Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 21 Juli 2019

PERKEMBANGAN ISLAM DI BENUA AFRIKA




 Perkembangan Islam di Afrika

1.      Sejarah masuknya Islam di Afrika
Salah satu guru besar sejarawan Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat adalah Nezar al-Sayyad. Beliau mengungkapkan, ada beberapa faktor yang mendorong bangsa Arab melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah di luar Arab. Diantara faktor tersebut antara lain untuk menjalankan misi Ilahiah dalam menyebarkan syiar Islam, memelihara kekuasaan politik di bawah kontrol kelompok elite Arab, serta mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam di tanah yang telah ditaklukkan. Kendati demikian, ekspansi oleh bangsa Arab tidak selalu menghadapi konfrontasi di wilayah-wilayah yang mereka taklukkan. Seperti di Damaskus dan Sisilia, dominasi bangsa Arab di sana justru membawa dampak yang jauh lebih positif dibandingkan eksploitasi yang kerap dilakukan oleh rezim Bizantium (Romawi Timur) pada masa-masa sebelumnya.

Artikel:https://www.republika.co.id/berita/duniaislam/dunia/19/03/04/pnu0hy313-islam-di-afrika-terus-berkembang-dantantangannya

Sebaliknya, penetrasi Islam di wilayah sub-Sahara Afrika yang terjadi sekitar abad ke-9, justru bukan melalui misi penaklukan, melainkan karena adanya hubungan perdagangan. Pada zaman itu, wilayah tersebut memang termasuk salah satu kawasan yang lazim dilintasi oleh para kafilah dagang. Al-Sayyad menjelaskan, ada dua rute perdagangan yang ikut membentuk pengaruh Islam di Afrika Barat. Yang pertama adalah jalur yang menghubungkan negeri-negeri Maghribi (Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Libya) dengan pusat-pusat perdagangan emas Berber-Afrika seperti negeri Soninke (sekarang Negara Ghana). Jalur perdagangan lainnya adalah rute timur yang menghubungkan Sudan Tengah, Kanem, Bornu, serta Negara-negara Hausa dengan Libya, Tunisia, dan Mesir. Meskipun terdiri dari berbagai daerah dan etnis, tapi salah satu faktor pemersatu Islam di Afrika adalah dominasi mazhab Maliki yang kebanyakan diikuti oleh masyarakat negeri-negeri Maghribi.

Video: https://www.youtube.com/watch?v=m0cmvIM_Awg

Setelah Islam berkembang di kawasan sub-Sahara, raja-raja di Afrika mulai menerima kaum Muslim. Bahkan, tak sedikit raja-raja itu memeluk Islam dan mengubahnya menjadi kerajaan Islam. Dengan munculnya dinasti-dinasti Islam, perkembangan Islam dan peradabannya semakin pesat di kawasan Afrika Barat. Diantara dinasti-dinasti Islam tersebut yaitu:

a.       Kekaisaran Ghana
Salah satu kerajaan pertama yang bisa menerima Islam di Afrika Barat adalah Kekaisaran Ghana (830-1235 M). Kerajaan itu berada Mauritania dan Mali bagian barat. Menurut Prof. A. Rahman I Doi, keberadaan Kekaisaran Ghana sempat ditulis oleh geografer Muslim bernama al-Bakri dalam kitab Fi Masalik wal Mamalik. Menurut al-Bakri, pada 1068 M Kerajaan Ghana telah mencapai kemajuan. Secara ekonomi, negara itu begitu kaya dan makmur. Raja Kekaisaran Ghana sudah mempekerjakan Muslim sebagai penerjemah. Tak hanya itu, sebagian besar menteri dan bendahara negara adalah umat Islam. Al-Bakri pun melukiskan perkembangan Islam di Kekaisaran Ghana pada abad ke-11 M dengan seuntai kata. Kota Ghana memiliki dua kota yang terletak pada sebuah dataran, salah satunya dihuni umat Islam dalam jumlah yang banyak. Komunitas ini memiliki 12 masjid yang biasa digunakan untuk shalat Jumat. Setiap masjid memiliki imam, muazin, serta para pembaca Alquran. Kota Muslim itu banyak memiliki ahli hukum, pengacara, dan orang-orang pintar.

b.      Dinasti Za di Gao
Dinasti Za berbasis di Kota Kukiya dan Gao di Sungai Niger River sekarang dikenal sebagai Mali modern. Dinasti itu didirikan Za Alayaman pada abad ke-11 M. Pendiri raja itu berasal dari Yamen dan menetap di Kota Kukiya. Dinasti itu berubah menjadi kerajaan Islam setelah pada 1009-1010 M, Za Kusoy penguasa ke-15 memeluk Islam. Kerajaan itu ditaklukkan Kekaisaran Mali pada awal abad ke13 M.

c.       Kekaisaran Mali
Menurut sejarawan Margari Hill dari Stanford University, Kerajaan Mali didirikan oleh Raja Sunjiata Keita. Ia bukanlah seorang Muslim. Raja Mali pertama yang masuk Islam adalah Mansa Musa (1307-1332). Ia menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan,” ujar Hill. Di era kepemimpinan Mansa Musa, Kekaisaran Mali mengalami masa keemasan. Pada 1325 M, Timbuktu mulai dikuasai Kaisar Mali, Mansa Mussa (1307-1332). Raja Mali yang terkenal dengan sebutan Kan Kan Mussa itu begitu terkesan dengan warisan Islam di Timbuktu. Sepulang menunaikan haji di Makkah, Sultan Musa membawa seorang arsitek terkemuka asal Mesir bernama Abu Es Haq Es Saheli. Sang sultan menggaji arsitek itu dengan 200 kilogram emas untuk membangun Masjid Jingaray Bermasjid untuk shalat Jumat.

Sultan Musa juga membangun istana kerajaannya atau Madugu di Timbuktu. Pada masa kekuasaannya, Musa juga membangun masjid di Djenne dan masjid agung di Gao (1324-1325) M. Kini tinggal tersisa fondasinya saja. Kerajaan Mali mulai dikenal di seluruh dunia ketika Sultan Musa menunaikan ibadah haji di Tanah Suci, Makkah pada 1325 M. Sebagai penguasa yang besar, dia membawa 60 ribu pegawai dalam perjalanan menuju Makkah. Hebatnya, setiap pegawai membawa tiga kilogram emas. Itu berarti dia membawa 180 ribu kilogram emas. Saat Sultan Musa dan rombongannya singgah di Mesir, mata uang di Negeri Piramida itu langsung anjlok. Pesiar yang dilakukan sultan itu membuat Mali dan Timbuktu mulai masuk dalam peta pada abad ke-14 M.

Kesuksesan yang dicapai Timbuktu membuat seorang kerabat Sultan Musa, Abu Bakar II, menjelajah samudra dengan menggunakan kapal. Abu Bakar dan tim ekspedisi maritim yang dipimpinnya meninggalkan Senegal untuk berlayar ke Lautan Atlantik. Pangeran Kerajaan Mali itu kemungkinan yang menemukan benua Amerika. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan bahasa, tradisi, dan adat Mandika di Brasil.

d.      Kekaisaran Songhay
Islam mulai menyebar ke wilayah Kekaisaran Songhay pada abad ke-11 M. Menurut Prof Rahman, negara Songhay amat kaya karena pengaruh perdagangan dengan Gao. Pada abad ke-13, kerajaan itu sempat dikuasai Kekaisaran Mali. Namun, pada akhir abad ke-14 bisa melepaskan diri ketika dipimpin oleh Sunni Ali. Di bawah kepemimpinan Raja Sunni Ali, pada periode 1464-1492 wilayah barat Sudan pun sempat dikuasai Kekaisaran Songhay. Kota Timbuktu dan Jenne yang dikenal sebagai pusat peradaban Islam juga dikuasai Sunni Ali pada 1471-1476.

Sunni Ali adalah seorang Muslim. Namun, ia tetap mempraktikkan tradisi lokal dan magis. Ia kerap menghukum ulama dan cendekiawan Muslim yang mengkritisinya karena mempraktikkan kepercayaan pagan. Umat Islam dan ulama Muslim di Timbuktu bergembira setalah Sunni Ali meninggal.

e.       Dinasti Asykiya
Posisinya diganti oleh Sunni Barou. Aski Muhammad Toure (Towri), seorang jenderal Songhay, meminta Barou untuk mengucap sumpah dengan cara Islam sebelum memimpin kerajaan, namun menolaknya. Muhammad Toure menggulingkannya dan mendirikan Dinasti Askiya. Pada masa kepemimpian Muhammad Toure, Islam kembali berjaya. Ia menerapkan hukum Islam, juga melatih dan mengangkat hakim-hakim baru. Muhammad Toure melindungi dan membiayai para ilmuwan, ulama, dan cendekiawan Muslim. Mereka yang berprestasi dalam bidang intelektual dan agama diberi hadiah yang melimpah.

Sultan Muhammad Toure pun sangat dekat dengan ulama dan cendekiawan terkemuka Muhammad al-Maghilli. Sang sultan juga mendukung pengembangan Universitas Sankore-universitas Islam pertama di Afrika Barat. Sama seperti Mansa Musa Sultan Mali, Askia Muhammad juga sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah. Ia dikenal memiliki kedekatan dengan ulama dan penguasa di negara-negara Arab. Di Makkah, ia disambut penguasa Arab. Ia juga mendapat hadiah pedang dan gelar Khalifah Sudan Barat. Sekembalinya dari Makkah pada 1497, ia menggunakan gelar al-Hajj pada namanya. Wilayah sub-Sahara Afrika Barat pernah menjadi saksi kejayaan peradaban Islam. Di wilayah yang dikenal dengan sebutan Bilad al-Sudan itu sempat berdiri dinasti-dinasti Islam. Bahkan, di kawasan Afrika Barat juga pernah berdiri perguruan tinggi berkelas dunia bernama Universitas Sankore.

Prof A Rahman I Doi dalam tulisannya bertajuk Spread Islam in West Africa, mengungkapkan, “Islam mencapai wilayah Savannah (Afrika Barat) pada abad ke-8 M. Ajaran Islam mulai diterima oleh Dinasti Dya’ogo dari Kerajaan Tekur pada awal 850 M,’’ ungkap guru besar pada berbagai universitas di Afrika itu. Fakta itu terungkap dari catatan sejarawan dan penjelajah Muslim di era keemasan Islam, seperti Al-Khwarzimi, Ibnu Munabbah, Al-Masudi, Al-Bakri, Abul Fida, Yaqut, Ibnu Batutah, Ibnu Khaldun, Ibnu Fadlallah al-’Umari, Mahmud al-Kati, Ibnu al Mukhtar, dan Abd alRahman al-Sa’di.
Margari Hill, sejarawan dari Stanford University, menjelaskan, Islam menyebar di Afrika Barat secara bertahap dan kompleks. Ada tiga tahap sejarah yang telah dilalui Islam di wilayah sub-Sahara. Ketiga tahap sejarah itu adalah tahap penahanan, pembauran, dan reformasi. Pada tahap pertama, raja-raja Afrika menahan atau membendung pengaruh Muslim dengan memisahkan komunitas Muslim. Pada tahap kedua, penguasa Islam Afrika mencampur Islam dengan tradisi lokal. Pada tahap ketiga, Muslim Afrika ditekan melakukan reformasi untuk menyingkirkan kebiasaan mencampur tradisi lokal dan Syariah sehingga umat Islam menjalankan ajaran Islam secara benar.

Dinasti Dya’ogo merupakan orang Negro pertama yang menerima Islam di Afrika Barat. Karenanya, para sejarawan Muslim menyebut wilayah Kerajaan Tekur dengan julukan Bilad al-Tekur atau Tanah Muslim Hitam”. Ajaran Islam, menurut Prof Rahman-mengutip catatan Ibnu Munabbah yang bertarikh 738 M dan Al-Masudi pada 947-masuk dan berkembang di wilayah Afrika Barat melalui jalur perdagangan. 

Ketika Islam telah menyebar, di Kota Timbuktu, Mali, telah berdiri sebuah perguruan tinggi berkelas dunia, Universitas Sankore. Pada abad ke-12, jumlah mahasiswa yang menimba ilmu di Universitas Sankore mencapai 25 ribu orang. Universitas Sankore diakui sebagai perguruan tinggi berkelas dunia. Karena, lulusannya mampu menghasilkan publikasi berupa buku dan kitab yang berkualitas. Buktinya, baru-baru ini di Timbuktu, Mali, ditemukan lebih dari satu juta risalah. Selain itu, di kawasan Afrika Barat juga ditemukan tak kurang dari 20 juta manuskrip. Sejarawan Abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu dalam buku yang ditulisnya. Begitu banyak hakim, doktor, dan ulama di sini (Timbuktu). Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad-penguasa Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat belajar,” tutur Africanus.

Di era keemasan Islam, ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di Timbuktu. Rakyat di wilayah itu begitu gemar membaca buku. Menurut Africanus, permintaan buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Alhasil, perdagangan buku di kota itu menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibanding bisnis lainnya. 

6) Dinasti Islam di Afrika Barat 7) Dinasti Sayfawa (1075-1846 M) 8) Kekaisaran Mali (1230-1600 M) 9) Dinasti Keita (1235 -1670 M) 10) Kerajaan Bornu  (1396-1893 M) 11) Kerajaan  Baguirmi (1522-1897 M) 12) Kerajaan Dendi (1591-1901 M) 13) Kesultanan Damagaram (1731-1851 M) 14) Kerajaan  Fouta Tooro (1776-1861 M) 15) Kekhalifahan Sokoto (1804-1903 M) 16) Kerajaan Toucouleur (1836-1890 M)

Video: https://www.youtube.com/watch?v=AMcELwXLUWo

Penyebaran agama Islam di Afrika, khususnya Afrika Selatan dimulai dengan pertemuanpertemuan secara sembunyi-sembunyi dengan para budak. Agama Islam masuk ke daratan Afrika pada masa Khalifah Umar bin Khattab, waktu Amru bin Ash memohon kepada Khalifah untuk memperluas penyebaran Islam ke Mesir lantaran dia melihat bahwa rakyat Mesir telah lama menderita akibat ditindas oleh penguasa Romawi dibawah Raja Muqauqis. Sehingga mereka sangat memerlukan uluran tangan untuk membebaskannya dari ketertindasan itu. Muqauqis sesungguhnya tertarik hendak masuk Islam setelah menerima surat dari Rasulullah SAW. Namun, karena lebih mencintai tahtanya maka sebagai tanda simpatinya beliau kirimkan hadiah kepada Rasulullah SAW.

Selain alasan di atas, Amru bin Ash memandang bahwa Mesir dilihat dari kacamata militer maupun perdagangan letaknya sangat strategis, tanahnya subur karena terdapat sungai Nil sebagai sumber makanan. Maka dengan restu Khalifah Umar bin Khattab dia membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi pada tahun 19 H (640 M) hingga sekarang. Dia hanya membawa 400 orang pasukan karena sebagian besar diantaranya tersebar di Persia dan Syria. Berkat siasat yang baik serta dukungan masyarakat yang dibebaskannya maka ia berhasil memenangkan berbagai peperangan. Mula-mula memasuki kota Al-Arisy dan dikota ini tidak ada perlawanan, baru setelah memasuki Al-Farma yang merupakan pintu gerbang memasuki Mesir mendapat perlawanan, oleh Amru bin Ash kota itu dikepung selama 1 bulan.

Setelah Al-Farma jatuh, menyusul pula kota Bilbis, Tendonius, Ainu Syam hingga benteng Babil (istana lilin) yang merupakan pusat pemerintahan Muqauqis. Pada saat hendak menyerbu Babil yang dipertahankan mati-matian oleh pasukan Muqauqis itu, datang bala bantuan 4.000 orang pasukan lagi dipimpin empat panglima kenamaan, yaitu Zubair bin Awwam, Mekdad bin Aswad, Ubadah bin Samit dan Mukhollad sehingga menambah kekuatan pasukan muslim yang merasa cukup kesulitan untuk menyerbu karena benteng itu dikelilingi sungai. Akhirnya, pada tahun 22 H (642 M) pasukan Muqauqis bersedia mengadakan perdamaian dengan Amru bi Ash yang menandai berakhirnya kekuasaan Romawi di Mesir. Pembahasan mengenai masuk dan berkembangnya Islam di Afrika mencakup beberapa wilayah negara yaitu Mesir, Libia, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Nigeria, Mali, Pantai Gading, Sudan, Ethiopia, Kenya, Zambia dan lain-laannya. 

2.      Strategi dakwah dan perkembangan Islam di Afrika

 Pada tahun ke-5 dari kenabian, Rasulullah SAW memerintahkan beberapa orang sahabatnya (berjumlah 15 orang: 11 laki-laki dan 4 wanita) untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia). Hijrah ini dipimpin oleh Usman bin Maz’un yang bertujuan untuk menghindari penyiksaan-penyiksaan dan menyelamatkan diri dari kaum kafir Quraisy serta mendakwahkan agama Islam. Selain itu, pada sekitar tahun ke-6 Hijrah, Nabi SAW mengutus sahabatnya Hatib bin Abi Balta’ah untuk menyampaikan surat dakwah (seruan masuk Islam) kepada Muqauqis (penguasa Mesir, Gubernur Romawi Timur). Islam akhirnya mulai menyebar ke negara-negara Afrika Utara serta terjadi proses Islamisasi. Hal ini terjadi sekitar abad 7 – 8 M.

Video: https://www.youtube.com/watch?v=Aopx1gHusEY

Adapun di Afrika Timur, faktor Islamisasi tampak jelas dengan kedatangan dan ekspansi Islam ke Afrika Selatan, antara lain dilakukan oleh para budak Melayu yang dibawa oleh orang-orang Eropa ke wilayah itu. Setelah dibebaskan dari Pulau Robben, tak jauh dari Cape Town, pada tahun 1793, Imam Abdullah membuat petisi pertamanya untuk pembangunan masjid. Saat itu, petisi tersebut sempat mendapat penolakan meski akhirnya memperoleh izin dari Pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan masjid. Ia pun menulis sebuah buku tentang yurisprudensi Islam pada 1781 dalam bahasa Melayu dan Arab. Judul buku itu adalah Ma’rifa al­Islam wa al­Iman. Buku ini memberi pengaruh sosial dan keagamaan yang besar di kalangan komunitas Muslim di Cape Town. Pada 1793, Imam Abdullah membangun sekolah Muslim pertama. Lokasinya di Dorp Street, Bokaap, yang akhirnya menjadi bagian dari Masjid Auwal, masjid pertama di Cape Town. Pada 1825, sekolah ini memiliki 491 siswa, sebagian besar dari kalangan budak negro. Di kemudian hari, sekolah inilah yang melahirkan orang-orang Afrika Arab yang memahami bahasa Arab. Setelah Imam Abdullah wafat, kepemimpinan sekolah ini dilanjutkan oleh Imam Achmat van Bengalen.

Pada masa awal kedatangannya di Cape Town, Islam adalah agama yang diawasi secara ketat oleh penguasa. Pemerintah Hindia Belanda secara tegas melarang aktivitas Islam di tempat umum, meski ibadah pribadi diperbolehkan. Tak ada komunitas Muslim yang diizinkan untuk melakukan perkumpulan. Mengingat kondisi itu, ulama seperti Imam Abdullah, Syaikh Yusuf, dan juga lainnya menggunakan rumah mereka sebagai tempat untuk belajar Islam. Mereka berusaha keras mempertahankan keberadaan Islam di Cape Town. Beruntung, pembatasan ini kian lama kian surut. Pada 1770, di rumah seorang budak yang dibebaskan bernama Mohammodan, secara rutin diselenggarakan pertemuan. Dalam pertemuan itu, mereka yang hadir membaca, shalat, dan mempelajari ayat-ayat al-Quran.

Pada 25 Juli 1804, Islam secara resmi tak lagi menjadi agama yang dilarang. Warga setempat pun bebas memilih agama yang diyakininya. Sementara, para ulama bisa berdakwah secara leluasa. Penyebaran Islam di Benua Afrika tidak terlepas dari persaingan antara Islam dan Kristen, serta antara Islam dan westernisasi sekuler. Walaupun begitu, Islam di benua Afrika tetap berkembang ke arah yang lebih maju, baik kuantitas maupun kualitas. Di Benua Afrika banyak negara yang penduduknya mayoritas Islam, seperti: Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Sahara Barat, Mauritania, Mali, Nigeria, Senegal, Gambia, Guinea, Somalia, dan Sudan. Sedangkan negara-negara di Benua Afrika yang minoritas Islam adalah: Zambia, Uganda, Mozambique, Kenya, Kongo, dan Afrika Selatan.

Azan Asar berkumandang dari Masjid Auwal di daerah Bo-Kaap, Cape Town. Belasan orang kemudian datang ke mesjid yang tidak begitu besar tersebut. Masjid Auwal adalah masjid pertama yang dibangun di Afrika Selatan pada tahun 1794. Bangsa Indonesia harus bangga karena masjid ini dibangun oleh orang Indonesia yang bernama Imam Abdullah Kadi Abdus Salaam, atau yang lebih terkenal dengan julukkan Tuan Guru. Tuan Guru adalah orang Indonesia kedua yang menyebarkan Islam di Afrika Selatan setelah Syech Yusuf. Keduanya memiliki nasib yang sama, dibuang Belanda di benua Afrika. Syech Yusuf dibuang ke Cape Town pada 1693 dan meninggal di pengasingan pada 23 Mei 1699. Sementara itu, Tuan Guru, Pangeran Tidore dari Kepulauan Ternate yang lahir pada 1712, ditangkap karena menentang Belanda dan diasingkan ke Robben Island di Cape Town pada 6 April 1780 bersama dengan tiga orang rekannya yaitu Abdul Rauf, Badroedin, dan Nur Al-Iman.

Selama dalam pengasingan selama 13 tahun, Tuan Guru menulis buku antara lain Ma'rifatul Islami wal Imani yang diselesaikannya pada 1781. Buku tersebut berbahasa Melaju tetapi berhuruf Arab. Tuan Guru juga menulis Alquran dengan tangannya sekitar 600 halaman. Setelah era Alquran cetak, baru diketahui Alquran tulisan tangan Tuan Guru memiliki sedikit kesalahan. Setelah bebas dari pengasingan, Tuan Guru menikah dengan Kaija van de Kaap dan tinggal di Dorp Street, Cape Town. Dari pernikahan tersebut, lahir Abdol Rakief dan Abdol Rauf, yang juga sangat berperan dalam penyebaran Islam di Afrika Selatan. Di sebuah gudang di tempat tinggal yang baru inilah Tuan Guru mendirikan madrasah, yang juga merupakan sekolah muslim pertama di Afrika Selatan. Sekolah ini sangat popular di kalangan budak dan komunitas warga kulit hitam nonbudak. Sekolah ini juga menjadi tempat lahirnya ulama-ulama Afrika Selatan ketika itu seperti Abdul Bazier, Abdul Barrie, Achmad van Bengalen, dan Imam Hadjie. Murid Tuan Guru ketika itu mencapai 375 orang.

Pada 1793, Tuan Guru mengajukan permintaan untuk membangun masjid pada 1794 kepada pemerintah Afrika Selatan yang saat itu dikuasai Belanda. Permintaan Tuan Guru ditolak. Belanda takut perkembangan Islam akan menganggu kekuasaannya. Bahkan, penjajah Belanda di Afrika Selatan juga melarang penyelenggaraan ibadah Islam. Namun, Tuan Guru menentang kebijakan Belanda tersebut. Walau pembangunan masjid dilarang, Tuan Guru tetap menggelar Salat Jumat di tempat terbuka tersebut, yang juga tercatat sebagai Salat Jumat pertama yang dilakukan secara terbuka di Afrika Selatan.

Ketika Afrika Selatan dikuasai Inggris pada 1795, Jenderal Craig mempersilakan warga Muslilm untuk membangun masjid. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan Tuan Guru. Dia langsung membangun masjid di tempat yang semula menjadi madrasah tersebut. Masjid inilah yang kemudian dinamai Masjid Auwal, mesjid pertama di Afrika Selatan. Tuan Guru meninggal pada 1807 yang dikebumikan pada 1807 di Tana Baru, yang juga merupakan tempat pemakaman Muslim pertama yang dibangunnya di Afrika Selatan. Sekarang ini, Masjid Auwal berdiri di kawasan bisnis dekat Waterfront. Masjid tersebut berada di kawasan penduduk padat dan tidak memiliki halaman. satu-satunya yang membedakan adalah gerbang masjid.

Masjid Auwal beberapa kali dipugar. Namun, dinding asli yang terdiri atas batu gunung, masih terdapat di dekat mimbar masjid tersebut. Imam Mesjid Auwal sekarang ini, Moehammed Fadil Soekr mengatakan sangat bangga dengan keberadaan masjid ini. Menurut Soekr, selama zaman apartheid, setiap warga Muslim tidak leluasa menjalankan ibadahnya.
Ketika apartheid runtuh pada 1994, Nelson Mandela datang ke Masjid Auwal ini dan mempersilakan warga Muslim untuk menjalankan ibadahnya. "Setelah apartheid, perkembangan Islam berjalan cepat. Daerah sekitar Bo-Kaap, hampir 90 persen penduduknya sekarang muslim," ujar Soekr. Soekr yang mengaku sebagai warga Cape Malays, keturunan Indonesia di Afrika Selatan, mengatakan sangat ingin mengunjungi Indonesia. "Indonesia adalah tempat asal nenek moyang saya. Jika punya uang, saya ingin ke sana. Indonesia selalu speasial di mata saya," ujarnya. 

3.      Tokoh-tokoh ilmu pengetahuan Islam di Afrika

Keberadaan Islam di benua Afrika telahmembuat penduduk Afrika semakin meningkat keinginan umat muslim yang ada disana untuk mendalami ajaran Islam. Selain itu juga muncul tokoh tokoh Islam yang menjadi pembaharu di benua Afrika. Diantara tokoh tokoh muslim yang ada tersebut diantaranya adalah sebagai berikut ini:

a.       Al-Qalbisi

Al-Qabisi nama aslinya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Khalaf al Ma’rif al-qobisi, beliau lahir di daerah kairawan,Tunisia pada bulan rajab tahun 224 H/tanggal 13 Mei 936 M. Ia pernah merantau ke timur tengah selama 5 tahun, kemudian ia kembali ke negeri asalnya dan meninggal dan dunia pada tanggal 3 Rabiul Awal 403 H/Tangga 23 oktober 1012 M. Ibn Khalikan berpendapat, alQabisi dilahirkan pada hari Senin setelah hari hari yang kedua bulan Rajab tahun 324 H. Sedangkan alSayuthi, Ibn al-„Imad al-Hanbali ibn Fadhlullah al-Umari, dan Abd al-Rahman tidak menyebutkan tentang hari kelahirannya, akan tetapi mereka sepakat bahwa al-Qabisi dilahirkan pada tahun 324 H. bertepatan dengan 935 M. (Al-Ahwani, 1955: 21-25)

Menurut catatan sejarah, bahwa pada masa khalifah Umar bin Khaththab tentara Islam telah sampai ke Afrika Utara bagian Tarablis yang dipimpin oleh Amru bin Ash, kemudian dilanjutkan pada masa khalifah Utsman bin „Affan yang dipimpin oleh Abdullah bin Said bin Abi Sarah. Pada masa inilah tentara Islam telah sampai ke Qairawan kota kelahiran al-Qabisi. Penaklukan Afrika Utara berakhir pada masa Khalifah Muawiyah, khalifah mengutus 10.000 tentara kaum muslimin yang dipimpin oleh Uqbah bin Nafi’.

Ketika Abdul Malik bin Marwan diangkat menjadi Khalifah ia mengutus Zuhair bin Qais untuk memerangi suku Barbar, kemudian Zuhair kembali memasuki Afrika dan Qairawan, kemudian Abdul Malik bin Marwan memerintahkan Hasan bin Ni‟man al-Ghasani untuk memperkuat tentara kaum muslimin dan menetap tinggal di sana bersama kaum muslimin lainnya untuk berkhidmat bagi negeri tersebut dan menyiarkan agama Islam. Maka kaum muslimin yang pertama membawa Islam dan berkhidmat di Afrika Utara ialah mereka yang terdiri dari para sahabat Nabi dan para tabi’in besar, seperti Abdullah bin Abi Sarah, Ma’bad bin Abbas bin Abdul Muthalib, Marwan bin Hakim bin Abi Ash bin Umaiyah, Haris bin Hakim, Abdullah bin Zubair bin Awam, Abdullah bin Umar ibn Khaththab dan Abdurrahman bin Abi Bakr.

Penyebarluasan Islam yang dilakukan oleh kaum muslimin ke negara-negara yang belum Islam, baik sejak dari Nabi Muhammad SAW. dan para khalifah sesudahnya, senantiasa memberikan ketenangan dan menjadi rahmat bagi suatu wilayah yang dikuasainya. Oleh sebab itu, selama Islam masih berkuasa di suatu negara atau wilayah, negara tersebut akan senantiasa kondusif dalam tataran masyarakat yang Islami, sehingga mewarnai seluruh aktivitas masyarakat, dan tidak dapat dinafikan bahwa lingkungan yang agamis ketika itu memberikan kontribusi yang positif bagi dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam, sekaligus akan mewarnai pendidikan secara keseluruhan. Oleh sebab itu, nilai-nilai pendidikan senantiasa bernuansakan Islami, tidak heran jika al-Qabisi, sebagaimana anakanak yang lainnya, mempelajari ilmu-ilmu agama terlebih dahulu dan penanaman akhlak-akhlak yang mulia sejak dini, seperti mempelajari shalat, menghafal al-Qur'an dan lain sebagainya.

Namun, tidak berhenti di situ saja, sudah menjadi tradisi di zaman ini, bahwa para penuntut ilmu senantiasa melakukan perjalanan atau rihlah ke luar daerah baik ke negeri Timur, seperti Makkah dan Madinah maupun ke negeri Barat seperti Andalusia atau Spanyol untuk menemui ulama-ulama yang ahli di bidangnya dan mereka mempelajari ilmunya sesuai dengan keahlian yang mereka inginkan secara berhadapan langsung. Al-Qabisi sendiri, menurut catatan sejarah, melakukan hijrah ke negeri  Timur, yakni Makkah dan Madinah, di samping menuntut ilmu, beliau juga menunaikan ibadah haji.

Dalam perjalanannya ke Timur al-Qabisi juga singgah dan menetap beberapa waktu di Iskandariyah dan Mesir untuk menuntut ilmu. Di Mekah, beliau mempelajari ilmu fiqh dan hadis Bukhari melalui ulama terkenal Ali Abu al-Hasan bin Ziyad al-Iskandari salah seorang ulama yang termashur dalam meriwayatkan Imam Malik. Hal inilah yang membuat ia menjadi seorang ahli fiqh Imam Malik. Demikian halnya selama beliau di Iskandariyah beliau juga belajar hadis dengan Abu al-Hasan Ali bin Ja’far. Perjalanannya ke negeri Timur ini memberikan kefakihan dan menambahnya wawasan beliau dalam ilmu-ilmu keislaman, sehingga ia dapat memberikan corak pendidikan Islam walaupun dalam bentuk sederhana. Salah satu kegemilangan yang beliau peroleh dari perjalanannya ke Timur ialah alQabisi adalah orang yang pertama kali membawa kitab Shahih Bukhari ke Afrika Utara (Nasir, 2003: 73).

Oleh sebab itu, para ulama banyak memberikan interpretasi tentang keilmuan yang dimiliki alQabisi dan begitu juga tentang sifat-sifat atau keutamaan beliau, al-Suyuti misalnya, mengatakan bahwa al-Qabisi adalah seorang huffazh, dan al-Qabisi juga orang yang banyak hafal hadis, ahli teologi, dan ahli fiqh, bersifat zahid dan wara’. Sedangkan Ibn Khaldun berkomentar bahwa al-Qabisi adalah seorang yang ahli hadis, baik dari segi maknanya maupun dari segi sanad hadis. Demikian halnya Qadhi Iyad berpendapat selain al-Qabisi juga seorang yang wara’, beliau juga seorang da’i yang mashur dan ahli fiqih di Qairawan. (Al-Ahwani, 1955: 28)

Al-Qabisi adalah seorang ilmuan sekaligus sebagai pemikiran pendidikan yang  sangat jenius, di mana banyak karya-karya yang ditinggalkannya dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan sebagai khazanah bagi intelektual muslim, sebagaimana menurut Qadhi Iyad, Ibn Farhun dan Abdurrahman. Kitab-kitab yang dikarang al-Qabisi ialah (Mushthafa, 1994: 549): Al-Muhid al-Fiqh wa Ahkam adDiyanah, Al-Mub’id min Syibhi at-Ta’wil, Al-Munabbih li al-Fithan an Ghawail Fitan, Al-Risalah alMufashshalah li Ahwal al-Muta’allimin wa Ahkam al-Mu’allimin wa al-Muta’allimin, Al-I’tiqadat, Manasik al-Hajj, Mulakhkhas li al-Muwattha’, Al-Risalah an-Nasyiriyah fi al-Radd ala’ al-Bikriyyah, dan Al-Zikr wa al-Du’a`.

Dengan pemikiran al-Qabisi tentang pendidikan Islam dapat disimpulkan bahwa al-Qabisi adalah seorang faqih dan hafizh al-Qur`an dan hadis dan seorang yang memahami bahasa Arab dengan baik. Dengan demikian, konsep-konsep yang beliau tawarkan dalam pendidikan cenderung berlandaskan alQur`an dan Sunnah, yang paradigma pemikirannya terkesan normatif. Meski demikian, kondisi lingkungannya ketika itu masih mempunyai relevansi dengan konsep yang ia tawarkan, sehingga dijadikan pedoman bagi pengajaran anak-anak pada masa abad keempat hijriyah.

Pada prinsipnya pengembangan konsep pendidikan Islam tidak hanya berhenti dalam tekstual normatif saja, perlu pengkajian yang mendalam dari berbagai aspek, baik sosiologis, geografis, maupun falsafah suatu bangsa itu sendiri. Sangat tidak mungkin menetapkan kurikulum pendidikan atau metode mengajar dan tujuan pendidikan berdasarkan satu aspek saja. Pendidikan yang maju dalam perspektif al-Qabisi dapat dilihat dari terwujudnya lingkungan keagamaan di berbagai daerah kekuasaan Islam ketika itu. Adalah suatu hal yang wajar jika beliau menetapkan konsep pendidikan yang menjadi pedoman di masanya (Muslim, 2016: 210-211).

b.      Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir di sebuah dusun di Delta sungai Nil pada tahun 1849, dan beliau meninggal pada 11 juli 1905. Keluarganya terkenal berpegang teguh pada ilmu dan agama. Sejak muda beliau sudah di kenal hafal Al-Qur’an, Muhammad Abduh adalah sajana pendidik dan mufti, theology, alim dan juga pembaharuan (Suwito dan Fauzan, 2008: 88).

Menginjak usianya yang ke tiga belas tahun serta bekal pendidikan rumahan, Abduh dikirim ke masjid Ahmadi yang terletak di Thantha untuk menimba ilmu tajwid dan ilmu pengetahuan lainnya. Sebagai tempat ibadah sekaligus merangkap tempat pendidikan, Masjid Ahmadi memang tidak semegah dan seterkenal universitas Al-Azhar, tetapi dari sumberdaya dan kepeiawayannya dalam mendidik siswa lebih-lebih persoalan Al-Quran, Masjid Ahmadi dipandang satu tingkat berada dibawah Al-Azhar. Pengalaman pertama Abduh kecil di lembaga tersebut dalam upayanya menghafal dan memberikan ulasan serta memahami Al-Quran, untuk kemudian menjadi sebuah produk hukum membuat Abduh kecil jenuh, sebab sistem pengajaran yang dibangun, serta penerapan pengajarannya jauh dari apa yang Abduh kecil harapkan. Karena merasa mandul dalam berfikir dan dambaan kebahagiaan dalam belajar tidak dirasakan, akhirnya Abduh kecil meninggalkan Masjid Ahmadi di Tantha dan bertekad untuk tidak kembali pada kehidupan akademis. Dalam kondisi “galau” tersebut Abduh kecil pulang ke kampung halamannya. Menjadi seorang pemuda Dusun dengan keruwetan hidup ditengah keluarga yang berpoligami, membuat Abduh di usia enambelas tahun mengambil keputusan final yang terlalu dini dan berani yaitu: menikah dengan seorang gadis pujaannya (Hourani, 1970: 131).

Abduh mencoba mengakhiri waktu lajangnya dengan segenap kekecewaan dalam hidup sepulang dari pengembaraan intelektual, untuk membangun suatu kehidupan baru dengan mahligai rumah tangga (Shihab, 1994: 12).  Perjalanan mahligai rumah tangga Abduh berjalan seperti layaknya rumah tangga kebanyakan orang. Susah-senang menjadi selimut kisah dalam kehidupan rumah tangganya. Kemudian Abduh mencoba hidup bermasyarakat sebab hal itu adalah salah satu keharusan sebagai bagian dari sebuah masyarakat. Menjelang empat puluh hari usia pernikahannya, ayah Abduh menyuruhnya untuk kembali belajar ke masjid Ahmadi. Sebagai anak yang taat, Abduh mengikuti kehendak sang ayah, namun diperjalanan Aduh membayangkan kejenuhan belajar di masjid Ahmadi, Akhirnya Abduh membelot pada sebuah distrik Gereja orent yang disekitar distrik tersebut dihuni oleh mayoritas keluarga dan kerabat ayahnya Abduh (Ahmad, 1978: 66). 

Darwisy Khadar adalah seorang syekh (guru spritual) sufi dari tarekat Syadzili. Ditempat inilah Abduh berjumpa dengan Darwisy Khadar. (Mengenai Darwisy Khadar terjadi kesimpang-siuran informasi. Ada yang berpendapat bahwa Darwisy adalah paman Abduh tetapi ada juga yang berpendapat bahwa Ia adalah paman dari ayahnya Abduh). Darwisy memberikan pandanganpandangannya kepada Abduh. Sederet mutiara sufi terlontar dalam percakapan-percakapan lepas. Abduh yang telah sekian lama meninggalkan dunia berfikir (dunia akademis) menjadi kembali tercerahkan. Perjumpaan Abduh dengan Darwisy membuat geliat intelektual Abduh kembali bersemi.

Darwisy masuk dalam kehidupan Abduh dan menjadi guru spritualnya ditengah galaunya kehidupan Abduh. Darwisy terus menerus menyirami Abduh dengan berbagai macam keilmuan. Abduh tidak hanya menerima pelajaran tantang bagaimana dunia sufi dari Darwisy tetapi, pelajaran etika dan moral serta praktik kezuhudan dalam dunia sufi. Memang tidak terlalu lama Abduh bersama Darwsy tetapi dari pertemuan tersebut Abduh seakan menemukan “ruh” baru serta semangat yang menggebu dalam mengarungi lautan keilmuan. Dengan tasawuf rasa haus Abduh selama masa keputus-asaan seakan sirna. Tetes madu ajaran tasawuf membuat Abduh berenergi kembali. Abduh menjadi lebih tertarik untuk masuk dalam kehidupan dunia tasawuf bahkan, dalam pengembaraannya di dunia tasawuf, Abduh sempat melakukan zuhud walau sesaat. Hal tersebut dilakukan oleh Abduh sebagai bentuk keterasingan dirinya menyikapi ajaran tasawuf yang secara lahiriah menurut Abduh banyak hal yang perlu dikritisi. Nasehat Darwsiy mengakhiri sikap zuhud Abduh untuk  meninggalkannya.

Akhir dari pengalaman spritualnya dalam dunia tasawuf setelah keluar dari kezuhudan, membuat Abduh semakin bergairah untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Pada saat itulah Abduh merasa berada disimpang jalan sebab, disatu sisi Abduh sudah memiliki istri tetapi disisi lain, semangat keilmuannya terus-menerus merong-rongnya. Pilihan pelik tersebut akhirnya mendapatkan jawaban pada tahun 1866 sebab, pada tahun itulah Abduh meninggalkan Darwisy menuju masjid Ahmady. Namun sayang banyak guru besar di lembaga tersebut telah tiada. Ditengah kebimbangannya, Abduh mendapat saran dari seseoranng untuk meneruskan pendidikannya ke Al-Azhar. Saat itulah Abduh mengambil keputusan dan melakukan pengembaraan intelektual menuju Kairo untuk belajar di AlAzhar. ketika sedang mengikuti kegiatan pendidikan di AlAzhar, kembali Abduh menelan kekecewaan yang disebabkan oleh sikap menonjolkan diri para siswa Al-Azhar, baik dari sisi keilmuan, lebih-lebih dalam menghafal Al-Quran yang menurut kacamata Abduh, hal tersebut hanya berupa hafalan yang kering pemahaman terhadap makna naṣ Al-Quran. 

Apa yang dirasakan Abduh mendapat pembenaran dari Syekh Mustafa Kamal Al-Maraghi mengenai pembelajaran Al-Quran. Maraghi menyatakan bahwa Al-Azhar pada saat Abduh belajar memang masih suram, karena sistem pembelajarannya masih menggunakan standar aturan pudar yang terputus dari sumbernya, yakni Al-Quran yang tercerabut dari akarnya, bahasa Arab. Al-Azhar bagi Abduh kurang memberikan rangsangan dalam membangun minat intelektualnya. Metode-metode pengajaran yang kolot serta kurikulum yang kuno membuat Abduh sering tidak kerasan. Kekosongankekosongan terbesar dalam kurikulum tersebut bagi Abduh adalah tidak adanya mata kuliah teologi dan filsafat sebab di Al-Azhar kala itu dua mata kuliah tersebut dianggap bid’ah. Ketidak kerasanan Abduh di Al-Azhar semakin mengental ketika Abduh berjumpa dengan Jamaluddin AlAfghani (1839-1897), dan dari perjumpaan itulah Abduh mulai mengenal bagaimana menafsirkan AlQuran yang baik dan lebih rasional. Kemudian pada (Al-Maraghi, 1996: 37).

Dalam hal berkarya, Abduh juga termasuk salah satu tokoh yang sangat produktif, karyakaryanya berserakan, terutama di surat kabar yang memang sengaja diasuhnya sebagai media pembaharuan, baik bersama gurunya Afghani ataupun Abduh sendiri. Diantara karya Abduh yang dibukukan adalah Risālah Al-Ridat (1873) yang kemudian disusul dengan karya berikutnya yaitu Hasyiah Syirah Al-Jalal Ad-Dawwani Lil-Aqo’id AlAḍuḍiyah (1875). Karya-karya tersebut berisi tentang aliran-aliran filsafat, kalam dan tasawuf serta berisi keritikan-keritikan yang dianggapnya salah. Karyanya ini ditulis oleh Abduh sejak dua tahun pertemuannya dengan Al-Afghani dan usianya ketika itu sekitar 26 tahun.

Kemudian karyanya yang lain adalah Risālah At-Tauhid dalam bidang teologi yang ditulisnya pada tahun 1885 dan Sharah Nahjul Balāgah yang berisi tentang komentar atas kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali bin Abi Ṭalib. Selanjutnya Abduh juga melakukan penerjemahan-penerjemahan diantaranya Abduh menerjemahkan Ar-Raddu Ala AlDahriyyīn dari bahasa Persia kedalam bahasa Arab. Buku tersebut berisi tentang bantahan terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan kemudian Sharah Maqamal Badi al-Zaman Al-Hamazani, kitab yang berisi tentang bahasa dan sastra Arab. Kedua karya tersebut merupakan karya guru sekaligus sahabat Abduh yaitu Al-Afghani (Nasution, 1992: 61).

Pemikiran Abduh tersebut merefleksikan sebuah gagasan masa depan umat Islam dalam merumuskan setiap persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Dalam hal apapun, sesungguhnya Islam tidak mengikat umatnya untuk tunduk dan pasrah pada hasil olah pikir masa lalu. Bahwa produk pemikiran keislaman tentu bersumber dari Al-quran dan hadist. Tugas setiap generasi Islam adalah menggali makna-makna yang terkandung dalam Alquran. Dan hadis untuk kepentingan zamannya. Produk pemikiran atau produk hukum yang ada tidak untuk disingkirkan apalagi menjadi belenggu tetapi menjadi titik pijak guna menentukan memproduksi pemikiran yang tepat. Sehingga perbedaan simpulan hukum tidak dimaknai sebagai pembangkangan, tetapi sebagai sebuah kreasi pemikiran yang betul-betul maslahah bagi umat. Abduh telah membentangkan cara berfikir yang brilian untuk masa depan umat Islam. Tidak takut dianggap bid’ah dan berfikir objektif guna kemaslahatan umat Islam.

c.       Hasan Al-Banna

Nama lengkapnya adalah Hasan Ahmad Abdurrahman Al-Banna as-Sa’ati, atau lebih dikenal dengan panggilan Hasan al-Banna, seorang da’i pembaharu. Ia dilahirkan pada hari Ahad tanggal 25 Sya’ban 1324 H. bertepatan tangal 14 Oktober 1906 M, di Hamudiyah, Provinsi Buhairah, Mesir. Ayahnya bernama Asy-Syaikh al-Alim Ahmad Abdurrahman al-Banna as-Sa’ati, salah seorang ulama besar di zamannya. Beliau merupakan ulama yang menertibkan dan mensyarah kitab Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani. Kitabnya adalah Bulug al-Amani min Asrar al-Fath ar-Rabbani, dalam 14 jilid. Hasan al-Banna mulai perjalanan ilmiahnya dengan memelajari al-Qur`an ketika berumur empat tahun. Di usianya yang masih belia, al-Banna sudah berhasil mengkhatamkan al-Quran dan juga diberi banyak wawasan oleh ayahandanya (Al-Bana, t.th: 13-14).

Antusias dalam memperluas cakrawala keimuannya. Ia mulai menghafal banyak matan kitab berbagai disiplin ilmu, seperti Milhat al-I’rab karya al-Hariri, Alfiyyah karya Ibnu Malik, al-Yaqutiyah kitab Mustalah Hadis, Jauharah at-Tauhid, Rahabiyyah, as-Sullam, berbagai matan al-Qaduri kitab fikih Abu Hanifah, Matan Gayah wa at-Taqrib karya Abu Syuja’ kitab fikih Syafi’iyyah, dan beberapa Manzumah Ibnu Amir tentang fikih Malikiyyah. Ayahandanya senantiasa memotivasi al-Banna kecil dengan ungkapannya yang menyentuh, “Man Hafiza al-Mutun, Haza al-Funun” (Siapa rajin menghafal matan, ia akan menguasai berbagai disiplin ilmu). Tidak heran, jika al-Banna sedari kecil sudah begitu mencintai ilmu dan memiliki wawasan yang luas (Asy-Syurbaji, 1998: 46)

Hasan al-Banna telah mendirikan dakwah di Ismailiyyah, serta banyak membangun lembagalembaga. Jumlah Ikhwanul Muslimin semakin banyak dan semakin menguat. Setelah itu, Hasan alBanna pindah dakwah ke Kairo untuk menyebarkannya ke penjuru dunia. Pada bulan Februari 1941, akibat desakan dari Inggris, Hasan al-Banna diasingkan di Qina, Mesir. Adapun orang yang memutuskan hal tersebut adalah Husain Sari dan Muhammad Husain Haikal, selaku menteri pendidikan. Pengasingan ini tidak hanya awal mula permusuhannya terhadap Hasan al-Banna dan dakwahnya, namun persoalannya semakin meluas. Terutama setelah para duta besar Inggris, Amerika dan Prancis berkumpul di Fayed dan mengambil keputusan supaya membubarkan kelompok Ikhwanul Muslimin. Mereka mengancam kemerdekaan Kairo dan Alexandria. Dengan demikian, pada tanggal 8 Desember 1948, menteri dalam negeri mengeluarkan putusan pembubaran kelompok Ikhwanul Muslimin. Adapun terkait sikap Hasan al-Banna terhadap peradaban Barat adalah sama dengan sikap yang ditunjukkan oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan para pembaharu Islam di era modern, yaitu tetap menerima ilmu dan pengetahuan Barat tanpa harus tenggelam dalam kehidupan sosial dan akhlak mereka. Pengaruh dakwah dan pemikiran Hasan al-Banna tetap berlanggung hingga sekarang ini. Bahkan, hasil pemikirannya mampu mencetuskan nama-nama tokoh besar, baik penulis, da’i, dan ulama di berbagai aspek pemikiran Islam. 

Dengan pemikiran dakwah dan pembaharuannya, Hasan al-Banna telah berhasil memberi banyak pengaruh terhadap tokoh-tokoh pembangkit Islam. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa beliau merupakan tokoh Islam terdepan abad ke 14 H. Hal ini melihat begitu detil dan tersrukturnya dasar-dasar pemikiran yang dibangunnya padahal ketika itu baru berumur 23 tahun. Andaikata bukan karena struktur ini, tentu Hasan al-Banna tidak lebih sekedar seorang dai yang memiliki kemampuan memikat hati saja. Akan tetapi, dengan pola yang terstruktur ini, Hasan al-Banna telah berhasil menciptakan jamaah yang solid yang tidak bisa dilakukan oleh para ulama dan dai, meski syahid diusia muda.

Benar apa yang disampaikan Rasulullah dalam prediksinya, bahwa pada setiap 100 tahun Allah akan mengutus seseorang yang memperbaruhi persoalan agamanya. Maka, diutuslah Hasan al-Banna yang menghidupkan akidah di hati kaum muslimin, mengikat hati-hati mereka dengan cinta dan persaudaraan, memperbaharui pemikiran serta menghidupkan jihad dan pergerakan guna menyebakan dakwah Islam di muka bumi (Misbah, 2015: 409-410).

d.      Ibnu Khaldun

Nama lengkapnya adalah Abd al-Rahman bin Muhammad bin Khaldun al-Hadrawi, dikenal dengan panggilan Waliyuddin Abu Zaid, Qadi al-Qudat. Ia lahir tahun 732 H di Tunis. Ia bermazhab Maliki, Muhadist al-Hafidz, pakar ushul fiqh, sejarawan, pelancong, penulis dan sastrawan (AlMaraghi, 2001: 287).

Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut yang kemudian berimigrasi ke Seville (Spanyol) pada abad ke-8 setelah semenanjung itu dikuasai Arab muslim. Keluarga yang dikenal pro Umayah ini selama berabad-abad menduduki posisi tinggi dalam politik di Spanyol, sampai akhirnya hijrah ke Maroko beberapa tahun sebelum Seville jatuh ke tangan Kristen pada 1248 M. Setelah itu mereka menetap di Tunisia. Di kota ini mereka dihormati oleh pihak istana, diberi tanah milik dinasti Hafsiah (Ma’arif, 1996: 12).

Latar belakang keluarga dari kelas atas ini rupanya menjadi salah satu faktor penting yang kemudian mewarnai karir hidup Ibnu Khaldun dalam politik sebelum ia terjun sepenuhnya ke dunia ilmu. Otak cerdas yang dimilikinya jelas turut bertanggung jawab mengapa ia tidak puas bila tetap berada di bawah. Orientasi ke atas inilah yang mendorongnya untuk terlibat dalam berbagai intrik politik yang melelahkan di Afrika Utara dan Spanyol. Dalam usia muda Ibnu Khaldun sudah menguasai beberapa disiplin ilmu Islam klasik, termasuk ‘ulum aqliyah (ilmu-ilmu kefilsafatan, tasawuf dan metafisika). Di bidang hukum, ia mengikuti mazhab Maliki. Di samping itu semua, ia juga tertarik pada ilmu politik, sejarah, ekonomi, geografi, dan lain-lain (Mahdi, 1971: 27-29).

Otaknya memang tidak puas dengan satu dua disiplin ilmu saja. Di sinilah terletak kekuatan dan sekaligus kelemahan Ibnu Khaldun. Pengetahuannya begitu luas dan berfariasi ibarat sebuah ensiklopedi. Namun dari catatan sejarah, ia tidak dikenal sebagai seorang yang sangat menguasai satu bidang disiplin. Karya-karya Ibnu Khaldun, termasuk karya-karya yang monumental. Ibnu Khaldun menulis banyak buku, antara lain; Syarh al- Burdah, sejumlah ringkasan atas buku-buku karya Ibnu Rusyd, sebuah catatan atas buku Mantiq, ringkasan (mukhtasor) kitab al-Mahsul karya Fakhr al-Din alRazi (Ushul Fiqh), sebuah buku lain tentang matematika, sebuah buku lain lagi tentang ushul fiqh dan buku sejarah yang sangat dikenal luas. Buku sejarah tersebut berjudul Al-Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Tarikh al-Arab wa al-Ajam wa al-Barbar. Ibnu Khaldun melalui buku ini benar-benar menunjukkan penguasaannya atas sejarah dan berbagai bidang ilmu pengetahuan (Al-Maraghi, 2001: 287).

Di samping kitab tersebut, kitab al-Muqoddimah Ibnu Khaldun merupakan karya monumental yang mengundang para pakar untuk meneliti dan mengkajinya. Buku Muqaddimah yang ia tulis benarbenar telah mebuka mata para ilmuwan muslim maupun non muslim untuk mengkajinya. Karya ini diterjemahkan dalam banyak bahasa, dan dalam proses tersebut, Ibnu Khaldun akhirnya memperoleh atribut yang luar biasa, sebagai filosof sejarah, sejarawan, bapak sosiologi, geografer, ekonom, ilmuwan politik, dan lain-lain.  Khusus berkaitan dengan tema ekonomi, Ibnu Khaldun telah pula memprediksikan banyak hal yang akhirnya menjadi persoalan yang sampai pada dunia modern saat ini tetap mengemuka sebagai wacana yang tidak akan berhenti untuk dibicarakan. Sebagai contoh yang ia ajukan adalah kasus usaha pribadi dan usaha publik, perlakuan dunia atas mata uang yang akhirnya mempunyai fungsi yang sangat fital dalam dunia ekonomi, dan lain-lain. Apa yang dikemukakan tersebut, murni berasal dari pemikiran cerdas Ibnu Khaldun (Huda, 2013: 121-122).

e.       Ibnu Battutah

Ketika disebut nama Maroko, maka yang paling terlintas di benak orang Indonesia adalah Ibnu Batutah, Sang petualang legendaris dari Negeri Matahari Terbenam ini. Ia dianggap sebagai pelopor penjelajah abad 13 M yang belum tertandingi, sekalipun ada Marcopolo yang juga melakukan penjelajahan dunia. Namun Marcopolo masih tidak sebanding dengan Ibnu Batutah terutama dalam kuantitas perjalanan. Karenanya, ia dijuluki dengan sebutan “Pengembara muslim Arab”. Perjalanan panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia itu mampu melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai setelah Ibnu Batutah. Sejarawan Barat, George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Batutah melebihi capaian Marcopolo. Tak heran, bila Sarton geleng-geleng kepala dan mengagumi ketangguhan seorang Ibnu Batutah yang mampu mengarungi lautan dan menjelajahi daratan.

Nama lengkap Ibnu Batutah adalah Muhammad Abu Abdullah bin Muhammad Al Lawati Al Tanjawi yang kemudian dikenal dengan Ibnu Batutoh. Lahir di Tanger (kota di sebelah utara Maroko) 24 Februari 1304 M/ 703 H dan wafat di kota kelahirannya pada tahun 1377 M/ 779 H. Versi lain mengatakan, ia wafat di kota Fez atau Casablanca. Namun pendapat yang rajih (benar) ia dimakamkan di tanah kelahirannya, sebagaimana makamnya terdapat di kota wisata Tanger-Maroko. Ibnu Batutah berasal dari keturunan bangsa Barbar. Besar dalam keluarga yang taat memelihara tradisi Islam. Saat itu, Maroko sedang dikuasai Dinasti Mariniah. Ia dikenal sangat giat mempelajari fiqh dari para ahli yang sebagian besarnya menduduki jabatan Qadhi (hakim).

Beliau juga mempelajari sastra dan syair Arab. Pencapaian Ibnu Battutah yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika. ''Aku tinggalkan Tangier, kampung halamanku, pada Kamis 2 Rajab 725 H/ 14 Juni 1325 M. Saat itu usiaku baru 21 tahun empat bulan. Tujuanku adalah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci di Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah”, kisah Ibnu Battutah pengembara dan penjelajah Muslim terhebat di dunia membuka pengalaman perjalanan panjangnya dalam buku catatannya, Rihlah. Dengan penuh kesedihan, Ia meninggalkan orangtua serta sahabat sahabatnya di Tangier. Tekadnya sudah bulat untuk menunaikan rukun iman kelima. Perjalananya menuju ke Baitullah telah membawanya bertualang dan menjelajahi dunia. Seorang diri, dia mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia.

Selama hampir 30 tahun, dia telah mengunjungi tiga benua mulai dari Afrika Utara, Afrika Barat, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia engah, Asia Tenggara, dan Cina. Perjalanan panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia itu mencapai ratusan ribu kilometer. Tak heran, bila kehebatannya mampu melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai berlayar 125 tahun setelah Ibnu Battutah.

Sejarawan Barat, George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Battutah melebihi capaian Marco Polo. Pria kelahiran Tangier 17 Rajab 703 H/ 25 Februari 1304 itu bernama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim At-Tanji, bergelar Syamsuddin bin Battutahh. Sejak kecil, Ibnu Battutah dibesarkan dalam keluarga yang taat menjaga tradisi Islam. Ibnu Battutah tertarik untuk mendalami ilmu-ilmu fikih dan sastra dan syair Arab. Kelak, ilmu yang dipelajarinya semasa kecil hingga dewasa itu banyak membantunya dalam melalui perjalanan panjangnya. Ketika Ibnu Battutah tumbuh menjadi seorang pemuda, dunia Islam terbagi-bagi atas kerajaan-kerajaan dan dinasti. Ia sempat mengalami kejayaan Bani Marrin yang berkuasa di Maroko pada abad ke-13 dan 14 M.

Latar belakang Ibnu Battutah begitu jauh berbeda bila dibandingkan Marco Polo yang seorang pedagang dan Columbus yang benar-benar seorang petualang sejati. Meski Ibnu Battutah adalah seorang teologis, sastrawan puis,i dan cendekiawan, serta humanis, namun ketangguhannya mampu mengalahkan keduanya. Meski hatinya berat untuk meninggalkan orang-orang yang dicintainya, Ibnu Battutah tetap meninggalkan kampung halamannya untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah yang berjarak 3.000 mil ke arah Timur. Dari Tangier, Afrika Utara dia menuju Iskandariah. Lalu kembali bergerak ke Dimyath dan Kaherah. Setelah itu, dia menginjakkan kakinya di Palestina dan selanjutnya menuju Damaskus. Ia lalu berjalan kaki ke Ladzikiyah hingga sampai di Allepo. Pintu menuju Makkah terbuka dihadapannya setelah dia melihat satu kafilah sedang bergerak untuk menunaikan ibadat haji ke Tanah Suci. Ia pun bergabung dengan rombongan itu. Beliau menetap di Makkah kurang lebih selama dua tahun. Setelah cita-citanya tercapai, Ibnu Battutah, ternyata tak langsung pulang ke Tangier, Maroko. Ia lebih memilih untuk meneruskan pengembaraannya ke Yaman melalui jalan laut dan melawat ke Aden, Mombosa, Timur Afrika dan menuju ke Kulwa. Ia kembali ke Oman dan kembali lagi ke Makkah untuk menunaikan Haji tahun 1332 M, melaui Hormuz, Siraf, Bahrin dan Yamama.

Itulah putaran pertama perjalanan yang tempuh Ibnu Battutah. Pengembaraan putara kedua, dilalu Ibnu Battutah dengan menjelajahi Syam dan Laut Hitam. Ia lalu meneruskan pengembaraannya ke Bulgaria, Roma, Rusia, Turki serta pelabuhan terpenting di Laut Hitam yaitu Odesia, kemudian menyusuri sepanjang Sungai Danube. Ia lalu berlayar menyeberangi Laut Hitam ke Semenanjung Crimea dan mengunjungi Rusia Selatan dan seterusnya ke India. Di India, ia pernah diangkat menjadi kadi. Dia lalu bergerak lagi ke Sri Langka, Indonesia, dan Canton. Kemudian Ibnu Battutah mengembara pula ke Sumatera, Indonesia dan melanjutkan perjalanan melalui laut Amman dan akhirnya eneruskan perjalanan darat ke Iran, Irak, Palestina, dan Mesir. Beliau lalu kembali ke Makkah untuk menunaikan ibadah hajinya yang ke tujuh pada bulan November 1348 M. Perjalanan putaran ketiga kembali dimulai pada 753 H. Ia terdampar di Mali di tengah Afrika Barat dan akhirnya kembali ke Fez, Maroko pada 1355 M. Ia mengakhiri cerita perjalannya dengan sebuah kalimat, ''Akhirnya aku sampai juga di kota Fez.'' Di situ dia menuliskan hasil pengembaraannya. Salah seorang penulis bernama Mohad Ibnu Juza menuliskan kisah perjalanannya dengan gaya bahasa yang renyah. Dalam waktu tiga bulan, buku berjudul Persembahan Seorang pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumka, diselesaikannya pada 9 Desember 1355 M.

Secara detail, setiap kali mengunjungi sebuah negeri atau negara, Ibnu Battutah mencatat mengenai penduduk, pemerintah, dan ulama. Ia juga mengisahkan kedukaan yang pernah dialaminya seperti ketika berhadapa dengan penjahat, hampir pingsan bersama kapal yang karam dan nyaris dihukum penggal oleh pemerintah yang zalim. Ia meninggal dunia di Maroko pada pada tahun 1377 M. Kisah Ibnu Battutah yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika. 

Petualangan dan perjalanan panjang yang ditempuh Ibnu Battutah sempat membuatnya terdampar di Samudera Pasai-kerajaan Islam pertama di Nusantara pada abad ke-13 M. Ia menginjakkan kakinya di Aceh pada tahun 1345. Sang pengembara itu singgah di bumi Serambi Makkah selama 15 hari. Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah melukiskan Samudera Pasai dengan begitu indah. ''Negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah,'' tutur sang pengembara berdecak kagum. Kedatangan penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari para ulama dan pejabat Samudera Pasai. Ia disambut oleh pemimpin Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir al-Syirazi, Tajudin al-Ashbahani dan ahli fiqih kesultanan. Menurut Ibnu Battutah, kala itu Samudera Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Penjelajah termasyhur itu juga mengagumi Sultan Mahmud Malik Al-Zahir penguasa Samudera Pasai. ''Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,'' kisah Ibnu Battutah.

Menurut Ibnu Battutah, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama. Dia juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun dii lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan. Selama berpetualang mengelilingi dunia dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam kitab yang berjudul Tuhfat al-Nazhar, Ibnu Battutah menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang memiliki kelebihan yang luar biasa. Ketujuh raja yang dikagumi Ibnu Battutah itu antara lain; raja Iraq yang dinilainya berbudi bahasa; raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah; raja Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia; raja Turki dikaguminya karena gagah perkasa; Raja Romawi yang sangat pemaaf; Raja Melayu Malik Al-Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, sera raja Turkistan.

Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu Battutah akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina. Catatan perjalanan Ibnu Battutah itu menggambarkan pada abad pertengahan, peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara. Meskipun Ibnu Battutahh bukanlah seorang ilmuan jenius tetapi petualangan dan pengembaraannya. Ibnu Batutah yang mampu mengarungi lautan dan menjelajahi daratan sepanjang kurang lebih 120.000 kilometer itu. Sebuah pencapaian yang tak ada duanya di masa itu. Bahkan sekarang telah berlalu enam abad silam, namun kebesaran dan kehebatannya hingga kini tetap dikenang. 

4.      Pusat-pusat peradaban Islam di Afrika

Umat muslim Afrika tak hanya tinggal di negara-negara di kawasan Afrika Utara saja. Di Afrika Selatan, banyak juga umat Muslim meski menjadi minoritas. Uniknya, kehidupan umat Muslim Afrika Selatan kental dengan nuansa dan budaya Indonesia karena Islam di negara ini disebarkan oleh seorang ulama dari Makasar. Beberapa kosa kata Indonesia dan makanan Indonesia pun kini masih eksis di Afrika Selatan. Negara Afrika Selatan merupakan negara di bagian selatan benua Afrika yang mayoritas penduduknya beragama protestan. Islam disini menjadi agama minoritas, yaitu dipeluk sekitar 1.045.000 orang atau 1,9% dari jumlah penduduk Afrika Selatan yang berasal dari ras campuran.

Salah satu kota di Afrika Selatan yang memiliki komunitas muslim besar adalah Cape Town. Sekitar 20% penduduk kota ini adalah umat Muslim. Mereka biasa disebut Melayu Cape. Uniknya kehadiran Islam di Afrika Selatan erat hubungannya dengan sejarah Indonesia. Pada abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 Belanda yang kala itu menjajah Afrika Selatan mengirim budak-budak, tahanan perang dan tahanan politik dari Indonesia untuk dipaksa bekerja dan diasingkan agar tak mengganggu upaya VOC menguasai Indonesia. Salah satu yang diasingkan ke Afrika Selatan adalah Tuang atau Syaikh Yusuf atau Abadin Tadia Tjoessoep, seorang bangsawan dari Makasar yang juga keponakan raja Goa. Ia diasingkan di sebuah lokasi di luar Cape Town bersama keluarga dan pengikutnya. 

Ternyata tempat pengasingan Tuang Yusuf malah menjadi tempat pertemuan para budak buronan dan orang-orang yang diasingkan oleh Belanda hingga terbentuk komunitas muslim pertama di Afrika Selatan. Area tempat tinggal Tuang Yusuf kini disebut sebagai Macassar. Selain Tuang Yusuf, komunitas Muslim di Afrika Selatan dibentuk oleh orang-orang Jawa, Ambon, Tidore, Sumatra, India Muslim dan migrasi orang-orang Afrika Utara. Sebagai penyebar Islam di Afrika Selatan, makam Tuang Yusuf kini menjadi destinasi wisata dan tempat ziarah yang penting bagi umat Muslim. Makamnya berada di sebuah bukit yang menghadap Macassar. Komunitas muslim di kota Cape Town pun tak hanya tinggal di Macassar tapi di area lainnya.
Sarana penyebaran Islam di benua ini dilakukan melalui berbagai cara. Misalnya, ekspansi melalui penaklukan, seperti yang terjadi di Afrika Utara. Setelah Arab menaklukkan Afrika Utara pada abad ke-7 dan ke-8 M, terjadi proses Islamisasi dan Arabisasi di Afrika Utara.

Sementara itu, Islam masuk ke Afrika bagian selatan melalui para budak Melayu yang dibawa orang Eropa. Di Afrika Timur, Islamisasi tampak jelas melalui kedatangan dan ekspansi Arab, pada masa-masa awal hingga abad ke-20. Di antara bukti Islamisasi yang kuat di Afrika adalah masjid-masjid tua bersejarah yang masih bertahan hingga kini. Di antaranya sebagai berikut:

a.       Masjid Agung Kairouan 
Masjid Agung Kairouan atau dikenal sebagai Masjid Uqba merupakan salah satu masjid paling penting di Tunisia. UNESCO telah menjadikan masjid ini sebagi warisan dunia. Masjid Agung Kairouan adalah salah satu monumen Islam yang paling mengesankan dan terbesar di Afrika Utara Masjid ini diirikan Uqba bin Nafi pada 670 M, pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah. Masjid Uqba, oleh para penerusnya dihiasi pilar-pilar marmer yang didapat dari piung-piung Kartago, yang kemudian dimanfaatkan lagi oleh penguasa Aqlabiyah. Menara persegi yang melengkapi bangunan masjid ini, merupakan peninggalan Dinasti Umayyah, dan termasuk yang paling lama bertahan di Afrika. Berkat masjid ini, Kairouan di mata sejarawan Barat menjadi kota suci keempat setelah Makkah, Madinah, dan Yerussalem.
b.      Masjid Raya Djenne 
Masjid Raya Djenne adalah bangunan dari lumpur terbesar di dunia. Banyak arsitek menganggap bangunan ini bergaya arsitektur Sudano-Sahelian terbaik. Masjid ini terletak di Kota Djenne, Mali, di dekat Sungai Bani. Terletak di Kota Djenne, Republik Mali, Afrika Barat. Pada 1998, masjid ini ditetapkan sebagai situs warisan dunia UNESCO. Masjid unik dan menakjubkan ini juga pernah menjadi pusat pengajaran Islam di Afrika pada abad ke-18. 
c.       Masjid Larabanga 
Masjid Larabanga adalah masjid yang dibangun dengan gaya arsitektur Sudan di Desa Larabanga, Ghana. Masjid ini merupakan masjid tertua di Ghana dan salah satu yang tertua di Afrika Barat. Masjid berjuluk Makkah di Afrika Barat ini telah mengalami restorasi beberapa kali, sejak awal didirikan pada 1421. World Monuments Fund (WMF) telah memberikan kontribusi besar terhadap restorasi, dan masuk dalam daftar salah satu dari 100 Situs Paling terancam punah. Masjid ini menyimpan koleksi mushaf kuno. Oleh penduduk setempat diyakini sebagai pemberian langit untuk Yidan Barimah Bramah, imam masjid pada 1650 M (Marniati Dan Agung Sasongko, 2016) 


Sumber : ppg.siagapendis.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar