjalanan putaran
ketiga kembali dimulai pada 753 H. Ia terdampar di Mali di tengah Afrika Barat
dan akhirnya kembali ke Fez, Maroko pada 1355 M. Ia mengakhiri cerita
perjalannya dengan sebuah kalimat, ''Akhirnya aku sampai juga di kota Fez.'' Di
situ dia menuliskan hasil pengembaraannya. Salah seorang penulis bernama Mohad
Ibnu Juza menuliskan kisah perjalanannya dengan gaya bahasa yang renyah. Dalam
waktu tiga bulan, buku berjudul Persembahan Seorang pengamat tentang Kota-Kota
Asing dan Perjalanan yang Mengagumka, diselesaikannya pada 9 Desember 1355 M.
Secara
detail, setiap kali mengunjungi sebuah negeri atau negara, Ibnu Battutah
mencatat mengenai penduduk, pemerintah, dan ulama. Ia juga mengisahkan kedukaan
yang pernah dialaminya seperti ketika berhadapa dengan penjahat, hampir pingsan
bersama kapal yang karam dan nyaris dihukum penggal oleh pemerintah yang zalim.
Ia meninggal dunia di Maroko pada pada tahun 1377 M. Kisah Ibnu Battutah yang
luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah
benua Afrika.
Petualangan
dan perjalanan panjang yang ditempuh Ibnu Battutah sempat membuatnya terdampar
di Samudera Pasai-kerajaan Islam pertama di Nusantara pada abad ke-13 M. Ia
menginjakkan kakinya di Aceh pada tahun 1345. Sang pengembara itu singgah di
bumi Serambi Makkah selama 15 hari. Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah
melukiskan Samudera Pasai dengan begitu indah. ''Negeri yang hijau dengan kota
pelabuhannya yang besar dan indah,'' tutur sang pengembara berdecak kagum.
Kedatangan penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari
para ulama dan pejabat Samudera Pasai. Ia disambut oleh pemimpin Daulasah, Qadi
Syarif Amir Sayyir al-Syirazi, Tajudin al-Ashbahani dan ahli fiqih kesultanan.
Menurut Ibnu Battutah, kala itu Samudera Pasai telah menjelma sebagai pusat
studi Islam di Asia Tenggara. Penjelajah termasyhur itu juga mengagumi Sultan
Mahmud Malik Al-Zahir penguasa Samudera Pasai. ''Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah
seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat
rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki.
Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat
keadaan rakyatnya,'' kisah Ibnu Battutah.
Menurut
Ibnu Battutah, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah belajar yang tinggi
untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama. Dia juga mencatat, pusat studi
Islam yang dibangun dii lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama
dan elit kerajaan. Selama berpetualang mengelilingi dunia dan menjejakkan
kakinya di 44 negara, dalam kitab yang berjudul Tuhfat al-Nazhar, Ibnu Battutah
menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang memiliki kelebihan yang luar
biasa. Ketujuh raja yang dikagumi Ibnu Battutah itu antara lain; raja Iraq yang
dinilainya berbudi bahasa; raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah; raja
Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia; raja Turki dikaguminya karena gagah
perkasa; Raja Romawi yang sangat pemaaf; Raja Melayu Malik Al-Zahir yang
dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, sera raja Turkistan.
Setelah
berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu Battutah
akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina. Catatan
perjalanan Ibnu Battutah itu menggambarkan pada abad pertengahan, peradaban
telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara. Meskipun Ibnu Battutahh bukanlah
seorang ilmuan jenius tetapi petualangan dan pengembaraannya. Ibnu Batutah yang
mampu mengarungi lautan dan menjelajahi daratan sepanjang kurang lebih 120.000
kilometer itu. Sebuah pencapaian yang tak ada duanya di masa itu. Bahkan
sekarang telah berlalu enam abad silam, namun kebesaran dan kehebatannya hingga
kini tetap dikenang.
4. Pusat-pusat
peradaban Islam di Afrika
Umat
muslim Afrika tak hanya tinggal di negara-negara di kawasan Afrika Utara saja.
Di Afrika Selatan, banyak juga umat Muslim meski menjadi minoritas. Uniknya,
kehidupan umat Muslim Afrika Selatan kental dengan nuansa dan budaya Indonesia
karena Islam di negara ini disebarkan oleh seorang ulama dari Makasar. Beberapa
kosa kata Indonesia dan makanan Indonesia pun kini masih eksis di Afrika
Selatan. Negara Afrika Selatan merupakan negara di bagian selatan benua Afrika
yang mayoritas penduduknya beragama protestan. Islam disini menjadi agama
minoritas, yaitu dipeluk sekitar 1.045.000 orang atau 1,9% dari jumlah penduduk
Afrika Selatan yang berasal dari ras campuran.
Salah
satu kota di Afrika Selatan yang memiliki komunitas muslim besar adalah Cape
Town. Sekitar 20% penduduk kota ini adalah umat Muslim. Mereka biasa disebut
Melayu Cape. Uniknya kehadiran Islam di Afrika Selatan erat hubungannya dengan
sejarah Indonesia. Pada abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 Belanda yang
kala itu menjajah Afrika Selatan mengirim budak-budak, tahanan perang dan
tahanan politik dari Indonesia untuk dipaksa bekerja dan diasingkan agar tak
mengganggu upaya VOC menguasai Indonesia. Salah satu yang diasingkan ke Afrika
Selatan adalah Tuang atau Syaikh Yusuf atau Abadin Tadia Tjoessoep, seorang
bangsawan dari Makasar yang juga keponakan raja Goa. Ia diasingkan di sebuah
lokasi di luar Cape Town bersama keluarga dan pengikutnya.
Ternyata tempat pengasingan Tuang Yusuf malah menjadi tempat pertemuan para budak buronan dan orang-orang yang diasingkan oleh Belanda hingga terbentuk komunitas muslim pertama di Afrika Selatan. Area tempat tinggal Tuang Yusuf kini disebut sebagai Macassar. Selain Tuang Yusuf, komunitas Muslim di Afrika Selatan dibentuk oleh orang-orang Jawa, Ambon, Tidore, Sumatra, India Muslim dan migrasi orang-orang Afrika Utara. Sebagai penyebar Islam di Afrika Selatan, makam Tuang Yusuf kini menjadi destinasi wisata dan tempat ziarah yang penting bagi umat Muslim. Makamnya berada di sebuah bukit yang menghadap Macassar. Komunitas muslim di kota Cape Town pun tak hanya tinggal di Macassar tapi di area lainnya.
Ternyata tempat pengasingan Tuang Yusuf malah menjadi tempat pertemuan para budak buronan dan orang-orang yang diasingkan oleh Belanda hingga terbentuk komunitas muslim pertama di Afrika Selatan. Area tempat tinggal Tuang Yusuf kini disebut sebagai Macassar. Selain Tuang Yusuf, komunitas Muslim di Afrika Selatan dibentuk oleh orang-orang Jawa, Ambon, Tidore, Sumatra, India Muslim dan migrasi orang-orang Afrika Utara. Sebagai penyebar Islam di Afrika Selatan, makam Tuang Yusuf kini menjadi destinasi wisata dan tempat ziarah yang penting bagi umat Muslim. Makamnya berada di sebuah bukit yang menghadap Macassar. Komunitas muslim di kota Cape Town pun tak hanya tinggal di Macassar tapi di area lainnya.
Sarana
penyebaran Islam di benua ini dilakukan melalui berbagai cara. Misalnya,
ekspansi melalui penaklukan, seperti yang terjadi di Afrika Utara. Setelah Arab
menaklukkan Afrika Utara pada abad ke-7 dan ke-8 M, terjadi proses Islamisasi
dan Arabisasi di Afrika Utara.
Sementara
itu, Islam masuk ke Afrika bagian selatan melalui para budak Melayu yang dibawa
orang Eropa. Di Afrika Timur, Islamisasi tampak jelas melalui kedatangan dan
ekspansi Arab, pada masa-masa awal hingga abad ke-20. Di antara bukti
Islamisasi yang kuat di Afrika adalah masjid-masjid tua bersejarah yang masih
bertahan hingga kini. Di antaranya sebagai berikut:
a. Masjid
Agung Kairouan
Masjid
Agung Kairouan atau dikenal sebagai Masjid Uqba merupakan salah satu masjid
paling penting di Tunisia. UNESCO telah menjadikan masjid ini sebagi warisan
dunia. Masjid Agung Kairouan adalah salah satu monumen Islam yang paling
mengesankan dan terbesar di Afrika Utara Masjid ini diirikan Uqba bin Nafi pada
670 M, pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah. Masjid Uqba, oleh para
penerusnya dihiasi pilar-pilar marmer yang didapat dari piung-piung Kartago,
yang kemudian dimanfaatkan lagi oleh penguasa Aqlabiyah. Menara persegi yang
melengkapi bangunan masjid ini, merupakan peninggalan Dinasti Umayyah, dan
termasuk yang paling lama bertahan di Afrika. Berkat masjid ini, Kairouan di
mata sejarawan Barat menjadi kota suci keempat setelah Makkah, Madinah, dan
Yerussalem.
b. Masjid
Raya Djenne
Masjid
Raya Djenne adalah bangunan dari lumpur terbesar di dunia. Banyak arsitek
menganggap bangunan ini bergaya arsitektur Sudano-Sahelian terbaik. Masjid ini
terletak di Kota Djenne, Mali, di dekat Sungai Bani. Terletak di Kota Djenne,
Republik Mali, Afrika Barat. Pada 1998, masjid ini ditetapkan sebagai situs
warisan dunia UNESCO. Masjid unik dan menakjubkan ini juga pernah menjadi pusat
pengajaran Islam di Afrika pada abad ke-18.
c. Masjid
Larabanga
Masjid
Larabanga adalah masjid yang dibangun dengan gaya arsitektur Sudan di Desa
Larabanga, Ghana. Masjid ini merupakan masjid tertua di Ghana dan salah satu
yang tertua di Afrika Barat. Masjid berjuluk Makkah di Afrika Barat ini telah
mengalami restorasi beberapa kali, sejak awal didirikan pada 1421. World
Monuments Fund (WMF) telah memberikan kontribusi besar terhadap restorasi, dan
masuk dalam daftar salah satu dari 100 Situs Paling terancam punah. Masjid ini
menyimpan koleksi mushaf kuno. Oleh penduduk setempat diyakini sebagai pemberian
langit untuk Yidan Barimah Bramah, imam masjid pada 1650 M (Marniati Dan Agung
Sasongko, 2016)
Sumber : ppg.siagapendis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar