MODUL FIQIH KB 1 PPG PAI
URAIAN
MATERI
Saudara-saudara
sekalian, pada bahan kegiatan belajar
akan dibahas empat materi pokok tentang
zakat yang diperselisihkan hukumnya. Pada bagian pertama akan dibahas tentang
hukum zakat tanah yang disewaka. Pada bagian kedua akan dibahas tentang hukum
zakat profesi. Pada bagian ketiga akan dibahas tetang hukum zakat produktif dan
pada bagian keempat akan dibahas tentang hukum zakat untuk pembangunan mesjid.
Kepada saudara, diharapkan untuk dapat membaca dan memahami materi kegiatan
belajar dengan sebaik-baiknya
baik agar tujuan pembelajaranyang
diharapkan dapat dicapai secara optimal.
A. ZAKAT HASIL TANAH YANG DISEWAKAN
Mencermati
judul di atas setidaknya terdapat pertanyaan dalam benak saudara, siapa yang
wajib mengeluarkan zakat dari tanah yang disewakan, apakah si pemilik tanah
atau pihak penyewa tanah. Sepintas jawabannya sudah dapat ditentukan dari judul
itu yaitu orang yang menyewa tanah karena dialah orang yang mendapatkan secara
langsung dari hasil tanah tersebut.
Namun
demikian, ditemukan pendapat bahwa si
pemilik tanahlah yang terkena kewajiban zakatnya karana tanpa tanah tidak
mungkin didapati hasil tanaman. Terdapat
juga pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya dikembalikan kepada kesepakatan
antara dua belah pihak sebelum transaksi dilakukan, berikut bahasannya.
1.
Pengertian
Kata zakat berasal
dari bahasa Arab, secara bahasa artinya suci, tumbuh berkembang dan berkah.
Makna zakat secara bahasa ini
mencerminkan sifat zakat yang dapat mensucikan harta dan jiwa serta
mengandung nilai positif yang dapat dikembangkan berupa kebaikan bagi si
muzakki dan kemashlahatan ekonomi bagi para mustahiq. Sejalan dengan firman Allah swt:
Artinya:
“Sesunguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan dirinya.” (QS. alSyams:
9)
Menurut syara’,
para ulama mendefinisikannya dengan “Harta tertentu yang wajib dikeluarkan
sebagiannya kepada para mustahiq.” Sedangkan Sayyid Sabiq mendefinisikan,
”Zakat adalah suatu nama hak Allah yang harus dikeluarkan oleh manusia kepada
fuqara.” Selanjutnya Sabiq menambahkan, “Dinamakan zakat karena mengharap berkah,
pensucian diri, dan bertambahnya kebaikan.” Hal ini sejalan dengan firman Allah
swt:
Artinya:
“Ambilah dari harta mereka shadaqah yang dapat
membersihkan harta dan mensucikan
jiwa mereka.” ( QS. At-Taubah: 103)
Dari
dua macam pengertian zakat seperti diungkapan di atas dapat disimpulkan bahwa
zakat adalah kewajiban seseorang untuk
mengeluarkan sebagian harta miliknya
yang sudah memenuhi syarat untuk dizakati kepada orang yang berhak
menerimanya (mustahiq) Zakat sering juga disebut shadaqah ( ٌ )صدقة ٌ karena tindakan itu adalah tindakan
yang benar (shidq).
Istilah
zakat dalam al-Qur'an sering sekali penyebutannya digandengkan dengan kata
sholat, ditemukan sebanyak 82 ayat. Penyelarasan ini menunjukkan bahwa zakat
merupakan rukun Islam yang sangat
penting setelah perkara sholat.
2.
Pengertian
dan Dasar Hukum-Nya
Sebelum
menjelaskan pengertiannya, penting
rasanya untuk mengedepankan beberapa komponen yang harus terpenuhi dalam transaksi zakat hasil tanah yang disewakan.
a.
Sebidang
tanah yang disewakan
b. Pemilik
tanah (Orang yang menyewakan tanahnya kepada
orang lain),
c. Penyewa
tanah (sekaligus penggarap tanah yang
disewakan).
Berdasar kepada
beberapa ketentuan di atas, dalam
penyewaan tanah, sedikitnya terdapat dua pihak yang terlibat dalam
transaksi penyewaan tanah yaitu pemilik tanah dan penyewa, yang keduanya
bersepakat mengadakan transaksi. Zakat hasil tanah yang disewakan, dapat diartikan sebagai zakat hasil tanah yang
langsung dihasilkan oleh tanah tersebut berupa tumbuh-tumbuhan yang
menghasilkan buah. Hasil dimaksud bisa berupa makanan pokok, seperti padi,
korma, gandum atau buah-buahan, seperti, jeruk, anggur, semangka, atau berupa
sayur-sayuran, seperti ketimun, kacang, bawang, dan lain sebagainya.
Kewajiban
untuk mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan didasari oleh ayat berikut
ini:
Artinya:
“Dan Dialah yang telah menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam buahnya, zaitun
dan delima yang serupa bentuk dan warnanya dan tidak sama rasanya. Makanlah
buah-buah tersebut jika panen dan keluarkanlah haknya (zakatnya) ketika panen.
Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang
yang berlebihlebihan.” (QS. al-An’am: 141)
Sedangkan
dasar dari Hadits mengenai wajibnya zakat hasil tanah:
Artinya:
“Tanaman yang tumbuh diari oleh air yang menggunakan alat, zakatnya sebanyak
lima persen. Sedangkan tanaman yang diairi oleh air hujan sebanyak sepuluh
persen.”
Jika
dicermati, mengapa hasil tanah yang diairi oleh alat lebih kecil dari pada yang
diairi oleh air hujan? Hal ini karena yang memakai alat itu membutuhkan biaya,
sedangkan yang memakai air hujan tidak membutuhkan biaya. Dengan demikian,
terdapat keadilan di dalamnya.
Zakat
hasil tanah wajib dikeluarkan zakatnya setiap panen, tidak berlaku untuknya istilah
syarat haul (genap satu tahun) di dalamnya. Jika satu tahun itu dua kali
panen, maka zakatnyapun dua kali. Sedangkan ketentuan nisabnya menurut M.
Syaltut, baik sedikit atau banyak hasil panennya tetap dizakatkan karena
menurutnya agar tumbuh selalu sikap solidaritas sosial sebagai hikmah
diwajibkannya zakat.
3.
Siapa
yang Wajib Mengeluarkan Zakatnya
Ketentuan
bahwa zakat hasil tanah yang disewakan wajib dikeluarkan zakatnya tidak
memunculkan masalah jika tanah itu ditanami oleh pemiliknya langsung.
Persoalannya jika tanah itu disewakan kepada orang lain, maka hal ini akan
memunculkan masalah, siapa yang wajib mengeluarkan zakat hasil tanah yang
disewakan? Apakah si pemilik tanah atau si penyewa tanah (yang bercocok tanam).
Untuk
menjawab kasus hukum ini tidak terdapat kata sepakat di kalangan para ulama
mereka berselisih dalam menetapkan hukumnya seperti diuraikan berikut ini.
a. Menurut Jumhur ulama, bahwa yang wajib
mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan
adalah pihak penyewa. Mereka beralasan karena yang dikeluarkan zakatnya
adalah hasil tanahnya bukan tanahnya hal ini diperkuat oleh pendapat Mahmud
Syaltut.
Artinya:“Pendapat
yang kami pegang bahwasanya kewajiban zakat ada pada pihak penyewa yang
langsung menggarap pertanian. Dan zakat merupakan hak pertanian sebagai rasa
syukur atas ni’mat berhasilnya pertanian. Dengan demikian penyewalah yang
dibebani untuk mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan.”
b. Menurut pendapat Abu Hanifah dan
pengikutnya bahwa pemilik tanahlah yang
wajib mengeluarkan zakatnya karena dari sebab tanah itulah ada hasil yang
diperoleh., tanpa tanah tak akan dapat dihasilkan apa-apa.
c.
Imam
Malik, Syafi’i, Imam At-Tsauri, Imam Ibnu Mubarak dan Imam Ibnu Abu Tsaur
berpendapat, penyewa tanahlah yang wajib membayar zakat, pendapat ini sejalan
dengan pendapat point pertama. Mencermati perselisihan pendapat tentang zakat
hasil tanah yang disewakan sebagaimana tersebut di atas dapat dikelompokkan
perbedaannya menjadi dua kelompok dengan alasannya masing-masing.
Pendapat
pertama adalah ulama yang menetapkan bahwa si penyewa dalam hal ini orang yang
menggarap tanah yang wajib mengeluarkan zakat karena dialah yang secara
langsung memperoleh hasil dar tanah tersebut. Sedangkan pendapat kedua menetapkan bahwa si pemilik
tanahlah yang wajib mengeluarkan zakatnya karena si pemilik tanah tersebut
mendapatkan uang sewa.
Jika
diperbandingk alasan dari kedua kelompok tersebut, maka pendapat pertama
memiliki argumentasi yang lebih kuat karena hal ini diperkuat oleh firman Allah
swt dalam surat al-An’am ayat 141 seperti tersebut di atas yang menyebutkan
bahwa hasil tanah yang wajib dikeluarkan
zakatnya bukan tanahnya demikian juga dengan yang dimaksudkan oleh Hadits
Rosulullah sebagaimana tersebut di atas. Berdasarkan kepada dalildali
tersebut, fuqaha telah sepakat bahwa
yang dizakatkan adalah hasil tanah bukan tanahnya maka sebidang tanah yang
tidak ditanami tidak wajib di keluarkan zakatnya.
Dengan
demikian, tanah yang di sewakan jika dilihat dari hasilnya itu adalah milik
sempurna pihak si penyewa. Maka tidaklah tepat alasan yang diajukan oleh
kelompok kedua yang berpendapat bahwa penyewalah yang wajib mengeluarkan
zakatnya. Terkait dengan status tanah yang disewakan itu tetap milik orang yang
menyewakan di mana pada status tersebut
di sisi lain terdapat kewajiban untuk mengeluarkan kewajiban pajak.
Jika
berpegang kepada pendapat pertama seperti dijelaskan di atas maka sebenarnya
dengan status tersebut terjadi pembagian kewajiban yang cukup merata karena
kedua belah pihak memiliki andil, yakni si penyewa wajib membayar zakat dan di
sisi lain si pemilik tanah membayar pajak tanah, maka pendapat pertama ini dipandang lebih adil dan tidak memberatkan
kedua-belah pihak.
Solusi
lain yang juga dapat di pandang bijak dalam pemerataan pengeluarkan zakat
adalah pendapat yang ditawarkan oleh Abu Zahra. Menurutnya, kedua-duanya baik
si pemilik tanah maupun si penyewa sama-sama wajib mengeluarkan zakat. Hal ini
demi memenuhi keadilan dalam pemungutan zakat, dengan ketentuan pihak penyewa
mengeluarkan zakat tanaman setelah dikurangi harga sewa yang ia bayar kepada
pemilik tanah.
Dan si
pemilik tanah mengeluarkan zakat atas dasar harga sewa yang ia terima dari si
penyewa yang berarti ia mengeluarkan zakat uang, dengan demikian kedua-duanya
terkena beban untuk mengeluarkan zakat. Solusi lain yang dapat dipertimbangkan adalah jika memang kedua belah pihak sebelum transaksi
telah bersepakat yang bertujuan agar
keduanya tidak terlalu terbebani, maka
zakat itu dapat dilakukan secara patungan antara kedua belah pihak
berdasarkan kesepakatan itu.
B. ZAKAT HASIL JASA (PROFESI)
Terhadap
hukum zakat profesi, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Hal ini
antara lain dikernakan dasar hukum tentang zakat yang dikeluarkan dari hasil
usaha tersebut masih bersifat zhan (dugaan), berikut bahasannya.
1.
Pengertian
dan Hukumnya
Zakat hasil jasa
(profesi) atau bahasa Arabnya
Kata
profesi menurut kamus besar Bahasa Indonesia mengandung arti sebidang pekerjaan
yang dilandasi oleh pendidikan keahlian berupa ketrampilan dan kejuruan
tertentu. Berdasar pengertian profesi di atas, maka zakat profesi dapat dimaknai sebagai zakat pekerjaan yang sudah menjadi keahlian
seseorang yang diperoleh melalui proses pendidikan seperti dokter, dosen,
pengacara, pilot, dan guru, semua contoh pekerjaan ini dapat dikatakan profesi karena keahliannya
diperoleh melalui proses pendidikan yang cukup lama.
Tapi
jika dikaitkan dengan keumuman ayat al-Qur’an yang dijadikan dasar bagi zakat
profesi yaitu QS. al-Baqarah. 267, nampaknya pekerjaan yang termasuk profesi
itu bersifat umum, tidak terbatas oleh keahlian yang dipeoleh dari pendidikan
tapi semua jenis pekerjaan yang baik, ayat tersebut berbunyi:
Artinya:
“Nafkahkanlah dari hasil usahamu yang baik.” (QS. al-Baqarah: 267)
Dilihat
dari ketergantungannya, profesi bisa dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, pekerja ahli yang berdiri sendiri, tidak terikat oleh
pemerintah, seperti dokter swasta, insinyur, pengacara, penjahit, tukang batu,
guru, dosen, wartawan dan konsultan.
Kedua, profesi yang terkait dengan pemerintah atau yayasan atau badan
usaha yang menerima gaji setiap bulan.
Menurut
sebagian ulama, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Muawiyah, kedua kelompok
profesi di atas, baik yang wiraswasta atau pegawai yang terikat oleh suatu
instansi, mereka dapat terkena kewajiban mengeluarkan zakat profesinya ketika
menerima upah/gaji sebesar seperempat puluhnya. Jika rutinitas itu dilakukan
maka tidak ada lagi baginya kewajiban
untuk mengeluarkan zakat pada akhir tahun.
Dilihat
dari aspek penerimaannya, macam-macam profesi seperti tersebut di atas dapat
dikategorikan menjadi dua. Pertama, hasil usaha yang teratur dan pasti setiap
bulannya, yang termasuk ke dalam kelompok pertama ini seperti upah pekerja dan gaji pegawai. Kedua,
hasil yang tidak tetap dan dapat dipastikan seperti kontraktor, pengacara,
royaliti pengarang, konsultan, dan artis.
Dengan
demikian, zakat profesi meliputi semua pekerjaan yang halal dan baik, zakatnya
dapat dikeluarkan sesuai dengan waktu perolehannya setelah diambil terlebih
dahulu untuk kewajiban biaya terhadap keluarga dan biaya operasional. Seseorang
dengan profesinya yang berpenghasilan pas-pasan bahkan kurang untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya bukanlah termasuk profesi yang wajib dikeluarkan zakatnya,
bahkan mereka tergolong orang yang berhak menerima zakat (mustahiq), seperti
tukang beca.
2.
Cara
Mengeluarkan dan Nisabnya
Berikut
ini akan dijelaskan secara singkat cara mengeluarkan zakat profesi seperti
dokter, pengacara, pilot, dosen, artis dan sebagainya. Semua pekerja ini dapat
mengeluarkan zakat profesinya dengan cara ta’jil, yaitu mempercepat ketika
mereka menerima honor atau gaji. Berapa nisab (batas minimal) dan prosentase
yang harus dikeluarkan? Terjadi perbedaan pendapat para ulama terhadap
penetapan nisabnya:
a. Abdurrahman Hasan, Imam Abu Zahra, dan
Abdul Wahab Khallaf, mereka berpendapat bahwa nisab zakat profesi
sekurang-kurangnya lima wasaq atau 300 sha sekitar 930 liter atau 653 Kg.
sehingga prosentase zakatnya disamakan (diqiyaskan) dengan zakat pertanian yang
pengairannya menggunakan alat (mesin), yaitu sebesar 5 % setiap mendapatkan
gaji atau honor.
b. Jumhur ulama berijtihad bahwa nisab
zakat profesi adalah seharga emas 93,6 gram emas murni yang diambil dari
penghasilan bersih setelah dikeluarkan seluruh biaya hidup. Kelebihan inilah
yang dihitung selama satu tahun, lalu dikeluarkan zakatnya sebanyak 2,5 %
setiap bulan. Prosenatase ini diqiyaskan dengan zakat mata uang yang telah ditetapkan
oleh Hadits.
c.
Terdapat
juga pendapat yang mengatakan bahwa zakat profesi disamakan dengan zakat rikaz
(barang temuan) maka tidak ada syarat nisab dan prosentasenya 20 persen pada
saat menerimanya.
3.
Contoh
Kasus
Ali
adalah seorang dosen PTN golongan IV/a dengan masa kerja selama 20 tahun. Ia
memiliki seorang istri dan tiga anak. Penghasilannya tiap bulan pada tahun 2015
sebagai berikut:
a. Gaji dari Negara Rp. 4.300.000
b. Honor dari beberapa PTS Rp. 2.500.000
c.
Honor
dari yang lain Rp. 2.000.000
Pengeluaran
setiap bulan:
a. Keperluan keluarga Rp. 3.000.000
b. Angsuran kredit rumah Rp.
1.250.000
c. Dan lain-lain Rp.
1.500.000
Kalkulasi Penerimaan Rp. 7.800.000
Pengeluaran Rp. 5.750.000
Sisa Rp. 2.050.000
Jika sisa di atas
dikalikan setahun, maka berjumlah Rp. 24.600.000 yang kemudian didepositokan di
bank dengan bunga keuntungan 18 % setahun. Maka perhitungan zakatnya ialah 2,5
% x 24.600.000 = Rp. 615.000. Ternyata zakatnya setahun sangat ringan, jika ia
ingin mengeluarkan setiap bulan, maka 615.000 : 12 = + Rp. 51.250
zakat yang ia harus keluarkan setiap bulannya.
Uraian
di atas merupakan konsep zakat profesi bagi mendukung adanya zakat profesi.
Namun dengan demikian, terdapat juga
ulama yang mengatakan bahwa zakat profesi itu tidak ada dengan alasan karena
sulit menentukan jenis profesi dan nisabnya. Mereka yang menolak zakat profesi
tersebut karena mereka memasukakan zakat profesi kepada zakat harta yang harus
dibayar jika sudah sempurna satu tahun (haul). Menurut hemat penulis, pada
intinya mengeluarkan zakat adalah manefestasi dari keislaman seseorang sebagai
rasa syukur kepada Allah swt atas nikmat yang telah diterimanaya.
Di
antara nikmat tersebut adalah profesi. Maka ijtihad yang menetapkan adanya
zakat profesi di mana belum pernah ada pada zaman klasik Islam perlu direspons
secara positif. Hukum Islam selalu relevan dengan perkembangan zaman. Sekarang
adalah zaman yang syarat dengan profesi (keahlian) yang dapat menghasilkan uang.
Maka
adanya zakat profesi sebagai hasil ijtihad sejalan dengan prinsip hukum Islam
yang memberikan pintu kemudahan, dalam hal ini penunaian zakat secara ta’jil
(disegerakan) dapat menghilangkan kealfaan seseorang dalam penunaian zakat.
C. ZAKAT PRODUKTIF
Kemunculan
istiah di atas dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk “kritik” terhadap
penyaluran zakat kepada mustahiq yang
pada umumnya bersifat konsumtif. Zakat yang diterima oleh mustahiq yang
tersebut terakhir ini biasanya bersifat konvensional yaitu sekedar untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang sifatnya “menghabiskan”.
Namun
di sisi lain terdapat mustahiq yang keberadaannya masih produktif baik dari
tenaga, ilmu dan ketrampilan. Maka untuk kriteria mustahiq yang tersebut terakhir
ini zakat dapat diarahkan menjadi modal usaha untuk
pengembangan kemampuan yang dimilikinya. Permasalahannya yang kemuidan muncul
bagaimana hukum penyaluran zakat untuk modal usaha, berikut bahasannya.
1. Gagasan Zakat Produktif
Zakat
merupakan ibadah maal (materi) yang memiliki fungsi strategis untuk membangun
perekonomian ummat Islam. Kedukukannya sebagai salah satu rukun Islam
menharuskan ummat Islam untuk mengimani dan melaksanakannya, sesekali orang
yang menganggap zakat bukan rukun Islam, maka ia dapat dianggap kafir dan orang
yang tidak berzakat padahal telah diwajibkan maka ia telah melakukan perbuatan
dosa karena telah menolak perintah Allah dan
telah mengabaikan hak para
mustahiq.
Oleh
karena itu, penunaian zakat bukan sekedar untuk menggugurkan kewajiban tapi
berdampak positif kepada kehidupan sosial karena keberadaannya dapat
mensejahterkan kehidupan bagi orang yang tidak mampu.
Bentuk
dan macam zakat dalam Islam dengan melihat mustahiqnya dapat dibagi menjadi
empat. Pertama: Konsumtif tradisional, seperti zakat fitrah. Kedua, konsumtif
kreatif, contohnya bea siswa. Ketiga Produktif tradisional, seperti pemberian
ternak dan alat pertukangan. Dan keempat produktif kreatif , yaitu zakat untuk
modal usaha.
Bentuk
mustahiq zakat pada point 2 sampai point empat keberadaan zakat bagi penrimanya
berpotensi untuk membangun dan
meningkatkan perekonomian. Keberadaannya dapat mengentaskan kemiskinan
dan kemelaratan.. Ide untuk
mengembangkan zakat sebagai modal usaha muncul ketika okus perhatian dilakukan
secara seksama bahwa para fuqara dan masakin tidak semuanya orang-orang yang memiliki keterbatasan kekuatan fisik
namun di antara mereka terdapat banyak yang memiliki kesehatan fisik dan
keahlian yang dapat dikembangkan, tapi mereka tidak memiliki modal, sehingga
keluar ide untuk memberikan zakat kepada mereka untuk bisa dijadikan sebagai
modal usaha yang dapat meningkatkan status ekonominya dan sekaligus
mengembangkan keahlian yang mereka miliki. Maka pihak yang paling berperan
dalam zakat produktif ini adalah kreatifitas mustahiq untuk menjadikan zakat
sebagai modal yang terus dikembangkan.
2. Prospek Zakat Produktif
Prospek
ke depan, zakat yang diperoleh dari hasil usaha ini memiliki peluang yang cerah
jika pengelolaannya dilakukan secara baik dan profesional. Pengelolaan itu
dapat dilakukan melalui pengembangan sumber daya mustahiq yang potensial yang
jumlahnya cukup banyak.
Lain
halnya ketika menghadapi mustahiq zakat yang konsumtif, yaitu yang tidak memiliki kemampuan dan keahlian untuk
mengembangkan zakat seperti orang jompo, anak yatim yang masih kecil, orang
dewasa yang cacat atau sakit berat maka zakat untuk mereka ini hanya untuk
membantu kelangsungan hidup mereka karena mereka lebih banyak bersifat pasif.
Bagi
mustahiq zakat yang produktif atau disebut mustahiq aktif, mereka masih berumur
produktif dan memiliki badan yang sehat
maka selayaknya bagi mereka zakat dapat disalurkan secara produktif yaitu
dengan menjadikan zakat sebagai modal usaha. Oleh karena itu diperlukan sikap
pro-aktif dari mustahiq untuk mencurahkan kemampuannya dalam pengembangan modal dari zakat itu.
Menurut
hemat penulis, usaha pengembangan zakat menjadi modal usaha memerlukan sumber
daya manusia (SDM) yang cukup handal, oleh karena itu diperlukan peningkatan
diperlukan upaya untuk meningkatkan SDM (sumber daya manusia) mustahiq dengan
mengadakan pelatihan atau training yang dapat dilakukan oleh badan, seperti
bazis atau pemerintah, sehingga mereka benar-benar memiliki keahlian yang mapan
untuk dapat mengembangkan modal usaha yang didapat dari zakat tersebut.
Selain
itu di masyarakat terdapat banyak keahlian yang dimiliki oleh mereka yang
tergolong mustahiq yang tampaknya diperoleh tanpa melalui latihan khusus
seperti pedagang kaki lima, sopir, pengrajin tangan, tukang kuli batu, dan lain
sebagainya. Jika penyaluran zakat dilakukan dengan baik serta penggunaannya
terbilang optimal, maka hal ini akan dapat meningkatkan taraf ekonomi mereka
yang tergolong lemah untuk selanjutnya diharapkan kehidupan mereka tidak
bergantung kepada zakat.
Untuk
mereka, zakat hanya modal pertama saja selanjutnya mereka tidak lagi sebagai
mustahiq zakat, tapi menjadi orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki).
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya keberadaan zakat produktif itu
dapat dibenarkan selain itu masalah tekni saja, pemberian modal kepada mustahiq
zakat sebagai modal usaha berarti memberikan perhatian kepada para mustahiq
untuk hidup lebih layak, hal ini merupakan ajaran Islam seperti diperkuat oleh
al-Qur’an:
Artinya:
“Berinfaklah untuk orang-orang faqir yang terikat oleh jihad di jalan Allah,
mereka tidak mampu berusaha di bumi. Orang yang tidak tahu, menyangka mereka
adalah orang yang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu melihat
mereka dengan melihat sifat-sifatnya. Mereka tidak meminta-minta kepada orang secara medesak. Dan apa yang
kamu nafkahkan di jalan Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS.
al-Baqarah: 273)
Hikmah
yang dapat dipetik dari praktek zakat produktif di antaranya agar terjadi
komunikasi yang dapat menghilangkan menara gading antara si miskin dengan si
kaya. Efek yang ditimbulkannya menjadikan si muzakki (pemberi zakat) akan
merasa puas dan senang karena zakatnya bisa berkembang, di sisi lain menjadikan
mustahiq tidak menjadi mental pengemis dan tersalurkan kemampuannya.
Dengan
demikian terjadi hubungan yang signifikan antara keberadaan zakat
produktif dengan peningkatan sumber daya
manusia. Dan yang terpenting lagi, dengan zakat produktif tidak terjadi sikap
pembiaran terhadap fakir miskin dan telah menyelamatkan bahaya dari kefakiran
yang dapat menjadikan seorang menjadi kafir,
sebagaimana diperkuat oleh Hadits Nabi:
Artinya:
“Kefakiran (kemiskinan) berakibat kepada kekafiran.”
D. PENYALURAN ZAKAT UNTUK PEMBANGUNAN
MESJID
Penjelasan
tentang kelompok orang yang berhak menerima sudah cukup jelas diinformasikan
oleh al-Qur’an. Secara tekstual istilah mesjid tidak terdapat dalam kelompok
yang delapan tersebut, inilah yang menimbulkan permasalahan apakah zakat dapat
disalurkan untuk pembangunan dan pemugaran mesjid. Uraian berikut mencoba untuk
menjelaskan hukum penyaluran kepada sesuatu yang diluar asnaf (kelompok
mustahiq zakat tersebut.
1. Kelompok Mustahiq Zakat
Jumhur
ulama sepakat bahwa kelompok mustahiq zakat itu terdiri delapan asnaf.
Kesepakatan tersebut didasari oleh ayat al-Qur’an surat al-Taubat ayat 60 sebagai berikut:
Artinya:
“Shadaqah adalah hak untuk faqir, miskin, amil zakat, muallaf, budak, orang
yang terlilit hutang, di jalan Allah, dan orang yang dalam perjalanan
(musafir). Sebagai kewajiban yang datang dari Allah dan Allah Maha
Mengetahui dan Maha Bijaksana.” (QS.
at-Taubah: 60)
Delapan
kelompok (mustahiq) zakat sebagaimana tercantum dalam ayat di atas,
penjelasannya sebagai berikut.
Fuqara,
yaitu Orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan yang dapat memenuhi
kebutuhannya sehari-hari. Orang yang termasuk kelompok ini tidak memiliki suami
(isteri), ayah, ibu, dan anak yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Masakin,
yaitu Orang yang memiliki pekerjaan, tapi hasilnya tidak dapat memenuhi
kebutuhannya,
Amilin
yaitu Yaitu orang yang bekerja memungut
zakat (panitia zakat).
Muallaf,
pengertiannya dapat berarti orang yang baru masuk Islam sedangkan imannya masih
lemah, maka untuk menguatkannya perlu diyakinkan dengan zakat. Atau orang kafir
yang berniat untuk masuk Islam, tapi masih tipis keimanannya, maka ia dapat
diberi zakat supaya niat masuk Islamnya menjadi kuat.
Budak,
yaitu orang yang hidupnya tidak merdeka,
dikuasai oleh tuannya. Orang yang terlilit hutang, yaitu oraang yang
memiliki tunggakan hutang kepada orang lain baik hutang tersebut untuk kepentingan pribadinya atau hutang
karena untuk biaya kebajikan. Orang yang berjuang di jalan Allah, yaitu para
tentara yang berperang melawan serangan orang kafir.
Orang
yang sedang dalam perjalanan. Yaitu orang yang sedang melakukan sebuah
perjalanan dengan tujuan yang baik bukan untuk kemaksiatan, seperti pelajar
atau mahasiswa yang belajar di luar negeri.
2. Hukum Zakat untuk Pembangunan Mesjid
Seperti terungkap di muka, permasalahan
yang muncul adalah, apa hukum zakat untuk pembangunan mesjid? Sebab dalam surat
at-Taubah ayat 60, sebagaimana dijelaskan di atas, pembangunan dan pemugaran
mesjid tidak termasuk ke dalam mustahiq zakat. Oleh karena itu, untuk menjawab
pertanyaan di atas diperlukan ijtihad yang dapat menentukan pintu masuk kepada
kelompok mana zakat untuk pembangunan mesjid itu?
Di antara ke-delapan macam mustahiq
zakat seperti tersebut di atas, terdapat mustahiq yang disebut sabilillah yang
secara bahasa artinya jalan Allah. Para ulama dalam memahami kata sabilillah
tidak hanya terbatas pada makna hakiki yaitu para pejuang yang berperang
menegakkan agama Allah tapi memahaminya juga dari makna majazinya
yang bersifat umum. Terkait dengan makna yang tersebut terakhir ini,
para ulama memiliki penafsiran yang beraneka ragam.
Menurut Mahmud Syaltut, istilah
sabilillah memiliki arti kemaslahatan ummat yang manfaatnya kembali kepada kaum
muslimin seperti pembangunan mesjid, rumah sakit, perlengkapan pendidikan, dan
sebagainya. Memperkuat pendapatnya, Syaltut mengutip pendapat Imam Al-Razi yang
mengatakan bahwa kata sabilillah tidak terbatas pada arti tentara.
Syaltut juga mengutip pendapat
al-Qaffal yang berpendapat bahwa boleh menyalurkan zakat ke semua bentuk
kebaikan seperti untuk mengurus mayat, membangun benteng, dan pembangunan
mesjid. Tetapi Syaltut memberikan catatan bahwa zakat yang diperbolehkan untuk
pembangunan mesjid dengan syarat mesjid itu hanya satu-satunya di suatu desa,
atau untuk pembangunan mesjid baru karena mesjid yang tersedia tidak cukup lagi untuk menampung jamaah.
Menurut Syaltut, arti sabilillah dapat
disimpulkan menyangkut pemeliharaan posisi materi dan spritual suatu bangsa
termasuk di dalamnya mesjid. Menurut al-Maraghi, istilah sabilillah adalah
semua perkara yang berhubungan dengan kemaslahatan ummat dapat dimasukkan ke
dalam sabilillah, seperti perkara yang menyangkut masalah agama dan
pemerintahan, seperti masalah pelayanan haji.
M. Rasyid Ridha berpendapat bahwa,
istilah sabilillah mencakup semua kepentingan syariah secara umum yang
berkenaan dengan masalah agama dan negara dan yang terpenting, untuk persiapan
kepentingan perang dengan membeli persenjataan. Menurut Yusuf Qardhawi, istilah
sabilillah memiliki arti yang lentur, yaitu semua sarana yang dapat
dipergunakan untuk memperjuangkan kemajuan ummat Islam dan melawan semua bentuk
serangan orang-orang kafir, semuanya termasuk sabilillah.
Lebih rinci, beliau menyebutkan usaha
pembebasan Islam dari kekuasaan dengan memerangi kaum kafir, sarana pendidikan dan pengajaran
serta lembaga da’wah, surat kabar
islami, penerbitan buku-buku islami dan para da’i,
semua yang disebutkan di atas dapat dimasukkan ke dalam cakupan makna
sabilillah.
Sayyid Sabiq berpendapat, bahwa istilah
sabilillah adalah semua jalan yang dapat menyampaikan kepada keridhaan Allah,
baik berupa ilmu atau amal. Mencermati pendapat-pendapat di atas, maka dapatlah
disimpulkan bahwa pengertian sabilillah secara umum (mazaj) dapat mencakup
semua jalan kebaikan yang manfaatnya kembali kepada ummat Islam termasuk di
dalamya adalah masjid, penyebutan sarana ibadah
yang disebutkan terakhir ini secara jelas disebut oleh Mahmud Syaltut
pada point pertama.
Pengertian mazaj semacam ini dalam
hukum Islam dapat ditolelir selama tidak bertentangan dengan kaidah agama.
Keberadaan mesjid dalam masyarakat memiliki peranan strategis, fungsinya bukan
hanya sebagai tempat sholat, tapi dapat dijadikan pusat pendidikan, da’wah,
serta sosial kemasyarakatan dalam rangka menegakkan agama Allah swt. Dengan
demikian, zakat boleh disalurkan untuk
pembangunan mesjid karena mesjid termasuk sabilillah yang mengandung manfaat
bagi umat Islam.
Selanjutnya menurut hemat penulis,
skala prioritas harus diutamakan. Terlebih sekarang ini, keberadaan mesjid di
masyarakat begitu banyak dan pesat, sehingga jarak mesjid sangat berdekatan dan
relatif jamaahnya di beberapa mesjid ditemukan sangat sedikit.
Mengingat hal itu, penulis sejalan
dengan Mahmud Syaltut yang berpendapat bahwa penyaluran zakat untuk mesjid itu
harus diutamakan untuk mesjid baru yang dibangun karena mesjid yang berdekatan
sudah tidak mampu lagi untuk menampung jamaah atau untuk agenda perluasan
mesjid karena daya tampungnya tidak lagi
mencukupi untuk menampung jamaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar