Kepemimpinan Ali
bin Abi Thalib
Ali dilahirkan
di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut
sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad,
sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali
dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih
diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada
yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Dia bernama asli
Assad bin Abu Thalib, bapaknya Assad adalah salah seorang paman dari Muhammad
SAW. Assad yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk
mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara
kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui anaknya yang baru lahir diberi nama
Assad, Ayahnya memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi
Allah).
Ali dilahirkan
dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, di mana Asad merupakan anak dari
Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan
ibu. Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi nabi Muhammad
SAW. karena dia tidak punya anak lakilaki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu
Thalib memberi kesempatan bagi nabi Muhammad SAW bersama istri dia Khadijah
untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat.
Hal ini sekaligus untuk membalas
jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh nabi sejak kecil hingga dewasa,
sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad. Ketika Nabi Muhammad
SAW. menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali
adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang
percaya setelah Khadijah istri nabi sendiri. Pada saat itu Ali berusia sekitar
10 tahun.
Video:
https://www.youtube.com/watch?v=sP0u0WH7XvE
Pada usia remaja
setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari nabi Muhammad SAW. karena
sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan nabi hal ini berkelanjutan
hingga dia menjadi menantu nabi.
Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian
kaum Sufi bahwa ada pelajaranpelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality
dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau
yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan nabi khusus kepada
dia tetapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu
Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun
kemasyarakatan semua yang diterima nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada
umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang
tertentu dengan kapasitas masing-masing. Didikan langsung dari nabi kepada Ali
dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (syariah) dan bathin (tasawuf)
menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Pada malam hari
menjelang hijrah Nabi ke Madinah, Ali bersedia tidur di kamar nabi untuk
mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah nabi. Dia tidur
menampakkan kesan nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka
mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh nabi
yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.
Setelah masa
hijrah dan tinggal di Madinah, Ali menikah dengan Fatimah az-Zahra, putri Nabi
Muhammad. Ali tidak menikah dengan wanita lain ketika Fatimah masih hidup.
Tertulis dalam Tarikh Ibnu Atsir, setelah itu Ali menikah dengan Ummu Banin
binti Haram, Laila binti Mas'ud, Asma binti Umais, Sahba binti Rabia, Umamah
binti Abil Ash, Haulah binti Ja'far, Ummu Said binti Urwah, dan Mahabba binti
Imru'ul Qais (Sayyid Sulaiman Nadwi, 2015: 62).
Peristiwa
pembunuhan terhadap Khalifah 'Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di
seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika
Utara.
Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan
lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha
menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa dia,
sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya
Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih
melalui cara yang berbeda-beda.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98021043410595869
Dalam pidatonya
khalifah Ali menggambarkan dan memerintahkan agar umat Islam:
1.
Tetap berpegang teguh kepada al-Quran dan Sunnah
Rasulullah;
2.
Taat dan bertaqwa kepada Allah serta mengabdi kepada
negara dan sesama manusia;
3.
Saling memelihara kehormatan di antara sesama Muslim dan
umat lain;
4.
Terpanggil untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum;
dan
5.
Taat dan patuh kepada pemerintah.
Tidak lama
setelah dia di bai’at, Ali menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah.
Yang dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta). Dengan demikian masa pemerintahan
Ali melalui masa-masa paling kritis karena pertentangan antar kelompok yang
berpangkal dari pembunuhan Usman.
Namun Ali menyatakan ia berhasil memecat
sebagian besar gubernur yang korupsi dan mengembalikan kebijaksanaan Umar pada
setiap kesempatan yang memungkinkan. Ia membenahi dan menyusun arsip Negara
untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor
sahib-ushsurtah,serta mengordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan
Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus,
Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi
yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.
Sehingga terjadilah pertempuran
yang dikenal dengan nama perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase),
tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya
golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali
Radhiallahu ‘anhu.
Hal yang paling
substansial menjadi perdebatan Setelah kepergian Rasulullah Saw ialah persoalan
kepemimpinan, khususnya tentang siapa yang berhak menjadi pengganti beliau
dalam melanjutkan kepemimpinan dan menjaga serta melestarikan nilai-nilai yang telah diajarkan peribadi agung ini dalam
kehidupan individu maupun sosial kemasyarakatan.
Artikel/Jurnal:
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952808735
Beragam gagasan
dan konsepsi tentang kasus ini telah mewarnai perjalanan sejarah umat
terdahulu, mulai dari pengangkatan Abu Bakar As-Shiddiq di Balariung Saqifah melalui
musyawarah oleh segelentir kaum muslimin, penunjukan Abu Bakar kepada Umar bin
Khattab sebagai pengganti, penetapan dewan syura’ oleh Umar bin Khattab untuk
mengurus penggantinya (terpilih Usman bin Affan), dan baiat secara massal dari
publik kepada Ali bin Abi Thalib setelah Usman bin Affan.
Konflik internal
yang kontras dalam catatan sejarah umat Islam awal ialah setelah terbunuhnya
Khalifah ke tiga (Usman bin Affan).
Khawatir akan terjadinya fitnah yang
berujung pada perpecahan berlarut, maka masyarakat Madinah tidak membiarkan
kesenjangan ini, dan bergegas memilih Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin
pengganti, dan memang selaku kandidat terkuat menurut pengamatan dewan syura’
bentukan Umar bin Khattab yang masih hidup.
Bahkan para sejarawan bersepakat
bahwa Ali dipilih secara aklamasi, dan menuntut baiat (pengakuan/legitimasi) di
masjid secara terbuka dengan kesepakatan seluruh hadirin (Mahmoud M. Ayub,
2004:129). Maka dari itu bisa dipahami bahwa Ali adalah khalifah pertama dan
satu-satunya yang terpilih secara umum dalam sejarah kekhalifaan.
Kekhawatiran
kaum muslimin akan terjadinya fitnah dan konflik internal pasca terbunuhnya
Usman bin Affan, pun ternyata tidak dapat dibendung. Kaum muslimin
terkotak-kotakkan kedalam bebarapa kelompok, dan masing-masing dari mereka
membangun sistem pemikiran tersendiri.
Tidak hanya sampai disitu, saling
mengintrik antara satu komunitas yang satu dengan komunitas yang lainnya pun
terkumandangkan, endingnya adalah pertentangan dan perang. Dan inilah fase
tantangan yang harus dihadapi oleh Ali bin Abi Thalib as.
Pada masa
pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib wilayah kekuasaan Islam telah sampai
Sungai Efrat, Tigris, dan Amu Dariyah, bahkan sampai ke Indus.
Akibat luasnya
wilayah kekuasaan Islam dan banyaknya masyarakat yang bukan berasal dari kalangan
bangsa Arab, banyak ditemukan kesalahan dalam membaca teks Al-Qur'an atau
Hadits sebagai sumber hukum Islam. Khalifah Ali bin Abi Thalib menganggap bahwa
kesalahan itu sangat fatal, terutama bagi orang-orang yang mempelajari ajaran
Islam dari sumber aslinya yang berbahasa Arab. Kemudian Khalifah Ali bin Abi
Thalib memerintahkan Abu al-Aswad al-Duali untuk mengarang pokok-pokok Ilmu
Nahwu (Qawaid Nahwiyah).
Dengan adanya Ilmu Nahwu yang dijadikan sebagai
pedoman dasar dalam mempelajari bahasa Al-Qur'an, maka orang-orang yang bukan
berasal dari masyarakat Arab mendapatkan kemudahan dalam membaca dan memahami
sumber ajaran Islam. Dengan demikian Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai
penggagas ilmu Nahwu yang pertama.
Sumber : http://ppg.siagapendis.com
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar