TOLERANSI
DALAM ISLAM
A. Toleransi
dalam Islam
1.
Pengertian Toleransi dalam Islam
Kata
toleransiberasaldari tolerandalam KBBI diartikan menenggang atau menghargai pendirianyang
berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dalambahasa Arab, toleran
adalah“tasâmuh”, yang berarti sikap baik dan berlapang dada terhadap
perbedaan-perbedaan dengan orang lain yang tidak sesuai dengan pendirian dan
keyakinannya. Umat manusia diciptakan dengan berbagai ras, bangsa, suku,
bahasa, adat, kebudayaan, dan agama yang berbeda. Menghadapi kenyataan
tersebut, setiap manusia harus bersikap toleran atau tasamuh.
Dengan
sikap toleransi dantasamuhyang luas dan terbuka, maka akan terbentuk suatu
masyarakat yang saling menghargai, menghormati, dan terjalinlah kehidupan yang
harmonis antar anggota masyarakat, bangsa, negara, maupun dalam kehidupan
secara umum. Kemudian masyarakat yang harmonis cenderung akan menghasilkan
karyakarya yang besar yang bermanfaat bagi manusia. Toleransi dianjurkan dalam
masalah muamalah dan hubungan kemasyarakatan bukan menyangkut masalah akidah
dan ibadah.
Sebagai
jawaban dari perkataan mereka, kemudian Allah menurunkan surat Al-Kafirun ayat
16 yang menegaskan bahwa tidak ada toleransi dalam hal yang menyangkut
akidah.AllahSwt berfirman: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (TQS.
Al-Kafirun: 6)
Ibnu
Katsir ra berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim
yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang
lemah di antara mereka. Hendaklah kalian berbuat baik dan adil karena Allah
menyukai orang-orang yang berbuat adil.” (Tafsir Alqur’a al-Azhim, surat ke 7
ayat 247)
Inilah
toleransi yang diajarkan di dalam Islam.
Allah telah memerintahkan kepada
hamba-Nya untuk bertoleransi pada orang-orang di luar Islam. Namun demikian,
sikap toleransi tidak boleh dipraktikkan dalam hal yang menyangkut
akidah.Inilah ketentuan syariat yang berhubungan dengan toleransi.
2.
Bentuk-bentuk Toleransi dalam Islam
Ada
beberapa bentuk toleransi dalam Islam, di antaranya:
1) Islam
mengajarkan menolong siapa pun, baik orang miskin maupun orang yang sakit,
muslim ata nonmuslim, bahkan terhadap binatang sekalipun. Dari Abu Hurairah,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Dalam setiap hati yang basah( makhluk
hidup yang diberi makan minum) ada pahalanya” (HR. Bukhari no. 2363 dan Muslim
no. 2244). Lihatlah Islam mengajarkan
peduli sesama.
2) Tetap
menjalin hubungan kerabat pada orang tua
atau saudara non muslim. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik.” (QS. Luqman: 15).
Dalam ayat di atas sekalipun seorang anak
dipaksa syirik oleh orang tua, namun tetap kita disuruh berbuat baik pada orang
tua.Lihat Asma’ binti Abi Bakr ra ketika
ia berkata, “Ibuku pernah mendatangiku di masa NabiSawdalam keadaan membenci
Islam. Aku pun bertanya pada Nabi untuk tetap jalin hubungan baik dengannya.
Beliau menjawab, “Iya, boleh.” Ibnu ‘Uyainah mengatakan bahwa tatkala itu
turunlah ayat,
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu ….” (QS. Al
Mumtahanah: 8)
3) Boleh
memberi hadiah pada non muslim. Islam memperbolehkan umat Islam memberi hadiah
kepada non muslim, agar membuat mereka tertarik pada Islam, atau ingin
berdakwah dan atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin. Dari Ibnu
‘Umar ra. , beliau berkata,
“’Umar pernah melihat pakaian yang dibeli
seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi shallallahuSaw, “Belilah pakaian
seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika ada tamu yang
mendatangimu.” NabiSaw pun berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan pakaian
semacam ini tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian
RasulullahSaw didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun memberikan
sebagiannya pada ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa aku diperbolehkan
memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti
ini tidak akan dapat bagian di akhirat?” NabiSaw menjawab, “Aku tidak mau
mengenakan pakaian ini agar engkau bisa mengenakannya. Jika engkau tidak mau,
maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan
pakaian tersebut kepada saudaranya di
Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam. (HR. Bukhari no. 2619). Umar bin Khattab masih berbuat baik dengan
memberi pakaian pada saudaranya yang non muslim.
3.
Toleransi Antar umat Beragama
Manusia
merupakan makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial. Sebagai
makhluk sosial manusia diwajibkan mampu berinteraksi dengan individu / manusia
lain dalam rangka memenuhi kebutuhan. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam
masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang
berbeda dengannya salah satunya adalah perbedaan kepercayaan / agama.Dalam
menjalani kehidupan sosial tidak bisa dipungkiri akan ada gesekan-gesekan yang
akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang berkaitan dengan agama
atau ras.
Dalam
rangka menjaga persatuan dan kesatuan dalam masyarakat maka diperlukan sikap
saling menghargai dan menghormati, sehingga tidak terjadi gesekan-gesekan yang
dapat menimbulkan pertikaian. Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah
disebutkan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya sendiri-sendiri dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya". Sehigga kita sebagai warga Negara sudah sewajarnya saling
menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi menjaga
keutuhan Negara dan menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat
beragama.
Istilah
toleransi juga dapat digunakan dengan menggunakan definisi "golongan /
Kelompok" yang lebih luas, misalnya orientasi seksual, partai politik, dan
lain-lain. Sampai sekarang masih banyak kontroversi serta kritik mengenai
prinsip-prinsip toleransi baik dari kaum konservatif atau liberal. Pada sila pertama dalam Pancasila, disebutkan
bahwa bertaqwa kepada tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing
merupakan hal yang mutlak. Karena Semua agama menghargai manusia oleh karena
itu semua umat beragama juga harus saling menghargai. Sehingga terbina
kerukunan hidup anatar umat beragama
4.
Persyaratan Pendirian Tempat Ibadah
Dalam
pendirian rumah untuk peribadatan, wajib memperoleh izin khusus. Dalam mendirikan sebuah bangunan wajib mendapatkan
izin tertulis dari pemerintah, izin
mendirikan bangunan dan lain-lain.
Terlebih lagi dalam pendirian rumah untuk peribadatan, wajib memperoleh izin
khusus. Ketentuan soal izin khusus ini
dijelaskan dalam sejumlah aturan, sebagai berikut. Dasar hukum tata cara
pendirian rumah ibadah terdapat dalam Peraturan bersama Menteri agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2006 dan Nomor 8 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan
tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama,
pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat.
Dalam
peraturan ini yang dimaksud dengan Rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki
ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk
masing-masing agama secara permanen. Akan tetapi masing-masing daerah memiliki
peraturan tersendiri, seperti misalnya di daerah khusus ibukota atau DKI yang
telah membuat aturan dalam Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 83 tahun 2012 tentang prosedur pemberian persetujuan pembangunan rumah
ibadat. Syarat dan prosedur pendirian rumah ibadah antara lain harus memenuhi
syarat administratif (kelengkapan dokumen IMB dll), selain itu juga harus
memenuhi persyaratan khusus, meliputi:
1)
Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90
orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.
a) Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh
lurah/kepala desa.
2)
Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota. Jika
persyaratan 90 nama dan KTP pengguna rumah ibadat terpenuhi tetapi syarat
dukungan masyarakat setempat belum terpenuhi, maka pemerintah daerah
berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat,
sehingga hak setiap warga dalam menjalankan ibadahnya dapat terjamin (http://www.gresnews.com/berita/tips/113137-aturan-dan-prosedur-pendirian-rumah-ibadah/
)
B. Ucapan
Selamat Natal
Selamat
Natal yang diucapkan seorang Muslim kepada penganut agama lain seperti agama
Kristen misalnya dianggap haram oleh sementara orang dan dinilai sesat dan
menyesatkan. Berita itu yang biasa terdengar di Indonesia, tetapi tidak
demikian di kalangan ulama di Timur Tengah.Berikut tulisan ulama besar
SuriahMustafa Az-Zarqa’ yang termuat dalam kumpulan fatwanya “Fatwa Mustafa
Az-Zarqa”. Fatwa-fatwa itu dihimpun oleh Majed Ahmad Makky dan diantar oleh
ulama besar Mesir kenamaan: Yusuf al-Qardhawy.
AlQardhawy
mengakui az-Zarqa’ sebagai gurunya dan merasa bangga menulis pengantar tentang
kumpulan fatwa itu. Fatwa ini adalah jawaban Az-Zarqa’ kepada Anas Muhammad
ash-Shabbagh yang bermukim di Saudi Arabia. Terjemahannya sebagai berikut:
“Menjawab pertanyaan Anda tentang ucapan selamat yang diucapkan seorang Muslim
berkaitan dengan kelahiran Isa (Natal) dan Tahun Baru Masehi, maka menurut
hemat saya: Ucapan Selamat Natal seorang Muslim kepada kenalannya yang menganut
agama Nasrani termasuk dalam anjuran berbudi baik dalam interaksi dengan
mereka.
Sungguh
Islam tidak melarang kita menyangkut harmonisasi hubungan beragama dan
perlakuan baik semacam ini terhadap mereka, apalagi yang mulia Al-Masih dalam
pandangan aqidah kita adalah salah satu Rasul Allah yang agung dan termasuk
satu dari lima Nabi yang amat diagungkan. Siapa yang menduga mengucapkan
selamat kepada mereka pada hari kelahiran Isa as. haram-siapa yang menduga
demikian-maka dia salah karena tidak ada hubungan dalam ucapan itu dengan
rincian aqidah kaum Nasrani dan pandangan mereka terhadap Isa as. Diriwayatkan
bahwa suatu ketika ada jenazah seorang Yahudi yang diusung di hadapan NabiSaw.,
maka beliau berdiri. Berdirinya beliau itu merupakan ekspresi dari rasa agung
dan dahsyat terhadap kematian-tidak ada hubungannya dengan aqidah sosok Yahudi
yang mati itu.
Muslim
dituntut untuk menggambarkan kebaikan Islam dan moderasinya terhadap
Non-Muslim. Di samping itu, keadaan kaum Muslim dewasa ini yang sungguh lemah
di antara negara-negara di dunia ini serta konspirasi dan tuduhan bahwa kaum
Muslim adalah teroris, fanatik, dan lain-lain—kesemuanya menuntut kaum Muslim
mengubah image buruk itu, apalagi pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha bisa
jadi seorang Muslim memiliki teman-teman yang mengucapkan selamat kepadanya,
sehingga bila ia tidak membalas sikap baik mereka itu dengan berkunjung kepada
yang berkunjung kepadanya pada Hari Lebaran, maka sikap itu akan semakin
mendukung tuduhan yang ditujukan kepada kaum Muslim,” demikian antara lain
Mustafa az-Zarqa’.
Saling
mengucapkan selamat, bahkan kunjung-mengunjungi itulah yang dilakukan juga oleh
pimpinan al-Azhar Mesir. Apakah mereka salah dan sesat? Saya menduga keras
bahwa ulama-ulama itu jauh lebih mengerti agama dan lebih bijaksana daripada
mereka yang mengharamkan ucapan Selamat Natal, apalagi menyesatkan siapa yang
membolehkan mengucapkan Selamat Natal itu. Ada beberapa hadits- antara lain
diriwayatkan oleh Imam Muslim—yang melarang seorang Muslim memulai mengucapkan
salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits tersebut menyatakan, “Janganlah
memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu bertemu mereka di
jalan, jadikanlah mereka terpaksa ke pinggir.” Ulama berbeda paham tentang makna
larangan tersebut.
Dalam
buku Subul asSalâm karya Muhammad bin Isma’îl al-Kahlani (jil.IV, hlm. 155)
antara lain dikemukakan bahwa sebagian ulama bermazhab Syâfi‘î tidak memahami
larangan tersebut dalam arti haram, sehingga mereka membolehkan menyapa non-Muslim
dengan ucapan salam. Pendapat ini merupakan juga pendapat sahabat Nabi, Ibnu
Abbâs. Qadhi Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan mengucapkan salam
kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh Alqamah dan
al-Auza‘i. Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu, karena
agaknya larangan tersebut timbul dari sikap bermusuhan orang-orang Yahudi dan
Nasrani ketika itu kepada kaum Muslim.
Bahkan
dalam riwayat Bukhari dijelaskan tentang sahabat Nabi, Ibnu Umar, yang menyampaikan
sabda Nabi bahwa orang Yahudi bila mengucapkan salam terhadap Muslim tidak
berkata, “Assalâmu‘alaikum,” tetapi “Assâmu‘alaikum,” yang berarti “Kematian
atau kecelakaan untuk Anda”. Nah, jika demikian, wajarlah apabila Nabi melarang
memulai salam untuk mereka dan menganjurkan untuk menjawab salam mereka dengan “‘Alaikum,”
sehingga jika yang mereka maksud dengan ucapan itu adalah kecelakaan atau
kematian, maka jawaban yang mereka terima adalah “Bagi Andalah (kecelakaan
itu).” Mengucapkan “Selamat Natal” masalahnya berbeda.
Dalam
masyarakat kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak sedikit juga yang
membenarkan dengan beberapa catatan khusus. Sebenarnya, dalam al-Qur’an ada
ucapan selamat atas kelahiran Isa: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan
kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan
hidup kembali. (QS. Maryam [19]: 33).
Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang
diucapkan oleh Nabi mulia itu.Akan tetapi persoalan ini jika dikaitkan dengan
hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak
terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.Yang melarang ucapan
“Selamat Natal” mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta
makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus Kristus.
Makna
ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan “Selamat Natal”
paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan. Teks keagamaan Islam
yang berkaitan dengan akidah sangat jelas.Itu semua untuk menghindari kerancuan
dan kesalahpahaman.Bahkan al-Qur’an tidak menggunakan satu kata yang mungkin
dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat
itu tidak disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan ketika
pengertian semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai dengan yang
dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti kata Allah ketika itu
adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad).
Demikian
wahyu pertama hingga surah al-Ikhlâs. Ucapan selamat atas kelahiran Isa
(Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam al-Qur’an, tetapi
kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran agama Kristen yang keyakinannya
terhadap Isa al-Masih berbeda dengan pandangan Islam.Nah, mengucapkan “Selamat
Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat
mengantarkan kita kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai
pengakuan akanketuhanan al-Masîh, satu keyakinan yang secara mutlak
bertentangan dengan akidah Islam. Dengan alasan ini, lahirlah larangan dan
fatwa haram untuk mengucapkan “Selamat Natal”, sampai-sampai ada yang
beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan atau
membantu terlaksananya upacara Natal tidak dibenarkan. Di pihak lain, ada juga
pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”.
Ketika
mengabadikan ucapan selamat itu, al-Qur’an mengaitkannya dengan ucapan isa,
“Sesungguhnya aku ini, hamba Allah.Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan
aku seorang Nabi” (QS. Maryam [19]: 30). Nah, salahkah bila ucapan “Selamat
Natal” dibarengi dengan keyakinan itu?Bukankah al-Qur’an telah memberi contoh?
Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lain?
Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba dan
utusan Allah?Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk Isa
as., sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak bolehkah
kita merayakan hari lahir (natal) Isa as.? Bukankah NabiSaw. juga merayakan
hari keselamatan Mûsâ dari gangguan Fir‘aun dengan berpuasa Asyura, sambil bersabda kepada orang-orang
Yahudi yang sedang berpuasa,seperti sabdanya, “Saya lebih wajar menyangkut Mûsâ
(merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi),”
maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa (HR. Bukhari,
Muslim, dan Abu dawud, melalui Ibnu Abbas-lihat Majma’ al-Fawâ’id, hadits
ke-2.981).
Untuk
menjawab hukumnya, perlu dikupas ke dalam beberapa point:
Pertama,
tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas
menerangkan keharaman atau kebolehan mengucapkan selamat Natal. Padahal,
kondisi sosial saat nabi MuhammadSaw hidup mengharuskannya mengeluarkan fatwa
tentang hukum ucapan tersebut, mengingat Nabi dan para Sahabat hidup
berdampingan dengan orang Yahudi dan Nasrani (Kristiani).
Kedua,
karena tidak ada ayat Al-Qur’an
dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas menerangkan hukumnya, maka masalah
ini masuk dalam kategori permasalahan ijtihadi yang berlaku kaidah:
Permasalahan
yang masih diperdebatkan tidak boleh diingkari (ditolak), sedangkan
permasalahan yang sudah disepakati boleh diingkari.
Ketiga,
dengan demikian, baik ulama yang mengharamkannya maupun membolehkannya, sama-sama hanya berpegangan pada generalitas
(keumuman) ayat atau hadits yang mereka sinyalir terkait dengan hukum
permasalahan ini.
1)
Sebagian ulama, meliputi Syekh Bin Baz,
Syekh Ibnu Utsaimin, Syekh Ibrahim bin Ja’far, Syekh Ja’far At-Thalhawi dan
sebagainya, mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada orang
yang memperingatinya. Mereka berpedoman
pada beberapa dalil, di antaranya: Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat
Al-Furqan ayat 72:
Artinya:
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak
berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” Pada ayat
tersebut, AllahSwt menyebutkan ciri orang yang akan mendapat martabat yang
tinggi di surga, yaitu orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sedangkan,
seorang Muslim yang mengucapkan selamat Natal berarti dia telah memberikan
kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Kristiani tentang hari Natal.
Akibatnya, dia tidak akan mendapat martabat yang tinggi di surga. Dengan
demikian, mengucapkan selamat Natal hukumnya haram. Di samping itu, mereka juga
berpedoman pada hadits riwayat Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi
wasallam bersabda:
"Barangsiapa
menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut." (HR. Abu
Daud, nomor 4031). Orang Islam yang mengucapkan selamat Natal berarti
menyerupai tradisi kaum Kristiani, maka ia dianggap bagian dari mereka. Dengan
demikian, hukum ucapan dimaksud adalah haram.
2)
Sebagian ulama, meliputi Syekh Yusuf
Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil,
Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, Majelis Fatwa Eropa, Majelis
Fatwa Mesir, dan sebagainya membolehkan ucapan selamat Natal kepada orang yang
memperingatinya. Mereka berlandaskan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala
dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8:
Artinya:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” Pada
ayat di atas, AllahSaw tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada
siapa saja yang tidak memeranginya dan tidak mengusirnya dari negerinya.
Sedangkan, mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik
kepada orang non Muslim yang tidak memerangi dan mengusir, sehingga
diperbolehkan.
Selain
itu, mereka juga berpegangan kepada hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam
riwayat Anas bin Malik:
“Dahulu
ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya,
kemudian berkata: “Masuk Islam-lah!” Maka anak Yahudi itu melihat ke arah
ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata:‘Taatilah Abul Qasim (Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam).” Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam keluar seraya bersabda: ”Segala
puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR Bukhari, No.
1356, 5657)
Menanggapi
hadits tersebut, ibnu Hajar berkata:
“Hadits ini menjelaskan bolehnya menjadikan non-Muslim sebagai pembantu,
dan menjenguknya jika ia sakit”. (A-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari,
juz 3, halaman 586).
“Ini
merupakan pemberian hamba Allah, Umar, pemimpin kaum Mukminin kepada penduduk
Iliya’ berupa jaminan keamanan: Beliau memberikan jaminan keamanan kepada
mereka atas jiwa, harta, gereja, salib, dan juga agama-agama lain di sana.
Gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dihancurkan.” (Lihat: Tarikh
AtThabary, Juz 3, halaman 609) Husnul
Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Wakil Ketua Forum Kandidat Doktor NU
Malaysia.
C. Kawin
Beda Agama
Pernikahan
Pria Muslim dengan Wanita non-muslim yang dimaksud dalam Hukum Islam adalah
apabila Wanita Non-muslim tersebut adalah dari golongan ahli kitab, artinya
orang yang mengimani kitab terdahulu, dalam hal ini Wanita Nasrani dan Wanita
Yahudi, maka pernikahan ini diperbolehkan (halal). Mari melihatperbandingan
ke-tiga Surat tersebut dalam peristiwa, AllahSwt berfirman dalam QS Al-Baqarah
Ayat 221:
"Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.Dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran". Diketengahkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abu
Hatim dan Wahidi dari Muqatil, katanya, "Ayat ini diturunkan mengenai Ibnu
Abu Martsad Al-Ghunawi yang meminta izin kepada NabiSaw.untuk mengawini seorang
wanita musyrik yang cantik dan mempunyai kedudukan tinggi. Maka turunlah ayat
ini." Diketengahkan oleh Wahidi dari jalur Suda dari Abu Malik dari Ibnu
Abbas, katanya bahwa ayat ini turun mengenai Abdullah bin Rawahah. Ia mempunyai
seorang budak sahaya hitam yang dimarahi dan dipukuli. Dalam keadaan
kebingungan ia datang kepada NabiSaw. lalu menyampaikan beritanya, seraya
katanya, "Saya akan membebaskannya dan akan mengawininya." Rencananya
itu dilakukannya, hingga orangorang pun menyalahkannya, kata mereka, "Dia
menikahi budak wanita." Maka AllahSwt. pun menurunkan ayat ini. Hadis ini
dikeluarkan pula oleh Ibnu Jarir melalui As-Sadiy berpredikat munqathi.
.AllahSwt berfirman dalam QS Al-Maidah/5:
5
"Pada
hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.
(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat termasuk orang-orang merugi".
maksudnya,
barang siapa yang mengingkari syari’at-syari’at Islam dan mengingkari
pokok-pokok Iman dan cabang-cabangnya maka AllahSwt pasti membatalkan pahala
amalnya di dunia dan di akhirat. Adapun di dunia dengan sempitnya amalan dia
dan tidak adanya manfaat darinya, sedangkan di akhirat dengan kerugian dan
kehancuran di Neraka Jahannam.Allah memutlakkan kata Iman pada ayat di atas dan
menghendaki orang beriman untuk mengamalkannya, itu semua hanyalah sebagai
majaz bahwa yang dikendaki AllahSwt adalah mengimani syari’at-syari’at AllahSwt
dan mengamalkan kewajiban-kewajibannya. Ada juga yang menafsirkan: “Barang
siapa yang mengingkari Rabb yang wajib diimani, lafal itu merupakan majaz
dengan membuang kata tertentu (yaitu kata Rabb) dan maksud dari ayat ini adalah
menunjukkan besarnya perkara yang dihalalkan Allah dan yang diharamkan-Nya. Dan
ancaman bagi orang yang menyelisihinya.
Yang
bisa diambil dari surat al-Maidah ayat 5 di atas di antaranya adalah:
Pensyariatan menikahi wanita yang muḥshonat baik dari kalangan Muslimah maupun
ahlu kitab, yang dimaksud al-muḥshonat adalah:
1.
Menurut Mujahid dan jumhur adalah wanita-wanita yang merdeka
2.
Menurut Ibnu Abbas al-muḥshonat adalah Wanita-wanita yang menjaga dirinya dari
perbuatan keji
Batalnya
pahala amal apabila orang yang beramal tersebut mengingkari hukum-hukum dan
syari’at AllahSwt, kufur terhadap pokok-pokok Iman dan cabang-cabangnya,
sebagaimana firman AllahSwt
artinya
dengan apa yang diturunkan kepada RasulullahSaw atau mengingkari Iman maka
sia-sialah amalnya maksudnya adalah batal dan sia-sialah pahala amalnya dan
amalnya tidak bermanfaat di akhirat.
Prof.
Dr. Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munīr fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj
a. Wanita
Kristen Halal Bagi Pria Muslim
Para Ulama Islam percaya agama Islam,
Nasrani, dan Yahudi merupakan agama samawi.Sehingga mereka berpendapat, selain
menikahi wanita Muslim, pria Muslim boleh menikahi wanita Kristen. Tapi wanita
dari agama lain seperti Hindu, Budha, dll haram baginya. Mengapa pria Muslim
boleh menikahi non-Muslimah? Alasanya, karena pria dianggap sebagai pemimpin
rumah tangga dan berkuasa penuh atas
isterinya.Beberapa sahabatnya juga menikahi wanita Kristen. Seperti Utsman bin
Affan dan Talhah bin Ubaidillah menikahi wanita Nasrani. Sedangkan Hudzaifah
menikahi wanita Yahudi.
b. Muslimah
Menikah dengan Pria Non-Muslim
Perlu ditegaskan bahwa haram hukumnya
seorang Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim secara mutlak, baik
laki-laki itu dari golongan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) ataupun dari agama
musyrik lainnya.Hal ini telah ditegaskan dalam Alquran dan merupakan ijmak
(konsensus) para ulama Islam. AllahSwt berfirman, “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman.Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” (QS al-Baqarah [2]: 221).
Dalam tafsirnya, Imam al-Thabari
menjelaskan bahwa dalam ayat ini AllahSwt telah mengharamkan wanita Mukminah
untuk menikah dengan lelaki musyrik dari jenis mana pun, maka hendaklah
laki-laki beriman (para wali wanita mukminah) tidak menikahkan seorang wanita
Mukminah dengan laki-laki kafir karena itu adalah hal yang haram dilakukan.
Sungguh, menikahkan wanita Mukminah dengan seorang budak yang beriman dan
meyakini AllahSwt dan Rasul-Nya serta wahyu yang dibawanya lebih baik daripada
menikahkannya dengan seorang laki-laki merdeka tapi musyrik, meskipun terhormat
keturunannya.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya juga
mengatakan maksud ayat ini adalah janganlah kamu menikahkan seorang wanita
Muslimah dengan seorang laki-laki musyrik. Dan umat Islam telah berijmak bahwa
seorang laki-laki musyrik tidak boleh sama sekali bercampur dengan wanita
Muslimah karena itu merupakan bentuk merendahkan Islam. Dalam ayat lain,
AllahSwt menegaskan, “...maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orangorang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka.” (QS al-Mumtahanah [66]: 10).
Menurut Ibnu Katsir, ayat inilah yang
mengharamkan wanita Muslimah untuk laki-laki kafir yang pada masa awal Islam
diperbolehkan. Imam al-Qurthubi juga mengatakan, dalam ayat ini AllahSwt
mengharamkan wanita Muslimah bagi laki-laki kafir dan juga mengharamkan
laki-laki Muslim menikahi wanita musyrik.
SUMBER ; http://ppg.siagapendis.com
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar