Riba
1. Jenis Riba dan Hukumnya
Secara
bahasa, kata riba berarti tambahan. Dalam istilah hukum Islam, riba
berarti tambahan baik berupa tunai,
benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain
jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada waktu
pengembalian uang pinjaman, riba semacam
ini disebut dengan riba nasiah.
Menurut
Satria Effendi, riba nasiah adalah
tambahan pembayaran atas jumlah modal yang disyaratkan lebih dahulu yang harus
dibayar oleh si peminjam kepada yang
meminjam tanpa resiko sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran yang
diberikan kepada si peminjam.
Riba
nasiah ini terjadi dalam hutang piutang, oleh karena itu disebut juga dengan
riba duyun dan disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab masyarakat Arab
sebelum Islam telah dikenal melakukan suatu kebiasaan membebankan tambahan
pembayaran atau semua jenis pinjaman yang dikenal dengan sebutan riba. Juga
disebut dengan riba jali atau qath’i, sebab dasar hukumnya disebut secara jelas
dan pasti.
Sejarah
mencatat bahwa praktek riba nasiah ini pernah dipraktekkan oleh kaum Thaqif
yang telah terbiasa meminjamkan uang kepada Bani Mughirah. Setelah waktu pembayaran
tiba, kaum Mughirah berjanji akan membayar lebih banyak apabila mereka diberi
tenggang waktu pembayaran.
Sebagian
tokoh sahabat Nabi, seperti paman Nabi, Abbas dan Khalid bin Walid, keduanya
pernah mempraktekkannya sehingga turun ayat yang mengharamkannya yang kemudian
membuat heran orang musyrik, karena mereka telah menganggap jual beli itu sama dengan riba. (Satria Effendi, 1988:147). Ayat tersebut
berbunyi:
Artinya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. 2:275)
Uraian
di atas memberikan kejelasan bahwa riba nasiah mengandung tiga unsur.
Pertama, terdapat tambahan pembayaran atau
modal yang dipinjamkan.
Kedua, tambahan itu tanpa resiko kecuali
sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si peminjam.
Ketiga, tambahan itu disyaratkan dalam bentuk
pemberian piutang dan tenggang waktu.
Bandingkan
dengan kasus lain, penambahan yang
dilakukan oleh orang yang berhutang ketika membayar dan tanpa ada syarat
sebelumnya, hal itu dibolehkan, bahkan dianggap perbuatan ihsan (baik) yang
pernah dicontohkan oleh Rasulullah (Quraish Shihab, 1988:136).
Rasul pernah berhutang kepada seseorang
seekor hewan kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya seraya
bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik dalam membayar
hutangnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Fuqaha
membedakan mana tambahan yang termasuk riba atau tindakan terpuji. Menurut
mereka tambahan pembayaran hutang yang termasuk riba jika tambahan tersebut
disyaratkan pada waktu aqad.
Artinya
seseorang mau memberikan hutang dengan syarat ada tambahan dalam
pengembaliannya. Tindakan ini dinilai tercela karena ada kezaliman dan
pemerasan. Sedangkan tambahan yang terpuji itu tidak dijanjikan pada waktu
aqad.
Tambahan itu diberikan oleh orang yang berhutang ketika ia membayar yang
sifatnya tidak mengikat hanya sebagai tanda rasa terima kasih kepada orang yang
telah memberikan hutang kepadanya.
Selain
riba nasiah seperti telah dijelaskan, dalam kajian fiqh dikenal juga riba dalam
bentuk lain yang disebut dengan riba
fadhal. Menurut Ibnu Qayyum, riba fadhal ialah riba yang kedudukannya sebagai penunjang keharaman riba
nasiah.
Dengan kata lain bahwa riba fadhal diharamkan supaya seseorang tidak
melakukan riba nasiah yang sudah jelas keharamannya.
Maka
Rasulullah melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, korma dengan korma, kecuali dengan sama banyak dan secara tunai.
Barang
siapa yang menambah atau minta tambah, masuklah ia pada riba. Yang mengambil
dan yang memberi sama hukumnya (HR. Bukhari).
Dari
pengertian tersebut, fuqaha menyimpulkan bahwa riba fadhal ialah kelebihan yang
terdapat dalam tukar menukar antara benda-benda sejenis, seperti emas dengan
emas, perak dengan perak dan sebagainya.
Tentang keharaman riba, sikap semua
agama samawi (Islam, Yahudi dan Nasrani) secara tegas mengharamkan riba karena
dianggap sebuah praktek yang dapat merusak moral.
Di
dalam kitab perjanjian lama ayat 25 pasal 22 kitab keluaran sebagaimana dikutip
oleh Sayyid Sabiq “jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra
bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang menghutangkan, jangan kamu
meminta keuntungan hartamu”.
Hal senada dikemukakan pada ayat 35 pasal 25 kitab
imamat, “jika saudaramu membutuhkan sesuatu maka tanggunglah, jangan kamu
meminta darinya keuntungan dan manfaat”.
Paus
Pius berkata “sesungguhya pemakan riba
akan kehilangan harga diri/kemuliaan dalam hidup di dunia dan mereka
bukan orang yang pantas dikapankan setelah mereka mati”.
Sedangkan dalam Islam,
keharaman riba ditetapkan oleh al-Qur’an secara kronologis di berbagai tempat.
Pada priode Mekkah turun firman Allah swt surat al-Ruum ayat 39.
Artinya:
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka
(yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
(QS.: 30/39)
Pada
priode Madinah turun ayat yang secara jelas dan tegas tentang keharaman riba,
terdapat dalam surat Ali Imran ayat 130
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.(QS: 3/130)
Ayat
terakhir yang memperkuat keharaman riba terdapat dalam surat al-Baqarah ayat
278-279:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasulNya akan
memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.( Baqarah/2: 278-279)
Dua
ayat terakhir di atas mempertegas sebuah penolakan secara jelas terhadap orang
yang mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda. Allah tidak
memperbolehkan pengembalian hutang kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada
tambahan.
Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah
perbuatan haram dan termasuk salah satu dari lima dosa besar yang membinasakan.
Dalam hadits yang lain, keharaman riba bukan hanya kepada pelakunya saja tapi
juga kepada semua pihak yang ikut membantu terlaksananya perbuatan riba tersebut,
hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
(لعن الله الله آكل الربا، ومؤكله، وشاهديه، وكاتبه. (رواه البخارى ومسل
Artrinya:
Allah melaknat pemakan riba, orang yang memberikan makannya, saksi-saksinya dan
penulisnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Hikmah Keharaman Riba
Berdasar
kepada keharaman riba sebagaimana telah dijelaskan di atas, Yususf Qardawi dan
Sayyid Sabiq memberikan komentar yang
senada tentang bahaya riba dalam konteks
kehidupan personal dan sosial.
Menurut
Yusuf Qardhawi dalam kitabnya al-halal wa al-haram menyatakan bahwa dalam
praktek riba terdapat kezaliman. Dalam bentuk pengambilan harta orang lain
tanpa hak.
Hal ini dapat terlihat dengan jelas dengan keharusa orang yang
berhutang untuk mengembalikan sejumlah tambahan dari jumlah hutang yang harus
dibayarkan.
Selain
itu, menurut Qardhawi bahwa dalam praktek riba terkandung potensi secara
psikologis yang dapat melemahkan
kreatifitas manusia untuk bekerja, sehingga manusia melalaikan perdagangannya
dan aktifitas ekonomi lainnya yang mampu
memutus kreatifitas hidupnya.
Dampak
negatif ini muncul sangatlah beralasan dikarenakan uang yang mengalir ke dalam
sakunya diperoleh secara mudah tanpa
mengeluarkan keringat sehingga hidupnya bergantung kepada riba yang
diperolehnya tanpa usaha, sehingga muncul mental-mental manusia yang konsumtif
dan tidak produktif.
Lanjut
Qardhawi menjelaskan, aspek lain yang
tidak kalah pentingnya dari dua dampak terdahulu adalah bahwa dalam praktek
riba berpotensi besar untuk
menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam hutang piutang.
Transaksi
hutang piutang yang pada mulanya mengandung
kebaikan karena di dalamnya terdapat unsur tolong menolong dalam
kehupuan sosial, akibat virus riba maka
hutang piutang akhirnya berubah menjadi sebuah praktek pemerasan
terselubung yang akan mendorong pelakunya bermental lintah darat yang memanfaatkan
kebaikan hutang piutang.
Selain
itu, dilihat secara moral, tegas Qardhawi riba sangat
tidak memiliki nilai kemanusiaan karena di dalamnya terdapat eksploitasi
terhadap kaum lemah, hal ini menurut beliau karena yang menjadi kebiasaan
adalah orang yang memberi hutang adalah orang kaya dan
orang yang berhutang adalah orang miskin.
Mengambil kelebihan hutang dari orang
yang miskin sangatlah tidak wajar dan bertentangan dengan sifat rahmah Allah
swt., hal ini akan merusak sendi-sendi
kehidupan sosial. (Qardhawi, 1994: 242-243).
Hampir
senada dengan Qardhawi, Sayyid Sabiq juga menguraikan dampak negatif yang
diakibatkan oleh riba. Namun terdapat point penting lain yang dapat diungkap
dari Sabiq yaitu bahwa dalam praktek riba akan dapat
menimbulkan potensi permusuhan.
Hal ini muncul dimungkinkan karena dalam
praktek riba menapikan unsur tolong menolong yang dapat memperkuat tali
persahabatan dan persaudaraan.
Hal
ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan yang dianjurkan oleh semua
agama terutama Islam yang menyeru agar ummatnya dapat hidup selalu saling tolong menolong dan membenci orang yang
mengutamakan kepentingan pribadi dan
mengeksploitasi kerja orang lain.
Lanjut
Sabiq mengatakan bahwa praktek riba berpotensi untuk melahirkan mental hidup mewah (pemboros),
pemalas yang tidak mau bekerja dan menimbulkan penimbunan harta tanpa usaha
yang tak ubahnya seperti benalu (pohon parasit) yang nempel di pohon lain.
Sederet dampak yang tersebut terakhir ini merupakan bentuk mental yang
bertentangan dengan semangat ajaran Islam.
Pemborosan
merupakan sifat yang seharusnya dijauhi
oleh ummatnya karena pemboros dalam hidupnya hanya menyia-nyiakan harta dengan
perbuatan yang tidak bermanfaat yang diklaim sebagai perbuatan syetan.
Demikian
halnya dengan sikap berpangku tangan juga merupakan sifat yang tidak islami,
karena ajaran Islam menganjurkan ummatnya berusaha sekuat tenaga
untuk mencari harta dengan jalan yang
benar, menghargai kerja keras dan menghormati orang yang suka bekerja dan
menjadikan kerja sebagai sarana mata pencaharian, menuntun orang kepada
keahlian dan kemandirian serta mengangkat semangat hidup seseorang.
Butir
lain yang tidak kalah pentingnya dengan butit-butir terdahulu yang diungkap
Sabiq adalah bahwa praktek riba
merupakan salah satu cara penjajahan.
Hal
ini dapat dipahami karena sesungguhnya praktek riba adalah produk jahiliyah
yang berkembang sampai sekarang menjadi sebuah kekuatan ekonomi global yang
berbasis kapitalis yang jauh dari nilai
tolong nenolong.
Hal
ini tentunya bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri yang mengajak manusia agar dapat memberikan pinjaman kepada
yang memerlukan dengan baik semata untuk mendapat pahala bukan mengekploitasi
orang lemah. Hal ini diperkuat firman Allah swt.:
Artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 2)
Memperhatikan
praktek riba dan segala konsekuensi yang diakibatkan darinya sebagaimana dijelaskan di atas maka penulis dapat berkesimpulan bahwa akibat
yang ditimbulkan oleh praktek riba dapat merusak tatanan kehidupan seseorang
baik secara personal maupun sosial yang diistilahkan dalam agama jauh dari
keberkahan hidup.
Jika
praktek riba dibiarkan tanpa usaha untuk mengembalikan kepada sistem
perekonomian Islam yang terbebas dari sistem riba maka sistem kapitalis di mana terjadi
pemerasan dan penganiayaan terhadap kaum lemah akan tetap merajai sistem
perekonomian dan di saat itu pula terjadi kegersangan yang dahsyat bagi kehidupan manusia modern.
Di sisi lain akan semakin kuatlah adigium yang menyatakan bahwa orang yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin tertindas.
@MENZOUR_ID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar