Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Kamis, 11 Juli 2019

MODUL FIQIH KB 1 PPG PAI




MODUL FIQIH KB 1 PPG PAI

URAIAN MATERI

Saudara-saudara sekalian,  pada bahan kegiatan belajar akan dibahas empat materi  pokok tentang zakat yang diperselisihkan hukumnya. Pada bagian pertama akan dibahas tentang hukum zakat tanah yang disewaka. Pada bagian kedua akan dibahas tentang hukum zakat profesi. Pada bagian ketiga akan dibahas tetang hukum zakat produktif dan pada bagian keempat akan dibahas tentang hukum zakat untuk pembangunan mesjid. Kepada saudara, diharapkan untuk dapat membaca dan memahami materi  kegiatan  belajar  dengan sebaik-baiknya baik agar tujuan  pembelajaranyang diharapkan dapat dicapai secara optimal.  

A.  ZAKAT HASIL TANAH YANG  DISEWAKAN 

Mencermati judul di atas setidaknya terdapat pertanyaan dalam benak saudara, siapa yang wajib mengeluarkan zakat dari tanah yang disewakan, apakah si pemilik tanah atau pihak penyewa tanah. Sepintas jawabannya sudah dapat ditentukan dari judul itu yaitu orang yang menyewa tanah karena dialah orang yang mendapatkan secara langsung dari hasil tanah tersebut. 

Namun demikian, ditemukan  pendapat bahwa si pemilik tanahlah yang terkena kewajiban zakatnya karana tanpa tanah tidak mungkin didapati hasil tanaman.  Terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya dikembalikan kepada kesepakatan antara dua belah pihak sebelum transaksi dilakukan, berikut bahasannya. 

1.   Pengertian

Kata zakat berasal dari bahasa Arab, secara bahasa artinya suci, tumbuh berkembang dan berkah. Makna zakat secara bahasa ini  mencerminkan sifat zakat yang dapat mensucikan harta dan jiwa serta mengandung nilai positif yang dapat dikembangkan berupa kebaikan bagi si muzakki dan kemashlahatan ekonomi bagi para mustahiq.  Sejalan dengan firman Allah swt:



Artinya: “Sesunguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan dirinya.” (QS. alSyams: 9) 

Menurut syara’, para ulama mendefinisikannya dengan “Harta tertentu yang wajib dikeluarkan sebagiannya kepada para mustahiq.” Sedangkan Sayyid Sabiq mendefinisikan, ”Zakat adalah suatu nama hak Allah yang harus dikeluarkan oleh manusia kepada fuqara.” Selanjutnya Sabiq menambahkan, “Dinamakan zakat karena mengharap berkah, pensucian diri, dan bertambahnya kebaikan.” Hal ini sejalan dengan firman Allah swt:




Artinya: “Ambilah dari harta mereka shadaqah yang dapat  membersihkan harta  dan mensucikan jiwa mereka.” ( QS. At-Taubah: 103)

Dari dua macam pengertian zakat seperti diungkapan di atas dapat disimpulkan bahwa zakat adalah  kewajiban seseorang untuk mengeluarkan sebagian harta miliknya  yang sudah memenuhi syarat untuk dizakati kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq) Zakat sering juga disebut shadaqah ( ٌ )صدقة ٌ karena tindakan itu adalah tindakan yang benar (shidq).

Istilah zakat dalam al-Qur'an sering sekali penyebutannya digandengkan dengan kata sholat, ditemukan sebanyak 82 ayat. Penyelarasan ini menunjukkan bahwa zakat merupakan rukun Islam yang sangat  penting setelah perkara sholat.
 
2.   Pengertian dan Dasar Hukum-Nya 

Sebelum menjelaskan pengertiannya, penting  rasanya untuk mengedepankan beberapa komponen yang  harus terpenuhi  dalam transaksi  zakat hasil tanah yang disewakan.

a.    Sebidang tanah  yang disewakan

b. Pemilik tanah (Orang yang menyewakan tanahnya kepada orang lain),
c.   Penyewa tanah (sekaligus penggarap tanah yang disewakan).

Berdasar kepada beberapa ketentuan di atas, dalam  penyewaan tanah, sedikitnya terdapat dua pihak yang terlibat dalam transaksi penyewaan tanah yaitu pemilik tanah dan penyewa, yang keduanya bersepakat mengadakan transaksi. Zakat hasil tanah yang disewakan, dapat  diartikan sebagai zakat hasil tanah yang langsung dihasilkan oleh tanah tersebut berupa tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan buah. Hasil dimaksud bisa berupa makanan pokok, seperti padi, korma, gandum atau buah-buahan, seperti, jeruk, anggur, semangka, atau berupa sayur-sayuran, seperti ketimun, kacang, bawang, dan lain sebagainya.

Kewajiban untuk mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan didasari oleh ayat berikut ini:



Artinya: “Dan Dialah yang telah menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam buahnya, zaitun dan delima yang serupa bentuk dan warnanya dan tidak sama rasanya. Makanlah buah-buah tersebut jika panen dan keluarkanlah haknya (zakatnya) ketika panen. Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang berlebihlebihan.” (QS. al-An’am: 141)

Sedangkan dasar dari Hadits mengenai wajibnya zakat hasil tanah:





Artinya: “Tanaman yang tumbuh diari oleh air yang menggunakan alat, zakatnya sebanyak lima persen. Sedangkan tanaman yang diairi oleh air hujan sebanyak sepuluh persen.” 
Jika dicermati, mengapa hasil tanah yang diairi oleh alat lebih kecil dari pada yang diairi oleh air hujan? Hal ini karena yang memakai alat itu membutuhkan biaya, sedangkan yang memakai air hujan tidak membutuhkan biaya. Dengan demikian, terdapat keadilan di dalamnya.

Zakat hasil tanah wajib dikeluarkan zakatnya setiap panen, tidak berlaku untuknya  istilah  syarat haul (genap satu tahun) di dalamnya. Jika satu tahun itu dua kali panen, maka zakatnyapun dua kali. Sedangkan ketentuan nisabnya menurut M. Syaltut, baik sedikit atau banyak hasil panennya tetap dizakatkan karena menurutnya agar tumbuh selalu sikap solidaritas sosial sebagai hikmah diwajibkannya zakat.

3.   Siapa yang Wajib Mengeluarkan Zakatnya

Ketentuan bahwa zakat hasil tanah yang disewakan wajib dikeluarkan zakatnya tidak memunculkan masalah jika tanah itu ditanami oleh pemiliknya langsung. Persoalannya jika tanah itu disewakan kepada orang lain, maka hal ini akan memunculkan masalah, siapa yang wajib mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan? Apakah si pemilik tanah atau si penyewa tanah (yang bercocok tanam).

Untuk menjawab kasus hukum ini tidak terdapat kata sepakat di kalangan para ulama mereka berselisih dalam menetapkan hukumnya seperti diuraikan berikut ini.

a.  Menurut Jumhur ulama, bahwa yang wajib mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan  adalah pihak penyewa. Mereka  beralasan karena yang dikeluarkan zakatnya adalah hasil tanahnya bukan tanahnya hal ini diperkuat oleh pendapat Mahmud Syaltut.



Artinya:“Pendapat yang kami pegang bahwasanya kewajiban zakat ada pada pihak penyewa yang langsung menggarap pertanian. Dan zakat merupakan hak pertanian sebagai rasa syukur atas ni’mat berhasilnya pertanian. Dengan demikian penyewalah yang dibebani untuk mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan.” 

b.  Menurut pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya bahwa  pemilik tanahlah yang wajib mengeluarkan zakatnya karena dari sebab tanah itulah ada hasil yang diperoleh., tanpa tanah tak akan dapat dihasilkan apa-apa.

c.   Imam Malik, Syafi’i, Imam At-Tsauri, Imam Ibnu Mubarak dan Imam Ibnu Abu Tsaur berpendapat, penyewa tanahlah yang wajib membayar zakat, pendapat ini sejalan dengan pendapat point pertama. Mencermati perselisihan pendapat tentang zakat hasil tanah yang disewakan sebagaimana tersebut di atas dapat dikelompokkan perbedaannya menjadi dua kelompok dengan alasannya  masing-masing. 

Pendapat pertama adalah ulama yang menetapkan bahwa si penyewa dalam hal ini orang yang menggarap tanah yang wajib mengeluarkan zakat karena dialah yang secara langsung memperoleh hasil dar tanah tersebut. Sedangkan  pendapat kedua menetapkan bahwa si pemilik tanahlah yang wajib mengeluarkan zakatnya karena si pemilik tanah tersebut mendapatkan uang sewa.

Jika diperbandingk alasan dari kedua kelompok tersebut, maka pendapat pertama memiliki argumentasi yang lebih kuat karena hal ini diperkuat oleh firman Allah swt dalam surat al-An’am ayat 141 seperti tersebut di atas yang menyebutkan bahwa  hasil tanah yang wajib dikeluarkan zakatnya bukan tanahnya demikian juga dengan yang dimaksudkan oleh Hadits Rosulullah sebagaimana tersebut di atas. Berdasarkan kepada dalildali tersebut,  fuqaha telah sepakat bahwa yang dizakatkan adalah hasil tanah bukan tanahnya maka sebidang tanah yang tidak ditanami tidak wajib di keluarkan zakatnya.

Dengan demikian, tanah yang di sewakan jika dilihat dari hasilnya itu adalah milik sempurna pihak si penyewa. Maka tidaklah tepat alasan yang diajukan oleh kelompok kedua yang berpendapat bahwa penyewalah yang wajib mengeluarkan zakatnya. Terkait dengan status tanah yang disewakan itu tetap milik orang yang menyewakan di mana pada status tersebut  di sisi lain terdapat kewajiban untuk mengeluarkan kewajiban pajak.

Jika berpegang kepada pendapat pertama seperti dijelaskan di atas maka sebenarnya dengan status tersebut terjadi pembagian kewajiban yang cukup merata karena kedua belah pihak memiliki andil, yakni si penyewa wajib membayar zakat dan di sisi lain si pemilik tanah membayar pajak tanah, maka pendapat pertama ini  dipandang lebih adil dan tidak memberatkan kedua-belah pihak.

Solusi lain yang juga dapat di pandang bijak dalam pemerataan pengeluarkan zakat adalah pendapat yang ditawarkan oleh Abu Zahra. Menurutnya, kedua-duanya baik si pemilik tanah maupun si penyewa sama-sama wajib mengeluarkan zakat. Hal ini demi memenuhi keadilan dalam pemungutan zakat, dengan ketentuan pihak penyewa mengeluarkan zakat tanaman setelah dikurangi harga sewa yang ia bayar kepada pemilik tanah.

Dan si pemilik tanah mengeluarkan zakat atas dasar harga sewa yang ia terima dari si penyewa yang berarti ia mengeluarkan zakat uang, dengan demikian kedua-duanya terkena beban untuk mengeluarkan zakat. Solusi lain yang  dapat dipertimbangkan adalah jika  memang kedua belah pihak sebelum transaksi telah bersepakat yang  bertujuan agar keduanya tidak terlalu terbebani, maka  zakat itu dapat dilakukan secara patungan antara kedua belah pihak berdasarkan kesepakatan itu.    

B.  ZAKAT HASIL JASA (PROFESI) 

Terhadap hukum zakat profesi, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Hal ini antara lain dikernakan dasar hukum tentang zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha tersebut masih bersifat zhan (dugaan), berikut bahasannya. 

1.   Pengertian dan Hukumnya

Zakat hasil jasa (profesi) atau bahasa Arabnya


Kata profesi menurut kamus besar Bahasa Indonesia mengandung arti sebidang pekerjaan yang dilandasi oleh pendidikan keahlian berupa ketrampilan dan kejuruan tertentu. Berdasar pengertian profesi di atas, maka  zakat profesi dapat dimaknai sebagai  zakat pekerjaan yang sudah menjadi keahlian seseorang yang diperoleh melalui proses pendidikan seperti dokter, dosen, pengacara, pilot, dan guru, semua contoh pekerjaan ini  dapat dikatakan profesi karena keahliannya diperoleh melalui proses pendidikan yang cukup lama.

Tapi jika dikaitkan dengan keumuman ayat al-Qur’an yang dijadikan dasar bagi zakat profesi yaitu QS. al-Baqarah. 267, nampaknya pekerjaan yang termasuk profesi itu bersifat umum, tidak terbatas oleh keahlian yang dipeoleh dari pendidikan tapi semua jenis pekerjaan yang baik, ayat tersebut berbunyi:





Artinya: “Nafkahkanlah dari hasil usahamu yang baik.” (QS. al-Baqarah: 267) 

Dilihat dari ketergantungannya, profesi bisa dikelompokkan menjadi dua bagian.  Pertama, pekerja ahli yang  berdiri sendiri, tidak terikat oleh pemerintah, seperti dokter swasta, insinyur, pengacara, penjahit, tukang batu, guru, dosen, wartawan dan konsultan.  Kedua, profesi yang terkait dengan pemerintah atau yayasan atau badan usaha yang menerima gaji setiap bulan.

Menurut sebagian ulama, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Muawiyah, kedua kelompok profesi di atas, baik yang wiraswasta atau pegawai yang terikat oleh suatu instansi, mereka dapat terkena kewajiban mengeluarkan zakat profesinya ketika menerima upah/gaji sebesar seperempat puluhnya. Jika rutinitas itu dilakukan maka  tidak ada lagi baginya kewajiban untuk mengeluarkan zakat pada akhir tahun.

Dilihat dari aspek penerimaannya, macam-macam profesi seperti tersebut di atas dapat dikategorikan menjadi dua. Pertama, hasil usaha yang teratur dan pasti setiap bulannya, yang termasuk ke dalam kelompok pertama ini  seperti upah pekerja dan gaji pegawai. Kedua, hasil yang tidak tetap dan dapat dipastikan seperti kontraktor, pengacara, royaliti pengarang, konsultan, dan artis.

Dengan demikian, zakat profesi meliputi semua pekerjaan yang halal dan baik, zakatnya dapat dikeluarkan sesuai dengan waktu perolehannya setelah diambil terlebih dahulu untuk kewajiban biaya terhadap keluarga dan biaya operasional. Seseorang dengan profesinya yang berpenghasilan pas-pasan bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bukanlah termasuk profesi yang wajib dikeluarkan zakatnya, bahkan mereka tergolong orang yang berhak menerima zakat (mustahiq), seperti tukang beca.
 
2.   Cara Mengeluarkan dan Nisabnya

Berikut ini akan dijelaskan secara singkat cara mengeluarkan zakat profesi seperti dokter, pengacara, pilot, dosen, artis dan sebagainya. Semua pekerja ini dapat mengeluarkan zakat profesinya dengan cara ta’jil, yaitu mempercepat ketika mereka menerima honor atau gaji. Berapa nisab (batas minimal) dan prosentase yang harus dikeluarkan? Terjadi perbedaan pendapat para ulama terhadap penetapan nisabnya:
a.  Abdurrahman Hasan, Imam Abu Zahra, dan Abdul Wahab Khallaf, mereka berpendapat bahwa nisab zakat profesi sekurang-kurangnya lima wasaq atau 300 sha sekitar 930 liter atau 653 Kg. sehingga prosentase zakatnya disamakan (diqiyaskan) dengan zakat pertanian yang pengairannya menggunakan alat (mesin), yaitu sebesar 5 % setiap mendapatkan gaji atau honor.

b.  Jumhur ulama berijtihad bahwa nisab zakat profesi adalah seharga emas 93,6 gram emas murni yang diambil dari penghasilan bersih setelah dikeluarkan seluruh biaya hidup. Kelebihan inilah yang dihitung selama satu tahun, lalu dikeluarkan zakatnya sebanyak 2,5 % setiap bulan. Prosenatase ini diqiyaskan dengan zakat mata uang yang telah ditetapkan oleh Hadits.

c.   Terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa zakat profesi disamakan dengan zakat rikaz (barang temuan) maka tidak ada syarat nisab dan prosentasenya 20 persen pada saat menerimanya.

 
3.   Contoh Kasus

Ali adalah seorang dosen PTN golongan IV/a dengan masa kerja selama 20 tahun. Ia memiliki seorang istri dan tiga anak. Penghasilannya tiap bulan pada tahun 2015 sebagai berikut:

a.  Gaji dari Negara   Rp. 4.300.000
b.  Honor dari beberapa PTS  Rp. 2.500.000
c.   Honor dari yang lain  Rp. 2.000.000
       Pengeluaran setiap bulan:
a. Keperluan keluarga   Rp. 3.000.000
b. Angsuran kredit rumah  Rp.  1.250.000
c. Dan lain-lain   Rp.  1.500.000
       Kalkulasi Penerimaan          Rp. 7.800.000
       Pengeluaran         Rp. 5.750.000
       Sisa                      Rp. 2.050.000 

Jika sisa di atas dikalikan setahun, maka berjumlah Rp. 24.600.000 yang kemudian didepositokan di bank dengan bunga keuntungan 18 % setahun. Maka perhitungan zakatnya ialah 2,5 % x 24.600.000 = Rp. 615.000. Ternyata zakatnya setahun sangat ringan, jika ia ingin mengeluarkan setiap bulan, maka 615.000 : 12 = +  Rp. 51.250  zakat yang ia harus keluarkan setiap bulannya.

Uraian di atas merupakan konsep zakat profesi bagi mendukung adanya zakat profesi. Namun dengan demikian, terdapat  juga ulama yang mengatakan bahwa zakat profesi itu tidak ada dengan alasan karena sulit menentukan jenis profesi dan nisabnya. Mereka yang menolak zakat profesi tersebut karena mereka memasukakan zakat profesi kepada zakat harta yang harus dibayar jika sudah sempurna satu tahun (haul). Menurut hemat penulis, pada intinya mengeluarkan zakat adalah manefestasi dari keislaman seseorang sebagai rasa syukur kepada Allah swt atas nikmat yang telah diterimanaya.

Di antara nikmat tersebut adalah profesi. Maka ijtihad yang menetapkan adanya zakat profesi di mana belum pernah ada pada zaman klasik Islam perlu direspons secara positif. Hukum Islam selalu relevan dengan perkembangan zaman. Sekarang adalah zaman yang syarat dengan profesi (keahlian)  yang dapat menghasilkan uang.

Maka adanya zakat profesi sebagai hasil ijtihad sejalan dengan prinsip hukum Islam yang memberikan pintu kemudahan, dalam hal ini penunaian zakat secara ta’jil (disegerakan) dapat menghilangkan kealfaan seseorang dalam penunaian zakat.    

C.  ZAKAT PRODUKTIF 

Kemunculan istiah di atas dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk “kritik” terhadap penyaluran zakat kepada  mustahiq yang pada umumnya bersifat konsumtif. Zakat yang diterima oleh mustahiq yang tersebut terakhir ini biasanya bersifat konvensional yaitu sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang sifatnya “menghabiskan”.

Namun di sisi lain terdapat mustahiq yang keberadaannya masih produktif baik dari tenaga, ilmu dan ketrampilan. Maka untuk kriteria mustahiq yang tersebut terakhir ini  zakat  dapat diarahkan menjadi modal usaha untuk pengembangan kemampuan yang dimilikinya. Permasalahannya yang kemuidan muncul bagaimana hukum penyaluran zakat untuk modal usaha, berikut bahasannya. 

1.  Gagasan Zakat Produktif 

Zakat merupakan ibadah maal (materi) yang memiliki fungsi strategis untuk membangun perekonomian ummat Islam. Kedukukannya sebagai salah satu rukun Islam menharuskan ummat Islam untuk mengimani dan melaksanakannya, sesekali orang yang menganggap zakat bukan rukun Islam, maka ia dapat dianggap kafir dan orang yang tidak berzakat padahal telah diwajibkan maka ia telah melakukan perbuatan dosa karena telah menolak perintah Allah dan  telah  mengabaikan hak para mustahiq.

Oleh karena itu, penunaian zakat bukan sekedar untuk menggugurkan kewajiban tapi berdampak positif kepada kehidupan sosial karena keberadaannya dapat mensejahterkan kehidupan bagi orang yang tidak mampu. 

Bentuk dan macam zakat dalam Islam dengan melihat mustahiqnya dapat dibagi menjadi empat. Pertama: Konsumtif tradisional, seperti zakat fitrah. Kedua, konsumtif kreatif, contohnya bea siswa. Ketiga Produktif tradisional, seperti pemberian ternak dan alat pertukangan. Dan keempat produktif kreatif , yaitu zakat untuk modal usaha.

Bentuk mustahiq zakat pada point 2 sampai point empat keberadaan zakat bagi penrimanya berpotensi untuk membangun dan  meningkatkan perekonomian. Keberadaannya dapat mengentaskan kemiskinan dan kemelaratan..  Ide untuk mengembangkan zakat sebagai modal usaha muncul ketika okus perhatian dilakukan secara seksama bahwa para fuqara dan masakin tidak semuanya orang-orang  yang memiliki keterbatasan kekuatan fisik namun di antara mereka terdapat banyak yang memiliki kesehatan fisik dan keahlian yang dapat dikembangkan, tapi mereka tidak memiliki modal, sehingga keluar ide untuk memberikan zakat kepada mereka untuk bisa dijadikan sebagai modal usaha yang dapat meningkatkan status ekonominya dan sekaligus mengembangkan keahlian yang mereka miliki. Maka pihak yang paling berperan dalam zakat produktif ini adalah kreatifitas mustahiq untuk menjadikan zakat sebagai modal yang terus dikembangkan. 

2.  Prospek Zakat Produktif

Prospek ke depan, zakat yang diperoleh dari hasil usaha ini memiliki peluang yang cerah jika pengelolaannya dilakukan secara baik dan profesional. Pengelolaan itu dapat dilakukan melalui pengembangan sumber daya mustahiq yang potensial yang jumlahnya cukup banyak.

Lain halnya ketika menghadapi mustahiq zakat yang konsumtif, yaitu yang  tidak memiliki kemampuan dan keahlian untuk mengembangkan zakat seperti orang jompo, anak yatim yang masih kecil, orang dewasa yang cacat atau sakit berat maka zakat untuk mereka ini hanya untuk membantu kelangsungan hidup mereka karena mereka lebih banyak bersifat pasif. 

Bagi mustahiq zakat yang produktif atau disebut mustahiq aktif, mereka masih berumur produktif dan  memiliki badan yang sehat maka selayaknya bagi mereka zakat dapat disalurkan secara produktif yaitu dengan menjadikan zakat sebagai modal usaha. Oleh karena itu diperlukan sikap pro-aktif dari mustahiq untuk mencurahkan kemampuannya dalam pengembangan  modal dari zakat itu. 

Menurut hemat penulis, usaha pengembangan zakat menjadi modal usaha memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang cukup handal, oleh karena itu diperlukan peningkatan diperlukan upaya untuk meningkatkan SDM (sumber daya manusia) mustahiq dengan mengadakan pelatihan atau training yang dapat dilakukan oleh badan, seperti bazis atau pemerintah, sehingga mereka benar-benar memiliki keahlian yang mapan untuk dapat mengembangkan modal usaha yang didapat dari zakat tersebut.

Selain itu di masyarakat terdapat banyak keahlian yang dimiliki oleh mereka yang tergolong mustahiq yang tampaknya diperoleh tanpa melalui latihan khusus seperti pedagang kaki lima, sopir, pengrajin tangan, tukang kuli batu, dan lain sebagainya. Jika penyaluran zakat dilakukan dengan baik serta penggunaannya terbilang optimal, maka hal ini akan dapat meningkatkan taraf ekonomi mereka yang tergolong lemah untuk selanjutnya diharapkan kehidupan mereka tidak bergantung kepada zakat.

Untuk mereka, zakat hanya modal pertama saja selanjutnya mereka tidak lagi sebagai mustahiq zakat, tapi menjadi orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki). Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya keberadaan zakat produktif itu dapat dibenarkan selain itu masalah tekni saja, pemberian modal kepada mustahiq zakat sebagai modal usaha berarti memberikan perhatian kepada para mustahiq untuk hidup lebih layak,  hal ini  merupakan ajaran Islam seperti diperkuat oleh al-Qur’an:

Artinya: “Berinfaklah untuk orang-orang faqir yang terikat oleh jihad di jalan Allah, mereka tidak mampu berusaha di bumi. Orang yang tidak tahu, menyangka mereka adalah orang yang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu melihat mereka dengan melihat sifat-sifatnya. Mereka tidak meminta-minta  kepada orang secara medesak. Dan apa yang kamu nafkahkan di jalan Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 273) 

Hikmah yang dapat dipetik dari praktek zakat produktif di antaranya agar terjadi komunikasi yang dapat menghilangkan menara gading antara si miskin dengan si kaya. Efek yang ditimbulkannya menjadikan si muzakki (pemberi zakat) akan merasa puas dan senang karena zakatnya bisa berkembang, di sisi lain menjadikan mustahiq tidak menjadi mental pengemis dan tersalurkan kemampuannya.

Dengan demikian terjadi hubungan yang signifikan antara keberadaan zakat produktif  dengan peningkatan sumber daya manusia. Dan yang terpenting lagi, dengan zakat produktif tidak terjadi sikap pembiaran terhadap fakir miskin dan telah menyelamatkan bahaya dari kefakiran yang dapat menjadikan seorang menjadi kafir,  sebagaimana diperkuat oleh Hadits Nabi:


Artinya: “Kefakiran (kemiskinan) berakibat kepada kekafiran.”  
          
       D. PENYALURAN ZAKAT UNTUK PEMBANGUNAN MESJID

Penjelasan tentang kelompok orang yang berhak menerima sudah cukup jelas diinformasikan oleh al-Qur’an. Secara tekstual istilah mesjid tidak terdapat dalam kelompok yang delapan tersebut, inilah yang menimbulkan permasalahan apakah zakat dapat disalurkan untuk pembangunan dan pemugaran mesjid. Uraian berikut mencoba untuk menjelaskan hukum penyaluran kepada sesuatu yang diluar asnaf (kelompok mustahiq zakat tersebut.
  
1.  Kelompok Mustahiq Zakat 

Jumhur ulama sepakat bahwa kelompok mustahiq zakat itu terdiri delapan asnaf. Kesepakatan tersebut didasari oleh ayat al-Qur’an surat al-Taubat  ayat 60 sebagai berikut:



Artinya: “Shadaqah adalah hak untuk faqir, miskin, amil zakat, muallaf, budak, orang yang terlilit hutang, di jalan Allah, dan orang yang dalam perjalanan (musafir). Sebagai kewajiban yang datang dari Allah dan Allah Maha Mengetahui  dan Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah: 60) 

Delapan kelompok (mustahiq) zakat sebagaimana tercantum dalam ayat di atas, penjelasannya sebagai berikut.

Fuqara, yaitu Orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Orang yang termasuk kelompok ini tidak memiliki suami (isteri), ayah, ibu, dan anak yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Masakin, yaitu Orang yang memiliki pekerjaan, tapi hasilnya tidak dapat memenuhi kebutuhannya,

Amilin yaitu Yaitu orang yang bekerja  memungut zakat (panitia zakat).

Muallaf, pengertiannya dapat berarti orang yang baru masuk Islam sedangkan imannya masih lemah, maka untuk menguatkannya perlu diyakinkan dengan zakat. Atau orang kafir yang berniat untuk masuk Islam, tapi masih tipis keimanannya, maka ia dapat diberi zakat supaya niat masuk Islamnya menjadi kuat.

Budak, yaitu orang yang hidupnya tidak merdeka,  dikuasai oleh tuannya. Orang yang terlilit hutang, yaitu oraang yang memiliki tunggakan hutang kepada orang lain baik hutang tersebut  untuk kepentingan pribadinya atau hutang karena untuk biaya kebajikan. Orang yang berjuang di jalan Allah, yaitu para tentara yang berperang melawan serangan orang kafir. 

Orang yang sedang dalam perjalanan. Yaitu orang yang sedang melakukan sebuah perjalanan dengan tujuan yang baik bukan untuk kemaksiatan, seperti pelajar atau mahasiswa yang belajar di luar negeri.

    2.  Hukum Zakat untuk Pembangunan Mesjid

Seperti terungkap di muka, permasalahan yang muncul adalah, apa hukum zakat untuk pembangunan mesjid? Sebab dalam surat at-Taubah ayat 60, sebagaimana dijelaskan di atas, pembangunan dan pemugaran mesjid tidak termasuk ke dalam mustahiq zakat. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan di atas diperlukan ijtihad yang dapat menentukan pintu masuk kepada kelompok mana zakat untuk pembangunan mesjid itu?

Di antara ke-delapan macam mustahiq zakat seperti tersebut di atas, terdapat mustahiq yang disebut sabilillah yang secara bahasa artinya jalan Allah. Para ulama dalam memahami kata sabilillah tidak hanya terbatas pada makna hakiki yaitu para pejuang yang berperang menegakkan agama Allah tapi memahaminya juga dari makna  majazinya  yang bersifat umum. Terkait dengan makna yang tersebut terakhir ini, para ulama memiliki penafsiran yang beraneka ragam. 

Menurut Mahmud Syaltut, istilah sabilillah memiliki arti kemaslahatan ummat yang manfaatnya kembali kepada kaum muslimin seperti pembangunan mesjid, rumah sakit, perlengkapan pendidikan, dan sebagainya. Memperkuat pendapatnya, Syaltut mengutip pendapat Imam Al-Razi yang mengatakan bahwa kata sabilillah tidak terbatas pada arti tentara.

Syaltut juga mengutip pendapat al-Qaffal yang berpendapat bahwa boleh menyalurkan zakat ke semua bentuk kebaikan seperti untuk mengurus mayat, membangun benteng, dan pembangunan mesjid. Tetapi Syaltut memberikan catatan bahwa zakat yang diperbolehkan untuk pembangunan mesjid dengan syarat mesjid itu hanya satu-satunya di suatu desa, atau untuk pembangunan mesjid baru karena mesjid yang tersedia  tidak cukup lagi untuk menampung jamaah.

Menurut Syaltut, arti sabilillah dapat disimpulkan menyangkut pemeliharaan posisi materi dan spritual suatu bangsa termasuk di dalamnya mesjid. Menurut al-Maraghi, istilah sabilillah adalah semua perkara yang berhubungan dengan kemaslahatan ummat dapat dimasukkan ke dalam sabilillah, seperti perkara yang menyangkut masalah agama dan pemerintahan, seperti masalah pelayanan haji.

M. Rasyid Ridha berpendapat bahwa, istilah sabilillah mencakup semua kepentingan syariah secara umum yang berkenaan dengan masalah agama dan negara dan yang terpenting, untuk persiapan kepentingan perang dengan membeli persenjataan. Menurut Yusuf Qardhawi, istilah sabilillah memiliki arti yang lentur, yaitu semua sarana yang dapat dipergunakan untuk memperjuangkan kemajuan ummat Islam dan melawan semua bentuk serangan orang-orang kafir, semuanya termasuk sabilillah.

Lebih rinci, beliau menyebutkan usaha pembebasan Islam dari kekuasaan dengan memerangi kaum  kafir, sarana pendidikan dan pengajaran serta  lembaga da’wah, surat kabar islami, penerbitan buku-buku islami dan  para da’i,  semua yang disebutkan di atas dapat dimasukkan ke dalam cakupan makna sabilillah.

Sayyid Sabiq berpendapat, bahwa istilah sabilillah adalah semua jalan yang dapat menyampaikan kepada keridhaan Allah, baik berupa ilmu atau amal. Mencermati pendapat-pendapat di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa pengertian sabilillah secara umum (mazaj) dapat mencakup semua jalan kebaikan yang manfaatnya kembali kepada ummat Islam termasuk di dalamya adalah masjid, penyebutan sarana ibadah  yang disebutkan terakhir ini secara jelas disebut oleh Mahmud Syaltut pada point pertama. 

Pengertian mazaj semacam ini dalam hukum Islam dapat ditolelir selama tidak bertentangan dengan kaidah agama. Keberadaan mesjid dalam masyarakat memiliki peranan strategis, fungsinya bukan hanya sebagai tempat sholat, tapi dapat dijadikan pusat pendidikan, da’wah, serta sosial kemasyarakatan dalam rangka menegakkan agama Allah swt. Dengan demikian, zakat  boleh disalurkan untuk pembangunan mesjid karena mesjid termasuk sabilillah yang mengandung manfaat bagi umat Islam.

Selanjutnya menurut hemat penulis, skala prioritas harus diutamakan. Terlebih sekarang ini, keberadaan mesjid di masyarakat begitu banyak dan pesat, sehingga jarak mesjid sangat berdekatan dan relatif jamaahnya di beberapa mesjid ditemukan sangat sedikit.

Mengingat hal itu, penulis sejalan dengan Mahmud Syaltut yang berpendapat bahwa penyaluran zakat untuk mesjid itu harus diutamakan untuk mesjid baru yang dibangun karena mesjid yang berdekatan sudah tidak mampu lagi untuk menampung jamaah atau untuk agenda perluasan mesjid karena daya tampungnya  tidak lagi mencukupi untuk menampung jamaah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar