Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 20 Juli 2019

PEMIKIRAN TOKOH-TOKOH ISLAM NUSANTARA MODERN




Pemikiran tokoh-tokoh Islam Nusantara Modern

Sejarah perkembangan keislaman sejalan dengan pembaharuan konsep pendidikan Islam. Perkembangan ini tidak terlepas dari peran berbagai tokoh yang memberikan sumbangan pemikiran. Berikut ini profil beberapa tokoh-tokoh islam nusantara di era modern diantaranya adalah:

1.      Hasyim Asyari

KH. Muhammad Hasyim Asy’ari adalah pendiri pesantren Tebu Ireng, tokoh ulama pendiri organisasi NU. Ia lahir di Gedang desa Tambakrejo 2 km ke arah utara kota Jombang Jawa Timur, pada hari selasa kliwon, 24 Dzulqaidah 1287 H bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Putra ketiga dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang. Dari jalur ayah, nasab kiai Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir. Sedangkan, dari jalur ibu nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka Tingkir adalah raja Pajang pertama (1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau pangeran Adiwijaya.

KH. Hasyim Asy’ari mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya sendiri. Terutama pendidikan keagamaan. Ia mula-mula belajar ilmu tauhid, fiqh, tafsir dan bahasa arab. Karena kecerdasannya, maka dalam usia 13 tahun, Hasyim sudah menguasai materi pelajaran yang diajarkan oleh guru dan ayahnya serta mulai membantu ayahnya mengajar para santri senior.  

Hasyim Asyari (Sumber : nu.or.id)
Video: https://www.youtube.com/watch?v=ziO2y2vo6xU

Rasa dahaga akan ilmu pengetahuan, membuat Hasyim menjadi seorang pengelana ilmu. Ia melanjutkan pendidikannya di berbagai pondok pesantren khususnya di pulau Jawa seperti pesantren Wonokoyo, Siwalan Buduran, Trenggilis, Langitan, Bangkalan, Demangan dan Sidoarjo. Selama di pondok pesantren Sidoarjo, kiai Ya’kub selaku pimpinan pondok merasa sangat tertarik dengan kecerdasan Hasyim dan berfirasat bahwa ia kelak akan menjadi pemimpin besar dan sangat berpengaruh. Karena itulah ia menjodohkan Hasyim Asy’ari dengan putrinya, Nafisah. Pada tahun 1892, tepatnya berusia 21 tahun KH. Hasyim Asy’ari menikah dengan Nafisah putri kiai Ya’kub. Pasca menikah, KH. Hasyim bersama istri dan mertuanya bermukim di Makkah. Ketika tepatnya tujuh bulan menetap disana, istrinya melahirkan seorang anak laki-laki dan diberi nama Abdullah. Akan tetapi, beberapa hari setelah melahirkan, istri yang dicintainya meninggal dunia, disusul putranya selang kurang empat puluh hari. Sungguhpun ia mendapatkan cobaan bertubi-tubi, hal initidak mematahkan semangatnya dalam menuntut ilmu.

Selanjutnya KH. Hasyim Asy’ari berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, seorang hartawan yang mempunyai hubungan baik dengan penguasa Makkah, serta berguru kepada Syeikh alAllamah Abdul Hamid al-Darustani dan Syaikh Muhammad Syuaib al-Maghribi. Dan masih banyak lagi lainnya. Diantara ilmu agama yang dipelajari oleh KH. Hasyim Asy’ari selama di Makkah antara lain, fiqh dengan konsentrasi mazhab Syafi’i, tauhid, tafsir, ulumul hadits, tasawuf, dan ilmu alat (nahwu, sharaf, mantiq, balaghah, dan lain-lain).

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605928618

Karya-karya kiai Hasyim banyak merupakan jawaban atas berbagai problematika kehidupan masyarakat. Beliau merupakan penulis yang produktif disamping aktif mengajar, berdakwah dan berjuang. Adapun karya-karya kiai Hasyim Asy’ari diantaranya:

a.       Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim. Bahaya dan pentingnya interaksi sosial. 
b.      Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jamu’iyyah Nahdatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdatul Ulama. Berisikan ayat-ayat Qur’an yang berkaitan dengan Nahdatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai dengan hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan.
c.       Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat. Berisikan tentang perlunya berpegang kepada salah satu diantara empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Di dalamnya juga terdapat uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbath al-ahkam), metode ijtihad, serta respon atas pendapat Ibn Hazm tentang taqlid. 
d.      Mawaidz. Beberapa nasihat, berisikan fatwa dan peringatan tentang merajalelanya kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada al-Qur’an dan hadis, dan lain sebagainya.
e.       Arbain Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jami’Iyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadis yang terkait dengan dasar-dasar pmbentukan Nahdatul Ulama’.
f.        Al-Nural-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, menaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW.
g.      Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran.
h.      Risalah Ahli Sunnah Wal-Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum alSunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal-Jama’ah berisikan tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.
i.        Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasin. Dan didalamnya terdapat fatwa-fatwa Kiai Hasyim yang berbahasa Jawa.

Situasi pendidikan pada masa KH. Hasyim Asy’ari mengalami perubahan dan perkembangan pesat dari kebiasaan lama (tradisional) ke dalam bentuk pendidikan yang semakin modern, hal ini dipengaruhi oleh sistem pendidikan imperialis Belanda yang semakin kuat di Indonesia. Signifikansi pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah upaya memanusiakan manusia secara utuh, sehingga manusia bisa taqwa (takut) kepada Allah SWT, dengan benar-benar mengamalkan segala perintah-Nya mampu menegakan keadilan di muka bumi, beramal saleh dan maslahat, pantas menyandang predikat sebagai makhluk yang paling mulia dan lebih tinggi derajatnya dari segala jenis makhluk Allah lainnya. KH. Hasyim Asy’ari berpendapat fitrah manusia dan lingkungan sama-sama saling mempengaruhi dalam membentuk kepribadian seseorang. Hal ini dinilai bahwa pendidikan banyak memberikan andil dalam rangka memperbaiki, menyempurnakan dan mendidik moral manusia. Oleh karenanya, kiai memberikan perhatian khusus dalam mendidik akhlak melalui pendidikan budi pekerti.

Ada tiga dimensi yang hendak dicapai dalam konsep pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, diantaranya dimensi keilmuan, pengamalan dan religius. Dimensi keilmuan, berarti peserta didik diarahkan untuk selalu mengembangkan keilmuannya, tidak saja keilmuan agama melainkan pengetahuan umum. Peserta didik dituntut bersikap kritis dan peka terhadap lingkungan. Dimensi pengamalan peserta didik bisa mengaktualisasikan keilmuannya untuk kebaikan bersama dan bertanggung jawab terhadap anugrah keilmuan dari Allah. Adapun dimensi religius, adalah hubungan antara Tuhannya tidak sekedar ritual keagamaan melainkan menyandarkan segalanya untuk mencari Ridha Allah. Sehingga, bila dicermati bahwa tujuan pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah menjadi insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan, insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya sekedar menghilangkan kebodohan.

2.      Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan lahir pada tanggal 1 Agustus 1868 di desa Kauman, kota Yogyakarta dan meninggal 23 Februari tahun 1923. Kauman merupakan tempat kelahiran dan tempat Ahmad Dahlan dibesarkan adalah sebuah kampung yang terkenal di Yogyakarta, karena letaknya yang berdekatan dengan Masjid Agung Kesultanan Keraton. Selain letaknya yang strategis dekat dengan masjid, kampung ini juga terkenal dengan nuansa keagamaan yang konservatif. Kampung ini sangat berpengaruh besar dalam perjalanan hidup Ahmad Dahlan dikemudian hari. Sebagian besar penduduk Kauman dipenuhi oleh orang-orang Islam dengan mata pencaharian sebagai pedagang. Disini juga tempat tinggal guru-guru agama seperti imam, khatib, muazin, dan pegawai masjid.

Kata “Kauman” berasal dari bahasa Arab yaitu “qaum” yang maknanya “pejabat keagamaan”. Daerah ini merupakan tempat tinggal para qaum, santri, serta ulama-ulama Islam yang berkewajiban memelihara kemakmuran masjid.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241950411
Ahmad Dahlan (Sumber : kemdikbud.com)

Dimasa kecil nama Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara, yakni adalah Nyai Khatib Arum, Nyai Muhsinah, Nyai Haji Soleh, Muhammad Darwis, Nyai Abdurrahman, Nyai Haji Muhammad Faqih dan Muhammd Basir. Darwis dilahirkan dari keluarga yang terpandang dan taat beragama dan terkenal di lingkungan kesultanan Yogyakarta. Ayahnya bernama K.H Abu Bakar bin Sulaiman dan ibunya adalah putri Haji Ismail. Ayahnya adalah seorang ulama dan khatib terkenal di masjid besar kesultanan di Yogyakarta, sedangkan ibunya adalah anak dari seorang penghulu besar kesultanan di Yogyakarta.

Muhammad Darwis pada masa kecilnya terkenal sebagai seorang anak yang pintar, rajin, jujur dan suka menolong. Ia sangat kreatif dalam membuat barang-barang kerajinan tangan dan permainan, sehingga masyarakat Kauman menamakan dirinya seorang anak yang ulet, pandai dengan kelebihannya yang bisa memanfaatkan sesuatu. Ia berkarya bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi kesenangannya dibagi-bagikan kepada teman-temannya dan saudara-saudaranya. Sejak masa kanak-kanak, jiwa sosial telah bersemi pada diri Muhammad Darwis. Kelebihan dan jiwa sosial itulah yang menjadikan Muhammad Darwis sering tampil sebagai pemimpin bagi teman-temannya.

Video: https://www.youtube.com/watch?v=Sk3-z1H4VDY

Selain belajar pesantren yang dipimpin oleh ayahnya di kampung Kauman, Muhammad Darwis juga dikirim oleh ayahnya untuk belajar di luar Yogyakarta. Karena itu, Muhammad Darwis belajar ilmu fiqih (hukum Islam) dari Kiai Haji Muhammad Shaleh, ilmu nahwu (sintaksis bahasa Arab) dari Kiai Haji Muksin, ilmu falak (astronomi) dan geografi dari Kiai Raden Haji Dahlan, qira‟ah (seni membaca al-Qur'an) dari syaikh Amin dan Syaid Bakri dan ilmu hadis (nilai-nilai dari ketradisian Nabi Muhammad) dari Kiai Mahfudh dan syaikh Khayyat. Walaupun Muhammad Darwis mempelajari berbagai bidang ilmu, akan tetapi ia sangat tertarik sekali pada ilmu falaq dan mendalami ilmu itu.

Ketika berumur 15 tahun, Darwis memutuskan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar ilmuilmu agama. Biaya perjalanan dan keperluan Muhammad Darwis ke tanah suci ditanggung oleh kakak iparnya yaitu kiai Haji Soleh. Darwis bermukim di Mekkah selama lima tahun. Pada tahun 1888, Darwis memutuskan untuk kembali ke Kauman dan bertemu dengan gurunya, Sayyid Bakri Syatha. Pada saat itu sang guru memberikan nama baru untuk Muhammad Darwis yakni Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang ulama yang terkenal Mazhab Syafi'i di Mekkah, yaitu Ahmad bin Zaini Dahlan.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605912329

Pada tahun 1896, ayah Ahmad Dahlan meninggal dunia. Semasa hidup sang ayah menjabat sebagai khatib di masjid kesultanan Yogyakarta. Sepeninggalnya, posisi khatib dilanjutkan oleh Ahmad Dahlan. Hal itu karena Ahmad Dahlan pernah mendalami ilmu agama dan meneruskan pelajarannya di Mekkah, maka Ahmad Dahlan diangkat untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai khatib di masjid kesultanan Yogyakarta oleh Sultan Hamengkubuwono VII. Diantara tugasnya adalah melaksanakan khutbah Jum'at secara bergantian dengan delapan orang teman khatib lainnya, piket di serambi masjid dengan enam orang temannya dalam waktu seminggu sekali, dan menjadi anggota dewan agama Islam hukum keratin.

Ahmad Dahlan adalah seorang tokoh pendidikan yang tidak meninggalkan karya berupa tulisan. Ahmad Dahlan bukanlah seorang penulis sebagaimana pemikir lainnya. Gagasan-gagasan pemikirannya ia sampaikan secara lisan dan karya nyata. Untuk itu ia lebih dikenal sebagai pelaku dibanding pemikir. Atau kita kenal dengan sebutan “Man of Action”. Amal usahanya yang begitu banyak diantaranya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dakwah dan panti sosial. Ini sesuai yang dikatakan oleh Alfian dalam disertasinya, Ahmad Dahlan adalah sosok man of action, dia made history for his works than his words. Karena Ahmad Dahlan tidak pernah menorehkan gagasan pembaharuannya dalam warisan tertulis, tetapi lebih pada karya dan aksi sosial nyata. Sehingga Ahmad Dahlan lebih dikenal sebagai sosok pembaharu yang pragmatis.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952788749

Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 23 Februari 1923 di Kauman Yogyakarta, sesudah menderita sakit beberapa waktu lamanya. Hingga akhir hayatnya, semangat serta dinamikanya dalam membangun umat sangat berapi-api, sehingga ia melupakan kesehatannya sendiri. Jasanya yang besar diberbagai bidang diakui oleh pemerintah ketika Presiden Soekarno dalam Surat Keputusan No. 675 tahun 1961, tanggal 27 Desember, menetapkan Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional.

Menurut Ahmad Dahlan, tujuan pendidikan Islam diarahkan pada usaha untuk membentuk manusia yang beriman, berakhlak, memahami ajaran agama Islam, memiliki pengetahuan yang luas dan kapasitas intelektual yang dapat diperlukan di dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai tujuan tersebut, Ahmad Dahlan berpendapat bahwa pendidikan Islam harus dibarengi dengan integrasi ilmu dan amal, integrasi ilmu pengetahuan umum maupun agama, kebabasan berpikir dan pembentukan karakter, agar peserta didik dapat berkembang secara intelektualitas dan spritualitas. Sepatutnya mengajarkan peserta didik untuk selalu beragama, mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan tindakan yang sesuai dengan yang dianjurkan agama. Serta senantiasa berani mengorbankan hartanya untuk Allah dan tidak sekedar pada tataran pengetahuan saja, tetapi dibarengi dengan praktik keagamaan, yakni beramal.

Sejauh ini pendidikan agama hanya dianggap relevan untuk menanamkan karakter yang baik terhadap peserta didik, karena pada hakikatnya karakter terbentuk dari tindakan yang dilakukan secara rutin dan terus menerus. Perlu disadari bahwa ilmu dan beramal merupakan suatu kesatuan. Artinya, peserta didik tidak hanya duduk di kelas dan diam memperhatikan gurunya, tetapi dengan ilmu yang dimilikinya harus dipraktikkan di dalam kehidupan sehari-hari. Praktik merupakan aplikasi ilmu pengetahuan yang dimiliki dengan menghasilkan karya (berkarya). Di dalam ajaran Islam, pemeluknya wajib mencari ilmu setinggi mungkin dan dengan ilmu yang dicapainya agar diamalkan dalam bentuk karya nyata. Konsep inilah yang diberikan oleh Ahmad Dahlan di dalam pendidikan Muhammadiyah.

3.      Haji Abdul Malik Amrullah

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) lahir di sungai Batang, Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Minggu, tanggal 16 Februari 1908 M/13 Muharram 1326 H dari kalangan keluarga yang taat beragama. Ayahnya bernama Haji Abdul Karim Amrullah atau dikenal dengan sebutan Haji Rasul bin Syeikh Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdul Saleh. Haji Rasul merupakan salah seorang ulama yang pernah mendalami agama di Mekkah, pelopor kebangkitan Kaum Mudo, dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah binti Haji Zakakaria (w. 1934). Dari genelogis ini dapat diketahui, bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilinear. Oleh karena itu, dalam silsilah Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya. Pada tahun 1929 Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan dan dikaruniai 12 orang anak, 2 diantaranya meninggal dunia. Hamka dikenal sebagai salah satu tokoh organisasi Islam modern Muhammadiyah. Bahkan Hamka bisa disebut sebagai tokoh utama berdirinya organisasi itu di wilayah Sumatera Barat. 

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Sumber : republika.com)
Video: https://www.youtube.com/watch?v=qGGjgKg0r5c

Sejak kecil Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca Al-Qur'an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padangpanjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke sekolah desa dan mengenyam pendidikan di sana selama 3 tahun lamanya. Ia juga memiliki hobi menonton film yang kemudian banyak memberinya inspirasi untuk mengarang. Pendidikan formal yang dilaluinya sangat sederhana. Mulai tahun 1916 sampai 1923, ia belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di Padangpanjang, serta Sumatera Thawalib di Padangpanjang dan di Parabek. Walaupun pernah duduk di kelas VII, akan tetapi ia tidak memiliki ijazah.

Diantara guru-guru dan teman seperjuangan Hamka antara lain; Haji Rasul (ayahnya), Syeikh Ibrahim Musa, R.M. Surjopranoto, A.R. Sutan Mansur (dewan penasehat Muhammdiyah 1962-1980), H. Fachroedin (wakil ketua P.B. Muhammadiyah), KH. Mas Mansur, H.O.S. Cokroaminoto (yang mengajarinya tentang peradaban Barat), A. Hasan, M. Natsir, KH. Ahmad Dahlan (pendiri organisasi Muhammadiyah), KH. Ibrahim, KH. Mukhtar Bukhari, dan KH. Abdul Mu'thi.

Lebih dari seratus buku telah dikarangnya yang meliputi: sejarah, filsafat, novel dan masalahmasalah Islam. Selain itu ia juga dipandang sebagai pengajar tasawuf modern di Indonesia. Berikut adalah beberapa karya-karya Hamka, antara lain:

a.       Kenang-Kenangan Hidup, Jilid I, II, III, IV, Cet. 4. Jakarta: Bulan Bintang, 1979
b.      Ayahku; Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya. Jakarta: Pustaka Widjaja, 1958
c.       Falsafah Hidoep. Djakarta: Poestaka Pandji Masyarakat, 1950
d.      Lembaga Hidup, Jakarta: Djajajmurni, 1962.
e.       Lembaga Budi, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983
f.        Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983
g.      Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Jakarta: Tekad, 1963

Hamka tentang pendidikan adalah bahwa pendidikan sebagai sarana yang dapat menunjang dan menimbulkan serta menjadi dasar bagi kemajuan dan kejayaan hidup manusia dalam berbagai keilmuan. Melalui pendidikan, eksistensi fitrah manusia dapat dikembangkan sehingga tercapai tujuan budi. Hamka menilai bahwa proses pengajaran tidak akan berarti bila tidak dibarengi dengan proses pendidikan, begitu juga sebaliknya. Tujuan pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Dengan terjalinnya kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Pendidikan menurut Hamka bukan hanya soal materi, karena yang demikian tidaklah membawa pada kepuasaan batin. Pendidikan harus didasarkan kepada kepercayaan, bahwa di atas dari kuasa manusia ada lagi kekuasaan Maha Besar, yaitu Tuhan. Sebab pendidikan modern tidak bisa meninggalkan agama begitu saja. Kecerdasan otak tidaklah menjamin keselamatan kalau nilai rohani keagamaan tidak dijadikan dasarnya.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/25457176814294469

Hamka berpandangan bahwa melalui akalnya, manusia dapat menciptakan peradaban yang lebih baik. Potensi akal yang demikian dipengaruhi oleh kebebasan berpikir dinamis, sehingga akan sampai pada perubahan dan kemajuan pendidikan. Dalam hal ini, potensi akal adalah sebagai alat untuk mencapai terbentuknya kesempurnaan jiwa. Dengan demikian, orintasi pendidikan Hamka tidak hanya mencakup pada pengembangan intelektualitas berpikir tetapi pembentukan akhlaq al-karimah dan akal budi peserta didik. Dan melalui pendidikan manusia mampu menciptakan peradaban dan mengenal eksistensi dirinya.

Tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, tidak terlepas dari ilmu, amal dan akhlak, serta keadilan. Menurut Hamka ilmu yang dimiliki seseorang memberi pengaruh keimanan sebab ilmu tanpa didasari iman, maka akan rusak hidupnya dan membahayakan orang lain, oleh karena itu manusia semakin berilmu semakin bertambah ketakwaannya kepada Allah. Dalam pandangan Hamka, tujuan pendidikan adalah mengenal dan mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti yang luhur agar terciptanya akhlak mulia serta mempersiapkan peserta didik dalam pengembangan kehidupan secara layak dan berguna di tengah lingkungan sosialnya.
 
Dalam membentuk kepribadian anak, tidak terlepas dari pendidikan orang tuanya. Salahlah pendidikan orang tua yang ingin membuat anaknya seperti dia pula. Orang tuanya telah membentuk anak-anaknya menurut pembentukan pada masanya terdahulu. Orang tua seharusnya membentuk anaknya mengikuti masa anaknya. Oleh karena itu, kepandaian dan pendidikan orang tua dalam mendidik anaknya akan sangat membantu pekerjaan guru. Penanaman adab dan budi pekerti dalam diri anak hendaknya dilakukan sedini mungkin. Upaya ini dilakukan dengan cara menanamkan kebiasaan hidup yang baik. Pertama kali yang mesti ditanamkan adalah nilai-nilai ilahiah. Pentingnya pendidikan agama yang akan berpengaruh pada pola kepribadian seorang anak. Menurut Hamka, pendidikan tersebut dimulai sejak anak dilahirkan dianjurkan untuk mengazankan dan iqamah. Hal ini, diharapkanagar jiwa anak akan tepatri oleh nilai-nilai ketundukan kepada Khaliqnya.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605819119

4.      Nurcholis Madjid

Nurchoilsh Madjid dilahirkan tepat pada tanggal 17 Maret 1939 M (26 Muharram 1358 H). Di sudut kampung kecil Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Ayahnya KH. Abdul Madjid, di kenal sebagai kyai terpandang, alumnus Pesantren Tebuireng dan merupakan salah seorang pemimpin Masyumi, partai berideologi Islam paling berpengaruh pada saat itu. Lebih jauh, KH. Abdul Madjid merupakan santri kesayangan Hadrotul al-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren Tebuireng dan salah satu founding father Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial keagamaan muslim terbesar di Indonesia. Cak Nur wafat pada tanggal 29 Agustus 2005. Sebelumnya Cak Nur menjalani operasi lever di Cina dan dilanjutkan ke Rumah Sakit Singapura, sampai ia kembali menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Pondok Indah hingga akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhirnya.

Video: https://www.youtube.com/watch?v=cdC9hDeKKik
Nurcholis Madjid (Sumber : Wikipedia)

Latar belakang pendidikan dimulai dari Sekolah Rakyat di Mojoanyar pada pagi hari, sedangkan sore hari ia sekolah di Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan ibtidaiyah, ia melanjutkan belajar ke Pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Kulliyatul Mua’allimin AlIslamiyah (KMI) Pesantren Darussalam di Gontor Ponorogo. Setamat dari gontor, ia melanjutkan studi pada institut Agama Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab dan tamat tahun 1968. 
Semenjak menjadi mahasiswa, Nurcholish Madjid seorang mahasiswa yang aktif dalam gerakan kemahasiswaan dan ia secara langsung maupun tidak langsung mampu menunjukkan kemampuan akademisnya itu pada dirinya, keluarganya, juga teman-teman seperjuangannya. Beberapa gerakan kemahasiswaan yang ia geluti adalah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) cabang Ciputat, sampai akhirnya ia terpilih menjadi ketua umum PB HMI, ia juga aktif di Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT), kiprahnya di persatuan ini sampai ia selesai kuliahnya (1968). Keaktifannya dalam sebuah organisasi terus ia geluti, karena baginya sebuah organisasi merupakan medium pencerdasan generasi penerus perjuangan bangsa Indonesia, dan selain itu juga baginya peran sebuah organisasi adalah sebagai wadah untuk pengembangan diri dan sarang latihan menjadi seorang pemimpin. 

Nurcholish Madjid mengakhiri studi doktoranya (Ph. D) di Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat pada tahun 1984 dengan disertasi tentang Filsafat dan Kalam Ibnu Taymiyyah (‘Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam) predikat Summa Cum Laude pun diraihnya. Selain ia banyak berkecimpung di organisasi dan memangku berbagai jabatan, Nurcholis Madjid juga sebagai seorang penulis yang produktif. Di antara karya tulisnya antara lain :

a.       Khasanah Intelektual Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984)
b.      Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987)
c.       Islam Doktrin dan peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1992)
d.      Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Karya bersama para pakar Indonesia lainnya), (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1995)
e.       Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
f.        Masyarakat Religius, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1995)
g.      Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
h.      Tradisi Islam Peran dan fungsinya dalam pembangunan di Indonesia, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
i.        Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1998).

Nurcholish Madjid sebagai tokoh pembaharu dan cendikiawan muslim Indonesia sudah tidak lagi berada di tengah-tengah kita dan kepergiannya merupakan suatu kehilangan besar bagi bangsa Indonesia khususnya dan umumnya bagi anak bangsa dari berbagai Agama, berbagai suku, merasa kehilangan Cak Nur dalam arti yang sebenarnya, demikian sehabatnya Amin Rais mengungkapkan, Pemikiran-pemikiran Madjid terasa masih menggema di kalangan akademisi maupun kalangan ilmuwan, karena banyak dari pemikirannya masih tetap dan terus diperbincangkan, dikritisi dan diaktualisasikan dalam kehidupan selanjutnya, entah itu dalam kancah perpolitikan maupun sosial keagamaan.  Beliau juga seorang intelektual Muslim garda depan, dan juga seorang guru bangsa yang mampu mengemas Islam dalam denyut humanisme serta humanitas, sehingga benih-benih pemikirannya banyak dijadikan solusi oleh sebagian masyarakat Indonesia atas masalah-masalah kemanusiaan maupun keagamaan.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605842754

Gagasan dan pemikiran Nurcholis Madjid bukan hanya mencakup satu bidang saja, melainkan dari berbagai bidang termasuk di dalamnya masalah doktrin, ilmu pengetahuan dan peradaban.Pertama, pembaharuan pesantren. Sesuai dengan latar belakang kehidupannya yaitu sebagai seorang cendikiawan yang dibesarkan di lingkungan pesantren, Nurcholis Madjid meiliki perhatian tentang pembaharuan pesantren.Gagasan dan pemikirannya tentang pesantren ini dapat di lihat dari karyanya berjudul bilikbilik pesantren sebuah potret perjalanan.

Dalam bukunya ini Nurcholis Madjid berpendapat bahwa pesantren berhak, malah lebih baik dan lebih berguna untuk mempertahankan fungsi pokoknya semula yaitu sebagian tempat menyelenggarakan pendidikan agama. Namun, mungkin diperluaskan suatu tinjauan kembali sehinbgga ajaran-ajaran agama yang diberikan klepada setiap pribadi merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan mkna hidup dan weltanschauung Islam, selain tentu saja diosertai dengan pengetahuan secukuopnya tenhtang kewajiban-kewajiban praktis seorang muslim sehari- hari.

Nurcholis Madjid merasa perlu untuk melakukan pembaharuan pesantren. Gagasan dan pemikirannya tentang pesantren ini dapat dilihat dari karyanya yang berjudul “Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan”. Nurcholis Madjid berpendapat bahwa pesantren berhak, malah lebih baik dan lebih berguna, mempertahankan fungsi pokoknya semula, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan agama. Namun, mungkin diperlukan suatu tinjauan kembali sedemikian rupa, sehingga ajaran-ajaran agama yang diberikan kepada setiap pribadi merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan makna hidup dan weltanshauung Islam, selain tentu saja disertai dengan pengetahuan secukupnya tentang kewajiban-kewajiban praktis seorang muslim sehari-hari.

Pelajaran ini kemungkinan dapat diberikan melalui beberapa cara, diantaranya: mempelajari Alquran dengan cara lebih sungguh-sungguh daripada yang umumnya dilakukan orang sekarang, yaitu dengan menitikberatkan kepada pemahaman makna ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Ini memerlukan kemampuan pengajaran yang lebih besar. Yaitu pengajaran kesatuan-kesatuan pengertian tentang ayat-ayat atau surat-surat lain (yang belum dibaca pada saat itu). Pelajaran ini mungkin mirip dengan pelajaran tafsir, tetapi dapat diberikan tanpa sebuah buku atau kitab tafsir melainkan cukup dengan Alquran secara langsung. Selain itu, baik sekali memanfaatkan mata pelajaran lain untuk disisipi pandangan keagamaan tadi. Dan menanamkan kesadaran dan perhargaan yang lebih wajar pada hasilhasil seni budaya Islam atau untuk menumbuhkan kepekaan rohani, termasuk kepekaan rasa ketuhanan yang menjadi inti rasa keagamaan.

Selanjutnya, Nurcholis Madjid menganjurkan agar pesantren tanggap terhadap tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitannya dengan perkembangan zaman. Di sini pesantren dituntut dapat membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan nyata yang didapat melalui pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum secara memadai. Dan bagian ini pun, sebagaimana layaknya yang terjadi sekarang, harus ada jurusan-jurusan alternatif bagi anak didik sesuai dengan potensi dan bakat mereka.

Nurcholis Madjid membedakan istilah materi pelajaran “agama” dan “keagamaan”. Perkataan agama lebih tertuju pada segi formal dan ilmunya saja. Sedangkan perkataan “keagamaan” lebih mengenai semangat dan rasa agama (religiusitas). Menurut Nurcholis Madjid, materi keagamaan ini hanya dipelajari sambil lalu saja tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam masyarakat zaman modern, bukan fiqh atau ilmu kalamnya apalagi nahwu sharfnya serta bahasa Aranya. Di sisi lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengahsetengah, sehingga kemampuan santri biasanya sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan di masyarakat umum.

Artikel/Jjurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605824707

5.      KH. Abdurrahman Wahid      

Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur, lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Ia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001. Ia lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil atau “Sang Penakluk”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. 

KH. Abdurrahman Wahid (sumber: BSE Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013)
Video: https://www.youtube.com/watch?v=JIdwAl5dqj4

 Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), demikian pula kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syamsuri. Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada 1957, setelah lulus SMP, ia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun yang seharusnya ditempuh selama empat tahun. Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas Jombang dan mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan Majalah Budaya Jaya.


Pada 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, namun ia tidak menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya. Gus Dur kemudian melanjutkan belajar di Universitas Baghdad, Irak dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1970. Kemudian ia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi ia kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui (tidak mu’adalah) di Belanda. Gus Dur lalu melanjutkan pendidikan ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia pada tahun 1971. Sekembalinya ke Indonesia Gusdur bergabung di Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy' Ari, dan menjadi dekan hingga tahun 1974. Pada tahun 1970-an, ia menekuni dunia tulis menulis dan menjadi kolumnis tetap di majalah Tempo, Kompas, Pelita, dan Jurnal Prisma. Sebelum menjabat ketua PBNU 1984, Gusdur menjabat ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Tahun 1989 dan 1994 berturut-turut terpilih sebagai Ketua Umum PB NU hingga menjadi Presiden RI keempat Oktober 1999.

Pada tahun 1982 NU membetuk Tim Tujuh (termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan keempat oleh MPR dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila sebagai ideologi tunggal. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu ini. Gus Dur lalu menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan partai politik agar NU fokus pada masalah sosial. Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur dinominasikan sebagai Ketua Umum PBNU dan dia menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah umum.

Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua Umum PBNU pada Musyawarah Nasional 1989. Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam persinggungan politik dengan ABRI, berusaha menarik simpati Muslim termasuk juga kepada NU. Pada Juli 1998 Gus Dur menanggapi ide pembentukan partai politik sebagai wadah warga NU menyampaikan aspirasi politiknya. Partai tersebut diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada tanggal 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya. Pemilu April 1999, PKB meraih suara 12% suara dengan PDIP memenangkan 33% suara. Pada 20 Oktober 1999, Sidang Umum MPR memilih presiden baru. Meskipun suara PDIP yang terbesar, namun karena suasana politik yang berkembang saat itu, mengantarkan Gus Dur terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4.

Langkah yang dilakukan oleh Gus Dur sebagai Presiden adalah mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik. Sebelumnya ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) di samping bertugas sebagai lembaga pertahanan negara, ia juga diperbolehkan berkiprah di dunia politik, hal ini disebut dengan Dwi Fungsi ABRI. Pada tingkatan legislatif ABRI memiliki fraksi tersendiri dengan nama Fraksi TNI-POLRI. Pada era Gus Dur, TNI-POLRI tidak diperkenankan terlibat dalam politik praktis. TNI hanya bertugas sebagai lembaga pertahanan negara. Namun, hal ini juga tidak dilakukan secara sekaligus oleh Gus Dur. Gus Dur membuat perencanan paling tidak selama 6 tahun TNI-POLRI baru benar-benar lepas dari dunia politik. Selama 6 tahun tersebut, secara gradual kesejahteraan TNI-POLRI ditingkatkan sampai pada tingkatan yang mapan sebagai pihak yang memiliki tugas berat, yaitu menjaga kedaulatan negara. Pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri.

Pada 11 Agustus 2006, Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena ia dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas. Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.

Pada pembahasan ini akan dikupas secara mendalam salah saru pemikiran tokoh perkembangan Islam moderen kontemporer, tidaklah menyampingkan tokoh-tokoh yang lainnya, tetapi diambil dari tokoh yang pengalamannya universal, yaitu KH. Abdurrahman Wahid. KH. Abdurrahman Wahid karena beliau adalah seorang ulama, modernis, demokratis hingga politukus yang telah diteliti oleh Indo Santalia dosen Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik, UIN Alaudin Makassar. Berikut rincian dari pemikiran beliau (Santalia, 2015: 139-145):

a.       Hubungan Islam dan Negara

Hubungan Islam dan Negara, merupakan suatu bidang kajian yang sangat penting sebagai gejala sosial. Hubungan tersebut merupakan cermin agama Islam dalam masyarakat. Hubungan Islam dan Negara dalam penjelasan Gusdur dikatakan bahwa: “Islam tidak mengenal doktrin tentang negara. Dalam soal bentuk negara, menurutnya tidak mempunyai aturan baku. Hal ini bergantung negara bersangkutan apakah mau menggunakan model demokrasi, teokrasi atau monarchi. Hal yang terpenting bagi Gusdur adalah terpenuhinya tiga kreteria, yaitu: pertama, mengedepangkan prinsip-prinsip permusyawaratan. Kedua, ditegakkan keadilan. Ketiga, adanya jaminan kebebasan (al-huriyyah) (AlBrebesy, 1999: 155).

Video: https://www.youtube.com/watch?v=yuWH9zDbtuU

Dalam pembukaan UUD 1945 terdapat doktrin tentang keadilan dan kemakmuran. Tak ada pula doktrin bahwa negara harus berbentuk formalisme negara Islam, demikian pula dalam pelaksanaan halhal kenegaraan. Negara dalam perspektif Gusdur adalah al-Hukum (hukum atau aturan). Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang defenitif sehingga etik kemasyarakatanlah yang diperlukan. Dalam persoalan mendasar misalnya Islam tidak konsisten, terkadang memakai Istikhlaf, Bay'ah, ataupun Ahlu al-Halli wa al-Aqdi, padahal suksesi adalah soal yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan. Apa yang menjadi keinginan Gusdur untuk tidak memformalkan Islam sebagai ideologi dan acuan dalam negara sejalan dengan keinginan sebahagian besar warga negara yang mayoritas Islam. Hal ini terbukti dalam pemilu 1999 yang dimenangkan oleh partai nasionalis termasuk PAN dan PKB yang sedikit religius.

Penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara yang dimotori oleh Gusdur dan KH. Amad Siddiq, paling tidak karena dua hal yaitu; Pertama, Islam adalah agama Fitriah. Sepanjang suatu nilai tidak bertentangan dengan keyakinan Islam, ia dapat diarahkan agar selaras dengan tujuan-tujuan dalam Islam. ketika Islam diterima oleh masyarakat, ia tidak harus menganti nilai-nilai yang terdapat di dalamnya tetapi bersikap menyempurnakan.

Di sinilah letak pertentangan Gusdur secara pribadi dengan sebahagian person ICMI sebagai sebuah lembaga.11 Dalam perspektif Ahlu al-Sunnah Wa-al-Jamaah aliran yang diyakini Gusdur pemerintah diilik dan dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari normal formal eksistensinya, negara Islam atau bukan. Selama kaum muslimin dapat menyelengarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat perhatiannya. Kedua Islam dan Pancasila dinilai mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam dan wawasan ke agamaan negara Indonesia sudah dijamin.

Gusdur dengan penuh keyakinan menjelaskan pemerintah yang berideologi pancasila harus dipertahankan, karena syari'ah dalam bentuk hukum agama, fikhi atau etika masyarakat masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya sekalipun hal itu tidak diikuti dengan legislasi dalam bentuk undang-undang negara. Bila etik kemasyarakatan Islam diljalankan, tak ada alasan selain mempertahankannya sebagai kewajiban agama. Dari sanalah munculnya keharusan untuk taat kepada pemerintah (Malik, 1998: 170).

Gusdur berusaha memberikan sinergi untuk memparalelkan hubungan negara dan agama. Dalam pemikirannya, ia melihat besarnya hanbatan dalam proses pembangunan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman yang sangat besar antara pihak penanggungjawab ideologi negara-negara yang sedang berkembang. Upaya Gusdur ini tidak lepas dari perang bapaknya sebagai perumus konsep kenegaraan dan ia berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme. Islam bisa berkembang secara spritual dalam sebuah negara nasional yang tidak secara formal berdasarkan pada Islam. Gusdur menjelaskan lebih lanjut sebagaimana yang dikutip Douglas E. Ramage sebagai berikut:

NU berpegang kepada konsepsi nasionalisme yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. NU telah menjadi pioner dalam masalah ideologis. Ini tentu hanya satu kasus, karena di seluruh dunia Islam hubungan antara nasionalisme dan Islam masih menjadi persoalan. Negara-negara Arab mengangap nasionalisme sebagai bentuk sekularisme. Mereka belum mengerti bahwa nasionalisme seperti yang dipraktekkan di Indonesia tidaklah sekuler, tetapi sangat menghormati perang agama (Remage, 1997: 197).

Pemikiran Gusdur ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai lapisan termasuk non muslim dan mereka ini sangat antusias terhadap sikap inklusif Gusdur. Keyakinan keagamaan di Indonesia patut menjadi teladan karena satu sisi sistem politik yang netral secara agama dan pancasila adalah sebuah ekspresi dari negara yang sekuler secara politik tetapi memberi peluang berkembangnya agama. Hal ini yang tidak disetujui ICMI. Imaduddin Abdurrahim salah seorang tokoh ICMI tidak mempercayai kalau nasionalisme bisa menjadi pemersatu bangsa. Keyakinan tokoh ini, Islam bisa berfungsi sebagai basis moral bagi negara, jika Islam kepercayaan sembilan puluh persen rakyat Indonesia berbeda dengan itu, Gusdur malah dengan tegas mengatakan tanpa pancasila, kita akan berhenti sebagai negara.

Pemikiran Gusdur yang kontra dengan ICMI bukan berarti Gusdur anti Islam. Persoalannya adalah awal berangkat antara Gusdur dengan ICMI itu beda. ICM oleh sebagian anggotanya lebih menonjolkan bendera Islam dalam kekuatan politik yang kemudian disusupkan dalam institusi politik yang ada sementara NU lebih akomodatif, dalam arti selama kehidupan beragama diberi haknya selama itupula menjadi kewajiban untuk mempertahankannya.

b.      Pluralisme

Pluralisme adalah sebuah paham yang mengakui dan mempercayai adanya perbedaan dalam masyarakat yang meliputi perbedaan agama, ras, kelompok, suku budaya, dan adat istiadat. Dalam membicarakan pluralisme, Gusdur tak jarang menghubungkannya dengan agama, karena agama inilah yang sering dimanfaatkan oleh mayoritas dalam menindas dan menekam secara diam-diam kaum minoritas. Pandangan Gusdur terhadap pluralism tercermin pada sikapnya yang membela minoritas dan non muslim dan melakukan kerjasama dengan siapa saja secara terbuka, baik dengan kelompok kristen, hindu, budha, maupun kelompok Islam yang lain. Contoh ketika pemimpin tabloid Monitor Arswendo Atmowiloto menemapatkan nabi Muhammad Saw. pada urutan ke 11 di antara tokoh dunia. Umat Islam secara spontan bereaksi dan meminta agar kantor tabloid di tutup dan dilarang beroperasi lalu Gusdur mengatakan: "Saya tidak setuju dengan itu. Bawalah ke pengadilan itulah penyelesaian yang terbaik”. Gusdur memberikan pelajaran kepada rakyat untuk menghargai otoritas Pengadilan dan tidak bertindak menghakimi sendiri. Gusdur menurut Frans Magnis Suseno adalah seorang yang menghayati agama Islam secara sangat terbuka. Ia sosok pribadi yang bebas dari segalah kepicikan, primordialistik dan sektarian. Ia jelas seratus persen seorang yang beragama Islam tetapi keislamannya begitu mantap sehingga ia merasa tidak terancam oleh pluralitas (Suzeno, 2000:65).


Kelompok minoritas lain yang sering dibela Gusdur adalah penganut Konghucu, kendati negara tidak mengakui keberadaan negara ini khususnya pada masa ode baru tapi Gusdur tetap membelahnya sebagai hak pribadi terhadap suatu keyakinan tentang kebenaran ajaran yang dianut. Pembelaan dan pengakuannya terhadap hak minoritas ini merupakan wujud nyata dari tanggung jawab sosial kebangsaan dan praktek demokrasi. Hal ini pulalah yang mendasari diakuinya kemudian Konghucu sebagai agama dalam pemerintahan Gusdur. Gagasan Gusdur mengenai toleransi dan dialog antar agama atau antar iman tersingkronisasi dalam pemikirannya mengenai pluralisme. Apabila seseorang berpikir positif tentang pluralisme, maka otomatis di dalamnya sudah ada unsur-unsur yang menunjukkan sikap toleran dalam keberbedaan. Th. Sumartana, seorang penganut Katolik menilai bahwa Gusdur melihat perbedaan agama-agama cenderung merupakan perbedaan yang berada dalam tataran kemanusiaan dan tetap yakin bahwa sesungguhnya yang menjadi hakim untuk mengatakan seorang masuk syurga atau neraka adalah Tuhan (Sumartana, 2000: 108).

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952794147

Bahkan ia mengatakan informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu dilayani. Cukup di imbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang positif konstruktif. Sikap pluralis Gusdur yang tampak lebih mementingkan kelompok minoritas tak jarang mendapat tudingan dan hujatan yang bertubi-tubi, bahkan ia dituduh sekuler dan penghianat umat, padahal sikap Gusdur yang demikian justru inigin mengfungsionalisasikan ajaran Islam secara maksimal. Agama tidak sekedar simbol, dan menawarkan janji ke akhiratan sementara realitas kehidupan yang ada dibiarkan tidak tersentu. Sikap Gusdur tidak perna memperlihatkan kebenciannya pada kaum minoritas menyebabkan pula bias bergaul siapa saja. Gusdur menginginkan pendewasaan diri dalam pandangan beragama dan melakukan hal-hal yang konstruktif, pemekaran cakrawala umat, pembinaan kembali akhlak umat hingga mencapai keseimbangan optimal antara emosi dan rasio.

c.       Demokratisasi

Jauh sebelum menjadi presiden, Gusdur telah melemparkan gagasan dan pemikirannya tentang demokrasi yang pantas diterapkan di negeri ini. Dalam konteks keindonesiaan, Gusdur memandang demokrasi sebagai suatu proses atau budaya yang terus menerus dan tidak hanya diukur dari segi kelembagaannya saja seperti yang diterapkan selama orde baru. Gusdur menjelaskan: “Ya..kan mereka sudah ngomong sudah ada demokrasi dengan mengatakan sudah ada lembaganya. Ada MPR, ada DPR. Ya, semacam itulah. Namun saya sendiri beranggapan, demokrasi itu harus utuh, tidak hanya lembaga tetapi juga prilaku orang-orangnya juga harus demokratis. Nyatanya prilaku kita tidak demokratis”.

Video: https://www.youtube.com/watch?v=19iv7cmgR1g
Ungkapan Gusdur di atas sebagai perlawanan terhadap rezim orde baru yang selalu mengklaim dirinya bersikap demokratis, padahal menciptakan UU untuk menjerat siapa saja yang menkritik. Hampir tidak ada orang yang berani mengemukakan kebenaran. Kalaupun ada, ujung-ujungnya adalah korban, sebutlah misalnya Sri Bintang Pemungkas, AM. Fatwa bahkan angota DPR MPR sendiri selama 32 tahun, ke hadirannya hanya setuju.

Menegakkan demokrasi menurut Gusdur tidak bias menghindari omongan yang tidak enak bahkan kontroversi menurutnya adalah esensi demokrasi. Dalam negara yang demokratis, harus pula diikuti oleh warga masyarakat yang demokratis. Masyarakat demokratis menurut Gusdur adalah semua warga negara mempunyai kedudukannya yang sama di muka hukum. Kedua, kebebasan berpendapat dibuka seluas-luasnya, keempat adanya pemisahan yang tegas dalam fungsi yang tidak boleh saling mempengaruhi antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam menegakkan demokrasi Gusdur sangat menghindari terjadinya kekerasan, dan beliau lebih percaya pada perjuangan kultural.

d.      Pribumisasi

Istilah "Pribumisasi Islam" pertama kali dilontarkan tahun 1980-an oleh Abdurrahman Wahid sebagai ganti atas istilah indigenization dalam bahasa Inggris. Pribumisasi Islam lahir dalam konteks perhatian Gusdur untuk tidak menjadikan Islam sebagai alternatif terhadap persoalan-persoalan kenegaraan dan kebangsaan. Ini berbeda dengan sebahagian komunitas gerakan Islam pemurnian, para pencari "Islam asli dan otentik", di Indonesia menghendaki pengislaman negara. Atau mengangkat ajaran Islam sebagai alternatif untuk mengatasi persoalan-persolan kebangsaan. Seperti tampak dalam tuntutan penegakan syariat Islam dan Piagam Jakarta. Dengan pribumisasi, segenap ajaran agama yang telah diserap oleh kultur lokal akan tetap dipertahankan dalam bingkai lokalitas tersebut. Singkatnya seperti dikatakan Gusdur sendiri, mengokohkan kembali akar budaya kita, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. Pada level bahasa, ia tidak setuju dengan pergantian sejumlah kosakata dalam bahasa Indonesia dengan bahasa Arab, seperti ulang tahun diganti dengan milad, selamat pagi diganti dengan Assalamu Alaikum, teman atau sahabat dengan ikhwan proses ini disebut ini disebut Islamisasi dan Arabisasi (Baso, 2002: 8). Maka tidak heran kalau kemudian muncul kontroversi diakhir 1980-an tentang Assalamu Alaikum diganti dengan Selamat Pagi.



@menzour_id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar