Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 13 Juli 2019

PEMBAHASAN TENTANG RIBA



Riba


1.    Jenis Riba dan Hukumnya
 
Secara bahasa, kata riba berarti tambahan. Dalam istilah hukum Islam, riba berarti  tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada waktu pengembalian uang pinjaman,  riba semacam ini disebut dengan riba nasiah. 

Menurut Satria Effendi, riba nasiah adalah tambahan pembayaran atas jumlah modal yang disyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh si peminjam  kepada yang meminjam tanpa resiko sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran yang diberikan kepada si peminjam.

Riba nasiah ini terjadi dalam hutang piutang, oleh karena itu disebut juga dengan riba duyun dan disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab masyarakat Arab sebelum Islam telah dikenal melakukan suatu kebiasaan membebankan tambahan pembayaran atau semua jenis pinjaman yang dikenal dengan sebutan riba. Juga disebut dengan riba jali atau qath’i, sebab dasar hukumnya disebut secara jelas dan pasti.

Sejarah mencatat bahwa praktek riba nasiah ini pernah dipraktekkan oleh kaum Thaqif yang telah terbiasa meminjamkan uang kepada Bani Mughirah. Setelah waktu pembayaran tiba, kaum Mughirah berjanji akan membayar lebih banyak apabila mereka diberi tenggang waktu pembayaran.

Sebagian tokoh sahabat Nabi, seperti paman Nabi, Abbas dan Khalid bin Walid, keduanya pernah mempraktekkannya sehingga turun ayat yang mengharamkannya yang kemudian membuat heran orang musyrik, karena mereka telah menganggap  jual beli itu sama dengan riba.  (Satria Effendi, 1988:147). Ayat tersebut berbunyi:







Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. 2:275)

Uraian di atas memberikan kejelasan bahwa riba nasiah mengandung tiga unsur.

Pertama, terdapat tambahan pembayaran atau modal yang dipinjamkan.

Kedua, tambahan itu tanpa resiko kecuali sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si peminjam.

Ketiga, tambahan itu disyaratkan dalam bentuk pemberian piutang dan tenggang waktu.

Bandingkan dengan kasus lain,  penambahan yang dilakukan oleh orang yang berhutang ketika membayar dan tanpa ada syarat sebelumnya, hal itu dibolehkan, bahkan dianggap perbuatan ihsan (baik) yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah (Quraish Shihab, 1988:136).   

Rasul pernah berhutang kepada seseorang seekor hewan kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya seraya bersabda:




Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik dalam membayar hutangnya.” (HR. Bukhari Muslim)

Fuqaha membedakan mana tambahan yang termasuk riba atau tindakan terpuji. Menurut mereka tambahan pembayaran hutang yang termasuk riba jika tambahan tersebut disyaratkan pada waktu aqad.

Artinya seseorang mau memberikan hutang dengan syarat ada tambahan dalam pengembaliannya. Tindakan ini dinilai tercela karena ada kezaliman dan pemerasan. Sedangkan tambahan yang terpuji itu tidak dijanjikan pada waktu aqad. 

Tambahan itu diberikan oleh orang yang berhutang ketika ia membayar yang sifatnya tidak mengikat hanya sebagai tanda rasa terima kasih kepada orang yang telah memberikan hutang kepadanya.

Selain riba nasiah seperti telah dijelaskan, dalam kajian fiqh dikenal juga riba dalam bentuk lain yang disebut dengan riba fadhal. Menurut Ibnu Qayyum, riba fadhal ialah riba yang kedudukannya sebagai penunjang keharaman riba nasiah. 

Dengan kata lain bahwa riba fadhal diharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba nasiah yang sudah jelas keharamannya.

Maka Rasulullah melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, korma dengan korma, kecuali dengan sama banyak dan secara tunai. 

Barang siapa yang menambah atau minta tambah, masuklah ia pada riba. Yang mengambil dan yang memberi sama hukumnya (HR. Bukhari).

Dari pengertian tersebut, fuqaha menyimpulkan bahwa riba fadhal ialah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara benda-benda sejenis, seperti emas dengan emas, perak dengan perak dan sebagainya. 

Tentang keharaman riba, sikap semua agama samawi (Islam, Yahudi dan Nasrani) secara tegas mengharamkan riba karena dianggap sebuah praktek yang dapat merusak moral.

Di dalam kitab perjanjian lama ayat 25 pasal 22 kitab keluaran sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq “jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang menghutangkan, jangan kamu meminta keuntungan hartamu”. 

Hal senada dikemukakan pada ayat 35 pasal 25 kitab imamat, “jika saudaramu membutuhkan sesuatu maka tanggunglah, jangan kamu meminta darinya keuntungan dan manfaat”.

Paus Pius berkata “sesungguhya pemakan riba  akan kehilangan harga diri/kemuliaan dalam hidup di dunia dan mereka bukan orang yang pantas dikapankan setelah mereka mati”. 

Sedangkan dalam Islam, keharaman riba ditetapkan oleh al-Qur’an secara kronologis di berbagai tempat. Pada priode Mekkah turun firman Allah swt surat al-Ruum ayat 39.

Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS.: 30/39)
 
Pada priode Madinah turun ayat yang secara jelas dan tegas tentang keharaman riba, terdapat dalam surat Ali Imran ayat 130

Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS: 3/130)

Ayat terakhir yang memperkuat keharaman riba terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 278-279: 

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.  Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasulNya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.( Baqarah/2: 278-279)

Dua ayat terakhir di atas mempertegas sebuah penolakan secara jelas terhadap orang yang mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda. Allah tidak memperbolehkan pengembalian hutang kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada tambahan.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah perbuatan haram dan termasuk salah satu dari lima dosa besar yang membinasakan. 

Dalam hadits yang lain, keharaman riba bukan hanya kepada pelakunya saja tapi juga kepada semua pihak yang ikut membantu terlaksananya perbuatan riba tersebut, hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

(لعن الله الله آكل الربا، ومؤكله، وشاهديه، وكاتبه. (رواه البخارى ومسل

Artrinya: Allah melaknat pemakan riba, orang yang memberikan makannya, saksi-saksinya dan penulisnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
 
2.    Hikmah Keharaman Riba

Berdasar kepada keharaman riba sebagaimana telah dijelaskan di atas, Yususf Qardawi dan Sayyid Sabiq    memberikan komentar yang senada tentang  bahaya riba dalam konteks kehidupan personal dan sosial.

Menurut Yusuf Qardhawi dalam kitabnya al-halal wa al-haram menyatakan bahwa dalam praktek riba terdapat kezaliman. Dalam bentuk pengambilan harta orang lain tanpa hak. 

Hal ini dapat terlihat dengan jelas dengan keharusa orang yang berhutang untuk mengembalikan sejumlah tambahan dari jumlah hutang yang harus dibayarkan.

Selain itu, menurut Qardhawi bahwa dalam praktek riba terkandung potensi secara psikologis yang   dapat melemahkan kreatifitas manusia untuk bekerja, sehingga manusia melalaikan perdagangannya dan aktifitas ekonomi lainnya  yang mampu memutus kreatifitas hidupnya.

Dampak negatif ini muncul sangatlah beralasan dikarenakan uang yang mengalir ke dalam sakunya diperoleh secara  mudah tanpa mengeluarkan keringat sehingga hidupnya bergantung kepada riba yang diperolehnya tanpa usaha, sehingga muncul mental-mental manusia yang konsumtif dan tidak produktif.

Lanjut Qardhawi menjelaskan, aspek lain  yang tidak kalah pentingnya dari dua dampak terdahulu adalah bahwa dalam praktek riba berpotensi besar untuk  menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam hutang piutang.

Transaksi hutang piutang yang pada mulanya mengandung  kebaikan karena di dalamnya terdapat unsur tolong menolong dalam kehupuan sosial, akibat virus riba maka  hutang piutang akhirnya berubah menjadi sebuah praktek pemerasan terselubung yang akan mendorong pelakunya bermental lintah darat yang memanfaatkan kebaikan hutang piutang. 

Selain itu,  dilihat  secara moral, tegas Qardhawi riba sangat tidak memiliki nilai kemanusiaan karena di dalamnya terdapat eksploitasi terhadap kaum lemah, hal ini menurut beliau karena yang menjadi kebiasaan adalah  orang  yang memberi hutang adalah orang kaya dan orang yang berhutang adalah orang miskin. 

Mengambil kelebihan hutang dari orang yang miskin sangatlah tidak wajar dan bertentangan dengan sifat rahmah Allah swt.,  hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan sosial. (Qardhawi, 1994: 242-243).

Hampir senada dengan Qardhawi, Sayyid Sabiq juga menguraikan dampak negatif yang diakibatkan oleh riba. Namun terdapat point penting lain yang dapat diungkap dari Sabiq  yaitu  bahwa dalam praktek riba akan dapat menimbulkan potensi permusuhan. 

Hal ini muncul dimungkinkan karena dalam praktek riba menapikan unsur tolong menolong yang dapat memperkuat tali persahabatan dan persaudaraan.

Hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan yang dianjurkan oleh semua agama terutama Islam yang menyeru agar ummatnya dapat hidup selalu saling  tolong menolong dan membenci orang yang mengutamakan kepentingan pribadi dan  mengeksploitasi kerja orang lain.

Lanjut Sabiq mengatakan bahwa praktek riba berpotensi untuk  melahirkan mental hidup mewah (pemboros), pemalas yang tidak mau bekerja dan menimbulkan penimbunan harta tanpa usaha yang tak ubahnya seperti benalu (pohon parasit) yang nempel di pohon lain. 

Sederet dampak yang tersebut terakhir ini merupakan bentuk mental yang bertentangan dengan semangat ajaran Islam.

Pemborosan merupakan sifat yang  seharusnya dijauhi oleh ummatnya karena pemboros dalam hidupnya hanya menyia-nyiakan harta dengan perbuatan yang tidak bermanfaat yang diklaim sebagai perbuatan syetan.

Demikian halnya dengan sikap berpangku tangan juga merupakan sifat yang tidak islami, karena ajaran  Islam  menganjurkan ummatnya berusaha sekuat tenaga untuk mencari harta  dengan jalan yang benar, menghargai kerja keras dan menghormati orang yang suka bekerja dan menjadikan kerja sebagai sarana mata pencaharian, menuntun orang kepada keahlian dan kemandirian serta mengangkat semangat hidup seseorang.

Butir lain yang tidak kalah pentingnya dengan butit-butir terdahulu yang diungkap Sabiq adalah bahwa praktek  riba merupakan  salah satu cara penjajahan. 

Hal ini dapat dipahami karena sesungguhnya praktek riba adalah produk jahiliyah yang berkembang sampai sekarang menjadi sebuah kekuatan ekonomi global yang berbasis kapitalis yang jauh dari  nilai tolong nenolong. 

Hal ini tentunya bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri yang mengajak  manusia agar dapat memberikan pinjaman kepada yang memerlukan dengan baik semata untuk mendapat pahala bukan mengekploitasi orang lemah. Hal ini diperkuat firman Allah swt.:





Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 2)

Memperhatikan praktek riba dan segala konsekuensi yang diakibatkan darinya sebagaimana  dijelaskan di atas  maka penulis dapat berkesimpulan bahwa akibat yang ditimbulkan oleh praktek riba dapat merusak tatanan kehidupan seseorang baik secara personal maupun sosial yang diistilahkan dalam agama jauh dari keberkahan hidup.

Jika praktek riba dibiarkan tanpa usaha untuk mengembalikan kepada sistem perekonomian Islam yang terbebas dari sistem riba  maka sistem kapitalis di mana terjadi pemerasan dan penganiayaan terhadap kaum lemah akan tetap merajai sistem perekonomian dan di saat itu pula terjadi kegersangan  yang dahsyat bagi kehidupan manusia modern. Di sisi lain akan semakin kuatlah adigium yang menyatakan bahwa orang yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin tertindas.

@MENZOUR_ID



Tidak ada komentar:

Posting Komentar