Pemikiran
tokoh-tokoh Islam Nusantara Modern
Sejarah perkembangan keislaman sejalan
dengan pembaharuan konsep pendidikan Islam. Perkembangan ini tidak terlepas
dari peran berbagai tokoh yang memberikan sumbangan pemikiran. Berikut ini
profil beberapa tokoh-tokoh islam nusantara di era modern diantaranya adalah:
1. Hasyim
Asyari
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari adalah pendiri
pesantren Tebu Ireng, tokoh ulama pendiri organisasi NU. Ia lahir di Gedang
desa Tambakrejo 2 km ke arah utara kota Jombang Jawa Timur, pada hari selasa
kliwon, 24 Dzulqaidah 1287 H bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Putra ketiga
dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari adalah
menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang. Dari jalur ayah, nasab kiai
Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir.
Sedangkan, dari jalur ibu nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu
Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka Tingkir adalah raja
Pajang pertama (1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau pangeran Adiwijaya.
KH. Hasyim Asy’ari mendapatkan pendidikan
langsung dari ayahnya sendiri. Terutama pendidikan keagamaan. Ia mula-mula
belajar ilmu tauhid, fiqh, tafsir dan bahasa arab. Karena kecerdasannya, maka
dalam usia 13 tahun, Hasyim sudah menguasai materi pelajaran yang diajarkan oleh
guru dan ayahnya serta mulai membantu ayahnya mengajar para santri senior.
Hasyim Asyari (Sumber : nu.or.id)
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=ziO2y2vo6xU
Rasa dahaga akan ilmu pengetahuan, membuat
Hasyim menjadi seorang pengelana ilmu. Ia melanjutkan pendidikannya di berbagai
pondok pesantren khususnya di pulau Jawa seperti pesantren Wonokoyo, Siwalan
Buduran, Trenggilis, Langitan, Bangkalan, Demangan dan Sidoarjo. Selama di
pondok pesantren Sidoarjo, kiai Ya’kub selaku pimpinan pondok merasa sangat
tertarik dengan kecerdasan Hasyim dan berfirasat bahwa ia kelak akan menjadi
pemimpin besar dan sangat berpengaruh. Karena itulah ia menjodohkan Hasyim
Asy’ari dengan putrinya, Nafisah. Pada tahun 1892, tepatnya berusia 21 tahun
KH. Hasyim Asy’ari menikah dengan Nafisah putri kiai Ya’kub. Pasca menikah, KH.
Hasyim bersama istri dan mertuanya bermukim di Makkah. Ketika tepatnya tujuh
bulan menetap disana, istrinya melahirkan seorang anak laki-laki dan diberi
nama Abdullah. Akan tetapi, beberapa hari setelah melahirkan, istri yang
dicintainya meninggal dunia, disusul putranya selang kurang empat puluh hari.
Sungguhpun ia mendapatkan cobaan bertubi-tubi, hal initidak mematahkan
semangatnya dalam menuntut ilmu.
Selanjutnya KH. Hasyim Asy’ari berguru
kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, seorang hartawan yang mempunyai
hubungan baik dengan penguasa Makkah, serta berguru kepada Syeikh alAllamah
Abdul Hamid al-Darustani dan Syaikh Muhammad Syuaib al-Maghribi. Dan masih
banyak lagi lainnya. Diantara ilmu agama yang dipelajari oleh KH. Hasyim
Asy’ari selama di Makkah antara lain, fiqh dengan konsentrasi mazhab Syafi’i,
tauhid, tafsir, ulumul hadits, tasawuf, dan ilmu alat (nahwu, sharaf, mantiq,
balaghah, dan lain-lain).
Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605928618
Karya-karya kiai Hasyim banyak merupakan
jawaban atas berbagai problematika kehidupan masyarakat. Beliau merupakan
penulis yang produktif disamping aktif mengajar, berdakwah dan berjuang. Adapun
karya-karya kiai Hasyim Asy’ari diantaranya:
a. Al-Tibyan
fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang
tata cara menjalin silaturrahim. Bahaya dan pentingnya interaksi sosial.
b. Mukaddimah
al-Qanun al-Asasy Li Jamu’iyyah Nahdatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar
(landasan pokok) organisasi Nahdatul Ulama. Berisikan ayat-ayat Qur’an yang
berkaitan dengan Nahdatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai dengan
hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan.
c. Risalah
fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al Arba’ah. Risalah untuk memperkuat
pegangan atas madzhab empat. Berisikan tentang perlunya berpegang kepada salah
satu diantara empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Di dalamnya
juga terdapat uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbath al-ahkam),
metode ijtihad, serta respon atas pendapat Ibn Hazm tentang taqlid.
d. Mawaidz.
Beberapa nasihat, berisikan fatwa dan peringatan tentang merajalelanya
kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada al-Qur’an dan hadis, dan lain
sebagainya.
e. Arbain
Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jami’Iyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadis yang
terkait dengan dasar-dasar pmbentukan Nahdatul Ulama’.
f.
Al-Nural-Mubin fi Mahabbah Sayyid
al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul.
Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, menaati, meneladani, dan
mencintai Nabi Muhammad SAW.
g. Al-Tanbihat
al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al Munkarat. Peringatan-peringatan wajib
bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran.
h. Risalah
Ahli Sunnah Wal-Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum
alSunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal-Jama’ah berisikan tentang
hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta
menjelaskan sunnah dan bid’ah.
i.
Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh
‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin
Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin
Yasin. Dan didalamnya terdapat fatwa-fatwa Kiai Hasyim yang berbahasa Jawa.
Situasi pendidikan pada masa KH. Hasyim
Asy’ari mengalami perubahan dan perkembangan pesat dari kebiasaan lama
(tradisional) ke dalam bentuk pendidikan yang semakin modern, hal ini
dipengaruhi oleh sistem pendidikan imperialis Belanda yang semakin kuat di Indonesia.
Signifikansi pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah upaya memanusiakan
manusia secara utuh, sehingga manusia bisa taqwa (takut) kepada Allah SWT,
dengan benar-benar mengamalkan segala perintah-Nya mampu menegakan keadilan di
muka bumi, beramal saleh dan maslahat, pantas menyandang predikat sebagai
makhluk yang paling mulia dan lebih tinggi derajatnya dari segala jenis makhluk
Allah lainnya. KH. Hasyim Asy’ari berpendapat fitrah manusia dan lingkungan
sama-sama saling mempengaruhi dalam membentuk kepribadian seseorang. Hal ini
dinilai bahwa pendidikan banyak memberikan andil dalam rangka memperbaiki,
menyempurnakan dan mendidik moral manusia. Oleh karenanya, kiai memberikan
perhatian khusus dalam mendidik akhlak melalui pendidikan budi pekerti.
Ada tiga dimensi yang hendak dicapai dalam
konsep pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, diantaranya dimensi keilmuan, pengamalan
dan religius. Dimensi keilmuan, berarti peserta didik diarahkan untuk selalu
mengembangkan keilmuannya, tidak saja keilmuan agama melainkan pengetahuan
umum. Peserta didik dituntut bersikap kritis dan peka terhadap lingkungan.
Dimensi pengamalan peserta didik bisa mengaktualisasikan keilmuannya untuk
kebaikan bersama dan bertanggung jawab terhadap anugrah keilmuan dari Allah.
Adapun dimensi religius, adalah hubungan antara Tuhannya tidak sekedar ritual
keagamaan melainkan menyandarkan segalanya untuk mencari Ridha Allah. Sehingga,
bila dicermati bahwa tujuan pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah
menjadi insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan,
insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh
karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan
nilai-nilai Islam, bukan hanya sekedar menghilangkan kebodohan.
2. Ahmad
Dahlan
Ahmad Dahlan lahir pada tanggal 1 Agustus
1868 di desa Kauman, kota Yogyakarta dan meninggal 23 Februari tahun 1923.
Kauman merupakan tempat kelahiran dan tempat Ahmad Dahlan dibesarkan adalah
sebuah kampung yang terkenal di Yogyakarta, karena letaknya yang berdekatan
dengan Masjid Agung Kesultanan Keraton. Selain letaknya yang strategis dekat
dengan masjid, kampung ini juga terkenal dengan nuansa keagamaan yang
konservatif. Kampung ini sangat berpengaruh besar dalam perjalanan hidup Ahmad Dahlan
dikemudian hari. Sebagian besar penduduk Kauman dipenuhi oleh orang-orang Islam
dengan mata pencaharian sebagai pedagang. Disini juga tempat tinggal guru-guru
agama seperti imam, khatib, muazin, dan pegawai masjid.
Kata “Kauman” berasal dari bahasa Arab
yaitu “qaum” yang maknanya “pejabat keagamaan”. Daerah ini merupakan tempat
tinggal para qaum, santri, serta ulama-ulama Islam yang berkewajiban memelihara
kemakmuran masjid.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241950411
Ahmad Dahlan (Sumber : kemdikbud.com)
Dimasa kecil nama Ahmad Dahlan adalah
Muhammad Darwis. Ia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara, yakni adalah
Nyai Khatib Arum, Nyai Muhsinah, Nyai Haji Soleh, Muhammad Darwis, Nyai
Abdurrahman, Nyai Haji Muhammad Faqih dan Muhammd Basir. Darwis dilahirkan dari
keluarga yang terpandang dan taat beragama dan terkenal di lingkungan
kesultanan Yogyakarta. Ayahnya bernama K.H Abu Bakar bin Sulaiman dan ibunya
adalah putri Haji Ismail. Ayahnya adalah seorang ulama dan khatib terkenal di
masjid besar kesultanan di Yogyakarta, sedangkan ibunya adalah anak dari
seorang penghulu besar kesultanan di Yogyakarta.
Muhammad Darwis pada masa kecilnya
terkenal sebagai seorang anak yang pintar, rajin, jujur dan suka menolong. Ia
sangat kreatif dalam membuat barang-barang kerajinan tangan dan permainan,
sehingga masyarakat Kauman menamakan dirinya seorang anak yang ulet, pandai
dengan kelebihannya yang bisa memanfaatkan sesuatu. Ia berkarya bukan hanya
untuk diri sendiri, tetapi kesenangannya dibagi-bagikan kepada teman-temannya
dan saudara-saudaranya. Sejak masa kanak-kanak, jiwa sosial telah bersemi pada
diri Muhammad Darwis. Kelebihan dan jiwa sosial itulah yang menjadikan Muhammad
Darwis sering tampil sebagai pemimpin bagi teman-temannya.
Video: https://www.youtube.com/watch?v=Sk3-z1H4VDY
Selain belajar pesantren yang dipimpin
oleh ayahnya di kampung Kauman, Muhammad Darwis juga dikirim oleh ayahnya untuk
belajar di luar Yogyakarta. Karena itu, Muhammad Darwis belajar ilmu fiqih
(hukum Islam) dari Kiai Haji Muhammad Shaleh, ilmu nahwu (sintaksis bahasa
Arab) dari Kiai Haji Muksin, ilmu falak (astronomi) dan geografi dari Kiai
Raden Haji Dahlan, qira‟ah (seni membaca al-Qur'an) dari syaikh Amin dan Syaid
Bakri dan ilmu hadis (nilai-nilai dari ketradisian Nabi Muhammad) dari Kiai
Mahfudh dan syaikh Khayyat. Walaupun Muhammad Darwis mempelajari berbagai
bidang ilmu, akan tetapi ia sangat tertarik sekali pada ilmu falaq dan
mendalami ilmu itu.
Ketika berumur 15 tahun, Darwis memutuskan
untuk menunaikan ibadah haji dan belajar ilmuilmu agama. Biaya perjalanan dan
keperluan Muhammad Darwis ke tanah suci ditanggung oleh kakak iparnya yaitu
kiai Haji Soleh. Darwis bermukim di Mekkah selama lima tahun. Pada tahun 1888,
Darwis memutuskan untuk kembali ke Kauman dan bertemu dengan gurunya, Sayyid
Bakri Syatha. Pada saat itu sang guru memberikan nama baru untuk Muhammad
Darwis yakni Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang ulama yang terkenal
Mazhab Syafi'i di Mekkah, yaitu Ahmad bin Zaini Dahlan.
Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605912329
Pada tahun 1896, ayah Ahmad Dahlan
meninggal dunia. Semasa hidup sang ayah menjabat sebagai khatib di masjid
kesultanan Yogyakarta. Sepeninggalnya, posisi khatib dilanjutkan oleh Ahmad
Dahlan. Hal itu karena Ahmad Dahlan pernah mendalami ilmu agama dan meneruskan
pelajarannya di Mekkah, maka Ahmad Dahlan diangkat untuk menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai khatib di masjid kesultanan Yogyakarta oleh Sultan
Hamengkubuwono VII. Diantara tugasnya adalah melaksanakan khutbah Jum'at secara
bergantian dengan delapan orang teman khatib lainnya, piket di serambi masjid
dengan enam orang temannya dalam waktu seminggu sekali, dan menjadi anggota
dewan agama Islam hukum keratin.
Ahmad Dahlan adalah seorang tokoh
pendidikan yang tidak meninggalkan karya berupa tulisan. Ahmad Dahlan bukanlah
seorang penulis sebagaimana pemikir lainnya. Gagasan-gagasan pemikirannya ia
sampaikan secara lisan dan karya nyata. Untuk itu ia lebih dikenal sebagai
pelaku dibanding pemikir. Atau kita kenal dengan sebutan “Man of Action”. Amal
usahanya yang begitu banyak diantaranya dalam bidang pendidikan, kesehatan,
dakwah dan panti sosial. Ini sesuai yang dikatakan oleh Alfian dalam
disertasinya, Ahmad Dahlan adalah sosok man of action, dia made history for his
works than his words. Karena Ahmad Dahlan tidak pernah menorehkan gagasan
pembaharuannya dalam warisan tertulis, tetapi lebih pada karya dan aksi sosial
nyata. Sehingga Ahmad Dahlan lebih dikenal sebagai sosok pembaharu yang pragmatis.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952788749
Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 23
Februari 1923 di Kauman Yogyakarta, sesudah menderita sakit beberapa waktu
lamanya. Hingga akhir hayatnya, semangat serta dinamikanya dalam membangun umat
sangat berapi-api, sehingga ia melupakan kesehatannya sendiri. Jasanya yang
besar diberbagai bidang diakui oleh pemerintah ketika Presiden Soekarno dalam
Surat Keputusan No. 675 tahun 1961, tanggal 27 Desember, menetapkan Ahmad
Dahlan sebagai Pahlawan Nasional.
Menurut Ahmad Dahlan, tujuan pendidikan
Islam diarahkan pada usaha untuk membentuk manusia yang beriman, berakhlak,
memahami ajaran agama Islam, memiliki pengetahuan yang luas dan kapasitas
intelektual yang dapat diperlukan di dalam kehidupan sehari-hari. Untuk
mencapai tujuan tersebut, Ahmad Dahlan berpendapat bahwa pendidikan Islam harus
dibarengi dengan integrasi ilmu dan amal, integrasi ilmu pengetahuan umum
maupun agama, kebabasan berpikir dan pembentukan karakter, agar peserta didik
dapat berkembang secara intelektualitas dan spritualitas. Sepatutnya
mengajarkan peserta didik untuk selalu beragama, mendekatkan diri kepada Allah
dan melakukan tindakan yang sesuai dengan yang dianjurkan agama. Serta
senantiasa berani mengorbankan hartanya untuk Allah dan tidak sekedar pada
tataran pengetahuan saja, tetapi dibarengi dengan praktik keagamaan, yakni
beramal.
Sejauh ini pendidikan agama hanya dianggap
relevan untuk menanamkan karakter yang baik terhadap peserta didik, karena pada
hakikatnya karakter terbentuk dari tindakan yang dilakukan secara rutin dan
terus menerus. Perlu disadari bahwa ilmu dan beramal merupakan suatu kesatuan.
Artinya, peserta didik tidak hanya duduk di kelas dan diam memperhatikan
gurunya, tetapi dengan ilmu yang dimilikinya harus dipraktikkan di dalam
kehidupan sehari-hari. Praktik merupakan aplikasi ilmu pengetahuan yang
dimiliki dengan menghasilkan karya (berkarya). Di dalam ajaran Islam,
pemeluknya wajib mencari ilmu setinggi mungkin dan dengan ilmu yang dicapainya
agar diamalkan dalam bentuk karya nyata. Konsep inilah yang diberikan oleh
Ahmad Dahlan di dalam pendidikan Muhammadiyah.
3. Haji
Abdul Malik Amrullah
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)
lahir di sungai Batang, Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Minggu, tanggal 16
Februari 1908 M/13 Muharram 1326 H dari kalangan keluarga yang taat beragama.
Ayahnya bernama Haji Abdul Karim Amrullah atau dikenal dengan sebutan Haji
Rasul bin Syeikh Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdul Saleh.
Haji Rasul merupakan salah seorang ulama yang pernah mendalami agama di Mekkah,
pelopor kebangkitan Kaum Mudo, dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau. Sementara
ibunya bernama Siti Shafiyah binti Haji Zakakaria (w. 1934). Dari genelogis ini
dapat diketahui, bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama dan
memiliki hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir
abad XVIII dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau
yang menganut sistem matrilinear. Oleh karena itu, dalam silsilah Minangkabau
ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya. Pada tahun 1929 Hamka
menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan dan dikaruniai 12 orang anak, 2
diantaranya meninggal dunia. Hamka dikenal sebagai salah satu tokoh organisasi
Islam modern Muhammadiyah. Bahkan Hamka bisa disebut sebagai tokoh utama
berdirinya organisasi itu di wilayah Sumatera Barat.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah
(Sumber : republika.com)
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=qGGjgKg0r5c
Sejak kecil Hamka menerima dasar-dasar
agama dan membaca Al-Qur'an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia
dibawa ayahnya ke Padangpanjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke
sekolah desa dan mengenyam pendidikan di sana selama 3 tahun lamanya. Ia juga
memiliki hobi menonton film yang kemudian banyak memberinya inspirasi untuk
mengarang. Pendidikan formal yang dilaluinya sangat sederhana. Mulai tahun 1916
sampai 1923, ia belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di
Padangpanjang, serta Sumatera Thawalib di Padangpanjang dan di Parabek.
Walaupun pernah duduk di kelas VII, akan tetapi ia tidak memiliki ijazah.
Diantara guru-guru dan teman seperjuangan
Hamka antara lain; Haji Rasul (ayahnya), Syeikh Ibrahim Musa, R.M.
Surjopranoto, A.R. Sutan Mansur (dewan penasehat Muhammdiyah 1962-1980), H.
Fachroedin (wakil ketua P.B. Muhammadiyah), KH. Mas Mansur, H.O.S. Cokroaminoto
(yang mengajarinya tentang peradaban Barat), A. Hasan, M. Natsir, KH. Ahmad
Dahlan (pendiri organisasi Muhammadiyah), KH. Ibrahim, KH. Mukhtar Bukhari, dan
KH. Abdul Mu'thi.
Lebih dari seratus buku telah dikarangnya
yang meliputi: sejarah, filsafat, novel dan masalahmasalah Islam. Selain itu ia
juga dipandang sebagai pengajar tasawuf modern di Indonesia. Berikut adalah
beberapa karya-karya Hamka, antara lain:
a. Kenang-Kenangan
Hidup, Jilid I, II, III, IV, Cet. 4. Jakarta: Bulan Bintang, 1979
b. Ayahku;
Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya. Jakarta: Pustaka
Widjaja, 1958
c. Falsafah
Hidoep. Djakarta: Poestaka Pandji Masyarakat, 1950
d. Lembaga
Hidup, Jakarta: Djajajmurni, 1962.
e. Lembaga
Budi, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983
f.
Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983
g. Adat
Minangkabau Menghadapi Revolusi. Jakarta: Tekad, 1963
Hamka tentang pendidikan adalah bahwa
pendidikan sebagai sarana yang dapat menunjang dan menimbulkan serta menjadi
dasar bagi kemajuan dan kejayaan hidup manusia dalam berbagai keilmuan. Melalui
pendidikan, eksistensi fitrah manusia dapat dikembangkan sehingga tercapai
tujuan budi. Hamka menilai bahwa proses pengajaran tidak akan berarti bila
tidak dibarengi dengan proses pendidikan, begitu juga sebaliknya. Tujuan
pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Dengan terjalinnya kedua
proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di
akhirat. Pendidikan menurut Hamka bukan hanya soal materi, karena yang demikian
tidaklah membawa pada kepuasaan batin. Pendidikan harus didasarkan kepada
kepercayaan, bahwa di atas dari kuasa manusia ada lagi kekuasaan Maha Besar,
yaitu Tuhan. Sebab pendidikan modern tidak bisa meninggalkan agama begitu saja.
Kecerdasan otak tidaklah menjamin keselamatan kalau nilai rohani keagamaan
tidak dijadikan dasarnya.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/25457176814294469
Hamka berpandangan bahwa melalui akalnya,
manusia dapat menciptakan peradaban yang lebih baik. Potensi akal yang demikian
dipengaruhi oleh kebebasan berpikir dinamis, sehingga akan sampai pada
perubahan dan kemajuan pendidikan. Dalam hal ini, potensi akal adalah sebagai
alat untuk mencapai terbentuknya kesempurnaan jiwa. Dengan demikian, orintasi
pendidikan Hamka tidak hanya mencakup pada pengembangan intelektualitas
berpikir tetapi pembentukan akhlaq al-karimah dan akal budi peserta didik. Dan
melalui pendidikan manusia mampu menciptakan peradaban dan mengenal eksistensi
dirinya.
Tujuan yang hendak dicapai dalam proses
pendidikan, tidak terlepas dari ilmu, amal dan akhlak, serta keadilan. Menurut
Hamka ilmu yang dimiliki seseorang memberi pengaruh keimanan sebab ilmu tanpa
didasari iman, maka akan rusak hidupnya dan membahayakan orang lain, oleh
karena itu manusia semakin berilmu semakin bertambah ketakwaannya kepada Allah.
Dalam pandangan Hamka, tujuan pendidikan adalah mengenal dan mencari keridhaan
Allah, membangun budi pekerti yang luhur agar terciptanya akhlak mulia serta
mempersiapkan peserta didik dalam pengembangan kehidupan secara layak dan
berguna di tengah lingkungan sosialnya.
Dalam membentuk kepribadian anak, tidak
terlepas dari pendidikan orang tuanya. Salahlah pendidikan orang tua yang ingin
membuat anaknya seperti dia pula. Orang tuanya telah membentuk anak-anaknya
menurut pembentukan pada masanya terdahulu. Orang tua seharusnya membentuk
anaknya mengikuti masa anaknya. Oleh karena itu, kepandaian dan pendidikan
orang tua dalam mendidik anaknya akan sangat membantu pekerjaan guru. Penanaman
adab dan budi pekerti dalam diri anak hendaknya dilakukan sedini mungkin. Upaya
ini dilakukan dengan cara menanamkan kebiasaan hidup yang baik. Pertama kali
yang mesti ditanamkan adalah nilai-nilai ilahiah. Pentingnya pendidikan agama
yang akan berpengaruh pada pola kepribadian seorang anak. Menurut Hamka,
pendidikan tersebut dimulai sejak anak dilahirkan dianjurkan untuk mengazankan
dan iqamah. Hal ini, diharapkanagar jiwa anak akan tepatri oleh nilai-nilai
ketundukan kepada Khaliqnya.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605819119
4. Nurcholis
Madjid
Nurchoilsh Madjid dilahirkan tepat pada
tanggal 17 Maret 1939 M (26 Muharram 1358 H). Di sudut kampung kecil Desa
Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Ayahnya KH. Abdul Madjid, di kenal sebagai kyai
terpandang, alumnus Pesantren Tebuireng dan merupakan salah seorang pemimpin
Masyumi, partai berideologi Islam paling berpengaruh pada saat itu. Lebih jauh,
KH. Abdul Madjid merupakan santri kesayangan Hadrotul al-Syaikh KH. Hasyim
Asy’ari, pendiri Pesantren Tebuireng dan salah satu founding father Nahdlatul
Ulama (NU), organisasi sosial keagamaan muslim terbesar di Indonesia. Cak Nur
wafat pada tanggal 29 Agustus 2005. Sebelumnya Cak Nur menjalani operasi lever
di Cina dan dilanjutkan ke Rumah Sakit Singapura, sampai ia kembali menjalani
perawatan intensif di Rumah Sakit Pondok Indah hingga akhirnya beliau
menghembuskan nafas terakhirnya.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=cdC9hDeKKik
Nurcholis Madjid (Sumber : Wikipedia)
Latar belakang pendidikan dimulai dari
Sekolah Rakyat di Mojoanyar pada pagi hari, sedangkan sore hari ia sekolah di
Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan
ibtidaiyah, ia melanjutkan belajar ke Pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang.
Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Kulliyatul Mua’allimin AlIslamiyah
(KMI) Pesantren Darussalam di Gontor Ponorogo. Setamat dari gontor, ia
melanjutkan studi pada institut Agama Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, pada Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab dan tamat tahun 1968.
Semenjak menjadi mahasiswa, Nurcholish
Madjid seorang mahasiswa yang aktif dalam gerakan kemahasiswaan dan ia secara
langsung maupun tidak langsung mampu menunjukkan kemampuan akademisnya itu pada
dirinya, keluarganya, juga teman-teman seperjuangannya. Beberapa gerakan
kemahasiswaan yang ia geluti adalah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) cabang
Ciputat, sampai akhirnya ia terpilih menjadi ketua umum PB HMI, ia juga aktif
di Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT), kiprahnya di persatuan ini
sampai ia selesai kuliahnya (1968). Keaktifannya dalam sebuah organisasi terus
ia geluti, karena baginya sebuah organisasi merupakan medium pencerdasan
generasi penerus perjuangan bangsa Indonesia, dan selain itu juga baginya peran
sebuah organisasi adalah sebagai wadah untuk pengembangan diri dan sarang
latihan menjadi seorang pemimpin.
Nurcholish Madjid mengakhiri studi
doktoranya (Ph. D) di Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat pada tahun
1984 dengan disertasi tentang Filsafat dan Kalam Ibnu Taymiyyah (‘Ibn Taymiyya
on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam) predikat
Summa Cum Laude pun diraihnya. Selain ia banyak berkecimpung di organisasi dan
memangku berbagai jabatan, Nurcholis Madjid juga sebagai seorang penulis yang
produktif. Di antara karya tulisnya antara lain :
a. Khasanah
Intelektual Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984)
b. Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987)
c. Islam
Doktrin dan peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1992)
d. Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah, (Karya bersama para pakar Indonesia lainnya),
(Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1995)
e. Pintu-pintu
Menuju Tuhan, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
f.
Masyarakat Religius, (Jakarta, Yayasan
Wakaf Paramadina, 1995)
g. Kaki
Langit Peradaban Islam, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
h. Tradisi
Islam Peran dan fungsinya dalam pembangunan di Indonesia, (Jakarta, Yayasan
Wakaf Paramadina, 1997)
i.
Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam
dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina,
1998).
Nurcholish Madjid sebagai tokoh pembaharu
dan cendikiawan muslim Indonesia sudah tidak lagi berada di tengah-tengah kita
dan kepergiannya merupakan suatu kehilangan besar bagi bangsa Indonesia
khususnya dan umumnya bagi anak bangsa dari berbagai Agama, berbagai suku,
merasa kehilangan Cak Nur dalam arti yang sebenarnya, demikian sehabatnya Amin
Rais mengungkapkan, Pemikiran-pemikiran Madjid terasa masih menggema di
kalangan akademisi maupun kalangan ilmuwan, karena banyak dari pemikirannya
masih tetap dan terus diperbincangkan, dikritisi dan diaktualisasikan dalam
kehidupan selanjutnya, entah itu dalam kancah perpolitikan maupun sosial keagamaan. Beliau juga seorang intelektual Muslim garda
depan, dan juga seorang guru bangsa yang mampu mengemas Islam dalam denyut
humanisme serta humanitas, sehingga benih-benih pemikirannya banyak dijadikan
solusi oleh sebagian masyarakat Indonesia atas masalah-masalah kemanusiaan
maupun keagamaan.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605842754
Gagasan dan pemikiran Nurcholis Madjid
bukan hanya mencakup satu bidang saja, melainkan dari berbagai bidang termasuk
di dalamnya masalah doktrin, ilmu pengetahuan dan peradaban.Pertama,
pembaharuan pesantren. Sesuai dengan latar belakang kehidupannya yaitu sebagai
seorang cendikiawan yang dibesarkan di lingkungan pesantren, Nurcholis Madjid
meiliki perhatian tentang pembaharuan pesantren.Gagasan dan pemikirannya
tentang pesantren ini dapat di lihat dari karyanya berjudul bilikbilik
pesantren sebuah potret perjalanan.
Dalam bukunya ini Nurcholis Madjid
berpendapat bahwa pesantren berhak, malah lebih baik dan lebih berguna untuk mempertahankan
fungsi pokoknya semula yaitu sebagian tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
Namun, mungkin diperluaskan suatu tinjauan kembali sehinbgga ajaran-ajaran
agama yang diberikan klepada setiap pribadi merupakan jawaban yang komprehensif
atas persoalan mkna hidup dan weltanschauung Islam, selain tentu saja diosertai
dengan pengetahuan secukuopnya tenhtang kewajiban-kewajiban praktis seorang
muslim sehari- hari.
Nurcholis Madjid merasa perlu untuk
melakukan pembaharuan pesantren. Gagasan dan pemikirannya tentang pesantren ini
dapat dilihat dari karyanya yang berjudul “Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret
Perjalanan”. Nurcholis Madjid berpendapat bahwa pesantren berhak, malah lebih
baik dan lebih berguna, mempertahankan fungsi pokoknya semula, yaitu sebagai
tempat menyelenggarakan pendidikan agama. Namun, mungkin diperlukan suatu
tinjauan kembali sedemikian rupa, sehingga ajaran-ajaran agama yang diberikan
kepada setiap pribadi merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan makna
hidup dan weltanshauung Islam, selain tentu saja disertai dengan pengetahuan
secukupnya tentang kewajiban-kewajiban praktis seorang muslim sehari-hari.
Pelajaran ini kemungkinan dapat diberikan
melalui beberapa cara, diantaranya: mempelajari Alquran dengan cara lebih
sungguh-sungguh daripada yang umumnya dilakukan orang sekarang, yaitu dengan
menitikberatkan kepada pemahaman makna ajaran-ajaran yang terkandung di
dalamnya. Ini memerlukan kemampuan pengajaran yang lebih besar. Yaitu
pengajaran kesatuan-kesatuan pengertian tentang ayat-ayat atau surat-surat lain
(yang belum dibaca pada saat itu). Pelajaran ini mungkin mirip dengan pelajaran
tafsir, tetapi dapat diberikan tanpa sebuah buku atau kitab tafsir melainkan
cukup dengan Alquran secara langsung. Selain itu, baik sekali memanfaatkan mata
pelajaran lain untuk disisipi pandangan keagamaan tadi. Dan menanamkan
kesadaran dan perhargaan yang lebih wajar pada hasilhasil seni budaya Islam
atau untuk menumbuhkan kepekaan rohani, termasuk kepekaan rasa ketuhanan yang
menjadi inti rasa keagamaan.
Selanjutnya, Nurcholis Madjid menganjurkan
agar pesantren tanggap terhadap tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak
dalam kaitannya dengan perkembangan zaman. Di sini pesantren dituntut dapat
membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan nyata yang didapat melalui
pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum secara memadai. Dan bagian ini pun,
sebagaimana layaknya yang terjadi sekarang, harus ada jurusan-jurusan
alternatif bagi anak didik sesuai dengan potensi dan bakat mereka.
Nurcholis Madjid membedakan istilah materi
pelajaran “agama” dan “keagamaan”. Perkataan agama lebih tertuju pada segi
formal dan ilmunya saja. Sedangkan perkataan “keagamaan” lebih mengenai
semangat dan rasa agama (religiusitas). Menurut Nurcholis Madjid, materi
keagamaan ini hanya dipelajari sambil lalu saja tidak secara sungguh-sungguh.
Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam masyarakat zaman modern, bukan
fiqh atau ilmu kalamnya apalagi nahwu sharfnya serta bahasa Aranya. Di sisi
lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengahsetengah,
sehingga kemampuan santri biasanya sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan
di masyarakat umum.
Artikel/Jjurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605824707
5. KH.
Abdurrahman Wahid
Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab
dipanggil Gus Dur, lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan
Wahid Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan
pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah
dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Ia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999
hingga Sidang Istimewa MPR 2001. Ia lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil
atau “Sang Penakluk”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur.
KH. Abdurrahman Wahid (sumber: BSE
Sejarah Peradaban Islam Kurikulum 2013)
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=JIdwAl5dqj4
“Gus”
adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai. Gus Dur adalah
putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam
komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah
pendiri Nahdlatul Ulama (NU), demikian pula kakek dari pihak ibu, KH Bisri
Syamsuri. Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan
menjadi Menteri Agama pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri
Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia
tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana
selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada 1957, setelah lulus
SMP, ia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia
mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan
pesantren dalam waktu dua tahun yang seharusnya ditempuh selama empat tahun. Pada
1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas Jombang dan mendapatkan pekerjaan
pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan
Horizon dan Majalah Budaya Jaya.
Pada 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari
Departemen Agama untuk belajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, namun ia
tidak menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya. Gus Dur kemudian
melanjutkan belajar di Universitas Baghdad, Irak dan menyelesaikan
pendidikannya pada tahun 1970. Kemudian ia pergi ke Belanda untuk meneruskan
pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi ia kecewa karena
pendidikannya di Baghdad kurang diakui (tidak mu’adalah) di Belanda. Gus Dur
lalu melanjutkan pendidikan ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia
pada tahun 1971. Sekembalinya ke Indonesia Gusdur bergabung di Fakultas
Ushuluddin Universitas Hasyim Asy' Ari, dan menjadi dekan hingga tahun 1974.
Pada tahun 1970-an, ia menekuni dunia tulis menulis dan menjadi kolumnis tetap
di majalah Tempo, Kompas, Pelita, dan Jurnal Prisma. Sebelum menjabat ketua
PBNU 1984, Gusdur menjabat ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Tahun 1989 dan
1994 berturut-turut terpilih sebagai Ketua Umum PB NU hingga menjadi Presiden
RI keempat Oktober 1999.
Pada tahun 1982 NU membetuk Tim Tujuh
(termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan
kembali NU. Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa
jabatan keempat oleh MPR dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila
sebagai ideologi tunggal. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi
bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu
ini. Gus Dur lalu menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi
Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan
partai politik agar NU fokus pada masalah sosial. Pada Musyawarah Nasional NU
1984, Gus Dur dinominasikan sebagai Ketua Umum PBNU dan dia menerimanya dengan
syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di
bawahnya. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem
pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan
pesantren sehingga menandingi sekolah umum.
Gus Dur terpilih kembali untuk masa
jabatan kedua Ketua Umum PBNU pada Musyawarah Nasional 1989. Saat itu,
Soeharto, yang terlibat dalam persinggungan politik dengan ABRI, berusaha
menarik simpati Muslim termasuk juga kepada NU. Pada Juli 1998 Gus Dur
menanggapi ide pembentukan partai politik sebagai wadah warga NU menyampaikan
aspirasi politiknya. Partai tersebut diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB). Pada tanggal 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai
kandidat presidennya. Pemilu April 1999, PKB meraih suara 12% suara dengan PDIP
memenangkan 33% suara. Pada 20 Oktober 1999, Sidang Umum MPR memilih presiden
baru. Meskipun suara PDIP yang terbesar, namun karena suasana politik yang
berkembang saat itu, mengantarkan Gus Dur terpilih sebagai Presiden Indonesia
ke-4.
Langkah yang dilakukan oleh Gus Dur
sebagai Presiden adalah mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang
sosial-politik. Sebelumnya ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) di
samping bertugas sebagai lembaga pertahanan negara, ia juga diperbolehkan
berkiprah di dunia politik, hal ini disebut dengan Dwi Fungsi ABRI. Pada
tingkatan legislatif ABRI memiliki fraksi tersendiri dengan nama Fraksi
TNI-POLRI. Pada era Gus Dur, TNI-POLRI tidak diperkenankan terlibat dalam
politik praktis. TNI hanya bertugas sebagai lembaga pertahanan negara. Namun,
hal ini juga tidak dilakukan secara sekaligus oleh Gus Dur. Gus Dur membuat
perencanan paling tidak selama 6 tahun TNI-POLRI baru benar-benar lepas dari
dunia politik. Selama 6 tahun tersebut, secara gradual kesejahteraan TNI-POLRI
ditingkatkan sampai pada tingkatan yang mapan sebagai pihak yang memiliki tugas
berat, yaitu menjaga kedaulatan negara. Pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi
memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri.
Pada 11 Agustus 2006, Gus Dur mendapatkan
Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dinilai memiliki
semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi,
persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur
memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena ia
dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas. Dia juga memperoleh
penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama
kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.
Pada pembahasan ini akan dikupas secara
mendalam salah saru pemikiran tokoh perkembangan Islam moderen kontemporer,
tidaklah menyampingkan tokoh-tokoh yang lainnya, tetapi diambil dari tokoh yang
pengalamannya universal, yaitu KH. Abdurrahman Wahid. KH. Abdurrahman Wahid
karena beliau adalah seorang ulama, modernis, demokratis hingga politukus yang
telah diteliti oleh Indo Santalia dosen Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan
Politik, UIN Alaudin Makassar. Berikut rincian dari pemikiran beliau (Santalia,
2015: 139-145):
a. Hubungan
Islam dan Negara
Hubungan Islam dan Negara, merupakan suatu
bidang kajian yang sangat penting sebagai gejala sosial. Hubungan tersebut
merupakan cermin agama Islam dalam masyarakat. Hubungan Islam dan Negara dalam
penjelasan Gusdur dikatakan bahwa: “Islam tidak mengenal doktrin tentang
negara. Dalam soal bentuk negara, menurutnya tidak mempunyai aturan baku. Hal
ini bergantung negara bersangkutan apakah mau menggunakan model demokrasi,
teokrasi atau monarchi. Hal yang terpenting bagi Gusdur adalah terpenuhinya
tiga kreteria, yaitu: pertama, mengedepangkan prinsip-prinsip permusyawaratan.
Kedua, ditegakkan keadilan. Ketiga, adanya jaminan kebebasan (al-huriyyah)
(AlBrebesy, 1999: 155).
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=yuWH9zDbtuU
Dalam pembukaan UUD 1945 terdapat doktrin
tentang keadilan dan kemakmuran. Tak ada pula doktrin bahwa negara harus
berbentuk formalisme negara Islam, demikian pula dalam pelaksanaan halhal
kenegaraan. Negara dalam perspektif Gusdur adalah al-Hukum (hukum atau aturan).
Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang defenitif sehingga etik
kemasyarakatanlah yang diperlukan. Dalam persoalan mendasar misalnya Islam
tidak konsisten, terkadang memakai Istikhlaf, Bay'ah, ataupun Ahlu al-Halli wa
al-Aqdi, padahal suksesi adalah soal yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan.
Apa yang menjadi keinginan Gusdur untuk tidak memformalkan Islam sebagai
ideologi dan acuan dalam negara sejalan dengan keinginan sebahagian besar warga
negara yang mayoritas Islam. Hal ini terbukti dalam pemilu 1999 yang dimenangkan
oleh partai nasionalis termasuk PAN dan PKB yang sedikit religius.
Penerimaan Pancasila sebagai ideologi
negara yang dimotori oleh Gusdur dan KH. Amad Siddiq, paling tidak karena dua
hal yaitu; Pertama, Islam adalah agama Fitriah. Sepanjang suatu nilai tidak
bertentangan dengan keyakinan Islam, ia dapat diarahkan agar selaras dengan
tujuan-tujuan dalam Islam. ketika Islam diterima oleh masyarakat, ia tidak
harus menganti nilai-nilai yang terdapat di dalamnya tetapi bersikap
menyempurnakan.
Di sinilah letak pertentangan Gusdur
secara pribadi dengan sebahagian person ICMI sebagai sebuah lembaga.11 Dalam
perspektif Ahlu al-Sunnah Wa-al-Jamaah aliran yang diyakini Gusdur pemerintah
diilik dan dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari normal formal
eksistensinya, negara Islam atau bukan. Selama kaum muslimin dapat menyelengarakan
kehidupan beragama mereka secara penuh, maka konteks pemerintahannya tidak lagi
menjadi pusat perhatiannya. Kedua Islam dan Pancasila dinilai mencerminkan
tauhid menurut pengertian keimanan Islam dan wawasan ke agamaan negara
Indonesia sudah dijamin.
Gusdur dengan penuh keyakinan menjelaskan
pemerintah yang berideologi pancasila harus dipertahankan, karena syari'ah
dalam bentuk hukum agama, fikhi atau etika masyarakat masih dilaksanakan oleh
kaum muslimin di dalamnya sekalipun hal itu tidak diikuti dengan legislasi
dalam bentuk undang-undang negara. Bila etik kemasyarakatan Islam diljalankan,
tak ada alasan selain mempertahankannya sebagai kewajiban agama. Dari sanalah
munculnya keharusan untuk taat kepada pemerintah (Malik, 1998: 170).
Gusdur berusaha memberikan sinergi untuk
memparalelkan hubungan negara dan agama. Dalam pemikirannya, ia melihat
besarnya hanbatan dalam proses pembangunan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman
yang sangat besar antara pihak penanggungjawab ideologi negara-negara yang
sedang berkembang. Upaya Gusdur ini tidak lepas dari perang bapaknya sebagai
perumus konsep kenegaraan dan ia berpendapat bahwa tidak ada pertentangan
antara Islam dan nasionalisme. Islam bisa berkembang secara spritual dalam
sebuah negara nasional yang tidak secara formal berdasarkan pada Islam. Gusdur
menjelaskan lebih lanjut sebagaimana yang dikutip Douglas E. Ramage sebagai
berikut:
NU berpegang kepada konsepsi nasionalisme
yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. NU telah menjadi pioner dalam masalah
ideologis. Ini tentu hanya satu kasus, karena di seluruh dunia Islam hubungan
antara nasionalisme dan Islam masih menjadi persoalan. Negara-negara Arab
mengangap nasionalisme sebagai bentuk sekularisme. Mereka belum mengerti bahwa
nasionalisme seperti yang dipraktekkan di Indonesia tidaklah sekuler, tetapi
sangat menghormati perang agama (Remage, 1997: 197).
Pemikiran Gusdur ini mendapat sambutan
yang hangat dari berbagai lapisan termasuk non muslim dan mereka ini sangat
antusias terhadap sikap inklusif Gusdur. Keyakinan keagamaan di Indonesia patut
menjadi teladan karena satu sisi sistem politik yang netral secara agama dan
pancasila adalah sebuah ekspresi dari negara yang sekuler secara politik tetapi
memberi peluang berkembangnya agama. Hal ini yang tidak disetujui ICMI.
Imaduddin Abdurrahim salah seorang tokoh ICMI tidak mempercayai kalau
nasionalisme bisa menjadi pemersatu bangsa. Keyakinan tokoh ini, Islam bisa
berfungsi sebagai basis moral bagi negara, jika Islam kepercayaan sembilan
puluh persen rakyat Indonesia berbeda dengan itu, Gusdur malah dengan tegas
mengatakan tanpa pancasila, kita akan berhenti sebagai negara.
Pemikiran Gusdur yang kontra dengan ICMI
bukan berarti Gusdur anti Islam. Persoalannya adalah awal berangkat antara
Gusdur dengan ICMI itu beda. ICM oleh sebagian anggotanya lebih menonjolkan
bendera Islam dalam kekuatan politik yang kemudian disusupkan dalam institusi
politik yang ada sementara NU lebih akomodatif, dalam arti selama kehidupan
beragama diberi haknya selama itupula menjadi kewajiban untuk
mempertahankannya.
b. Pluralisme
Pluralisme adalah sebuah paham yang
mengakui dan mempercayai adanya perbedaan dalam masyarakat yang meliputi
perbedaan agama, ras, kelompok, suku budaya, dan adat istiadat. Dalam
membicarakan pluralisme, Gusdur tak jarang menghubungkannya dengan agama,
karena agama inilah yang sering dimanfaatkan oleh mayoritas dalam menindas dan
menekam secara diam-diam kaum minoritas. Pandangan Gusdur terhadap pluralism
tercermin pada sikapnya yang membela minoritas dan non muslim dan melakukan
kerjasama dengan siapa saja secara terbuka, baik dengan kelompok kristen,
hindu, budha, maupun kelompok Islam yang lain. Contoh ketika pemimpin tabloid
Monitor Arswendo Atmowiloto menemapatkan nabi Muhammad Saw. pada urutan ke 11
di antara tokoh dunia. Umat Islam secara spontan bereaksi dan meminta agar
kantor tabloid di tutup dan dilarang beroperasi lalu Gusdur mengatakan:
"Saya tidak setuju dengan itu. Bawalah ke pengadilan itulah penyelesaian
yang terbaik”. Gusdur memberikan pelajaran kepada rakyat untuk menghargai
otoritas Pengadilan dan tidak bertindak menghakimi sendiri. Gusdur menurut
Frans Magnis Suseno adalah seorang yang menghayati agama Islam secara sangat
terbuka. Ia sosok pribadi yang bebas dari segalah kepicikan, primordialistik
dan sektarian. Ia jelas seratus persen seorang yang beragama Islam tetapi
keislamannya begitu mantap sehingga ia merasa tidak terancam oleh pluralitas
(Suzeno, 2000:65).
Kelompok minoritas lain yang sering dibela
Gusdur adalah penganut Konghucu, kendati negara tidak mengakui keberadaan
negara ini khususnya pada masa ode baru tapi Gusdur tetap membelahnya sebagai
hak pribadi terhadap suatu keyakinan tentang kebenaran ajaran yang dianut.
Pembelaan dan pengakuannya terhadap hak minoritas ini merupakan wujud nyata
dari tanggung jawab sosial kebangsaan dan praktek demokrasi. Hal ini pulalah
yang mendasari diakuinya kemudian Konghucu sebagai agama dalam pemerintahan
Gusdur. Gagasan Gusdur mengenai toleransi dan dialog antar agama atau antar
iman tersingkronisasi dalam pemikirannya mengenai pluralisme. Apabila seseorang
berpikir positif tentang pluralisme, maka otomatis di dalamnya sudah ada
unsur-unsur yang menunjukkan sikap toleran dalam keberbedaan. Th. Sumartana,
seorang penganut Katolik menilai bahwa Gusdur melihat perbedaan agama-agama
cenderung merupakan perbedaan yang berada dalam tataran kemanusiaan dan tetap
yakin bahwa sesungguhnya yang menjadi hakim untuk mengatakan seorang masuk
syurga atau neraka adalah Tuhan (Sumartana, 2000: 108).
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952794147
Bahkan ia mengatakan informasi dan
ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu dilayani.
Cukup di imbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang positif konstruktif.
Sikap pluralis Gusdur yang tampak lebih mementingkan kelompok minoritas tak
jarang mendapat tudingan dan hujatan yang bertubi-tubi, bahkan ia dituduh
sekuler dan penghianat umat, padahal sikap Gusdur yang demikian justru inigin
mengfungsionalisasikan ajaran Islam secara maksimal. Agama tidak sekedar
simbol, dan menawarkan janji ke akhiratan sementara realitas kehidupan yang ada
dibiarkan tidak tersentu. Sikap Gusdur tidak perna memperlihatkan kebenciannya
pada kaum minoritas menyebabkan pula bias bergaul siapa saja. Gusdur
menginginkan pendewasaan diri dalam pandangan beragama dan melakukan hal-hal
yang konstruktif, pemekaran cakrawala umat, pembinaan kembali akhlak umat
hingga mencapai keseimbangan optimal antara emosi dan rasio.
c. Demokratisasi
Jauh sebelum menjadi presiden, Gusdur
telah melemparkan gagasan dan pemikirannya tentang demokrasi yang pantas
diterapkan di negeri ini. Dalam konteks keindonesiaan, Gusdur memandang
demokrasi sebagai suatu proses atau budaya yang terus menerus dan tidak hanya
diukur dari segi kelembagaannya saja seperti yang diterapkan selama orde baru.
Gusdur menjelaskan: “Ya..kan mereka sudah ngomong sudah ada demokrasi dengan
mengatakan sudah ada lembaganya. Ada MPR, ada DPR. Ya, semacam itulah. Namun
saya sendiri beranggapan, demokrasi itu harus utuh, tidak hanya lembaga tetapi
juga prilaku orang-orangnya juga harus demokratis. Nyatanya prilaku kita tidak
demokratis”.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=19iv7cmgR1g
Ungkapan Gusdur di atas sebagai perlawanan
terhadap rezim orde baru yang selalu mengklaim dirinya bersikap demokratis,
padahal menciptakan UU untuk menjerat siapa saja yang menkritik. Hampir tidak
ada orang yang berani mengemukakan kebenaran. Kalaupun ada, ujung-ujungnya
adalah korban, sebutlah misalnya Sri Bintang Pemungkas, AM. Fatwa bahkan angota
DPR MPR sendiri selama 32 tahun, ke hadirannya hanya setuju.
Menegakkan demokrasi menurut Gusdur tidak
bias menghindari omongan yang tidak enak bahkan kontroversi menurutnya adalah
esensi demokrasi. Dalam negara yang demokratis, harus pula diikuti oleh warga
masyarakat yang demokratis. Masyarakat demokratis menurut Gusdur adalah semua
warga negara mempunyai kedudukannya yang sama di muka hukum. Kedua, kebebasan
berpendapat dibuka seluas-luasnya, keempat adanya pemisahan yang tegas dalam
fungsi yang tidak boleh saling mempengaruhi antara eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Dalam menegakkan demokrasi Gusdur sangat menghindari terjadinya
kekerasan, dan beliau lebih percaya pada perjuangan kultural.
d. Pribumisasi
Istilah "Pribumisasi Islam"
pertama kali dilontarkan tahun 1980-an oleh Abdurrahman Wahid sebagai ganti
atas istilah indigenization dalam bahasa Inggris. Pribumisasi Islam lahir dalam
konteks perhatian Gusdur untuk tidak menjadikan Islam sebagai alternatif
terhadap persoalan-persoalan kenegaraan dan kebangsaan. Ini berbeda dengan
sebahagian komunitas gerakan Islam pemurnian, para pencari "Islam asli dan
otentik", di Indonesia menghendaki pengislaman negara. Atau mengangkat
ajaran Islam sebagai alternatif untuk mengatasi persoalan-persolan kebangsaan.
Seperti tampak dalam tuntutan penegakan syariat Islam dan Piagam Jakarta.
Dengan pribumisasi, segenap ajaran agama yang telah diserap oleh kultur lokal
akan tetap dipertahankan dalam bingkai lokalitas tersebut. Singkatnya seperti
dikatakan Gusdur sendiri, mengokohkan kembali akar budaya kita, dengan tetap
berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. Pada level bahasa, ia tidak
setuju dengan pergantian sejumlah kosakata dalam bahasa Indonesia dengan bahasa
Arab, seperti ulang tahun diganti dengan milad, selamat pagi diganti dengan
Assalamu Alaikum, teman atau sahabat dengan ikhwan proses ini disebut ini
disebut Islamisasi dan Arabisasi (Baso, 2002: 8). Maka tidak heran kalau
kemudian muncul kontroversi diakhir 1980-an tentang Assalamu Alaikum diganti
dengan Selamat Pagi.
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar