Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Rabu, 17 Juli 2019

KEPEMIMPINAN ALI BIN ABI THALIB



Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib

Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun. 

Dia bernama asli Assad bin Abu Thalib, bapaknya Assad adalah salah seorang paman dari Muhammad SAW. Assad yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui anaknya yang baru lahir diberi nama Assad, Ayahnya memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).

Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, di mana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu. Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi nabi Muhammad SAW. karena dia tidak punya anak lakilaki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi nabi Muhammad SAW bersama istri dia Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. 

Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh nabi sejak kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad. Ketika Nabi Muhammad SAW. menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri nabi sendiri. Pada saat itu Ali berusia sekitar 10 tahun.

Video: https://www.youtube.com/watch?v=sP0u0WH7XvE

Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari nabi Muhammad SAW. karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan nabi hal ini berkelanjutan hingga dia menjadi menantu nabi. 

Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaranpelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan nabi khusus kepada dia tetapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.

Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing. Didikan langsung dari nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (syariah) dan bathin (tasawuf) menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.

Pada malam hari menjelang hijrah Nabi ke Madinah, Ali bersedia tidur di kamar nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah nabi. Dia tidur menampakkan kesan nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.

Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali menikah dengan Fatimah az-Zahra, putri Nabi Muhammad. Ali tidak menikah dengan wanita lain ketika Fatimah masih hidup. Tertulis dalam Tarikh Ibnu Atsir, setelah itu Ali menikah dengan Ummu Banin binti Haram, Laila binti Mas'ud, Asma binti Umais, Sahba binti Rabia, Umamah binti Abil Ash, Haulah binti Ja'far, Ummu Said binti Urwah, dan Mahabba binti Imru'ul Qais (Sayyid Sulaiman Nadwi, 2015: 62).
 
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah 'Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. 

Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa dia, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98021043410595869

Dalam pidatonya khalifah Ali menggambarkan dan memerintahkan agar umat Islam:
    1.          Tetap berpegang teguh kepada al-Quran dan Sunnah Rasulullah;
   2.          Taat dan bertaqwa kepada Allah serta mengabdi kepada negara dan sesama manusia;
   3.          Saling memelihara kehormatan di antara sesama Muslim dan umat lain;
   4.          Terpanggil untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum; dan
    5.          Taat dan patuh kepada pemerintah.

Tidak lama setelah dia di bai’at, Ali menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Yang dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta). Dengan demikian masa pemerintahan Ali melalui masa-masa paling kritis karena pertentangan antar kelompok yang berpangkal dari pembunuhan Usman. 

Namun Ali menyatakan ia berhasil memecat sebagian besar gubernur yang korupsi dan mengembalikan kebijaksanaan Umar pada setiap kesempatan yang memungkinkan. Ia membenahi dan menyusun arsip Negara untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor sahib-ushsurtah,serta mengordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.

Kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. 

Sehingga terjadilah pertempuran yang dikenal dengan nama perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali Radhiallahu ‘anhu.

Hal yang paling substansial menjadi perdebatan Setelah kepergian Rasulullah Saw ialah persoalan kepemimpinan, khususnya tentang siapa yang berhak menjadi pengganti beliau dalam melanjutkan kepemimpinan dan menjaga serta melestarikan nilai-nilai  yang telah diajarkan peribadi agung ini dalam kehidupan individu maupun sosial kemasyarakatan.

Artikel/Jurnal: http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952808735

Beragam gagasan dan konsepsi tentang kasus ini telah mewarnai perjalanan sejarah umat terdahulu, mulai dari pengangkatan Abu Bakar As-Shiddiq di Balariung Saqifah melalui musyawarah oleh segelentir kaum muslimin, penunjukan Abu Bakar kepada Umar bin Khattab sebagai pengganti, penetapan dewan syura’ oleh Umar bin Khattab untuk mengurus penggantinya (terpilih Usman bin Affan), dan baiat secara massal dari publik kepada Ali bin Abi Thalib setelah Usman bin Affan. 

Meski dalam putaran roda waktu tersebut, sejarah Islam awal (pasca wafatnya Rasulullah) telah diwarnai dengan beragam pola/skema penetapan kepemimpinan (bahkan ada yang berujung pada konflik yang berkepanjangan), tapi paling tidak terdapat satu hal yang menjadi perekat dari semuanya, yakni kesepakatan oleh kaum Muslimin akan pentingnya pemimpin dan kepemimpinan dalam Islam.

Konflik internal yang kontras dalam catatan sejarah umat Islam awal ialah setelah terbunuhnya Khalifah ke tiga (Usman bin Affan). 

Khawatir akan terjadinya fitnah yang berujung pada perpecahan berlarut, maka masyarakat Madinah tidak membiarkan kesenjangan ini, dan bergegas memilih Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pengganti, dan memang selaku kandidat terkuat menurut pengamatan dewan syura’ bentukan Umar bin Khattab yang masih hidup. 

Bahkan para sejarawan bersepakat bahwa Ali dipilih secara aklamasi, dan menuntut baiat (pengakuan/legitimasi) di masjid secara terbuka dengan kesepakatan seluruh hadirin (Mahmoud M. Ayub, 2004:129). Maka dari itu bisa dipahami bahwa Ali adalah khalifah pertama dan satu-satunya yang terpilih secara umum dalam sejarah kekhalifaan.

Kekhawatiran kaum muslimin akan terjadinya fitnah dan konflik internal pasca terbunuhnya Usman bin Affan, pun ternyata tidak dapat dibendung. Kaum muslimin terkotak-kotakkan kedalam bebarapa kelompok, dan masing-masing dari mereka membangun sistem pemikiran tersendiri. 

Tidak hanya sampai disitu, saling mengintrik antara satu komunitas yang satu dengan komunitas yang lainnya pun terkumandangkan, endingnya adalah pertentangan dan perang. Dan inilah fase tantangan yang harus dihadapi oleh Ali bin Abi Thalib as.

Pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib wilayah kekuasaan Islam telah sampai Sungai Efrat, Tigris, dan Amu Dariyah, bahkan sampai ke Indus. 

Akibat luasnya wilayah kekuasaan Islam dan banyaknya masyarakat yang bukan berasal dari kalangan bangsa Arab, banyak ditemukan kesalahan dalam membaca teks Al-Qur'an atau Hadits sebagai sumber hukum Islam. Khalifah Ali bin Abi Thalib menganggap bahwa kesalahan itu sangat fatal, terutama bagi orang-orang yang mempelajari ajaran Islam dari sumber aslinya yang berbahasa Arab. Kemudian Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu al-Aswad al-Duali untuk mengarang pokok-pokok Ilmu Nahwu (Qawaid Nahwiyah). 

Dengan adanya Ilmu Nahwu yang dijadikan sebagai pedoman dasar dalam mempelajari bahasa Al-Qur'an, maka orang-orang yang bukan berasal dari masyarakat Arab mendapatkan kemudahan dalam membaca dan memahami sumber ajaran Islam. Dengan demikian Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai penggagas ilmu Nahwu yang pertama.


@menzour_id




Tidak ada komentar:

Posting Komentar