Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 20 Juli 2019

MODUL SKI KB 4 PPG PAI

A.    Perkembangan Islam di Afrika

1.      Sejarah masuknya Islam di Afrika

Salah satu guru besar sejarawan Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat adalah Nezar al-Sayyad. Beliau mengungkapkan, ada beberapa faktor yang mendorong bangsa Arab melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah di luar Arab. Diantara faktor tersebut antara lain untuk menjalankan misi Ilahiah dalam menyebarkan syiar Islam, memelihara kekuasaan politik di bawah kontrol kelompok elite Arab, serta mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam di tanah yang telah ditaklukkan. Kendati demikian, ekspansi oleh bangsa Arab tidak selalu menghadapi konfrontasi di wilayah-wilayah yang mereka taklukkan. Seperti di Damaskus dan Sisilia, dominasi bangsa Arab di sana justru membawa dampak yang jauh lebih positif dibandingkan eksploitasi yang kerap dilakukan oleh rezim Bizantium (Romawi Timur) pada masa-masa sebelumnya.
Artikel:https://www.republika.co.id/berita/duniaislam/dunia/19/03/04/pnu0hy313-islam-di-afrika-terus-berkembang-dantantangannya
Sebaliknya, penetrasi Islam di wilayah sub-Sahara Afrika yang terjadi sekitar abad ke-9, justru bukan melalui misi penaklukan, melainkan karena adanya hubungan perdagangan. Pada zaman itu, wilayah tersebut memang termasuk salah satu kawasan yang lazim dilintasi oleh para kafilah dagang. Al-Sayyad menjelaskan, ada dua rute perdagangan yang ikut membentuk pengaruh Islam di Afrika Barat. Yang pertama adalah jalur yang menghubungkan negeri-negeri Maghribi (Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Libya) dengan pusat-pusat perdagangan emas Berber-Afrika seperti negeri Soninke (sekarang Negara Ghana). Jalur perdagangan lainnya adalah rute timur yang menghubungkan Sudan Tengah, Kanem, Bornu, serta Negara-negara Hausa dengan Libya, Tunisia, dan Mesir. Meskipun terdiri dari berbagai daerah dan etnis, tapi salah satu faktor pemersatu Islam di Afrika adalah dominasi mazhab Maliki yang kebanyakan diikuti oleh masyarakat negeri-negeri Maghribi.
Video: https://www.youtube.com/watch?v=m0cmvIM_Awg
Setelah Islam berkembang di kawasan sub-Sahara, raja-raja di Afrika mulai menerima kaum Muslim. Bahkan, tak sedikit raja-raja itu memeluk Islam dan mengubahnya menjadi kerajaan Islam. Dengan munculnya dinasti-dinasti Islam, perkembangan Islam dan peradabannya semakin pesat di kawasan Afrika Barat. Diantara dinasti-dinasti Islam tersebut yaitu:
a.       Kekaisaran Ghana
Salah satu kerajaan pertama yang bisa menerima Islam di Afrika Barat adalah Kekaisaran Ghana (830-1235 M). Kerajaan itu berada Mauritania dan Mali bagian barat. Menurut Prof. A. Rahman I Doi, keberadaan Kekaisaran Ghana sempat ditulis oleh geografer Muslim bernama al-Bakri dalam kitab Fi Masalik wal Mamalik. Menurut al-Bakri, pada 1068 M Kerajaan Ghana telah mencapai kemajuan. Secara ekonomi, negara itu begitu kaya dan makmur. Raja Kekaisaran Ghana sudah mempekerjakan Muslim sebagai penerjemah. Tak hanya itu, sebagian besar menteri dan bendahara negara adalah umat Islam. Al-Bakri pun melukiskan perkembangan Islam di Kekaisaran Ghana pada abad ke-11 M dengan seuntai kata. Kota Ghana memiliki dua kota yang terletak pada sebuah dataran, salah satunya dihuni umat Islam dalam jumlah yang banyak. Komunitas ini memiliki 12 masjid yang biasa digunakan untuk shalat Jumat. Setiap masjid memiliki imam, muazin, serta para pembaca Alquran. Kota Muslim itu banyak memiliki ahli hukum, pengacara, dan orang-orang pintar.
b.      Dinasti Za di Gao
Dinasti Za berbasis di Kota Kukiya dan Gao di Sungai Niger River sekarang dikenal sebagai Mali modern. Dinasti itu didirikan Za Alayaman pada abad ke-11 M. Pendiri raja itu berasal dari Yamen dan menetap di Kota Kukiya. Dinasti itu berubah menjadi kerajaan Islam setelah pada 1009-1010 M, Za Kusoy penguasa ke-15 memeluk Islam. Kerajaan itu ditaklukkan Kekaisaran Mali pada awal abad ke13 M.
c.       Kekaisaran Mali
Menurut sejarawan Margari Hill dari Stanford University, Kerajaan Mali didirikan oleh Raja Sunjiata Keita. Ia bukanlah seorang Muslim. Raja Mali pertama yang masuk Islam adalah Mansa Musa (1307-1332). Ia menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan,” ujar Hill. Di era kepemimpinan Mansa Musa, Kekaisaran Mali mengalami masa keemasan. Pada 1325 M, Timbuktu mulai dikuasai Kaisar Mali, Mansa Mussa (1307-1332). Raja Mali yang terkenal dengan sebutan Kan Kan Mussa itu begitu terkesan dengan warisan Islam di Timbuktu. Sepulang menunaikan haji di Makkah, Sultan Musa membawa seorang arsitek terkemuka asal Mesir bernama Abu Es Haq Es Saheli. Sang sultan menggaji arsitek itu dengan 200 kilogram emas untuk membangun Masjid Jingaray Bermasjid untuk shalat Jumat.
Sultan Musa juga membangun istana kerajaannya atau Madugu di Timbuktu. Pada masa kekuasaannya, Musa juga membangun masjid di Djenne dan masjid agung di Gao (1324-1325) M. Kini tinggal tersisa fondasinya saja. Kerajaan Mali mulai dikenal di seluruh dunia ketika Sultan Musa menunaikan ibadah haji di Tanah Suci, Makkah pada 1325 M. Sebagai penguasa yang besar, dia membawa 60 ribu pegawai dalam perjalanan menuju Makkah. Hebatnya, setiap pegawai membawa tiga kilogram emas. Itu berarti dia membawa 180 ribu kilogram emas. Saat Sultan Musa dan rombongannya singgah di Mesir, mata uang di Negeri Piramida itu langsung anjlok. Pesiar yang dilakukan sultan itu membuat Mali dan Timbuktu mulai masuk dalam peta pada abad ke-14 M.
Kesuksesan yang dicapai Timbuktu membuat seorang kerabat Sultan Musa, Abu Bakar II, menjelajah samudra dengan menggunakan kapal. Abu Bakar dan tim ekspedisi maritim yang dipimpinnya meninggalkan Senegal untuk berlayar ke Lautan Atlantik. Pangeran Kerajaan Mali itu kemungkinan yang menemukan benua Amerika. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan bahasa, tradisi, dan adat Mandika di Brasil.
d.      Kekaisaran Songhay
Islam mulai menyebar ke wilayah Kekaisaran Songhay pada abad ke-11 M. Menurut Prof Rahman, negara Songhay amat kaya karena pengaruh perdagangan dengan Gao. Pada abad ke-13, kerajaan itu sempat dikuasai Kekaisaran Mali. Namun, pada akhir abad ke-14 bisa melepaskan diri ketika dipimpin oleh Sunni Ali. Di bawah kepemimpinan Raja Sunni Ali, pada periode 1464-1492 wilayah barat Sudan pun sempat dikuasai Kekaisaran Songhay. Kota Timbuktu dan Jenne yang dikenal sebagai pusat peradaban Islam juga dikuasai Sunni Ali pada 1471-1476.
Sunni Ali adalah seorang Muslim. Namun, ia tetap mempraktikkan tradisi lokal dan magis. Ia kerap menghukum ulama dan cendekiawan Muslim yang mengkritisinya karena mempraktikkan kepercayaan pagan. Umat Islam dan ulama Muslim di Timbuktu bergembira setalah Sunni Ali meninggal.
e.       Dinasti Asykiya
Posisinya diganti oleh Sunni Barou. Aski Muhammad Toure (Towri), seorang jenderal Songhay, meminta Barou untuk mengucap sumpah dengan cara Islam sebelum memimpin kerajaan, namun menolaknya. Muhammad Toure menggulingkannya dan mendirikan Dinasti Askiya. Pada masa kepemimpian Muhammad Toure, Islam kembali berjaya. Ia menerapkan hukum Islam, juga melatih dan mengangkat hakim-hakim baru. Muhammad Toure melindungi dan membiayai para ilmuwan, ulama, dan cendekiawan Muslim. Mereka yang berprestasi dalam bidang intelektual dan agama diberi hadiah yang melimpah.
Sultan Muhammad Toure pun sangat dekat dengan ulama dan cendekiawan terkemuka Muhammad al-Maghilli. Sang sultan juga mendukung pengembangan Universitas Sankore-universitas Islam pertama di Afrika Barat. Sama seperti Mansa Musa Sultan Mali, Askia Muhammad juga sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah. Ia dikenal memiliki kedekatan dengan ulama dan penguasa di negara-negara Arab. Di Makkah, ia disambut penguasa Arab. Ia juga mendapat hadiah pedang dan gelar Khalifah Sudan Barat. Sekembalinya dari Makkah pada 1497, ia menggunakan gelar al-Hajj pada namanya. Wilayah sub-Sahara Afrika Barat pernah menjadi saksi kejayaan peradaban Islam. Di wilayah yang dikenal dengan sebutan Bilad al-Sudan itu sempat berdiri dinasti-dinasti Islam. Bahkan, di kawasan Afrika Barat juga pernah berdiri perguruan tinggi berkelas dunia bernama Universitas Sankore.
Prof A Rahman I Doi dalam tulisannya bertajuk Spread Islam in West Africa, mengungkapkan, “Islam mencapai wilayah Savannah (Afrika Barat) pada abad ke-8 M. Ajaran Islam mulai diterima oleh Dinasti Dya’ogo dari Kerajaan Tekur pada awal 850 M,’’ ungkap guru besar pada berbagai universitas di Afrika itu. Fakta itu terungkap dari catatan sejarawan dan penjelajah Muslim di era keemasan Islam, seperti Al-Khwarzimi, Ibnu Munabbah, Al-Masudi, Al-Bakri, Abul Fida, Yaqut, Ibnu Batutah, Ibnu Khaldun, Ibnu Fadlallah al-’Umari, Mahmud al-Kati, Ibnu al Mukhtar, dan Abd alRahman al-Sa’di.
Margari Hill, sejarawan dari Stanford University, menjelaskan, Islam menyebar di Afrika Barat secara bertahap dan kompleks. Ada tiga tahap sejarah yang telah dilalui Islam di wilayah sub-Sahara. Ketiga tahap sejarah itu adalah tahap penahanan, pembauran, dan reformasi. Pada tahap pertama, raja-raja Afrika menahan atau membendung pengaruh Muslim dengan memisahkan komunitas Muslim. Pada tahap kedua, penguasa Islam Afrika mencampur Islam dengan tradisi lokal. Pada tahap ketiga, Muslim Afrika ditekan melakukan reformasi untuk menyingkirkan kebiasaan mencampur tradisi lokal dan Syariah sehingga umat Islam menjalankan ajaran Islam secara benar.
Dinasti Dya’ogo merupakan orang Negro pertama yang menerima Islam di Afrika Barat. Karenanya, para sejarawan Muslim menyebut wilayah Kerajaan Tekur dengan julukan Bilad al-Tekur atau Tanah Muslim Hitam”. Ajaran Islam, menurut Prof Rahman-mengutip catatan Ibnu Munabbah yang bertarikh 738 M dan Al-Masudi pada 947-masuk dan berkembang di wilayah Afrika Barat melalui jalur perdagangan. 
Ketika Islam telah menyebar, di Kota Timbuktu, Mali, telah berdiri sebuah perguruan tinggi berkelas dunia, Universitas Sankore. Pada abad ke-12, jumlah mahasiswa yang menimba ilmu di Universitas Sankore mencapai 25 ribu orang. Universitas Sankore diakui sebagai perguruan tinggi berkelas dunia. Karena, lulusannya mampu menghasilkan publikasi berupa buku dan kitab yang berkualitas. Buktinya, baru-baru ini di Timbuktu, Mali, ditemukan lebih dari satu juta risalah. Selain itu, di kawasan Afrika Barat juga ditemukan tak kurang dari 20 juta manuskrip. Sejarawan Abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu dalam buku yang ditulisnya. Begitu banyak hakim, doktor, dan ulama di sini (Timbuktu). Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad-penguasa Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat belajar,” tutur Africanus.
Di era keemasan Islam, ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di Timbuktu. Rakyat di wilayah itu begitu gemar membaca buku. Menurut Africanus, permintaan buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Alhasil, perdagangan buku di kota itu menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibanding bisnis lainnya. 
6) Dinasti Islam di Afrika Barat 7) Dinasti Sayfawa (1075-1846 M) 8) Kekaisaran Mali (1230-1600 M) 9) Dinasti Keita (1235 -1670 M) 10) Kerajaan Bornu  (1396-1893 M) 11) Kerajaan  Baguirmi (1522-1897 M) 12) Kerajaan Dendi (1591-1901 M) 13) Kesultanan Damagaram (1731-1851 M) 14) Kerajaan  Fouta Tooro (1776-1861 M) 15) Kekhalifahan Sokoto (1804-1903 M) 16) Kerajaan Toucouleur (1836-1890 M)
Video: https://www.youtube.com/watch?v=AMcELwXLUWo
Penyebaran agama Islam di Afrika, khususnya Afrika Selatan dimulai dengan pertemuanpertemuan secara sembunyi-sembunyi dengan para budak. Agama Islam masuk ke daratan Afrika pada masa Khalifah Umar bin Khattab, waktu Amru bin Ash memohon kepada Khalifah untuk memperluas penyebaran Islam ke Mesir lantaran dia melihat bahwa rakyat Mesir telah lama menderita akibat ditindas oleh penguasa Romawi dibawah Raja Muqauqis. Sehingga mereka sangat memerlukan uluran tangan untuk membebaskannya dari ketertindasan itu. Muqauqis sesungguhnya tertarik hendak masuk Islam setelah menerima surat dari Rasulullah SAW. Namun, karena lebih mencintai tahtanya maka sebagai tanda simpatinya beliau kirimkan hadiah kepada Rasulullah SAW.
Selain alasan di atas, Amru bin Ash memandang bahwa Mesir dilihat dari kacamata militer maupun perdagangan letaknya sangat strategis, tanahnya subur karena terdapat sungai Nil sebagai sumber makanan. Maka dengan restu Khalifah Umar bin Khattab dia membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi pada tahun 19 H (640 M) hingga sekarang. Dia hanya membawa 400 orang pasukan karena sebagian besar diantaranya tersebar di Persia dan Syria. Berkat siasat yang baik serta dukungan masyarakat yang dibebaskannya maka ia berhasil memenangkan berbagai peperangan. Mula-mula memasuki kota Al-Arisy dan dikota ini tidak ada perlawanan, baru setelah memasuki Al-Farma yang merupakan pintu gerbang memasuki Mesir mendapat perlawanan, oleh Amru bin Ash kota itu dikepung selama 1 bulan.
Setelah Al-Farma jatuh, menyusul pula kota Bilbis, Tendonius, Ainu Syam hingga benteng Babil (istana lilin) yang merupakan pusat pemerintahan Muqauqis. Pada saat hendak menyerbu Babil yang dipertahankan mati-matian oleh pasukan Muqauqis itu, datang bala bantuan 4.000 orang pasukan lagi dipimpin empat panglima kenamaan, yaitu Zubair bin Awwam, Mekdad bin Aswad, Ubadah bin Samit dan Mukhollad sehingga menambah kekuatan pasukan muslim yang merasa cukup kesulitan untuk menyerbu karena benteng itu dikelilingi sungai. Akhirnya, pada tahun 22 H (642 M) pasukan Muqauqis bersedia mengadakan perdamaian dengan Amru bi Ash yang menandai berakhirnya kekuasaan Romawi di Mesir. Pembahasan mengenai masuk dan berkembangnya Islam di Afrika mencakup beberapa wilayah negara yaitu Mesir, Libia, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Nigeria, Mali, Pantai Gading, Sudan, Ethiopia, Kenya, Zambia dan lain-laannya. 
2.      Strategi dakwah dan perkembangan Islam di Afrika
 Pada tahun ke-5 dari kenabian, Rasulullah SAW memerintahkan beberapa orang sahabatnya (berjumlah 15 orang: 11 laki-laki dan 4 wanita) untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia). Hijrah ini dipimpin oleh Usman bin Maz’un yang bertujuan untuk menghindari penyiksaan-penyiksaan dan menyelamatkan diri dari kaum kafir Quraisy serta mendakwahkan agama Islam. Selain itu, pada sekitar tahun ke-6 Hijrah, Nabi SAW mengutus sahabatnya Hatib bin Abi Balta’ah untuk menyampaikan surat dakwah (seruan masuk Islam) kepada Muqauqis (penguasa Mesir, Gubernur Romawi Timur). Islam akhirnya mulai menyebar ke negara-negara Afrika Utara serta terjadi proses Islamisasi. Hal ini terjadi sekitar abad 7 – 8 M.
Video: https://www.youtube.com/watch?v=Aopx1gHusEY
Adapun di Afrika Timur, faktor Islamisasi tampak jelas dengan kedatangan dan ekspansi Islam ke Afrika Selatan, antara lain dilakukan oleh para budak Melayu yang dibawa oleh orang-orang Eropa ke wilayah itu. Setelah dibebaskan dari Pulau Robben, tak jauh dari Cape Town, pada tahun 1793, Imam Abdullah membuat petisi pertamanya untuk pembangunan masjid. Saat itu, petisi tersebut sempat mendapat penolakan meski akhirnya memperoleh izin dari Pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan masjid. Ia pun menulis sebuah buku tentang yurisprudensi Islam pada 1781 dalam bahasa Melayu dan Arab. Judul buku itu adalah Ma’rifa al­Islam wa al­Iman. Buku ini memberi pengaruh sosial dan keagamaan yang besar di kalangan komunitas Muslim di Cape Town. Pada 1793, Imam Abdullah membangun sekolah Muslim pertama. Lokasinya di Dorp Street, Bokaap, yang akhirnya menjadi bagian dari Masjid Auwal, masjid pertama di Cape Town. Pada 1825, sekolah ini memiliki 491 siswa, sebagian besar dari kalangan budak negro. Di kemudian hari, sekolah inilah yang melahirkan orang-orang Afrika Arab yang memahami bahasa Arab. Setelah Imam Abdullah wafat, kepemimpinan sekolah ini dilanjutkan oleh Imam Achmat van Bengalen.
Pada masa awal kedatangannya di Cape Town, Islam adalah agama yang diawasi secara ketat oleh penguasa. Pemerintah Hindia Belanda secara tegas melarang aktivitas Islam di tempat umum, meski ibadah pribadi diperbolehkan. Tak ada komunitas Muslim yang diizinkan untuk melakukan perkumpulan. Mengingat kondisi itu, ulama seperti Imam Abdullah, Syaikh Yusuf, dan juga lainnya menggunakan rumah mereka sebagai tempat untuk belajar Islam. Mereka berusaha keras mempertahankan keberadaan Islam di Cape Town. Beruntung, pembatasan ini kian lama kian surut. Pada 1770, di rumah seorang budak yang dibebaskan bernama Mohammodan, secara rutin diselenggarakan pertemuan. Dalam pertemuan itu, mereka yang hadir membaca, shalat, dan mempelajari ayat-ayat al-Quran.
Pada 25 Juli 1804, Islam secara resmi tak lagi menjadi agama yang dilarang. Warga setempat pun bebas memilih agama yang diyakininya. Sementara, para ulama bisa berdakwah secara leluasa. Penyebaran Islam di Benua Afrika tidak terlepas dari persaingan antara Islam dan Kristen, serta antara Islam dan westernisasi sekuler. Walaupun begitu, Islam di benua Afrika tetap berkembang ke arah yang lebih maju, baik kuantitas maupun kualitas. Di Benua Afrika banyak negara yang penduduknya mayoritas Islam, seperti: Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Sahara Barat, Mauritania, Mali, Nigeria, Senegal, Gambia, Guinea, Somalia, dan Sudan. Sedangkan negara-negara di Benua Afrika yang minoritas Islam adalah: Zambia, Uganda, Mozambique, Kenya, Kongo, dan Afrika Selatan.
Azan Asar berkumandang dari Masjid Auwal di daerah Bo-Kaap, Cape Town. Belasan orang kemudian datang ke mesjid yang tidak begitu besar tersebut. Masjid Auwal adalah masjid pertama yang dibangun di Afrika Selatan pada tahun 1794. Bangsa Indonesia harus bangga karena masjid ini dibangun oleh orang Indonesia yang bernama Imam Abdullah Kadi Abdus Salaam, atau yang lebih terkenal dengan julukkan Tuan Guru. Tuan Guru adalah orang Indonesia kedua yang menyebarkan Islam di Afrika Selatan setelah Syech Yusuf. Keduanya memiliki nasib yang sama, dibuang Belanda di benua Afrika. Syech Yusuf dibuang ke Cape Town pada 1693 dan meninggal di pengasingan pada 23 Mei 1699. Sementara itu, Tuan Guru, Pangeran Tidore dari Kepulauan Ternate yang lahir pada 1712, ditangkap karena menentang Belanda dan diasingkan ke Robben Island di Cape Town pada 6 April 1780 bersama dengan tiga orang rekannya yaitu Abdul Rauf, Badroedin, dan Nur Al-Iman.
Selama dalam pengasingan selama 13 tahun, Tuan Guru menulis buku antara lain Ma'rifatul Islami wal Imani yang diselesaikannya pada 1781. Buku tersebut berbahasa Melaju tetapi berhuruf Arab. Tuan Guru juga menulis Alquran dengan tangannya sekitar 600 halaman. Setelah era Alquran cetak, baru diketahui Alquran tulisan tangan Tuan Guru memiliki sedikit kesalahan. Setelah bebas dari pengasingan, Tuan Guru menikah dengan Kaija van de Kaap dan tinggal di Dorp Street, Cape Town. Dari pernikahan tersebut, lahir Abdol Rakief dan Abdol Rauf, yang juga sangat berperan dalam penyebaran Islam di Afrika Selatan. Di sebuah gudang di tempat tinggal yang baru inilah Tuan Guru mendirikan madrasah, yang juga merupakan sekolah muslim pertama di Afrika Selatan. Sekolah ini sangat popular di kalangan budak dan komunitas warga kulit hitam nonbudak. Sekolah ini juga menjadi tempat lahirnya ulama-ulama Afrika Selatan ketika itu seperti Abdul Bazier, Abdul Barrie, Achmad van Bengalen, dan Imam Hadjie. Murid Tuan Guru ketika itu mencapai 375 orang.
Pada 1793, Tuan Guru mengajukan permintaan untuk membangun masjid pada 1794 kepada pemerintah Afrika Selatan yang saat itu dikuasai Belanda. Permintaan Tuan Guru ditolak. Belanda takut perkembangan Islam akan menganggu kekuasaannya. Bahkan, penjajah Belanda di Afrika Selatan juga melarang penyelenggaraan ibadah Islam. Namun, Tuan Guru menentang kebijakan Belanda tersebut. Walau pembangunan masjid dilarang, Tuan Guru tetap menggelar Salat Jumat di tempat terbuka tersebut, yang juga tercatat sebagai Salat Jumat pertama yang dilakukan secara terbuka di Afrika Selatan.
Ketika Afrika Selatan dikuasai Inggris pada 1795, Jenderal Craig mempersilakan warga Muslilm untuk membangun masjid. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan Tuan Guru. Dia langsung membangun masjid di tempat yang semula menjadi madrasah tersebut. Masjid inilah yang kemudian dinamai Masjid Auwal, mesjid pertama di Afrika Selatan. Tuan Guru meninggal pada 1807 yang dikebumikan pada 1807 di Tana Baru, yang juga merupakan tempat pemakaman Muslim pertama yang dibangunnya di Afrika Selatan. Sekarang ini, Masjid Auwal berdiri di kawasan bisnis dekat Waterfront. Masjid tersebut berada di kawasan penduduk padat dan tidak memiliki halaman. satu-satunya yang membedakan adalah gerbang masjid.
Masjid Auwal beberapa kali dipugar. Namun, dinding asli yang terdiri atas batu gunung, masih terdapat di dekat mimbar masjid tersebut. Imam Mesjid Auwal sekarang ini, Moehammed Fadil Soekr mengatakan sangat bangga dengan keberadaan masjid ini. Menurut Soekr, selama zaman apartheid, setiap warga Muslim tidak leluasa menjalankan ibadahnya.
Ketika apartheid runtuh pada 1994, Nelson Mandela datang ke Masjid Auwal ini dan mempersilakan warga Muslim untuk menjalankan ibadahnya. "Setelah apartheid, perkembangan Islam berjalan cepat. Daerah sekitar Bo-Kaap, hampir 90 persen penduduknya sekarang muslim," ujar Soekr. Soekr yang mengaku sebagai warga Cape Malays, keturunan Indonesia di Afrika Selatan, mengatakan sangat ingin mengunjungi Indonesia. "Indonesia adalah tempat asal nenek moyang saya. Jika punya uang, saya ingin ke sana. Indonesia selalu speasial di mata saya," ujarnya. 
3.      Tokoh-tokoh ilmu pengetahuan Islam di Afrika
Keberadaan Islam di benua Afrika telahmembuat penduduk Afrika semakin meningkat keinginan umat muslim yang ada disana untuk mendalami ajaran Islam. Selain itu juga muncul tokoh tokoh Islam yang menjadi pembaharu di benua Afrika. Diantara tokoh tokoh muslim yang ada tersebut diantaranya adalah sebagai berikut ini:
a.       Al-Qalbisi
Al-Qabisi nama aslinya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Khalaf al Ma’rif al-qobisi, beliau lahir di daerah kairawan,Tunisia pada bulan rajab tahun 224 H/tanggal 13 Mei 936 M. Ia pernah merantau ke timur tengah selama 5 tahun, kemudian ia kembali ke negeri asalnya dan meninggal dan dunia pada tanggal 3 Rabiul Awal 403 H/Tangga 23 oktober 1012 M. Ibn Khalikan berpendapat, alQabisi dilahirkan pada hari Senin setelah hari hari yang kedua bulan Rajab tahun 324 H. Sedangkan alSayuthi, Ibn al-„Imad al-Hanbali ibn Fadhlullah al-Umari, dan Abd al-Rahman tidak menyebutkan tentang hari kelahirannya, akan tetapi mereka sepakat bahwa al-Qabisi dilahirkan pada tahun 324 H. bertepatan dengan 935 M. (Al-Ahwani, 1955: 21-25)
Menurut catatan sejarah, bahwa pada masa khalifah Umar bin Khaththab tentara Islam telah sampai ke Afrika Utara bagian Tarablis yang dipimpin oleh Amru bin Ash, kemudian dilanjutkan pada masa khalifah Utsman bin „Affan yang dipimpin oleh Abdullah bin Said bin Abi Sarah. Pada masa inilah tentara Islam telah sampai ke Qairawan kota kelahiran al-Qabisi. Penaklukan Afrika Utara berakhir pada masa Khalifah Muawiyah, khalifah mengutus 10.000 tentara kaum muslimin yang dipimpin oleh Uqbah bin Nafi’.
Ketika Abdul Malik bin Marwan diangkat menjadi Khalifah ia mengutus Zuhair bin Qais untuk memerangi suku Barbar, kemudian Zuhair kembali memasuki Afrika dan Qairawan, kemudian Abdul Malik bin Marwan memerintahkan Hasan bin Ni‟man al-Ghasani untuk memperkuat tentara kaum muslimin dan menetap tinggal di sana bersama kaum muslimin lainnya untuk berkhidmat bagi negeri tersebut dan menyiarkan agama Islam. Maka kaum muslimin yang pertama membawa Islam dan berkhidmat di Afrika Utara ialah mereka yang terdiri dari para sahabat Nabi dan para tabi’in besar, seperti Abdullah bin Abi Sarah, Ma’bad bin Abbas bin Abdul Muthalib, Marwan bin Hakim bin Abi Ash bin Umaiyah, Haris bin Hakim, Abdullah bin Zubair bin Awam, Abdullah bin Umar ibn Khaththab dan Abdurrahman bin Abi Bakr.
Penyebarluasan Islam yang dilakukan oleh kaum muslimin ke negara-negara yang belum Islam, baik sejak dari Nabi Muhammad SAW. dan para khalifah sesudahnya, senantiasa memberikan ketenangan dan menjadi rahmat bagi suatu wilayah yang dikuasainya. Oleh sebab itu, selama Islam masih berkuasa di suatu negara atau wilayah, negara tersebut akan senantiasa kondusif dalam tataran masyarakat yang Islami, sehingga mewarnai seluruh aktivitas masyarakat, dan tidak dapat dinafikan bahwa lingkungan yang agamis ketika itu memberikan kontribusi yang positif bagi dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam, sekaligus akan mewarnai pendidikan secara keseluruhan. Oleh sebab itu, nilai-nilai pendidikan senantiasa bernuansakan Islami, tidak heran jika al-Qabisi, sebagaimana anakanak yang lainnya, mempelajari ilmu-ilmu agama terlebih dahulu dan penanaman akhlak-akhlak yang mulia sejak dini, seperti mempelajari shalat, menghafal al-Qur'an dan lain sebagainya.
Namun, tidak berhenti di situ saja, sudah menjadi tradisi di zaman ini, bahwa para penuntut ilmu senantiasa melakukan perjalanan atau rihlah ke luar daerah baik ke negeri Timur, seperti Makkah dan Madinah maupun ke negeri Barat seperti Andalusia atau Spanyol untuk menemui ulama-ulama yang ahli di bidangnya dan mereka mempelajari ilmunya sesuai dengan keahlian yang mereka inginkan secara berhadapan langsung. Al-Qabisi sendiri, menurut catatan sejarah, melakukan hijrah ke negeri  Timur, yakni Makkah dan Madinah, di samping menuntut ilmu, beliau juga menunaikan ibadah haji.
Dalam perjalanannya ke Timur al-Qabisi juga singgah dan menetap beberapa waktu di Iskandariyah dan Mesir untuk menuntut ilmu. Di Mekah, beliau mempelajari ilmu fiqh dan hadis Bukhari melalui ulama terkenal Ali Abu al-Hasan bin Ziyad al-Iskandari salah seorang ulama yang termashur dalam meriwayatkan Imam Malik. Hal inilah yang membuat ia menjadi seorang ahli fiqh Imam Malik. Demikian halnya selama beliau di Iskandariyah beliau juga belajar hadis dengan Abu al-Hasan Ali bin Ja’far. Perjalanannya ke negeri Timur ini memberikan kefakihan dan menambahnya wawasan beliau dalam ilmu-ilmu keislaman, sehingga ia dapat memberikan corak pendidikan Islam walaupun dalam bentuk sederhana. Salah satu kegemilangan yang beliau peroleh dari perjalanannya ke Timur ialah alQabisi adalah orang yang pertama kali membawa kitab Shahih Bukhari ke Afrika Utara (Nasir, 2003: 73).
Oleh sebab itu, para ulama banyak memberikan interpretasi tentang keilmuan yang dimiliki alQabisi dan begitu juga tentang sifat-sifat atau keutamaan beliau, al-Suyuti misalnya, mengatakan bahwa al-Qabisi adalah seorang huffazh, dan al-Qabisi juga orang yang banyak hafal hadis, ahli teologi, dan ahli fiqh, bersifat zahid dan wara’. Sedangkan Ibn Khaldun berkomentar bahwa al-Qabisi adalah seorang yang ahli hadis, baik dari segi maknanya maupun dari segi sanad hadis. Demikian halnya Qadhi Iyad berpendapat selain al-Qabisi juga seorang yang wara’, beliau juga seorang da’i yang mashur dan ahli fiqih di Qairawan. (Al-Ahwani, 1955: 28)
Al-Qabisi adalah seorang ilmuan sekaligus sebagai pemikiran pendidikan yang  sangat jenius, di mana banyak karya-karya yang ditinggalkannya dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan sebagai khazanah bagi intelektual muslim, sebagaimana menurut Qadhi Iyad, Ibn Farhun dan Abdurrahman. Kitab-kitab yang dikarang al-Qabisi ialah (Mushthafa, 1994: 549): Al-Muhid al-Fiqh wa Ahkam adDiyanah, Al-Mub’id min Syibhi at-Ta’wil, Al-Munabbih li al-Fithan an Ghawail Fitan, Al-Risalah alMufashshalah li Ahwal al-Muta’allimin wa Ahkam al-Mu’allimin wa al-Muta’allimin, Al-I’tiqadat, Manasik al-Hajj, Mulakhkhas li al-Muwattha’, Al-Risalah an-Nasyiriyah fi al-Radd ala’ al-Bikriyyah, dan Al-Zikr wa al-Du’a`.
Dengan pemikiran al-Qabisi tentang pendidikan Islam dapat disimpulkan bahwa al-Qabisi adalah seorang faqih dan hafizh al-Qur`an dan hadis dan seorang yang memahami bahasa Arab dengan baik. Dengan demikian, konsep-konsep yang beliau tawarkan dalam pendidikan cenderung berlandaskan alQur`an dan Sunnah, yang paradigma pemikirannya terkesan normatif. Meski demikian, kondisi lingkungannya ketika itu masih mempunyai relevansi dengan konsep yang ia tawarkan, sehingga dijadikan pedoman bagi pengajaran anak-anak pada masa abad keempat hijriyah.
Pada prinsipnya pengembangan konsep pendidikan Islam tidak hanya berhenti dalam tekstual normatif saja, perlu pengkajian yang mendalam dari berbagai aspek, baik sosiologis, geografis, maupun falsafah suatu bangsa itu sendiri. Sangat tidak mungkin menetapkan kurikulum pendidikan atau metode mengajar dan tujuan pendidikan berdasarkan satu aspek saja. Pendidikan yang maju dalam perspektif al-Qabisi dapat dilihat dari terwujudnya lingkungan keagamaan di berbagai daerah kekuasaan Islam ketika itu. Adalah suatu hal yang wajar jika beliau menetapkan konsep pendidikan yang menjadi pedoman di masanya (Muslim, 2016: 210-211).
b.      Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di sebuah dusun di Delta sungai Nil pada tahun 1849, dan beliau meninggal pada 11 juli 1905. Keluarganya terkenal berpegang teguh pada ilmu dan agama. Sejak muda beliau sudah di kenal hafal Al-Qur’an, Muhammad Abduh adalah sajana pendidik dan mufti, theology, alim dan juga pembaharuan (Suwito dan Fauzan, 2008: 88).
Menginjak usianya yang ke tiga belas tahun serta bekal pendidikan rumahan, Abduh dikirim ke masjid Ahmadi yang terletak di Thantha untuk menimba ilmu tajwid dan ilmu pengetahuan lainnya. Sebagai tempat ibadah sekaligus merangkap tempat pendidikan, Masjid Ahmadi memang tidak semegah dan seterkenal universitas Al-Azhar, tetapi dari sumberdaya dan kepeiawayannya dalam mendidik siswa lebih-lebih persoalan Al-Quran, Masjid Ahmadi dipandang satu tingkat berada dibawah Al-Azhar. Pengalaman pertama Abduh kecil di lembaga tersebut dalam upayanya menghafal dan memberikan ulasan serta memahami Al-Quran, untuk kemudian menjadi sebuah produk hukum membuat Abduh kecil jenuh, sebab sistem pengajaran yang dibangun, serta penerapan pengajarannya jauh dari apa yang Abduh kecil harapkan. Karena merasa mandul dalam berfikir dan dambaan kebahagiaan dalam belajar tidak dirasakan, akhirnya Abduh kecil meninggalkan Masjid Ahmadi di Tantha dan bertekad untuk tidak kembali pada kehidupan akademis. Dalam kondisi “galau” tersebut Abduh kecil pulang ke kampung halamannya. Menjadi seorang pemuda Dusun dengan keruwetan hidup ditengah keluarga yang berpoligami, membuat Abduh di usia enambelas tahun mengambil keputusan final yang terlalu dini dan berani yaitu: menikah dengan seorang gadis pujaannya (Hourani, 1970: 131).
Abduh mencoba mengakhiri waktu lajangnya dengan segenap kekecewaan dalam hidup sepulang dari pengembaraan intelektual, untuk membangun suatu kehidupan baru dengan mahligai rumah tangga (Shihab, 1994: 12).  Perjalanan mahligai rumah tangga Abduh berjalan seperti layaknya rumah tangga kebanyakan orang. Susah-senang menjadi selimut kisah dalam kehidupan rumah tangganya. Kemudian Abduh mencoba hidup bermasyarakat sebab hal itu adalah salah satu keharusan sebagai bagian dari sebuah masyarakat. Menjelang empat puluh hari usia pernikahannya, ayah Abduh menyuruhnya untuk kembali belajar ke masjid Ahmadi. Sebagai anak yang taat, Abduh mengikuti kehendak sang ayah, namun diperjalanan Aduh membayangkan kejenuhan belajar di masjid Ahmadi, Akhirnya Abduh membelot pada sebuah distrik Gereja orent yang disekitar distrik tersebut dihuni oleh mayoritas keluarga dan kerabat ayahnya Abduh (Ahmad, 1978: 66). 
Darwisy Khadar adalah seorang syekh (guru spritual) sufi dari tarekat Syadzili. Ditempat inilah Abduh berjumpa dengan Darwisy Khadar. (Mengenai Darwisy Khadar terjadi kesimpang-siuran informasi. Ada yang berpendapat bahwa Darwisy adalah paman Abduh tetapi ada juga yang berpendapat bahwa Ia adalah paman dari ayahnya Abduh). Darwisy memberikan pandanganpandangannya kepada Abduh. Sederet mutiara sufi terlontar dalam percakapan-percakapan lepas. Abduh yang telah sekian lama meninggalkan dunia berfikir (dunia akademis) menjadi kembali tercerahkan. Perjumpaan Abduh dengan Darwisy membuat geliat intelektual Abduh kembali bersemi.
Darwisy masuk dalam kehidupan Abduh dan menjadi guru spritualnya ditengah galaunya kehidupan Abduh. Darwisy terus menerus menyirami Abduh dengan berbagai macam keilmuan. Abduh tidak hanya menerima pelajaran tantang bagaimana dunia sufi dari Darwisy tetapi, pelajaran etika dan moral serta praktik kezuhudan dalam dunia sufi. Memang tidak terlalu lama Abduh bersama Darwsy tetapi dari pertemuan tersebut Abduh seakan menemukan “ruh” baru serta semangat yang menggebu dalam mengarungi lautan keilmuan. Dengan tasawuf rasa haus Abduh selama masa keputus-asaan seakan sirna. Tetes madu ajaran tasawuf membuat Abduh berenergi kembali. Abduh menjadi lebih tertarik untuk masuk dalam kehidupan dunia tasawuf bahkan, dalam pengembaraannya di dunia tasawuf, Abduh sempat melakukan zuhud walau sesaat. Hal tersebut dilakukan oleh Abduh sebagai bentuk keterasingan dirinya menyikapi ajaran tasawuf yang secara lahiriah menurut Abduh banyak hal yang perlu dikritisi. Nasehat Darwsiy mengakhiri sikap zuhud Abduh untuk  meninggalkannya.
Akhir dari pengalaman spritualnya dalam dunia tasawuf setelah keluar dari kezuhudan, membuat Abduh semakin bergairah untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Pada saat itulah Abduh merasa berada disimpang jalan sebab, disatu sisi Abduh sudah memiliki istri tetapi disisi lain, semangat keilmuannya terus-menerus merong-rongnya. Pilihan pelik tersebut akhirnya mendapatkan jawaban pada tahun 1866 sebab, pada tahun itulah Abduh meninggalkan Darwisy menuju masjid Ahmady. Namun sayang banyak guru besar di lembaga tersebut telah tiada. Ditengah kebimbangannya, Abduh mendapat saran dari seseoranng untuk meneruskan pendidikannya ke Al-Azhar. Saat itulah Abduh mengambil keputusan dan melakukan pengembaraan intelektual menuju Kairo untuk belajar di AlAzhar. ketika sedang mengikuti kegiatan pendidikan di AlAzhar, kembali Abduh menelan kekecewaan yang disebabkan oleh sikap menonjolkan diri para siswa Al-Azhar, baik dari sisi keilmuan, lebih-lebih dalam menghafal Al-Quran yang menurut kacamata Abduh, hal tersebut hanya berupa hafalan yang kering pemahaman terhadap makna naṣ Al-Quran. 
Apa yang dirasakan Abduh mendapat pembenaran dari Syekh Mustafa Kamal Al-Maraghi mengenai pembelajaran Al-Quran. Maraghi menyatakan bahwa Al-Azhar pada saat Abduh belajar memang masih suram, karena sistem pembelajarannya masih menggunakan standar aturan pudar yang terputus dari sumbernya, yakni Al-Quran yang tercerabut dari akarnya, bahasa Arab. Al-Azhar bagi Abduh kurang memberikan rangsangan dalam membangun minat intelektualnya. Metode-metode pengajaran yang kolot serta kurikulum yang kuno membuat Abduh sering tidak kerasan. Kekosongankekosongan terbesar dalam kurikulum tersebut bagi Abduh adalah tidak adanya mata kuliah teologi dan filsafat sebab di Al-Azhar kala itu dua mata kuliah tersebut dianggap bid’ah. Ketidak kerasanan Abduh di Al-Azhar semakin mengental ketika Abduh berjumpa dengan Jamaluddin AlAfghani (1839-1897), dan dari perjumpaan itulah Abduh mulai mengenal bagaimana menafsirkan AlQuran yang baik dan lebih rasional. Kemudian pada (Al-Maraghi, 1996: 37).
Dalam hal berkarya, Abduh juga termasuk salah satu tokoh yang sangat produktif, karyakaryanya berserakan, terutama di surat kabar yang memang sengaja diasuhnya sebagai media pembaharuan, baik bersama gurunya Afghani ataupun Abduh sendiri. Diantara karya Abduh yang dibukukan adalah Risālah Al-Ridat (1873) yang kemudian disusul dengan karya berikutnya yaitu Hasyiah Syirah Al-Jalal Ad-Dawwani Lil-Aqo’id AlAḍuḍiyah (1875). Karya-karya tersebut berisi tentang aliran-aliran filsafat, kalam dan tasawuf serta berisi keritikan-keritikan yang dianggapnya salah. Karyanya ini ditulis oleh Abduh sejak dua tahun pertemuannya dengan Al-Afghani dan usianya ketika itu sekitar 26 tahun.
Kemudian karyanya yang lain adalah Risālah At-Tauhid dalam bidang teologi yang ditulisnya pada tahun 1885 dan Sharah Nahjul Balāgah yang berisi tentang komentar atas kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali bin Abi Ṭalib. Selanjutnya Abduh juga melakukan penerjemahan-penerjemahan diantaranya Abduh menerjemahkan Ar-Raddu Ala AlDahriyyīn dari bahasa Persia kedalam bahasa Arab. Buku tersebut berisi tentang bantahan terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan kemudian Sharah Maqamal Badi al-Zaman Al-Hamazani, kitab yang berisi tentang bahasa dan sastra Arab. Kedua karya tersebut merupakan karya guru sekaligus sahabat Abduh yaitu Al-Afghani (Nasution, 1992: 61).
Pemikiran Abduh tersebut merefleksikan sebuah gagasan masa depan umat Islam dalam merumuskan setiap persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Dalam hal apapun, sesungguhnya Islam tidak mengikat umatnya untuk tunduk dan pasrah pada hasil olah pikir masa lalu. Bahwa produk pemikiran keislaman tentu bersumber dari Al-quran dan hadist. Tugas setiap generasi Islam adalah menggali makna-makna yang terkandung dalam Alquran. Dan hadis untuk kepentingan zamannya. Produk pemikiran atau produk hukum yang ada tidak untuk disingkirkan apalagi menjadi belenggu tetapi menjadi titik pijak guna menentukan memproduksi pemikiran yang tepat. Sehingga perbedaan simpulan hukum tidak dimaknai sebagai pembangkangan, tetapi sebagai sebuah kreasi pemikiran yang betul-betul maslahah bagi umat. Abduh telah membentangkan cara berfikir yang brilian untuk masa depan umat Islam. Tidak takut dianggap bid’ah dan berfikir objektif guna kemaslahatan umat Islam.
c.       Hasan Al-Banna
Nama lengkapnya adalah Hasan Ahmad Abdurrahman Al-Banna as-Sa’ati, atau lebih dikenal dengan panggilan Hasan al-Banna, seorang da’i pembaharu. Ia dilahirkan pada hari Ahad tanggal 25 Sya’ban 1324 H. bertepatan tangal 14 Oktober 1906 M, di Hamudiyah, Provinsi Buhairah, Mesir. Ayahnya bernama Asy-Syaikh al-Alim Ahmad Abdurrahman al-Banna as-Sa’ati, salah seorang ulama besar di zamannya. Beliau merupakan ulama yang menertibkan dan mensyarah kitab Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani. Kitabnya adalah Bulug al-Amani min Asrar al-Fath ar-Rabbani, dalam 14 jilid. Hasan al-Banna mulai perjalanan ilmiahnya dengan memelajari al-Qur`an ketika berumur empat tahun. Di usianya yang masih belia, al-Banna sudah berhasil mengkhatamkan al-Quran dan juga diberi banyak wawasan oleh ayahandanya (Al-Bana, t.th: 13-14).
Antusias dalam memperluas cakrawala keimuannya. Ia mulai menghafal banyak matan kitab berbagai disiplin ilmu, seperti Milhat al-I’rab karya al-Hariri, Alfiyyah karya Ibnu Malik, al-Yaqutiyah kitab Mustalah Hadis, Jauharah at-Tauhid, Rahabiyyah, as-Sullam, berbagai matan al-Qaduri kitab fikih Abu Hanifah, Matan Gayah wa at-Taqrib karya Abu Syuja’ kitab fikih Syafi’iyyah, dan beberapa Manzumah Ibnu Amir tentang fikih Malikiyyah. Ayahandanya senantiasa memotivasi al-Banna kecil dengan ungkapannya yang menyentuh, “Man Hafiza al-Mutun, Haza al-Funun” (Siapa rajin menghafal matan, ia akan menguasai berbagai disiplin ilmu). Tidak heran, jika al-Banna sedari kecil sudah begitu mencintai ilmu dan memiliki wawasan yang luas (Asy-Syurbaji, 1998: 46)
Hasan al-Banna telah mendirikan dakwah di Ismailiyyah, serta banyak membangun lembagalembaga. Jumlah Ikhwanul Muslimin semakin banyak dan semakin menguat. Setelah itu, Hasan alBanna pindah dakwah ke Kairo untuk menyebarkannya ke penjuru dunia. Pada bulan Februari 1941, akibat desakan dari Inggris, Hasan al-Banna diasingkan di Qina, Mesir. Adapun orang yang memutuskan hal tersebut adalah Husain Sari dan Muhammad Husain Haikal, selaku menteri pendidikan. Pengasingan ini tidak hanya awal mula permusuhannya terhadap Hasan al-Banna dan dakwahnya, namun persoalannya semakin meluas. Terutama setelah para duta besar Inggris, Amerika dan Prancis berkumpul di Fayed dan mengambil keputusan supaya membubarkan kelompok Ikhwanul Muslimin. Mereka mengancam kemerdekaan Kairo dan Alexandria. Dengan demikian, pada tanggal 8 Desember 1948, menteri dalam negeri mengeluarkan putusan pembubaran kelompok Ikhwanul Muslimin. Adapun terkait sikap Hasan al-Banna terhadap peradaban Barat adalah sama dengan sikap yang ditunjukkan oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan para pembaharu Islam di era modern, yaitu tetap menerima ilmu dan pengetahuan Barat tanpa harus tenggelam dalam kehidupan sosial dan akhlak mereka. Pengaruh dakwah dan pemikiran Hasan al-Banna tetap berlanggung hingga sekarang ini. Bahkan, hasil pemikirannya mampu mencetuskan nama-nama tokoh besar, baik penulis, da’i, dan ulama di berbagai aspek pemikiran Islam. 
Dengan pemikiran dakwah dan pembaharuannya, Hasan al-Banna telah berhasil memberi banyak pengaruh terhadap tokoh-tokoh pembangkit Islam. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa beliau merupakan tokoh Islam terdepan abad ke 14 H. Hal ini melihat begitu detil dan tersrukturnya dasar-dasar pemikiran yang dibangunnya padahal ketika itu baru berumur 23 tahun. Andaikata bukan karena struktur ini, tentu Hasan al-Banna tidak lebih sekedar seorang dai yang memiliki kemampuan memikat hati saja. Akan tetapi, dengan pola yang terstruktur ini, Hasan al-Banna telah berhasil menciptakan jamaah yang solid yang tidak bisa dilakukan oleh para ulama dan dai, meski syahid diusia muda.
Benar apa yang disampaikan Rasulullah dalam prediksinya, bahwa pada setiap 100 tahun Allah akan mengutus seseorang yang memperbaruhi persoalan agamanya. Maka, diutuslah Hasan al-Banna yang menghidupkan akidah di hati kaum muslimin, mengikat hati-hati mereka dengan cinta dan persaudaraan, memperbaharui pemikiran serta menghidupkan jihad dan pergerakan guna menyebakan dakwah Islam di muka bumi (Misbah, 2015: 409-410).
d.      Ibnu Khaldun
Nama lengkapnya adalah Abd al-Rahman bin Muhammad bin Khaldun al-Hadrawi, dikenal dengan panggilan Waliyuddin Abu Zaid, Qadi al-Qudat. Ia lahir tahun 732 H di Tunis. Ia bermazhab Maliki, Muhadist al-Hafidz, pakar ushul fiqh, sejarawan, pelancong, penulis dan sastrawan (AlMaraghi, 2001: 287).
Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut yang kemudian berimigrasi ke Seville (Spanyol) pada abad ke-8 setelah semenanjung itu dikuasai Arab muslim. Keluarga yang dikenal pro Umayah ini selama berabad-abad menduduki posisi tinggi dalam politik di Spanyol, sampai akhirnya hijrah ke Maroko beberapa tahun sebelum Seville jatuh ke tangan Kristen pada 1248 M. Setelah itu mereka menetap di Tunisia. Di kota ini mereka dihormati oleh pihak istana, diberi tanah milik dinasti Hafsiah (Ma’arif, 1996: 12).
Latar belakang keluarga dari kelas atas ini rupanya menjadi salah satu faktor penting yang kemudian mewarnai karir hidup Ibnu Khaldun dalam politik sebelum ia terjun sepenuhnya ke dunia ilmu. Otak cerdas yang dimilikinya jelas turut bertanggung jawab mengapa ia tidak puas bila tetap berada di bawah. Orientasi ke atas inilah yang mendorongnya untuk terlibat dalam berbagai intrik politik yang melelahkan di Afrika Utara dan Spanyol. Dalam usia muda Ibnu Khaldun sudah menguasai beberapa disiplin ilmu Islam klasik, termasuk ‘ulum aqliyah (ilmu-ilmu kefilsafatan, tasawuf dan metafisika). Di bidang hukum, ia mengikuti mazhab Maliki. Di samping itu semua, ia juga tertarik pada ilmu politik, sejarah, ekonomi, geografi, dan lain-lain (Mahdi, 1971: 27-29).
Otaknya memang tidak puas dengan satu dua disiplin ilmu saja. Di sinilah terletak kekuatan dan sekaligus kelemahan Ibnu Khaldun. Pengetahuannya begitu luas dan berfariasi ibarat sebuah ensiklopedi. Namun dari catatan sejarah, ia tidak dikenal sebagai seorang yang sangat menguasai satu bidang disiplin. Karya-karya Ibnu Khaldun, termasuk karya-karya yang monumental. Ibnu Khaldun menulis banyak buku, antara lain; Syarh al- Burdah, sejumlah ringkasan atas buku-buku karya Ibnu Rusyd, sebuah catatan atas buku Mantiq, ringkasan (mukhtasor) kitab al-Mahsul karya Fakhr al-Din alRazi (Ushul Fiqh), sebuah buku lain tentang matematika, sebuah buku lain lagi tentang ushul fiqh dan buku sejarah yang sangat dikenal luas. Buku sejarah tersebut berjudul Al-Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Tarikh al-Arab wa al-Ajam wa al-Barbar. Ibnu Khaldun melalui buku ini benar-benar menunjukkan penguasaannya atas sejarah dan berbagai bidang ilmu pengetahuan (Al-Maraghi, 2001: 287).
Di samping kitab tersebut, kitab al-Muqoddimah Ibnu Khaldun merupakan karya monumental yang mengundang para pakar untuk meneliti dan mengkajinya. Buku Muqaddimah yang ia tulis benarbenar telah mebuka mata para ilmuwan muslim maupun non muslim untuk mengkajinya. Karya ini diterjemahkan dalam banyak bahasa, dan dalam proses tersebut, Ibnu Khaldun akhirnya memperoleh atribut yang luar biasa, sebagai filosof sejarah, sejarawan, bapak sosiologi, geografer, ekonom, ilmuwan politik, dan lain-lain.  Khusus berkaitan dengan tema ekonomi, Ibnu Khaldun telah pula memprediksikan banyak hal yang akhirnya menjadi persoalan yang sampai pada dunia modern saat ini tetap mengemuka sebagai wacana yang tidak akan berhenti untuk dibicarakan. Sebagai contoh yang ia ajukan adalah kasus usaha pribadi dan usaha publik, perlakuan dunia atas mata uang yang akhirnya mempunyai fungsi yang sangat fital dalam dunia ekonomi, dan lain-lain. Apa yang dikemukakan tersebut, murni berasal dari pemikiran cerdas Ibnu Khaldun (Huda, 2013: 121-122).
e.       Ibnu Battutah
Ketika disebut nama Maroko, maka yang paling terlintas di benak orang Indonesia adalah Ibnu Batutah, Sang petualang legendaris dari Negeri Matahari Terbenam ini. Ia dianggap sebagai pelopor penjelajah abad 13 M yang belum tertandingi, sekalipun ada Marcopolo yang juga melakukan penjelajahan dunia. Namun Marcopolo masih tidak sebanding dengan Ibnu Batutah terutama dalam kuantitas perjalanan. Karenanya, ia dijuluki dengan sebutan “Pengembara muslim Arab”. Perjalanan panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia itu mampu melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai setelah Ibnu Batutah. Sejarawan Barat, George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Batutah melebihi capaian Marcopolo. Tak heran, bila Sarton geleng-geleng kepala dan mengagumi ketangguhan seorang Ibnu Batutah yang mampu mengarungi lautan dan menjelajahi daratan.
Nama lengkap Ibnu Batutah adalah Muhammad Abu Abdullah bin Muhammad Al Lawati Al Tanjawi yang kemudian dikenal dengan Ibnu Batutoh. Lahir di Tanger (kota di sebelah utara Maroko) 24 Februari 1304 M/ 703 H dan wafat di kota kelahirannya pada tahun 1377 M/ 779 H. Versi lain mengatakan, ia wafat di kota Fez atau Casablanca. Namun pendapat yang rajih (benar) ia dimakamkan di tanah kelahirannya, sebagaimana makamnya terdapat di kota wisata Tanger-Maroko. Ibnu Batutah berasal dari keturunan bangsa Barbar. Besar dalam keluarga yang taat memelihara tradisi Islam. Saat itu, Maroko sedang dikuasai Dinasti Mariniah. Ia dikenal sangat giat mempelajari fiqh dari para ahli yang sebagian besarnya menduduki jabatan Qadhi (hakim).
Beliau juga mempelajari sastra dan syair Arab. Pencapaian Ibnu Battutah yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika. ''Aku tinggalkan Tangier, kampung halamanku, pada Kamis 2 Rajab 725 H/ 14 Juni 1325 M. Saat itu usiaku baru 21 tahun empat bulan. Tujuanku adalah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci di Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah”, kisah Ibnu Battutah pengembara dan penjelajah Muslim terhebat di dunia membuka pengalaman perjalanan panjangnya dalam buku catatannya, Rihlah. Dengan penuh kesedihan, Ia meninggalkan orangtua serta sahabat sahabatnya di Tangier. Tekadnya sudah bulat untuk menunaikan rukun iman kelima. Perjalananya menuju ke Baitullah telah membawanya bertualang dan menjelajahi dunia. Seorang diri, dia mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia.
Selama hampir 30 tahun, dia telah mengunjungi tiga benua mulai dari Afrika Utara, Afrika Barat, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia engah, Asia Tenggara, dan Cina. Perjalanan panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia itu mencapai ratusan ribu kilometer. Tak heran, bila kehebatannya mampu melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai berlayar 125 tahun setelah Ibnu Battutah.
Sejarawan Barat, George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Battutah melebihi capaian Marco Polo. Pria kelahiran Tangier 17 Rajab 703 H/ 25 Februari 1304 itu bernama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim At-Tanji, bergelar Syamsuddin bin Battutahh. Sejak kecil, Ibnu Battutah dibesarkan dalam keluarga yang taat menjaga tradisi Islam. Ibnu Battutah tertarik untuk mendalami ilmu-ilmu fikih dan sastra dan syair Arab. Kelak, ilmu yang dipelajarinya semasa kecil hingga dewasa itu banyak membantunya dalam melalui perjalanan panjangnya. Ketika Ibnu Battutah tumbuh menjadi seorang pemuda, dunia Islam terbagi-bagi atas kerajaan-kerajaan dan dinasti. Ia sempat mengalami kejayaan Bani Marrin yang berkuasa di Maroko pada abad ke-13 dan 14 M.
Latar belakang Ibnu Battutah begitu jauh berbeda bila dibandingkan Marco Polo yang seorang pedagang dan Columbus yang benar-benar seorang petualang sejati. Meski Ibnu Battutah adalah seorang teologis, sastrawan puis,i dan cendekiawan, serta humanis, namun ketangguhannya mampu mengalahkan keduanya. Meski hatinya berat untuk meninggalkan orang-orang yang dicintainya, Ibnu Battutah tetap meninggalkan kampung halamannya untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah yang berjarak 3.000 mil ke arah Timur. Dari Tangier, Afrika Utara dia menuju Iskandariah. Lalu kembali bergerak ke Dimyath dan Kaherah. Setelah itu, dia menginjakkan kakinya di Palestina dan selanjutnya menuju Damaskus. Ia lalu berjalan kaki ke Ladzikiyah hingga sampai di Allepo. Pintu menuju Makkah terbuka dihadapannya setelah dia melihat satu kafilah sedang bergerak untuk menunaikan ibadat haji ke Tanah Suci. Ia pun bergabung dengan rombongan itu. Beliau menetap di Makkah kurang lebih selama dua tahun. Setelah cita-citanya tercapai, Ibnu Battutah, ternyata tak langsung pulang ke Tangier, Maroko. Ia lebih memilih untuk meneruskan pengembaraannya ke Yaman melalui jalan laut dan melawat ke Aden, Mombosa, Timur Afrika dan menuju ke Kulwa. Ia kembali ke Oman dan kembali lagi ke Makkah untuk menunaikan Haji tahun 1332 M, melaui Hormuz, Siraf, Bahrin dan Yamama.
Itulah putaran pertama perjalanan yang tempuh Ibnu Battutah. Pengembaraan putara kedua, dilalu Ibnu Battutah dengan menjelajahi Syam dan Laut Hitam. Ia lalu meneruskan pengembaraannya ke Bulgaria, Roma, Rusia, Turki serta pelabuhan terpenting di Laut Hitam yaitu Odesia, kemudian menyusuri sepanjang Sungai Danube. Ia lalu berlayar menyeberangi Laut Hitam ke Semenanjung Crimea dan mengunjungi Rusia Selatan dan seterusnya ke India. Di India, ia pernah diangkat menjadi kadi. Dia lalu bergerak lagi ke Sri Langka, Indonesia, dan Canton. Kemudian Ibnu Battutah mengembara pula ke Sumatera, Indonesia dan melanjutkan perjalanan melalui laut Amman dan akhirnya eneruskan perjalanan darat ke Iran, Irak, Palestina, dan Mesir. Beliau lalu kembali ke Makkah untuk menunaikan ibadah hajinya yang ke tujuh pada bulan November 1348 M. Perjalanan putaran ketiga kembali dimulai pada 753 H. Ia terdampar di Mali di tengah Afrika Barat dan akhirnya kembali ke Fez, Maroko pada 1355 M. Ia mengakhiri cerita perjalannya dengan sebuah kalimat, ''Akhirnya aku sampai juga di kota Fez.'' Di situ dia menuliskan hasil pengembaraannya. Salah seorang penulis bernama Mohad Ibnu Juza menuliskan kisah perjalanannya dengan gaya bahasa yang renyah. Dalam waktu tiga bulan, buku berjudul Persembahan Seorang pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumka, diselesaikannya pada 9 Desember 1355 M.
Secara detail, setiap kali mengunjungi sebuah negeri atau negara, Ibnu Battutah mencatat mengenai penduduk, pemerintah, dan ulama. Ia juga mengisahkan kedukaan yang pernah dialaminya seperti ketika berhadapa dengan penjahat, hampir pingsan bersama kapal yang karam dan nyaris dihukum penggal oleh pemerintah yang zalim. Ia meninggal dunia di Maroko pada pada tahun 1377 M. Kisah Ibnu Battutah yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika. 
Petualangan dan perjalanan panjang yang ditempuh Ibnu Battutah sempat membuatnya terdampar di Samudera Pasai-kerajaan Islam pertama di Nusantara pada abad ke-13 M. Ia menginjakkan kakinya di Aceh pada tahun 1345. Sang pengembara itu singgah di bumi Serambi Makkah selama 15 hari. Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah melukiskan Samudera Pasai dengan begitu indah. ''Negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah,'' tutur sang pengembara berdecak kagum. Kedatangan penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari para ulama dan pejabat Samudera Pasai. Ia disambut oleh pemimpin Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir al-Syirazi, Tajudin al-Ashbahani dan ahli fiqih kesultanan. Menurut Ibnu Battutah, kala itu Samudera Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Penjelajah termasyhur itu juga mengagumi Sultan Mahmud Malik Al-Zahir penguasa Samudera Pasai. ''Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,'' kisah Ibnu Battutah.
Menurut Ibnu Battutah, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama. Dia juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun dii lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan. Selama berpetualang mengelilingi dunia dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam kitab yang berjudul Tuhfat al-Nazhar, Ibnu Battutah menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang memiliki kelebihan yang luar biasa. Ketujuh raja yang dikagumi Ibnu Battutah itu antara lain; raja Iraq yang dinilainya berbudi bahasa; raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah; raja Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia; raja Turki dikaguminya karena gagah perkasa; Raja Romawi yang sangat pemaaf; Raja Melayu Malik Al-Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, sera raja Turkistan.
Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu Battutah akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina. Catatan perjalanan Ibnu Battutah itu menggambarkan pada abad pertengahan, peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara. Meskipun Ibnu Battutahh bukanlah seorang ilmuan jenius tetapi petualangan dan pengembaraannya. Ibnu Batutah yang mampu mengarungi lautan dan menjelajahi daratan sepanjang kurang lebih 120.000 kilometer itu. Sebuah pencapaian yang tak ada duanya di masa itu. Bahkan sekarang telah berlalu enam abad silam, namun kebesaran dan kehebatannya hingga kini tetap dikenang. 
4.      Pusat-pusat peradaban Islam di Afrika
Umat muslim Afrika tak hanya tinggal di negara-negara di kawasan Afrika Utara saja. Di Afrika Selatan, banyak juga umat Muslim meski menjadi minoritas. Uniknya, kehidupan umat Muslim Afrika Selatan kental dengan nuansa dan budaya Indonesia karena Islam di negara ini disebarkan oleh seorang ulama dari Makasar. Beberapa kosa kata Indonesia dan makanan Indonesia pun kini masih eksis di Afrika Selatan. Negara Afrika Selatan merupakan negara di bagian selatan benua Afrika yang mayoritas penduduknya beragama protestan. Islam disini menjadi agama minoritas, yaitu dipeluk sekitar 1.045.000 orang atau 1,9% dari jumlah penduduk Afrika Selatan yang berasal dari ras campuran.
Salah satu kota di Afrika Selatan yang memiliki komunitas muslim besar adalah Cape Town. Sekitar 20% penduduk kota ini adalah umat Muslim. Mereka biasa disebut Melayu Cape. Uniknya kehadiran Islam di Afrika Selatan erat hubungannya dengan sejarah Indonesia. Pada abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 Belanda yang kala itu menjajah Afrika Selatan mengirim budak-budak, tahanan perang dan tahanan politik dari Indonesia untuk dipaksa bekerja dan diasingkan agar tak mengganggu upaya VOC menguasai Indonesia. Salah satu yang diasingkan ke Afrika Selatan adalah Tuang atau Syaikh Yusuf atau Abadin Tadia Tjoessoep, seorang bangsawan dari Makasar yang juga keponakan raja Goa. Ia diasingkan di sebuah lokasi di luar Cape Town bersama keluarga dan pengikutnya. Ternyata tempat pengasingan Tuang Yusuf malah menjadi tempat pertemuan para budak buronan dan orang-orang yang diasingkan oleh Belanda hingga terbentuk komunitas muslim pertama di Afrika Selatan. Area tempat tinggal Tuang Yusuf kini disebut sebagai Macassar. Selain Tuang Yusuf, komunitas Muslim di Afrika Selatan dibentuk oleh orang-orang Jawa, Ambon, Tidore, Sumatra, India Muslim dan migrasi orang-orang Afrika Utara. Sebagai penyebar Islam di Afrika Selatan, makam Tuang Yusuf kini menjadi destinasi wisata dan tempat ziarah yang penting bagi umat Muslim. Makamnya berada di sebuah bukit yang menghadap Macassar. Komunitas muslim di kota Cape Town pun tak hanya tinggal di Macassar tapi di area lainnya.
Sarana penyebaran Islam di benua ini dilakukan melalui berbagai cara. Misalnya, ekspansi melalui penaklukan, seperti yang terjadi di Afrika Utara. Setelah Arab menaklukkan Afrika Utara pada abad ke-7 dan ke-8 M, terjadi proses Islamisasi dan Arabisasi di Afrika Utara.
Sementara itu, Islam masuk ke Afrika bagian selatan melalui para budak Melayu yang dibawa orang Eropa. Di Afrika Timur, Islamisasi tampak jelas melalui kedatangan dan ekspansi Arab, pada masa-masa awal hingga abad ke-20. Di antara bukti Islamisasi yang kuat di Afrika adalah masjid-masjid tua bersejarah yang masih bertahan hingga kini. Di antaranya sebagai berikut:
a.       Masjid Agung Kairouan 
Masjid Agung Kairouan atau dikenal sebagai Masjid Uqba merupakan salah satu masjid paling penting di Tunisia. UNESCO telah menjadikan masjid ini sebagi warisan dunia. Masjid Agung Kairouan adalah salah satu monumen Islam yang paling mengesankan dan terbesar di Afrika Utara Masjid ini diirikan Uqba bin Nafi pada 670 M, pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah. Masjid Uqba, oleh para penerusnya dihiasi pilar-pilar marmer yang didapat dari piung-piung Kartago, yang kemudian dimanfaatkan lagi oleh penguasa Aqlabiyah. Menara persegi yang melengkapi bangunan masjid ini, merupakan peninggalan Dinasti Umayyah, dan termasuk yang paling lama bertahan di Afrika. Berkat masjid ini, Kairouan di mata sejarawan Barat menjadi kota suci keempat setelah Makkah, Madinah, dan Yerussalem.
b.      Masjid Raya Djenne 
Masjid Raya Djenne adalah bangunan dari lumpur terbesar di dunia. Banyak arsitek menganggap bangunan ini bergaya arsitektur Sudano-Sahelian terbaik. Masjid ini terletak di Kota Djenne, Mali, di dekat Sungai Bani. Terletak di Kota Djenne, Republik Mali, Afrika Barat. Pada 1998, masjid ini ditetapkan sebagai situs warisan dunia UNESCO. Masjid unik dan menakjubkan ini juga pernah menjadi pusat pengajaran Islam di Afrika pada abad ke-18. 
c.       Masjid Larabanga 
Masjid Larabanga adalah masjid yang dibangun dengan gaya arsitektur Sudan di Desa Larabanga, Ghana. Masjid ini merupakan masjid tertua di Ghana dan salah satu yang tertua di Afrika Barat. Masjid berjuluk Makkah di Afrika Barat ini telah mengalami restorasi beberapa kali, sejak awal didirikan pada 1421. World Monuments Fund (WMF) telah memberikan kontribusi besar terhadap restorasi, dan masuk dalam daftar salah satu dari 100 Situs Paling terancam punah. Masjid ini menyimpan koleksi mushaf kuno. Oleh penduduk setempat diyakini sebagai pemberian langit untuk Yidan Barimah Bramah, imam masjid pada 1650 M (Marniati Dan Agung Sasongko, 2016) 
B.     Perkembangan Islam di Amerika

1.      Sejarah masuknya Islam di Amerika
Saat ini jumlah penduduk Amerika sekitar 270 juta jiwa dengan komposisi penduduk beragama Nasrani 55 %, Yahudi 3 %, Muslim 1.5 % dan selebihnya agama-agama lain yang bermacam-macam. Komposisi penduduk yang beragama Islam sebanyak itu merupakan turunan dari berbagai macam etnis yang melakukan migrasi ke Amerika.
Negara ini telah terlibat dalam beberapa perang dunia yang besar, dari perang 1812 menentang Inggris, dan berpakta pula dengan Inggris sewaktu Peang Dunia I dan Perang Dunia II. Pada era 1960an Amerika terlibat di dalam Perang Dingin menentang kekuatan besar yang lain yaitu Soviet serta pengaruh komunisme. Dalam usaha membendung penularan komunisme di Asia, AS dalam Perang Korea, Vietnam dan terakhir di Afganistan. Selepas kejatuhan dan perpecahan Soviet, AS bangkit menjadi sebuah kekuatan ekonomi dan militer yang terkuat di dunia. Sewaktu tahun 1990-an, AS menobatkan dirinya sebagai polisi dunia dan tentaranya beraksi di Kosovo, Haiti, Somalia dan Liberia dan Perang Teluk Pertama terhadap Irak yang menginvasi Kuwait. Selepas serangan teroris pada 11 September di World Trade Center dan Pentagon, AS melancarkan serangan balasan terhadap Afganistan dan menjatuhkan negara Taliban di sana dan pada tahun 2003 melancarkan Perang Teluk Kedua terhadap Irak untuk menyingkirkan rezim Saddam Husein.
Peranan Amerika sebagai polisi dunia mengundang rasa bermusuhan dengan negara-negara muslim. Bagi kelompok radikal garis keras, peranan Amerika dalam pentas politik dunia sebagai polisi merupakan landasan objektif untuk menyatakan perang dalam bentuk teror. Fakta tersebut sangat beralasan mengingat ajaran Islam dengan sendirinya cukup subur berisi perintah-perintah untuk mempertahankan agama Allah dari serangan dam anjuran untuk berjihad di jalan-Nya. Dendam kesumat umat Islam diawali oleh peranan Amerika dan Sekutu untuk memberi ruang kepada partner stategis mereka Israel. Lebih jauh lagi, keberadaan Amerika selaku sekutu strategis bagi Israel sungguh telah membuahkan sikap yang sangat berhati-hati Amerika terhadap Islam sebagai negara dan sebagai kekuatan politik. 
Menanggapi Islam sebaga kekuatan politik, Amerika setidaknya memiliki tiga landasan gerak dan fikir, yaitu: (1) Amerika tidak ingin terlihat kurang bersahabat dengan negara-negara Islam, karena hal itu akan mengusik Amerika. Para pejabat pemerintah Amerika tidak mau mengulangi kesalahan yang dibuat saat menghadapi revolusi Islam di Iran. (2) Keraguan secara terbuka mendukung kelompok Islam manapun yang kepentingan regional dan sekutunya. (3) Para pembuat kebijakan luar negeri Amerika terdapat sebentuk ketidakyakinan tentang kemungkinan terjadinya hubungan antara negara Islam dan demokrasi. Kebijakan luar negeri Amerika Serikat sering dibicarakan dalam lingkup ketegangan dialektika antara dua pola yang berlawanan.
Lalu bagaimana perkembangan Islam dan kekuasaannya mengalami perkembangan di Amerika? Perkembangan Islam di Amerika disebabkan dua faktor. Pertama, imperium Persi pada mas-masa terakhir senantiasa dilanda perpecahan. Kedatangan kekuasaan Islam, tidak mencampuri sedikitpun keyakinan keagamaan penduduk dan pernah memaksakan agama Islam untuk dianut. Kedua, imperium Roma itu bertindak memaksakan aliran resmi dari agama Kristen itu kepada aliran-aliran tidak resmi. (Sou’yb, 1996; 437). Menurut Harun Yahya, jumlah umat Islam di dunia mengalami peningkatan kuantitas secara signifikan. Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlahnya hanya sekitar 500 juta; 20 tahun kemudian sudah mencapai 1,5 miliar (Yahya, 2017). 
Kisah Islam di Amerika bermula sebelum penaklukan benua oleh kekuatan Kristen Eropa yang ditemukan oleh Christopher Columbus. Ada bukti kuat bahwa muslim Andalusia mengunjungi benua Amerika jauh sebelum Columbus, seperti yang dilaporkan oleh Al-Syarif Al-Idrisi di abad 12 M. Lebih jauh, ada bukti yang dapat dipercaya tentang kunjungan-kunjungan ke Karibia dari kerajaan-kerajaan Afrika Barat.Akhirnya fakta yang lebih terkenal menyatakan bahwa para penemu Portugis dan Spanyol dipimpin oleh para pelaut Muslim Andalusia yang memiliki pengetahuan lebih baik tentang laut bebas. Bagian penemu sendiri adalah orang Morisco, yakni muslim dari Spanyol. Ada beberapa fakta lainnya yang menyatakan bahwa migran Muslim Andalusia dari Al-Ribat dan Sala di Maroko memimpin perte pertempuran melawan kapal-kapal Spayol dan Portugis di Atlantik sampai pantai Karibia (Kettani, 2005: 277). Christopher Columbus menyebut Amerika sebagai “The New World‟ ketika pertama kali menginjakkan kakinya di benua itu pada 21 Oktober 1492. Namun, bagi umat Islam di era ke-emasan, Amerika bukanlah sebuah “Dunia Baru‟. Sebab, 603 tahun sebelum penjelajah Spanyol itu menemukan benua itu, para penjelajah Muslim dari Afrika Barat telah membangun peradaban di Amerika (Amin, 2012: 73-84). 
Sejarah mencatat, kedatangan umat Islam dari sejumlah catatan sejarah. Berikut jejak sejarah kedatangan Islam di Tanah Amerika:
                          a.       Tahun 999 M: Seorang navigator Muslim dari Dinasti Umayyah di Spanyol bernama Ibnu Farrukh telah berlayar dari Kadesh pada Februari 999 M menuju Atlantik. Sang pelaut Muslim itu berlabuh di Gando atau Kepulauan Canary Raya. Ibnu Farrukh mengunjungi Raja Guanariga. Sang penjelajah Muslim itu memberi nama dua pulau yakni Capraria dan Pluitana. Ibnu Farrukh kembali ke Spanyol pada Mei 999 M.
                          b.      Tahun 1178 M: Sebuah dokumen dari zaman Dinasti Sung mencatat perjalanan pelaut Muslim ke sebuah wilayah bernama Mu-Lan-Pi (Amerika).
                          c.       Tahun 1310 M: Abu Bakari seorang raja Muslim dari Kerajaan Mali melakukan serangkaian per- jalanan ke dunia baru (benua Amerika).
                          d.      Tahun 1312 M: Seorang Muslim dari Afrika (Mandiga) tiba di Teluk Meksiko untuk mengeksplorasi Amerika menggunakan Sungai Mississipi sebagai jalur utama perjalanannya.
                          e.       Tahun 1530 M: Budak dari Afrika tiba di Amerika. Selama masa perbudakan, lebih dari 10 juta orang Afrika dijual ke Amerika. Sekitar 30 persen budak dari Afrika itu Islam.
                           f.       Tahun 1539 M: Estevanico of Azamor, seorang Muslim dari Maroko, mendarat di tanah Florida.
                          g.      Tahun 1732 M: Ayyub bin Sulaiman Jallon, seorang budak Muslim di Maryland, dibebaskan oleh James Oglethorpe, pendiri Georgia.
                          h.      Tahun 1790 M: Umat Islam dari Andalusia dilaporkan sudah tinggal di South Carolina dan Florida.
                            i.       Tahun 1807 M: Seorang Muslim Afrika dinyatakan bebas di Washington DC setelah Kongres Amerika Serikat melarang impor budak ke Amerika setelah 1 Januari 1808. Ia menjadi salah satu pemegang saham pertama Bank Columbia.
                            j.       Tahun 1839 M: Sayyid Sa'id, seorang penguasa Oman mengutus misi perdagangan dengan menggu- nakan kapal Sultana ke Amerika dan tiba di New York 30 April 1840.
                          k.      Tahun 1856 M: Pasukan kavaleri AS menyewa seorang Muslim bernama Hajji Ali untuk eksperimen pemeriharaan unta di Arizona.
Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952794139
Tak perlu diragukan lagi, secara historis, kaum Muslimin telah memberi pengaruh dalam evolusi masyarakat Amerika beberapa abad sebelum Christopher Columbus menemukannya. Walaupun catatan sejarah berbicara seperti diatas, tetapi masuknya Islam sendiri di Amerika oleh para ahli masih bersifat spekulatif karena tidak ada teori yang tegas menyatakan kedatangan Islam masuk ke Amerika. Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa para pelaut muslim adalah orang-orang yang pertama menyebrangi Samudra Atlantik dan tiba di pantai-pantai Amerika. Sebagian lainnya menyakatan seperti hal yang di atas bahwa Christopher Columbus telah membimbing untuk mendarat di Benua Amerika oleh navigator-navigator dan pembantu-pembantu Muslim Andalusia atau Maroko yang jasa-jasanya telah di bayar oleh Colombus (Mulyana, 1988: 13).
Rujukan lain menyebutkan bahwa asal-usul Islam di Amerika adalah sejarah perdagangan budak di Amerika Serikat. Diantara budak-budak yang terhitung dalam American Ethnological Society terdapat budak Muslim yang terpelajar, diantaranya adalah Ayyunb Ibnu Sulaiman Diallo, Pangeran Bundu dari Afrika yang diculik dan di jual sebagai budak pada tahun 1730. Setelah 3 tahun lamanya, ia dimerdekakan sebagai rasa terima kasih atas kepandaian dan kejujuran serta rasa simpatinya terhadap orang kulit putih (Supriyadi, 2008: 316).
Pendapat tersebut bisa saja benar, mengingat secara faktual komunitas muslim yang termasuk kelompok minoritas tersebar di pesisir Amerika Utara dan Selatan termasuk di Suriname. Fakta kedua yang sulit dibantah adalah bahwa pemeluk Islam di kawasan ini adalah orang-orang yang berkulit hitam “black moslem”dan orang-orang imigran dari negara-negara Islam seperti Libanon, Siria, Irak, Pakistan dan sebagainya. Tercatat dalam sejarah Amerika bahwa orang-orang hitam (Afrika) masuk ke Amerika sebagai budak atau sebagai pekerja rendahan. Kenyataan historis seperti ini sangat berpengaruh terhadap sikap orang-orang kulit putih terhadap orang-orang kulit hitam (Negro) dan sekaligus terhadap Islam sebagai suatu sistem kepercayaan yang dianutnya (Mulyana, 1988: 14). Antara tahun 1619-1663 tercatat beberapa budak Afrika yang datang ke Amerika diantara mereka adalah Yarrow Mahmaut dan Muhammad Bah. Sebelumnya pada tahun 1539 seorang muslim dari Maroko ikut bersama putra mahkota New Spain dalam sebuat ekspedisi ke Arezona dan New Mexico. Bahkan pada tahun 1500-an Nazaruddin seseorang yang berasal dari Mesir telah menetap di Cats Kaills, New York yang kemudian di bakar hidup-hidup karena telah membunuh seorang perempuan dari Indian (Supriyadi, 2008: 316).
Dalam salah satu sumber menyebutkan bahwa orang Arab pertama yang menginjakkan kaki ke Amerika adalah keturunan Wahab yang menetap di Ocracode Island dan California Utara pada abad ke-18. Mereka tercatat sebagai budak yang tidak memakan babi dan beriman kepada Allah dan Muhammad. Pada pertengahan abad ke-19, pasukan kavaleri Amerika Serikat mempekerjakan seorang Arab bernama Haji AM dalam rangka melakukan percobaan peternakan unta di Arizona yang kemudian di panggil dengan nama Hi Jolly. Merekalah yang memberikan Inspirasi kepada sejumlah masyarakat Afro Amerika untuk memeluk Islam yang kemudian dikenal dengan black moslem (Supriyadi, 2008: 316).
Abad ke-16 sampai abad ke-18 merupakan waktu kedatangan budak-budak untuk dipekerjakan di perkebunan tebu di Karibia yang memang pada waktu itu sedang memerlukan lebih banyak tenaga kerja manusia. Budak-budak itu, kebanyakan dari Afrika (Sinegal, Guinea, Gambia, dan Mauritania) yang telah beragama Islam (Esposito, 1995: 277-279). 
Sejarah Islam di Amerika Serikat bermula sejak sekitar abad ke 16, di mana Estevánico dari Azamor adalah Muslim pertama yang tercatat dalam sejarah Amerika Utara. Walau begitu, kebanyakan para peneliti dalam mempelajari kedatangan Muslim di AS lebih memfokuskan pada kedatangan para imigran yang datang dari Timur Tengah pada akhir abad ke 19. Migrasi Muslim ke AS ini berlangsung dalam periode yang berbeda, yang sering disebut “gelombang”, sekalipun para ahli tidak selalu sepakat dengan apa yang menyebabkan gelombang ini.
Populasi penduduk Muslim di AS telah meningkat dalam seratus tahun terakhir, dimana sebagian besar pertumbuhan ini didorong oleh adanya imigran. Pada 2005, banyak orang dari negara-negara Islam menjadi penduduk AS - hampir 96.000 - setiap tahun dibanding dua dekade sebelumnya. Estevánico dari Azamor mungkin telah menjadi Muslim pertama yang tercatat dalam sejarah Amerika Utara. Estevanico adalah orang Berber dari Afrika Utara yang menjelajahi Arizona dan New Mexico untuk Kerajaan Spanyol. Estevanico datang ke Amerika sebagai seorang budak penjelajah Spanyol pada abad ke 16.
tahun 1520-an telah didatangkan budak ke Amerika Utara dari Afrika. Diperkirakan sekitar 500 ribu jiwa dikirim ke daerah ini atau sekitar 4,4% dari total 11.328.000 jiwa budak yang ada. Diperkirakan sekitar 50% budak atau tidak kurang dari 200 ribu jiwa budak yang didatangkan berasal dari daerah-daerah yang sudah dipengaruhi oleh Islam. Menurut sumber lain, kedatangan paling awal imigran Muslim adalah antara tahun 1875 dan 1912 dari kawasan pedesaan, yang sekarang menjadi Suriah, Yordania, Palestina, dan Israel. Daerah ini dulunya dikenal sebagai Suriah Raya yang diperintah oleh Kekaisaran Ottoman. Setelah Kekaisaran Ottoman runtuh pada Perang Dunia I (PD I), terjadi gelombang kedua imigrasi kaum Muslim dari Timur Tengah, di mana dalam periode ini pula dimulainya kolonialisme Barat di Timur Tengah. Pada tahun 1924, aturan keimigrasian AS disahkan, yang segera membatasi gelombang kedua imigrasi ini dengan memberlakukan “sistem kuota negara asal”. Periode imigrasi ketiga terjadi pada 1947 sampai 1960, dimana terjadi peningkatan jumlah Muslim yang datang ke AS, yang kini berasal dari negara-negara di luar Timur Tengah. Gelombang keempat kemudian terjadi pada tahun 1965 saat Presiden Lyndon Johnson menyokong rancangan undang-undang keimigrasian yang menghapuskan sistem kuota negara asal yang sudah bertaha lama. Komunitas Muslim pertama berada di Midwest. Di Dakota Utara, kaum Muslim berkumpul untuk shalat berjamaah pada tahun-tahun pertama era 1900-an. Di Indiana, sebuah pusat kegiatan Islam dimulai sejak 1914; dan Cedar Rapids, Iowa, adalah rumah bagi masjid tertua yang masih digunakan hingga sekarang.
Daerborn, Michigan, di pinggiran Detroit, adalah tempat Muslim Sunni dan Syiah dari banyak negara Timur Tengah. Bersama umat Kristen dari Timur Tengah, kaum Muslim Michigan membentuk komunitas Arab-Amerika terbesar di negara ini. Galangan kapal di Quincy, Massachusetts, di luar Boston, menyediakan lapangan kerja bagi imigran Muslim sejak tahun 1800-an. Di New England juga telah dibuat sebuah Islamic Center, yang kini menjadi kompleks masjid besar untuk beribadah bagi para pelaku bisnis, guru, profesional, serta pedagang dan buruh. Di New York, Islam telah hadir dan muncul selama lebih dari satu abad. Jadi, secara pasti tidak diketahui kapan Islam masuk ke Amerika, namun pendapat yang lebih banyak diungkap bahwa agama Islam masuk ketika terjadi perbudakan. Sedangkan, berdasarkan kedatangan Islam di Amerika Serikat terjadi dua tahap. 
Tahap pertama, jauh sebelum Cristopher Colombus menemukan benua Amerika. Pada tahap ini keberadaan umat Islam sampai abad ke-19 tidak didapatkan sumber yang menjelaskannya. Tahap kedua, pada akhir abad ke-19. Pada tahap ini Islam tumbuh, sebagai awal perkembangan Islam di Amerika Serikat. Dasar utama yang dijadikan sebagai argumen untuk menggambarkan migrasi Muslim ke Amerika. Salah satu sumber semakin menguatkan anggapan ini dengan menyatakan bahwa penduduk Muslim pertamakali bermigrasi ke Amerika sekitar tahun 1875 dan 1912 dari pelosok Suriah (Smith, t.th. 14) Argumen ini juga diperpegangi oleh John L. Esposito dengan menyatakan bahwa awal mula kedatangan migran Muslim pertama di Amerika terjadi ketika para bangsawan Eropa mendatangkan budak dari Afrika. Dari sekian banyak budak yang ada, ternyata seperlima dari mereka adalah beragama Islam, namun sesampai mereka di Amerika sebagian di antara mereka kemudian murtad dari agama asli mereka dan berpindah ke agama Kristen (Esposito (ed), 1995: 121).
Ada yang unik dengan perkembangan Islam di Amerika, hal itu terletak pada ruang lingkup aliran-aliran dalam Islam yang cukup kondusif untuk berkembang. Ini dapat diperhatikan pada aliran Syi’ah yang dewasa ini di samping berkembang secara luas di Iran dan wilayah bagian Timur Tengah.  Syī'ah cukup besar di negara-negara Barat, terutama di Amerika. Menurut yang ditulis John L. Esposito bahwa komunitas Syī'ah memperoleh pengakuan tersendiri dari penduduk muslim dan dapat diterima terindentifikasi dengan masjid-masjid besarnya yang terletak di New York, Detroit, Washingtong, Los Angles, dan Chicago, serta sejumlah kota besar di Kanada. Kelompok Syī'ah lain yang ada di Amerika di samping Syī'ah Istna Asyariah yang dimaksudkan dalam uraian terdahulu, adalah kelompok Syī'ah Isma'iliyah. Kelompok ini membentuk komunitas makmur yang mencakup dari 80 ribu orang pengikut di Kanada, khususnya di Vancouver dan Toronto, serta komunitas kecil yang tersebar di seluruh Amerika Serikat khususnya di New York, dan Kalifornia. Syī'ah Isma'ilyah memberi perhatian yang amat tinggi terhadap pendidikan. Mereka memiliki struktur organisasi yang kuat dan mampu mengembang kan lembaga-lembaga mereka secara efektif di Amerika Serikat (Esposito (ed), 1995: 124). 
2.      Strategi dakwah dan perkembangan Islam di Amerika
Sejarah Islam di Amerika Serikat bermula sejak sekitar abad ke 16, di mana Estevánico dari Azamor adalah Muslim pertama yang tercatat dalam sejarah Amerika Utara. Walau begitu, kebanyakan para peneliti dalam mempelajari kedatangan Muslim di AS lebih memfokuskan pada kedatangan para imigran yang datang dari Timur Tengah pada akhir abad ke 19. Migrasi Muslim ke AS ini berlangsung dalam periode yang berbeda, yang sering disebut “gelombang”, sekalipun para ahli tidak selalu sepakat dengan apa yang menyebabkan gelombang ini.  Populasi penduduk Muslim di AS telah meningkat dalam seratus tahun terakhir, di mana sebagian besar pertumbuhan ini didorong oleh adanya imigran. Pada 2005, banyak orang dari negara­negara Islam menjadi penduduk AS hampir 96.000 setiap tahun dibanding dua dekade sebelumnya. Estevánico dari Azamor mungkin telah menjadi Muslim pertama yang tercatat dalam sejarah Amerika Utara. Estevanico adalah orang Berber dari Afrika Utara yang menjelajahi Arizona dan New Mexico untuk Kerajaan Spanyol. Estevanico datang ke Amerika sebagai seorang budak penjelajah Spanyol pada abad ke 16.
Artikel jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605931583
Video: https://www.youtube.com/watch?v=O2L2zlPCmHY
 Masjid di New York Amerika  (sumber: BSE Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013, hal. 164)
Sejak tahun 1520-an telah didatangkan budak ke Amerika Utara dari Afrika. Diperkirakan sekitar 500 ribu jiwa dikirim ke daerah ini atau sekitar 4,4% dari total 11.328.000 jiwa budak yang ada. Diperkirakan sekitar 50% budak atau tidak kurang dari 200 ribu jiwa budak yang didatangkan berasal dari daerah-daerah yang sudah dipengaruhi oleh Islam. Menurut sumber lain, kedatangan paling awal imigran Muslim adalah antara tahun 1875 dan 1912 dari kawasan pedesaan, yang sekarang menjadi Suriah, Yordania, Palestina, dan Israel. Daerah ini dulunya dikenal sebagai Suriah Raya yang diperintah oleh Kekaisaran Ottoman. Setelah Kekaisaran Ottoman runtuh pada Perang Dunia I (PD I), terjadi gelombang kedua imigrasi kaum Muslim dari Timur Tengah, di mana dalam periode ini pula dimulainya kolonialisme Barat di Timur Tengah.
Pada tahun 1924, aturan keimigrasian AS disahkan, yang segera membatasi gelombang kedua imigrasi ini dengan memberlakukan “sistem kuota negara asal”. Periode imigrasi ketiga terjadi pada 1947 sampai 1960, dimana terjadi peningkatan jumlah Muslim yang datang ke AS, yang kini berasal dari negara-negara di luar Timur Tengah. Gelombang keempat kemudian terjadi pada tahun 1965 saat Presiden Lyndon Johnson menyokong rancangan undang-undang keimigrasian yang menghapuskan sistem kuota negara asal yang sudah bertaha lama. Komunitas Muslim pertama berada di Midwest. Di Dakota Utara, kaum Muslim berkumpul untuk shalat berjamaah pada tahun-tahun pertama era 1900an. Di Indiana, sebuah pusat kegiatan Islam dimulai sejak 1914; dan Cedar Rapids, Iowa, adalah rumah bagi masjid tertua yang masih digunakan hingga sekarang. Daerborn, Michigan, di pinggiran Detroit, adalah tempat Muslim Sunni dan Syiah dari banyak negara Timur Tengah. Bersama umat Kristen dari Timur Tengah, kaum Muslim Michigan membentuk komunitas Arab-Amerika terbesar di negara ini. Galangan kapal di Quincy, Massachusetts, di luar Boston, menyediakan lapangan kerja bagi imigran Muslim sejak tahun 1800-an. Di New England juga telah dibuat sebuah Islamic Center, yang kini menjadi kompleks masjid besar untuk beribadah bagi para pelaku bisnis, guru, profesional, serta pedagang dan buruh. Di New York, Islam telah hadir dan muncul selama lebih dari satu abad.
Rumah pertama yang lain bagi imigran Muslim adalah Chicago, Illinois, di mana beberapa orang menyatakan jumlah Muslim yang tinggal di sini pada awal 1900-an adalah yang terbanyak di antara kota-kota lain di AS. Lebih dari 40 kelompok Muslim telah ada di kawasan Chicago. Di Los Angeles dan San Fransisco, California, juga telah ada pusat komunitas Muslim yang besar. Islamic Center di California Selatan adalah salah satu entitas Muslim terbesar di AS. Jumlah Masjid di California juga adalah yang terbanyak di AS, yakni sekitar 227 masjid pada tahun 2001.
Menurut Lembaga Survey Pew pada tahun 2007, dua pertiga Muslim di AS adalah keturunan asing. Di antara mereka telah bermigrasi ke AS sejak tahun 1990. Sedangkan sepertiga dari Muslim AS adalah penduduk asli yang beralih ke Islam, dan keturunan Afro-Amerika. Pada tahun 2005, menurut New York Times, lebih banyak lagi orang dari negara-negara Muslim yang menjadi penduduk AS - hampir 96.000 - setiap tahun dibanding dua dekade sebelumnya. Sedangkan menurut Council on American-Islamic Relations (CAIR), jemaah masjid Sunni yang diperuntukkan bagi umum di AS berasaldari latar belakang bangsa yang berbeda: Asia Selatan (33%), Afro Amerika (30%), Arab (25%), Eropa (2,1%), Amerika kulit putih (1,6%), Asia Tenggara (1,3%), Karibia (1,2%), Turki Amerika (1,1%), Iran Amerika (0,7%), dan Hispanik/Latin (0,6%).
Ada banyak organisasi Islam di AS, yaitu sebagai berikut:
                          a.       Kelompok yang paling besar adalah American Society of Muslims (ASM atau Masyarakat Muslim Amerika), pengganti Nation of Islam, yang lebih dikenal sebagai Black Muslim. Kelompok ini dipimpin oleh Warith Deen Mohammed. Tidak begitu jelas berapa Muslim Amerika yang mengikuti kelompok ini. Kepercayaan kelompok ini juga berbeda dengan kepercayaan Islam pada umumnya, mereka tidak mengenali Muhammad adalah Rasul Allah yang terakhir.
                          b.      Kelompok terbesar kedua adalah Islamic Society of North America (ISNA atau Masyarakat Islam Amerika Utara). ISNA adalah suatu asosiasi organisasi-organisasi Muslim dan perorangan untuk mempresentasikan Islam. Kelompok ini dibuat oleh imigran, beberapa etnis Kaukasia dan sekelompok kecil Afro Amerika yang masuk Islam. Jumlah anggotanya baru-baru ini mungkin telah melampaui ASM. Konvensi tahunan ISNA mungkin adalah pertemuan Muslim paling besar di AS. Organisasi ini telah dikritik karena menyebarkan ajaran Wahabi dan karena memiliki hubungan dengan terorisme.
                          c.       Kelompok terbesar ketiga adalah Islamic Circle of North America (ICNA atau Lingkaran Islam Amerika Utara).
                          d.      Islamic Supreme Council of America (ISCA atau Dewan Tertinggi Muslim Amerika) mewakili banyak Muslim AS. Tujuannya adalah menyediakan solusi-solusi bagi Muslim Amerika, yang berlandaskan hukum Islam.
                          e.       Islamic Assembly of North America (IANA Himpunan Islam Amerika Utara), adalah suatu organisasi Muslim terkemuka di AS.
                           f.       Muslim Students’ Association (MSA atau Asosiasi Pelajar-pelajar Muslim), adalah suatu kelompok yang diperuntukkan bagi pelajar Islam di perguruan tinggi Kanada dan Amerika Serikat. MSA juga sering dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti pengumpulan dana untuk tunawisma selama Ramadhan.
                          g.      Islamic Information Center (IIC atau Pusat Informasi Islam) adalah organisasi yang dibentuk untuk memberi informasi kepada publik, sebagian besar melalui media, seputar Islam dan umat Muslim. Organisasi politik Islam di AS berkepentingan untuk mengakomodasi kepentingan Muslim disana. Organisasi seperti American Muslim Council aktif terlibat menegakkan hak asasi dan hak warga negara bagi setiap orang Amerika.
                          h.      Council on American-Islamic Relations (CAIR atau Dewan Hubungan Islam-Amerika), adalah organisasi Islam paling besar yang mengakomodasi kepentingan Muslim di AS.
                            i.       Muslim Public Affair Council (MPAC atau Dewan Permasalahan Masyarakat Islam), adalah suatu jawatan pelayanan bagi masyarakat Muslim Amerika. Berpusat di Los Angeles, California dan memiliki cabang di Washington, DC. MPAC didirikan pada 1988. Tujuan orgaisasi ini adalah untuk memperkenalkan identitas Muslim Amerika, mengembangkan suatu organisasi yang aktif, dan juga pelatihan bagi generasi masa depan baik pria dan wanita untuk berbagai visi.
                            j.       American Islamic Congress, adalah organisasi kecil dan moderat yang memper- kenalkan pluralisme.
                          k.      Free Muslims Coalition, dibentuk untuk menghapus dukungan terhadap Islam radikal dan terorisme serta memperkuat institusi yang demokratis di Timur Tengah dan Dunia Islam dengan mendukung usaha reformasi Islam. 
3.      Tokoh-tokoh ilmu pengetahuan Islam di Amerika
Gerak dan laju perkembangan Islam di Amerika tidak terlepas dari perjuangan seorang muslim Amerika-Eropa. Adapun tokoh-tokoh Islam di Amerika diantaranya (Supriyadi, 2008: 319-322):
a.    Muhammad Alexander Russel Webb.
Beliau dilahirkan di Hudson, Columbia, New York dan belajar di Hudson dan New York. Beliau terkenal dengan tulisan cerita pendeknya. Kemudian beliau bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Majalah “St. Joseph Gazette” dan “Missouri Republican.” Pada tahun 1887 diangkat menjadi konsul Amerika Serikat di Manila. Selama menjalankan tugas itulah beliau mempelajari Islam dan menggabungkan dirinya dalam lingkungan kaum muslimin. Setelah menjadi muslim, beliau mengadakan perjalanan keliling dunia Islam, dan sampai akhir hayatnya beliau mencurahkan waktu untuk melaksanakan misi Islam, dan duduk sebagai pimpinan Islamic Propaganda Mission di Amerika Serikat. Meninggal dunia pada awal Oktober tahun 1916 (Mohammad, 2017: 213).
Gerak dan laju perkembangan Islam di Amerika tidak terlepas dari perjuangan seorang Muslim Alexsander Russel Webb, beliau berusaha secara langsung dan sungguh-sungguh untuk menarik orangorang Amerika agar memeluk Islam.Untuk merealisasikan tujuannya, pada tahun 1843 Ia mendirikan organisasi American Islamic Propagation Movment dan mendirikan penerbit The Moeslem World serta memberikan kuliah di beberapa kota. Ia menjadi kritis dan bersemangat terhadap greja Kristen serta membela Islam dengan sangat tinggi. Kapasitasnya sebagai penyiar Islam, ia telah menulis tiga buah buku termasuk buku pedoman shalat bergambar. Menjelang kematiannya pada tahun 1916 Webb telah berhasil mendirikan tujuh cabang Moslem Brotherhhood atau American Islamic Propaganda diberbagai kota dipantai timur dan kota-kota pedalaman Amerika. Meskipun organisasinya menjadi bubar, namun tidak dapat diragukan bahwa para anggotanya telah mempengaruhi upaya-upaya selanjutnya dalam membina Islam di Amerika serikat (Mohammad, 2017: 213).
b.      Noble Drew Ali.
Noble Draw Ali lahir di negara bagian North Carolina pada tanggal 8 Januari 1886, dia merupakan anak dari mantan budak yang diadopsi oleh suku Cherokee dan diberi nama Kristen Thimotheus Amerika. Ayahnya berasal dari Maroko yang menganut Islam. Ia merupakan salah satu pemimpin spiritual pertama yang menyebarkan ajaran Islam kepada warga kulit hitam Amerika. Bermarkas di Newark, New Jersey, dari tempat ibadahnya (Moorish Science Temple), Ali mencoba membangkitkan harga diri para pengikutnya dengan memberi keyakinan bahwa mereka adalah Asiatics, dan mewajibkan mereka memiliki kartu identitas dan kebangsaan. Kartu itu menunjukkan bahwa pemegangnya adalah seorang pengikut "semua Nabi termasuk Yesus, Muhammad, Budha, dan Confusius." Para pengikutnya juga tidak mengenalnya sebagai seorang Negro atau orang Afrika, tetapi sebagai Amerika Moor.(Supriyadi, 2008;322)
Drew sebenarnya bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, tetapi ia mempunyai pengetahuan tentang Islam yang diangapnya sebagai kunci yang telah lima tahun kemudian yang dinamakan Black Libration. Misi utamanya adalah membangkitakan kesadaran orang Afrika-Amerika tentang Islam. Untuk tujuan ini, pada tahun 1913 ia mendirikan Mourish Science Temple di New York, New Jersey. Dengan usahanya ini, gerakan Draw meluas ke Pitsburgh, Detroid, Chicago, dan beberapa kota lain di daerah selatan. Gerakan yang dilancarkan Drew menggunakan simbol-simbol Islam, seperti kitab suci Al-qur‟an, memakai peci, memakai nama-nama Muslim, dan penolakan terhadap kepercayaan tertentu dari agama Kristen, akan tetapi gerakan ini merupakan campuran dari nasionalisme hitam dan kebangkitan Kristen dengan campuran yang menggabungkan dari ajaran-ajaran Islam. Ajaran ini bukan ajaran Islam sejati, tetapi suatu penemuan penting bagi kesadaran Islam.
c.       Elijah Muhammad
Elijah Muhammad (1897-1975) adalah pimpinan kelompok the Nation of Islam (yang juga popular dengan sebutan “Black Muslims” pada masa perkembangan mereka yang pesat di Amerika, pertengahan abad ke-20. Ia juga seorang pengacara independen terkemuka, pemimpin pengelola bisnis yang didukung kelompok kulit hitam, pemimpin berbagai yayasan, dan organisasi keagamaan. Elijah Muhammad terlahir sebagai Elijah (atau Robert) Poole pada 7 Oktober 1897, di Sandersville, Georgia. Orang tuanya adalah buruh kasar yang bekerja sebagai petani penggarap di perkebunan kapas. Sebagaimana remaja lain di kampungnya, Elijah bekerja di ladang terkadang ikut bekerja membangun rel kereta api. Ia pergi meninggalkan rumah pada usia 16 tahun dan berkelana bersama rombongan para pekerja kasar. Ia kemudian menetap di Detroit tahun 1923, bekerja sebagai buruh di pabrik mobil Chevrolet. 
Poole dan kedua saudaranya adalah pengikut pertama dari W.D. Fard, pendiri the Nation of Islam. Fard, berlatar belakang misterius, datang ke Detroit pada 1930, sebagai penjual barang-barang sutera sambil menyampaikan ajarannya kepada para langganannya kaum kulit hitam Detroit dan bercerita tentang negeri “asli” leluhur mereka di seberang lautan. Kemudian Fard juga mulai menyelenggarakan berbagai pertemuan di rumahnya, dan terkadang menyewa hall (aula), ia menyampaikan kepada pendengarnya tentang leluhur kulit hitam mereka yang memiliki kemuliaan dan martabat yang berada di benua lain. Ia mengajak mereka untuk mengikuti jejak saudara-saudaranya itu dengan cara hidup, cara makan, dan cara berpakaian. 
Dengan menetap di Chicago, terpisah dari kelompok Muslim cabang Detroit, Elijah Muhammad mendirikan markas gerakan yang kemudian menjadi pusat pergerakan terpenting. Di Chicago ia bukan hanya mendirikan masjid (yang mereka sebut The Temple of Islam), tetapi juga sebuah surat kabar, Muhammad Speaks, juga Universitas Islam (yang sesungguhnya hanya memberi kurikulum untuk tingkat sekolah dasar sampai dengan tingkat lanjutan atas), serta membangun gedung-gedung apartemen yang dimiliki oleh yayasan yang dipimpinnya, pusat-pusat perbelanjaan, dan banyak restoran. Masjid-masjid juga didirikan di kota-kota lain, banyak pula tanah-tanah pertanian serta peternakan yang dibeli sehingga mereka bisa menyediakan dan memproduksi makanan halal bagi para pengikut mereka. Kelompok ini dikenal memiliki cara hidup yang disiplin. 
Elijah Muhammad meninggal pada 25 February 1975. Semenjak kematiannya, kepemimpinan gerakannya dilanjutkan oleh anaknya, Wallace (atau Warith) Deen Muhammad. Elijah junior menamakan gerakannya the World Community of Islam in The West, kemudian berubah menjadi The American Muslim Mission; terkadang ia juga menyebut sebagai “Bilalians,” merujuk kepada Bilal, seorang pengikut Nabi Muhammad yang berasal dari keturunan Afrika. Warith Muhammad melonggarkan tata cara berpakaian, serta meninggalkan pelarangan mengikuti wajib militer, juga menganjurkan anggotanya mengikuti pemilu dan menghormati bendera negara, bahkan membuka keanggotaan gerakannya bagi bangsa kulit putih. Secara umum, ia membuat kelompok gerakan pada aturan Islam yang lebih moderat. 
Banyak anggota merasa tak nyaman dengan berbagai pembaruan tersebut, dan beralih kepada kelompok yang masih mempertahankan tradisionalismenya. Yang paling penting adalah mereka tetap mempertahankan salah satu nama lama mereka, The Nation of Islam, yang dipimpin oleh Louis Farrakhan (terlahir sebagai Louis Eugene Walcott keturunan Indian-Inggris tahun 1934). Farrakhan pada dasarnya tetap mempertahankan tata-cara yang diterapkan Elijah Muhammad, di antaranya penerapan ketat terhadap cara hidup mereka.
d.      Bampett Muhammad
 Ia adalah satu dari anggota pasukan di bawah komando Jenderal George Washington, yang turut serta dalam Perang Revolusi AS, tepatnya tergabung dalam pasukan Virginia Line pada 1775 dan 1783. Bampett menjadi satu dari banyak tentara AS yang gugur membela negara itu. Selain Bampett Muhammad terdapat nama Yusuf Ben Ali yang juga merupakan pejuang AS berkebangsaan Arab dari Afrika Utara. Di periode yang sama, saat perang masih berkecamuk di AS, ada juga nama Peter Buckminster. Peter Buckminster disebut sebagai seorang tentara Muslim yang menembak mati Mayor Jenderal Inggris John Pitcairn saat pertempuran di Bunker Hill. Peter Buckminster kemudian bergabung di Pertempuran Saratoga yang legendaris. Buckminster kemudian mengubah namanya menjadi Salem or Salaam yang berarti damai. George Washington, yang kemudian hari menjadi Presiden pertama AS tak memersoalkan keyakinan yang berbeda bergabung dalam tentara nasional AS.
e.       Fazlur Rahman Khan
Pria keturunan Bangladesh AS ini adalah insinyur dan pelopor pembangunan struktur gedung pencakar langit AS. Inovasinya dalam sistem pembangunan gedung telah diaplikasikan di banyak gedung AS, dari gedung World Trade Center sampai gedung-gedung hotel milik Trump.
f.        Ayub Ommaya
Dokter muslim yang satu ini berjasa atas penemuannya di bidang medis pada 1963, yaitu sistem kateter yang dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan dan memasukkan obat, ke luar dan dalam otak. Nantinya ini sangat berguna untuk kemoterapi bagi penderita kanker otak (Vania, 2018). Selain Muhammad Alexander Russel Webb, Noble Drew Ali, Elijah Muhammad, Bampett Muhammad dan lainnya, ternyata masih ada banyak tokoh lain yang juga ikut andil dalam perkembangan Islam di Amerika Serikat. Diantaranya W.D Fard, Elijah Muhammad, Job Ibnu Dijallo, Malcom X dll. Jumlah persis kaum Muslimin di Amerika dewasa ini sulit diketahui, karena identitas agama tidak dicantumkan dalam sensus penduduk, dinas Imigrasi pun tidak mencatat para imigran yang memeluk Islam (Supriyadi, 2008: 322). 
Dunia Islam terjaga dari tidurnya yang nyenyak dan muncul kesadaran bahwa mereka telah mundur dan jauh ditinggalkan Eropa. Muncullah kemudian ulama dan pemikir-pemikir Islam dengan ide-ide yang bertujuan memajukan dunia Islam dan mengejar ketertinggalan dari Barat sampai sekarang. Apa yang dimaksud dengan teologi modernisme adalah mainstrem pemikiran paradigmatik manusia modern yang menjadi landasan tegaknya sejarah peradaban modern. Atas nama teologi deisme dan agnotisisme menjadi dasar mainstrem modernisme tersebut. Teologi ini muncul bersamaan dengan renaisance sebagai antitesa dari era scholastik dengan teologi klasiknya yang membelenggu. (Arif, 2017;193)
4.      Pusat-pusat peradaban Islam di Amerika
Pada awalnya agama Islam dianggap sebagai agama para imigran Timur-Tengah atau Pakistan yang menetap dan bertempat tinggal di beberapa kota di Amerika (Usman, 2003;57). Rumah pertama yang lain bagi imigran Muslim adalah Chicago, Illinois, di mana beberapa orang menyatakan jumlah Muslim yang tinggal di sini pada awal 1900-an adalah yang terbanyak di antara kota-kota lain di AS. Lebih dari 40 kelompok Muslim telah ada di kawasan Chicago. Di Los Angeles dan San Fransisco, California, juga telah ada pusat komunitas Muslim yang besar. Islamic Center di California Selatan adalah salah satu entitas Muslim terbesar di AS. Jumlah Masjid di California juga adalah yang terbanyak di AS, yakni sekitar 227 masjid pada tahun 2001. 
Gedung Pusat Peradaban Islam di New York (sumber: BSE Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013, hal. 170)
Kemudian terus menerus mengalami berkembangan sehingga muncul suatu kekuatan Islam yang disebut “black moslem”.
Elijah Muhammad, Chicago, 1963.(sumber: www.theseamericans.com)
Black moslem didirikan oleh Elijah Muhamad di Chicago. Sesuai dengan namanya Black Moslem mendapat banyak pengikut terutama dari orang-orang yang berkulit hitam. Black Moslem didukung oleh orang-orang berkulit hitam dan berjuang menuntut persamaan hak. Elijah Muhamad dalam organisasinya mengambil prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang tidak membedakan warna kulit Umat Islam yang masih terhitung sebagai minoritas yang relatif baru di Amerika Serikat. Jumlah yang terus tumbuh pesat sekitar tahun 1970-1980 ketika perang dan perselisihan merebak di Turki, Afganistan, Levant, dan Anak Benua India serta gelombang besar Imigran berdatangan. Lebih dari separuh Muslim Amerika (56%) adalah perantau dan sebagian lagi merupakan penduduk tetap yang telah lama menetap di Amerika (Lebor, 1998;303-304) 
Keminoritasan tersebut tidak membuat Islam di Amerika menjadi asing, karena berdasarkan sejarah dari sekian banyak budak Afrika Barat yang dibawa ke Amerika adalah muslim. Yarrow Mahmaut yang merupakan seorang budak Afrika yang dibebaskan pada tahun 1807. Ia kemudian menjadi salah satu pemegang saham di bank pembiayaan Amerika yang ke dua, Columbia Bank. Setengah abad kemudia kaveleri Amerika serikat merekrut seseorang yang seagama dengannya Haji Ali, untuk peternakan di Arizona. Pada tahun 1865, pada akhir perang sipil, pustakawan di Universitas Alabama menyimpan satu buku dari serangan pasukan Yankee yang akan menghancurkan perpustakaan itu. Buku itu adalah salinan terjemahan al-Qur’an (Lebor, 1998; 303-304). 
Dibalik perkembangan Islam di Amerika serikat, para pemberi kebijakan di Amerika, masih ragu-ragu dalam mengambil posisi yang pasti terhadap kebangkitan Islam di Amerika Serikat. Keraguan tersebut berakar dari ketidakmampuan Washington dalam memprediksi dan mengukur dampak-dampak kebijakan luar negeri pada negara-negara Islam pada saat mereka memegang kekuasaan. Dalam perkembangannya Islam di kawasan Amerika ini mengalami kendala historis yang sangat serius. Bangsa Amerika mengenal Islam itu sendiri dari orang-orang yang mereka pekerjakan sebagai budak, dan para budak-budak tersebut selalu memegang teguh keimanannya dan agama Islam yang mereka anut, mereka tidak mau memakan daging daging babi, dan percaya kepada Allah dan Muhammad serta selau bersikap jujur dan amanah. Sikap dan prilaku kebiasaan para budak tersebutlah, dipandang sebagai sistem kepercayaan baru bagi mereka (Supriyadi, 2008; 317-318). 
Pendidikan multicultural sekarang sudah mengalami perkembangan baik teoritis maupun praktek sejak konsep paling awal muncul tahun 1960-an yang pertama kali dikemukakan oleh Banks. Pada saat itu, konsep pendidikan multikultural lebih pada supremasi kulit putih di Amerika Serikat dan diskriminasi yang dialami kulit hitam. Pendidikan multikultural yang berkembang di kalangan masyarakat Amerika bersifat antarbudaya etnis yang besar, yaitu budaya antarbangsa. Pendidikan di Amerika Serikat pada mulanya hanya dibatasi pada migran berkulit putih. Sejak didirikan sekolah rendah pertama tahun 1633 oleh imigran Belanda dan berdirinya Universitas Harvard di Cambridge, Boston tahun 1636. Baru tahun 1934 dikeluarkan Undang Undang Indian Reservation Reorganization Act di daerah reservasi suku Indian. Tujuan pendidikannya adalah proses Amerikanisasi. Suatu kelompok   etnis   atau   etnisitas   adalah   populasi   manusia   yang anggotanya saling mengidentifikasi satu dengan yang lain, biasanya berdasarkan keturunan. Pengakuan sebagai kelompok etnis oleh orang lain seringkali merupakan faktor yang berkontribusi untuk mengembangkan ikatan identifikasi ini. Kelompok etnis seringkali disatukan oleh ciri budaya, perilaku, bahasa, ritual, atau agama.
Pendidikan Multikultural berkembang di dalam masyarakat multikultural Amerika yang bersifat antarbudaya etnis yang besar yaitu budaya antarbangsa. Ada upaya untuk mengubah Pendidikan Multikultural dari yang bersifat asimilasi yaitu berupa penambahan materi multikultural menuju ke arah yang lebih radikal berupa Aksi Sosial. Berkaitan dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan bagi kepentingan bersama, akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.
Islam berkembang sejalan dengan perkembangan kaum muslimin di berbagai kawasan Amerika, sebagaimana yang tampak dari sejumlah peribadatan dan pusat kegiatan keagamaan Islam dibeberapa kota besar dan kecil. Seperti di Cicago, terdapat perguruan tinggi American Islam College, di North California berdiri American Muslem School, di samping banyak Universitas-universitas yang menyelanggarakan program Islamic Studies seperti Universitas Chicago, Universitas Cholumbia, Universitas Harvard, Universitas California di Berckley, Universitas New York di Banghamtem, Universitas Michigan, Universitas Texas di Australia, Universitas Utah di Salthake City, Universitas Temple di Philadelpia, dan Universitas Mc. Gill di Monteral Canada. (Supriyadi, 2008;317-318) 
The monumental main building (1922) and the subsequent additions (1955) were both designed by Barry Byrne (1883-1967), a Chicago native and one of Franklin Lloyd Wright’s four best known students (sumber: http://www.aicusa.edu)
Dengan adanya pusat-pusat studi Islam, pemahaman bangsa Amerika terutama di kalangan intelektual terhadap Islam semakin baik, dibandingkan dengan sebelumnya yang sangat negatif.Keilmuan yang berkembangan tidak serta-merta berpengaruh secara simetris terhadap perkembangan keilmuan dan kemajuan intelektualitas Islam abad pertengahan. Hal inilah yang mempengaruhi terhadap kebudayaan sesudahnya, baik dalam konteks dunia Islam (Timur) maupun Barat (Hak: 2010). Sekitar akhir abad ke-13M seluruh ilmu pengetahuan dari Islam bisa dikatakan telah selesai ditransmisikan ke Barat (Suriana: 2013).
Perkembangan pemikiran dan peradaban Islam ini karena didukung oleh para khalifah yang cinta ilmu pengetahuan dengan fasilitas dan dana secara maksimal, stabilitas politik dan ekonomi yang mapan. Hal ini seiring dengan tingginya semangat para ulama dan intelektual muslim dalam melaksanakan pengembangan ilmu pengetahuan agama, humaniora dan eksakta melalui gerakan penelitian, penerjemahan dan penulisan karya ilmiah di berbagai bidang keilmuan (Hasssanuddin: 2014). Masuknya Islam di Barat hingga bercampur-baur, dengan membawa hasil hasil peradaban dan cara hidup, secara langsung, atau tidak langsung berpengaruh terhadap masyarakat Barat dari segi keilmuan. Pengaruh ini terlihat hampir pada seluruh aspek kehidupan masyarakat Islam di Barat (Mugiyono: 2013). 
Selanjutnya pada abad ke-9 dan ke-10 adalah saat pusat pusat Islam di Spanyol sedang berada di puncak kecemerlangannya. Pusat-pusat intelektual di Barat hanya berupa benteng-benteng yang dihuni oleh para bangsawan yang dirinya merasa bangga atas ketidakmampuan membaca mereka (Ubadah: 2008). Sesudah melalui sejarah yang panjang proses transformasi dan penyerapan Peradaban Islam ke dalam Kebudayaan Barat, para Ilmuwan Barat, di bawah kepemimpinan para Pendeta Kristen, mulai mengembangkan keilmuan mereka (Zarkasyi: 2013: 186).
Seorang penulis muslim, Ali M. Kertani seperti yang dikutib oleh Mukti Ali mengemukakan bahwa konversi agama di Amerika Serikat terjadi 3-4% setiap tahun dari penduduk muslim Amerika. Selanjutnya, ia menerangkan bahwasanya ada dua faktor yang menyebabkan meningkatnya konversi agama, yaitu meningkatnya kelahiran yang alami dan meningkatnya imigrasi dari negara-negara Islam. Terutama dikalangan mahasiswa yang jumlahnya sangat besar datang ke Amerika (Fauzi, 2002: 295).
Menurut Lembaga Survey Pew pada tahun 2007, dua pertiga Muslim di AS adalah keturunan asing. Di antara mereka telah bermigrasi ke AS sejak tahun 1990. Sedangkan sepertiga dari Muslim AS adalah penduduk asli yang beralih ke Islam, dan keturunan Afro-Amerika. Pada tahun 2005, menurut New York Times, lebih banyak lagi orang dari negara-negara Muslim yang menjadi penduduk AS - hampir 96.000 - setiap tahun dibanding dua dekade sebelumnya. Sedangkan menurut Council on American-Islamic Relations (CAIR), jemaah masjid Sunni yang diperuntukkan bagi umum di AS berasal dari latar belakang bangsa yang berbeda: Asia Selatan (33%), Afro Amerika (30%), Arab (25%), Eropa (2,1%), Amerika kulit putih (1,6%), Asia Tenggara (1,3%), Karibia (1,2%), Turki Amerika (1,1%), Iran Amerika (0,7%), dan Hispanik/Latin (0,6%). 
Pasca peristiwa pengeboman WTC tahun 2001, umat Islam di Amerika berada dalam ambang toleransi dan menerima perlakuan yang kurang terpuji dari pemerintah dan penduduk setempat. Namun lambat laun perlakuan serupa berkurang seiring dengan tingkat keingintahuan masyarakat Amerika terhadap ajaran Islam yang sebenarnya. Konon buku terlaris di Amerika saat ini adalah Alquran dan pemicu dari semua itu adalah informasi sepihak pemerintah serta keinginan mendiskreditkan Islam, maka lahirlah generasi-generasi penasaran terhadap Islam kemudian menjadikan Islam sebagai agama alternatif. Perlakuan Amerika terhadap dunia Islam masih sangat beragam, mulai dari status sebagai musuh bebuyutan hingga sekutu strategis. Ini menandakan bahwa peluang Islam untuk tetap maju di Amerika juga masih sangat besar.
Islam menjunjung tinggi toleransi. Namun toleransi apa dulu yang dimaksud. Toleransi yang dimaksud adalah bila kita memiliki tetangga atau teman Nashrani, maka biarkan ia merayakan hari besar mereka tanpa perlu kita mengusiknya. Namun tinggalkan segala kegiatan agamanya, karena menurut syariat Islam, segala praktek ibadah mereka adalah menyimpang dari ajaran Islam alias bentuk kekufuran. Dalam realitanya, makna Islam rahmatan lil ‘alamin sudah mengalami penyempitan makna, akibat dari pemahaman yang tidak utuh.  Sebagian memahami dengan Islam yang lembut dan damai. Sehingga ketika ada saja sedikit reaksi perlawanan dari umat Islam terhadap penjajahan barat, baik secara non fisik, apalagi fisik, maka langsung dicap Islam yang tidak rahmatan lil ‘alamin. Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia. Maka kita seorang mukmin mukminat bersama jujung toleransi, tolong menolong, berlomba dalam kebaikan guna mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin dan orang lain yang bersama kita merasa nyaman dan tenang. 
C.    Perkembangan Islam di Eropa

1.      Sejarah masuknya Islam di Eropa
Kehadiran Islam di Benua Eropa bukan gejala baru. Islam sesungguhnya telah lama masuk ke Eropa. Puncak kejayaannya ketika Islam berpusat di Spanyol dengan ibu kota Cordova semasa Bani Umayyah dan sebagian pada masa Bani Abbasiyah. Namun pada perkembangan selanjutnya realitas sejarah menunjukan kondisi yang berbeda, Islam menjadi tersingkirkan dari tanah Eropa dan menjadi masyarakat minoritas saja. Kondisi ini terus berlanjut sampai masa sekarang. Hubungan Eropa dan dunia Islam telah saling berhubungan dekat selama berabad-abad. Sejak, negara Andalusia (756-1492) di Semenanjung Iberia, dan kemudian selama masa Perang Salib (1095-1291), serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah (1389) memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kedua masyarakat itu.
Kini banyak pakar sejarah dan sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah pemicu utama perpindahan Eropa dari gelapnya Abad Pertengahan menuju terangbenderangnya Masa Renaisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di bidang kedokteran, astronomi, matematika, dan di banyak bidang lain, kaum Muslim memiliki perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat dalam membangun. Eropa merupakan salah satu benua yang cukup luas sekitar 27.273.727 km2, dan terbagi kepada 33 negara. Data ini sebelum terpecahnya negara Uni Soviet dan Yugoslavia. Dari 33 negara itu diantaranya berada di bagian barat. Secara umum, perkembangan Islam di negara-negara Eropa Barat bisa dikatakan tidaklah begitu pesat. Hal ini terbukti bahwa agama Islam di Eropa Barat hanya dipeluk oleh sebagian kecil masyarakat saja. Mayoritas agama di Eropa Barat adalah memeluk agama Kristen, terutama Kristen Kathoik Roma (Nielsen, 1992: 12).
Bila kita menelusuri sejarah pramodern Islam di Eropa Barat terdiri dari dua bagian: Pertama, dari abad ke-8 hingga akhir abad ke-15, ada wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Muslim, tempat posisi Islam sebagai mayoritas, selain di Spanyol Muslim juga seperti di Sicilia. Inilah kondisi yang terjadi selama berbagai periode di sejumlah pulau di Laut Tengah dan kantong-kantong kecil di Italia Selatan dan Prancis Selatan. Kedua, sejarah Islam sebagai minoritas di Eropa Barat di mulai sekitar abad ke19, ketika para penguasa Kristen khususnya di Semenanjung Iberia memutuskan untuk tidak lagi mengeksekusi tawanan Muslim, dan mulai menjual dan menggunakan mereka sebagai budak (Esposito, 2001: 397).
Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98021043410567427
Sejak penghujung abad ke-11, fenomena sosial budak Muslim di wilayah-wilayah Kristen semakin penting, khususnya di Semenanjung Iberia, Italia, Prancis Selatan, Sisilia, dan Kepulauan Balearic. Bagi beberapa kerajaan Kristen di Semenanjung Iberia, periode dari abad ke-12 hingga ke-16 merupakan kekecualian pola ini. Ketika wilayah-wilayah Spanyol Muslim ditaklukan kembali oleh rajaraja Kristen, komunitas-komunitas Muslim lokal mendapat kebebasan dan perlindungan beragama meskipun diprotes oleh gereja Katolik. Akan tetapi, setelah kejatuhan Granada (1492), komunitaskomunitas ini dibaptis secara paksa, dan akhirnya, pada awal abad ke-17, dengan dicap "kaum sesat", mereka di usir, sebagian besar ke Afrika Utara. Akan tetapi, hal ini tidak mengakhiri fenomena sosial para budak Muslim. Keberadaan mereka di negara-negara Eropa sekitar Laut Tengah terdokumentasi, tanpa terputus, hingga abad ke-19. Periode pencerahan, yang diikuti dengan Revolusi Prancis, dimaklumkannya kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia universal dan dihapuskannya perbudakan, menciptakan kondisi-kondisi yang amat diperlukan oleh era modern dalam Islam Eropa Barat (Esposito, 2001: 398).
Hal ini membuka peluang yang relatif menguntungkan untuk keberadaan umat Islam dan kiprah mereka dalam melaksanakan dakwah. Umat Islam di Eropa, juga berasal dari imigranimigran negaranegara mayoritas Muslim, terutama setelah perang dunia ke II. Berbeda dengan ketika datangnya Islam di bawah panglima Thariq bin Ziyad ke dataran Eropa sebagai tentara yang gagah dan siap menguasai Eropa, kedatangan orang-orang Muslim selepas perang dunia ke II dalam keadaan sebaliknya. Akibat usainya perang, Eropa perlu kembali membangun pabrik-pabrik yang telah hancur dan menata kehidupan ekonomi lainnya. Untuk itu perlu tenaga kerja kasar yang murah. Tenaga kerja yang didatangkan adalah sebagian besar umat Islam. Penguasa Eropa memandang dirinya sebagai orang yang mendapat kepercayaan menjinakan manusia-manusia biadab yang terbelakang, penyembah berhala, untuk diselamatkan kepangkuan Gereja. Orang Muslim dipandang sebagai keturunan manusia yang memang segalanya berbeda dengan orang Eropa yang gagah dan terpelajar (Darsh, 1980: 46-49).
Sikap seperti ini sebagai salah satu ekses dari keberadaan Eropa yang dalam beberapa abad lamanya mencengkram dengan kuku kolonialismenya terhadap bangsa Asia yang mayoritas umat Islam. Penyebaran imigran Muslim di Eropa sekarang mencerminkan wilayah pengaruh penjajah masa lalu. Kebanyakan imigran yang menetap di Prancis adalah Maroko, Aljajair, dan sejumlah Muslim Afrika Selatan Sahara. Mereka semua dulunya dijajah Prancis. Inggris banyak ditempati imigran dari anak benua India, Malaysia, dan sejumlah orang Yaman, Somalia dan Afrika Utara. Sedangkan Jerman agak berbeda, imigran yang ada di sana kebanyakan orang Turki, Maroko, dan yang lainnya yang dahulunya tidak ada kaitan dengan pengaruh Jerman. Sekalipun mereka semuanya orang Muslim, namun gaya hidup masing-masing sesuai dengan kebiasaan dan sikap hidup yang dibawa dari negeri asalnya yang menunjukkan adanya perbedaan (Darsh, 1980: 70).
Pendataan tahun 1999 oleh PBB menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1998, jumlah penduduk Muslim Eropa meningkat lebih dari 100 persen. Dilaporkan bahwa terdapat sekitar 13 juta umat Muslim tinggal di Eropa saat ini: 3,2 juta di Jerman, 2 juta di Inggris, 4-5 juta di Prancis, dan selebihnya tersebar di bagian Eropa lainnya, terutama di Balkan. Angka ini mewakili lebih dari 2% dari keseluruhan jumlah penduduk Eropa. Masalah umat Islam eropa sekarang adalah sikap orang-orang eropa yang tengah terjangkiti paranoid berlebihan dan cenderung diskriminatif terhadap orang Islam. Ketakutan semacam itu semakin menjadi-jadi setelah Presiden Amerika Serikat, George W. Bush menyatakan perang terhadap teroris menyusul peristiwa 11 September 2001, yang notabene menyudutkan umat Islam (Aliyudin, 2008: 1055).
Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605886991 
2.      Strategi dakwah dan perkembangan Islam di Eropa
Berdasarkan data sejarah, Islam memasuki benua Eropa melalui empat periode, yaitu:
                          a.       Periode kekhalifahan Islam di Spanyol (Andalusia) selama ± 8 abad dan pemerintahan umat Islam di beberapa pulau, di antaranya: Perancis Selatan, Sicilia, dan Italia Selatan. Kekhalifahan Islam di Spanyol berakhir pada tahun 1492.
                          b.      Adanya penyebaran tentara Mongol pada abad ke-13. Di antara penguasa Mongol yakni Dinasti Khan yang beragama Islam. Kekuasaannya berpusat di Sungai Volga sebelah utara Laut Kaspia dan Laut Tengah. Ia meninggalkan penduduk muslim di sekitar sungai Volga hingga Kaukasus dan Krimea, yang terdiri dari orang Tartar, kemudian mereka menyebar ke berbagai wilayah kekaisaran Rusia. Mereka menjadi penduduk Finlandia, wilayah Polandia, dan Ukraina.
                          c.       Periode ekspansi kekhalifahan Turki Usmani sekitar abad ke-14 dan ke-15 ke wilayah Balkan dan Eropa Tengah. Bahkan di Albania umat Islam merupakan penduduk mayoritas.
                          d.      Periode kaum imigran Muslim memasuki benua Eropa setelah perang dunia ke-2, terutama ke negara-negara industri, seperti: Perancis, Jerman, Inggris, Belanda, dan Belgia.
Sedangkan perkembangan Islam di Eropa antar tiap negara berbeda-beda, baik karena penganut agama setempat yang kuat, kondisi masyarakat setempat, hingga sifat dan pemikiran masyarakat setempat. Berikut ini akan kita bahas bersama-sama beberapa negara dengan perkembangan Islamnya, antara lain:
1) Perkembangan Islam di Belanda 
Agama Islam di negara Belanda berkembang berkat perjuangan Abdul Wahid Van Bommel. Di sana berdiri organisasi Islam seperti Federatie Organisaties Muslim Nederland yang diketuai oleh Abdul Wahid. Organisai tersebut kemudian diubah menjadi Islamitische Informatie Cendrum. Melalui organisasi tersebut beliau berjuang menuntut hak agar dapat menunaikan shalat wajib lima waktu termasuk shalat Jum’at. Berdasarkan data statistik Central Burea de Statistick 1994, jumlah umat Islam Belanda mencapai 3,7% dari total penduduk 15.341.553 jiwa. Umat Islam di Belanda umumnya imigran yang bersal dari Turki, Maroko, Suriname, Pakistan, Mesir, Tunisia, dan Indonesia, selain warga negara asli Belanda. Pada tahun 1990, di seluruh Belanda jumlah masjid mencapai 300 buah, di antaranya Masjid Mubarak yang didirikan di kalangan Ahmadiyah, Masjid Maluku, dan Masjid An-Nur di Balk. Masjid lain yang terkenal adalah Masjid Al-Hikma di Heesurjkpein, Deen Haag.
Gedung Pusat Kebudayaan Islam di Belanda (sumber: BSE 173 Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013, hal. 173) 
2) Perkembangan Islam di Inggris 
Penyebaran Islam di Inggris terjadi berkat jasa Mozambores. Mozambores merupakan dokter Istana Raja Henry I. Pada tahun 1951, penduduk muslim di negara itu diperkirakan baru mencapai 23.000 jiwa. Sepuluh tahun belakangan, populasi penduduk muslim di Inggris menjadi 82.000, dan pada tahun 1971 sudah mencapai 369.000 jiwa. Saat ini, jumlah penduduk muslim di Inggris sekitar 2 juta jiwa. Pendapat lain dikemukakan oleh M. Ali Kettani, bahwa pada tahun 1971 ada sekitar setengah juta muslim di Inggris, atau 1,8 % dari jumlah penduduk. Angka ini pada tahun 1982 naik menjadi 1.250.000 muslim (2,2 % dari penduduk).
Pemukiman kaum muslim di Inggris umumnya terkonsentrasi di kota besar. Di London, penduduk muslim merupakan komunitas kosmopolitan yang terdiri dari macam-macam latar belakang kebudayaan. Hampir separuh dari jumlah keseluruhan kaum muslim di Inggris tinggal di London dan wilayah sekitarnya. Sekitar dua pertiga sisanya bermukim di West Midlands, Yorkshire, Glasgow, dan wilayah-wilayah di sekitar Manchester.
Di Inggris pada akhir 1960 hanya tercatat sembilan masjid sebagai tempat ibadah, dan hanya bertambah empat masjid lagi selama lima tahun berikutnya. Tetapi pada 1966, terdapat loncatan sehingga jumlah masjid terus bertambah delapan buah tiap tahunnya. Secara kuantitatif, jumlah masjid di wilayah Inggris ada sekitar 100 masjid di daerah London Raya, 50 di Lancashire, 40 di Yorkshire, dan 30 di Midlands, ada 3 masjid di Skotlandia, dan 2 di Wales, serta 1 buah di Belfast. Tentunya, saat ini terus mengalami peningkatan jumlah seiring semakin berkembangnya Islam di Inggris pada saat ini di Inggris banyak berdiri berbagai organisasi keislaman seperti: The Islamic Council of Europe (Majelis Islam Eropa) sebagai pengawas kebudayaan Eropa, The Union of Moslem Organization (Persatuan Organisasi Islam Inggris), The Association for British Moslem (Perhimpunan Muslim Inggris), dan Islamic Foundation dan Moslem’s Institute, keduanya bergerak dalam bidang penelitian. Anggotaanggotanya terdiri atas orang-orang Inggris dan imigran.
Salah satu bukti berkembangnya Islam di Inggris adalah adanya masjid di pusat kota London. Yaitu Masjid Agung (Central Mosque) Regents Park yang mampu menampung jamaah hingga 4.000 orang. Perancang Masjid tersebut adalah Fredrik Gobberd and Patners. Masjid itu juga dilengkapi dengan perpustakaan sebagai pusat kegiatan sisoal dan administrasi.
Video: https://www.youtube.com/watch?v=mgXTFksbkQk 
Bank Islam di Inggris  (sumber: BSE 173 Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013, hal. 175)
 3)  Perkembangan Islam di Perancis
Islam adalah satu dari beragam agama di Perancis. Meskipun sejak dahulu Muslim sudah ada di Perancis, baik Perancis daratan maupun wilayah kependudukannya di luar Eropa, imigrasi massal Muslim ke Perancis pada abad 20 dan 21 telah membuat negara ini menjadi salah satu negara dengan komunitas muslim terbesar di Eropa. Di Prancis, Islam berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20 M. Bahkan, pada tahun 1922, telah berdiri sebuah masjid yang sangat megah bernama Masjid Raya Yusuf di ibu kota Prancis, Paris. Hingga kini, lebih dari 1000 masjid berdiri di seantero Prancis.
Di negara ini, Islam berkembang melalui para imigran dari negeri Maghribi, seperti Aljazair, Libya, Maroko, Mauritania, dan lainnya. Sekitar tahun 1960-an, ribuan buruh Arab berimigrasi (hijrah) secara besar-besaran ke daratan Eropa, terutama di Prancis. Saat ini, jumlah penganut agama Islam di Prancis mencapai tujuh juta jiwa. Dengan jumlah tersebut, Prancis menjadi negara dengan pemeluk Islam terbesar di Eropa. Menyusul kemudian negara Jerman sekitar empat juta jiwa dan Inggris sekitar tiga juta jiwa. Peran buruh migran asal Afrika dan sebagian Asia itu membuat agama Islam berkembang dengan pesat. Para buruh ini mendirikan komunitas atau organisasi untuk mengembangkan Islam. Secara perlahan, penduduk Prancis pun makin banyak yang memeluk Islam. Karena pengaruhnya yang demikian pesat itu, Pemerintah Prancis sempat melarang buruh migran melakukan penyebaran agama, khususnya Islam. Pemerintah Prancis khawatir organisasi agama Islam yang dilakukan para buruh tersebut akan membuat pengkotak-kotakan masyarakat dalam beberapa kelompok etnik, sehingga dapat menimbulkan disintegrasi dan dapat memecah belah kelompok masyarakat. Tak hanya itu, pintu keimigrasian bagi buruh-buruh yang beragama Islam pun makin dipersempit, bahkan ditutup. Meski demikian, masyarakat Arab yang ingin berpindah ke Prancis tetap meningkat. Pintu ke arah sana semakin terbuka.
Video: https://www.youtube.com/watch?v=llAyo1G4Z94
4)  Perkembangan Islam di Jerman
Keberadaaan orang-orang Islam pertama sekali di Jerman tidak terlepas dari masuknya bangsa Turki ke wilayah tersebut di akhir abad ke 17, yang merupakan respons perlawanan terhadap kolonialisme Barat. Mereka menetap dan berketurunan di wilayah tersebut. Ketika bangkitnya industriindustri di Eropa, banyak warga Muslim dari Turki dan Timur Tengah melakukan migrasi untuk mencari pekerjaan ke Eropa termasuk Jerman. Tahun 1961, 1963, dan 1965 orang-orang keturunan Turki, Maroko, dan Tunisia direkrut sebagai pekerja di Jerman atas persetujuan antara pemerintah Jerman dengan negara-negara bersangkutan. Belakangan warga Muslim dari Libanon, Palestina, Afganistan, Aljazair, Iran, Iran dan Bosnia juga datang ke Jerman mengungsi karena negara mereka dilanda perang. Karena merupakan negara maju, Jerman juga menjadi target bisnis dan pendidikan. Banyak para profesional, pebisnis, pekerja dan mahasiswa Muslim dari India, Pakistan, dan Asia Tenggara datang dan sebagian menetap di sana. 
Masjid di Berlin Jerman  (sumber: BSE 173 Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013, hal. 176)
Jumlah penduduk Muslim di Jerman saat ini berkisar 3,7 juta jiwa. Mayoritas adalah keturunan Turki dengan jumlah lebih dari 2 juta orang. Pada tahun 1999, komposisi negeri asal kaum Muslim di negeri ini adalah sebagai berikut: Turki 2.053.564, Bosnia 167.690, Iran 116.446, Marokko 81.450, Afghanistan 71.955, Libanon 54.063, Pakistan 36.924, Tunisia 26.396, Syiria 19.055, Aljazair 17.705, Irak 16.745, Mesir 13.455, Yordania 12.249, Albania 10.528, Indonesia 9.470, Somalia 8.248, Banglades 7.156, Sudan 4.615, Malaysia 3.084, Senegal, 2.509, Gambia 2.371, Libya 1.898, Kirgistan 1.662, Azerbaijan 1.399, Guinea 1.287, Usbekistan 1.249, Yaman 1.083.
Sangat menarik sekali dari uraian perkembangan Islam di beberapa negara Eropa di atas ternyata Islam mampu membaur dengan masyarakat Eropa walaupun punya perbedaan entah agama, ras, suku, hingga budaya. Berikut akan dijelaskan lebih seru lagi terkait perkembangan Islam yang menyangkut negara ataupun kerajaan Inggris hingga sampai salah satu kerajaan di Nusantara (Indonesia) walaupun kecil tetapi sangat hebat yaitu kerajaan banten.
Islam telah menjadi bagian dari sejarah Inggris lebih lama daripada yang dibayangkan banyak orang. Pada abad ke-16, Ratu Elizabeth menjalankan kebijakan luar negeri dan ekonomi dengan menjalin kerjasama negara-negara Islam. “Saat ini, saat seruan anti-muslim semakin menggelora, sangat perlu untuk mengingat, masa lalu kita lebih memiliki keterikatan (dengan Islam, red) daripada yang sering disadari,” tulis Jerry Brotton, profesor dalam studi tentang Renaisans di Queen Mary University of London, dikutip laman New York Times (17/9).
Video: https://www.youtube.com/watch?v=1pGqH9IntS4
Sejak mahkota ratu resmi disandangnya pada 1558, Elizabeth memulai kerjasama diplomatik, baik secara militer maupun komersial dengan negara-negara Islam, seperti Iran, Turki, dan Maroko. Terutama ketika pada 1570, keyakinannya kepada Kristen Protestan semakin jelas dan mempengaruhi pemerintahannya. Akibatnya, dia dikucilkan oleh penguasa Katolik. Semua pedagang Inggris tak diperbolehkan melakukan hubungan dagang dengan negara-negara Katolik, terutama dengan Spanyol. “Terkucil secara ekonomi dan politik membuat negara Protestan yang baru ini terancam akan kehancuran,” lanjut Brotton. Namun, sang ratu melihat peluang lain. Dia pun berusaha menjalin kerjasama dengan para penguasa di negara-negara Islam. Satu-satunya musuh besar bagi kerajaan Spanyol pada masa itu adalah Kesultanan Ottoman. Sultannya adalah Murad III yang telah menguasai wilayah Afrika Utara, Eropa Timur, sampai Samudra Hindia.
Elizabeth berharap aliansinya dengan sang sultan membantu mengurangi kekuatan militer Spanyol terhadap negaranya. Cara ini juga dinilai akan memberikan keuntungan lain bagi pedagang Inggris untuk memperoleh pasar di wilayah timur. “Dia juga menjalin hubungan dengan para pesaing Ottoman, Shah dari Persia dan penguasa Maroko,” kata Brotton. Masalahnya adalah kekaisaran Muslim rupanya lebih berkuasa dibanding kerajaan Elizabeth yang mungil. Niatnya membuka jalur perdagangan baru, tetapi nyatanya dia tak sanggup mengongkosi usahanya itu. Maka, dia pun mencoba membuka perusahaan saham gabungan. Perusahaan ini dimiliki bersama dengan sistem bagi saham. Modalnya digunakan untuk mendanai biaya pelayaran untuk berdagang. Keuntungan dan kerugian yang dihasilkan dibagi kepada para pemegang saham. Dalam hal ini, Elizabeth sangat antusias mendukung Perusahaan Muscovy yang menjalin hubungan dagang dengan Persia. Mereka pula yang kemudian menginspirasi bagi terbentuknya Turkey Company yang melakukan perdagangan dengan Ottoman dan East India Company (EIC), yang kemudian menguasai India dan berdagang juga ke Nusantara.
Pada 1580, Elizabeth menyetujui kesepakatan komersil selama tiga abad dengan pemerintah Ottoman. Kesepakatan ini menjamin pedagang Inggris mendapat akses bebas masuk ke wilayah Ottoman. Dia pun membuat kesepakatan serupa dengan Maroko, dan diam-diam mendapat jaminan bantuan militer untuk melawan Spanyol. Berlanjut dari hubungan dagang, pengaruh dari negara-negara Islam semakin terlihat di Inggris. Karpet, sutra, rempah-rempah menjadi bagian dari keseharian orang Inggris. “Kata-kata seperti candy dan turquoise’ yang berasal dari Turkish stone menjadi biasa untuk diucapkan,” ungkap Brotton. Bahkan, Shakespeare menambahkan unsur budaya Islam itu pada pertunjukkan. Karya Othello yang fenomenal itu lahir setelah utusan pertama dari Maroko datang ke Inggris. Meski perusahaan saham gabungan itu sukses, tetapi ekonomi Inggris tidak bisa mempertahankan diri dari ketergantungannya terhadap perdagangan jarak jauh. Akhirnya, sepeninggal Elizabeth pada 1603, raja yang baru, James I menyetujui kesepakatan damai dengan Spanyol. Kesepakatan ini sekaligus mengakhiri nasib Inggris yang terkucilkan. Terlepas dari itu, kebijakan Elizabeth terhadap dunia Islam telah berhasil menekan pengaruh Katolik di negaranya. Islam pun, tak dipungkiri, merupakan bagian dari sejarah orang Inggris. “Islam mempengaruhi segala aspek, politik, militer, dan perdagangan, bahkan budaya dalam sejarah Inggris,” tulis Brotton. 
Hubungan dengan Islam di Nusatara pun pernah terjalin baik antara Kerajaan Inggris dengan Kesultanan Banten. Ketika Elizabeth dinobatkan sebagai ratu Inggris, sekitar 14 orang Inggris di Banten merayakannya. Mereka, tulis Bernard HM Vlekke, memakai pakaian terbaik dan mengadakan parade, berbaris maju mundur, menembakkan senapan dan berteriak “hore”, sampai semua penduduk kota lari keluar rumah. “Begitu orang banyak berkumpul, orang Inggris itu memberi tahu orang Banten tentang Ratu Elizabeth mereka yang mulia,” tulis Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia.
James Lancaster, yang memimpin pelayaran pertama dengan empat kapal dagang EIC mendarat di Banten pada 1602. Dia menyampaikan surat Ratu Elizabeth untuk Sultan Banten yang bernada penuh persahabatan. Sultan Banten memberikan izin kepada Inggris untuk membuka kantor dagang. Bahkan, Banten menjadi pusat kegiatan dagang Inggris sampai tahun 1682. Hubungan baik Inggris dan Banten terlihat juga dengan surat yang dikirimkan oleh Sultan Banten kepada Raja James I, pengganti Elizabeth. Surat tersebut berisi ucapan selamat atas pengangkatan James I sebagai raja Inggris. “Raja Banten juga mengucapkan terima kasih atas hadiah yang dikirim oleh Raja James I melalui Jenderal Milton. Sebagai balasannya, Raja Banten mengirimkan dua buah faizar kepada Raja Inggris,” tulis Titik Pudjiastuti dalam Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten. Faizer diperkirakan sebagai benda yang berat karena satu faizer disepadankan dengan seekor ternak berkaki empat.
Hubungan baik Inggris dan Banten terus berlanjut. Pada 1681, Sultan Abu Nashar Abdul Qahar atau Sultan Haji mengirim surat kepada Raja Charles II. Dalam suratnya, dia berminat membeli senapan sebanyak 4000 pucuk dan peluru sebanyak 5000 butir dari Inggris. Sebagai tanda persahabatan, Sultan Haji menghadiahkan permata sebanyak 1757 butir. Surat ini juga merupakan pengantar untuk dua utusan Banten bernama Kiai Ngabehi Naya Wipraya dan Kiai Ngabehi Jaya Sedana. Giliran ayah Sultan haji, pada 1681 Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abul Fath Abdul Fattah mengirim surat kepada Raja Charles II meminta bantuan berupa senjata dan mesiu untuk berperang melawan putranya yang dibantu Kongsi Dagang Hindia Belanda (VOC). Sultan Ageng Tirtayasa berjanji jika Inggris memberi bantuan dan mereka menang, benteng (Jacetra atau Batavia) akan diberikan kepada Inggris. Namun, bantuan itu tidak kunjung datang. VOC membantu Sultan Haji berhasil menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.
3.    Pusat-pusat peradaban Islam di Eropa
Puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal kebangkitan Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat: (1) Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa. (2) Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmuilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bias berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana. Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi (Siti, 2003: 126). 
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Sejak pertama kali Islam menginjakkan kakinya ditanah Spanyol hingga jatuhnyua kerajaan Islam terakhir di sana sekitar tujuh setengan abad lamanya, Islam memainkan peranan yang besar, baik dalam bidang kemajuan intelektual (filsafat, sains, fikih, musik dan kesenian, bahasa dan sastra), kemegahan bangunan fisik (Cordova dan Granada)(Suwito, 2005: 111). 

D.    Perkembangan Islam di Australia

1.      Sejarah masuknya Islam di Australia
Islam memang bukan merupakan agama mayoritas di Australia. Jumlah total umat Islam hanya 500 ribu atau sekitar 3% dari jumlah penduduk total sebanyak 24 juta. Meskipun demikian, Islam telah menjadi bagian dari kehidupan warga Australia. Islam juga menjadi bagian sejarah dari negara berpenduduk asli bangsa Aborigin itu. Di Islamic Museum Australia, yang berada di Anderson Road, Thornbury, Victoria, dijelaskan detail tentang sejarah masuknya Islam di Australia. Ternyata, Islam pertama kali dibawa oleh para pelaut dari Makassar ke Australia.
"Pelaut-pelaut Makassar adalah yang pertama kali melakukan kontak dengan bangsa asli Australia yaitu Aborigin. Mereka mendarat di Australia bagian utara sekitar tahun 1700an. Kala itu mereka datang dengan sangat sopan dan meminta izin kepada penduduk asli," kata Education Director Islamic Museum Australia, Sherene Hassan saat ditemui detikcom bersama dua media lain yang difasilitasi Australia Plus ABC International pada Juni 2016. Para pelaut dari Makassar itu datang untuk mencari teripang di pantai utara Australia, salah satunya di daerah Arnhemland. Mereka datang pada bulan Desember dan menetap beberapa lama di Australia untuk membeli teripang dari penduduk asli. Interaksi antara pelaut Makassar dan para warga abrigin pun tak bisa dihindarkan.
Setelah itu, pengaruh Islam juga datang ke Australia dengan dibawa oleh para penunggang unta yang datang dari Pakistan dan Afghanistan sekitar tahun 1870-1920. Para penunggang unta yang berjumlah lebih dari 2.000 orang itu datang untuk bekerja di proyek pembangunan jalur kereta yang tengah dikerjakan pemerintah Inggris. Kala itu unta dianggap sebagai hewan yang sangat berguna untuk dijadikan alat angkut material. Para penunggang onta yang dalam sejarah Australia disebut dengan kata “Camellers” berada cukup lama di daratan Australia. Sehingga, sedikit banyak mereka juga membawa pengaruh spiritual. Bahkan, masjid pertama di Australia didirikan pada masa itu.
Setelah itu, masuk ke tahun 1900an, Australia mulai didatangi buruh migran dari berbagai negara di timur tengah dan Afrika. Para imigran itu kebanyakan berasal dari Turki, Albania, Bosnia, Libanon dan beberapa negara lain di Afrika. Jumlah imigran yang terus bertambah seiring berjalannya waktu membawa pengaruh Islam di Australia. Hingga, Islam terus berkembang di negeri kanguru tersebut. Hingga saat ini, Islam merupakan agama yang perkembangannya cukup pesat di Australia. Jumlah pemeluk agama Islam terus bertambah dan jumlah masjid dan sekolah Islam pun terus meningkat. Sejak dua tahun lalu, Islamic Museum Australia resmi dibuka. Tujuan awal didirikan museum itu adalah untuk mengenalkan wajah Islam seutuhnya kepada warga Australia.
Video: https://www.youtube.com/watch?v=Ae_BXpBwq10
Islamic Museum Australia berada di Anderson Road, Thornbury, Victoria. Untuk menuju ke museum, hanya memerlukan waktu 30 menit berkendara dari pusat Kota Melbourne, atau bisa juga dengan menaiki trem, moda transportasi andalan Kota Melbourne. Bangunan museum berdiri megah di lahan seluas sekitar 3.000 meter persegi. Islamic Museum dibangun pada tahun 2010 dan selesai pada 2014. Sejak dibuka pada 2014, sudah lebih dari 20 ribu orang mengunjungi museum tersebut. 
"Museum ini didirikan enam tahun lalu dan sudah dibuka selama 2 tahun. Sudah lebih dari 20 ribu orang yang mendatangi museum ini dan sebagian besar di antaranya adalah non muslim”. Sherene menjelaskan, ide awal didirikannya museum adalah untuk memberikan gambaran utuh tentang Islam kepada masyarakat. Pasalnya, selama ini masyarakat Australia banyak disajikan berbagai informasi miring tentang Islam dari berbagai media, terutama seringnya menghubungkan tindakan ektremisme dan terorisme dengan Islam. Padahal secara jelas tindakan-tindakan tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan Islam. "Bagi orang-orang yang memiliki pandangan negatif tentang Islam, kami harap mereka datang ke museum ini dan buktikan apakah pandangan negatif tentang Islam itu benar atau tidak”..
Museum Islam pertama di Australia itu benar-benar mengenalkan Islam seutuhnya bagi warga. Saat masuk ke museum, pada bagian pertama adalah pengenalan tentang Islam, mulai dari sejarah Islam hingga pengertian dan rukun Islam serta beberapa petikan ayat Alquran. Masuk ke bagian kedua, museum menyajikan andil Islam terhadap peradaban manusia. Beberapa penemuan ilmiah dari tokohtokoh Islam yang mengubah dunia dipamerkan. Beberapa temuan seperti sistem hitung Aljabar, permainan catur, alat untuk terbang dan berbagai penemuan lain membuka mata warga Australia bahwa Islam telah turut ambil bagian dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan. Setelah itu, para pengunjung juga bisa melihat hasil-hasil karya seni Islami. Bagian ketiga di museum ini ingin memberikan pengertian bahwa Islam tidak pernah membatasi umatnya untuk berkreasi dan Islam mengajarkan umatnya untuk mencintai keindahan.
Pada bagian keempat, dipamerkan karya-karya arsitektur Islam. Bangunan masjid-masjid megah dari berbagai penjuru dunia di tampilkan. Pada bagian ini, juga diperdengarkan alunan suara azan, sehingga para pengunjung bisa mendengarkan syahdunya suara azan. Untuk diketahui, di Australia masjid tidak diperbolehkan mengumandangkan suara azan melalui speaker di luar. Kemudian salah satu bagian yang paling menarik dari museum ini adalah sejarah Islam di Australia. Islamic Museum Australia menyajikan data valid terkait sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Australia. Seorang pengunjung museum dari negara bagian Tazmania, Paula Woodward mengaku sengaja mendatangi museum karena mendapatkan informasi dari tayangan televisi. Dia mengaku mendapatkan banyak pengetahuan tentang Islam yang sangat berbeda dengan yang didapatkan dari pemberitaan media (Khabibi, 2018: detik.com)
Di atas sudah disampaikan bahwa muslim di Australia memiliki sejarah yang panjang dan bervariasi yang diperkirakan sudah hadir sebelum pemukiman Eropa. Beberapa pengunjung awal Australia adalah Muslim dari Indonesia timur. Mereka membangun hubungan dengan daratan Australia sejak abad ke 16 dan 17. Nelayan dan pedagang Makassar tiba di pesisir utara Australia Barat, Australia Utara dan Queensland. Para pelaut dari Makassar dan Bugis mengunjungi pantai utara Australia setiap tahun setidaknya sejak tahun 1720-an sampai 1906 untuk mencari ikan teripang. Mereka berdagang dengan penduduk asli dan memperdagangkan ikan teripang itu dengan pedagang Cina. 
Bukti-bukti dari pengunjung awal ini dapat ditemukan pada kesamaan beberapa kata bahasa Melayu, Bugis, dan Makassar dalam bahasa orang Aborijin di Australia Utara. Misalnya, kata-kata berikut dijumpai dalam bahasa Enindiljaugwa, yang digunakan oleh orang Wanindiljaugwa dari Groote Elyandt, di Teluk Carpentaria.   
ajira  air   Melayu
Balanda Belanda  Melayu
bara  barat   Melayu
bula  buluh   Melayu
jara  jara   Melayu
libaliba  lepa-lepa  Makassar & Bugis
rupiah  uang   Melayu
umbakumba ombak-ombak  Melayu
 
Sejumlah peninggalan dan lukisan cadas yang menggambarkan perahu tradisional Makassar yang baru-baru ini ditemukan di Australia utara membuktikan bahwa Suku Aborigin yang merupakan penduduk asli benua Australia dimungkinkan sudah melakukan interaksi begitu lama dengan para pelayar Bugis atau Makassar dari Makassar. Perkawinan antara Penduduk Asli dan orang Makassar diyakini pernah terjadi, dan lokasi pemakaman orang Makassar telah ditemukan sepanjang garis pantai.
Lukisan Goa Aborigin (sumber: goodnewsfromindonesia.id) Suku Aborigin bahkan kemungkinan pernah berlayar ke Makassar untuk melihat kebesaran Kerajaan Makasar yang ada pada waktu itu. Ini dapat dilihat dari lukisan monyet di atas pohon yang hanya dapat dilihat di Pulau Sulawesi. Gambar rumah-rumah adat Makassar dan perahu phinisi juga tampak di antara ribuan lukisan cadas di dinding gua dan batuan yang tersebar di kawasan adat Aborigin, Arnhem Land. Lukisan lain menggambarkan tentara-tentara perang dunia II, satwa yang kini telah punah, termasuk barang-barang modern seperti sepeda, pesawat, dan mobil. Lukisan-lukisan tersebut berusia antara 15.000 tahun hingga 50 tahun.  Suku Aborigin memperlihatkan gambar Perahu Suku Makassar  (sumber: goodnewsfromindonesia.id) 
Suku Aborigin kental dengan budaya lisan. Namun, mereka suka menggambar di batuan cadas sebagai gambaran kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dilakukan turun-temurun dan tekniknya terus berubah dari generasi ke generasi. Pada beberapa situs, lukisan sampai 17 lapisan. Saat ini, hanya orangorang tua yang memiliki hak menggambar di cadas.
Beberapa bukti tersebut mematahkan sejarah nasional Australia yang menyatakan bahwa Suku Aborigin umumnya terisolasi dengan kebudayaan luar sebelum pendatang kulit putih mendiami benua tersebut. Namun, penduduk asli di utara ternyata telah berhubungan dengan orang Makassar. Mungkin ratusan tahun lebih dulu daripada orang-orang Eropa yang datang ke sana tahun 1700-an.
Sebuah penelitian sejarah di Australia baru-baru ini memaksa Negeri Kanguru mengubah pelajaran sejarah mereka. Penelitian yang dilakukan dosen sejarah University of Griffith, Brisbane, Australia, Prof Regina Ganter, membuktikan agama Islam masuk ke Australia sejak 1650-an dan bukan 1850-an, yang merupakan versi resmi pemerintah Australia. Hebatnya lagi, Islam diperkenalkan pelautpelaut Makassar yang memang menjalin hubungan dengan suku asli Australia, Aborigin. Studi itu tentu saja mengubah banyak hal, termasuk klaim penyelam asal Malaysia yang membawa Islam ke negara yang berpenduduk 21 juta jiwa itu pada 1875.
Pada 1760, seorang peneliti bernama Alexander Dalrymple memberikan informasi, orang Bugis menggambarkan Australia sebagai penghasil emas. Mereka beragama Islam dan gemar berdagang. Menurut Dalrymple, keislaman mereka didasarkan tradisi pengkhitanan, yang akhirnya menjadi kebiasaan sejumlah penduduk di kawasan Australia Utara. Meski tidak tercatat apakah nelayan Muslim Makassar juga menyebarkan Islam. Namun dipastikan, Australia mengenal Islam pertama kali dari pelaut-pelaut Makassar tadi. Pada akhir dasawarsa 1700an, Migran Muslim dari pesisir Afrika dan wilayah pulau di bawah Kerajaan Inggris datang ke Australia sebagai pelaut dan narapidana dalam armada pertama pendatang Eropa. Populasi Muslim semi permanen pertama dalam jumlah yang signifikan terbentuk dengan kedatangan penunggang unta pada dasawarsa 1800an. Datang dari anakbenua India, Muslim ini sangat vital bagi penjelajahan awal pedalaman Australia dan pembentukan layanan perhubungan. Salah satu proyek besar yang melibatkan penunggang unta Afganistan adalah pembangunan jaringan rel kereta api antara Port Augusta dan Alice Springs, yang kemudian dikenal sebagai Ghan. Jalur kereta api dilanjutkan hingga ke Darwin pada 2004. Para penunggang unta ini juga memegang peran penting dalam pembangunan jalur telegrafi darat antara Adelaide dan Darwin pada 1870-1872, yang akhirnya menghubungkan Australia dengan London lewat India.  
Lukisan batu bergambar monyet, hewan yang tak ada di Australia dan perahu Pinisi (sumber: goodnewsfromindonesia.id) Melalui karya awal ini, sejumlah kota ‘Ghan’ berdiri di sepanjang jalur kereta api. Banyak dari kota-kota ini yang memiliki sedikitnya satu masjid, biasanya dibangun dari besi bergelombang dengan menara kecil. Namun, kehadiran kendaraan bermotor dan transportasi lori bermesin menandai akhir era penunggang unta. Sementara sebagian dari mereka pulang ke negara asalnya, yang lainnya bermukim di daerah dekat Alice Springs dan daerah lain di Australia Utara. Banyak yang menikah dengan penduduk Asli setempat. Keturunan penunggang unta Afganistan sejak itu berperan aktif dalam berbagai komunitas Muslim di Australia. Sejumlah kecil Muslim juga direkrut dari koloni Belanda dan Inggris di Asia Tenggara untuk bekerja di industri mutiara Australia pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. 
Jumlah umat Islam Australia modern meningkat dengan cepat setelah Perang Dunia Kedua. Pada 1947 - 1971, jumlah warga Muslim meningkat dari 2.704 menjadi 22.331. Hal ini terjadi terutama karena ledakan ekonomi pasca perang, yang membuka lapangan kerja baru. Banyak Muslim Eropa, terutama dari Turki, memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari kehidupan dan rumah baru di Australia. Pada Sensus 2006, tercatat 23.126 Muslim kelahiran Turki di Australia. Migran Muslim Bosnia dan Kosovo yang tiba di Australia pada dasawarsa 1960an memberi sumbangsih penting terhadap Australia modern melalui peran mereka dalam pembangunan Skema PLTA Snowy Mountains di New South Wales. Migran Libanon, banyak dari antara mereka adalah Muslim, juga mulai berdatangan dalam jumlah yang lebih besar setelah pecah perang saudara di Libanon pada 1975. Menurut Sensus 2006, tercatat 7.542 Muslim Australia kelahiran Bosnia dan Herzegovina dan 30.287 kelahiran Libanon. 
Muslim Australia sangat majemuk. Pada Sensus 2006, tercatat lebih dari 340.000 Muslim di Australia, di mana dari jumlah tersebut sebanyak 128.904 lahir di Australia dan sisanya lahir di luar negeri. Selain migran dari Libanon dan Turki, negara asal Muslim lainnya adalah: Afganistan (15.965), Pakistan (13.821), Banglades (13.361), Irak (10.039), dan Indonesia (8.656). Dalam tiga dasawarsa terakhir, banyak Muslim bermigrasi ke Australia melalui program pengungsi atau kemanusiaan, dan dari negara-negara Afrika seperti Somalia dan Sudan. Masyarakat Muslim Australia saat ini sebagian besar terkonsentrasi di Sydney dan Melbourne. Sejak dasawarsa 1970an, masyarakat Muslim telah membangun banyak masjid dan sekolah Islam dan memberi sumbangsih yang dinamis terhadap rajutan multi-budaya masyarakat Australia. 
2.      Strategi dakwah dan perkembangan Islam di Australia 

Islam telah menjadi bagian dari kehidupan warga Australia. Islam juga menjadi bagian sejarah dari negara berpenduduk asli bangsa Aborigin itu. Di Islamic Museum Australia, yang berada di Anderson Road, Thornbury, Victoria, dijelaskan detail tentang sejarah masuknya Islam di Australia. Ternyata, Islam pertama kali dibawa oleh para pelaut dari Makassar ke Australia. "Pelaut-pelaut Makassar adalah yang pertama kali melakukan kontak dengan bangsa asli Australia yaitu Aborigin. Mereka mendarat di Australia bagian utara sekitar tahun 1700an. Kala itu mereka datang dengan sangat sopan dan meminta izin kepada penduduk asli," kata Education Director Islamic Museum Australia, Sherene Hassan saat ditemui detikcom bersama dua media lain yang difasilitasi Australia Plus ABC International pada Juni 2016.

Catatan sejarah Islam di Islamic Museum Australia di Melbourne, Victoria (Foto: Ikhwanul Khabibi/detikcom) 

Para pelaut dari Makassar itu datang untuk mencari teripang di pantai utara Australia, salah satunya di daerah Arnhemland. Mereka datang pada bulan Desember dan menetap beberapa lama di Australia untuk membeli teripang dari penduduk asli. Interaksi antara pelaut Makassar dan para warga abrigin pun tak bisa dihindarkan. "Sebagian besar pelaut dari Makassar beragama Islam dan karena mereka berinteraksi dengan suku asli, sehingga secara spiritual suku Aborigin di sebelah utara Australia terpengaruh agama Islam yang dipeluk para pelaut," jelas Sherene. Setelah itu, pengaruh Islam juga datang ke Australia dengan dibawa oleh para penunggang unta yang datang dari Pakistan dan Afghanistan sekitar tahun 1870-1920. Para penunggang unta yang berjumlah lebih dari 2.000 orang itu datang untuk bekerja di proyek pembangunan jalur kereta yang tengah dikerjakan pemerintah Inggris. Kala itu unta dianggap sebagai hewan yang sangat berguna untuk dijadikan alat angkut material.

Islamic Museum Australia di Melbourne, Victoria (Foto: Ikhwanul Khabibi/detikcom) 

Para penunggang onta yang dalam sejarah Australia disebut dengan kata 'Camellers' berada cukup lama di daratan Australia. Sehingga, sedikit banyak mereka juga membawa pengaruh spiritual. Bahkan, masjid pertama di Australia didirikan pada masa itu. Setelah itu, masuk ke tahun 1900an, Australia mulai didatangi buruh migran dari berbagai negara di timur tengah dan Afrika. Para imigran itu kebanyakan berasal dari Turki, Albania, Bosnia, Libanon dan beberapa negara lain di Afrika. Jumlah imigran yang terus bertambah seiring berjalannya waktu membawa pengaruh Islam di Australia. Hingga, Islam terus berkembang di negeri kanguru tersebut. Hingga saat ini, Islam merupakan agama yang perkembangannya cukup pesat di Australia. Jumlah pemeluk agama Islam terus bertambah dan jumlah masjid dan sekolah Islam pun terus meningkat (Khabibi, 2016: Detik.com)  Islamic Museum Australia di Melbourne, Victoria (Foto: Ikhwanul Khabibi/detikcom)

3.      Tokoh-tokoh ilmu pengetahuan Islam di Australia

Australia merupakan benua terkecil dibandingkan benua yang lainnya. Islam pun juga memenuhi beberapa persen dari total populasi benua tersebut. Islam memiliki sejarah yang panjang di Australia. Sejarah ini merentang tidak hanya ke beberapa Muslim yang tiba sebagai bagian dari kontak pertama Eropa dan masa kolonial, tapi juga ke masa sebelumnya dan kemunculan awal Kristen sebagai agama non-pribumi yang dominan jumlah penganutnya.

Munculnya gerakan ISIS yang diklaim sebagai respon atas gerakan Arab di Syria pada tahun 2011, menyebabkan Muslim terkadang dipotret sebagai individu yang berbahaya bagi dunia barat dan khususnya dalam kehidupan di Australia. Media lebih banyak menggambarkan Muslim sebagai sosok berjanggut yang lebih banyak berdiam diri di masjid, yang menyebabkan dakwah untuk bisa mengenal Islam menjadi lebih berat. Atas dasar itulah, menampilkan sosok sebagai seorang Muslim, terlebih menyampaikan ajaran Islam menjadi tantangan tersendiri. Berdasarkan laporan tahunan ICV 2013-2014 di Australia, gejala Islamophobia makin marak. Hal ini muncul dalam beberapa cara, diantaranya; (1) Kampanye menolak Masjid dan Islamic Center karena alasan rasis, kebohongan publik dan juga kesalahpahaman informasi lainnya. (2) Usulan dari beberapa politisi untuk menolak niqab. (3) Kampanye sertifikat anti halal, dengan asumsi bahwa halal sertifikat hanya akan mendukung terorisme.

Dari beberapa laporan di atas maka bisa dikatakan Islam di Australia belum mencapai kejayaannya dan masih dianggap masih pada tahap berkembang adalah :
                       a.          Penduduk yang menganut  Islam baru 1.71 persen dari jumlah warga Negara Australia
                       b.          Latarbelakang etnis yang berasal dari berbagai Negara memerlukan waktu untuk mempersatukannya
                       c.          Belum adanya tokoh-tokoh Islam yang muncul di Australia baik tokoh politik, tokoh ekonomi, tokoh ilmuwan maupun ketokohan nasional dalam keagamaan.
                       d.          Belum banyaknya lembaga pendidikan Islam yang representatif dan berkualitas.
                       e.          Masih adanya stigma Islam sebagai biangya kekerasan dari masyarkat dan pemerintahan Australia apalagi setelah munculnya peristiwa Bom London,Persitiwa 11 September di kota New York Amerika Serikat dan Bom
                        f.          Dalam penguasaan Ilmu pengetahuan dan Teknologi dari kaum Muslimin di Australia belum merata dan mumpuni,masih tertinggal oleh kaum kulit putih keturunan Eropa (Pratio, 2011)
Salah satu kunci keberhasilan mengapa kaum Muslim minoritas di suatu Negara khususnya benua Australia, adalah dapat bekerjasama secara optimal dengan kaum mayoritas. Hal ini di negeri orang bukan sebagai bagian asing dari negara tersebut meskipun negara itu dipimpin oleh seorang yang nonmuslim. Metode hijrah internal adalah metode yang paling bagus dengan sambil membangun social trust bahwa Islam tidak sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum mayoritas.

Faktor lain adalah dengan selalu melakukan reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran klasik dan selanjutnya disesuaikan dengan situasi sosial dan budaya yang ada sehingga hilang akan kesan bahwa Islam adalah agama yang anti kemajuan, anti demokrasi, statis, dan sangar (adanya hukum potong tangan). Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kesadaran bahwa kaum minoritas adalah bagai tamu di negeri orang sehingga apabila ada keinginan harus didialogkan dan dikomunikasikan dengan tuan rumah sehingga akan tercipta keserasian. Mereka dapat melaksanakan tugasnya sebagai Muslim secara optimal tanpa harus bertabrakan dengan pemerintah atau bahkan membentuk negara bagian Muslim sendiri.

Nasib perempuan di Australia, baik pada bidang pendidikan maupun profesi ternyata lebih baik apabila dibandingkan dengan laki-laki, bahkan pada pos-pos tertentu yang selama ini diidentikkan dengan profesi laki-laki seperti insinyur dan arsitek. Keberhasilan ini tentu saja dipengaruhi oleh dua hal penting yaitu terbukanya wawasan di kalangan kaum Muslim sendiri dan adanya jaminan pemerintah yang konsisten sebagai negara demokrasi (Munjin, 2009: 140-157).

Di Western Sydney University (WSU) dan Charles Sturt University (CSU), khususnya di lembaga yang berafiliasi dengannya yang secara khusus untuk riset dan akademi Islam, yaitu Islam Science and Research Academy Australia (ISRA). Di WSU terdapat program major untuk Islamic studies pada tingkat diploma and bachelor. Di CSU-ISRA, terdapat program bachelor dan postgraduate untuk studi Islam. Perkembangan studi Islam di perguruan tinggi di Australia bukan saja dipengaruhi oleh konteks sejarah Islam di Australia dan dinamikanya di dunia Islam pada umumnya, akan tetapi juga sebagai respon atas tumbuhnya Islam dalam konteks yang lebih lokal dan spesifik seperti faktor demografi Australia.

WSU dan CSU berada di Sydney yang merupakan Kota Tua Australia, sebagaimana halnya Amsterdam di Belanda. Sebagai Kota Tua, Sydney menjadi sentral aktivitas masyarakat Australia. Posisi yang penting ini menjadikan Sydney menjadi salah satu kota tujuan pendatang, baik sebagai imigran, pekerja maupun mahasiswa. Alhasil, Sydney merupakan salah satu kota paling multikultural di Australia. Menurut data statistik tahun 2011, mayoritas pendudukan Australia memeluk agama Kristen (62%: Roman Katolik 25%, Anglikan 17%, Sekte Kristen lainnya 18%), tidak beragama (22%), Budha (2,5%), Islam (2.2%), Hindu (1.3%) dan Yahudi (0.5%) dari total penduduk yang berjumlah sekitar 22.500.000 jiwa tahun 2011. Pada thaun 2016, penduduk Australia berjumlah sekitar 23.900.000 akan tetapi belum tersedia data demografi agama.

Meski belum ada, kemungkinan besar peta prosentase demografi agama Australia saat ini tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dari data itu, masyarakat Sydney, yang masuk negara bagian New South Wales, adalah yang paling heterogen dari sisi etnis, budaya dan agama. Data statistik yang terakses pada tahun 2006 menunjukkan bahwa populasi umat Islam di wilayah Syndey cukup signifikan, yaitu 4.4%, sedangkan mayoritasnya adalah Katolik (29%), disusul oleh Anglikan (16%), Kristen Ortodoks (4.8%) dan diikuti minoritas lainnya, seperti Budha, Hindu dan Yahudi. Data di atas mengungkap demografi Muslim di Syndey sebagai minoritas dengan jumlah yang cukup signifikan dibanding dengan minoritas lainnya. 

Di Sydney terdapat beberapa kantung wilayah (enclave) Muslim dan beberapa masjid. Setidaknya ada belasan titik di wilayah tersebut dimana umat Islam memiliki tempat ibadah baik ukuran kecil/sedang (mushalla) maupun besar. Salah satu tempat ibadah umat Muslim di sana adalah Masjid Gallipolli di Auburn, Sydney, yang didirikan oleh komunitas Muslim Turki. Arsitek dan motif gambar atau kaligrafinya sangat dipengaruhi oleh seni pahat dan bangunan Turki Usmani. Bendera Turki juga menjadi salah satu ornament masjid, yang mampu menampung sekitar 3.000 jamaah. Selain warga Turki, Muslim lain dari Timur Tengah, India, Pakistan, Afghanistan, Bangladesh, Indonesia dan Rohingnya juga melaksanakan ibadah di tempat ini. Mayoritas mereka adalah immigrant dan menjadi penduduk atau pendatang bukan penduduk yang bekerja pada sektor non-kantoran. Mereka tinggal di sekitar Auburn, bagian pinggiran barat Sydney. Penduduk Muslim kebanyakan tinggal di wilayahwilayah pinggiran Barat Sydney ini, termasuk di Bankstown dan Lakemba. Di kampus WSU di Bankstwon terlihat banyak sekali mahasiswa Muslim dan mahasiswi perempuan yang berjilbab. Salah satu organisasi mahasiswa Muslim yang eksis adalah Muslim Student Association (MSA). Di dalam kampus WSU, sebagaimana kampus-kampus di Australia lainnya, terdapat mushalla.

Masjid Auburn, media-media Australia sering sekali mempropagandakan Islam sebagai agama yang menaburkan kekerasan. Tidak sedikit muncul stereotipe Muslim sebagai warga yang tidak ramah yang dibentuk dan dicitrakan lewat media masa. Beberapa tahun belakangan ini, terutama sekali semenjak paska peristiwa penyerangan World Trade Center/WTC di Amerika pada tanggal 11 September 2001 silam, Bom Bali pertama tahun 2002 yang banyak menelan korban warga negara Australia, Islam dan Muslim menjadi bahan sorotan media massa dunia, tak terkecuali di Australia. Sayangnya sebagian umat Islam sendiri tampaknya juga merespon peristiwa itu secara berlebihan sehingga tanpa mereka sadari ikut menyuburkan peran media yang haus akan informasi dan berita seputar masalah terorisme. Munculnya gerakan atau kelompok Islam garis keras yang berafiliasi atau mendukung al-Qaeda atau ISIS, dan secara terang-terangan mendukung aksi-aksi terror, telah menjadikan Islam dan penganutnya sebagai fenomena politik global yang dianggap mengancam keamanan dan demokrasi. Media coverage yang banyak mengenai Islam yang demikian sangat berpengaruh terhadap pencitraan Islam baik dalam skala nasional Australia maupun lokal di Sydney. Namun demikian, jika kita menengok everyday Muslim life di Sydney, sesungguhnya banyak hal lain yang bisa diekspos yang menunjukkan dinamika dan adaptasi mereka di Australia.

Selain ibadah, kegiatan sosial juga acapkali digelar di masjid. Di sini terdapat layanan pendidikan dan kesehatan. Ada bangunan di arena masjid untuk sekolah dasar. Arena olah raga (fitness) yang sederhana juga menyatu dalam arena masjid. Secara regular ada program pemeriksaan kesehatan secara gratis. Masjid dengan demikian berperan aktif sebagai pusat kegiatan sosial-keagamaan yang membina para anggotanya menjadi warga negara yang baik (good citizen). Kalau kita blusukan di daerah seputaran masjid, terutama di Auburn Center, maka dengan mudah kita mendapatkan banyak sekali restoran yang menyajikan makanan halal, baik rumah makan siap saji Kebab Turki, restoran Lebanon yang nyampleng sampai restoran Thailand. Toko-toko makanan atau restoran-restoran tersebut secara jelas menempelkan label halal. Konsumen makanan halal bukan saja warga etnis Muslim, tapi banyak juga dari kalangan warga kulit putih maupun lainnya. Pertumbuhan dan stabilitas ekonomi di Sydney dengan demikian tidak bisa lepas dari peran umat Islam.

Di sisi lain, permintaan yang tinggi atas semangat kerja dan pembagian jam kerja yang padat acapkali menimbulkan persoalan. Belum lagi menyangkut keterbatasan sarana dan fasilitas yang mengakomodir kepentingan ibadah umat Islam, seperti tempat wudhu dan shalat di tempat kerja. Persoalan-persoalan normativitas fiqh dan aktualisasinya di masyarakat urban “sekuler” berpengaruh besar terhadap tingkat keberagaman warga Muslim. Misalnya, pada saat penulis membeli kaos di sebuah lapak, penjualnya dengan enteng mengatakan dirinya sebagai Muslim. Dengan bahasa yang lugas dia juga mengakui sebagai Muslim yang kurang baik karena kadang-kadang ia melaksanakan shalat dengan tertib namun di lain waktu tidak mengingat beban dan tuntutan kerja yang keras dan padat. Sebagaimana penulis argumentasikan di bagian pendahuluan, kondisi lokal menyangkut pernikpernik kehidupan Muslim di Syndney seperti inilah dan wacana global dunia tentang Islam berpengaruh kuat terhadap studi Islam di Australia.

Salah satu pengaruh di atas bisa dilihat di Charles Sturt University berlokasi di Sydney, yang kampusnya menyebar beberapa kota lain di Australia. Pengaruh tersebut terrefleksikan dengan baik sekali dalam silabus dan matakuliah yang ditawarkan, seperti yang akan dijelaskan nanti. Program studi Islam di CSU bernama Centre for Islamic Studies and Civilization (http://artsed.csu.edu.au/centres/cisac). Struktur studi Islam dalam pusat-pusat studi atau centre semacam ini sangat lazim ditemui dibeberapa perguruan tinggi di Barat yang tidak memiliki departemen, fakultas atau jurusan khusus dalam studi Islam. Namun, karena minat kajian terhadap Islam dan budaya Muslim dan signifikansinya meningkat, maka studi Islam menjadi salah satu tawaran dan diakomodir dalam pusat-pusat studi, dan bukan dalam jurusan atau departemen. Strukturisasi semacam ini tentu akan memberikan warna yang berbeda ketika kajian itu terpusat dalam satu departemen atau jurusan. Karena, dalam konteks Sydney, komunitas Muslim sangat kuat dan banyak, maka akomodasi dalam pusat-pusat kajian (centre) kurang memadai. Di sinilah kemudian CSU menggandeng lembaga keislaman untuk mendirikan program studi khusus tentang Islam. Dalam situsnya dijelaskan bahwa Pusat Studi Islam dan Kebudayaan CSU bekerjasama dengan Islamic Science and Research Academy Australia/ISRA yang berdiri pada tahun 2009. Berlatar belakang pada usaha dialog antar agama dan integrasi Muslim dalam masyarakat Australia, ISRA kemudian tumbuh dan menjadi salah satu pusat riset dan studi Islam ternama di Australia. Pada saat mengunjungi kantor ISRA yang berada di wilayah Auburn, dekat dengan Masjid Gallipoli, penulis masuk ke ruangan yang berada di lantai tiga di salah satu gedung di dekat pusat aktivitas perekonomian di kota tersebut. Koleksi buku-buku di ruang utama dan perpustakaan dipenuhi dengan buku-buku induk keislaman dan terjemahan karya ulama klasik dalam bidang akidah, ibadah, fikih, akidah, sufi dan lain sebagainya. Ada kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Ada pula buku Principle of Islamic Jurisprudence karangan Hasyim Kamali dan lain sebagainya. Terlihat beberapa mahasiswi yang sedang belajar di ruangan tersebut disamping staf yang mayoritas perempuan. 

Sementara di WSU, terutama di Kampusnya di Bankstown, tidak ditemukan hal yang demikian. Meski boleh dibilang mahasiswa Muslim cukup banyak, kajian Islam di kampus ini berbeda dengan di CSU. Pada level diploma dan bachelor, WSU menawarkan program akademik studi Islam sebagai juruan utama (major). Disamping itu, terdapat kelompok penelitian yang fokus pada kajian agama dan masyarakat, yaitu Religion and Society Research Cluster, dimana studi-studi dan riset yang lebih intensif dan mendalam tentang agama dan budaya secara umum dalam leval sarjana, magister dan doktoral, diadakan dan dibina lebih intens. Kelompok yang lebih kecil dalam kluster ini bertemakan “Muslim in contemporary societies”. Sementara itu CSU menawarkan tiga level strata pendidikan dalam program studi Islam, yaitu sarjana, magister dan doktoral. Dalam situsnya, penjelasan yang sangat detail tersedia untuk program sarjana dan masters.

Untuk melihat sedikit lebih jauh studi Islam di dua perguruan tinggi tersebut, berikut akan ditampilkan dua data, yaitu, pertama, sillabus atau matakuliah yang ditawarkan dan, kedua, koleksi referensi perpustakaan yang terkait dengan Islam. Perbandingan Matakuliah program S1 Studi Islam WSU credit details of Bachelor of Arts (major in Islamic studies) CSU-ISRA Bachelor of Arts in Islamic Studies, dapat dilihat pada tabel berikut.

Diambil dari situs WSU dan CSU-ISRA dan diakses pada tanggal 25 September 2016.

Tabel matakuliah studi Islam di kedua perguruan tinggi di atas menggambarkan orientasi studi keislaman di dalamnya yang berbeda. Matakuliah tentang keislaman yang menjadi core subject di WSU adalah pengantar studi al-Qur’an dan hadis. Aspek lain yang diberikan tentang Islam adalah budaya dan sejarah modernnya. Artinya, pendekatan studi Islamnya lebih seimbang antara aspek normatif dan sejarah-praktis-nya, atau mungkin lebih menekankan aspek yang kedua karena ada matakuliah utama lainnya, seperti ke-Australia-an dan kemasyarakatan. Sepertinya, konseptor silabus ingin mahasiswa program studi Islam memeahami normativitas Islam dalam konteks masyarakat setempat dan dalam kerangka nasionalisme. Sementara di CSU-ISRA, matakuliah jurusan studi Islam didesian untuk menguasai hampir semua aspek dan bidang core subject studi Islam, mulai pengantar tafsir, hadis, hukum Islam, sejarah kenabian sampai usul fiqh. Hal ini dikarenakan di CSU-ISRA, studi Islam menjadi jurusan tersendiri dan tujuan pembelajarannya bukan sekedar untuk mendapatkan pengetahuan semata (kognitif), akan tetapi juga penguasaan dan aplikasinya. Seperti dijelaskan dalam situsnya, kompetensi yang ingin dicapai antara lain adalah pembangunan masyarakat Muslim dan sarjana yang menguasi ilmu-ilmu keislaman. Oleh karena itu, matakuliah yang sama dengan level kajian yang lebih mendalam diberikan pada program tingkat magister, dan, sepertinya juga, doktoral.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kampus CSU-ISRA juga berada di bagian kota Sydney yang paling heterogen dimana banyak etnis keturunan Arab, Asia Selatan serta etnis lainnya yang Muslim berdiam. Komunitas inilah sepertinya yang menjadi sasaran target menjadi mahasiswa di CSU-ISRA. Problematika yang mereka hadapi terkait dengan pemahaman dan penerapan Islam sebagai minoritas di Australia terakomodir dengan baik dalam silabus dan kompetensi CSU-ISRA. Generasi awal Muslim yang tinggal di wilayah ini adalah para immigrant yang telah telah banyak diantara mereka mengahsilkan generasi baru. Karena alasan pendidikan yang kurang atau kesibukan, anak-anak generasi baru ini tidak mendapatkan pendidikan agama yang cukup. Sementara mereka tidak ingan identitas agama dan budayanya hilang begitu saja. Dengan adanya program studi Islam di tingkat tinggi, yang menawarkan core ilmu-ilmu keislaman merupakan jawaban atas krisis identitas dan akademik warga Muslim Australia. Jelas sekali, oleh karena, studi Islam di lembaga ini merupakan respon kondisi masyarakat Muslim di negara tersebut. Sementara itu, di WSU, penulis tidak menemukan program studi Islam selain tingkat diploma dan bachelor meskipun ada informasi lainnya mengenai studi Islam strata magister dari National Centre of Excellence for Islamic Studies Australia (NCEIS) bahwa program Masters of Art by research dalam studi Islam ditawarkan di WSU, disamping di Universitas Melbourne dan Griffith.

Berikut adalah data koleksi perpustakaan di WSU dan CSU. Metode pengumpulannya dengan cara yang sangat bisa dilakukan oleh semua orang, yaitu masuk ke situs perpustakaan masing-masing dan kemudian menuliskan kata kunci Islam dan yang relevan dengannya dalam kolom pencarian. Hasil penelusuran tersebut adalah sebagai berikut: 

Data diakses langsung dari situs perpustakaan WSU dan CSU pada tanggal 26 September 2016.

Data kuantitatif di atas menunjukkan dengan jelas bahwa bahwa SCU memiliki lebih banyak koleksi referensi terkait Islam. Penulis tidak mengecek lebih lanjut masing-masing items tersebut. Namun biasanya ketika dicari koleksi tertentu dengan memasukkan kata kuncinya, maka akan keluar semua koleksi yang terkait dengannya, baik berupa buku, jurnal, laporan, manuskrip dan lain sebagainya yang tersimpan di perpustakaan yang bersangkutan. 

Dari delapan kata kunci yang dicari, hampir CSU memiliki referensi yang lebih banyak. Ini bisa terjadi, karena CSU memiliki program studi Islam dalam semua tingkat atau jenjang pendidikan. Jika sebuah universitas menyatakan membuka atau memiliki program studi tertentu, maka salah satu hal mendasar yang wajib dipenuhi adalah dukungan referensial yang kuat. Kualitas dunia dan lembaga pendidikan ilmiah salah satunya ditentukan oleh seberapa banyak koleksi referensi yang dimilikinya, disamping tentu saja ada faktor lain semisal reputasi dan keahlian staf pengajar, jumlah mahasiswa, kelengkapan laboratorium, keunggulan riset dan jumlah publikasi ilmiah. Meskipun hanya ada major dalam Islamic studies pada level diploma dan bachelor, koleksi referensi WSU juga sangat banyak. Ini membuktikan bahwa, dalam hal koleksi referensi terkait dengan satu agama yang tumbuh pesat seperti Islam, mereka tidak akan kekeringan bahan bacaan dan informasi lain terkait dengannya. 

Secara keseluruhan, studi Islam atau bahkan Islam di Indonesia sekalipun di pendidikan tinggi yang memiliki program studi Islam ataupun tidak di Australua tidak akan mengalami kelangkaan referensi. Bahkan, sangat mungkin jumlah koleksi yang mereka miliki jauh lebih banyak disbanding yang rata-rata dimiliki oleh masing-masing perguruan tinggi Islam di Indonesia. Kelebihan referensial inilah yang menjadi daya tarik tersendiri studi Islam di Australia. Bahkan kalau kita tarik dalam konteks studi Islam di Barat pada umumnya, maka di beberapa perpsutakaan di Eropa atau Amerika memiliki koleksi-koleksi referensi, buku, manuskrip atau benda sejarah yang tidak ditemukan di perpustakaan atau museum negara-negara Islam. Ini menjadi poin tambahan tersendiri studi Islam di Barat. Secara lebih spesifik kajian Islam di Australia lebih banyak dilakukan dalam disiplin social science and humanities, antropology dan sociology dalam isu dan konteks kontemporer keiIslaman. Sementara disiplin filsafat, sastra atau sejarah untuk kajian Islam lebih dominan di Eropa dan Amerika.

Terlihat jelas bagaimana kajian Islam, struktur dan desain pengkajian dan materi serta coursenya, di perguruan tinggi di Australia dipengaruhi bukan saja oleh wacana gobal tentang Islam dan Muslim, akan tetapi juga dibentuk sebagai respon atas kondisi, dinamika dan konteks lokal Muslim di Australia salah satunya studi Islam di WSU dan CSU-ISRA (Nasir, 2016: Pengalaman Western Sydney University dan Charles Sturt University, Bankstown, NSW, Australia).

4.    Pusat-pusat peradaban Islam di Australia

Sebelum kita kupas lebih lanjut mengenai pusat peradaban Islam di Australia. Kita flashback sebentar mengenai benua Australia. Australia adalah sebuah nama benua sekaligus negara yang terletak di sebelah selatan Indonesia. Siapa sangka, selama ini, penjelajah Inggris James Cook dianggap sebagai yang pertama kali menemukan Australia. Setelah dilakukan penelitian dan pengkajian mutakhir di Benua Kanguru itu, ada fakta mengejutkan bahwa ternyata pelaut Muslim-lah yang pertama kali menemukan benua itu.
Buku Muslim Melayu Penemu Australia yang ditulis oleh DR Teuku Chalidin Yacob, seorang tokoh masyarakat Muslim dan pendidikan Islam di Australia, mengungkap fakta tersebut. Dalam penelitiannya, DR Chalidin mengungkap sejumlah bukti menarik di balik penelitiannya. Di antara yang dibahas adalah waktu kedatangan Muslim Melayu di Australia, apa motif kedatangannya, hingga kegiatan dan kisah sukses mereka serta bagaimana mengatasi masalah yang dihadapinya. Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Mi'raj News Agency (MINA) Foundation pada akhir 2016 lalu ini mendapat sambutan luar biasa dari berbagai kalangan. Termasuk di dalamnya Dubes Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kosoema, hingga Presiden Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) Tan Sri Haji Mohd Ali bin Mohd Rustam. Nadjib Riphat menyatakan, interaksi aktif para pelopor dari Makassar (dalam beberapa literatur Australia disebut Macassan) terjadi sekitar awal abad ke- 15, jauh sebelum kedatangan bangsa pen jajah dari Eropa. Kenyataan ini menjadi menarik karena periode itulah yang menjadi awal berkenalannya penduduk asli Australia dengan para pelaut Mus lim dari Sulawesi yang membawa serta budaya dan tradisi mereka.

Pada abad ke-17, sejumlah petualang Belanda mendarat di pantai utara dan barat benua Australia.Para petualang itu kemudian menyebutnya dengan New Holland. Tetapi, mereka tidak menetap di situ, hanya singga. Sementara itu, orang kulit putih pertama yang mendarat di wilayah itu adalah Kapten James Cook yang mendarat di Pantai Timur (sekarang Sydney dan New South Wales) dan mengklaim wilayah itu sebagai wilayah Inggris. Jauh sebelum itu, orang-orang Aborigin (suku asli Australia berkulit hitam) sudah diam dan tinggal di sana. Aborigin yang memang sudah menetap di sana sejak beribu tahun lamanya sudah menyatakan bahwa wilayah itu adalah milik mereka sendiri. Pada 1788, tepatnya setelah Kapten James Cook mendarat di Botany Bay (sekarang Sydney), para pendatang yang merupakan narapidana Inggris membentuk koloni yang kemudian disebut dengan New South Wales. Pada tahun itu juga rombongan Inggris terus berdatangan untuk mencari tempat tinggal baru.Australia, sedikit de mi sedikit, dikuasai oleh orang kulit pu tih, khususnya dari kerajaan Inggris Raya.

Muslim Melayu Penemu Australia lahir dari sebuah tesis yang ditulis pada 2009 lalu untuk memperoleh gelar doktor dari University Malaya (UM) ini mengungkap sejumlah penemuan penting. Terdapat beberapa bukti arkeologis yang menyebutkan bahwa orang-orang Muslim Melayu dari Bugis Makassar sudah berada di sana. Keberadaan orang-orang Muslim Melayu di sana dalam misi perdagangan internasional, mencari teripang (gamat)di Perairan Utara Australia. Hasil buruannya itu kemudian dijual ke Cina Selatan, salah satunya untuk bahan dasar obat-obatan dan makanan.

Sebagaimana pernyataan DR Steven Farram, dosen sejarah North Australia dan ASEAN dari Charles Darwin Univer sity (CDU), bahwa orang-orang Makassar tak semata-mata hanya mengambil Teripang, mereka juga mengenalkan sejumlah barang-barang yang tergolong baru dikenal masyarakat Aborigin. Sejarawan Australia dari Universitas Griffith, Brisbane, Prof Regina Ganter menulis dalam bukunya Mixed Relationa: Asian-Aborginal Contact in North Autraliamenyatakan bahwa kedatangan Muslim Melayu di Australia sejak 1650. Mereka membangun industri pengolahan Teripang di wilayah utara Australia (Sasongko, 2017: REPUBLIKA.CO.ID)

Selain kekayaan alamnya Australai ternyata juga menyimpan harta yang tak kalah penting yaitu beberapara pusat peradaban Islam. Di benua Kanguru atau yang biasa dipanggil benua Australia diantara ada pusat-pusat peradaban Islam di Australia, yaitu: 
 1) Masjid
Masjid pertama di Australia didirikan di Marree di sebelah utara Australia Selatan pada 1861. Masjid besar pertama dibangun di Adelaide pada 1890, dan satu lagi didirikan di Broken Hill (New South Wales) pada 1891. Masjid Marree, masjid pertama di Australia (sumber: travel.detik.com)
Pada abad 20 M perkembangan masjid-masjid di Australia cukup menggembirakan, karena dibuat oleh arsitek Australia sendiri, seperti Brisbone tahun 1907 didirikan mesjid yang indah oleh arsitek sharif Abosi dan Ismeth Abidin. Tahun 1967 di Quesland didirikan masjid lengkap dengan Islamic Center dibawah pimpinan Fethi Seit Mecca. Tahun 1970 di Mareeba diresmikan masjidyang mampu menampung 300 jamaah denganimam Haji Abdul Lathif. Di kota Sarrey Hill dibangun Masjid Raya Faisal bantuan Saudi Arabia. Di Sidney dibangun masjid dengan biaya 900.000 dollas AS.
2) Pendidikan 
Di Brisbone didirikan “Quesland islamic society”. Pelajarnya bukan hanya dari Autraslia tetapi juga Indonesia, Turki, Pakistan, Afrika, Lebanon, India. Dan didirikan pula sekolah yang melahirkan guru-guru muda di Goulbourn. Pendidikan Islam di Australia diselenggarakan dengan tujuan agar dapat melestarikan pertumbuhan kehidupan agama Islam. Oleh karena itu, di Brisbane didirikan Queesland Islamic Society yang bertujuan menyadarkan anak-anak Muslim untuk melakukan shalat dan hubungan baik sesama manusia. Mereka selama 5-15 tahun menerima pelajaran al- Qur’an dan tata kehidupan secara Islam. Pelajar terdiri atas anak-anak dari Indonesia, India, Pakistan, Turki, Afrika, Libanon, dan Australia. (sumber: www.iscq.com.au) 
Sekolah Islam di Australia (sumber: BSE Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013, hal 178)
3) Organisasi Islam
Australian Federation of Islamic Councils (AFIC), himpunan dewan-dewan yang berpusat di sydney. Federation of Islamic Societies, himpunan masyarakat muslim terdiri dari 35 organisasi masyarakat muslim lokal dan 9 dewan islam negara-negara bagian. Moslem Student Asociation, himpunan mahasiswa muslim yang menerbitkan majalah “Al-Manaar”. Moslem Women Center, yang bertujuan memberikan pelajaran keislaman dan bahasa inggris bagi masyarakat muslim yang baru datang ke Australia.

@menzour_id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar