GENDER
DAN PERMASALAHANNYA
A. Permasalahan
Dalam Gender
Konsep urgen yang perlu dipahami dalam
diskursus gender adalah membedakan dua hal yang berbeda, yaitu gender dan jenis
kelamin. Dengan memisahkan makna antara gender maka setiap pendidik dan
orangtua akan mampu membedakan antara yang kodrati dengan yang bukan
kodrati. Jenis kelamin adalah suatu hal
yang menunjukkan pada pembagian sifat dua jenis kelamin manusia secara
biologis.
Sebagai contoh dari jenis kelamin
laki-laki yaitu memiliki organ-organ yang menunjukkan sifat kelaki-lakian,
seperti memiliki penis, jakun, serta mampu menghasilkan sperma. Sementara itu,
jenis kelamin perempuan juga memiliki organ-organ yang menunjukkan sifat
perempuan, di antaranya memiliki vagina, rahim, payudara, serta menghasilkan
ovum. Sifat-sifat tersebut melekat selamnaya pada manusia yang memiliki jenis
kelamin laki-laki dan perempuan.
Hal ini memberikan makna bahwa secara
biologis, semua organ yang dimiliki baik oleh laki-laki tidak akan bisa ditukar
pada jenis kelamin perempuan. Begitu pula sebaliknya, seluruh organ yang
dimiliki perempuan tidak akan dibenarkan untuk ditukar dengan organ laki-laki.
Hal demikian inilah yang disebut ketentuan ilahi yang tidak dibenarkan untuk
dipertukarkan dan bersifat kodrati.
Gender adalah sifat yang melekat pada
laki-laki dan perempuan yang dibangun dari interaksi sosial dan budaya. Sebagai
contoh bahwa perempuan lebih dipahami sebagai seseorang yang feminim, lemah
lembut, serta memiliki sifat-sifat keibuan. Sementara laki-laki lebih dipahami
sebagai sosok seseorang yang maskulin, rasionalis, serta memiliki kekuatan yang
lebih dari perempuan.
Namun, kedua sifat tersebut esensinya dapat
dipertukarkan. Dalam kehidupan sehari dapat ditemukan bahwa ada laki-laki yang
memiliki sifat-sifat perempuan seperti lemah lembut dan keibuan. Perubahan
tersebut berlangsung dari masa ke masa dan di berbagai tempat.
Hal inilah yang disebut sebagai hal yang
bukan kodrati. (Ana Rosilawati, Perempuan
dan Pendidikan: Refleksi atas Pendidikan Berspektif Gender, Hasil Penelitian
Fakutas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Pontianak, h. 2.) Gender juga
dipahami sebagai konstruksi sosial yang terkait sikap, peraturan,
tanggungjawab, dan pola tingkah laku laki-laki dan perempuan dalam segala
kehidupannya. (Gouri srivastava, Gender
Concerns in Education, NCERT: India, tt, h. 1.). Selain itu, dalam
pemahaman gender, dikenal juga dengan sifat gender, peran gender, dan ranah
gender.
Sifat gender merupakan sifat dan tingkah
laku yang terdapat pada laki-laki dan perempuan. Peran gender merupakan hal-hal
atau perilaku yang wajar atau tidak dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang
berlandaskan pada value (nilai), kultur, serta norma masyarakat yang
berlangsung pada waktu tertentu. Sedangkan ranah gender yaitu ruang bagi
laki-laki dan perempuan untuk memainkan perannya masing-masing. Ranah dalam hal
ini terbagi dua yaitu ranah domestik dan publik Ranah domestik yaitu ruang atau
wilayah sekitar kehidupan rumah tangga seperti sumur, dapur dan kasur,
sementara wilayah publik yaitu ruang atau wilayah pekerjaan umum seperti
pekerjaan di kantor, pasar dan pusat-pusat perbelanjaan. (Siti Azisah dkk, Buku Saku Kontekstualisasi Gender, Islam dan Budaya,
Makasar : UIN Alaudin Makasar, 2016, h. 6)
Maggie Humm sebagaimana dikutip Nur Rohmah
menganggap patriarki sebagai suatu sistem yang mengedepankan kekuasaan
laki-laki yang mendiskreditkan perempuan melalui lembaga sosial, dan ekonomi.
Humm menambahkan bahwa dalam histori masyarakat yang menganut sistem patriarki
baik feodal, kapitalis, maupun sosialis, akan memberikan ruang yang lebih
dominan bagi kaum laki-laki daripada perempuan dan menjadi media dan ganjaran
dari susunan kekuasaan internal dan eksternal rumah. Selanjutnya, Nikmatullah
sebagaimana dikutip Rosiawati menjelaskan contoh konkret dari pemahaman gender
dapat ditemui dalam kultur budaya masyarakat di Indonesia.
Sebagai contoh dalam kehidupan masyarakat
yang menganut sistem garis kebapakan (patriarkhi), memposisikan laki-laki
sebagai pemimipin dan pengambil segala keputusan, sementara perempuan tidak
diberikan ruang dan posisi yang signifikan dalam segala lini kehiduapan
bermasyarakat. Kaum perempuan dianggap berada pada posisi kelas kedua (the
second class) di bawah jenis kelamin laki-laki. Realita ini dapat disaksikan
pada tradisi perempuan suku Sasak, Jawa, Makasar. Berbeda dengan patriarkhi,
pada masyarakat yang menganut sistem jalur keibuan (matriarkhi) memposisikan
perempuan di atas laki-laki. Mereka memberikan ruang yang cukup besar kepada
kaum perempuan untuk memerankan peran laki-lakiu seperti menjadi pemimpin dan
pengambil keputusan dalam kehidupan bermasyarakat. Realita ini dapat dilihat
pada tradisi masyarakat Minangkabau yang memberikan kesempatan bagi perempuan
untuk lebih dominan berperan daripada laki-laki.
Praktik ketimpangan gender terjadi dalam
berbagai bentuk (Iswah Adrian, Kurikulum Berbasis Gender (Membangun Pendidikan
yang Berkesetaraan) Jurnal Tadris Vol. 4 No. 1, 2009, h. 140-141), yaitu:
1. Marginalisasi
atau proses peminggiran/pemiskinan, yang mengakibatkan kemiskinan secara
ekonomi. Seperti dalam memperoleh akses pendidikan, seperti pandangan yang
menganggap bahwa perempuan tidak penting untuk mengenyam pendidikan yang tinggi
dikarenakan nantinya akan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
2. Subordinasi,
yaitu pemahaman yang meyakini salah satu jenis kelamin dianggap lebih unggul
dan urgen dibanding jenis kelamin lain. Pemahaman in juga memposisikan
perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada masa
lampau dimana perempuan tidak mendapatkan kesempatan dan akses yang sama
seperti laki dalam bidang pendidikan. Pada saat yang bersamaan, ketika kondisi
keuangan keluarga pas-pasan maka yang diprioritaskan untuk mengenyam pendidikan
adalah laki-laki.
3. Stereotipe, yaitu labeling (pelabelan) terhadap seseorang
atau kelompok yang tidak sesuai dengan realita yang terjadi. Kegiatan ini
secara umum akan selalu melahirkan ketidakadilan. Hal ini berimplikasi kepada
terjadinya penindasan dan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Sebagi contoh
berkembang pemahaman di masyarakat bahwa perempuan hanya mampu berperan untuk
mengerjakan tugastugas rumah tangga. Sementara laki-laki memiliki peran yang
lebih dominan dalam hal melakukan pekerjaan di luar rumah seperti mencari
nafkah, menjalankan bisnis, bahkan aktif dalam perpolitikan.
4. Violence
yaitu suatu bentuk serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang.
Kekerasan terhadap seseorang tidak hanya tertuju pada fisik saja seperti
tindakan asusila dan lain sebagainya, namun juga mengarah pada psikis
seseorang.
5. Beban
ganda yaitutanggung jawab yang dipikul satu jenis kelamin tertentu secara
berlebihan. Hal ini merujuk pada penelitian yang menunjukkan bahwa mayoritas
pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh perempuan.
Hal-hal tersebut di atas bermuara pada
terjadinya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan di lingkungan keluarga
dan maupun sosial masyarakat. Membahas tentang gender berarti memberikan ruang
dan kesempatan yang sama antara laki-laki untuk berkontribusi dalam
pembangunan, ekonomi, politik dan budaya. Dengan demikian kesetaraan gender
bermakna memberikan akses yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk
menikmati pembangunan.
B. Gender
dalam Pandangan Islam
Persepsi masyarakat tentang peran
laki-laki dan perempuan terbangaun melalui pros
es internalisasi budaya laki-laki. Oleh karena itu pandangan gender
tidak terlepas dari dominasi budaya laki-laki, bahkan dominasi budaya laki-laki
tidak hanya mempengaruhi perilaku masyarakat saja, tetapi juga penafsiran
terhadap teks-teks agama (Al-Qur’an dan al-Hadits khususnya yang berkaitan
dengan gender) juga tidak luput dari budaya laki-laki. Hal ini sering kali
mengakibatkan dalil-dalil agama dijadikan sebagai alasan untuk menolak
kesetaraan gender (Arifin, et.al: 238).
Akibat lain yang tidak kalah pentingnya
ialah timbulnya anggapan dan tuduhan dari pihak yang tidak menyukai Islam atau
yang dangkal pemahamannya terhadap Islam bahwa bahwa dalam ajaran Islam penuh
diwarnai dengan ketidakadilan, terutama yang berkaitan dengan masalah gender,
seperti masalah poligami, pembagian harta warisan, dan lain-lain. Salah satu
tema pokok ajaran Islam adalah persamaan derajat di antara manusia, baik
laki-laki atau perempuan, antar suku bangsa atau keturunan. Al-Qur’an tidak
membedabedakan derajat kemuliaan manusia atas dasar itu semua, melainkan tinggi
rendahnya derajat kemuliaan manusia itu diukur dengan tinggi rendahnya tingkat
ketakwaan dan nilai-nilai pengabdian terhadap AllahSwt.
Mengenai kedudukan perempuan dalam
pandangan Islam tidak seperti yang diduga dan dipraktikkan oleh sebagian
anggota masyarakat, tidak pula seperti yang dituduhkan oleh orang-orang yang
tidak menyukai Islam. Ajaran Islam (Al-Qur’an), sangat memuliakan dan
memberikan perhatian serta penghormatan yang besar kepada perempuan tidak ubahnya
seperti halnya kepada laki-laki. AllahSwt telah berfirman:
“Hai manusia, bertakwalah kamu sekalian
kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya
Allah menciptakan isterinya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kamu sekalian kepada Allah
yang dengan (mempergunakan) namanya kamu sekalian saling meminta satu sama
lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah senantiasa
menjaga dan mengawasi kamu sekalian (QS. al-Nisa’ 1).
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah
menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,
kemudian kami telah menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya
kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu
sekalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat 13).
“Barang siapa mengerjakan amal shalih,
baik laki-laki ataupun perempuan, sedangkan dia adalah orang yang beriman, maka
sungguh akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sungguh akan kami
balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. An-Nahl 97)
Ayat-ayat tersebut di atas menegaskan
bahwa Islam (al-Qur’an) menolak pandanganpandangan yang membeda-bedakan
laki-laki dan perempuan.Keduanya (laki-laki maupun perempuan) berasal dari
jenis yang sama (jenis manusia), memiliki peluang dan kesempatan yang sama
untuk memperoleh kebahagiaan dan kemuliaan. Allah menjadikan mereka (manusia)
beraneka ragam suku dan bangsa agar saling mengenal satu sama lain untuk
berkasih sayang dan saling memuliakan, bukan untuk saling menghinakan dan
saling merendahkan. Tanpa membedakan
jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit dan sebagainya Allah
menjanjikan kehidupan yang baik (kebahagiaan/kemuliaan) bagi siapa saja yang
beriman dan bertakwa kepadaNya.
Jenis kelamin laki-laki atau perempuan
tidaklah menjadi ukuran kemuliaan, akan tetapi iman dan takwa itulah yang
menjadi ukuran kemuliaan yang sebenarnya. Allah tidak membebani hambanya dengan
sesuatu pekerjaan diluar kesanggupannya. Kesetaraan gender dalam ajaran Islam bukanlah
penyamarataan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Adanya perbedaan
dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan di dalam ajaran Islam sama
sekali bukan untuk merendahkan martabat perempuan, melainkan pembagian tugas
secara proporsional yang justru untuk memuliakan perempuan.
Sesuai dengan kodratnya, laki-laki dan
perempuan dilahirkan dengan struktur anatomi tubuh dan kekuatan yang berbeda.
Ada jenis pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh perempuan, ada pula yang
hanya sesuai untuk laki-laki. Pekerjaan hamil, menyusui, melahirkan, tentu
hanya bisa dilakukan oleh perempuan, sementara itu pekerjaan berat yang
membutuhkan kekuatan fisik (otot) tentu tidak sesuai jika harus dibebankan
kepada perempuan. Seandainyapun ada pekerjaan fisik yang dapat dikerjakan oleh
perempuan, tentu harus disesuaikan dengan kemampuannya. Pada dasarnya,
perempuan juga boleh melakukan pakerjaan apa saja selama mereka sanggup
mengerjakannya, namun jika perempuan bahkan juga laki-laki harus dibebani
dengan pekerjaan diluar batas kesanggupannya, maka hal ini tentu melanggar
prinsip keadilan.
Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan
ditakdirkan untuk berpasangan atas dasar persamaan derajat, duduk sama rendah
berdiri sama tinggi, saling melengkapi dan saling memuliakan antara yang satu
dengan yang lain yang dibangun di atas dasar prinsip keadilan, bukan untuk
saling berhadapan dan saling merendahkan. Tidak ada kelebihan derajat laki-laki
atas perempuan dan sebaliknya kecuali karena ketakwaannya kepada AllahSwt. Kesalahpahaman
di dalam memahami ajaran Islam tentang gender antara lain disebabkan karena
orang tersebut tidak meletakkan masalah gender itu dalam Islam sebagai suatu
sistem, melainkan ia melihat persoalan gender itu sebagai suatu aspek ajaran
Islam yang terpisah dari aspek-aspek ajaran Islam yang lainnya. Jika hendak
menilai ajaran Islam, seseorang harus melihat Islam sebagai suatu sistem.
Orang tidak boleh menilai Islam pada aspek
tertentu saja yang terpisah dari sistemnya. Secara akademis hal demikian tidak
dapat dibenarkan (Tafsir, 2008: 147). Misalnya tentang pembagian warisan yang
dinyatakan secara sharih (jelas) di dalam al-Qur’an, bahwa anak laki-laki
mendapat bagian lebih besar, yakni dua kali dari anak perempuan. Melihat hal
ini, orang segera mengambil kesimpulan bahwa ajaran Islam tidak adil.
Kesimpulan semacam ini tidak sah karena ada kesalahan pada segi
epistemologi. Demikian pula dalam
masalah poligami atau masalah-masalah lain yang terkait dengan gender maupun
yang tidak.
Oleh karena itu, jika ada pernyataan bahwa
dalam kitab suci alQur’an terdapat unsur ketidakadilan, maka yang harus
dilakukan adalah membaca ulang dan mencoba memahami al-Qur’an secara
komprehensif. Apabila setelah menelaah ulang masih juga merasa ada
ketidakadilan, yang perlu diperhatikan adalah mungkin saja ada kesalahan
persepsi manusia dalam mendifinisikan sebuah konsep keadilan.
C. Cadar
Bagi Wanita
Cadar bagi wanita, menurut Imam Asy
Syafi’i ra menegaskan dalam Al Umm (1/109);,
وكل المرأة عورة إلا كفيها ووجهها
“Dan setiap wanita adalah aurat kecuali
kedua telapak tangan dan wajahnya.” Pendapatini
yang masyhur dari pendapat ulama Syafi’iyah yang ada: Imam Nawawi ra
dalam Al-Majmu’ (3/169) mengatakan,
ان المشهور
من مذهبنا أن عورة الرجل ما بين سرته وركبته وكذلك الامة وعورة الحرة جميع بدنها الا
الوجه والكفين وبهذا كله قال مالك وطائفة وهي رواية عن احمد
“Pendapat yang masyhur di madzhab kami
(Syafi’iyah) bahwa aurat pria adalah antara pusar hingga lutut, begitu pula
budak wanita. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh badannya kecuali
wajah dan telapak tangan. Demikian pula pendapat yang dianut oleh Imam Malik
dan sekelompok ulama serta menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad.” Ibnul
Mundzir menyandarkan pendapat ini kepada Imam Asy Syafi’i dalam Al Awsath (5/70),
beliau katakan dalam kitab yang sama (5/75),
على
المرأة أن تخمر في الصلاة جميع بدنها سوى وجهها وكفيها
“Wajib bagi wanita menutup seluruh
badannya dalam shalat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya”. Syaikh ‘Amru
bin ‘Abdil Mun’im Salim mengatakan,“Sungguh
sangat aneh sebagian orang yang menukil dari ulama Syafi’iyah dalam masalah
ini, tidak bisa membedakan antara dua hal:
1. Melihat
wajah dan telapak tangan, itu boleh selama aman dari fitnah (godaan). Hal ini
disepakati oleh ulama Syafi’iyah.
2. Hukum
menyingkap wajah dan kedua telapak tangan, telah terbukti di atas bahwa ulama
Syafi’iyah membolehkan tanpa syarat. Mereka tidak bisa membedakan dua hal ini
sampai akhirnya rancu.
Sehingga mereka pun mensyaratkan hal kedua
di atas (hukum menyingkap wajah) selama aman dari fitnah. Ini jelas keliru
karena telah mencampur adukkan dua hukum di atas. Seperti kita contohkan
lainnya, beda antara hukum suara wanita aurat atau bukan ? dengan hukum wanita
memberi salam pada laki-laki boleh ataukah tidak ?. Suara wanita bukanlah aurat
sebagaimana diterangkan dalam hadits yang shahih. Sedangkan memberi salam pada
lakilaki itu disyaratkan boleh selama aman dari fitnah.” (Jilbab Al Mar-ah Al
Muslimah, 192-193)
Dalam madzhab Syafi’i jika dikatakan
pendapat yang masyhur berarti adalah pendapat di kalangan ulama madzhab (bukan
pendapat Imam Syafi’i) dan merupakan pendapat yang lebih tersohor, namun ada
pendapat ulama Syafi’iyah lainnya yang dalilnya juga kuat. Artinya ada sebagian
ulama Syafi’iyah yang juga punya pendapat bahwa menutup wajah itu wajib dan
dalilnya sama kuat. Namun sebagaimana kata Imam Nawawi, pendapat yang
menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh badan selain wajah dan telapak
tangan merupakan pendapat yang lebih tersohor di madzhab Syafi’iyah.
Ada beda pendapat antara ulama Syafi’iyah
terdahulu dan belakangan. ulama Syafi’iyah membedakan bahwa aurat wanita adalah
seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, ini berlaku dalam shalat.
Sedangkan aurat di luar shalat adalah seluruh badan termasuk wajah dan telapak
tangan. Namun yang dipahami oleh Syaikh ‘Amru di atas, ulama Syafi’iyah
terdahulu (Imam Asy Syafi’i dan Imam Nawawi) memutlakkan aurat wanita adalah
seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan. Jika diperhatikan beda antara
hukum memandang wajah wanita dan hukum menyingkap wajah,ini dua hal dua hal
yang berbeda.
Dalam buku “ al-Niqab adah wa laisa
ibadah” yang ditulis oleh Prof Dr Hamdi Zaqzuq Menteri Perwaqafan tahun 2008
menyatakan Para ulama Mesir senior berpendapat bahwa cadar adalah sebagai
tradisi kaum wanita bukan ibadah. Lebih rinci pada buku itu dengan mengutip
pandangan Syeikh Muhammad Al-Ghazali,dalam bukunya Al-Sunnah al-Nabawiyah bayna
Ahli al-Fiqh Wa al-Rakyi, bahwa
Islam telah mewajibkan bagi wanita untuk membuka wajah dalam ibadah
haji, ibadah shalat dan tidak dalil dalam Al-qur’an hadis dan akal yang
menyuruh menutup wajah. Ibadah perlu dalil yang tegas, memang diketahui
bahwa sebagian kaum wanita pada msa jahiliyah dan awal Islam mengenakan cadar tutup wajah,
tetapi perbuatan ini hanya tradisi bukan ibadah.(Al-Niqab: 8-9 ) Sumber
https://rumaysho.com/1760-menutup-wajah-menurut-madzhab-syafii.html
D. LGBT
(Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender).
Ada 4 istilah yang terangkum dalam
singkatan LBJTini yaitu:
1. Lesbian
artinya wanita yang mencintai atau
merasakan rangsangan seksual dengan sesama wanita.
2. Gay
adalah istilah yang digunakan bagi lelaki penyuka sesama lelaki.
3. Biseksual
adalah orang yang memiliki ketertarikan kepada lelaki sekaligus kepada
perempuan, dan
4. Transgender
adalah orang yang memiliki identitas gender atau ekspresi gender yang berbeda
dengan seksnya yang ditunjuk saat lahir (waria/wadam).
Secara umum, empat istilah di atas disebut
homoseksual, yaitu keadaan tertarik kepada orang lain dari jenis kelamin yang
sama. Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili mengidentifikasikan tiga istilah yang relevan
dengan LGBT yaitu zina, liwath dan Sihaq.Pertama, Zina yaitu hubungan kelamin
antara lelaki dengan wanita yang bukan pasangan suami istri yang sah.Kedua,
Liwath (Gay) yaitu hubungan homoseksual antara lelaki dengan lelaki.Ketiga,
Sihaq (lesbi) yaitu hubungan homoseksual antara wanita dan wanita. Para ulama
sepakat bahwa Liwath (gay) dan Sihaq (lesbi) statusnya lebih buruk dibandingkan
Zina.
Allah menyebutkan perilaku homoseksual
(gay dan lesbi) dalam Al-Quran pada ayat-ayat yang mengisahkan kehidupan ummat
Nabi Luth As.Dari 27 ayat yang memuat kisah Nabi Luth As. dengan kaumnya,
terdapat tiga ayat yang menyebut perilaku homoseksual (gay dan lesbi) dengan
“fahisyah”.Selain pada kedua ayat di atas (Q.S. Al-A’raf [7]: 80 dan Q.S.
Al-Ankabut [29]: 28 satu ayat lagi terdapat pada Q.S. An-Naml [27]: 54
“Dan ingatlah kisah Luth, ketika dia
berkata kepada kaumnya, “mengapa kamu mengerjakan Fâhisyah (keji) sedang kamu
memperlihatkannya?”. Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Luth, dan ingatkanlah Luth ketika ia
berkata kepada kaumnya. Luth adalah putra Haran, putra Azar, putra saudara
laki-laki Nabi Ibrahim Al-Khalil As.
yang telah beriman bersama Nabi Ibrahim As. dan hijrah bersamanya ke
negeri Syam. Allah mengutus Nabi Luth As.
kepada kaum Sodom dan daerah-daerah sekitarnya untuk menyeru mereka agar
menyembah Allah, memerintahkan mereka untuk mengerjakan kebajikan, melarang
mereka berbuat munkar. Saat itu kaum Sodom tenggelam dalam perbuatan dosa.
Hal-hal yang diharamkan dan perbuatan keji
yang mereka ada-adakan dan belum pernah dilakukan oleh seseorang pun keturunan
Adam dan juga oleh makhluk lain, yaitu mendatangi orang laki-laki, bukan
perempuan (homoseks). Kota Sodom (bahasa
Arab: سدوم / Sadūm) inilah yang
daripadanya lahir istilah sodomy. Dalam bahasa Ibrani, sodom berarti terbakar
dan Gemorah (bahasa Arab: عمورة ʿ/
Amūrah) berarti terkubur. Di dalam
Al-Quran kaumnnya Nabi Luth Alaihi salam disebut “AlMu’tafikat” yang artinya di
jungkir-balikkan (Q,S An Najm :53) ىَوْهَ أ َةَكِفَتْؤُمْال َ و “Dan
negeri-negeri kaum Luth yang telah dihancurkan Allah”.
Perbuatan tersebut merupakan suatu hal yang belum pernah
dilakukan oleh seorang keturunan Adam dan belum pernah terlintas dalam hati
mereka untuk melakukannya selain kaum Sodom. Semoga laknat Allah tetap menimpa
mereka”. Sehubungan dengan firman Allah:
“Yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia) ini sebelum
kalian”.( Q.S Al-A’araf: 80). Amr bin
Dinar berkata: “Tidak seorang lelaki pun menyetubuhi lelaki kecuali kaum Luth
yang pertama melakukannya”.
Al-Walid bin Abdul Malik, Khalifah Bani
Umayah, pendiri Masjid Jami’ Damaskus berkata:
“Seandainya Allah tidak menceritakan kepada kita tentang berita kaum
Luth, niscaya kita tidak percaya bahwa ada lelaki yang menaiki lelaki”. Para
ahli tafsir juga mengatakan: ”Sebagaimana kaum lelaki, kaum wanitanya Nabi Luth
juga melampiaskan nafsunya dengan sesama wanita”. Al-Quran menyebutkan perilaku
homoseksual ini sebagai “fâhisyah” karena kaum gay dalam menyalurkan nafsu
seksualnya dengan cara sodomi (liwath) yang secara istilah syariat definisinya
adalah memasukan kepala penis ke dalam dubur/anus pria lainnya.
Perilaku ini sudah tentu sangat
menjijikan, karena seorang laki-laki menyetubuhi dubur/anus laki-laki lain,
sedangkan di dalam dubur itu terdapat kotoran besar yang bau, kotor dan jorok,
sehingga manusia yang normal pasti menolaknya. Al-Quran mengisyaratkan dampak
negatif perilaku gay sebagai berikut:
“Apakah (pantas) kamu mendatangi
laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?
Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, “Datangkanlah kepada kami
azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar”. Q.S. Al-Ankabut
(28):29).
Menurut Tafsir Jalalain, yang di maksud
“Taqtha’ûnas sabîl” adalah melakukan perbuatan keji di jalan yang dilewati
manusia, sehingga manusia tidak mau lagi melewati jalan itu.Muhammad Quraish
Syihab dalam tafsir Al-Misbah menjelaskan ayat di atas sebagai berikut:
“Sesungguhnya yang kalian lakukan (homoseksual) adalah kemungkaran yang
membinasakan, kalian melakukan perbuatan keji dengan para lelaki, kalian
memutuskan jalan untuk mengembangkan keturunan sehingga hasilnya adalah
kehancuran. Kalian melakukan kemungkaran-kemungkaran dalam masyarakat tanpa
rasa takut kepada Allah dan rasa malu di antara kalian”.
Ibnu Katsir ketika menjelaskan kalimat “fî
nâdîkum al-munkar” (mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuan kalian)
menurut Mujahid, perbuatan mungkar tersebut adalah sebagian mereka menyetubuhi
sebagian yang lain di depan mata sekumpulan manusia.Menurut Aisyah ra dan Al
Qasim, perbuatan munkar tersebut ialah mereka berkumpul di tempat-tempat
pertemuan sambil saling kentut dan tertawa-tawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa perbuatan munkar mereka adalah adu
kambing (domba) dan sabung ayam. Semua perbuatan itu merekalah yang mula-mula
melakukannya. Bahkan perbuatan mereka jauh lebih jahat dari pada sekadar itu.
Dari uraian di atas diketahui bahwa LGBT
menimbulkan berbagai dampak negatif di masyarakat dengan terputusnya generasi
(keturunan) dan berbagai tindakan kejahatan lain. Prof. Dr. Abdul Hamid
Al-Qudah, spesialis penyakit kelamin menular dan AIDS di Asosiasi Kedokteran Islam
Dunia menjelaskan dampak-dampak yang ditimbulkan LGBT sebagai berikut:
a. Dampak
kesehatan
78 % pelaku homoseksual terjangkit
penyakit-penyakit menular dan rentan terhadap kematian. Rata-rata usia
laki-laki yang menikah adalah 75 tahun, sedangkan rata-rata usia gay adalah 42
tahun, dan menurun menjadi 39 tahun jika menjadi korban AIDS. Rata-rata usia
wanita yang bersuami dan normal adalah 79 tahun, sedangkan rata-rata usia
lesbian adalah 45 tahun.
b. Dampak
sosial
Seorang gay akan sulit mendapatkan ketenangan
hidup karena selalu berganti ganti pasangan. Penelitian menyatakan: “Seorang gay mempunyai pasangan antara 20-106
orang pertahunnya. Sedangkan pasangan zina saja tidak tidak lebih dari 8 orang
seumur hidupnya “. Sebanyak 43 persen orang gay yang didata dan diteliti
menyatakan bahwa seumur hidupnya melakukan homoseksual dengan 500 orang. 28
persen melakukannya dengan lebih dari 1,000 orang. 79 persen melakukannya
dengan pasangan yang tidak dikenali sama sekali dan 70 persen hanya merupakan
pasangan kencan satu malam atau beberapa menit saja. Berdasarkan penelitian di
atas, melegalkan pasangan LGBT dalam ikatan pernikahan pada hakikatnya adalah
tindakan yang sia-sia.
c. Dampak
pendidikan
Penelitian membuktikan bahwa pasangan homo
menghadapi permasalahan putus sekolah lima kali lebih besar dari pada siswa
normal karena mereka merasakan ketidakamanan dan 28 persen dari mereka dipaksa
meninggalkan sekolah.
d. Dampak
keamanan
Kaum
homoseksual menyebabkan 33 persen pelecehan seksual pada anak-anak di Amerika
Serikat (AS), padahal populasi mereka hanyalah 2 persen dari keseluruhan
penduduk negara itu. Sementara itu, di Indonesia melalui riset dengan bantuan
Google dalam kurun waktu 2014 hingga 2016, telah terjadi 25 kasus pembunuhan
sadis dengan latar belakang kehidupan pelaku dan atau korban dari kalangan
pelaku homoseksual.
Mengingat buruknya dampak perilaku
homoseksual ini, Allah telah menghukum pelakunya dengan hukuman yang sangat
berat. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Hijr [15]: 72-74.
“Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya
mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)(72). Maka mereka
dibinasakan oleh suara keras yang menggunturkan ketika matahari akan
terbit(73). Maka kami jungkir-balikkan negeri itu dan kami hujani mereka dengan
batu dari tanah yang keras.(74)”. Ibnul Qayyim menerangkan, karena dampak dari
perilaku gay adalah kerusakan yang besar, maka balasan yang diterima di dunia
dan akhirat adalah siksaan yang sangat berat di dunia dan di akhirat.
Pada rangkaian ayat-ayat ini, Allah
menjelaskan tiga bentuk siksaan sekaligus yang ditimpakan kepada pelaku gay di
zaman Nabi Luth Alaihi Salam yaitu mereka disiksa dengan suara keras mengguntur
yang terjadi menjelang matahari terbit, bersama dengan itu, negeri mereka yang
terangkat tinggi ke udara kemudian dibalik yang semula di atas menjadi di
bawah, sambil dihujani batu yang keras yang berjatuhan secara bertubi-tubi di
atas kepala mereka. Sebagaimana yang disebutkan di ayat lain, yaitu Q.S. Hud
[11}: 82:83:
“Maka ketika keputusan Kami datang, Kami
menjungkirbalikkan negeri kaum Luth, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan
batu dari tanah yang terbakar.Yang diberi tanda oleh Tuhanmu.Dan siksaan itu
tidaklah jauh dari orang yang zalim”. Al- Bukhari menjelaskan “Sijjil” adalah
batu yang keras dan besar. Ulama lain berkata: “yaitu adalah batu tanah liat
yang di bakar”.
Ketika menjelaskan kata “musawwamatan”
(yang diberi tanda), Ibnu Katsir menukilkan pendapat Qotadah dan Ikrimah (dua
ahli tafsir generasi tabiin): “Bahwa kaumnya Nabi Luth As. dihujani dengan batu
yang ditandai dengan terpahat di atasnya nama-nama orang yang akan ditimpa batu
tersebut”. Batu itu memercikkan bara dan mengenai penduduk negeri dan penduduk
yang terpencar di berbagai desa
sekitarnya. Suatu saat, seorang sedang berbicara di tengah-tengah manusia,
tiba-tiba ia tertimpa batu dari langit dan jatuh di antara mereka. Batu-batu
itu bertubitubi menghujani mereka hingga seluruh negeri dan mereka mati semua.
Menurut para ahli tarikh (sejarah), kehancuran
kaumnya Nabi Luth As yang bergelimang maksiat itu terjadi 4,000 tahun yang
lalu. Tidak ada petunjuk lokasi di mana peristiwa itu terjadi hingga pada tahun
1924, seorang ahli purbakala bernama Wiliam Albert berangkat menuju Laut Mati
untuk melakukan penelitihan di sana. Akhirnya, dia dan tim menemukan sisa-sisa
kehancuran kaum Sodom dan Gemorah di sekitar Laut Mati tersebut.
Sodom dan Gemora terletak di atas sesar
Moab dan pembinasaan dua kaumnya Nabi Luth As
ini diinterpretasikan terjadi melalui serangkaian bencana geologi dengan
urutan:
a) Pergerakan
sesar Moab
b) Gempa
dengan magnitude 7,0 + SR yang menghancurkan kota-kota dan sekitarnya serta
likuifaksi yang menenggelamkan sebagian wilayah kota-kota.
c) Erupsi
gunung garam dan gunung lumpur yang meletuskan halit, anhirdit, batu-batuan,
aspal, lumpur, bitumen dan belerang.
d) Kebakaran
kota-kota di sekitarnya karena material hidrokarbon yang diletuskan terbakar
sehingga menjadi hujan api dan belerang.Bencana kotastropik ini telah meratakan
Sodom dan Gemorah dan menewaskan seluruh penduduk kecuali Nabi Luth Alaihi
salam dua puterinya dan seorang yang beriman kepadanya.
E. Hukuman
Homoseksual dan Cara Pencegahannya
Seluruh ulama sepakat (ijma’) atas
keharaman homoseksual. Ibnu Qudamah berkata: “Ulama sepakat atas keharaman
liwath (sodomi). Allah telah mencelanya dalam kitab-Nya dan mencela pelakunya,
demikian pula Rasulullah Saw juga mencelanya. Beliau bersabda:
“Allah mengutuk orang yang berbuat seperti
perbuatan kaum Nabi Luth.Allah mengutus orang yang berbuat seperti perbuatan
Nabi Luth.Beliau bersabda sampai tiga kali”. (H.R Ahmad). Beliau juga telah
menetapkan hukuman bagi pelaku homoseksual ini dalam sabdanya:
“Barang siapa yang kalian dapati melakukan
perbuatan kaum Nabi Luth Alaihi salam maka bunuhlah pelaku dan pasangannya”.
(H.R. At- Tirmidzi).
Beliau mengatakan perbuatan homoseksual
adalah sama dengan Zina, sebagaimana sabdanya:
“Apakah seorang lelaki mendatangi lelaki
maka kedua-duanya telah berzina dan apabila seorang dan apabila wanita
mendatangi wanita maka maka kedua-duanya telah berzina”. (H.R. Al-Baihaqi)
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili meriwayatkan hadist ini dari Abu Musa AlAsy’ari
ra.Berdasarkan hadis-hadis di atas, para ulama berbeda pendapat tentang hukuman
bagi pelaku homoseksual.Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad mengatakan
bahwa tindakan homoseksual mewajibkan hukuman Hadd karena Allah memperberat
hukuman bagi pelakunya dalam kitab-Nya sehingga pelakunya harus mendapatkan
hukuman hadd zina karena adanya makna perzinaan di dalamnya.
Menurut ulama Syafi’iyah, hukuman hadd
bagi pelaku homoseksual adalah sama dengan hukuman hadd zina. Jika pelakunya
muhshan (sudah beristri atau bersuami) wajib dirajam sampai mati. Sedangkan
jika pelakunya (belum beristri atau belum bersuami) di cambuk 100 kali dan
diasingkan.ghairu muhshan Sementara itu,
menurut Prof. Dr. Amir Abdul Aziz, Guru Besar Fiqh Perbandingan di Universitas
dan Najah Al-Wathaniyah, Nablus, Palestina, pelaku homoseksual baik muhshan
maupun ghairu Muhson hukuman haddnya adalah rajam. Pendapat ini sama dengan
pendapat ulama Malikiyah dan pendapat ulama Hanafiah dalam salah satu versi
riwayat yang paling kuat dari Imam Ahmad.
Ketika menjelaskan hadist riwayat Imam
At-Tirmidzi di atas, Imam Ash-Shan’ani (1059-1182 H) dalam “Subulus salam”
mengatakan ada 4 pendapat tentang hukuman bagi pelaku homoseksual:
a. Dihukum
dengan hadd zina yaitu dirajam bagi yang muhshan dan dijilid bagi yang ghairu
muhshan.
b. Dibunuh
baik pelaku maupun obyeknya baik muhshan maupun ghairu muhshan.
c. Dibakar
dengan api, baik pelaku maupun obyeknya. Ini adalah pendapat para sahabat
RasulullahSaw.
d. Dilempar
dari tempat yang tinggi dengan kepala di bawah kemudian dilempari batu. ini
adalah pendapat Abdulllah Bin Abbas Radhiallahu anhu.
Adapun menurut Imam Abu Hanifah, pelaku
homoseksual hanya dihukum ta’zir karena tindakan homoseksual tidak sampai
menyebabkan percampuran nasab.Sedang ta’zirnya adalah dimasukkan ke penjara
sampai bertaubat atau sampai mati.
Dari uraian di atas, Islam memandang bahwa
perilaku LGBT bukanlah penyakit atau genetik tetapi merupakan tindak kejahatan.
Islam menyebut pelakunya dengan sebutan yang sangat buruk antara lain:
Al-Mujrimun (para pelaku kriminal) (QS Al -A’raf[7];84): AlMufsidun (pelaku
kerusakan) (Q.S. Al Ankabut [29]; 30), Az-Zalimum(orang yang menganiyaya diri)
(Q.S. Al Ankabut [29];31) Apa yang dinyatakan Al-Quran ini adalah benar. Susan
Cohran, seorang psikolog dan ahli epidemiologi dari University of California
(AS) berkata: “Tidak masuk akal memasukkannya ke dalam buku dan berkata, “Ini
adalah penyakit” jika tidak ada bukti bahwa itu adalah penyakit”. Demikian kata
Cohran menanggapi soal gay dalam sebuah panel yang diselenggarakan Lembaga PBB
untuk kesehatan, WHO (World Health Organization). Untuk mencegah kejahatan yang
sangat membahayakan ini, Islam memberikan beberapa ketentuan, antara lain:
1) Merendahkan
pandangan/menundukan pandangan.
2) Berpakaian
yang menutup aurat.
3) Memperbanyak
puasa sunnah.
4) Memisahkan
tempat tidur anak ketika ketika sudah berumur 10 tahun.
5) Menghindari
perilaku wanita menyerupai pria dan sebaliknya. Sikap tomboy wanita dan lemah
gemulai seorang pria dilarang dalam Islam.
6) Memilih
teman pergaulan dan menghindari pergaulan bebas.
7) Mewujudkan
keluarga harmonis yang penuh ketenangan dan diliputi kasih sayang.
8) Rajin
dalam beribadah terutama shalat dan membaca Al-Quran. (AT/hnh/P1)
SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar