A. Perkembangan
Islam di Afrika
1. Sejarah
masuknya Islam di Afrika
Salah
satu guru besar sejarawan Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat
adalah Nezar al-Sayyad. Beliau mengungkapkan, ada beberapa faktor yang
mendorong bangsa Arab melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah di luar Arab.
Diantara faktor tersebut antara lain untuk menjalankan misi Ilahiah dalam
menyebarkan syiar Islam, memelihara kekuasaan politik di bawah kontrol kelompok
elite Arab, serta mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam di tanah yang
telah ditaklukkan. Kendati demikian, ekspansi oleh bangsa Arab tidak selalu
menghadapi konfrontasi di wilayah-wilayah yang mereka taklukkan. Seperti di
Damaskus dan Sisilia, dominasi bangsa Arab di sana justru membawa dampak yang
jauh lebih positif dibandingkan eksploitasi yang kerap dilakukan oleh rezim Bizantium
(Romawi Timur) pada masa-masa sebelumnya.
Artikel:https://www.republika.co.id/berita/duniaislam/dunia/19/03/04/pnu0hy313-islam-di-afrika-terus-berkembang-dantantangannya
Sebaliknya,
penetrasi Islam di wilayah sub-Sahara Afrika yang terjadi sekitar abad ke-9,
justru bukan melalui misi penaklukan, melainkan karena adanya hubungan
perdagangan. Pada zaman itu, wilayah tersebut memang termasuk salah satu
kawasan yang lazim dilintasi oleh para kafilah dagang. Al-Sayyad menjelaskan,
ada dua rute perdagangan yang ikut membentuk pengaruh Islam di Afrika Barat.
Yang pertama adalah jalur yang menghubungkan negeri-negeri Maghribi (Maroko,
Aljazair, Tunisia, dan Libya) dengan pusat-pusat perdagangan emas Berber-Afrika
seperti negeri Soninke (sekarang Negara Ghana). Jalur perdagangan lainnya
adalah rute timur yang menghubungkan Sudan Tengah, Kanem, Bornu, serta
Negara-negara Hausa dengan Libya, Tunisia, dan Mesir. Meskipun terdiri dari
berbagai daerah dan etnis, tapi salah satu faktor pemersatu Islam di Afrika adalah
dominasi mazhab Maliki yang kebanyakan diikuti oleh masyarakat negeri-negeri
Maghribi.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=m0cmvIM_Awg
Setelah
Islam berkembang di kawasan sub-Sahara, raja-raja di Afrika mulai menerima kaum
Muslim. Bahkan, tak sedikit raja-raja itu memeluk Islam dan mengubahnya menjadi
kerajaan Islam. Dengan munculnya dinasti-dinasti Islam, perkembangan Islam dan
peradabannya semakin pesat di kawasan Afrika Barat. Diantara dinasti-dinasti
Islam tersebut yaitu:
a. Kekaisaran
Ghana
Salah
satu kerajaan pertama yang bisa menerima Islam di Afrika Barat adalah
Kekaisaran Ghana (830-1235 M). Kerajaan itu berada Mauritania dan Mali bagian
barat. Menurut Prof. A. Rahman I Doi, keberadaan Kekaisaran Ghana sempat
ditulis oleh geografer Muslim bernama al-Bakri dalam kitab Fi Masalik wal
Mamalik. Menurut al-Bakri, pada 1068 M Kerajaan Ghana telah mencapai kemajuan.
Secara ekonomi, negara itu begitu kaya dan makmur. Raja Kekaisaran Ghana sudah
mempekerjakan Muslim sebagai penerjemah. Tak hanya itu, sebagian besar menteri
dan bendahara negara adalah umat Islam. Al-Bakri pun melukiskan perkembangan
Islam di Kekaisaran Ghana pada abad ke-11 M dengan seuntai kata. Kota Ghana
memiliki dua kota yang terletak pada sebuah dataran, salah satunya dihuni umat Islam
dalam jumlah yang banyak. Komunitas ini memiliki 12 masjid yang biasa digunakan
untuk shalat Jumat. Setiap masjid memiliki imam, muazin, serta para pembaca
Alquran. Kota Muslim itu banyak memiliki ahli hukum, pengacara, dan orang-orang
pintar.
b. Dinasti
Za di Gao
Dinasti
Za berbasis di Kota Kukiya dan Gao di Sungai Niger River sekarang dikenal
sebagai Mali modern. Dinasti itu didirikan Za Alayaman pada abad ke-11 M.
Pendiri raja itu berasal dari Yamen dan menetap di Kota Kukiya. Dinasti itu
berubah menjadi kerajaan Islam setelah pada 1009-1010 M, Za Kusoy penguasa
ke-15 memeluk Islam. Kerajaan itu ditaklukkan Kekaisaran Mali pada awal abad
ke13 M.
c. Kekaisaran
Mali
Menurut
sejarawan Margari Hill dari Stanford University, Kerajaan Mali didirikan oleh
Raja Sunjiata Keita. Ia bukanlah seorang Muslim. Raja Mali pertama yang masuk
Islam adalah Mansa Musa (1307-1332). Ia menjadikan Islam sebagai agama resmi
kerajaan,” ujar Hill. Di era kepemimpinan Mansa Musa, Kekaisaran Mali mengalami
masa keemasan. Pada 1325 M, Timbuktu mulai dikuasai Kaisar Mali, Mansa Mussa
(1307-1332). Raja Mali yang terkenal dengan sebutan Kan Kan Mussa itu begitu
terkesan dengan warisan Islam di Timbuktu. Sepulang menunaikan haji di Makkah,
Sultan Musa membawa seorang arsitek terkemuka asal Mesir bernama Abu Es Haq Es
Saheli. Sang sultan menggaji arsitek itu dengan 200 kilogram emas untuk
membangun Masjid Jingaray Bermasjid untuk shalat Jumat.
Sultan
Musa juga membangun istana kerajaannya atau Madugu di Timbuktu. Pada masa
kekuasaannya, Musa juga membangun masjid di Djenne dan masjid agung di Gao
(1324-1325) M. Kini tinggal tersisa fondasinya saja. Kerajaan Mali mulai
dikenal di seluruh dunia ketika Sultan Musa menunaikan ibadah haji di Tanah
Suci, Makkah pada 1325 M. Sebagai penguasa yang besar, dia membawa 60 ribu
pegawai dalam perjalanan menuju Makkah. Hebatnya, setiap pegawai membawa tiga
kilogram emas. Itu berarti dia membawa 180 ribu kilogram emas. Saat Sultan Musa
dan rombongannya singgah di Mesir, mata uang di Negeri Piramida itu langsung
anjlok. Pesiar yang dilakukan sultan itu membuat Mali dan Timbuktu mulai masuk
dalam peta pada abad ke-14 M.
Kesuksesan
yang dicapai Timbuktu membuat seorang kerabat Sultan Musa, Abu Bakar II,
menjelajah samudra dengan menggunakan kapal. Abu Bakar dan tim ekspedisi
maritim yang dipimpinnya meninggalkan Senegal untuk berlayar ke Lautan
Atlantik. Pangeran Kerajaan Mali itu kemungkinan yang menemukan benua Amerika.
Hal itu dibuktikan dengan keberadaan bahasa, tradisi, dan adat Mandika di
Brasil.
d. Kekaisaran
Songhay
Islam
mulai menyebar ke wilayah Kekaisaran Songhay pada abad ke-11 M. Menurut Prof
Rahman, negara Songhay amat kaya karena pengaruh perdagangan dengan Gao. Pada
abad ke-13, kerajaan itu sempat dikuasai Kekaisaran Mali. Namun, pada akhir
abad ke-14 bisa melepaskan diri ketika dipimpin oleh Sunni Ali. Di bawah
kepemimpinan Raja Sunni Ali, pada periode 1464-1492 wilayah barat Sudan pun
sempat dikuasai Kekaisaran Songhay. Kota Timbuktu dan Jenne yang dikenal
sebagai pusat peradaban Islam juga dikuasai Sunni Ali pada 1471-1476.
Sunni
Ali adalah seorang Muslim. Namun, ia tetap mempraktikkan tradisi lokal dan
magis. Ia kerap menghukum ulama dan cendekiawan Muslim yang mengkritisinya
karena mempraktikkan kepercayaan pagan. Umat Islam dan ulama Muslim di Timbuktu
bergembira setalah Sunni Ali meninggal.
e. Dinasti
Asykiya
Posisinya
diganti oleh Sunni Barou. Aski Muhammad Toure (Towri), seorang jenderal
Songhay, meminta Barou untuk mengucap sumpah dengan cara Islam sebelum memimpin
kerajaan, namun menolaknya. Muhammad Toure menggulingkannya dan mendirikan
Dinasti Askiya. Pada masa kepemimpian Muhammad Toure, Islam kembali berjaya. Ia
menerapkan hukum Islam, juga melatih dan mengangkat hakim-hakim baru. Muhammad
Toure melindungi dan membiayai para ilmuwan, ulama, dan cendekiawan Muslim.
Mereka yang berprestasi dalam bidang intelektual dan agama diberi hadiah yang
melimpah.
Sultan
Muhammad Toure pun sangat dekat dengan ulama dan cendekiawan terkemuka Muhammad
al-Maghilli. Sang sultan juga mendukung pengembangan Universitas Sankore-universitas
Islam pertama di Afrika Barat. Sama seperti Mansa Musa Sultan Mali, Askia
Muhammad juga sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah. Ia dikenal memiliki
kedekatan dengan ulama dan penguasa di negara-negara Arab. Di Makkah, ia
disambut penguasa Arab. Ia juga mendapat hadiah pedang dan gelar Khalifah Sudan
Barat. Sekembalinya dari Makkah pada 1497, ia menggunakan gelar al-Hajj pada
namanya. Wilayah sub-Sahara Afrika Barat pernah menjadi saksi kejayaan
peradaban Islam. Di wilayah yang dikenal dengan sebutan Bilad al-Sudan itu
sempat berdiri dinasti-dinasti Islam. Bahkan, di kawasan Afrika Barat juga
pernah berdiri perguruan tinggi berkelas dunia bernama Universitas Sankore.
Prof
A Rahman I Doi dalam tulisannya bertajuk Spread Islam in West Africa,
mengungkapkan, “Islam mencapai wilayah Savannah (Afrika Barat) pada abad ke-8
M. Ajaran Islam mulai diterima oleh Dinasti Dya’ogo dari Kerajaan Tekur pada
awal 850 M,’’ ungkap guru besar pada berbagai universitas di Afrika itu. Fakta
itu terungkap dari catatan sejarawan dan penjelajah Muslim di era keemasan
Islam, seperti Al-Khwarzimi, Ibnu Munabbah, Al-Masudi, Al-Bakri, Abul Fida,
Yaqut, Ibnu Batutah, Ibnu Khaldun, Ibnu Fadlallah al-’Umari, Mahmud al-Kati,
Ibnu al Mukhtar, dan Abd alRahman al-Sa’di.
Margari
Hill, sejarawan dari Stanford University, menjelaskan, Islam menyebar di Afrika
Barat secara bertahap dan kompleks. Ada tiga tahap sejarah yang telah dilalui
Islam di wilayah sub-Sahara. Ketiga tahap sejarah itu adalah tahap penahanan,
pembauran, dan reformasi. Pada tahap pertama, raja-raja Afrika menahan atau
membendung pengaruh Muslim dengan memisahkan komunitas Muslim. Pada tahap
kedua, penguasa Islam Afrika mencampur Islam dengan tradisi lokal. Pada tahap
ketiga, Muslim Afrika ditekan melakukan reformasi untuk menyingkirkan kebiasaan
mencampur tradisi lokal dan Syariah sehingga umat Islam menjalankan ajaran
Islam secara benar.
Dinasti
Dya’ogo merupakan orang Negro pertama yang menerima Islam di Afrika Barat.
Karenanya, para sejarawan Muslim menyebut wilayah Kerajaan Tekur dengan julukan
Bilad al-Tekur atau Tanah Muslim Hitam”. Ajaran Islam, menurut Prof Rahman-mengutip
catatan Ibnu Munabbah yang bertarikh 738 M dan Al-Masudi pada 947-masuk dan
berkembang di wilayah Afrika Barat melalui jalur perdagangan.
Ketika
Islam telah menyebar, di Kota Timbuktu, Mali, telah berdiri sebuah perguruan
tinggi berkelas dunia, Universitas Sankore. Pada abad ke-12, jumlah mahasiswa
yang menimba ilmu di Universitas Sankore mencapai 25 ribu orang. Universitas
Sankore diakui sebagai perguruan tinggi berkelas dunia. Karena, lulusannya
mampu menghasilkan publikasi berupa buku dan kitab yang berkualitas. Buktinya,
baru-baru ini di Timbuktu, Mali, ditemukan lebih dari satu juta risalah. Selain
itu, di kawasan Afrika Barat juga ditemukan tak kurang dari 20 juta manuskrip.
Sejarawan Abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu dalam buku
yang ditulisnya. Begitu banyak hakim, doktor, dan ulama di sini (Timbuktu).
Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad-penguasa
Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat belajar,”
tutur Africanus.
Di
era keemasan Islam, ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di
Timbuktu. Rakyat di wilayah itu begitu gemar membaca buku. Menurut Africanus,
permintaan buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang berlomba membeli dan
mengoleksi buku. Alhasil, perdagangan buku di kota itu menjanjikan keuntungan
yang lebih besar dibanding bisnis lainnya.
6)
Dinasti Islam di Afrika Barat 7) Dinasti Sayfawa (1075-1846 M) 8) Kekaisaran
Mali (1230-1600 M) 9) Dinasti Keita (1235 -1670 M) 10) Kerajaan Bornu (1396-1893 M) 11) Kerajaan Baguirmi (1522-1897 M) 12) Kerajaan Dendi
(1591-1901 M) 13) Kesultanan Damagaram (1731-1851 M) 14) Kerajaan Fouta Tooro (1776-1861 M) 15) Kekhalifahan
Sokoto (1804-1903 M) 16) Kerajaan Toucouleur (1836-1890 M)
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=AMcELwXLUWo
Penyebaran
agama Islam di Afrika, khususnya Afrika Selatan dimulai dengan
pertemuanpertemuan secara sembunyi-sembunyi dengan para budak. Agama Islam
masuk ke daratan Afrika pada masa Khalifah Umar bin Khattab, waktu Amru bin Ash
memohon kepada Khalifah untuk memperluas penyebaran Islam ke Mesir lantaran dia
melihat bahwa rakyat Mesir telah lama menderita akibat ditindas oleh penguasa
Romawi dibawah Raja Muqauqis. Sehingga mereka sangat memerlukan uluran tangan
untuk membebaskannya dari ketertindasan itu. Muqauqis sesungguhnya tertarik
hendak masuk Islam setelah menerima surat dari Rasulullah SAW. Namun, karena
lebih mencintai tahtanya maka sebagai tanda simpatinya beliau kirimkan hadiah
kepada Rasulullah SAW.
Selain
alasan di atas, Amru bin Ash memandang bahwa Mesir dilihat dari kacamata
militer maupun perdagangan letaknya sangat strategis, tanahnya subur karena
terdapat sungai Nil sebagai sumber makanan. Maka dengan restu Khalifah Umar bin
Khattab dia membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi pada tahun 19 H (640 M)
hingga sekarang. Dia hanya membawa 400 orang pasukan karena sebagian besar
diantaranya tersebar di Persia dan Syria. Berkat siasat yang baik serta
dukungan masyarakat yang dibebaskannya maka ia berhasil memenangkan berbagai
peperangan. Mula-mula memasuki kota Al-Arisy dan dikota ini tidak ada
perlawanan, baru setelah memasuki Al-Farma yang merupakan pintu gerbang
memasuki Mesir mendapat perlawanan, oleh Amru bin Ash kota itu dikepung selama
1 bulan.
Setelah
Al-Farma jatuh, menyusul pula kota Bilbis, Tendonius, Ainu Syam hingga benteng
Babil (istana lilin) yang merupakan pusat pemerintahan Muqauqis. Pada saat
hendak menyerbu Babil yang dipertahankan mati-matian oleh pasukan Muqauqis itu,
datang bala bantuan 4.000 orang pasukan lagi dipimpin empat panglima kenamaan,
yaitu Zubair bin Awwam, Mekdad bin Aswad, Ubadah bin Samit dan Mukhollad
sehingga menambah kekuatan pasukan muslim yang merasa cukup kesulitan untuk
menyerbu karena benteng itu dikelilingi sungai. Akhirnya, pada tahun 22 H (642
M) pasukan Muqauqis bersedia mengadakan perdamaian dengan Amru bi Ash yang
menandai berakhirnya kekuasaan Romawi di Mesir. Pembahasan mengenai masuk dan
berkembangnya Islam di Afrika mencakup beberapa wilayah negara yaitu Mesir,
Libia, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Nigeria, Mali, Pantai Gading, Sudan,
Ethiopia, Kenya, Zambia dan lain-laannya.
2. Strategi
dakwah dan perkembangan Islam di Afrika
Pada tahun ke-5 dari kenabian, Rasulullah SAW
memerintahkan beberapa orang sahabatnya (berjumlah 15 orang: 11 laki-laki dan 4
wanita) untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia). Hijrah ini dipimpin oleh Usman
bin Maz’un yang bertujuan untuk menghindari penyiksaan-penyiksaan dan
menyelamatkan diri dari kaum kafir Quraisy serta mendakwahkan agama Islam.
Selain itu, pada sekitar tahun ke-6 Hijrah, Nabi SAW mengutus sahabatnya Hatib
bin Abi Balta’ah untuk menyampaikan surat dakwah (seruan masuk Islam) kepada
Muqauqis (penguasa Mesir, Gubernur Romawi Timur). Islam akhirnya mulai menyebar
ke negara-negara Afrika Utara serta terjadi proses Islamisasi. Hal ini terjadi
sekitar abad 7 – 8 M.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=Aopx1gHusEY
Adapun
di Afrika Timur, faktor Islamisasi tampak jelas dengan kedatangan dan ekspansi
Islam ke Afrika Selatan, antara lain dilakukan oleh para budak Melayu yang
dibawa oleh orang-orang Eropa ke wilayah itu. Setelah dibebaskan dari Pulau
Robben, tak jauh dari Cape Town, pada tahun 1793, Imam Abdullah membuat petisi
pertamanya untuk pembangunan masjid. Saat itu, petisi tersebut sempat mendapat
penolakan meski akhirnya memperoleh izin dari Pemerintah Hindia Belanda untuk
mendirikan masjid. Ia pun menulis sebuah buku tentang yurisprudensi Islam pada
1781 dalam bahasa Melayu dan Arab. Judul buku itu adalah Ma’rifa alIslam wa
alIman. Buku ini memberi pengaruh sosial dan keagamaan yang besar di kalangan
komunitas Muslim di Cape Town. Pada 1793, Imam Abdullah membangun sekolah
Muslim pertama. Lokasinya di Dorp Street, Bokaap, yang akhirnya menjadi bagian
dari Masjid Auwal, masjid pertama di Cape Town. Pada 1825, sekolah ini memiliki
491 siswa, sebagian besar dari kalangan budak negro. Di kemudian hari, sekolah
inilah yang melahirkan orang-orang Afrika Arab yang memahami bahasa Arab.
Setelah Imam Abdullah wafat, kepemimpinan sekolah ini dilanjutkan oleh Imam
Achmat van Bengalen.
Pada
masa awal kedatangannya di Cape Town, Islam adalah agama yang diawasi secara
ketat oleh penguasa. Pemerintah Hindia Belanda secara tegas melarang aktivitas
Islam di tempat umum, meski ibadah pribadi diperbolehkan. Tak ada komunitas
Muslim yang diizinkan untuk melakukan perkumpulan. Mengingat kondisi itu, ulama
seperti Imam Abdullah, Syaikh Yusuf, dan juga lainnya menggunakan rumah mereka
sebagai tempat untuk belajar Islam. Mereka berusaha keras mempertahankan
keberadaan Islam di Cape Town. Beruntung, pembatasan ini kian lama kian surut.
Pada 1770, di rumah seorang budak yang dibebaskan bernama Mohammodan, secara
rutin diselenggarakan pertemuan. Dalam pertemuan itu, mereka yang hadir
membaca, shalat, dan mempelajari ayat-ayat al-Quran.
Pada
25 Juli 1804, Islam secara resmi tak lagi menjadi agama yang dilarang. Warga
setempat pun bebas memilih agama yang diyakininya. Sementara, para ulama bisa
berdakwah secara leluasa. Penyebaran Islam di Benua Afrika tidak terlepas dari
persaingan antara Islam dan Kristen, serta antara Islam dan westernisasi
sekuler. Walaupun begitu, Islam di benua Afrika tetap berkembang ke arah yang
lebih maju, baik kuantitas maupun kualitas. Di Benua Afrika banyak negara yang
penduduknya mayoritas Islam, seperti: Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko,
Sahara Barat, Mauritania, Mali, Nigeria, Senegal, Gambia, Guinea, Somalia, dan
Sudan. Sedangkan negara-negara di Benua Afrika yang minoritas Islam adalah:
Zambia, Uganda, Mozambique, Kenya, Kongo, dan Afrika Selatan.
Azan
Asar berkumandang dari Masjid Auwal di daerah Bo-Kaap, Cape Town. Belasan orang
kemudian datang ke mesjid yang tidak begitu besar tersebut. Masjid Auwal adalah
masjid pertama yang dibangun di Afrika Selatan pada tahun 1794. Bangsa
Indonesia harus bangga karena masjid ini dibangun oleh orang Indonesia yang
bernama Imam Abdullah Kadi Abdus Salaam, atau yang lebih terkenal dengan
julukkan Tuan Guru. Tuan Guru adalah orang Indonesia kedua yang menyebarkan
Islam di Afrika Selatan setelah Syech Yusuf. Keduanya memiliki nasib yang sama,
dibuang Belanda di benua Afrika. Syech Yusuf dibuang ke Cape Town pada 1693 dan
meninggal di pengasingan pada 23 Mei 1699. Sementara itu, Tuan Guru, Pangeran
Tidore dari Kepulauan Ternate yang lahir pada 1712, ditangkap karena menentang
Belanda dan diasingkan ke Robben Island di Cape Town pada 6 April 1780 bersama
dengan tiga orang rekannya yaitu Abdul Rauf, Badroedin, dan Nur Al-Iman.
Selama
dalam pengasingan selama 13 tahun, Tuan Guru menulis buku antara lain
Ma'rifatul Islami wal Imani yang diselesaikannya pada 1781. Buku tersebut
berbahasa Melaju tetapi berhuruf Arab. Tuan Guru juga menulis Alquran dengan
tangannya sekitar 600 halaman. Setelah era Alquran cetak, baru diketahui
Alquran tulisan tangan Tuan Guru memiliki sedikit kesalahan. Setelah bebas dari
pengasingan, Tuan Guru menikah dengan Kaija van de Kaap dan tinggal di Dorp
Street, Cape Town. Dari pernikahan tersebut, lahir Abdol Rakief dan Abdol Rauf,
yang juga sangat berperan dalam penyebaran Islam di Afrika Selatan. Di sebuah
gudang di tempat tinggal yang baru inilah Tuan Guru mendirikan madrasah, yang
juga merupakan sekolah muslim pertama di Afrika Selatan. Sekolah ini sangat
popular di kalangan budak dan komunitas warga kulit hitam nonbudak. Sekolah ini
juga menjadi tempat lahirnya ulama-ulama Afrika Selatan ketika itu seperti
Abdul Bazier, Abdul Barrie, Achmad van Bengalen, dan Imam Hadjie. Murid Tuan
Guru ketika itu mencapai 375 orang.
Pada
1793, Tuan Guru mengajukan permintaan untuk membangun masjid pada 1794 kepada
pemerintah Afrika Selatan yang saat itu dikuasai Belanda. Permintaan Tuan Guru
ditolak. Belanda takut perkembangan Islam akan menganggu kekuasaannya. Bahkan,
penjajah Belanda di Afrika Selatan juga melarang penyelenggaraan ibadah Islam.
Namun, Tuan Guru menentang kebijakan Belanda tersebut. Walau pembangunan masjid
dilarang, Tuan Guru tetap menggelar Salat Jumat di tempat terbuka tersebut,
yang juga tercatat sebagai Salat Jumat pertama yang dilakukan secara terbuka di
Afrika Selatan.
Ketika
Afrika Selatan dikuasai Inggris pada 1795, Jenderal Craig mempersilakan warga
Muslilm untuk membangun masjid. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan Tuan
Guru. Dia langsung membangun masjid di tempat yang semula menjadi madrasah
tersebut. Masjid inilah yang kemudian dinamai Masjid Auwal, mesjid pertama di
Afrika Selatan. Tuan Guru meninggal pada 1807 yang dikebumikan pada 1807 di
Tana Baru, yang juga merupakan tempat pemakaman Muslim pertama yang dibangunnya
di Afrika Selatan. Sekarang ini, Masjid Auwal berdiri di kawasan bisnis dekat
Waterfront. Masjid tersebut berada di kawasan penduduk padat dan tidak memiliki
halaman. satu-satunya yang membedakan adalah gerbang masjid.
Masjid
Auwal beberapa kali dipugar. Namun, dinding asli yang terdiri atas batu gunung,
masih terdapat di dekat mimbar masjid tersebut. Imam Mesjid Auwal sekarang ini,
Moehammed Fadil Soekr mengatakan sangat bangga dengan keberadaan masjid ini.
Menurut Soekr, selama zaman apartheid, setiap warga Muslim tidak leluasa
menjalankan ibadahnya.
Ketika
apartheid runtuh pada 1994, Nelson Mandela datang ke Masjid Auwal ini dan
mempersilakan warga Muslim untuk menjalankan ibadahnya. "Setelah
apartheid, perkembangan Islam berjalan cepat. Daerah sekitar Bo-Kaap, hampir 90
persen penduduknya sekarang muslim," ujar Soekr. Soekr yang mengaku
sebagai warga Cape Malays, keturunan Indonesia di Afrika Selatan, mengatakan
sangat ingin mengunjungi Indonesia. "Indonesia adalah tempat asal nenek
moyang saya. Jika punya uang, saya ingin ke sana. Indonesia selalu speasial di
mata saya," ujarnya.
3. Tokoh-tokoh
ilmu pengetahuan Islam di Afrika
Keberadaan
Islam di benua Afrika telahmembuat penduduk Afrika semakin meningkat keinginan
umat muslim yang ada disana untuk mendalami ajaran Islam. Selain itu juga
muncul tokoh tokoh Islam yang menjadi pembaharu di benua Afrika. Diantara tokoh
tokoh muslim yang ada tersebut diantaranya adalah sebagai berikut ini:
a. Al-Qalbisi
Al-Qabisi
nama aslinya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Khalaf al Ma’rif al-qobisi,
beliau lahir di daerah kairawan,Tunisia pada bulan rajab tahun 224 H/tanggal 13
Mei 936 M. Ia pernah merantau ke timur tengah selama 5 tahun, kemudian ia
kembali ke negeri asalnya dan meninggal dan dunia pada tanggal 3 Rabiul Awal
403 H/Tangga 23 oktober 1012 M. Ibn Khalikan berpendapat, alQabisi dilahirkan
pada hari Senin setelah hari hari yang kedua bulan Rajab tahun 324 H. Sedangkan
alSayuthi, Ibn al-„Imad al-Hanbali ibn Fadhlullah al-Umari, dan Abd al-Rahman
tidak menyebutkan tentang hari kelahirannya, akan tetapi mereka sepakat bahwa
al-Qabisi dilahirkan pada tahun 324 H. bertepatan dengan 935 M. (Al-Ahwani,
1955: 21-25)
Menurut
catatan sejarah, bahwa pada masa khalifah Umar bin Khaththab tentara Islam
telah sampai ke Afrika Utara bagian Tarablis yang dipimpin oleh Amru bin Ash,
kemudian dilanjutkan pada masa khalifah Utsman bin „Affan yang dipimpin oleh
Abdullah bin Said bin Abi Sarah. Pada masa inilah tentara Islam telah sampai ke
Qairawan kota kelahiran al-Qabisi. Penaklukan Afrika Utara berakhir pada masa
Khalifah Muawiyah, khalifah mengutus 10.000 tentara kaum muslimin yang dipimpin
oleh Uqbah bin Nafi’.
Ketika
Abdul Malik bin Marwan diangkat menjadi Khalifah ia mengutus Zuhair bin Qais
untuk memerangi suku Barbar, kemudian Zuhair kembali memasuki Afrika dan
Qairawan, kemudian Abdul Malik bin Marwan memerintahkan Hasan bin Ni‟man
al-Ghasani untuk memperkuat tentara kaum muslimin dan menetap tinggal di sana
bersama kaum muslimin lainnya untuk berkhidmat bagi negeri tersebut dan
menyiarkan agama Islam. Maka kaum muslimin yang pertama membawa Islam dan
berkhidmat di Afrika Utara ialah mereka yang terdiri dari para sahabat Nabi dan
para tabi’in besar, seperti Abdullah bin Abi Sarah, Ma’bad bin Abbas bin Abdul
Muthalib, Marwan bin Hakim bin Abi Ash bin Umaiyah, Haris bin Hakim, Abdullah
bin Zubair bin Awam, Abdullah bin Umar ibn Khaththab dan Abdurrahman bin Abi
Bakr.
Penyebarluasan
Islam yang dilakukan oleh kaum muslimin ke negara-negara yang belum Islam, baik
sejak dari Nabi Muhammad SAW. dan para khalifah sesudahnya, senantiasa
memberikan ketenangan dan menjadi rahmat bagi suatu wilayah yang dikuasainya.
Oleh sebab itu, selama Islam masih berkuasa di suatu negara atau wilayah,
negara tersebut akan senantiasa kondusif dalam tataran masyarakat yang Islami,
sehingga mewarnai seluruh aktivitas masyarakat, dan tidak dapat dinafikan bahwa
lingkungan yang agamis ketika itu memberikan kontribusi yang positif bagi dunia
pendidikan khususnya pendidikan Islam, sekaligus akan mewarnai pendidikan
secara keseluruhan. Oleh sebab itu, nilai-nilai pendidikan senantiasa
bernuansakan Islami, tidak heran jika al-Qabisi, sebagaimana anakanak yang
lainnya, mempelajari ilmu-ilmu agama terlebih dahulu dan penanaman
akhlak-akhlak yang mulia sejak dini, seperti mempelajari shalat, menghafal
al-Qur'an dan lain sebagainya.
Namun,
tidak berhenti di situ saja, sudah menjadi tradisi di zaman ini, bahwa para
penuntut ilmu senantiasa melakukan perjalanan atau rihlah ke luar daerah baik
ke negeri Timur, seperti Makkah dan Madinah maupun ke negeri Barat seperti
Andalusia atau Spanyol untuk menemui ulama-ulama yang ahli di bidangnya dan
mereka mempelajari ilmunya sesuai dengan keahlian yang mereka inginkan secara
berhadapan langsung. Al-Qabisi sendiri, menurut catatan sejarah, melakukan
hijrah ke negeri Timur, yakni Makkah dan
Madinah, di samping menuntut ilmu, beliau juga menunaikan ibadah haji.
Dalam
perjalanannya ke Timur al-Qabisi juga singgah dan menetap beberapa waktu di
Iskandariyah dan Mesir untuk menuntut ilmu. Di Mekah, beliau mempelajari ilmu
fiqh dan hadis Bukhari melalui ulama terkenal Ali Abu al-Hasan bin Ziyad
al-Iskandari salah seorang ulama yang termashur dalam meriwayatkan Imam Malik.
Hal inilah yang membuat ia menjadi seorang ahli fiqh Imam Malik. Demikian halnya
selama beliau di Iskandariyah beliau juga belajar hadis dengan Abu al-Hasan Ali
bin Ja’far. Perjalanannya ke negeri Timur ini memberikan kefakihan dan
menambahnya wawasan beliau dalam ilmu-ilmu keislaman, sehingga ia dapat
memberikan corak pendidikan Islam walaupun dalam bentuk sederhana. Salah satu
kegemilangan yang beliau peroleh dari perjalanannya ke Timur ialah alQabisi
adalah orang yang pertama kali membawa kitab Shahih Bukhari ke Afrika Utara
(Nasir, 2003: 73).
Oleh
sebab itu, para ulama banyak memberikan interpretasi tentang keilmuan yang
dimiliki alQabisi dan begitu juga tentang sifat-sifat atau keutamaan beliau,
al-Suyuti misalnya, mengatakan bahwa al-Qabisi adalah seorang huffazh, dan
al-Qabisi juga orang yang banyak hafal hadis, ahli teologi, dan ahli fiqh,
bersifat zahid dan wara’. Sedangkan Ibn Khaldun berkomentar bahwa al-Qabisi
adalah seorang yang ahli hadis, baik dari segi maknanya maupun dari segi sanad
hadis. Demikian halnya Qadhi Iyad berpendapat selain al-Qabisi juga seorang yang
wara’, beliau juga seorang da’i yang mashur dan ahli fiqih di Qairawan.
(Al-Ahwani, 1955: 28)
Al-Qabisi
adalah seorang ilmuan sekaligus sebagai pemikiran pendidikan yang sangat jenius, di mana banyak karya-karya
yang ditinggalkannya dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan sebagai khazanah
bagi intelektual muslim, sebagaimana menurut Qadhi Iyad, Ibn Farhun dan
Abdurrahman. Kitab-kitab yang dikarang al-Qabisi ialah (Mushthafa, 1994: 549):
Al-Muhid al-Fiqh wa Ahkam adDiyanah, Al-Mub’id min Syibhi at-Ta’wil,
Al-Munabbih li al-Fithan an Ghawail Fitan, Al-Risalah alMufashshalah li Ahwal
al-Muta’allimin wa Ahkam al-Mu’allimin wa al-Muta’allimin, Al-I’tiqadat,
Manasik al-Hajj, Mulakhkhas li al-Muwattha’, Al-Risalah an-Nasyiriyah fi
al-Radd ala’ al-Bikriyyah, dan Al-Zikr wa al-Du’a`.
Dengan
pemikiran al-Qabisi tentang pendidikan Islam dapat disimpulkan bahwa al-Qabisi
adalah seorang faqih dan hafizh al-Qur`an dan hadis dan seorang yang memahami
bahasa Arab dengan baik. Dengan demikian, konsep-konsep yang beliau tawarkan
dalam pendidikan cenderung berlandaskan alQur`an dan Sunnah, yang paradigma
pemikirannya terkesan normatif. Meski demikian, kondisi lingkungannya ketika
itu masih mempunyai relevansi dengan konsep yang ia tawarkan, sehingga
dijadikan pedoman bagi pengajaran anak-anak pada masa abad keempat hijriyah.
Pada
prinsipnya pengembangan konsep pendidikan Islam tidak hanya berhenti dalam
tekstual normatif saja, perlu pengkajian yang mendalam dari berbagai aspek,
baik sosiologis, geografis, maupun falsafah suatu bangsa itu sendiri. Sangat
tidak mungkin menetapkan kurikulum pendidikan atau metode mengajar dan tujuan
pendidikan berdasarkan satu aspek saja. Pendidikan yang maju dalam perspektif
al-Qabisi dapat dilihat dari terwujudnya lingkungan keagamaan di berbagai
daerah kekuasaan Islam ketika itu. Adalah suatu hal yang wajar jika beliau
menetapkan konsep pendidikan yang menjadi pedoman di masanya (Muslim, 2016:
210-211).
b. Muhammad
Abduh
Muhammad
Abduh lahir di sebuah dusun di Delta sungai Nil pada tahun 1849, dan beliau
meninggal pada 11 juli 1905. Keluarganya terkenal berpegang teguh pada ilmu dan
agama. Sejak muda beliau sudah di kenal hafal Al-Qur’an, Muhammad Abduh adalah
sajana pendidik dan mufti, theology, alim dan juga pembaharuan (Suwito dan Fauzan,
2008: 88).
Menginjak
usianya yang ke tiga belas tahun serta bekal pendidikan rumahan, Abduh dikirim
ke masjid Ahmadi yang terletak di Thantha untuk menimba ilmu tajwid dan ilmu
pengetahuan lainnya. Sebagai tempat ibadah sekaligus merangkap tempat pendidikan,
Masjid Ahmadi memang tidak semegah dan seterkenal universitas Al-Azhar, tetapi
dari sumberdaya dan kepeiawayannya dalam mendidik siswa lebih-lebih persoalan
Al-Quran, Masjid Ahmadi dipandang satu tingkat berada dibawah Al-Azhar.
Pengalaman pertama Abduh kecil di lembaga tersebut dalam upayanya menghafal dan
memberikan ulasan serta memahami Al-Quran, untuk kemudian menjadi sebuah produk
hukum membuat Abduh kecil jenuh, sebab sistem pengajaran yang dibangun, serta
penerapan pengajarannya jauh dari apa yang Abduh kecil harapkan. Karena merasa
mandul dalam berfikir dan dambaan kebahagiaan dalam belajar tidak dirasakan,
akhirnya Abduh kecil meninggalkan Masjid Ahmadi di Tantha dan bertekad untuk
tidak kembali pada kehidupan akademis. Dalam kondisi “galau” tersebut Abduh
kecil pulang ke kampung halamannya. Menjadi seorang pemuda Dusun dengan
keruwetan hidup ditengah keluarga yang berpoligami, membuat Abduh di usia
enambelas tahun mengambil keputusan final yang terlalu dini dan berani yaitu:
menikah dengan seorang gadis pujaannya (Hourani, 1970: 131).
Abduh
mencoba mengakhiri waktu lajangnya dengan segenap kekecewaan dalam hidup
sepulang dari pengembaraan intelektual, untuk membangun suatu kehidupan baru
dengan mahligai rumah tangga (Shihab, 1994: 12). Perjalanan mahligai rumah tangga Abduh
berjalan seperti layaknya rumah tangga kebanyakan orang. Susah-senang menjadi
selimut kisah dalam kehidupan rumah tangganya. Kemudian Abduh mencoba hidup
bermasyarakat sebab hal itu adalah salah satu keharusan sebagai bagian dari
sebuah masyarakat. Menjelang empat puluh hari usia pernikahannya, ayah Abduh
menyuruhnya untuk kembali belajar ke masjid Ahmadi. Sebagai anak yang taat,
Abduh mengikuti kehendak sang ayah, namun diperjalanan Aduh membayangkan
kejenuhan belajar di masjid Ahmadi, Akhirnya Abduh membelot pada sebuah distrik
Gereja orent yang disekitar distrik tersebut dihuni oleh mayoritas keluarga dan
kerabat ayahnya Abduh (Ahmad, 1978: 66).
Darwisy
Khadar adalah seorang syekh (guru spritual) sufi dari tarekat Syadzili.
Ditempat inilah Abduh berjumpa dengan Darwisy Khadar. (Mengenai Darwisy Khadar
terjadi kesimpang-siuran informasi. Ada yang berpendapat bahwa Darwisy adalah
paman Abduh tetapi ada juga yang berpendapat bahwa Ia adalah paman dari ayahnya
Abduh). Darwisy memberikan pandanganpandangannya kepada Abduh. Sederet mutiara
sufi terlontar dalam percakapan-percakapan lepas. Abduh yang telah sekian lama
meninggalkan dunia berfikir (dunia akademis) menjadi kembali tercerahkan.
Perjumpaan Abduh dengan Darwisy membuat geliat intelektual Abduh kembali
bersemi.
Darwisy
masuk dalam kehidupan Abduh dan menjadi guru spritualnya ditengah galaunya
kehidupan Abduh. Darwisy terus menerus menyirami Abduh dengan berbagai macam
keilmuan. Abduh tidak hanya menerima pelajaran tantang bagaimana dunia sufi
dari Darwisy tetapi, pelajaran etika dan moral serta praktik kezuhudan dalam
dunia sufi. Memang tidak terlalu lama Abduh bersama Darwsy tetapi dari
pertemuan tersebut Abduh seakan menemukan “ruh” baru serta semangat yang
menggebu dalam mengarungi lautan keilmuan. Dengan tasawuf rasa haus Abduh
selama masa keputus-asaan seakan sirna. Tetes madu ajaran tasawuf membuat Abduh
berenergi kembali. Abduh menjadi lebih tertarik untuk masuk dalam kehidupan
dunia tasawuf bahkan, dalam pengembaraannya di dunia tasawuf, Abduh sempat
melakukan zuhud walau sesaat. Hal tersebut dilakukan oleh Abduh sebagai bentuk
keterasingan dirinya menyikapi ajaran tasawuf yang secara lahiriah menurut
Abduh banyak hal yang perlu dikritisi. Nasehat Darwsiy mengakhiri sikap zuhud
Abduh untuk meninggalkannya.
Akhir
dari pengalaman spritualnya dalam dunia tasawuf setelah keluar dari kezuhudan,
membuat Abduh semakin bergairah untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Pada saat itulah Abduh merasa berada disimpang jalan sebab, disatu sisi Abduh
sudah memiliki istri tetapi disisi lain, semangat keilmuannya terus-menerus
merong-rongnya. Pilihan pelik tersebut akhirnya mendapatkan jawaban pada tahun
1866 sebab, pada tahun itulah Abduh meninggalkan Darwisy menuju masjid Ahmady.
Namun sayang banyak guru besar di lembaga tersebut telah tiada. Ditengah
kebimbangannya, Abduh mendapat saran dari seseoranng untuk meneruskan
pendidikannya ke Al-Azhar. Saat itulah Abduh mengambil keputusan dan melakukan
pengembaraan intelektual menuju Kairo untuk belajar di AlAzhar. ketika sedang
mengikuti kegiatan pendidikan di AlAzhar, kembali Abduh menelan kekecewaan yang
disebabkan oleh sikap menonjolkan diri para siswa Al-Azhar, baik dari sisi
keilmuan, lebih-lebih dalam menghafal Al-Quran yang menurut kacamata Abduh, hal
tersebut hanya berupa hafalan yang kering pemahaman terhadap makna naṣ
Al-Quran.
Apa
yang dirasakan Abduh mendapat pembenaran dari Syekh Mustafa Kamal Al-Maraghi
mengenai pembelajaran Al-Quran. Maraghi menyatakan bahwa Al-Azhar pada saat
Abduh belajar memang masih suram, karena sistem pembelajarannya masih
menggunakan standar aturan pudar yang terputus dari sumbernya, yakni Al-Quran
yang tercerabut dari akarnya, bahasa Arab. Al-Azhar bagi Abduh kurang
memberikan rangsangan dalam membangun minat intelektualnya. Metode-metode
pengajaran yang kolot serta kurikulum yang kuno membuat Abduh sering tidak
kerasan. Kekosongankekosongan terbesar dalam kurikulum tersebut bagi Abduh
adalah tidak adanya mata kuliah teologi dan filsafat sebab di Al-Azhar kala itu
dua mata kuliah tersebut dianggap bid’ah. Ketidak kerasanan Abduh di Al-Azhar
semakin mengental ketika Abduh berjumpa dengan Jamaluddin AlAfghani
(1839-1897), dan dari perjumpaan itulah Abduh mulai mengenal bagaimana
menafsirkan AlQuran yang baik dan lebih rasional. Kemudian pada (Al-Maraghi,
1996: 37).
Dalam
hal berkarya, Abduh juga termasuk salah satu tokoh yang sangat produktif,
karyakaryanya berserakan, terutama di surat kabar yang memang sengaja diasuhnya
sebagai media pembaharuan, baik bersama gurunya Afghani ataupun Abduh sendiri.
Diantara karya Abduh yang dibukukan adalah Risālah Al-Ridat (1873) yang
kemudian disusul dengan karya berikutnya yaitu Hasyiah Syirah Al-Jalal
Ad-Dawwani Lil-Aqo’id AlAḍuḍiyah (1875). Karya-karya tersebut berisi tentang
aliran-aliran filsafat, kalam dan tasawuf serta berisi keritikan-keritikan yang
dianggapnya salah. Karyanya ini ditulis oleh Abduh sejak dua tahun pertemuannya
dengan Al-Afghani dan usianya ketika itu sekitar 26 tahun.
Kemudian
karyanya yang lain adalah Risālah At-Tauhid dalam bidang teologi yang
ditulisnya pada tahun 1885 dan Sharah Nahjul Balāgah yang berisi tentang
komentar atas kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali bin Abi Ṭalib. Selanjutnya
Abduh juga melakukan penerjemahan-penerjemahan diantaranya Abduh menerjemahkan
Ar-Raddu Ala AlDahriyyīn dari bahasa Persia kedalam bahasa Arab. Buku tersebut
berisi tentang bantahan terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan
kemudian Sharah Maqamal Badi al-Zaman Al-Hamazani, kitab yang berisi tentang
bahasa dan sastra Arab. Kedua karya tersebut merupakan karya guru sekaligus
sahabat Abduh yaitu Al-Afghani (Nasution, 1992: 61).
Pemikiran
Abduh tersebut merefleksikan sebuah gagasan masa depan umat Islam dalam
merumuskan setiap persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Dalam hal apapun,
sesungguhnya Islam tidak mengikat umatnya untuk tunduk dan pasrah pada hasil
olah pikir masa lalu. Bahwa produk pemikiran keislaman tentu bersumber dari
Al-quran dan hadist. Tugas setiap generasi Islam adalah menggali makna-makna
yang terkandung dalam Alquran. Dan hadis untuk kepentingan zamannya. Produk
pemikiran atau produk hukum yang ada tidak untuk disingkirkan apalagi menjadi
belenggu tetapi menjadi titik pijak guna menentukan memproduksi pemikiran yang
tepat. Sehingga perbedaan simpulan hukum tidak dimaknai sebagai pembangkangan,
tetapi sebagai sebuah kreasi pemikiran yang betul-betul maslahah bagi umat.
Abduh telah membentangkan cara berfikir yang brilian untuk masa depan umat
Islam. Tidak takut dianggap bid’ah dan berfikir objektif guna kemaslahatan umat
Islam.
c. Hasan
Al-Banna
Nama
lengkapnya adalah Hasan Ahmad Abdurrahman Al-Banna as-Sa’ati, atau lebih
dikenal dengan panggilan Hasan al-Banna, seorang da’i pembaharu. Ia dilahirkan
pada hari Ahad tanggal 25 Sya’ban 1324 H. bertepatan tangal 14 Oktober 1906 M,
di Hamudiyah, Provinsi Buhairah, Mesir. Ayahnya bernama Asy-Syaikh al-Alim
Ahmad Abdurrahman al-Banna as-Sa’ati, salah seorang ulama besar di zamannya.
Beliau merupakan ulama yang menertibkan dan mensyarah kitab Musnad al-Imam
Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani. Kitabnya adalah Bulug al-Amani min Asrar al-Fath
ar-Rabbani, dalam 14 jilid. Hasan al-Banna mulai perjalanan ilmiahnya dengan
memelajari al-Qur`an ketika berumur empat tahun. Di usianya yang masih belia,
al-Banna sudah berhasil mengkhatamkan al-Quran dan juga diberi banyak wawasan
oleh ayahandanya (Al-Bana, t.th: 13-14).
Antusias
dalam memperluas cakrawala keimuannya. Ia mulai menghafal banyak matan kitab
berbagai disiplin ilmu, seperti Milhat al-I’rab karya al-Hariri, Alfiyyah karya
Ibnu Malik, al-Yaqutiyah kitab Mustalah Hadis, Jauharah at-Tauhid, Rahabiyyah,
as-Sullam, berbagai matan al-Qaduri kitab fikih Abu Hanifah, Matan Gayah wa
at-Taqrib karya Abu Syuja’ kitab fikih Syafi’iyyah, dan beberapa Manzumah Ibnu
Amir tentang fikih Malikiyyah. Ayahandanya senantiasa memotivasi al-Banna kecil
dengan ungkapannya yang menyentuh, “Man Hafiza al-Mutun, Haza al-Funun” (Siapa
rajin menghafal matan, ia akan menguasai berbagai disiplin ilmu). Tidak heran,
jika al-Banna sedari kecil sudah begitu mencintai ilmu dan memiliki wawasan
yang luas (Asy-Syurbaji, 1998: 46)
Hasan
al-Banna telah mendirikan dakwah di Ismailiyyah, serta banyak membangun
lembagalembaga. Jumlah Ikhwanul Muslimin semakin banyak dan semakin menguat.
Setelah itu, Hasan alBanna pindah dakwah ke Kairo untuk menyebarkannya ke
penjuru dunia. Pada bulan Februari 1941, akibat desakan dari Inggris, Hasan
al-Banna diasingkan di Qina, Mesir. Adapun orang yang memutuskan hal tersebut
adalah Husain Sari dan Muhammad Husain Haikal, selaku menteri pendidikan.
Pengasingan ini tidak hanya awal mula permusuhannya terhadap Hasan al-Banna dan
dakwahnya, namun persoalannya semakin meluas. Terutama setelah para duta besar
Inggris, Amerika dan Prancis berkumpul di Fayed dan mengambil keputusan supaya
membubarkan kelompok Ikhwanul Muslimin. Mereka mengancam kemerdekaan Kairo dan
Alexandria. Dengan demikian, pada tanggal 8 Desember 1948, menteri dalam negeri
mengeluarkan putusan pembubaran kelompok Ikhwanul Muslimin. Adapun terkait
sikap Hasan al-Banna terhadap peradaban Barat adalah sama dengan sikap yang
ditunjukkan oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan para
pembaharu Islam di era modern, yaitu tetap menerima ilmu dan pengetahuan Barat
tanpa harus tenggelam dalam kehidupan sosial dan akhlak mereka. Pengaruh dakwah
dan pemikiran Hasan al-Banna tetap berlanggung hingga sekarang ini. Bahkan,
hasil pemikirannya mampu mencetuskan nama-nama tokoh besar, baik penulis, da’i,
dan ulama di berbagai aspek pemikiran Islam.
Dengan
pemikiran dakwah dan pembaharuannya, Hasan al-Banna telah berhasil memberi
banyak pengaruh terhadap tokoh-tokoh pembangkit Islam. Sehingga tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa beliau merupakan tokoh Islam terdepan abad ke
14 H. Hal ini melihat begitu detil dan tersrukturnya dasar-dasar pemikiran yang
dibangunnya padahal ketika itu baru berumur 23 tahun. Andaikata bukan karena
struktur ini, tentu Hasan al-Banna tidak lebih sekedar seorang dai yang
memiliki kemampuan memikat hati saja. Akan tetapi, dengan pola yang terstruktur
ini, Hasan al-Banna telah berhasil menciptakan jamaah yang solid yang tidak
bisa dilakukan oleh para ulama dan dai, meski syahid diusia muda.
Benar
apa yang disampaikan Rasulullah dalam prediksinya, bahwa pada setiap 100 tahun
Allah akan mengutus seseorang yang memperbaruhi persoalan agamanya. Maka,
diutuslah Hasan al-Banna yang menghidupkan akidah di hati kaum muslimin,
mengikat hati-hati mereka dengan cinta dan persaudaraan, memperbaharui
pemikiran serta menghidupkan jihad dan pergerakan guna menyebakan dakwah Islam
di muka bumi (Misbah, 2015: 409-410).
d. Ibnu
Khaldun
Nama
lengkapnya adalah Abd al-Rahman bin Muhammad bin Khaldun al-Hadrawi, dikenal
dengan panggilan Waliyuddin Abu Zaid, Qadi al-Qudat. Ia lahir tahun 732 H di
Tunis. Ia bermazhab Maliki, Muhadist al-Hafidz, pakar ushul fiqh, sejarawan,
pelancong, penulis dan sastrawan (AlMaraghi, 2001: 287).
Nenek
moyangnya berasal dari Hadramaut yang kemudian berimigrasi ke Seville (Spanyol)
pada abad ke-8 setelah semenanjung itu dikuasai Arab muslim. Keluarga yang
dikenal pro Umayah ini selama berabad-abad menduduki posisi tinggi dalam
politik di Spanyol, sampai akhirnya hijrah ke Maroko beberapa tahun sebelum
Seville jatuh ke tangan Kristen pada 1248 M. Setelah itu mereka menetap di Tunisia.
Di kota ini mereka dihormati oleh pihak istana, diberi tanah milik dinasti
Hafsiah (Ma’arif, 1996: 12).
Latar
belakang keluarga dari kelas atas ini rupanya menjadi salah satu faktor penting
yang kemudian mewarnai karir hidup Ibnu Khaldun dalam politik sebelum ia terjun
sepenuhnya ke dunia ilmu. Otak cerdas yang dimilikinya jelas turut bertanggung
jawab mengapa ia tidak puas bila tetap berada di bawah. Orientasi ke atas
inilah yang mendorongnya untuk terlibat dalam berbagai intrik politik yang
melelahkan di Afrika Utara dan Spanyol. Dalam usia muda Ibnu Khaldun sudah
menguasai beberapa disiplin ilmu Islam klasik, termasuk ‘ulum aqliyah
(ilmu-ilmu kefilsafatan, tasawuf dan metafisika). Di bidang hukum, ia mengikuti
mazhab Maliki. Di samping itu semua, ia juga tertarik pada ilmu politik,
sejarah, ekonomi, geografi, dan lain-lain (Mahdi, 1971: 27-29).
Otaknya
memang tidak puas dengan satu dua disiplin ilmu saja. Di sinilah terletak
kekuatan dan sekaligus kelemahan Ibnu Khaldun. Pengetahuannya begitu luas dan
berfariasi ibarat sebuah ensiklopedi. Namun dari catatan sejarah, ia tidak
dikenal sebagai seorang yang sangat menguasai satu bidang disiplin. Karya-karya
Ibnu Khaldun, termasuk karya-karya yang monumental. Ibnu Khaldun menulis banyak
buku, antara lain; Syarh al- Burdah, sejumlah ringkasan atas buku-buku karya
Ibnu Rusyd, sebuah catatan atas buku Mantiq, ringkasan (mukhtasor) kitab
al-Mahsul karya Fakhr al-Din alRazi (Ushul Fiqh), sebuah buku lain tentang
matematika, sebuah buku lain lagi tentang ushul fiqh dan buku sejarah yang
sangat dikenal luas. Buku sejarah tersebut berjudul Al-Ibar wa Diwan
al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Tarikh al-Arab wa al-Ajam wa al-Barbar. Ibnu Khaldun
melalui buku ini benar-benar menunjukkan penguasaannya atas sejarah dan berbagai
bidang ilmu pengetahuan (Al-Maraghi, 2001: 287).
Di
samping kitab tersebut, kitab al-Muqoddimah Ibnu Khaldun merupakan karya
monumental yang mengundang para pakar untuk meneliti dan mengkajinya. Buku
Muqaddimah yang ia tulis benarbenar telah mebuka mata para ilmuwan muslim
maupun non muslim untuk mengkajinya. Karya ini diterjemahkan dalam banyak
bahasa, dan dalam proses tersebut, Ibnu Khaldun akhirnya memperoleh atribut
yang luar biasa, sebagai filosof sejarah, sejarawan, bapak sosiologi, geografer,
ekonom, ilmuwan politik, dan lain-lain.
Khusus berkaitan dengan tema ekonomi, Ibnu Khaldun telah pula
memprediksikan banyak hal yang akhirnya menjadi persoalan yang sampai pada
dunia modern saat ini tetap mengemuka sebagai wacana yang tidak akan berhenti
untuk dibicarakan. Sebagai contoh yang ia ajukan adalah kasus usaha pribadi dan
usaha publik, perlakuan dunia atas mata uang yang akhirnya mempunyai fungsi
yang sangat fital dalam dunia ekonomi, dan lain-lain. Apa yang dikemukakan
tersebut, murni berasal dari pemikiran cerdas Ibnu Khaldun (Huda, 2013:
121-122).
e. Ibnu
Battutah
Ketika
disebut nama Maroko, maka yang paling terlintas di benak orang Indonesia adalah
Ibnu Batutah, Sang petualang legendaris dari Negeri Matahari Terbenam ini. Ia
dianggap sebagai pelopor penjelajah abad 13 M yang belum tertandingi, sekalipun
ada Marcopolo yang juga melakukan penjelajahan dunia. Namun Marcopolo masih
tidak sebanding dengan Ibnu Batutah terutama dalam kuantitas perjalanan.
Karenanya, ia dijuluki dengan sebutan “Pengembara muslim Arab”. Perjalanan
panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia itu mampu melampaui sejumlah
penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti Christopher Columbus,
Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai setelah Ibnu Batutah. Sejarawan Barat,
George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Batutah melebihi
capaian Marcopolo. Tak heran, bila Sarton geleng-geleng kepala dan mengagumi
ketangguhan seorang Ibnu Batutah yang mampu mengarungi lautan dan menjelajahi
daratan.
Nama
lengkap Ibnu Batutah adalah Muhammad Abu Abdullah bin Muhammad Al Lawati Al Tanjawi
yang kemudian dikenal dengan Ibnu Batutoh. Lahir di Tanger (kota di sebelah
utara Maroko) 24 Februari 1304 M/ 703 H dan wafat di kota kelahirannya pada
tahun 1377 M/ 779 H. Versi lain mengatakan, ia wafat di kota Fez atau
Casablanca. Namun pendapat yang rajih (benar) ia dimakamkan di tanah
kelahirannya, sebagaimana makamnya terdapat di kota wisata Tanger-Maroko. Ibnu
Batutah berasal dari keturunan bangsa Barbar. Besar dalam keluarga yang taat
memelihara tradisi Islam. Saat itu, Maroko sedang dikuasai Dinasti Mariniah. Ia
dikenal sangat giat mempelajari fiqh dari para ahli yang sebagian besarnya
menduduki jabatan Qadhi (hakim).
Beliau
juga mempelajari sastra dan syair Arab. Pencapaian Ibnu Battutah yang luar
biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah
benua Afrika. ''Aku tinggalkan Tangier, kampung halamanku, pada Kamis 2 Rajab
725 H/ 14 Juni 1325 M. Saat itu usiaku baru 21 tahun empat bulan. Tujuanku
adalah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci di Makkah dan berziarah ke makam
Rasulullah SAW di Madinah”, kisah Ibnu Battutah pengembara dan penjelajah
Muslim terhebat di dunia membuka pengalaman perjalanan panjangnya dalam buku
catatannya, Rihlah. Dengan penuh kesedihan, Ia meninggalkan orangtua serta
sahabat sahabatnya di Tangier. Tekadnya sudah bulat untuk menunaikan rukun iman
kelima. Perjalananya menuju ke Baitullah telah membawanya bertualang dan
menjelajahi dunia. Seorang diri, dia mengarungi samudera dan menjelajah daratan
demi sebuah tujuan mulia.
Selama
hampir 30 tahun, dia telah mengunjungi tiga benua mulai dari Afrika Utara,
Afrika Barat, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia engah, Asia
Tenggara, dan Cina. Perjalanan panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia
itu mencapai ratusan ribu kilometer. Tak heran, bila kehebatannya mampu
melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti
Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai berlayar 125 tahun
setelah Ibnu Battutah.
Sejarawan
Barat, George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Battutah
melebihi capaian Marco Polo. Pria kelahiran Tangier 17 Rajab 703 H/ 25 Februari
1304 itu bernama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim
At-Tanji, bergelar Syamsuddin bin Battutahh. Sejak kecil, Ibnu Battutah
dibesarkan dalam keluarga yang taat menjaga tradisi Islam. Ibnu Battutah
tertarik untuk mendalami ilmu-ilmu fikih dan sastra dan syair Arab. Kelak, ilmu
yang dipelajarinya semasa kecil hingga dewasa itu banyak membantunya dalam
melalui perjalanan panjangnya. Ketika Ibnu Battutah tumbuh menjadi seorang
pemuda, dunia Islam terbagi-bagi atas kerajaan-kerajaan dan dinasti. Ia sempat
mengalami kejayaan Bani Marrin yang berkuasa di Maroko pada abad ke-13 dan 14
M.
Latar
belakang Ibnu Battutah begitu jauh berbeda bila dibandingkan Marco Polo yang
seorang pedagang dan Columbus yang benar-benar seorang petualang sejati. Meski
Ibnu Battutah adalah seorang teologis, sastrawan puis,i dan cendekiawan, serta
humanis, namun ketangguhannya mampu mengalahkan keduanya. Meski hatinya berat
untuk meninggalkan orang-orang yang dicintainya, Ibnu Battutah tetap
meninggalkan kampung halamannya untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah yang
berjarak 3.000 mil ke arah Timur. Dari Tangier, Afrika Utara dia menuju
Iskandariah. Lalu kembali bergerak ke Dimyath dan Kaherah. Setelah itu, dia
menginjakkan kakinya di Palestina dan selanjutnya menuju Damaskus. Ia lalu
berjalan kaki ke Ladzikiyah hingga sampai di Allepo. Pintu menuju Makkah
terbuka dihadapannya setelah dia melihat satu kafilah sedang bergerak untuk
menunaikan ibadat haji ke Tanah Suci. Ia pun bergabung dengan rombongan itu.
Beliau menetap di Makkah kurang lebih selama dua tahun. Setelah cita-citanya
tercapai, Ibnu Battutah, ternyata tak langsung pulang ke Tangier, Maroko. Ia
lebih memilih untuk meneruskan pengembaraannya ke Yaman melalui jalan laut dan
melawat ke Aden, Mombosa, Timur Afrika dan menuju ke Kulwa. Ia kembali ke Oman
dan kembali lagi ke Makkah untuk menunaikan Haji tahun 1332 M, melaui Hormuz,
Siraf, Bahrin dan Yamama.
Itulah
putaran pertama perjalanan yang tempuh Ibnu Battutah. Pengembaraan putara
kedua, dilalu Ibnu Battutah dengan menjelajahi Syam dan Laut Hitam. Ia lalu
meneruskan pengembaraannya ke Bulgaria, Roma, Rusia, Turki serta pelabuhan terpenting
di Laut Hitam yaitu Odesia, kemudian menyusuri sepanjang Sungai Danube. Ia lalu
berlayar menyeberangi Laut Hitam ke Semenanjung Crimea dan mengunjungi Rusia
Selatan dan seterusnya ke India. Di India, ia pernah diangkat menjadi kadi. Dia
lalu bergerak lagi ke Sri Langka, Indonesia, dan Canton. Kemudian Ibnu Battutah
mengembara pula ke Sumatera, Indonesia dan melanjutkan perjalanan melalui laut
Amman dan akhirnya eneruskan perjalanan darat ke Iran, Irak, Palestina, dan
Mesir. Beliau lalu kembali ke Makkah untuk menunaikan ibadah hajinya yang ke
tujuh pada bulan November 1348 M. Perjalanan putaran ketiga kembali dimulai
pada 753 H. Ia terdampar di Mali di tengah Afrika Barat dan akhirnya kembali ke
Fez, Maroko pada 1355 M. Ia mengakhiri cerita perjalannya dengan sebuah
kalimat, ''Akhirnya aku sampai juga di kota Fez.'' Di situ dia menuliskan hasil
pengembaraannya. Salah seorang penulis bernama Mohad Ibnu Juza menuliskan kisah
perjalanannya dengan gaya bahasa yang renyah. Dalam waktu tiga bulan, buku berjudul
Persembahan Seorang pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan yang
Mengagumka, diselesaikannya pada 9 Desember 1355 M.
Secara
detail, setiap kali mengunjungi sebuah negeri atau negara, Ibnu Battutah
mencatat mengenai penduduk, pemerintah, dan ulama. Ia juga mengisahkan kedukaan
yang pernah dialaminya seperti ketika berhadapa dengan penjahat, hampir pingsan
bersama kapal yang karam dan nyaris dihukum penggal oleh pemerintah yang zalim.
Ia meninggal dunia di Maroko pada pada tahun 1377 M. Kisah Ibnu Battutah yang
luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah
benua Afrika.
Petualangan
dan perjalanan panjang yang ditempuh Ibnu Battutah sempat membuatnya terdampar
di Samudera Pasai-kerajaan Islam pertama di Nusantara pada abad ke-13 M. Ia
menginjakkan kakinya di Aceh pada tahun 1345. Sang pengembara itu singgah di
bumi Serambi Makkah selama 15 hari. Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah
melukiskan Samudera Pasai dengan begitu indah. ''Negeri yang hijau dengan kota
pelabuhannya yang besar dan indah,'' tutur sang pengembara berdecak kagum.
Kedatangan penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari
para ulama dan pejabat Samudera Pasai. Ia disambut oleh pemimpin Daulasah, Qadi
Syarif Amir Sayyir al-Syirazi, Tajudin al-Ashbahani dan ahli fiqih kesultanan.
Menurut Ibnu Battutah, kala itu Samudera Pasai telah menjelma sebagai pusat
studi Islam di Asia Tenggara. Penjelajah termasyhur itu juga mengagumi Sultan
Mahmud Malik Al-Zahir penguasa Samudera Pasai. ''Sultan Mahmud Malik Al-Zahir
adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya
sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan
kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat
keadaan rakyatnya,'' kisah Ibnu Battutah.
Menurut
Ibnu Battutah, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah belajar yang tinggi
untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama. Dia juga mencatat, pusat studi
Islam yang dibangun dii lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama
dan elit kerajaan. Selama berpetualang mengelilingi dunia dan menjejakkan
kakinya di 44 negara, dalam kitab yang berjudul Tuhfat al-Nazhar, Ibnu Battutah
menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang memiliki kelebihan yang luar
biasa. Ketujuh raja yang dikagumi Ibnu Battutah itu antara lain; raja Iraq yang
dinilainya berbudi bahasa; raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah; raja
Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia; raja Turki dikaguminya karena gagah
perkasa; Raja Romawi yang sangat pemaaf; Raja Melayu Malik Al-Zahir yang
dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, sera raja Turkistan.
Setelah
berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu Battutah
akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina. Catatan
perjalanan Ibnu Battutah itu menggambarkan pada abad pertengahan, peradaban
telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara. Meskipun Ibnu Battutahh bukanlah
seorang ilmuan jenius tetapi petualangan dan pengembaraannya. Ibnu Batutah yang
mampu mengarungi lautan dan menjelajahi daratan sepanjang kurang lebih 120.000
kilometer itu. Sebuah pencapaian yang tak ada duanya di masa itu. Bahkan
sekarang telah berlalu enam abad silam, namun kebesaran dan kehebatannya hingga
kini tetap dikenang.
4. Pusat-pusat
peradaban Islam di Afrika
Umat
muslim Afrika tak hanya tinggal di negara-negara di kawasan Afrika Utara saja.
Di Afrika Selatan, banyak juga umat Muslim meski menjadi minoritas. Uniknya,
kehidupan umat Muslim Afrika Selatan kental dengan nuansa dan budaya Indonesia
karena Islam di negara ini disebarkan oleh seorang ulama dari Makasar. Beberapa
kosa kata Indonesia dan makanan Indonesia pun kini masih eksis di Afrika
Selatan. Negara Afrika Selatan merupakan negara di bagian selatan benua Afrika
yang mayoritas penduduknya beragama protestan. Islam disini menjadi agama
minoritas, yaitu dipeluk sekitar 1.045.000 orang atau 1,9% dari jumlah penduduk
Afrika Selatan yang berasal dari ras campuran.
Salah
satu kota di Afrika Selatan yang memiliki komunitas muslim besar adalah Cape
Town. Sekitar 20% penduduk kota ini adalah umat Muslim. Mereka biasa disebut
Melayu Cape. Uniknya kehadiran Islam di Afrika Selatan erat hubungannya dengan
sejarah Indonesia. Pada abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 Belanda yang
kala itu menjajah Afrika Selatan mengirim budak-budak, tahanan perang dan
tahanan politik dari Indonesia untuk dipaksa bekerja dan diasingkan agar tak
mengganggu upaya VOC menguasai Indonesia. Salah satu yang diasingkan ke Afrika
Selatan adalah Tuang atau Syaikh Yusuf atau Abadin Tadia Tjoessoep, seorang
bangsawan dari Makasar yang juga keponakan raja Goa. Ia diasingkan di sebuah
lokasi di luar Cape Town bersama keluarga dan pengikutnya. Ternyata tempat
pengasingan Tuang Yusuf malah menjadi tempat pertemuan para budak buronan dan
orang-orang yang diasingkan oleh Belanda hingga terbentuk komunitas muslim
pertama di Afrika Selatan. Area tempat tinggal Tuang Yusuf kini disebut sebagai
Macassar. Selain Tuang Yusuf, komunitas Muslim di Afrika Selatan dibentuk oleh
orang-orang Jawa, Ambon, Tidore, Sumatra, India Muslim dan migrasi orang-orang
Afrika Utara. Sebagai penyebar Islam di Afrika Selatan, makam Tuang Yusuf kini
menjadi destinasi wisata dan tempat ziarah yang penting bagi umat Muslim.
Makamnya berada di sebuah bukit yang menghadap Macassar. Komunitas muslim di
kota Cape Town pun tak hanya tinggal di Macassar tapi di area lainnya.
Sarana
penyebaran Islam di benua ini dilakukan melalui berbagai cara. Misalnya,
ekspansi melalui penaklukan, seperti yang terjadi di Afrika Utara. Setelah Arab
menaklukkan Afrika Utara pada abad ke-7 dan ke-8 M, terjadi proses Islamisasi
dan Arabisasi di Afrika Utara.
Sementara
itu, Islam masuk ke Afrika bagian selatan melalui para budak Melayu yang dibawa
orang Eropa. Di Afrika Timur, Islamisasi tampak jelas melalui kedatangan dan
ekspansi Arab, pada masa-masa awal hingga abad ke-20. Di antara bukti
Islamisasi yang kuat di Afrika adalah masjid-masjid tua bersejarah yang masih
bertahan hingga kini. Di antaranya sebagai berikut:
a. Masjid
Agung Kairouan
Masjid
Agung Kairouan atau dikenal sebagai Masjid Uqba merupakan salah satu masjid
paling penting di Tunisia. UNESCO telah menjadikan masjid ini sebagi warisan
dunia. Masjid Agung Kairouan adalah salah satu monumen Islam yang paling
mengesankan dan terbesar di Afrika Utara Masjid ini diirikan Uqba bin Nafi pada
670 M, pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah. Masjid Uqba, oleh para
penerusnya dihiasi pilar-pilar marmer yang didapat dari piung-piung Kartago,
yang kemudian dimanfaatkan lagi oleh penguasa Aqlabiyah. Menara persegi yang
melengkapi bangunan masjid ini, merupakan peninggalan Dinasti Umayyah, dan
termasuk yang paling lama bertahan di Afrika. Berkat masjid ini, Kairouan di
mata sejarawan Barat menjadi kota suci keempat setelah Makkah, Madinah, dan
Yerussalem.
b. Masjid
Raya Djenne
Masjid
Raya Djenne adalah bangunan dari lumpur terbesar di dunia. Banyak arsitek
menganggap bangunan ini bergaya arsitektur Sudano-Sahelian terbaik. Masjid ini
terletak di Kota Djenne, Mali, di dekat Sungai Bani. Terletak di Kota Djenne,
Republik Mali, Afrika Barat. Pada 1998, masjid ini ditetapkan sebagai situs
warisan dunia UNESCO. Masjid unik dan menakjubkan ini juga pernah menjadi pusat
pengajaran Islam di Afrika pada abad ke-18.
c. Masjid
Larabanga
Masjid
Larabanga adalah masjid yang dibangun dengan gaya arsitektur Sudan di Desa
Larabanga, Ghana. Masjid ini merupakan masjid tertua di Ghana dan salah satu
yang tertua di Afrika Barat. Masjid berjuluk Makkah di Afrika Barat ini telah
mengalami restorasi beberapa kali, sejak awal didirikan pada 1421. World
Monuments Fund (WMF) telah memberikan kontribusi besar terhadap restorasi, dan
masuk dalam daftar salah satu dari 100 Situs Paling terancam punah. Masjid ini menyimpan
koleksi mushaf kuno. Oleh penduduk setempat diyakini sebagai pemberian langit
untuk Yidan Barimah Bramah, imam masjid pada 1650 M (Marniati Dan Agung
Sasongko, 2016)
B.
Perkembangan
Islam di Amerika
1. Sejarah
masuknya Islam di Amerika
Saat
ini jumlah penduduk Amerika sekitar 270 juta jiwa dengan komposisi penduduk
beragama Nasrani 55 %, Yahudi 3 %, Muslim 1.5 % dan selebihnya agama-agama lain
yang bermacam-macam. Komposisi penduduk yang beragama Islam sebanyak itu
merupakan turunan dari berbagai macam etnis yang melakukan migrasi ke Amerika.
Negara
ini telah terlibat dalam beberapa perang dunia yang besar, dari perang 1812
menentang Inggris, dan berpakta pula dengan Inggris sewaktu Peang Dunia I dan
Perang Dunia II. Pada era 1960an Amerika terlibat di dalam Perang Dingin
menentang kekuatan besar yang lain yaitu Soviet serta pengaruh komunisme. Dalam
usaha membendung penularan komunisme di Asia, AS dalam Perang Korea, Vietnam
dan terakhir di Afganistan. Selepas kejatuhan dan perpecahan Soviet, AS bangkit
menjadi sebuah kekuatan ekonomi dan militer yang terkuat di dunia. Sewaktu tahun
1990-an, AS menobatkan dirinya sebagai polisi dunia dan tentaranya beraksi di
Kosovo, Haiti, Somalia dan Liberia dan Perang Teluk Pertama terhadap Irak yang
menginvasi Kuwait. Selepas serangan teroris pada 11 September di World Trade
Center dan Pentagon, AS melancarkan serangan balasan terhadap Afganistan dan
menjatuhkan negara Taliban di sana dan pada tahun 2003 melancarkan Perang Teluk
Kedua terhadap Irak untuk menyingkirkan rezim Saddam Husein.
Peranan
Amerika sebagai polisi dunia mengundang rasa bermusuhan dengan negara-negara
muslim. Bagi kelompok radikal garis keras, peranan Amerika dalam pentas politik
dunia sebagai polisi merupakan landasan objektif untuk menyatakan perang dalam
bentuk teror. Fakta tersebut sangat beralasan mengingat ajaran Islam dengan
sendirinya cukup subur berisi perintah-perintah untuk mempertahankan agama
Allah dari serangan dam anjuran untuk berjihad di jalan-Nya. Dendam kesumat
umat Islam diawali oleh peranan Amerika dan Sekutu untuk memberi ruang kepada
partner stategis mereka Israel. Lebih jauh lagi, keberadaan Amerika selaku
sekutu strategis bagi Israel sungguh telah membuahkan sikap yang sangat
berhati-hati Amerika terhadap Islam sebagai negara dan sebagai kekuatan
politik.
Menanggapi
Islam sebaga kekuatan politik, Amerika setidaknya memiliki tiga landasan gerak
dan fikir, yaitu: (1) Amerika tidak ingin terlihat kurang bersahabat dengan
negara-negara Islam, karena hal itu akan mengusik Amerika. Para pejabat
pemerintah Amerika tidak mau mengulangi kesalahan yang dibuat saat menghadapi
revolusi Islam di Iran. (2) Keraguan secara terbuka mendukung kelompok Islam
manapun yang kepentingan regional dan sekutunya. (3) Para pembuat kebijakan
luar negeri Amerika terdapat sebentuk ketidakyakinan tentang kemungkinan terjadinya
hubungan antara negara Islam dan demokrasi. Kebijakan luar negeri Amerika
Serikat sering dibicarakan dalam lingkup ketegangan dialektika antara dua pola
yang berlawanan.
Lalu
bagaimana perkembangan Islam dan kekuasaannya mengalami perkembangan di Amerika?
Perkembangan Islam di Amerika disebabkan dua faktor. Pertama, imperium Persi
pada mas-masa terakhir senantiasa dilanda perpecahan. Kedatangan kekuasaan
Islam, tidak mencampuri sedikitpun keyakinan keagamaan penduduk dan pernah
memaksakan agama Islam untuk dianut. Kedua, imperium Roma itu bertindak
memaksakan aliran resmi dari agama Kristen itu kepada aliran-aliran tidak
resmi. (Sou’yb, 1996; 437). Menurut Harun Yahya, jumlah umat Islam di dunia
mengalami peningkatan kuantitas secara signifikan. Angka statistik tahun 1973
menunjukkan bahwa jumlahnya hanya sekitar 500 juta; 20 tahun kemudian sudah
mencapai 1,5 miliar (Yahya, 2017).
Kisah
Islam di Amerika bermula sebelum penaklukan benua oleh kekuatan Kristen Eropa
yang ditemukan oleh Christopher Columbus. Ada bukti kuat bahwa muslim Andalusia
mengunjungi benua Amerika jauh sebelum Columbus, seperti yang dilaporkan oleh
Al-Syarif Al-Idrisi di abad 12 M. Lebih jauh, ada bukti yang dapat dipercaya
tentang kunjungan-kunjungan ke Karibia dari kerajaan-kerajaan Afrika
Barat.Akhirnya fakta yang lebih terkenal menyatakan bahwa para penemu Portugis
dan Spanyol dipimpin oleh para pelaut Muslim Andalusia yang memiliki
pengetahuan lebih baik tentang laut bebas. Bagian penemu sendiri adalah orang
Morisco, yakni muslim dari Spanyol. Ada beberapa fakta lainnya yang menyatakan
bahwa migran Muslim Andalusia dari Al-Ribat dan Sala di Maroko memimpin perte
pertempuran melawan kapal-kapal Spayol dan Portugis di Atlantik sampai pantai
Karibia (Kettani, 2005: 277). Christopher Columbus menyebut Amerika sebagai
“The New World‟ ketika pertama kali menginjakkan kakinya di benua itu pada 21
Oktober 1492. Namun, bagi umat Islam di era ke-emasan, Amerika bukanlah sebuah
“Dunia Baru‟. Sebab, 603 tahun sebelum penjelajah Spanyol itu menemukan benua
itu, para penjelajah Muslim dari Afrika Barat telah membangun peradaban di
Amerika (Amin, 2012: 73-84).
Sejarah
mencatat, kedatangan umat Islam dari sejumlah catatan sejarah. Berikut jejak
sejarah kedatangan Islam di Tanah Amerika:
a.
Tahun 999 M: Seorang navigator Muslim dari
Dinasti Umayyah di Spanyol bernama Ibnu Farrukh telah berlayar dari Kadesh pada
Februari 999 M menuju Atlantik. Sang pelaut Muslim itu berlabuh di Gando atau
Kepulauan Canary Raya. Ibnu Farrukh mengunjungi Raja Guanariga. Sang penjelajah
Muslim itu memberi nama dua pulau yakni Capraria dan Pluitana. Ibnu Farrukh
kembali ke Spanyol pada Mei 999 M.
b.
Tahun 1178 M: Sebuah dokumen dari zaman
Dinasti Sung mencatat perjalanan pelaut Muslim ke sebuah wilayah bernama
Mu-Lan-Pi (Amerika).
c.
Tahun 1310 M: Abu Bakari seorang raja
Muslim dari Kerajaan Mali melakukan serangkaian per- jalanan ke dunia baru
(benua Amerika).
d.
Tahun 1312 M: Seorang Muslim dari Afrika
(Mandiga) tiba di Teluk Meksiko untuk mengeksplorasi Amerika menggunakan Sungai
Mississipi sebagai jalur utama perjalanannya.
e.
Tahun 1530 M: Budak dari Afrika tiba di
Amerika. Selama masa perbudakan, lebih dari 10 juta orang Afrika dijual ke
Amerika. Sekitar 30 persen budak dari Afrika itu Islam.
f.
Tahun 1539 M: Estevanico of Azamor,
seorang Muslim dari Maroko, mendarat di tanah Florida.
g.
Tahun 1732 M: Ayyub bin Sulaiman Jallon,
seorang budak Muslim di Maryland, dibebaskan oleh James Oglethorpe, pendiri
Georgia.
h.
Tahun 1790 M: Umat Islam dari Andalusia
dilaporkan sudah tinggal di South Carolina dan Florida.
i.
Tahun 1807 M: Seorang Muslim Afrika
dinyatakan bebas di Washington DC setelah Kongres Amerika Serikat melarang
impor budak ke Amerika setelah 1 Januari 1808. Ia menjadi salah satu pemegang
saham pertama Bank Columbia.
j.
Tahun 1839 M: Sayyid Sa'id, seorang
penguasa Oman mengutus misi perdagangan dengan menggu- nakan kapal Sultana ke
Amerika dan tiba di New York 30 April 1840.
k.
Tahun 1856 M: Pasukan kavaleri AS menyewa
seorang Muslim bernama Hajji Ali untuk eksperimen pemeriharaan unta di Arizona.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952794139
Tak
perlu diragukan lagi, secara historis, kaum Muslimin telah memberi pengaruh
dalam evolusi masyarakat Amerika beberapa abad sebelum Christopher Columbus
menemukannya. Walaupun catatan sejarah berbicara seperti diatas, tetapi
masuknya Islam sendiri di Amerika oleh para ahli masih bersifat spekulatif
karena tidak ada teori yang tegas menyatakan kedatangan Islam masuk ke Amerika.
Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa para pelaut muslim adalah orang-orang
yang pertama menyebrangi Samudra Atlantik dan tiba di pantai-pantai Amerika.
Sebagian lainnya menyakatan seperti hal yang di atas bahwa Christopher Columbus
telah membimbing untuk mendarat di Benua Amerika oleh navigator-navigator dan
pembantu-pembantu Muslim Andalusia atau Maroko yang jasa-jasanya telah di bayar
oleh Colombus (Mulyana, 1988: 13).
Rujukan
lain menyebutkan bahwa asal-usul Islam di Amerika adalah sejarah perdagangan
budak di Amerika Serikat. Diantara budak-budak yang terhitung dalam American
Ethnological Society terdapat budak Muslim yang terpelajar, diantaranya adalah
Ayyunb Ibnu Sulaiman Diallo, Pangeran Bundu dari Afrika yang diculik dan di
jual sebagai budak pada tahun 1730. Setelah 3 tahun lamanya, ia dimerdekakan
sebagai rasa terima kasih atas kepandaian dan kejujuran serta rasa simpatinya
terhadap orang kulit putih (Supriyadi, 2008: 316).
Pendapat
tersebut bisa saja benar, mengingat secara faktual komunitas muslim yang
termasuk kelompok minoritas tersebar di pesisir Amerika Utara dan Selatan
termasuk di Suriname. Fakta kedua yang sulit dibantah adalah bahwa pemeluk
Islam di kawasan ini adalah orang-orang yang berkulit hitam “black moslem”dan
orang-orang imigran dari negara-negara Islam seperti Libanon, Siria, Irak,
Pakistan dan sebagainya. Tercatat dalam sejarah Amerika bahwa orang-orang hitam
(Afrika) masuk ke Amerika sebagai budak atau sebagai pekerja rendahan.
Kenyataan historis seperti ini sangat berpengaruh terhadap sikap orang-orang
kulit putih terhadap orang-orang kulit hitam (Negro) dan sekaligus terhadap
Islam sebagai suatu sistem kepercayaan yang dianutnya (Mulyana, 1988: 14).
Antara tahun 1619-1663 tercatat beberapa budak Afrika yang datang ke Amerika
diantara mereka adalah Yarrow Mahmaut dan Muhammad Bah. Sebelumnya pada tahun
1539 seorang muslim dari Maroko ikut bersama putra mahkota New Spain dalam
sebuat ekspedisi ke Arezona dan New Mexico. Bahkan pada tahun 1500-an
Nazaruddin seseorang yang berasal dari Mesir telah menetap di Cats Kaills, New
York yang kemudian di bakar hidup-hidup karena telah membunuh seorang perempuan
dari Indian (Supriyadi, 2008: 316).
Dalam
salah satu sumber menyebutkan bahwa orang Arab pertama yang menginjakkan kaki
ke Amerika adalah keturunan Wahab yang menetap di Ocracode Island dan
California Utara pada abad ke-18. Mereka tercatat sebagai budak yang tidak
memakan babi dan beriman kepada Allah dan Muhammad. Pada pertengahan abad
ke-19, pasukan kavaleri Amerika Serikat mempekerjakan seorang Arab bernama Haji
AM dalam rangka melakukan percobaan peternakan unta di Arizona yang kemudian di
panggil dengan nama Hi Jolly. Merekalah yang memberikan Inspirasi kepada
sejumlah masyarakat Afro Amerika untuk memeluk Islam yang kemudian dikenal
dengan black moslem (Supriyadi, 2008: 316).
Abad
ke-16 sampai abad ke-18 merupakan waktu kedatangan budak-budak untuk
dipekerjakan di perkebunan tebu di Karibia yang memang pada waktu itu sedang
memerlukan lebih banyak tenaga kerja manusia. Budak-budak itu, kebanyakan dari
Afrika (Sinegal, Guinea, Gambia, dan Mauritania) yang telah beragama Islam
(Esposito, 1995: 277-279).
Sejarah
Islam di Amerika Serikat bermula sejak sekitar abad ke 16, di mana Estevánico
dari Azamor adalah Muslim pertama yang tercatat dalam sejarah Amerika Utara.
Walau begitu, kebanyakan para peneliti dalam mempelajari kedatangan Muslim di
AS lebih memfokuskan pada kedatangan para imigran yang datang dari Timur Tengah
pada akhir abad ke 19. Migrasi Muslim ke AS ini berlangsung dalam periode yang
berbeda, yang sering disebut “gelombang”, sekalipun para ahli tidak selalu
sepakat dengan apa yang menyebabkan gelombang ini.
Populasi
penduduk Muslim di AS telah meningkat dalam seratus tahun terakhir, dimana
sebagian besar pertumbuhan ini didorong oleh adanya imigran. Pada 2005, banyak
orang dari negara-negara Islam menjadi penduduk AS - hampir 96.000 - setiap
tahun dibanding dua dekade sebelumnya. Estevánico dari Azamor mungkin telah
menjadi Muslim pertama yang tercatat dalam sejarah Amerika Utara. Estevanico
adalah orang Berber dari Afrika Utara yang menjelajahi Arizona dan New Mexico
untuk Kerajaan Spanyol. Estevanico datang ke Amerika sebagai seorang budak
penjelajah Spanyol pada abad ke 16.
tahun
1520-an telah didatangkan budak ke Amerika Utara dari Afrika. Diperkirakan
sekitar 500 ribu jiwa dikirim ke daerah ini atau sekitar 4,4% dari total
11.328.000 jiwa budak yang ada. Diperkirakan sekitar 50% budak atau tidak
kurang dari 200 ribu jiwa budak yang didatangkan berasal dari daerah-daerah
yang sudah dipengaruhi oleh Islam. Menurut sumber lain, kedatangan paling awal
imigran Muslim adalah antara tahun 1875 dan 1912 dari kawasan pedesaan, yang
sekarang menjadi Suriah, Yordania, Palestina, dan Israel. Daerah ini dulunya
dikenal sebagai Suriah Raya yang diperintah oleh Kekaisaran Ottoman. Setelah
Kekaisaran Ottoman runtuh pada Perang Dunia I (PD I), terjadi gelombang kedua
imigrasi kaum Muslim dari Timur Tengah, di mana dalam periode ini pula
dimulainya kolonialisme Barat di Timur Tengah. Pada tahun 1924, aturan
keimigrasian AS disahkan, yang segera membatasi gelombang kedua imigrasi ini
dengan memberlakukan “sistem kuota negara asal”. Periode imigrasi ketiga
terjadi pada 1947 sampai 1960, dimana terjadi peningkatan jumlah Muslim yang
datang ke AS, yang kini berasal dari negara-negara di luar Timur Tengah.
Gelombang keempat kemudian terjadi pada tahun 1965 saat Presiden Lyndon Johnson
menyokong rancangan undang-undang keimigrasian yang menghapuskan sistem kuota
negara asal yang sudah bertaha lama. Komunitas Muslim pertama berada di
Midwest. Di Dakota Utara, kaum Muslim berkumpul untuk shalat berjamaah pada
tahun-tahun pertama era 1900-an. Di Indiana, sebuah pusat kegiatan Islam
dimulai sejak 1914; dan Cedar Rapids, Iowa, adalah rumah bagi masjid tertua
yang masih digunakan hingga sekarang.
Daerborn,
Michigan, di pinggiran Detroit, adalah tempat Muslim Sunni dan Syiah dari
banyak negara Timur Tengah. Bersama umat Kristen dari Timur Tengah, kaum Muslim
Michigan membentuk komunitas Arab-Amerika terbesar di negara ini. Galangan
kapal di Quincy, Massachusetts, di luar Boston, menyediakan lapangan kerja bagi
imigran Muslim sejak tahun 1800-an. Di New England juga telah dibuat sebuah
Islamic Center, yang kini menjadi kompleks masjid besar untuk beribadah bagi
para pelaku bisnis, guru, profesional, serta pedagang dan buruh. Di New York,
Islam telah hadir dan muncul selama lebih dari satu abad. Jadi, secara pasti
tidak diketahui kapan Islam masuk ke Amerika, namun pendapat yang lebih banyak
diungkap bahwa agama Islam masuk ketika terjadi perbudakan. Sedangkan,
berdasarkan kedatangan Islam di Amerika Serikat terjadi dua tahap.
Tahap
pertama, jauh sebelum Cristopher Colombus menemukan benua Amerika. Pada tahap
ini keberadaan umat Islam sampai abad ke-19 tidak didapatkan sumber yang
menjelaskannya. Tahap kedua, pada akhir abad ke-19. Pada tahap ini Islam
tumbuh, sebagai awal perkembangan Islam di Amerika Serikat. Dasar utama yang
dijadikan sebagai argumen untuk menggambarkan migrasi Muslim ke Amerika. Salah
satu sumber semakin menguatkan anggapan ini dengan menyatakan bahwa penduduk
Muslim pertamakali bermigrasi ke Amerika sekitar tahun 1875 dan 1912 dari
pelosok Suriah (Smith, t.th. 14) Argumen ini juga diperpegangi oleh John L.
Esposito dengan menyatakan bahwa awal mula kedatangan migran Muslim pertama di
Amerika terjadi ketika para bangsawan Eropa mendatangkan budak dari Afrika.
Dari sekian banyak budak yang ada, ternyata seperlima dari mereka adalah
beragama Islam, namun sesampai mereka di Amerika sebagian di antara mereka
kemudian murtad dari agama asli mereka dan berpindah ke agama Kristen (Esposito
(ed), 1995: 121).
Ada
yang unik dengan perkembangan Islam di Amerika, hal itu terletak pada ruang
lingkup aliran-aliran dalam Islam yang cukup kondusif untuk berkembang. Ini
dapat diperhatikan pada aliran Syi’ah yang dewasa ini di samping berkembang
secara luas di Iran dan wilayah bagian Timur Tengah. Syī'ah cukup besar di negara-negara Barat,
terutama di Amerika. Menurut yang ditulis John L. Esposito bahwa komunitas
Syī'ah memperoleh pengakuan tersendiri dari penduduk muslim dan dapat diterima
terindentifikasi dengan masjid-masjid besarnya yang terletak di New York,
Detroit, Washingtong, Los Angles, dan Chicago, serta sejumlah kota besar di
Kanada. Kelompok Syī'ah lain yang ada di Amerika di samping Syī'ah Istna
Asyariah yang dimaksudkan dalam uraian terdahulu, adalah kelompok Syī'ah
Isma'iliyah. Kelompok ini membentuk komunitas makmur yang mencakup dari 80 ribu
orang pengikut di Kanada, khususnya di Vancouver dan Toronto, serta komunitas
kecil yang tersebar di seluruh Amerika Serikat khususnya di New York, dan
Kalifornia. Syī'ah Isma'ilyah memberi perhatian yang amat tinggi terhadap
pendidikan. Mereka memiliki struktur organisasi yang kuat dan mampu mengembang
kan lembaga-lembaga mereka secara efektif di Amerika Serikat (Esposito (ed),
1995: 124).
2. Strategi
dakwah dan perkembangan Islam di Amerika
Sejarah
Islam di Amerika Serikat bermula sejak sekitar abad ke 16, di mana Estevánico
dari Azamor adalah Muslim pertama yang tercatat dalam sejarah Amerika Utara.
Walau begitu, kebanyakan para peneliti dalam mempelajari kedatangan Muslim di
AS lebih memfokuskan pada kedatangan para imigran yang datang dari Timur Tengah
pada akhir abad ke 19. Migrasi Muslim ke AS ini berlangsung dalam periode yang
berbeda, yang sering disebut “gelombang”, sekalipun para ahli tidak selalu
sepakat dengan apa yang menyebabkan gelombang ini. Populasi penduduk Muslim di AS telah
meningkat dalam seratus tahun terakhir, di mana sebagian besar pertumbuhan ini
didorong oleh adanya imigran. Pada 2005, banyak orang dari negaranegara Islam
menjadi penduduk AS hampir 96.000 setiap tahun dibanding dua dekade sebelumnya.
Estevánico dari Azamor mungkin telah menjadi Muslim pertama yang tercatat
dalam sejarah Amerika Utara. Estevanico adalah orang Berber dari Afrika Utara
yang menjelajahi Arizona dan New Mexico untuk Kerajaan Spanyol. Estevanico
datang ke Amerika sebagai seorang budak penjelajah Spanyol pada abad ke 16.
Artikel
jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605931583
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=O2L2zlPCmHY
Masjid di New York Amerika (sumber: BSE Sejarah Peradaban Islam
Kurikulum 2013, hal. 164)
Sejak
tahun 1520-an telah didatangkan budak ke Amerika Utara dari Afrika.
Diperkirakan sekitar 500 ribu jiwa dikirim ke daerah ini atau sekitar 4,4% dari
total 11.328.000 jiwa budak yang ada. Diperkirakan sekitar 50% budak atau tidak
kurang dari 200 ribu jiwa budak yang didatangkan berasal dari daerah-daerah
yang sudah dipengaruhi oleh Islam. Menurut sumber lain, kedatangan paling awal
imigran Muslim adalah antara tahun 1875 dan 1912 dari kawasan pedesaan, yang
sekarang menjadi Suriah, Yordania, Palestina, dan Israel. Daerah ini dulunya
dikenal sebagai Suriah Raya yang diperintah oleh Kekaisaran Ottoman. Setelah
Kekaisaran Ottoman runtuh pada Perang Dunia I (PD I), terjadi gelombang kedua
imigrasi kaum Muslim dari Timur Tengah, di mana dalam periode ini pula
dimulainya kolonialisme Barat di Timur Tengah.
Pada
tahun 1924, aturan keimigrasian AS disahkan, yang segera membatasi gelombang
kedua imigrasi ini dengan memberlakukan “sistem kuota negara asal”. Periode
imigrasi ketiga terjadi pada 1947 sampai 1960, dimana terjadi peningkatan
jumlah Muslim yang datang ke AS, yang kini berasal dari negara-negara di luar
Timur Tengah. Gelombang keempat kemudian terjadi pada tahun 1965 saat Presiden
Lyndon Johnson menyokong rancangan undang-undang keimigrasian yang menghapuskan
sistem kuota negara asal yang sudah bertaha lama. Komunitas Muslim pertama
berada di Midwest. Di Dakota Utara, kaum Muslim berkumpul untuk shalat
berjamaah pada tahun-tahun pertama era 1900an. Di Indiana, sebuah pusat
kegiatan Islam dimulai sejak 1914; dan Cedar Rapids, Iowa, adalah rumah bagi masjid
tertua yang masih digunakan hingga sekarang. Daerborn, Michigan, di pinggiran
Detroit, adalah tempat Muslim Sunni dan Syiah dari banyak negara Timur Tengah.
Bersama umat Kristen dari Timur Tengah, kaum Muslim Michigan membentuk
komunitas Arab-Amerika terbesar di negara ini. Galangan kapal di Quincy,
Massachusetts, di luar Boston, menyediakan lapangan kerja bagi imigran Muslim
sejak tahun 1800-an. Di New England juga telah dibuat sebuah Islamic Center,
yang kini menjadi kompleks masjid besar untuk beribadah bagi para pelaku
bisnis, guru, profesional, serta pedagang dan buruh. Di New York, Islam telah
hadir dan muncul selama lebih dari satu abad.
Rumah
pertama yang lain bagi imigran Muslim adalah Chicago, Illinois, di mana
beberapa orang menyatakan jumlah Muslim yang tinggal di sini pada awal 1900-an
adalah yang terbanyak di antara kota-kota lain di AS. Lebih dari 40 kelompok
Muslim telah ada di kawasan Chicago. Di Los Angeles dan San Fransisco,
California, juga telah ada pusat komunitas Muslim yang besar. Islamic Center di
California Selatan adalah salah satu entitas Muslim terbesar di AS. Jumlah
Masjid di California juga adalah yang terbanyak di AS, yakni sekitar 227 masjid
pada tahun 2001.
Menurut
Lembaga Survey Pew pada tahun 2007, dua pertiga Muslim di AS adalah keturunan
asing. Di antara mereka telah bermigrasi ke AS sejak tahun 1990. Sedangkan
sepertiga dari Muslim AS adalah penduduk asli yang beralih ke Islam, dan
keturunan Afro-Amerika. Pada tahun 2005, menurut New York Times, lebih banyak lagi
orang dari negara-negara Muslim yang menjadi penduduk AS - hampir 96.000 -
setiap tahun dibanding dua dekade sebelumnya. Sedangkan menurut Council on
American-Islamic Relations (CAIR), jemaah masjid Sunni yang diperuntukkan bagi
umum di AS berasaldari latar belakang bangsa yang berbeda: Asia Selatan (33%),
Afro Amerika (30%), Arab (25%), Eropa (2,1%), Amerika kulit putih (1,6%), Asia
Tenggara (1,3%), Karibia (1,2%), Turki Amerika (1,1%), Iran Amerika (0,7%), dan
Hispanik/Latin (0,6%).
Ada
banyak organisasi Islam di AS, yaitu sebagai berikut:
a.
Kelompok yang paling besar adalah American
Society of Muslims (ASM atau Masyarakat Muslim Amerika), pengganti Nation of
Islam, yang lebih dikenal sebagai Black Muslim. Kelompok ini dipimpin oleh
Warith Deen Mohammed. Tidak begitu jelas berapa Muslim Amerika yang mengikuti
kelompok ini. Kepercayaan kelompok ini juga berbeda dengan kepercayaan Islam
pada umumnya, mereka tidak mengenali Muhammad adalah Rasul Allah yang terakhir.
b.
Kelompok terbesar kedua adalah Islamic
Society of North America (ISNA atau Masyarakat Islam Amerika Utara). ISNA
adalah suatu asosiasi organisasi-organisasi Muslim dan perorangan untuk
mempresentasikan Islam. Kelompok ini dibuat oleh imigran, beberapa etnis
Kaukasia dan sekelompok kecil Afro Amerika yang masuk Islam. Jumlah anggotanya
baru-baru ini mungkin telah melampaui ASM. Konvensi tahunan ISNA mungkin adalah
pertemuan Muslim paling besar di AS. Organisasi ini telah dikritik karena
menyebarkan ajaran Wahabi dan karena memiliki hubungan dengan terorisme.
c.
Kelompok terbesar ketiga adalah Islamic
Circle of North America (ICNA atau Lingkaran Islam Amerika Utara).
d.
Islamic Supreme Council of America (ISCA
atau Dewan Tertinggi Muslim Amerika) mewakili banyak Muslim AS. Tujuannya
adalah menyediakan solusi-solusi bagi Muslim Amerika, yang berlandaskan hukum
Islam.
e.
Islamic Assembly of North America (IANA
Himpunan Islam Amerika Utara), adalah suatu organisasi Muslim terkemuka di AS.
f.
Muslim Students’ Association (MSA atau
Asosiasi Pelajar-pelajar Muslim), adalah suatu kelompok yang diperuntukkan bagi
pelajar Islam di perguruan tinggi Kanada dan Amerika Serikat. MSA juga sering
dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti pengumpulan dana
untuk tunawisma selama Ramadhan.
g.
Islamic Information Center (IIC atau Pusat
Informasi Islam) adalah organisasi yang dibentuk untuk memberi informasi kepada
publik, sebagian besar melalui media, seputar Islam dan umat Muslim. Organisasi
politik Islam di AS berkepentingan untuk mengakomodasi kepentingan Muslim
disana. Organisasi seperti American Muslim Council aktif terlibat menegakkan
hak asasi dan hak warga negara bagi setiap orang Amerika.
h.
Council on American-Islamic Relations
(CAIR atau Dewan Hubungan Islam-Amerika), adalah organisasi Islam paling besar
yang mengakomodasi kepentingan Muslim di AS.
i.
Muslim Public Affair Council (MPAC atau
Dewan Permasalahan Masyarakat Islam), adalah suatu jawatan pelayanan bagi
masyarakat Muslim Amerika. Berpusat di Los Angeles, California dan memiliki
cabang di Washington, DC. MPAC didirikan pada 1988. Tujuan orgaisasi ini adalah
untuk memperkenalkan identitas Muslim Amerika, mengembangkan suatu organisasi
yang aktif, dan juga pelatihan bagi generasi masa depan baik pria dan wanita
untuk berbagai visi.
j.
American Islamic Congress, adalah
organisasi kecil dan moderat yang memper- kenalkan pluralisme.
k.
Free Muslims Coalition, dibentuk untuk
menghapus dukungan terhadap Islam radikal dan terorisme serta memperkuat
institusi yang demokratis di Timur Tengah dan Dunia Islam dengan mendukung
usaha reformasi Islam.
3. Tokoh-tokoh
ilmu pengetahuan Islam di Amerika
Gerak
dan laju perkembangan Islam di Amerika tidak terlepas dari perjuangan seorang
muslim Amerika-Eropa. Adapun tokoh-tokoh Islam di Amerika diantaranya
(Supriyadi, 2008: 319-322):
a. Muhammad
Alexander Russel Webb.
Beliau
dilahirkan di Hudson, Columbia, New York dan belajar di Hudson dan New York.
Beliau terkenal dengan tulisan cerita pendeknya. Kemudian beliau bekerja
sebagai Pemimpin Redaksi Majalah “St. Joseph Gazette” dan “Missouri
Republican.” Pada tahun 1887 diangkat menjadi konsul Amerika Serikat di Manila.
Selama menjalankan tugas itulah beliau mempelajari Islam dan menggabungkan
dirinya dalam lingkungan kaum muslimin. Setelah menjadi muslim, beliau
mengadakan perjalanan keliling dunia Islam, dan sampai akhir hayatnya beliau
mencurahkan waktu untuk melaksanakan misi Islam, dan duduk sebagai pimpinan
Islamic Propaganda Mission di Amerika Serikat. Meninggal dunia pada awal
Oktober tahun 1916 (Mohammad, 2017: 213).
Gerak
dan laju perkembangan Islam di Amerika tidak terlepas dari perjuangan seorang
Muslim Alexsander Russel Webb, beliau berusaha secara langsung dan
sungguh-sungguh untuk menarik orangorang Amerika agar memeluk Islam.Untuk
merealisasikan tujuannya, pada tahun 1843 Ia mendirikan organisasi American
Islamic Propagation Movment dan mendirikan penerbit The Moeslem World serta
memberikan kuliah di beberapa kota. Ia menjadi kritis dan bersemangat terhadap
greja Kristen serta membela Islam dengan sangat tinggi. Kapasitasnya sebagai
penyiar Islam, ia telah menulis tiga buah buku termasuk buku pedoman shalat
bergambar. Menjelang kematiannya pada tahun 1916 Webb telah berhasil mendirikan
tujuh cabang Moslem Brotherhhood atau American Islamic Propaganda diberbagai
kota dipantai timur dan kota-kota pedalaman Amerika. Meskipun organisasinya
menjadi bubar, namun tidak dapat diragukan bahwa para anggotanya telah
mempengaruhi upaya-upaya selanjutnya dalam membina Islam di Amerika serikat
(Mohammad, 2017: 213).
b. Noble
Drew Ali.
Noble
Draw Ali lahir di negara bagian North Carolina pada tanggal 8 Januari 1886, dia
merupakan anak dari mantan budak yang diadopsi oleh suku Cherokee dan diberi
nama Kristen Thimotheus Amerika. Ayahnya berasal dari Maroko yang menganut
Islam. Ia merupakan salah satu pemimpin spiritual pertama yang menyebarkan
ajaran Islam kepada warga kulit hitam Amerika. Bermarkas di Newark, New Jersey,
dari tempat ibadahnya (Moorish Science Temple), Ali mencoba membangkitkan harga
diri para pengikutnya dengan memberi keyakinan bahwa mereka adalah Asiatics,
dan mewajibkan mereka memiliki kartu identitas dan kebangsaan. Kartu itu
menunjukkan bahwa pemegangnya adalah seorang pengikut "semua Nabi termasuk
Yesus, Muhammad, Budha, dan Confusius." Para pengikutnya juga tidak
mengenalnya sebagai seorang Negro atau orang Afrika, tetapi sebagai Amerika
Moor.(Supriyadi, 2008;322)
Drew
sebenarnya bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, tetapi ia mempunyai
pengetahuan tentang Islam yang diangapnya sebagai kunci yang telah lima tahun
kemudian yang dinamakan Black Libration. Misi utamanya adalah membangkitakan
kesadaran orang Afrika-Amerika tentang Islam. Untuk tujuan ini, pada tahun 1913
ia mendirikan Mourish Science Temple di New York, New Jersey. Dengan usahanya
ini, gerakan Draw meluas ke Pitsburgh, Detroid, Chicago, dan beberapa kota lain
di daerah selatan. Gerakan yang dilancarkan Drew menggunakan simbol-simbol
Islam, seperti kitab suci Al-qur‟an, memakai peci, memakai nama-nama Muslim,
dan penolakan terhadap kepercayaan tertentu dari agama Kristen, akan tetapi
gerakan ini merupakan campuran dari nasionalisme hitam dan kebangkitan Kristen
dengan campuran yang menggabungkan dari ajaran-ajaran Islam. Ajaran ini bukan
ajaran Islam sejati, tetapi suatu penemuan penting bagi kesadaran Islam.
c. Elijah
Muhammad
Elijah
Muhammad (1897-1975) adalah pimpinan kelompok the Nation of Islam (yang juga
popular dengan sebutan “Black Muslims” pada masa perkembangan mereka yang pesat
di Amerika, pertengahan abad ke-20. Ia juga seorang pengacara independen
terkemuka, pemimpin pengelola bisnis yang didukung kelompok kulit hitam,
pemimpin berbagai yayasan, dan organisasi keagamaan. Elijah Muhammad terlahir
sebagai Elijah (atau Robert) Poole pada 7 Oktober 1897, di Sandersville,
Georgia. Orang tuanya adalah buruh kasar yang bekerja sebagai petani penggarap
di perkebunan kapas. Sebagaimana remaja lain di kampungnya, Elijah bekerja di
ladang terkadang ikut bekerja membangun rel kereta api. Ia pergi meninggalkan
rumah pada usia 16 tahun dan berkelana bersama rombongan para pekerja kasar. Ia
kemudian menetap di Detroit tahun 1923, bekerja sebagai buruh di pabrik mobil
Chevrolet.
Poole
dan kedua saudaranya adalah pengikut pertama dari W.D. Fard, pendiri the Nation
of Islam. Fard, berlatar belakang misterius, datang ke Detroit pada 1930,
sebagai penjual barang-barang sutera sambil menyampaikan ajarannya kepada para
langganannya kaum kulit hitam Detroit dan bercerita tentang negeri “asli”
leluhur mereka di seberang lautan. Kemudian Fard juga mulai menyelenggarakan
berbagai pertemuan di rumahnya, dan terkadang menyewa hall (aula), ia
menyampaikan kepada pendengarnya tentang leluhur kulit hitam mereka yang
memiliki kemuliaan dan martabat yang berada di benua lain. Ia mengajak mereka
untuk mengikuti jejak saudara-saudaranya itu dengan cara hidup, cara makan, dan
cara berpakaian.
Dengan
menetap di Chicago, terpisah dari kelompok Muslim cabang Detroit, Elijah
Muhammad mendirikan markas gerakan yang kemudian menjadi pusat pergerakan
terpenting. Di Chicago ia bukan hanya mendirikan masjid (yang mereka sebut The
Temple of Islam), tetapi juga sebuah surat kabar, Muhammad Speaks, juga
Universitas Islam (yang sesungguhnya hanya memberi kurikulum untuk tingkat sekolah
dasar sampai dengan tingkat lanjutan atas), serta membangun gedung-gedung
apartemen yang dimiliki oleh yayasan yang dipimpinnya, pusat-pusat
perbelanjaan, dan banyak restoran. Masjid-masjid juga didirikan di kota-kota
lain, banyak pula tanah-tanah pertanian serta peternakan yang dibeli sehingga
mereka bisa menyediakan dan memproduksi makanan halal bagi para pengikut
mereka. Kelompok ini dikenal memiliki cara hidup yang disiplin.
Elijah
Muhammad meninggal pada 25 February 1975. Semenjak kematiannya, kepemimpinan
gerakannya dilanjutkan oleh anaknya, Wallace (atau Warith) Deen Muhammad.
Elijah junior menamakan gerakannya the World Community of Islam in The West,
kemudian berubah menjadi The American Muslim Mission; terkadang ia juga
menyebut sebagai “Bilalians,” merujuk kepada Bilal, seorang pengikut Nabi
Muhammad yang berasal dari keturunan Afrika. Warith Muhammad melonggarkan tata
cara berpakaian, serta meninggalkan pelarangan mengikuti wajib militer, juga
menganjurkan anggotanya mengikuti pemilu dan menghormati bendera negara, bahkan
membuka keanggotaan gerakannya bagi bangsa kulit putih. Secara umum, ia membuat
kelompok gerakan pada aturan Islam yang lebih moderat.
Banyak
anggota merasa tak nyaman dengan berbagai pembaruan tersebut, dan beralih
kepada kelompok yang masih mempertahankan tradisionalismenya. Yang paling
penting adalah mereka tetap mempertahankan salah satu nama lama mereka, The
Nation of Islam, yang dipimpin oleh Louis Farrakhan (terlahir sebagai Louis
Eugene Walcott keturunan Indian-Inggris tahun 1934). Farrakhan pada dasarnya
tetap mempertahankan tata-cara yang diterapkan Elijah Muhammad, di antaranya
penerapan ketat terhadap cara hidup mereka.
d. Bampett
Muhammad
Ia adalah satu dari anggota pasukan di bawah
komando Jenderal George Washington, yang turut serta dalam Perang Revolusi AS,
tepatnya tergabung dalam pasukan Virginia Line pada 1775 dan 1783. Bampett
menjadi satu dari banyak tentara AS yang gugur membela negara itu. Selain
Bampett Muhammad terdapat nama Yusuf Ben Ali yang juga merupakan pejuang AS
berkebangsaan Arab dari Afrika Utara. Di periode yang sama, saat perang masih
berkecamuk di AS, ada juga nama Peter Buckminster. Peter Buckminster disebut sebagai
seorang tentara Muslim yang menembak mati Mayor Jenderal Inggris John Pitcairn
saat pertempuran di Bunker Hill. Peter Buckminster kemudian bergabung di
Pertempuran Saratoga yang legendaris. Buckminster kemudian mengubah namanya
menjadi Salem or Salaam yang berarti damai. George Washington, yang kemudian
hari menjadi Presiden pertama AS tak memersoalkan keyakinan yang berbeda
bergabung dalam tentara nasional AS.
e. Fazlur
Rahman Khan
Pria
keturunan Bangladesh AS ini adalah insinyur dan pelopor pembangunan struktur
gedung pencakar langit AS. Inovasinya dalam sistem pembangunan gedung telah
diaplikasikan di banyak gedung AS, dari gedung World Trade Center sampai
gedung-gedung hotel milik Trump.
f.
Ayub Ommaya
Dokter
muslim yang satu ini berjasa atas penemuannya di bidang medis pada 1963, yaitu
sistem kateter yang dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan dan memasukkan
obat, ke luar dan dalam otak. Nantinya ini sangat berguna untuk kemoterapi bagi
penderita kanker otak (Vania, 2018). Selain Muhammad Alexander Russel Webb,
Noble Drew Ali, Elijah Muhammad, Bampett Muhammad dan lainnya, ternyata masih
ada banyak tokoh lain yang juga ikut andil dalam perkembangan Islam di Amerika
Serikat. Diantaranya W.D Fard, Elijah Muhammad, Job Ibnu Dijallo, Malcom X dll.
Jumlah persis kaum Muslimin di Amerika dewasa ini sulit diketahui, karena
identitas agama tidak dicantumkan dalam sensus penduduk, dinas Imigrasi pun
tidak mencatat para imigran yang memeluk Islam (Supriyadi, 2008: 322).
Dunia
Islam terjaga dari tidurnya yang nyenyak dan muncul kesadaran bahwa mereka
telah mundur dan jauh ditinggalkan Eropa. Muncullah kemudian ulama dan
pemikir-pemikir Islam dengan ide-ide yang bertujuan memajukan dunia Islam dan
mengejar ketertinggalan dari Barat sampai sekarang. Apa yang dimaksud dengan
teologi modernisme adalah mainstrem pemikiran paradigmatik manusia modern yang
menjadi landasan tegaknya sejarah peradaban modern. Atas nama teologi deisme
dan agnotisisme menjadi dasar mainstrem modernisme tersebut. Teologi ini muncul
bersamaan dengan renaisance sebagai antitesa dari era scholastik dengan teologi
klasiknya yang membelenggu. (Arif, 2017;193)
4. Pusat-pusat
peradaban Islam di Amerika
Pada
awalnya agama Islam dianggap sebagai agama para imigran Timur-Tengah atau
Pakistan yang menetap dan bertempat tinggal di beberapa kota di Amerika (Usman,
2003;57). Rumah pertama yang lain bagi imigran Muslim adalah Chicago, Illinois,
di mana beberapa orang menyatakan jumlah Muslim yang tinggal di sini pada awal
1900-an adalah yang terbanyak di antara kota-kota lain di AS. Lebih dari 40
kelompok Muslim telah ada di kawasan Chicago. Di Los Angeles dan San Fransisco,
California, juga telah ada pusat komunitas Muslim yang besar. Islamic Center di
California Selatan adalah salah satu entitas Muslim terbesar di AS. Jumlah
Masjid di California juga adalah yang terbanyak di AS, yakni sekitar 227 masjid
pada tahun 2001.
Gedung
Pusat Peradaban Islam di New York (sumber: BSE Sejarah Peradaban Islam
Kurikulum 2013, hal. 170)
Kemudian
terus menerus mengalami berkembangan sehingga muncul suatu kekuatan Islam yang
disebut “black moslem”.
Elijah
Muhammad, Chicago, 1963.(sumber: www.theseamericans.com)
Black
moslem didirikan oleh Elijah Muhamad di Chicago. Sesuai dengan namanya Black
Moslem mendapat banyak pengikut terutama dari orang-orang yang berkulit hitam.
Black Moslem didukung oleh orang-orang berkulit hitam dan berjuang menuntut
persamaan hak. Elijah Muhamad dalam organisasinya mengambil prinsip-prinsip
ajaran agama Islam yang tidak membedakan warna kulit Umat Islam yang masih
terhitung sebagai minoritas yang relatif baru di Amerika Serikat. Jumlah yang
terus tumbuh pesat sekitar tahun 1970-1980 ketika perang dan perselisihan merebak
di Turki, Afganistan, Levant, dan Anak Benua India serta gelombang besar
Imigran berdatangan. Lebih dari separuh Muslim Amerika (56%) adalah perantau
dan sebagian lagi merupakan penduduk tetap yang telah lama menetap di Amerika
(Lebor, 1998;303-304)
Keminoritasan
tersebut tidak membuat Islam di Amerika menjadi asing, karena berdasarkan
sejarah dari sekian banyak budak Afrika Barat yang dibawa ke Amerika adalah
muslim. Yarrow Mahmaut yang merupakan seorang budak Afrika yang dibebaskan pada
tahun 1807. Ia kemudian menjadi salah satu pemegang saham di bank pembiayaan
Amerika yang ke dua, Columbia Bank. Setengah abad kemudia kaveleri Amerika
serikat merekrut seseorang yang seagama dengannya Haji Ali, untuk peternakan di
Arizona. Pada tahun 1865, pada akhir perang sipil, pustakawan di Universitas
Alabama menyimpan satu buku dari serangan pasukan Yankee yang akan
menghancurkan perpustakaan itu. Buku itu adalah salinan terjemahan al-Qur’an
(Lebor, 1998; 303-304).
Dibalik
perkembangan Islam di Amerika serikat, para pemberi kebijakan di Amerika, masih
ragu-ragu dalam mengambil posisi yang pasti terhadap kebangkitan Islam di
Amerika Serikat. Keraguan tersebut berakar dari ketidakmampuan Washington dalam
memprediksi dan mengukur dampak-dampak kebijakan luar negeri pada negara-negara
Islam pada saat mereka memegang kekuasaan. Dalam perkembangannya Islam di
kawasan Amerika ini mengalami kendala historis yang sangat serius. Bangsa
Amerika mengenal Islam itu sendiri dari orang-orang yang mereka pekerjakan sebagai
budak, dan para budak-budak tersebut selalu memegang teguh keimanannya dan
agama Islam yang mereka anut, mereka tidak mau memakan daging daging babi, dan
percaya kepada Allah dan Muhammad serta selau bersikap jujur dan amanah. Sikap
dan prilaku kebiasaan para budak tersebutlah, dipandang sebagai sistem
kepercayaan baru bagi mereka (Supriyadi, 2008; 317-318).
Pendidikan
multicultural sekarang sudah mengalami perkembangan baik teoritis maupun
praktek sejak konsep paling awal muncul tahun 1960-an yang pertama kali
dikemukakan oleh Banks. Pada saat itu, konsep pendidikan multikultural lebih
pada supremasi kulit putih di Amerika Serikat dan diskriminasi yang dialami
kulit hitam. Pendidikan multikultural yang berkembang di kalangan masyarakat
Amerika bersifat antarbudaya etnis yang besar, yaitu budaya antarbangsa.
Pendidikan di Amerika Serikat pada mulanya hanya dibatasi pada migran berkulit
putih. Sejak didirikan sekolah rendah pertama tahun 1633 oleh imigran Belanda
dan berdirinya Universitas Harvard di Cambridge, Boston tahun 1636. Baru tahun
1934 dikeluarkan Undang Undang Indian Reservation Reorganization Act di daerah
reservasi suku Indian. Tujuan pendidikannya adalah proses Amerikanisasi. Suatu
kelompok etnis atau
etnisitas adalah populasi
manusia yang anggotanya saling mengidentifikasi satu
dengan yang lain, biasanya berdasarkan keturunan. Pengakuan sebagai kelompok
etnis oleh orang lain seringkali merupakan faktor yang berkontribusi untuk
mengembangkan ikatan identifikasi ini. Kelompok etnis seringkali disatukan oleh
ciri budaya, perilaku, bahasa, ritual, atau agama.
Pendidikan
Multikultural berkembang di dalam masyarakat multikultural Amerika yang
bersifat antarbudaya etnis yang besar yaitu budaya antarbangsa. Ada upaya untuk
mengubah Pendidikan Multikultural dari yang bersifat asimilasi yaitu berupa
penambahan materi multikultural menuju ke arah yang lebih radikal berupa Aksi
Sosial. Berkaitan dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan
dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika
Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John
Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan bagi kepentingan
bersama, akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan
anggota masyarakat.
Islam
berkembang sejalan dengan perkembangan kaum muslimin di berbagai kawasan
Amerika, sebagaimana yang tampak dari sejumlah peribadatan dan pusat kegiatan
keagamaan Islam dibeberapa kota besar dan kecil. Seperti di Cicago, terdapat
perguruan tinggi American Islam College, di North California berdiri American
Muslem School, di samping banyak Universitas-universitas yang menyelanggarakan
program Islamic Studies seperti Universitas Chicago, Universitas Cholumbia,
Universitas Harvard, Universitas California di Berckley, Universitas New York
di Banghamtem, Universitas Michigan, Universitas Texas di Australia,
Universitas Utah di Salthake City, Universitas Temple di Philadelpia, dan
Universitas Mc. Gill di Monteral Canada. (Supriyadi, 2008;317-318)
The
monumental main building (1922) and the subsequent additions (1955) were both
designed by Barry Byrne (1883-1967), a Chicago native and one of Franklin Lloyd
Wright’s four best known students (sumber: http://www.aicusa.edu)
Dengan
adanya pusat-pusat studi Islam, pemahaman bangsa Amerika terutama di kalangan
intelektual terhadap Islam semakin baik, dibandingkan dengan sebelumnya yang
sangat negatif.Keilmuan yang berkembangan tidak serta-merta berpengaruh secara
simetris terhadap perkembangan keilmuan dan kemajuan intelektualitas Islam abad
pertengahan. Hal inilah yang mempengaruhi terhadap kebudayaan sesudahnya, baik
dalam konteks dunia Islam (Timur) maupun Barat (Hak: 2010). Sekitar akhir abad
ke-13M seluruh ilmu pengetahuan dari Islam bisa dikatakan telah selesai
ditransmisikan ke Barat (Suriana: 2013).
Perkembangan
pemikiran dan peradaban Islam ini karena didukung oleh para khalifah yang cinta
ilmu pengetahuan dengan fasilitas dan dana secara maksimal, stabilitas politik
dan ekonomi yang mapan. Hal ini seiring dengan tingginya semangat para ulama
dan intelektual muslim dalam melaksanakan pengembangan ilmu pengetahuan agama,
humaniora dan eksakta melalui gerakan penelitian, penerjemahan dan penulisan
karya ilmiah di berbagai bidang keilmuan (Hasssanuddin: 2014). Masuknya Islam
di Barat hingga bercampur-baur, dengan membawa hasil hasil peradaban dan cara
hidup, secara langsung, atau tidak langsung berpengaruh terhadap masyarakat
Barat dari segi keilmuan. Pengaruh ini terlihat hampir pada seluruh aspek
kehidupan masyarakat Islam di Barat (Mugiyono: 2013).
Selanjutnya
pada abad ke-9 dan ke-10 adalah saat pusat pusat Islam di Spanyol sedang berada
di puncak kecemerlangannya. Pusat-pusat intelektual di Barat hanya berupa
benteng-benteng yang dihuni oleh para bangsawan yang dirinya merasa bangga atas
ketidakmampuan membaca mereka (Ubadah: 2008). Sesudah melalui sejarah yang
panjang proses transformasi dan penyerapan Peradaban Islam ke dalam Kebudayaan
Barat, para Ilmuwan Barat, di bawah kepemimpinan para Pendeta Kristen, mulai
mengembangkan keilmuan mereka (Zarkasyi: 2013: 186).
Seorang
penulis muslim, Ali M. Kertani seperti yang dikutib oleh Mukti Ali mengemukakan
bahwa konversi agama di Amerika Serikat terjadi 3-4% setiap tahun dari penduduk
muslim Amerika. Selanjutnya, ia menerangkan bahwasanya ada dua faktor yang
menyebabkan meningkatnya konversi agama, yaitu meningkatnya kelahiran yang
alami dan meningkatnya imigrasi dari negara-negara Islam. Terutama dikalangan
mahasiswa yang jumlahnya sangat besar datang ke Amerika (Fauzi, 2002: 295).
Menurut
Lembaga Survey Pew pada tahun 2007, dua pertiga Muslim di AS adalah keturunan
asing. Di antara mereka telah bermigrasi ke AS sejak tahun 1990. Sedangkan
sepertiga dari Muslim AS adalah penduduk asli yang beralih ke Islam, dan
keturunan Afro-Amerika. Pada tahun 2005, menurut New York Times, lebih banyak
lagi orang dari negara-negara Muslim yang menjadi penduduk AS - hampir 96.000 -
setiap tahun dibanding dua dekade sebelumnya. Sedangkan menurut Council on
American-Islamic Relations (CAIR), jemaah masjid Sunni yang diperuntukkan bagi
umum di AS berasal dari latar belakang bangsa yang berbeda: Asia Selatan (33%),
Afro Amerika (30%), Arab (25%), Eropa (2,1%), Amerika kulit putih (1,6%), Asia
Tenggara (1,3%), Karibia (1,2%), Turki Amerika (1,1%), Iran Amerika (0,7%), dan
Hispanik/Latin (0,6%).
Pasca
peristiwa pengeboman WTC tahun 2001, umat Islam di Amerika berada dalam ambang
toleransi dan menerima perlakuan yang kurang terpuji dari pemerintah dan
penduduk setempat. Namun lambat laun perlakuan serupa berkurang seiring dengan
tingkat keingintahuan masyarakat Amerika terhadap ajaran Islam yang sebenarnya.
Konon buku terlaris di Amerika saat ini adalah Alquran dan pemicu dari semua
itu adalah informasi sepihak pemerintah serta keinginan mendiskreditkan Islam,
maka lahirlah generasi-generasi penasaran terhadap Islam kemudian menjadikan
Islam sebagai agama alternatif. Perlakuan Amerika terhadap dunia Islam masih
sangat beragam, mulai dari status sebagai musuh bebuyutan hingga sekutu
strategis. Ini menandakan bahwa peluang Islam untuk tetap maju di Amerika juga
masih sangat besar.
Islam
menjunjung tinggi toleransi. Namun toleransi apa dulu yang dimaksud. Toleransi
yang dimaksud adalah bila kita memiliki tetangga atau teman Nashrani, maka
biarkan ia merayakan hari besar mereka tanpa perlu kita mengusiknya. Namun
tinggalkan segala kegiatan agamanya, karena menurut syariat Islam, segala
praktek ibadah mereka adalah menyimpang dari ajaran Islam alias bentuk
kekufuran. Dalam realitanya, makna Islam rahmatan lil ‘alamin sudah mengalami
penyempitan makna, akibat dari pemahaman yang tidak utuh. Sebagian memahami dengan Islam yang lembut
dan damai. Sehingga ketika ada saja sedikit reaksi perlawanan dari umat Islam
terhadap penjajahan barat, baik secara non fisik, apalagi fisik, maka langsung
dicap Islam yang tidak rahmatan lil ‘alamin. Islam adalah agama rahmatan lil
‘alamin artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan
bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi
sesama manusia. Maka kita seorang mukmin mukminat bersama jujung toleransi,
tolong menolong, berlomba dalam kebaikan guna mewujudkan Islam yang rahmatan
lil ‘alamin dan orang lain yang bersama kita merasa nyaman dan tenang.
C.
Perkembangan
Islam di Eropa
1.
Sejarah masuknya Islam di Eropa
Kehadiran
Islam di Benua Eropa bukan gejala baru. Islam sesungguhnya telah lama masuk ke
Eropa. Puncak kejayaannya ketika Islam berpusat di Spanyol dengan ibu kota
Cordova semasa Bani Umayyah dan sebagian pada masa Bani Abbasiyah. Namun pada
perkembangan selanjutnya realitas sejarah menunjukan kondisi yang berbeda,
Islam menjadi tersingkirkan dari tanah Eropa dan menjadi masyarakat minoritas
saja. Kondisi ini terus berlanjut sampai masa sekarang. Hubungan Eropa dan
dunia Islam telah saling berhubungan dekat selama berabad-abad. Sejak, negara
Andalusia (756-1492) di Semenanjung Iberia, dan kemudian selama masa Perang
Salib (1095-1291), serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan
Utsmaniyyah (1389) memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kedua
masyarakat itu.
Kini
banyak pakar sejarah dan sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah pemicu utama
perpindahan Eropa dari gelapnya Abad Pertengahan menuju terangbenderangnya Masa
Renaisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di bidang kedokteran, astronomi,
matematika, dan di banyak bidang lain, kaum Muslim memiliki perbendaharaan ilmu
pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat dalam membangun. Eropa
merupakan salah satu benua yang cukup luas sekitar 27.273.727 km2, dan terbagi kepada
33 negara. Data ini sebelum terpecahnya negara Uni Soviet dan Yugoslavia. Dari
33 negara itu diantaranya berada di bagian barat. Secara umum, perkembangan
Islam di negara-negara Eropa Barat bisa dikatakan tidaklah begitu pesat. Hal
ini terbukti bahwa agama Islam di Eropa Barat hanya dipeluk oleh sebagian kecil
masyarakat saja. Mayoritas agama di Eropa Barat adalah memeluk agama Kristen,
terutama Kristen Kathoik Roma (Nielsen, 1992: 12).
Bila
kita menelusuri sejarah pramodern Islam di Eropa Barat terdiri dari dua bagian:
Pertama, dari abad ke-8 hingga akhir abad ke-15, ada wilayah-wilayah yang
dikuasai oleh Muslim, tempat posisi Islam sebagai mayoritas, selain di Spanyol
Muslim juga seperti di Sicilia. Inilah kondisi yang terjadi selama berbagai
periode di sejumlah pulau di Laut Tengah dan kantong-kantong kecil di Italia
Selatan dan Prancis Selatan. Kedua, sejarah Islam sebagai minoritas di Eropa
Barat di mulai sekitar abad ke19, ketika para penguasa Kristen khususnya di
Semenanjung Iberia memutuskan untuk tidak lagi mengeksekusi tawanan Muslim, dan
mulai menjual dan menggunakan mereka sebagai budak (Esposito, 2001: 397).
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98021043410567427
Sejak
penghujung abad ke-11, fenomena sosial budak Muslim di wilayah-wilayah Kristen
semakin penting, khususnya di Semenanjung Iberia, Italia, Prancis Selatan,
Sisilia, dan Kepulauan Balearic. Bagi beberapa kerajaan Kristen di Semenanjung
Iberia, periode dari abad ke-12 hingga ke-16 merupakan kekecualian pola ini.
Ketika wilayah-wilayah Spanyol Muslim ditaklukan kembali oleh rajaraja Kristen,
komunitas-komunitas Muslim lokal mendapat kebebasan dan perlindungan beragama
meskipun diprotes oleh gereja Katolik. Akan tetapi, setelah kejatuhan Granada
(1492), komunitaskomunitas ini dibaptis secara paksa, dan akhirnya, pada awal
abad ke-17, dengan dicap "kaum sesat", mereka di usir, sebagian besar
ke Afrika Utara. Akan tetapi, hal ini tidak mengakhiri fenomena sosial para
budak Muslim. Keberadaan mereka di negara-negara Eropa sekitar Laut Tengah
terdokumentasi, tanpa terputus, hingga abad ke-19. Periode pencerahan, yang
diikuti dengan Revolusi Prancis, dimaklumkannya kebebasan beragama sebagai hak
asasi manusia universal dan dihapuskannya perbudakan, menciptakan
kondisi-kondisi yang amat diperlukan oleh era modern dalam Islam Eropa Barat
(Esposito, 2001: 398).
Hal
ini membuka peluang yang relatif menguntungkan untuk keberadaan umat Islam dan
kiprah mereka dalam melaksanakan dakwah. Umat Islam di Eropa, juga berasal dari
imigranimigran negaranegara mayoritas Muslim, terutama setelah perang dunia ke
II. Berbeda dengan ketika datangnya Islam di bawah panglima Thariq bin Ziyad ke
dataran Eropa sebagai tentara yang gagah dan siap menguasai Eropa, kedatangan
orang-orang Muslim selepas perang dunia ke II dalam keadaan sebaliknya. Akibat
usainya perang, Eropa perlu kembali membangun pabrik-pabrik yang telah hancur
dan menata kehidupan ekonomi lainnya. Untuk itu perlu tenaga kerja kasar yang
murah. Tenaga kerja yang didatangkan adalah sebagian besar umat Islam. Penguasa
Eropa memandang dirinya sebagai orang yang mendapat kepercayaan menjinakan
manusia-manusia biadab yang terbelakang, penyembah berhala, untuk diselamatkan
kepangkuan Gereja. Orang Muslim dipandang sebagai keturunan manusia yang memang
segalanya berbeda dengan orang Eropa yang gagah dan terpelajar (Darsh, 1980:
46-49).
Sikap
seperti ini sebagai salah satu ekses dari keberadaan Eropa yang dalam beberapa
abad lamanya mencengkram dengan kuku kolonialismenya terhadap bangsa Asia yang
mayoritas umat Islam. Penyebaran imigran Muslim di Eropa sekarang mencerminkan
wilayah pengaruh penjajah masa lalu. Kebanyakan imigran yang menetap di Prancis
adalah Maroko, Aljajair, dan sejumlah Muslim Afrika Selatan Sahara. Mereka
semua dulunya dijajah Prancis. Inggris banyak ditempati imigran dari anak benua
India, Malaysia, dan sejumlah orang Yaman, Somalia dan Afrika Utara. Sedangkan Jerman
agak berbeda, imigran yang ada di sana kebanyakan orang Turki, Maroko, dan yang
lainnya yang dahulunya tidak ada kaitan dengan pengaruh Jerman. Sekalipun
mereka semuanya orang Muslim, namun gaya hidup masing-masing sesuai dengan
kebiasaan dan sikap hidup yang dibawa dari negeri asalnya yang menunjukkan
adanya perbedaan (Darsh, 1980: 70).
Pendataan
tahun 1999 oleh PBB menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1998, jumlah
penduduk Muslim Eropa meningkat lebih dari 100 persen. Dilaporkan bahwa
terdapat sekitar 13 juta umat Muslim tinggal di Eropa saat ini: 3,2 juta di
Jerman, 2 juta di Inggris, 4-5 juta di Prancis, dan selebihnya tersebar di
bagian Eropa lainnya, terutama di Balkan. Angka ini mewakili lebih dari 2% dari
keseluruhan jumlah penduduk Eropa. Masalah umat Islam eropa sekarang adalah
sikap orang-orang eropa yang tengah terjangkiti paranoid berlebihan dan
cenderung diskriminatif terhadap orang Islam. Ketakutan semacam itu semakin
menjadi-jadi setelah Presiden Amerika Serikat, George W. Bush menyatakan perang
terhadap teroris menyusul peristiwa 11 September 2001, yang notabene
menyudutkan umat Islam (Aliyudin, 2008: 1055).
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605886991
2.
Strategi dakwah dan perkembangan Islam di
Eropa
Berdasarkan
data sejarah, Islam memasuki benua Eropa melalui empat periode, yaitu:
a.
Periode kekhalifahan Islam di Spanyol
(Andalusia) selama ± 8 abad dan pemerintahan umat Islam di beberapa pulau, di
antaranya: Perancis Selatan, Sicilia, dan Italia Selatan. Kekhalifahan Islam di
Spanyol berakhir pada tahun 1492.
b.
Adanya penyebaran tentara Mongol pada abad
ke-13. Di antara penguasa Mongol yakni Dinasti Khan yang beragama Islam.
Kekuasaannya berpusat di Sungai Volga sebelah utara Laut Kaspia dan Laut
Tengah. Ia meninggalkan penduduk muslim di sekitar sungai Volga hingga Kaukasus
dan Krimea, yang terdiri dari orang Tartar, kemudian mereka menyebar ke
berbagai wilayah kekaisaran Rusia. Mereka menjadi penduduk Finlandia, wilayah
Polandia, dan Ukraina.
c.
Periode ekspansi kekhalifahan Turki Usmani
sekitar abad ke-14 dan ke-15 ke wilayah Balkan dan Eropa Tengah. Bahkan di
Albania umat Islam merupakan penduduk mayoritas.
d.
Periode kaum imigran Muslim memasuki benua
Eropa setelah perang dunia ke-2, terutama ke negara-negara industri, seperti:
Perancis, Jerman, Inggris, Belanda, dan Belgia.
Sedangkan
perkembangan Islam di Eropa antar tiap negara berbeda-beda, baik karena
penganut agama setempat yang kuat, kondisi masyarakat setempat, hingga sifat
dan pemikiran masyarakat setempat. Berikut ini akan kita bahas bersama-sama
beberapa negara dengan perkembangan Islamnya, antara lain:
1)
Perkembangan Islam di Belanda
Agama
Islam di negara Belanda berkembang berkat perjuangan Abdul Wahid Van Bommel. Di
sana berdiri organisasi Islam seperti Federatie Organisaties Muslim Nederland
yang diketuai oleh Abdul Wahid. Organisai tersebut kemudian diubah menjadi
Islamitische Informatie Cendrum. Melalui organisasi tersebut beliau berjuang
menuntut hak agar dapat menunaikan shalat wajib lima waktu termasuk shalat
Jum’at. Berdasarkan data statistik Central Burea de Statistick 1994, jumlah
umat Islam Belanda mencapai 3,7% dari total penduduk 15.341.553 jiwa. Umat
Islam di Belanda umumnya imigran yang bersal dari Turki, Maroko, Suriname,
Pakistan, Mesir, Tunisia, dan Indonesia, selain warga negara asli Belanda. Pada
tahun 1990, di seluruh Belanda jumlah masjid mencapai 300 buah, di antaranya
Masjid Mubarak yang didirikan di kalangan Ahmadiyah, Masjid Maluku, dan Masjid
An-Nur di Balk. Masjid lain yang terkenal adalah Masjid Al-Hikma di
Heesurjkpein, Deen Haag.
Gedung
Pusat Kebudayaan Islam di Belanda (sumber: BSE 173 Sejarah Peradaban Islam
Kurikulum 2013, hal. 173)
2)
Perkembangan Islam di Inggris
Penyebaran
Islam di Inggris terjadi berkat jasa Mozambores. Mozambores merupakan dokter
Istana Raja Henry I. Pada tahun 1951, penduduk muslim di negara itu
diperkirakan baru mencapai 23.000 jiwa. Sepuluh tahun belakangan, populasi
penduduk muslim di Inggris menjadi 82.000, dan pada tahun 1971 sudah mencapai
369.000 jiwa. Saat ini, jumlah penduduk muslim di Inggris sekitar 2 juta jiwa.
Pendapat lain dikemukakan oleh M. Ali Kettani, bahwa pada tahun 1971 ada sekitar
setengah juta muslim di Inggris, atau 1,8 % dari jumlah penduduk. Angka ini
pada tahun 1982 naik menjadi 1.250.000 muslim (2,2 % dari penduduk).
Pemukiman
kaum muslim di Inggris umumnya terkonsentrasi di kota besar. Di London,
penduduk muslim merupakan komunitas kosmopolitan yang terdiri dari macam-macam
latar belakang kebudayaan. Hampir separuh dari jumlah keseluruhan kaum muslim
di Inggris tinggal di London dan wilayah sekitarnya. Sekitar dua pertiga
sisanya bermukim di West Midlands, Yorkshire, Glasgow, dan wilayah-wilayah di
sekitar Manchester.
Di
Inggris pada akhir 1960 hanya tercatat sembilan masjid sebagai tempat ibadah,
dan hanya bertambah empat masjid lagi selama lima tahun berikutnya. Tetapi pada
1966, terdapat loncatan sehingga jumlah masjid terus bertambah delapan buah
tiap tahunnya. Secara kuantitatif, jumlah masjid di wilayah Inggris ada sekitar
100 masjid di daerah London Raya, 50 di Lancashire, 40 di Yorkshire, dan 30 di
Midlands, ada 3 masjid di Skotlandia, dan 2 di Wales, serta 1 buah di Belfast.
Tentunya, saat ini terus mengalami peningkatan jumlah seiring semakin
berkembangnya Islam di Inggris pada saat ini di Inggris banyak berdiri berbagai
organisasi keislaman seperti: The Islamic Council of Europe (Majelis Islam
Eropa) sebagai pengawas kebudayaan Eropa, The Union of Moslem Organization
(Persatuan Organisasi Islam Inggris), The Association for British Moslem
(Perhimpunan Muslim Inggris), dan Islamic Foundation dan Moslem’s Institute,
keduanya bergerak dalam bidang penelitian. Anggotaanggotanya terdiri atas
orang-orang Inggris dan imigran.
Salah
satu bukti berkembangnya Islam di Inggris adalah adanya masjid di pusat kota
London. Yaitu Masjid Agung (Central Mosque) Regents Park yang mampu menampung
jamaah hingga 4.000 orang. Perancang Masjid tersebut adalah Fredrik Gobberd and
Patners. Masjid itu juga dilengkapi dengan perpustakaan sebagai pusat kegiatan
sisoal dan administrasi.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=mgXTFksbkQk
Bank
Islam di Inggris (sumber: BSE 173
Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013, hal. 175)
3) Perkembangan
Islam di Perancis
Islam
adalah satu dari beragam agama di Perancis. Meskipun sejak dahulu Muslim sudah
ada di Perancis, baik Perancis daratan maupun wilayah kependudukannya di luar
Eropa, imigrasi massal Muslim ke Perancis pada abad 20 dan 21 telah membuat
negara ini menjadi salah satu negara dengan komunitas muslim terbesar di Eropa.
Di Prancis, Islam berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20 M. Bahkan,
pada tahun 1922, telah berdiri sebuah masjid yang sangat megah bernama Masjid
Raya Yusuf di ibu kota Prancis, Paris. Hingga kini, lebih dari 1000 masjid
berdiri di seantero Prancis.
Di
negara ini, Islam berkembang melalui para imigran dari negeri Maghribi, seperti
Aljazair, Libya, Maroko, Mauritania, dan lainnya. Sekitar tahun 1960-an, ribuan
buruh Arab berimigrasi (hijrah) secara besar-besaran ke daratan Eropa, terutama
di Prancis. Saat ini, jumlah penganut agama Islam di Prancis mencapai tujuh
juta jiwa. Dengan jumlah tersebut, Prancis menjadi negara dengan pemeluk Islam
terbesar di Eropa. Menyusul kemudian negara Jerman sekitar empat juta jiwa dan
Inggris sekitar tiga juta jiwa. Peran buruh migran asal Afrika dan sebagian
Asia itu membuat agama Islam berkembang dengan pesat. Para buruh ini mendirikan
komunitas atau organisasi untuk mengembangkan Islam. Secara perlahan, penduduk
Prancis pun makin banyak yang memeluk Islam. Karena pengaruhnya yang demikian
pesat itu, Pemerintah Prancis sempat melarang buruh migran melakukan penyebaran
agama, khususnya Islam. Pemerintah Prancis khawatir organisasi agama Islam yang
dilakukan para buruh tersebut akan membuat pengkotak-kotakan masyarakat dalam
beberapa kelompok etnik, sehingga dapat menimbulkan disintegrasi dan dapat
memecah belah kelompok masyarakat. Tak hanya itu, pintu keimigrasian bagi
buruh-buruh yang beragama Islam pun makin dipersempit, bahkan ditutup. Meski
demikian, masyarakat Arab yang ingin berpindah ke Prancis tetap meningkat.
Pintu ke arah sana semakin terbuka.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=llAyo1G4Z94
4)
Perkembangan Islam di Jerman
Keberadaaan
orang-orang Islam pertama sekali di Jerman tidak terlepas dari masuknya bangsa
Turki ke wilayah tersebut di akhir abad ke 17, yang merupakan respons
perlawanan terhadap kolonialisme Barat. Mereka menetap dan berketurunan di
wilayah tersebut. Ketika bangkitnya industriindustri di Eropa, banyak warga
Muslim dari Turki dan Timur Tengah melakukan migrasi untuk mencari pekerjaan ke
Eropa termasuk Jerman. Tahun 1961, 1963, dan 1965 orang-orang keturunan Turki,
Maroko, dan Tunisia direkrut sebagai pekerja di Jerman atas persetujuan antara
pemerintah Jerman dengan negara-negara bersangkutan. Belakangan warga Muslim
dari Libanon, Palestina, Afganistan, Aljazair, Iran, Iran dan Bosnia juga
datang ke Jerman mengungsi karena negara mereka dilanda perang. Karena merupakan
negara maju, Jerman juga menjadi target bisnis dan pendidikan. Banyak para
profesional, pebisnis, pekerja dan mahasiswa Muslim dari India, Pakistan, dan
Asia Tenggara datang dan sebagian menetap di sana.
Masjid
di Berlin Jerman (sumber: BSE 173 Sejarah
Peradaban Islam Kurikulum 2013, hal. 176)
Jumlah
penduduk Muslim di Jerman saat ini berkisar 3,7 juta jiwa. Mayoritas adalah
keturunan Turki dengan jumlah lebih dari 2 juta orang. Pada tahun 1999,
komposisi negeri asal kaum Muslim di negeri ini adalah sebagai berikut: Turki
2.053.564, Bosnia 167.690, Iran 116.446, Marokko 81.450, Afghanistan 71.955,
Libanon 54.063, Pakistan 36.924, Tunisia 26.396, Syiria 19.055, Aljazair
17.705, Irak 16.745, Mesir 13.455, Yordania 12.249, Albania 10.528, Indonesia
9.470, Somalia 8.248, Banglades 7.156, Sudan 4.615, Malaysia 3.084, Senegal,
2.509, Gambia 2.371, Libya 1.898, Kirgistan 1.662, Azerbaijan 1.399, Guinea
1.287, Usbekistan 1.249, Yaman 1.083.
Sangat
menarik sekali dari uraian perkembangan Islam di beberapa negara Eropa di atas
ternyata Islam mampu membaur dengan masyarakat Eropa walaupun punya perbedaan
entah agama, ras, suku, hingga budaya. Berikut akan dijelaskan lebih seru lagi
terkait perkembangan Islam yang menyangkut negara ataupun kerajaan Inggris
hingga sampai salah satu kerajaan di Nusantara (Indonesia) walaupun kecil
tetapi sangat hebat yaitu kerajaan banten.
Islam
telah menjadi bagian dari sejarah Inggris lebih lama daripada yang dibayangkan
banyak orang. Pada abad ke-16, Ratu Elizabeth menjalankan kebijakan luar negeri
dan ekonomi dengan menjalin kerjasama negara-negara Islam. “Saat ini, saat
seruan anti-muslim semakin menggelora, sangat perlu untuk mengingat, masa lalu
kita lebih memiliki keterikatan (dengan Islam, red) daripada yang sering disadari,”
tulis Jerry Brotton, profesor dalam studi tentang Renaisans di Queen Mary
University of London, dikutip laman New York Times (17/9).
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=1pGqH9IntS4
Sejak
mahkota ratu resmi disandangnya pada 1558, Elizabeth memulai kerjasama
diplomatik, baik secara militer maupun komersial dengan negara-negara Islam,
seperti Iran, Turki, dan Maroko. Terutama ketika pada 1570, keyakinannya kepada
Kristen Protestan semakin jelas dan mempengaruhi pemerintahannya. Akibatnya,
dia dikucilkan oleh penguasa Katolik. Semua pedagang Inggris tak diperbolehkan
melakukan hubungan dagang dengan negara-negara Katolik, terutama dengan
Spanyol. “Terkucil secara ekonomi dan politik membuat negara Protestan yang
baru ini terancam akan kehancuran,” lanjut Brotton. Namun, sang ratu melihat
peluang lain. Dia pun berusaha menjalin kerjasama dengan para penguasa di
negara-negara Islam. Satu-satunya musuh besar bagi kerajaan Spanyol pada masa
itu adalah Kesultanan Ottoman. Sultannya adalah Murad III yang telah menguasai
wilayah Afrika Utara, Eropa Timur, sampai Samudra Hindia.
Elizabeth
berharap aliansinya dengan sang sultan membantu mengurangi kekuatan militer
Spanyol terhadap negaranya. Cara ini juga dinilai akan memberikan keuntungan
lain bagi pedagang Inggris untuk memperoleh pasar di wilayah timur. “Dia juga
menjalin hubungan dengan para pesaing Ottoman, Shah dari Persia dan penguasa
Maroko,” kata Brotton. Masalahnya adalah kekaisaran Muslim rupanya lebih
berkuasa dibanding kerajaan Elizabeth yang mungil. Niatnya membuka jalur
perdagangan baru, tetapi nyatanya dia tak sanggup mengongkosi usahanya itu.
Maka, dia pun mencoba membuka perusahaan saham gabungan. Perusahaan ini
dimiliki bersama dengan sistem bagi saham. Modalnya digunakan untuk mendanai biaya
pelayaran untuk berdagang. Keuntungan dan kerugian yang dihasilkan dibagi
kepada para pemegang saham. Dalam hal ini, Elizabeth sangat antusias mendukung
Perusahaan Muscovy yang menjalin hubungan dagang dengan Persia. Mereka pula
yang kemudian menginspirasi bagi terbentuknya Turkey Company yang melakukan
perdagangan dengan Ottoman dan East India Company (EIC), yang kemudian
menguasai India dan berdagang juga ke Nusantara.
Pada
1580, Elizabeth menyetujui kesepakatan komersil selama tiga abad dengan
pemerintah Ottoman. Kesepakatan ini menjamin pedagang Inggris mendapat akses
bebas masuk ke wilayah Ottoman. Dia pun membuat kesepakatan serupa dengan
Maroko, dan diam-diam mendapat jaminan bantuan militer untuk melawan Spanyol.
Berlanjut dari hubungan dagang, pengaruh dari negara-negara Islam semakin
terlihat di Inggris. Karpet, sutra, rempah-rempah menjadi bagian dari
keseharian orang Inggris. “Kata-kata seperti candy dan turquoise’ yang berasal
dari Turkish stone menjadi biasa untuk diucapkan,” ungkap Brotton. Bahkan,
Shakespeare menambahkan unsur budaya Islam itu pada pertunjukkan. Karya Othello
yang fenomenal itu lahir setelah utusan pertama dari Maroko datang ke Inggris.
Meski perusahaan saham gabungan itu sukses, tetapi ekonomi Inggris tidak bisa mempertahankan
diri dari ketergantungannya terhadap perdagangan jarak jauh. Akhirnya,
sepeninggal Elizabeth pada 1603, raja yang baru, James I menyetujui kesepakatan
damai dengan Spanyol. Kesepakatan ini sekaligus mengakhiri nasib Inggris yang
terkucilkan. Terlepas dari itu, kebijakan Elizabeth terhadap dunia Islam telah
berhasil menekan pengaruh Katolik di negaranya. Islam pun, tak dipungkiri,
merupakan bagian dari sejarah orang Inggris. “Islam mempengaruhi segala aspek,
politik, militer, dan perdagangan, bahkan budaya dalam sejarah Inggris,” tulis
Brotton.
Hubungan
dengan Islam di Nusatara pun pernah terjalin baik antara Kerajaan Inggris
dengan Kesultanan Banten. Ketika Elizabeth dinobatkan sebagai ratu Inggris,
sekitar 14 orang Inggris di Banten merayakannya. Mereka, tulis Bernard HM
Vlekke, memakai pakaian terbaik dan mengadakan parade, berbaris maju mundur,
menembakkan senapan dan berteriak “hore”, sampai semua penduduk kota lari
keluar rumah. “Begitu orang banyak berkumpul, orang Inggris itu memberi tahu
orang Banten tentang Ratu Elizabeth mereka yang mulia,” tulis Vlekke dalam
Nusantara: Sejarah Indonesia.
James
Lancaster, yang memimpin pelayaran pertama dengan empat kapal dagang EIC
mendarat di Banten pada 1602. Dia menyampaikan surat Ratu Elizabeth untuk
Sultan Banten yang bernada penuh persahabatan. Sultan Banten memberikan izin
kepada Inggris untuk membuka kantor dagang. Bahkan, Banten menjadi pusat
kegiatan dagang Inggris sampai tahun 1682. Hubungan baik Inggris dan Banten
terlihat juga dengan surat yang dikirimkan oleh Sultan Banten kepada Raja James
I, pengganti Elizabeth. Surat tersebut berisi ucapan selamat atas pengangkatan
James I sebagai raja Inggris. “Raja Banten juga mengucapkan terima kasih atas
hadiah yang dikirim oleh Raja James I melalui Jenderal Milton. Sebagai
balasannya, Raja Banten mengirimkan dua buah faizar kepada Raja Inggris,” tulis
Titik Pudjiastuti dalam Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan
Banten. Faizer diperkirakan sebagai benda yang berat karena satu faizer disepadankan
dengan seekor ternak berkaki empat.
Hubungan
baik Inggris dan Banten terus berlanjut. Pada 1681, Sultan Abu Nashar Abdul
Qahar atau Sultan Haji mengirim surat kepada Raja Charles II. Dalam suratnya,
dia berminat membeli senapan sebanyak 4000 pucuk dan peluru sebanyak 5000 butir
dari Inggris. Sebagai tanda persahabatan, Sultan Haji menghadiahkan permata
sebanyak 1757 butir. Surat ini juga merupakan pengantar untuk dua utusan Banten
bernama Kiai Ngabehi Naya Wipraya dan Kiai Ngabehi Jaya Sedana. Giliran ayah
Sultan haji, pada 1681 Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abul Fath Abdul
Fattah mengirim surat kepada Raja Charles II meminta bantuan berupa senjata dan
mesiu untuk berperang melawan putranya yang dibantu Kongsi Dagang Hindia
Belanda (VOC). Sultan Ageng Tirtayasa berjanji jika Inggris memberi bantuan dan
mereka menang, benteng (Jacetra atau Batavia) akan diberikan kepada Inggris.
Namun, bantuan itu tidak kunjung datang. VOC membantu Sultan Haji berhasil
menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Pusat-pusat
peradaban Islam di Eropa
Puncak
perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani
Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa
Bani Abbas sendiri Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan
Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal kebangkitan Islam, lembaga
pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari
dua tingkat: (1) Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah,
tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat
para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan
bahasa. (2) Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya,
pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam
bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmuilmu
agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama
bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bias berlangsung di istana atau di
rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana. Lembaga-lembaga
ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya
perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah
universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat
membaca, menulis dan berdiskusi (Siti, 2003: 126).
Perkembangan
lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik
sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun
sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Sejak pertama kali Islam menginjakkan kakinya
ditanah Spanyol hingga jatuhnyua kerajaan Islam terakhir di sana sekitar tujuh
setengan abad lamanya, Islam memainkan peranan yang besar, baik dalam bidang
kemajuan intelektual (filsafat, sains, fikih, musik dan kesenian, bahasa dan
sastra), kemegahan bangunan fisik (Cordova dan Granada)(Suwito, 2005:
111).
D.
Perkembangan
Islam di Australia
1.
Sejarah masuknya Islam di Australia
Islam
memang bukan merupakan agama mayoritas di Australia. Jumlah total umat Islam
hanya 500 ribu atau sekitar 3% dari jumlah penduduk total sebanyak 24 juta.
Meskipun demikian, Islam telah menjadi bagian dari kehidupan warga Australia.
Islam juga menjadi bagian sejarah dari negara berpenduduk asli bangsa Aborigin
itu. Di Islamic Museum Australia, yang berada di Anderson Road, Thornbury,
Victoria, dijelaskan detail tentang sejarah masuknya Islam di Australia. Ternyata,
Islam pertama kali dibawa oleh para pelaut dari Makassar ke Australia.
"Pelaut-pelaut
Makassar adalah yang pertama kali melakukan kontak dengan bangsa asli Australia
yaitu Aborigin. Mereka mendarat di Australia bagian utara sekitar tahun 1700an.
Kala itu mereka datang dengan sangat sopan dan meminta izin kepada penduduk
asli," kata Education Director Islamic Museum Australia, Sherene Hassan
saat ditemui detikcom bersama dua media lain yang difasilitasi Australia Plus
ABC International pada Juni 2016. Para pelaut dari Makassar itu datang untuk
mencari teripang di pantai utara Australia, salah satunya di daerah Arnhemland.
Mereka datang pada bulan Desember dan menetap beberapa lama di Australia untuk
membeli teripang dari penduduk asli. Interaksi antara pelaut Makassar dan para
warga abrigin pun tak bisa dihindarkan.
Setelah
itu, pengaruh Islam juga datang ke Australia dengan dibawa oleh para penunggang
unta yang datang dari Pakistan dan Afghanistan sekitar tahun 1870-1920. Para
penunggang unta yang berjumlah lebih dari 2.000 orang itu datang untuk bekerja
di proyek pembangunan jalur kereta yang tengah dikerjakan pemerintah Inggris.
Kala itu unta dianggap sebagai hewan yang sangat berguna untuk dijadikan alat
angkut material. Para penunggang onta yang dalam sejarah Australia disebut
dengan kata “Camellers” berada cukup lama di daratan Australia. Sehingga,
sedikit banyak mereka juga membawa pengaruh spiritual. Bahkan, masjid pertama
di Australia didirikan pada masa itu.
Setelah
itu, masuk ke tahun 1900an, Australia mulai didatangi buruh migran dari
berbagai negara di timur tengah dan Afrika. Para imigran itu kebanyakan berasal
dari Turki, Albania, Bosnia, Libanon dan beberapa negara lain di Afrika. Jumlah
imigran yang terus bertambah seiring berjalannya waktu membawa pengaruh Islam
di Australia. Hingga, Islam terus berkembang di negeri kanguru tersebut. Hingga
saat ini, Islam merupakan agama yang perkembangannya cukup pesat di Australia.
Jumlah pemeluk agama Islam terus bertambah dan jumlah masjid dan sekolah Islam
pun terus meningkat. Sejak dua tahun lalu, Islamic Museum Australia resmi
dibuka. Tujuan awal didirikan museum itu adalah untuk mengenalkan wajah Islam
seutuhnya kepada warga Australia.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=Ae_BXpBwq10
Islamic
Museum Australia berada di Anderson Road, Thornbury, Victoria. Untuk menuju ke
museum, hanya memerlukan waktu 30 menit berkendara dari pusat Kota Melbourne,
atau bisa juga dengan menaiki trem, moda transportasi andalan Kota Melbourne.
Bangunan museum berdiri megah di lahan seluas sekitar 3.000 meter persegi.
Islamic Museum dibangun pada tahun 2010 dan selesai pada 2014. Sejak dibuka
pada 2014, sudah lebih dari 20 ribu orang mengunjungi museum tersebut.
"Museum
ini didirikan enam tahun lalu dan sudah dibuka selama 2 tahun. Sudah lebih dari
20 ribu orang yang mendatangi museum ini dan sebagian besar di antaranya adalah
non muslim”. Sherene menjelaskan, ide awal didirikannya museum adalah untuk
memberikan gambaran utuh tentang Islam kepada masyarakat. Pasalnya, selama ini
masyarakat Australia banyak disajikan berbagai informasi miring tentang Islam
dari berbagai media, terutama seringnya menghubungkan tindakan ektremisme dan
terorisme dengan Islam. Padahal secara jelas tindakan-tindakan tersebut sama sekali
tidak berhubungan dengan Islam. "Bagi orang-orang yang memiliki pandangan
negatif tentang Islam, kami harap mereka datang ke museum ini dan buktikan
apakah pandangan negatif tentang Islam itu benar atau tidak”..
Museum
Islam pertama di Australia itu benar-benar mengenalkan Islam seutuhnya bagi
warga. Saat masuk ke museum, pada bagian pertama adalah pengenalan tentang
Islam, mulai dari sejarah Islam hingga pengertian dan rukun Islam serta
beberapa petikan ayat Alquran. Masuk ke bagian kedua, museum menyajikan andil
Islam terhadap peradaban manusia. Beberapa penemuan ilmiah dari tokohtokoh
Islam yang mengubah dunia dipamerkan. Beberapa temuan seperti sistem hitung
Aljabar, permainan catur, alat untuk terbang dan berbagai penemuan lain membuka
mata warga Australia bahwa Islam telah turut ambil bagian dalam proses
perkembangan ilmu pengetahuan. Setelah itu, para pengunjung juga bisa melihat
hasil-hasil karya seni Islami. Bagian ketiga di museum ini ingin memberikan
pengertian bahwa Islam tidak pernah membatasi umatnya untuk berkreasi dan Islam
mengajarkan umatnya untuk mencintai keindahan.
Pada
bagian keempat, dipamerkan karya-karya arsitektur Islam. Bangunan masjid-masjid
megah dari berbagai penjuru dunia di tampilkan. Pada bagian ini, juga
diperdengarkan alunan suara azan, sehingga para pengunjung bisa mendengarkan
syahdunya suara azan. Untuk diketahui, di Australia masjid tidak diperbolehkan
mengumandangkan suara azan melalui speaker di luar. Kemudian salah satu bagian
yang paling menarik dari museum ini adalah sejarah Islam di Australia. Islamic
Museum Australia menyajikan data valid terkait sejarah masuk dan berkembangnya
Islam di Australia. Seorang pengunjung museum dari negara bagian Tazmania,
Paula Woodward mengaku sengaja mendatangi museum karena mendapatkan informasi
dari tayangan televisi. Dia mengaku mendapatkan banyak pengetahuan tentang
Islam yang sangat berbeda dengan yang didapatkan dari pemberitaan media
(Khabibi, 2018: detik.com)
Di
atas sudah disampaikan bahwa muslim di Australia memiliki sejarah yang panjang
dan bervariasi yang diperkirakan sudah hadir sebelum pemukiman Eropa. Beberapa
pengunjung awal Australia adalah Muslim dari Indonesia timur. Mereka membangun
hubungan dengan daratan Australia sejak abad ke 16 dan 17. Nelayan dan pedagang
Makassar tiba di pesisir utara Australia Barat, Australia Utara dan Queensland.
Para pelaut dari Makassar dan Bugis mengunjungi pantai utara Australia setiap
tahun setidaknya sejak tahun 1720-an sampai 1906 untuk mencari ikan teripang.
Mereka berdagang dengan penduduk asli dan memperdagangkan ikan teripang itu
dengan pedagang Cina.
Bukti-bukti
dari pengunjung awal ini dapat ditemukan pada kesamaan beberapa kata bahasa
Melayu, Bugis, dan Makassar dalam bahasa orang Aborijin di Australia Utara. Misalnya,
kata-kata berikut dijumpai dalam bahasa Enindiljaugwa, yang digunakan oleh
orang Wanindiljaugwa dari Groote Elyandt, di Teluk Carpentaria.
ajira air
Melayu
Balanda
Belanda Melayu
bara barat
Melayu
bula buluh
Melayu
jara jara
Melayu
libaliba lepa-lepa
Makassar & Bugis
rupiah uang
Melayu
umbakumba
ombak-ombak Melayu
Sejumlah
peninggalan dan lukisan cadas yang menggambarkan perahu tradisional Makassar
yang baru-baru ini ditemukan di Australia utara membuktikan bahwa Suku Aborigin
yang merupakan penduduk asli benua Australia dimungkinkan sudah melakukan
interaksi begitu lama dengan para pelayar Bugis atau Makassar dari Makassar.
Perkawinan antara Penduduk Asli dan orang Makassar diyakini pernah terjadi, dan
lokasi pemakaman orang Makassar telah ditemukan sepanjang garis pantai.
Lukisan
Goa Aborigin (sumber: goodnewsfromindonesia.id) Suku Aborigin bahkan
kemungkinan pernah berlayar ke Makassar untuk melihat kebesaran Kerajaan
Makasar yang ada pada waktu itu. Ini dapat dilihat dari lukisan monyet di atas
pohon yang hanya dapat dilihat di Pulau Sulawesi. Gambar rumah-rumah adat
Makassar dan perahu phinisi juga tampak di antara ribuan lukisan cadas di
dinding gua dan batuan yang tersebar di kawasan adat Aborigin, Arnhem Land.
Lukisan lain menggambarkan tentara-tentara perang dunia II, satwa yang kini
telah punah, termasuk barang-barang modern seperti sepeda, pesawat, dan mobil.
Lukisan-lukisan tersebut berusia antara 15.000 tahun hingga 50 tahun. Suku Aborigin memperlihatkan gambar Perahu
Suku Makassar (sumber:
goodnewsfromindonesia.id)
Suku
Aborigin kental dengan budaya lisan. Namun, mereka suka menggambar di batuan
cadas sebagai gambaran kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dilakukan
turun-temurun dan tekniknya terus berubah dari generasi ke generasi. Pada
beberapa situs, lukisan sampai 17 lapisan. Saat ini, hanya orangorang tua yang
memiliki hak menggambar di cadas.
Beberapa
bukti tersebut mematahkan sejarah nasional Australia yang menyatakan bahwa Suku
Aborigin umumnya terisolasi dengan kebudayaan luar sebelum pendatang kulit
putih mendiami benua tersebut. Namun, penduduk asli di utara ternyata telah
berhubungan dengan orang Makassar. Mungkin ratusan tahun lebih dulu daripada
orang-orang Eropa yang datang ke sana tahun 1700-an.
Sebuah
penelitian sejarah di Australia baru-baru ini memaksa Negeri Kanguru mengubah
pelajaran sejarah mereka. Penelitian yang dilakukan dosen sejarah University of
Griffith, Brisbane, Australia, Prof Regina Ganter, membuktikan agama Islam
masuk ke Australia sejak 1650-an dan bukan 1850-an, yang merupakan versi resmi
pemerintah Australia. Hebatnya lagi, Islam diperkenalkan pelautpelaut Makassar
yang memang menjalin hubungan dengan suku asli Australia, Aborigin. Studi itu
tentu saja mengubah banyak hal, termasuk klaim penyelam asal Malaysia yang
membawa Islam ke negara yang berpenduduk 21 juta jiwa itu pada 1875.
Pada
1760, seorang peneliti bernama Alexander Dalrymple memberikan informasi, orang
Bugis menggambarkan Australia sebagai penghasil emas. Mereka beragama Islam dan
gemar berdagang. Menurut Dalrymple, keislaman mereka didasarkan tradisi
pengkhitanan, yang akhirnya menjadi kebiasaan sejumlah penduduk di kawasan
Australia Utara. Meski tidak tercatat apakah nelayan Muslim Makassar juga
menyebarkan Islam. Namun dipastikan, Australia mengenal Islam pertama kali dari
pelaut-pelaut Makassar tadi. Pada akhir dasawarsa 1700an, Migran Muslim dari
pesisir Afrika dan wilayah pulau di bawah Kerajaan Inggris datang ke Australia
sebagai pelaut dan narapidana dalam armada pertama pendatang Eropa. Populasi
Muslim semi permanen pertama dalam jumlah yang signifikan terbentuk dengan
kedatangan penunggang unta pada dasawarsa 1800an. Datang dari anakbenua India,
Muslim ini sangat vital bagi penjelajahan awal pedalaman Australia dan
pembentukan layanan perhubungan. Salah satu proyek besar yang melibatkan
penunggang unta Afganistan adalah pembangunan jaringan rel kereta api antara
Port Augusta dan Alice Springs, yang kemudian dikenal sebagai Ghan. Jalur
kereta api dilanjutkan hingga ke Darwin pada 2004. Para penunggang unta ini
juga memegang peran penting dalam pembangunan jalur telegrafi darat antara
Adelaide dan Darwin pada 1870-1872, yang akhirnya menghubungkan Australia
dengan London lewat India.
Lukisan
batu bergambar monyet, hewan yang tak ada di Australia dan perahu Pinisi
(sumber: goodnewsfromindonesia.id) Melalui karya awal ini, sejumlah kota ‘Ghan’
berdiri di sepanjang jalur kereta api. Banyak dari kota-kota ini yang memiliki
sedikitnya satu masjid, biasanya dibangun dari besi bergelombang dengan menara
kecil. Namun, kehadiran kendaraan bermotor dan transportasi lori bermesin
menandai akhir era penunggang unta. Sementara sebagian dari mereka pulang ke
negara asalnya, yang lainnya bermukim di daerah dekat Alice Springs dan daerah
lain di Australia Utara. Banyak yang menikah dengan penduduk Asli setempat.
Keturunan penunggang unta Afganistan sejak itu berperan aktif dalam berbagai
komunitas Muslim di Australia. Sejumlah kecil Muslim juga direkrut dari koloni
Belanda dan Inggris di Asia Tenggara untuk bekerja di industri mutiara Australia
pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20.
Jumlah
umat Islam Australia modern meningkat dengan cepat setelah Perang Dunia Kedua.
Pada 1947 - 1971, jumlah warga Muslim meningkat dari 2.704 menjadi 22.331. Hal
ini terjadi terutama karena ledakan ekonomi pasca perang, yang membuka lapangan
kerja baru. Banyak Muslim Eropa, terutama dari Turki, memanfaatkan kesempatan
ini untuk mencari kehidupan dan rumah baru di Australia. Pada Sensus 2006,
tercatat 23.126 Muslim kelahiran Turki di Australia. Migran Muslim Bosnia dan
Kosovo yang tiba di Australia pada dasawarsa 1960an memberi sumbangsih penting
terhadap Australia modern melalui peran mereka dalam pembangunan Skema PLTA
Snowy Mountains di New South Wales. Migran Libanon, banyak dari antara mereka
adalah Muslim, juga mulai berdatangan dalam jumlah yang lebih besar setelah
pecah perang saudara di Libanon pada 1975. Menurut Sensus 2006, tercatat 7.542
Muslim Australia kelahiran Bosnia dan Herzegovina dan 30.287 kelahiran Libanon.
Muslim
Australia sangat majemuk. Pada Sensus 2006, tercatat lebih dari 340.000 Muslim
di Australia, di mana dari jumlah tersebut sebanyak 128.904 lahir di Australia
dan sisanya lahir di luar negeri. Selain migran dari Libanon dan Turki, negara
asal Muslim lainnya adalah: Afganistan (15.965), Pakistan (13.821), Banglades
(13.361), Irak (10.039), dan Indonesia (8.656). Dalam tiga dasawarsa terakhir,
banyak Muslim bermigrasi ke Australia melalui program pengungsi atau
kemanusiaan, dan dari negara-negara Afrika seperti Somalia dan Sudan.
Masyarakat Muslim Australia saat ini sebagian besar terkonsentrasi di Sydney
dan Melbourne. Sejak dasawarsa 1970an, masyarakat Muslim telah membangun banyak
masjid dan sekolah Islam dan memberi sumbangsih yang dinamis terhadap rajutan
multi-budaya masyarakat Australia.
2. Strategi
dakwah dan perkembangan Islam di Australia
Islam telah menjadi bagian dari kehidupan
warga Australia. Islam juga menjadi bagian sejarah dari negara berpenduduk asli
bangsa Aborigin itu. Di Islamic Museum Australia, yang berada di Anderson Road,
Thornbury, Victoria, dijelaskan detail tentang sejarah masuknya Islam di
Australia. Ternyata, Islam pertama kali dibawa oleh para pelaut dari Makassar
ke Australia. "Pelaut-pelaut Makassar adalah yang pertama kali melakukan
kontak dengan bangsa asli Australia yaitu Aborigin. Mereka mendarat di
Australia bagian utara sekitar tahun 1700an. Kala itu mereka datang dengan
sangat sopan dan meminta izin kepada penduduk asli," kata Education
Director Islamic Museum Australia, Sherene Hassan saat ditemui detikcom bersama
dua media lain yang difasilitasi Australia Plus ABC International pada Juni
2016.
Catatan sejarah Islam di Islamic Museum
Australia di Melbourne, Victoria (Foto: Ikhwanul Khabibi/detikcom)
Para pelaut dari Makassar itu datang untuk
mencari teripang di pantai utara Australia, salah satunya di daerah Arnhemland.
Mereka datang pada bulan Desember dan menetap beberapa lama di Australia untuk
membeli teripang dari penduduk asli. Interaksi antara pelaut Makassar dan para
warga abrigin pun tak bisa dihindarkan. "Sebagian besar pelaut dari
Makassar beragama Islam dan karena mereka berinteraksi dengan suku asli,
sehingga secara spiritual suku Aborigin di sebelah utara Australia terpengaruh
agama Islam yang dipeluk para pelaut," jelas Sherene. Setelah itu,
pengaruh Islam juga datang ke Australia dengan dibawa oleh para penunggang unta
yang datang dari Pakistan dan Afghanistan sekitar tahun 1870-1920. Para
penunggang unta yang berjumlah lebih dari 2.000 orang itu datang untuk bekerja
di proyek pembangunan jalur kereta yang tengah dikerjakan pemerintah Inggris.
Kala itu unta dianggap sebagai hewan yang sangat berguna untuk dijadikan alat
angkut material.
Islamic Museum Australia di Melbourne,
Victoria (Foto: Ikhwanul Khabibi/detikcom)
Para penunggang onta yang dalam sejarah
Australia disebut dengan kata 'Camellers' berada cukup lama di daratan
Australia. Sehingga, sedikit banyak mereka juga membawa pengaruh spiritual.
Bahkan, masjid pertama di Australia didirikan pada masa itu. Setelah itu, masuk
ke tahun 1900an, Australia mulai didatangi buruh migran dari berbagai negara di
timur tengah dan Afrika. Para imigran itu kebanyakan berasal dari Turki,
Albania, Bosnia, Libanon dan beberapa negara lain di Afrika. Jumlah imigran
yang terus bertambah seiring berjalannya waktu membawa pengaruh Islam di
Australia. Hingga, Islam terus berkembang di negeri kanguru tersebut. Hingga
saat ini, Islam merupakan agama yang perkembangannya cukup pesat di Australia. Jumlah
pemeluk agama Islam terus bertambah dan jumlah masjid dan sekolah Islam pun
terus meningkat (Khabibi, 2016: Detik.com)
Islamic Museum Australia di Melbourne, Victoria (Foto: Ikhwanul
Khabibi/detikcom)
3. Tokoh-tokoh
ilmu pengetahuan Islam di Australia
Australia merupakan benua terkecil
dibandingkan benua yang lainnya. Islam pun juga memenuhi beberapa persen dari
total populasi benua tersebut. Islam memiliki sejarah yang panjang di
Australia. Sejarah ini merentang tidak hanya ke beberapa Muslim yang tiba
sebagai bagian dari kontak pertama Eropa dan masa kolonial, tapi juga ke masa
sebelumnya dan kemunculan awal Kristen sebagai agama non-pribumi yang dominan
jumlah penganutnya.
Munculnya gerakan ISIS yang diklaim
sebagai respon atas gerakan Arab di Syria pada tahun 2011, menyebabkan Muslim
terkadang dipotret sebagai individu yang berbahaya bagi dunia barat dan
khususnya dalam kehidupan di Australia. Media lebih banyak menggambarkan Muslim
sebagai sosok berjanggut yang lebih banyak berdiam diri di masjid, yang
menyebabkan dakwah untuk bisa mengenal Islam menjadi lebih berat. Atas dasar
itulah, menampilkan sosok sebagai seorang Muslim, terlebih menyampaikan ajaran
Islam menjadi tantangan tersendiri. Berdasarkan laporan tahunan ICV 2013-2014
di Australia, gejala Islamophobia makin marak. Hal ini muncul dalam beberapa
cara, diantaranya; (1) Kampanye menolak Masjid dan Islamic Center karena alasan
rasis, kebohongan publik dan juga kesalahpahaman informasi lainnya. (2) Usulan
dari beberapa politisi untuk menolak niqab. (3) Kampanye sertifikat anti halal,
dengan asumsi bahwa halal sertifikat hanya akan mendukung terorisme.
Dari beberapa laporan di atas maka bisa
dikatakan Islam di Australia belum mencapai kejayaannya dan masih dianggap
masih pada tahap berkembang adalah :
a.
Penduduk yang menganut Islam baru 1.71 persen dari jumlah warga
Negara Australia
b.
Latarbelakang etnis yang berasal dari
berbagai Negara memerlukan waktu untuk mempersatukannya
c.
Belum adanya tokoh-tokoh Islam yang muncul
di Australia baik tokoh politik, tokoh ekonomi, tokoh ilmuwan maupun ketokohan
nasional dalam keagamaan.
d.
Belum banyaknya lembaga pendidikan Islam
yang representatif dan berkualitas.
e.
Masih adanya stigma Islam sebagai biangya
kekerasan dari masyarkat dan pemerintahan Australia apalagi setelah munculnya
peristiwa Bom London,Persitiwa 11 September di kota New York Amerika Serikat
dan Bom
f.
Dalam penguasaan Ilmu pengetahuan dan
Teknologi dari kaum Muslimin di Australia belum merata dan mumpuni,masih
tertinggal oleh kaum kulit putih keturunan Eropa (Pratio, 2011)
Salah satu kunci keberhasilan mengapa kaum
Muslim minoritas di suatu Negara khususnya benua Australia, adalah dapat
bekerjasama secara optimal dengan kaum mayoritas. Hal ini di negeri orang bukan
sebagai bagian asing dari negara tersebut meskipun negara itu dipimpin oleh
seorang yang nonmuslim. Metode hijrah internal adalah metode yang paling bagus
dengan sambil membangun social trust bahwa Islam tidak sebagaimana yang
dituduhkan oleh kaum mayoritas.
Faktor lain adalah dengan selalu melakukan
reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran klasik dan selanjutnya disesuaikan dengan
situasi sosial dan budaya yang ada sehingga hilang akan kesan bahwa Islam
adalah agama yang anti kemajuan, anti demokrasi, statis, dan sangar (adanya
hukum potong tangan). Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kesadaran bahwa
kaum minoritas adalah bagai tamu di negeri orang sehingga apabila ada keinginan
harus didialogkan dan dikomunikasikan dengan tuan rumah sehingga akan tercipta
keserasian. Mereka dapat melaksanakan tugasnya sebagai Muslim secara optimal
tanpa harus bertabrakan dengan pemerintah atau bahkan membentuk negara bagian
Muslim sendiri.
Nasib perempuan di Australia, baik pada
bidang pendidikan maupun profesi ternyata lebih baik apabila dibandingkan
dengan laki-laki, bahkan pada pos-pos tertentu yang selama ini diidentikkan
dengan profesi laki-laki seperti insinyur dan arsitek. Keberhasilan ini tentu
saja dipengaruhi oleh dua hal penting yaitu terbukanya wawasan di kalangan kaum
Muslim sendiri dan adanya jaminan pemerintah yang konsisten sebagai negara
demokrasi (Munjin, 2009: 140-157).
Di Western Sydney University (WSU) dan
Charles Sturt University (CSU), khususnya di lembaga yang berafiliasi dengannya
yang secara khusus untuk riset dan akademi Islam, yaitu Islam Science and
Research Academy Australia (ISRA). Di WSU terdapat program major untuk Islamic
studies pada tingkat diploma and bachelor. Di CSU-ISRA, terdapat program
bachelor dan postgraduate untuk studi Islam. Perkembangan studi Islam di
perguruan tinggi di Australia bukan saja dipengaruhi oleh konteks sejarah Islam
di Australia dan dinamikanya di dunia Islam pada umumnya, akan tetapi juga
sebagai respon atas tumbuhnya Islam dalam konteks yang lebih lokal dan spesifik
seperti faktor demografi Australia.
WSU dan CSU berada di Sydney yang
merupakan Kota Tua Australia, sebagaimana halnya Amsterdam di Belanda. Sebagai
Kota Tua, Sydney menjadi sentral aktivitas masyarakat Australia. Posisi yang
penting ini menjadikan Sydney menjadi salah satu kota tujuan pendatang, baik
sebagai imigran, pekerja maupun mahasiswa. Alhasil, Sydney merupakan salah satu
kota paling multikultural di Australia. Menurut data statistik tahun 2011,
mayoritas pendudukan Australia memeluk agama Kristen (62%: Roman Katolik 25%,
Anglikan 17%, Sekte Kristen lainnya 18%), tidak beragama (22%), Budha (2,5%),
Islam (2.2%), Hindu (1.3%) dan Yahudi (0.5%) dari total penduduk yang berjumlah
sekitar 22.500.000 jiwa tahun 2011. Pada thaun 2016, penduduk Australia
berjumlah sekitar 23.900.000 akan tetapi belum tersedia data demografi agama.
Meski belum ada, kemungkinan besar peta
prosentase demografi agama Australia saat ini tidak jauh berbeda dari
tahun-tahun sebelumnya. Dari data itu, masyarakat Sydney, yang masuk negara
bagian New South Wales, adalah yang paling heterogen dari sisi etnis, budaya
dan agama. Data statistik yang terakses pada tahun 2006 menunjukkan bahwa
populasi umat Islam di wilayah Syndey cukup signifikan, yaitu 4.4%, sedangkan
mayoritasnya adalah Katolik (29%), disusul oleh Anglikan (16%), Kristen
Ortodoks (4.8%) dan diikuti minoritas lainnya, seperti Budha, Hindu dan Yahudi.
Data di atas mengungkap demografi Muslim di Syndey sebagai minoritas dengan
jumlah yang cukup signifikan dibanding dengan minoritas lainnya.
Di Sydney terdapat beberapa kantung
wilayah (enclave) Muslim dan beberapa masjid. Setidaknya ada belasan titik di
wilayah tersebut dimana umat Islam memiliki tempat ibadah baik ukuran
kecil/sedang (mushalla) maupun besar. Salah satu tempat ibadah umat Muslim di
sana adalah Masjid Gallipolli di Auburn, Sydney, yang didirikan oleh komunitas
Muslim Turki. Arsitek dan motif gambar atau kaligrafinya sangat dipengaruhi
oleh seni pahat dan bangunan Turki Usmani. Bendera Turki juga menjadi salah
satu ornament masjid, yang mampu menampung sekitar 3.000 jamaah. Selain warga
Turki, Muslim lain dari Timur Tengah, India, Pakistan, Afghanistan, Bangladesh,
Indonesia dan Rohingnya juga melaksanakan ibadah di tempat ini. Mayoritas
mereka adalah immigrant dan menjadi penduduk atau pendatang bukan penduduk yang
bekerja pada sektor non-kantoran. Mereka tinggal di sekitar Auburn, bagian
pinggiran barat Sydney. Penduduk Muslim kebanyakan tinggal di wilayahwilayah
pinggiran Barat Sydney ini, termasuk di Bankstown dan Lakemba. Di kampus WSU di
Bankstwon terlihat banyak sekali mahasiswa Muslim dan mahasiswi perempuan yang
berjilbab. Salah satu organisasi mahasiswa Muslim yang eksis adalah Muslim
Student Association (MSA). Di dalam kampus WSU, sebagaimana kampus-kampus di
Australia lainnya, terdapat mushalla.
Masjid Auburn, media-media Australia
sering sekali mempropagandakan Islam sebagai agama yang menaburkan kekerasan.
Tidak sedikit muncul stereotipe Muslim sebagai warga yang tidak ramah yang
dibentuk dan dicitrakan lewat media masa. Beberapa tahun belakangan ini,
terutama sekali semenjak paska peristiwa penyerangan World Trade Center/WTC di
Amerika pada tanggal 11 September 2001 silam, Bom Bali pertama tahun 2002 yang
banyak menelan korban warga negara Australia, Islam dan Muslim menjadi bahan
sorotan media massa dunia, tak terkecuali di Australia. Sayangnya sebagian umat
Islam sendiri tampaknya juga merespon peristiwa itu secara berlebihan sehingga
tanpa mereka sadari ikut menyuburkan peran media yang haus akan informasi dan
berita seputar masalah terorisme. Munculnya gerakan atau kelompok Islam garis
keras yang berafiliasi atau mendukung al-Qaeda atau ISIS, dan secara
terang-terangan mendukung aksi-aksi terror, telah menjadikan Islam dan
penganutnya sebagai fenomena politik global yang dianggap mengancam keamanan
dan demokrasi. Media coverage yang banyak mengenai Islam yang demikian sangat
berpengaruh terhadap pencitraan Islam baik dalam skala nasional Australia
maupun lokal di Sydney. Namun demikian, jika kita menengok everyday Muslim life
di Sydney, sesungguhnya banyak hal lain yang bisa diekspos yang menunjukkan
dinamika dan adaptasi mereka di Australia.
Selain ibadah, kegiatan sosial juga
acapkali digelar di masjid. Di sini terdapat layanan pendidikan dan kesehatan.
Ada bangunan di arena masjid untuk sekolah dasar. Arena olah raga (fitness)
yang sederhana juga menyatu dalam arena masjid. Secara regular ada program
pemeriksaan kesehatan secara gratis. Masjid dengan demikian berperan aktif
sebagai pusat kegiatan sosial-keagamaan yang membina para anggotanya menjadi
warga negara yang baik (good citizen). Kalau kita blusukan di daerah seputaran
masjid, terutama di Auburn Center, maka dengan mudah kita mendapatkan banyak
sekali restoran yang menyajikan makanan halal, baik rumah makan siap saji Kebab
Turki, restoran Lebanon yang nyampleng sampai restoran Thailand. Toko-toko
makanan atau restoran-restoran tersebut secara jelas menempelkan label halal. Konsumen
makanan halal bukan saja warga etnis Muslim, tapi banyak juga dari kalangan
warga kulit putih maupun lainnya. Pertumbuhan dan stabilitas ekonomi di Sydney
dengan demikian tidak bisa lepas dari peran umat Islam.
Di sisi lain, permintaan yang tinggi atas
semangat kerja dan pembagian jam kerja yang padat acapkali menimbulkan
persoalan. Belum lagi menyangkut keterbatasan sarana dan fasilitas yang
mengakomodir kepentingan ibadah umat Islam, seperti tempat wudhu dan shalat di
tempat kerja. Persoalan-persoalan normativitas fiqh dan aktualisasinya di
masyarakat urban “sekuler” berpengaruh besar terhadap tingkat keberagaman warga
Muslim. Misalnya, pada saat penulis membeli kaos di sebuah lapak, penjualnya
dengan enteng mengatakan dirinya sebagai Muslim. Dengan bahasa yang lugas dia
juga mengakui sebagai Muslim yang kurang baik karena kadang-kadang ia
melaksanakan shalat dengan tertib namun di lain waktu tidak mengingat beban dan
tuntutan kerja yang keras dan padat. Sebagaimana penulis argumentasikan di bagian
pendahuluan, kondisi lokal menyangkut pernikpernik kehidupan Muslim di Syndney
seperti inilah dan wacana global dunia tentang Islam berpengaruh kuat terhadap
studi Islam di Australia.
Salah satu pengaruh di atas bisa dilihat
di Charles Sturt University berlokasi di Sydney, yang kampusnya menyebar
beberapa kota lain di Australia. Pengaruh tersebut terrefleksikan dengan baik
sekali dalam silabus dan matakuliah yang ditawarkan, seperti yang akan
dijelaskan nanti. Program studi Islam di CSU bernama Centre for Islamic Studies
and Civilization (http://artsed.csu.edu.au/centres/cisac). Struktur studi Islam
dalam pusat-pusat studi atau centre semacam ini sangat lazim ditemui dibeberapa
perguruan tinggi di Barat yang tidak memiliki departemen, fakultas atau jurusan
khusus dalam studi Islam. Namun, karena minat kajian terhadap Islam dan budaya
Muslim dan signifikansinya meningkat, maka studi Islam menjadi salah satu
tawaran dan diakomodir dalam pusat-pusat studi, dan bukan dalam jurusan atau
departemen. Strukturisasi semacam ini tentu akan memberikan warna yang berbeda
ketika kajian itu terpusat dalam satu departemen atau jurusan. Karena, dalam
konteks Sydney, komunitas Muslim sangat kuat dan banyak, maka akomodasi dalam
pusat-pusat kajian (centre) kurang memadai. Di sinilah kemudian CSU menggandeng
lembaga keislaman untuk mendirikan program studi khusus tentang Islam. Dalam
situsnya dijelaskan bahwa Pusat Studi Islam dan Kebudayaan CSU bekerjasama
dengan Islamic Science and Research Academy Australia/ISRA yang berdiri pada
tahun 2009. Berlatar belakang pada usaha dialog antar agama dan integrasi
Muslim dalam masyarakat Australia, ISRA kemudian tumbuh dan menjadi salah satu
pusat riset dan studi Islam ternama di Australia. Pada saat mengunjungi kantor
ISRA yang berada di wilayah Auburn, dekat dengan Masjid Gallipoli, penulis
masuk ke ruangan yang berada di lantai tiga di salah satu gedung di dekat pusat
aktivitas perekonomian di kota tersebut. Koleksi buku-buku di ruang utama dan
perpustakaan dipenuhi dengan buku-buku induk keislaman dan terjemahan karya
ulama klasik dalam bidang akidah, ibadah, fikih, akidah, sufi dan lain
sebagainya. Ada kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Ada pula buku
Principle of Islamic Jurisprudence karangan Hasyim Kamali dan lain sebagainya.
Terlihat beberapa mahasiswi yang sedang belajar di ruangan tersebut disamping
staf yang mayoritas perempuan.
Sementara di WSU, terutama di Kampusnya di
Bankstown, tidak ditemukan hal yang demikian. Meski boleh dibilang mahasiswa
Muslim cukup banyak, kajian Islam di kampus ini berbeda dengan di CSU. Pada
level diploma dan bachelor, WSU menawarkan program akademik studi Islam sebagai
juruan utama (major). Disamping itu, terdapat kelompok penelitian yang fokus
pada kajian agama dan masyarakat, yaitu Religion and Society Research Cluster,
dimana studi-studi dan riset yang lebih intensif dan mendalam tentang agama dan
budaya secara umum dalam leval sarjana, magister dan doktoral, diadakan dan
dibina lebih intens. Kelompok yang lebih kecil dalam kluster ini bertemakan
“Muslim in contemporary societies”. Sementara itu CSU menawarkan tiga level
strata pendidikan dalam program studi Islam, yaitu sarjana, magister dan
doktoral. Dalam situsnya, penjelasan yang sangat detail tersedia untuk program
sarjana dan masters.
Untuk melihat sedikit lebih jauh studi
Islam di dua perguruan tinggi tersebut, berikut akan ditampilkan dua data,
yaitu, pertama, sillabus atau matakuliah yang ditawarkan dan, kedua, koleksi
referensi perpustakaan yang terkait dengan Islam. Perbandingan Matakuliah
program S1 Studi Islam WSU credit details of Bachelor of Arts (major in Islamic
studies) CSU-ISRA Bachelor of Arts in Islamic Studies, dapat dilihat pada tabel
berikut.
Diambil dari situs WSU dan CSU-ISRA dan
diakses pada tanggal 25 September 2016.
Tabel matakuliah studi Islam di kedua
perguruan tinggi di atas menggambarkan orientasi studi keislaman di dalamnya
yang berbeda. Matakuliah tentang keislaman yang menjadi core subject di WSU
adalah pengantar studi al-Qur’an dan hadis. Aspek lain yang diberikan tentang
Islam adalah budaya dan sejarah modernnya. Artinya, pendekatan studi Islamnya
lebih seimbang antara aspek normatif dan sejarah-praktis-nya, atau mungkin
lebih menekankan aspek yang kedua karena ada matakuliah utama lainnya, seperti
ke-Australia-an dan kemasyarakatan. Sepertinya, konseptor silabus ingin
mahasiswa program studi Islam memeahami normativitas Islam dalam konteks
masyarakat setempat dan dalam kerangka nasionalisme. Sementara di CSU-ISRA,
matakuliah jurusan studi Islam didesian untuk menguasai hampir semua aspek dan
bidang core subject studi Islam, mulai pengantar tafsir, hadis, hukum Islam,
sejarah kenabian sampai usul fiqh. Hal ini dikarenakan di CSU-ISRA, studi Islam
menjadi jurusan tersendiri dan tujuan pembelajarannya bukan sekedar untuk
mendapatkan pengetahuan semata (kognitif), akan tetapi juga penguasaan dan
aplikasinya. Seperti dijelaskan dalam situsnya, kompetensi yang ingin dicapai
antara lain adalah pembangunan masyarakat Muslim dan sarjana yang menguasi
ilmu-ilmu keislaman. Oleh karena itu, matakuliah yang sama dengan level kajian
yang lebih mendalam diberikan pada program tingkat magister, dan, sepertinya
juga, doktoral.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kampus
CSU-ISRA juga berada di bagian kota Sydney yang paling heterogen dimana banyak
etnis keturunan Arab, Asia Selatan serta etnis lainnya yang Muslim berdiam.
Komunitas inilah sepertinya yang menjadi sasaran target menjadi mahasiswa di
CSU-ISRA. Problematika yang mereka hadapi terkait dengan pemahaman dan
penerapan Islam sebagai minoritas di Australia terakomodir dengan baik dalam
silabus dan kompetensi CSU-ISRA. Generasi awal Muslim yang tinggal di wilayah
ini adalah para immigrant yang telah telah banyak diantara mereka mengahsilkan
generasi baru. Karena alasan pendidikan yang kurang atau kesibukan, anak-anak
generasi baru ini tidak mendapatkan pendidikan agama yang cukup. Sementara
mereka tidak ingan identitas agama dan budayanya hilang begitu saja. Dengan
adanya program studi Islam di tingkat tinggi, yang menawarkan core ilmu-ilmu
keislaman merupakan jawaban atas krisis identitas dan akademik warga Muslim
Australia. Jelas sekali, oleh karena, studi Islam di lembaga ini merupakan
respon kondisi masyarakat Muslim di negara tersebut. Sementara itu, di WSU,
penulis tidak menemukan program studi Islam selain tingkat diploma dan bachelor
meskipun ada informasi lainnya mengenai studi Islam strata magister dari
National Centre of Excellence for Islamic Studies Australia (NCEIS) bahwa
program Masters of Art by research dalam studi Islam ditawarkan di WSU,
disamping di Universitas Melbourne dan Griffith.
Berikut adalah data koleksi perpustakaan
di WSU dan CSU. Metode pengumpulannya dengan cara yang sangat bisa dilakukan
oleh semua orang, yaitu masuk ke situs perpustakaan masing-masing dan kemudian
menuliskan kata kunci Islam dan yang relevan dengannya dalam kolom pencarian.
Hasil penelusuran tersebut adalah sebagai berikut:
Data diakses langsung dari situs
perpustakaan WSU dan CSU pada tanggal 26 September 2016.
Data kuantitatif di atas menunjukkan
dengan jelas bahwa bahwa SCU memiliki lebih banyak koleksi referensi terkait
Islam. Penulis tidak mengecek lebih lanjut masing-masing items tersebut. Namun
biasanya ketika dicari koleksi tertentu dengan memasukkan kata kuncinya, maka
akan keluar semua koleksi yang terkait dengannya, baik berupa buku, jurnal,
laporan, manuskrip dan lain sebagainya yang tersimpan di perpustakaan yang
bersangkutan.
Dari delapan kata kunci yang dicari,
hampir CSU memiliki referensi yang lebih banyak. Ini bisa terjadi, karena CSU
memiliki program studi Islam dalam semua tingkat atau jenjang pendidikan. Jika
sebuah universitas menyatakan membuka atau memiliki program studi tertentu,
maka salah satu hal mendasar yang wajib dipenuhi adalah dukungan referensial
yang kuat. Kualitas dunia dan lembaga pendidikan ilmiah salah satunya
ditentukan oleh seberapa banyak koleksi referensi yang dimilikinya, disamping
tentu saja ada faktor lain semisal reputasi dan keahlian staf pengajar, jumlah
mahasiswa, kelengkapan laboratorium, keunggulan riset dan jumlah publikasi
ilmiah. Meskipun hanya ada major dalam Islamic studies pada level diploma dan
bachelor, koleksi referensi WSU juga sangat banyak. Ini membuktikan bahwa,
dalam hal koleksi referensi terkait dengan satu agama yang tumbuh pesat seperti
Islam, mereka tidak akan kekeringan bahan bacaan dan informasi lain terkait
dengannya.
Secara keseluruhan, studi Islam atau
bahkan Islam di Indonesia sekalipun di pendidikan tinggi yang memiliki program
studi Islam ataupun tidak di Australua tidak akan mengalami kelangkaan
referensi. Bahkan, sangat mungkin jumlah koleksi yang mereka miliki jauh lebih
banyak disbanding yang rata-rata dimiliki oleh masing-masing perguruan tinggi
Islam di Indonesia. Kelebihan referensial inilah yang menjadi daya tarik
tersendiri studi Islam di Australia. Bahkan kalau kita tarik dalam konteks
studi Islam di Barat pada umumnya, maka di beberapa perpsutakaan di Eropa atau
Amerika memiliki koleksi-koleksi referensi, buku, manuskrip atau benda sejarah
yang tidak ditemukan di perpustakaan atau museum negara-negara Islam. Ini
menjadi poin tambahan tersendiri studi Islam di Barat. Secara lebih spesifik
kajian Islam di Australia lebih banyak dilakukan dalam disiplin social science
and humanities, antropology dan sociology dalam isu dan konteks kontemporer
keiIslaman. Sementara disiplin filsafat, sastra atau sejarah untuk kajian Islam
lebih dominan di Eropa dan Amerika.
Terlihat jelas bagaimana kajian Islam,
struktur dan desain pengkajian dan materi serta coursenya, di perguruan tinggi
di Australia dipengaruhi bukan saja oleh wacana gobal tentang Islam dan Muslim,
akan tetapi juga dibentuk sebagai respon atas kondisi, dinamika dan konteks
lokal Muslim di Australia salah satunya studi Islam di WSU dan CSU-ISRA (Nasir,
2016: Pengalaman Western Sydney University dan Charles Sturt University,
Bankstown, NSW, Australia).
4. Pusat-pusat
peradaban Islam di Australia
Sebelum kita kupas lebih lanjut mengenai
pusat peradaban Islam di Australia. Kita flashback sebentar mengenai benua
Australia. Australia adalah sebuah nama benua sekaligus negara yang terletak di
sebelah selatan Indonesia. Siapa sangka, selama ini, penjelajah Inggris James
Cook dianggap sebagai yang pertama kali menemukan Australia. Setelah dilakukan
penelitian dan pengkajian mutakhir di Benua Kanguru itu, ada fakta mengejutkan
bahwa ternyata pelaut Muslim-lah yang pertama kali menemukan benua itu.
Buku Muslim Melayu Penemu Australia yang
ditulis oleh DR Teuku Chalidin Yacob, seorang tokoh masyarakat Muslim dan
pendidikan Islam di Australia, mengungkap fakta tersebut. Dalam penelitiannya,
DR Chalidin mengungkap sejumlah bukti menarik di balik penelitiannya. Di antara
yang dibahas adalah waktu kedatangan Muslim Melayu di Australia, apa motif
kedatangannya, hingga kegiatan dan kisah sukses mereka serta bagaimana
mengatasi masalah yang dihadapinya. Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Mi'raj
News Agency (MINA) Foundation pada akhir 2016 lalu ini mendapat sambutan luar biasa
dari berbagai kalangan. Termasuk di dalamnya Dubes Indonesia untuk Australia
Nadjib Riphat Kosoema, hingga Presiden Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) Tan Sri
Haji Mohd Ali bin Mohd Rustam. Nadjib Riphat menyatakan, interaksi aktif para
pelopor dari Makassar (dalam beberapa literatur Australia disebut Macassan)
terjadi sekitar awal abad ke- 15, jauh sebelum kedatangan bangsa pen jajah dari
Eropa. Kenyataan ini menjadi menarik karena periode itulah yang menjadi awal
berkenalannya penduduk asli Australia dengan para pelaut Mus lim dari Sulawesi
yang membawa serta budaya dan tradisi mereka.
Pada abad ke-17, sejumlah petualang
Belanda mendarat di pantai utara dan barat benua Australia.Para petualang itu
kemudian menyebutnya dengan New Holland. Tetapi, mereka tidak menetap di situ,
hanya singga. Sementara itu, orang kulit putih pertama yang mendarat di wilayah
itu adalah Kapten James Cook yang mendarat di Pantai Timur (sekarang Sydney dan
New South Wales) dan mengklaim wilayah itu sebagai wilayah Inggris. Jauh
sebelum itu, orang-orang Aborigin (suku asli Australia berkulit hitam) sudah
diam dan tinggal di sana. Aborigin yang memang sudah menetap di sana sejak
beribu tahun lamanya sudah menyatakan bahwa wilayah itu adalah milik mereka
sendiri. Pada 1788, tepatnya setelah Kapten James Cook mendarat di Botany Bay
(sekarang Sydney), para pendatang yang merupakan narapidana Inggris membentuk
koloni yang kemudian disebut dengan New South Wales. Pada tahun itu juga
rombongan Inggris terus berdatangan untuk mencari tempat tinggal
baru.Australia, sedikit de mi sedikit, dikuasai oleh orang kulit pu tih,
khususnya dari kerajaan Inggris Raya.
Muslim Melayu Penemu Australia lahir dari
sebuah tesis yang ditulis pada 2009 lalu untuk memperoleh gelar doktor dari
University Malaya (UM) ini mengungkap sejumlah penemuan penting. Terdapat
beberapa bukti arkeologis yang menyebutkan bahwa orang-orang Muslim Melayu dari
Bugis Makassar sudah berada di sana. Keberadaan orang-orang Muslim Melayu di
sana dalam misi perdagangan internasional, mencari teripang (gamat)di Perairan
Utara Australia. Hasil buruannya itu kemudian dijual ke Cina Selatan, salah
satunya untuk bahan dasar obat-obatan dan makanan.
Sebagaimana pernyataan DR Steven Farram,
dosen sejarah North Australia dan ASEAN dari Charles Darwin Univer sity (CDU),
bahwa orang-orang Makassar tak semata-mata hanya mengambil Teripang, mereka
juga mengenalkan sejumlah barang-barang yang tergolong baru dikenal masyarakat
Aborigin. Sejarawan Australia dari Universitas Griffith, Brisbane, Prof Regina
Ganter menulis dalam bukunya Mixed Relationa: Asian-Aborginal Contact in North
Autraliamenyatakan bahwa kedatangan Muslim Melayu di Australia sejak 1650.
Mereka membangun industri pengolahan Teripang di wilayah utara Australia
(Sasongko, 2017: REPUBLIKA.CO.ID)
Selain kekayaan alamnya Australai ternyata
juga menyimpan harta yang tak kalah penting yaitu beberapara pusat peradaban
Islam. Di benua Kanguru atau yang biasa dipanggil benua Australia diantara ada
pusat-pusat peradaban Islam di Australia, yaitu:
1) Masjid
Masjid
pertama di Australia didirikan di Marree di sebelah utara Australia Selatan
pada 1861. Masjid besar pertama dibangun di Adelaide pada 1890, dan satu lagi
didirikan di Broken Hill (New South Wales) pada 1891. Masjid Marree, masjid
pertama di Australia (sumber: travel.detik.com)
Pada
abad 20 M perkembangan masjid-masjid di Australia cukup menggembirakan, karena
dibuat oleh arsitek Australia sendiri, seperti Brisbone tahun 1907 didirikan
mesjid yang indah oleh arsitek sharif Abosi dan Ismeth Abidin. Tahun 1967 di
Quesland didirikan masjid lengkap dengan Islamic Center dibawah pimpinan Fethi
Seit Mecca. Tahun 1970 di Mareeba diresmikan masjidyang mampu menampung 300
jamaah denganimam Haji Abdul Lathif. Di kota Sarrey Hill dibangun Masjid Raya
Faisal bantuan Saudi Arabia. Di Sidney dibangun masjid dengan biaya 900.000
dollas AS.
2)
Pendidikan
Di
Brisbone didirikan “Quesland islamic society”. Pelajarnya bukan hanya dari
Autraslia tetapi juga Indonesia, Turki, Pakistan, Afrika, Lebanon, India. Dan
didirikan pula sekolah yang melahirkan guru-guru muda di Goulbourn. Pendidikan
Islam di Australia diselenggarakan dengan tujuan agar dapat melestarikan pertumbuhan
kehidupan agama Islam. Oleh karena itu, di Brisbane didirikan Queesland Islamic
Society yang bertujuan menyadarkan anak-anak Muslim untuk melakukan shalat dan
hubungan baik sesama manusia. Mereka selama 5-15 tahun menerima pelajaran al-
Qur’an dan tata kehidupan secara Islam. Pelajar terdiri atas anak-anak dari
Indonesia, India, Pakistan, Turki, Afrika, Libanon, dan Australia. (sumber:
www.iscq.com.au)
Sekolah
Islam di Australia (sumber: BSE Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013, hal
178)
3)
Organisasi Islam
Australian
Federation of Islamic Councils (AFIC), himpunan dewan-dewan yang berpusat di
sydney. Federation of Islamic Societies, himpunan masyarakat muslim terdiri
dari 35 organisasi masyarakat muslim lokal dan 9 dewan islam negara-negara
bagian. Moslem Student Asociation, himpunan mahasiswa muslim yang menerbitkan
majalah “Al-Manaar”. Moslem Women Center, yang bertujuan memberikan pelajaran
keislaman dan bahasa inggris bagi masyarakat muslim yang baru datang ke
Australia.
Sumber
: http://ppg.siagapendis.com
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar