Ikhtilaf Hukum Bunga Bank
Sebelum
menampilkan perbedaan pendapat tentang hukum bunga bank, nampaknya perlu
dikedepankan terlebih dahulu tentang sistem bunga bank itu sendiri. Dalam sistem
bunga bank konvensional yang berlaku mengharuskan mereka yang menitipkan
uang untuk jangka waktu tertentu, mendapat pengembalian uang titipan itu dari
bank ditambah dengan bunga yang jumlahnya telah ditentukan pada hari penitipan
uang.
Sebaliknya
kepada mereka yang meminjam uang dari bank untuk jangka waktu tertentu oleh
bank juga diharuskan untuk mengembalikan uang yang dipinjam. Selain itu, iapun
harus memberikan uang tambahan yang jumlahnya telah disepakati pada waktu
pengembalian pinjaman. Uang tambahan itu disebut dengan bunga.
Terhadap
konsep bunga bank seperti tersebut terdapat perbedaan sikap para ulama dalam
menghukuminya. Menurut penelitian penulis sedikitnya terdapat empat kelompok
ulama tentang hukum bunga bank.
Pertama kelompok muharrimun (kelompok yang
menghukuminya haram secara mutlak).
Kedua kelompok yang mengharamkan jika bersifat konsumtif.
Ketiga, muhallilun (kelompok yang
menghalalkan) dan
keempat, kelompok yang menganggapnya syubhat.
Berikut
ini akan diuraikan empat kelompok ulama seperti dimaksud:
a. Yang termasuk kedalam kelompok pertama
ini antara lain Abu Zahra, Abu A’la alMaududi, M. Abdullah al-Araby dan Yusuf
Qardhawi, Sayyid Sabiq, Jaad al-Haqq Ali Jadd al-Haqq dan Fuad Muhammad
Fachruddin. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu riba nasiah yang mutlak
keharamannya oleh karena itu, umat Islam tidak boleh berhubungan dengan bank
yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat. Terkait dengan
kondisi yang tersebut terakhir ini, Yusuf Qardhawi berbeda dengan yang lainnya,
menurutnya tidak dikenal istilah darurat dalam keharaman bunga bank, keharamannya bersifat mutlak.
b. Yang termasuk ke dalam kelompok yang
kedua ini antara lain Mustafa A. Zarqa. Beliau berpendapat bahwa riba yang
diharamkan adalah yang bersifat konsumtif
seperti yang berlaku pada zaman jahiliyah sebagai bentuk pemerasan
kepada kaum lemah yang konsumtif berbeda yang bersifat produktif tidaklah termasuk haram. Hal senada juga
dikemukakan oleh M. Hatta. Tokoh yang tersebut terakhir ini membedakan antara riba dengan rente.
Menurutnya riba itu sifatnya konsumtif dan memeras si peminjam yang membutuhkan
pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangkan rente sifatnya
produktif, yaitu dana yang dipinjamkan kepada peminjam digunakan untuk modal
usaha yang menghasilkan keuntungan.
c. Yang termasuk kepada kelompok ketiga
antara lain A. Hasan (persis). Beliau berpendapat bahwa bunga bank (rente)
seperti yang belaku di Indonesia bukan termasuk riba yang diharamkan karena
tidak berlipat ganda sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
(QS. Ali Imran: 130)
d. Yang termasuk ke dalam kelompok keempat
adalah Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamar di Siduarjo 1968 memutuskan
bahwa bunga yang diberikan oleh bank kepada para nasabahnya atau sebaliknya
termasuk perkara syubhat (belum jelas keharamannya).
Karena
yang diharamkan, menurut Muhammadiyah riba yang mengarah kepada pemerasan
sejalan dengan QS. 2:279. Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah:
279)
Muhammadiyah
masih ragu apakah ada unsur pemerasan dalam operasional bank. Oleh karena itu
Muhammadiyah menganggapnya syubhat tapi Muhammadiyah membolehkannya jika dalam
keadaan terpaksa saja.
Masing-masing
klaim tentang hukum bunga bank yang dikemukakan oleh para ulama seperti
terlihat jelas pada uraian di atas berakar dari perbedaan penafsiran melalui
ijitihad mereka terhadap nash yang berbicara tentang riba sehingga
masing-masing kelompok memiliki argumentasi yang diyakininya benar.
Terlepas
dari perdebatan tersebut, melihat
realitas yang ada bagi umat Islam termasuk di Indonesia sudah menjadi terbiasa
hidup dengan bunga bank tanpa ada perasaan risih dan anggapan bahwa bunga bank
itu sesuatu yang terpaaksa atau darurat.
Di
sisi lain sebagian masyarkat juga ada terjebak dalam praktek pinjam meminjam
uang dengan suku bunga tinggi seperti yang dilakukan oleh para rentenir.
Berbeda dengan bunga bank, sistem rentenir yang sering disebut “lintah darat”
itu sering menimbulkan kegelisahan di
masyarakat sebab .
Kondisi
ini muncul dikarenakan beban yang ditanggung oleh pihak nasabah terlalu berat,
sementara di sisi lain muncul sekelompok orang yang hidup mewah dari hasil
rentrenir yang memeras pihak peminjam. Jika demikian halnya, maka tidaklah
diragukan bahwa sisten renten seperti itu termasuk perbuatan terkutuk dan haram
hukumnya karena di dalamnya terdapat unsur penganiayaan dan penindasan terhadap
orang-orang yang membutuhkan dan praktek ini telah dipraktekkan sejak zaman
jahikliyah.
Jadi
keharaman rentenir jelas karena termausk kategori riba riba yang diharamkan di
dalamnya terdapat kelebihan yang merugikan pihak peminjam, sehingga pihak
peminjam merasa teraniaya dan tertindas jika kelebihan dalam batas kewajaran
dan itu tidak merugikan salah satu pihak, maka tidak dinamakan riba yang
diharamkan. Dalil yang dijadikan dalil
tentang keharaman riba terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 275:
Artinya:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. alBaqarah:
2/275)
Kemudian
permasalahannya penting yang perlu jawaban adalah pertanyaan, apakah bunga bank
di dalamnya mengandung unsur penganiayaan/penindasan atau tidak?
Bank
merupakan lembaga penting dan sistem bunganya merupakan satu mekanisme bank
untuk mengelola peredaran modal masyarakat. Dengan fungsi ini, masyarakat dapat
menitipkan modalnya kepada bank dan di sisi lain pihak bankpun dapat
meminjamkan dana itu kepada anggota masyarakat
lain yang membutuhkan.
Masyarakat
yang meminjam uang ke bank pada umumnya digunakan sebagai modal usaha bukan
untuk kebutuhan konsumtif dan dari usaha
itu akan diperoleh keuntungan. Di sisi
lain, pemilik modal yang menitipkan uangnya
kepada bank untuk jangka waktu tertentu, ia akan kehilangan haknya untuk
menggunakan daya beli dari modalnya dalam jangka waktu tertentu.
Sebaliknya
pihak yang meminjam dana tersebut melalui bank yang tidak lain berasal dari
modal titipan tadi dapat memanfaatkan pinjaman sebagai modal sehingga menghasilkan
keuntungan. Berdasarkan prinsip bahwa tidak terdapat pihak yang dirugikan, maka
tidaklah adil kalau pemilik asli modal yang kehilangan hak untuk mempergunakan
daya beli modalnya untuk jangka waktu tertentu itu tidak mendapat imbalan.
Sementara
itu, peminjam dana yang menggunakannya untuk modal usaha dan memperoleh
keuntungan tidak membagi keuntungannya kepada pemilik modal pertama.
Salah
satu keberatan yang muncul terhadap sistem bunga bank adalah ketentuan jumlah
atau presentase bunga yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Untuk mengatasi
persoalan ini ditawarkan alternastif sistem bagi hasil yang berarti nanti
diperhitungkan untung dan rugi perusahaan, kemudian dibagi antara pemilik asli dan pengguna
modal, baik keuntungannya maupun kerugiannya.
Tapi
pengelolaan sistem bagi hasil sebagaimana dijelaskan di muka yang sekarang dipraktekkan oleh bank Islam
menghadapi permasalahan yang sangkat kompleks dan rumit serta tidak efesien.
Hal
yang mungkin terjadi bahwa si peminjam dana dalam mengelolaannya terjadi
kegagalan atau kerugian. Tapi pada umumnya masyarakat menerima dengan baik dan
merasa diuntungkan oleh sistem bunga bank. Penetapan besarnya presentasi bunga
yang akan diterima memberikan perasaan pasti pada para pemilik modal.
Tidak
adanya kepastian prosentase bunga
seperti yang tedapat dalam bank Islam merupakan salah satu penyebab
mengapa bank itu sukar menarik modal. Apa yang dipraktekkan oleh bank Islam itu
sungguh sangat mulia, karena Islam mengajarkan kepada orang yang memiliki rezeki
yang lebih agar membantu meminjaminya kepada orang lain yang membutuhkan tanpa
mengaharap keuntungan.
Tapi
himbauan ini menjadi tidak relevan kalau modal yang dipindah-tangankan untuk
sementara itu meliputi jumlah besar dan untuk modal usaha bukan untuk memenuhi
kebutuhan konsumtif keluarga.
Kembali
tentang hukum bunga bank, mantan syekh dan seorang mufti Sayyid Thantawi
berbeda dengan pendahulunya Syekh Jad al-Haq. Thantawi menyatakan bahwa bunga
deposito berjangka di bank yang ditetapkan besar presentasenya terlebih dahulu
itu tidak haram menurut Islam.
Fatwa
ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Rasyid Ridha dalam Tafsit al-Manar,
“Tidak termasuk riba seseorang yang memberikan kepada orang lain uang untuk
diinfestasikan sambil menentukan baginya dari hasil usaha tersebut kadar
tertentu. Karena transaksi semacam ini menguntungkan bagi pemilik dan pengelola
modal.
Sedangkan
riba yang diharamkan itu merugikan salah satu pihak tanpa alasan serta
menguntungkan pihak lain tanpa usaha.”
Diriwayatkan
dalam sebuah Hadits, bahwa Jabir pernah memberikan hutang kepada Nabi. Ketika
Jabir mendatanginya, Nabi membayar hutangnya dan melebihkannya. Beliau
bersabda:
Artinya:
“Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik dalam membayar hutang.”
Wallohu a'lam, semoga bermanfaat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar