Indikator
Islam Radikal
1 . Takfiri
Takfiri
adalah sebutan bagi seorang Muslim yang menuduh Muslim lainya (atau kadang juga
mencakup penganut ajaran Agama Samawi lain) sebagai kafir dan murtad. Tuduhan
itu sendiri disebut takfir, berasal dari kata kafir (kaum tidak beriman), dan
disebutkan sebagai “orang yang mengaku seorang Muslim tetapi dinyatakan tidak
murni Islamnya dan diragukan keimanannya.
Tindakan
menuduh Muslim lain sebagai “kafir” telah menjadi suatu bentuk penghinaan
sektarian, yaitu seorang Muslim menuduh Muslim sekte atau aliran lainnya
sebagai kafir. Tindak kekerasan yang berawal dari tuduhan mengkafirkan Muslim
lain kian marak dengan merebaknya ketegangan antara Sunni dan Syiah di Timur
Tengah, khususnya setelah pecahnya Perang Saudara Suriah pada 2011.
Dalam
Islam memang ada orang yang boleh dikafirkan, ada juga yang tidak boleh
dikafirkan. Ulama mengklasifikasikan kekufuran menjadi dua katagori:
a. Kufur
akbar yang mengeluarkan (manusia) dari Islam
b. Kufur
ashgar, tidak mengeluarkan dari Islam, meskipun diistilahkan kufur.
Dalam
masalah pembagian kufur ini, ada keterangan paling mewakili, yaitu yang
disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnul Qayim dalam kitabnya Ash-Shalâh. Beliau
menuturkan, kufur terbagi (menjadi) dua jenis, :
1) Kufur yang
mengeluarkan dari agama. Beliau menerangkan kufur ini berlawanan dengan iman
dalam semua aspek. Maksudnya, ketika ada seseorang yang melakukannya, maka
imannya akan hilang. Misalnya mencaci Allah, memaki Nabi-Nya, menyakiti Nabi,
bersujud kepada kuburan dan patung, melemparkan mushaf ke tempat kotor, atau
contohcontoh serupa lainnya yang telah dipaparkan para ulama. Orang yang
terjerumus dalam perbuatan-perbuatan ini dihukumi sebagai kafir.
2) Kufur yang tidak
mengeluarkan dari agama. Namun syari’at Islam menyebutkannya sebagai tindakan
kekufuran, seperti perbuatan-perbuatan maksiat. Contohnya termaktub dalam
beberapa hadits.
Yang artrinya : Mencaci orang muslim adalah kefasikan dan
membunuhnya adalah kufur” [Hadits Riwayat Bukhari No. 48, Muslim No. 64]
Yang artinya:
“Barangsiapa bersumpah dengan menyebut
nama selain Allah, maka ia kafir atau musyrik” [Hadits Riwayat Tirmidzi]
Yang artinya :
“Janganlah kalian menjadi kafir
sepeninggalkau, yaitu sebagian kalian membunuh yang lain” [Hadits Riwayat
Bukhari No. 121. Muslim No. 65]
Ini adalah contoh-contoh kufur ashghar
yang tidak mengeluarkan dari agama, dengan syarat tidak menganggapnya sebagai
perbuatan yang halal. Jika meyakini perbuatan maksiat ini halal, maka ia telah
keluar dari Islam, murtad dan menjadi kafir. Ini adalah istihlal qalbi
(penghalalan secara hati).
2.
Akidah Al-Walâ’ dan Barâ’
Al-Walâ’ dalam bahasa Arab mempunyai
beberapa arti, antara lain mencintai, menolong, mengikuti dan mendekat kepada
sesuatu. Selanjutnya, kata al-muwaalaah adalah lawan kata
dari al-mu’aadaah ُatau al-‘adawaah yang
berarti permusuhan. Dan kata al-wali adalah lawan kata dari
al-‘aduww yang berarti
musuh. Kata ini juga digunakan untuk makna memantau, mengikuti, dan berpaling.
Jadi, ia merupakan kata yang mengandung arti
yang saling berlawanan.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-Walâ’
berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai
Allah berupa perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan orang yang melakukannya.
Jadi ciri utama wali Allah adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan
membenci apa yang dibenci Allah, ia condong dan melakukan semua itu dengan
penuh komitmen. Dan mencintai orang yang dicintai Allah, seperti seorang
mukmin, serta membenci orang yang dibenci Allah, seperti orang kafir.
Sedangkan kata al-bara’ dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, antara lain
menjauhi, membersihkan diri, melepaskandiri dan memusuhi. Kata barî berarti membebaskan diri dengan melaksanakan kewajibannya terhadap orang lain.
Allah Swt berfirman: “(Inilahpernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan
Rasul-Nya.” [At-Taubah: 1] Maksudnya, membebaskan diri dengan peringatan
tersebut.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-bara’
berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai
Allah berupa perkataan, perbuatan, keyakinan dan kepercayaan serta orang. Jadi, ciri utama al-Bara’ adalah membenci apa
yang dibenci Allah secara terus-menerus dan penuh komitmen. Walâ’ wal barâ’
merupakan salah satu di antara tuntutan syahadat yang diikrarkan oleh seorang
mukmin. Ia adalah bagian dari makna kalimat tauhid, yaitu berlepas diri dari
setiap sesuatu yang diibadahi selain Allah. Bagi seorang mukmin, ikatan walâ’
wal barâ’ merupakan ikatan iman yang paling kokoh yang dimiliki oleh dirinya.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Nabi Saw
dalam sabdanya: “Sungguh ikatan keimanan yang paling kokoh adalah kamu
mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ahmad) Namun sayangnya,
sebagian umat Islam masih ada yang salah kaprah dalam menerapkan konsep akidah
yang satu ini. Di antara penyebabnya adalah munculnya penyempitan makna wala’
wal bara’ oleh sebagian kelompok. Siapa pun yang berada dalam jamaahnya maka
harus didekati dan dicintai. Sebaliknya, siapa pun yang berada di luar
jamaahnya maka berhak untuk dimusuhi dan dijauhi.
3.
Bom Bunuh Diri
Serangan bunuh diri adalah suatu serangan
yang dilakukan (para) penyerangnya dengan maksud untuk membunuh orang (atau
orang-orang) lain dan bermaksud untuk turut mati dalam proses serangannya, misalnya
dengan sebuah ledakan bom atau tabrakan yang dilakukan oleh si penyerang.
Istilah ini kadang-kadang digunakan secara bebas untuk sebuah kejadian yang
maksud si penyerang tidak cukup jelas
meskipun ia hampir pasti akan mati karena pembelaan diri atau pembalasan dari
pihak yang diserang.
Di zaman modern, serangan seperti itu
seringkali dilakukan dengan bantuan kendaraan atau bahan peledak seperti bom
(bom bunuh diri) atau keduanya (misalnya kendaraan yang dimuati dengan bahan
peledak). Bila semua rencana berjalan mulus, si penyerang akan terbunuh dalam
tabrakan atau peledakan. Allah Swt
berfirman: “Dan janganlah kalian
membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (QS.
An-Nisaa’: 29) RasulullahSaw bersabda, “Barangsiapa yang bunuh diri dengan
menggunakan suatu alat/cara di dunia, maka dia akan disiksa dengan cara itu
pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun bunuh diri tanpa sengaja maka hal
itu diberikan udzur dan pelakunya tidak berdosa berdasarkan firman
AllahSwt: “Dan tidak ada dosa bagi
kalian karena melakukan kesalahan yang tidak kalian sengaja akan tetapi (yang
berdosa adalah) yang kalian sengaja dari hati kalian.” (QS. Al-Ahzab: 5). Dengan demikian aksi bom bunuh diri yang
dilakukan oleh sebagian orang dengan mengatasnamakan jihad adalah sebuah
penyimpangan atau pelanggaran syari’at.
Apalagi dengan aksi itu menyebabkan terbunuhnya kaum muslimin atau orang kafir
yang dilindungi oleh pemerintah muslimin tanpa ada alasan yang dibenarkan
syari’at. Allah berfirman: “Dan
janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan cara yang benar.” (QS. Al-Isra’: 33)
Rasulullah Saw bersabda, “Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim
yang bersaksi tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan bersaksi bahwa
aku (Muhammad) adalah Rasulullah kecuali dengan salah satu dari tiga perkara:
[1] nyawa dibalas nyawa (qishash), [2]seorang lelaki beristri yang berzina, [3]
dan orang yang memisahkan agama dan meninggalkan jama’ah (murtad).” (HR.
Bukhari Muslim)
Hal ini menunjukkan bahwa membunuh muslim
dengan sengaja adalah dosa besar. Dalam hal membunuh seorang mukmin tanpa
kesengajaan, Allah mewajibkan pelakunya untuk membayar diyat/denda dan
kaffarah/tebusan. Allah Swt. berfirman;
“Tidak sepantasnya bagi orang mukmin membunuh mukmin lain kecuali karena tidak sengaja. Maka
barangsiapa yang membunuh mukmin karena tidak sengaja maka wajib baginya
memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkannya
kepada keluarganya, kecuali apabila keluarganya itu berkenan untuk bersedekah
(dengan memaafkannya).” (QS. An-Nisaa’: 92).
Adapun terbunuhnya sebagian kaum muslimin
akibat tindakan bom bunuh diri, ini
jelas tidak termasuk pembunuhan tanpa sengaja, sehingga hal itu tidak bisa
dibenarkan dengan alasan jihad. Ulama Ahlussunah tidak merestui aksi terorisme
dalam bentuk apapun, dan tidak ada satu pun ulama yang merestui perbuatan
demikian. Adapun yang difatwakan sebagian ulama mengenai bolehnya melakukan
aksi bom bunuh diri itu dalam kondisi peperangan atau di medan perang melawan
kuffar. Bukan dalam kondisi aman atau di negeri negeri yang tidak sedang terjadi
peperangan atau yang orang-orang kafir dijamin keamanannya di sana. Syekh Al-Qardawi mengategorikan bahwa
perjuangan rakyat Palestina dengan meledakkan dirinya sebagai tindakan
pengorbanan (‘amaliyyat fida’iyyah), ketimbang bunuh diri.
Meskipun seringkali sasaran pengeboman
adalah warga sipil, tetapi Al-Qardhawi memakai kaidah hukum al-dharûrât tubîh
al-mahdzûrât (keadaan darurat membolehkan yang diharamkan) atas konsekuensi
tersebut. Pernyataan Syekh Al-Qardawi ini memicu beragam respon dari berbagai
kalangan termasuk diantaranya adalah Professor Hashim Kamali, seorang pakar
hukum internasional.
Dalam bukunya yang diterjemahkan berjudul
Membumikan Syariah, Ia menjelaskan bahwa apa yang diungkapkan Al-Qardawi memang
terbatas pada kasus Palestina. Akan tetapi premis fatwa yang mengatakan bahwa
sasaran pengeboman hanyalah sasaran pengalihan adalah juga kurang tepat. Hashim
Kamali meyakini bahwa pelaku bom tersebut memang menyasar warga sipil karena
tidak bisa menjangkau barak militer Israel dan ini menyalahi prinsip
mubasyarah, pihak pertama yang semestinya jadi sasaran.
Oleh karenanya, Hashim Kamali menyatakan
bahwa terlalu simplistik menfatwakan tindakan bom bunuh diri warga Palestina
dan juga dimana pun daerah tinggalnya, disamakan dengan jihad dan pelakunya
dihukumi sebagai mati syahid. Hal ini karena tindakan tersebut menyalahi dua
prinsip fundamental ajaran Islam: pertama keharaman bunuh diri secara mutlak
dan kedua haramnya membunuh orang-orang sipil yang tidak bersalah.
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar