ILMU DALAM ISLAM
A. HAKIKAT
ILMU DALAM ISLAM
1. Pengertian
ilmu
Istilah ilmu pengetahuan diambil dari
bahasa Arab ‘alima, ya’malu,‘ilman yang berarti mengerti atau memahami
benar-benar. Dalam Bahasa Inggris istilah ilmu berasal dari kata science, yang
berasal dari Bahasa Latin scienta dari bentuk kata kerja scire, yang berarti
mempelajari dan mengetahui. Kata ilmu ini pada akhirnya mengelalami penyempitan
makna, karena tidak semua yang dipelajari dan diketahui disebut ilmu. Secara
istilah ilmu adalah rangkaian aktivitas rasional yang dilaksanakan dengan
prosedur ilmiah dan metodologi tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
Kata 'ilm (ilmu pengetahuan) menurut
al-Ghazali adalah bentuk kata yang ambiguis (musytarak: mempunyai banyak arti)
yang meliputi penglihatan dan perasaan. ilmu pengetahuan adalah mengetahui
(al-ma'rifah). Maka ilmu pengetahuan adalah ilustrasi akal (tashwîr) yang valid
tentang hakekat sesuatu,yang terlepas dari unsur aksiden dengan segala
demensi, kualitas, kuantitas, substansi dan zatnya.
Ilustrasi akal tersebut meliputi segala
aktifitas jiwa dalam memperoleh dan memproduksi pengetahuan. Jadi kata tashwîr
ini meliputi pengetahuan aksiomatis (‘ilmal-dlarûriy), pengetahuan intelektual (‘ilm alkasbiy) dan
pengetahuan intuitif (‘ilm al-ladunniy). Adapun pengetahuan hishshiyyah
(indrawi) tidak termasuk dalam definisi ini karena tashwîrnya belum terlepas
dari materi.
Definisi di atas menunjukkan luasnya obyek
ilmu pengetahuan dalam islam. Ia mencakup alam kasat mata (‘alam al-mulki wa
al-syahâdah) dan alam metafisika (‘alam almalakût wa al-jabarût). Dari sini
telihat begitu luasnya wilayah kajian dalam epistemologi Islam yang tidak hanya
bekerja pada tataran empiris-fenomenologis tetapi menusuk sampai pada wilayah
transendental.
Wilayah-wilayah itu tidak pernah dipandang
sebagai sesuatu yang terpisah karena pada hakekatnya ia adalah satu yakni
wilayah ketuhanan (hadlrah Rubûbiyyah).
2. Perbedaan
Ilmu dan Pengetahuan
Ilmu dibedakan dengan pengetahuan.
Pengetahuan lebih bersifat umum. Ia merupakan hasil tahu manusia terhadap
sesuatu yang belum teruji secara ilmiah. Menurut Jujun S. Suriasumantri
pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang
objek tertentu, termasuk di dalamnya ilmu.
Jadi, ilmu merupakan bagian dari
pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan
lainnya, seperti seni dan agama. Sebab secara ontologis ilmu membatasi diri
pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan
agama menjelajah daerah yang bersifat transendental yang berada di luar
pengalaman manusia.
Disini terlihat bahwa betapapun
pengetahuan lebih luas tetapi ilmu lebih utama. Bias dikatakan bahwa
semulia-mulianya pengetahuan adalah ilmu. Hanya saja kemuliaan ilmu disini
ditentukan hanya dengan standar empiric rasional saja. Keterlibatan wahyu tidak
menjadi referensi dalam menakar kebenarannya. Tentu akan berbeda ketika pemikir
muslim melihat persoalan ilmu dalam pandangan Islam.
Ilmu dan pengetahuan adalah dua hal yang
memiliki keterkaitan satu sama lain. Di mana ilmu membentuk intelegensia, yang
melahirkannya skill atau keterampilan yang bisa memenuhi tuntutan kebutuhan
sehari-hari. Sedangkan pengetahuan membentuk daya moralitas keilmuan yang
kemudian melahirkan tingkah laku kehidupan manusia.
3. Hakikat
Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan dalam Islam bukan
merupakan sesuatu di luar af’al Allah, sehingga tidak ada pengetahuan yang
tidak diurai dari sumber yang satu itu. Seluruh jenis pengetahuan makhluk
adalah setitik air dari samudera pengetahuan Allah.
Ketika al-Ghazali menjelaskan tentang tiga
demensi pengenalan (ma'rifah) manusia kepada Allah dari sudut perbuatanNya
(al-af'al), sifat (al-sifat) dan dzatNya
(al-dzat), ia mengatakan bahwa seluruh pengetahuan manusia (dalam bentuk
science) itu diambil dari samudera al-af'al.
Yakni representasi perbuatan Allah yang
begitu luas terbentang ke penjuru
semesta yang tak terarungi. Suatu kawasan pengetahuan yang jika seluruh lautan di dunia
ini dijadikan tinta untuk menuliskan kalimat-kalimatNya, niscaya ia akan
habis sebelum kalimat itu tuntas di
tuturkan.
B. SUMBER
ILMU DALAM ISLAM
1. Perdebatan
Sumber Ilmu
Dalam epistemologi modern sumber
pengetahuan dibedakan atas empat hal yaitu: empiris,
rasionalitas, Intuisi dan Otoritas. Namun demikian Jujun mengatakan bahwa
pada dasarnya, hanya ada dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar. Pertama, mendasarkan pada rasio (rasionalisme). Kedua,
mendasarkannya pada pengalaman
(empirisme).
Disamping kedua sumber tersebut masih ada satu cara lagi yang disinyalir
sebagai jenis pengetahuan yang datang dengan tiba-tiba yaitu intuisi. Dalam
bahasa lain A. C. Ewing mengatakan bahwa ada dua jenis teori tentang
pengetahuan yaitu a priori dan empirikal. Dua teori pengetahuan itu dengan
sengit telah diperdebatkan oleh para filosof pada abad ke-17 dan 18 yang pada
akhirnya melahirkan dua aliran besar dalam epistemologi yaitu rasionalisme dan empirisme.
Sebagai agama yang rasional Islam tentu
mengakui adanya keempat sumber pengetahuan yang diakui oleh epistemologi
modern. Maka dalam Islam pengetahuan empiris, rasional, intuitif dan otoritatif
diabsahkan sebagai sumber pengetahuan. Sumber-sumber pengetahuan tersebut itu
dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan. Tidak seperti empirisme yang
menafikan pengetahuan rasional, atau rasionalisme yang menafikan pengetahuan
empiris.
Guna melacak lebih lebih jauh tentang
pemikiran tersebut berikut akan dikaji pemikiran para filosof muslim seperti
al-Farabi, Ibnu Sina dan al-Ghazali yang berkaitan dengan sumbersumber
pengetahuan dalam bingkai pengetahuan empiris, rasional, dan intuitif.
2. Ragam
Sumber Pengetahuan
a. Pengetahuan
Empiris
Yang dimaksud pengetahuan empiris yaitu
pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman indrawi dan akal mengolah
bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman denga cara induksi. Jhon lock, bapak
empiris Britana mengemukakan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong).
Maksudnya ialah bahwa manusia pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas
pengalamannya mengisis jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan.
David Hume, salah satu tokoh empirisme
mengatakan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan.
Pengamatan memberikan dua hal, kesankesan dan pengertian-pengertian atau
ide-ide. Dengan kata lain, empirisme menjadikan pengalaman inderawi sebagai
sumber pengetahuan. Sesuatu yang tidak diamati dengan indera bukanlah
pengetahuan yang benar.
Islam mengakui adanya empiris sebagai
sumber penegtahuan tetapi ia bukan satu-satunya dan dalam batas-batas tertentu.
Al-Ghazali misalnya, selalu membagi alam dalam dua kategori besar yaitu alam
al-mulki wa al-syahâdah (semesta) dan alam
al-malakût wal-Jabarût (metafisika). Adapun yang menjadi obyek bagi
pengetahuan empiris adalah alam semesta.
Alam ini oleh al-Ghazali dalam konsep
metafisikanya diletakkan sebagai wujud terendah. Menurut al-Farabi, Ibnu Sina dan al-Ghazali
pengetahuan empiris ini merupakan hasil dari aktivitas jiwa sensitif (al-nafs
al-hayawâniyah) yang dalam batas-batas tertentu juga dimiliki oleh binatang
Jiwa sensitf selanjutnya dibagi menjadi dua yaitu: daya tangkap dari luar
(persepsi dan daya tangkap dari dalam otak.
Adapun daya tangkap dari luar itu
kesemuanya terdapat pada panca indera yang masing-masing indera bertugas
menangkap informasi yang khusus. Jadi yang mencerap informasi empiris itu
sesungguhnya bukanlah organ fisik akan tetapi jiwa sensitif.
Informasi dari indera tersebut selanjutnya
dikirim ke daya tangkap dari dalam yang terdiri atas lima bagian yaitu: al-hish
al-musytarak, al-khayâliyyah, al-wahmiyyah, aldzâkirah, dan al-mutakahayyilah.
Informasi dari indera itu untuk kali pertamanya diterima oleh al-hish al-musytarak
(common sense) kemudian disimpan di dalam al-khayâliyyah (representasi) dan
selanjutnya al-wahmiyyah (estimasi) membuat abstraksi, mengambil makna dari
obyek tertentu.
Jadi ketika seseorang melihat harimau,
otomatis al-wahmiyyah akan mengatakan bahwa ia adalah musuh yang harus
dihindari. Makna musuh yang harus dihindari ini dicerap secara khusus dari
harimau tertentu yang terlihat.Hal ini berarti abstraksi tersebut masih
bersifat partikular.Makna yang ditangkap oleh al-wahmiyyah itu selanjutnya
dikirim keal-dzâkirah (reproduksi) atau al-hâfidhah (penghafal) untuk disimpan.
Berbagai bentuk dan informasi yang
ditangkap diatas akhirnya dirangkaikan atau dipisah-pisahkan -sesuai kebutuhan-
sehingga mendapatkan kesimpulan yang baru oleh daya yang tertinggi dan terakhir
yang disebutalmutakhayyilah (interpretasi). Kelima daya tangkap pengetahuan
dari batin tersebut bertempat diotak. Karena seluruh daya ini menggunakan organ
fisik maka al-Ghazali menyebutnya sebagai daya jasmani (qiwâ jasmaniyyah) yang
bekerja secara reflektif alami.
b. Pengetahuan
Rasional
Descartes, bapak rasionalisme continental,
berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan yang darinya
memakai metode dedukatif dapat disimpulkan semua pengetahuan kita. Ia yakin
bahwa semua kebeneran itu ada dan bahwa kebenaran-kebenaran tersebut dikenal
dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak dapat
diragukan.
Akal mengatur data-data yang dikirim oleh
indera, mengolahnya dan menyusunnya hingga menjadi pengetahuan yang benar.Dalam
penyusunan ini akal menggunakan konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep
tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal dan merupakan
abstraksi dari benda-benda konkret.Selain menghasilkan pengetahuan dari bahan-bahanyang
dikirim indera, akal juga mampu menghasilkan pengetahuan tanpa melalui indera,
yaitu pengetahuan yang bersifat abstrak. Seperti pengetahuan tentang hukum/
aturan yang menanam jeruk selalu berbuah jeruk.
Hukum ini ada dan logis tetapi tidak
empiris. Penggunaan rasio dalam memperoleh pengetahuan menjadi sandaran sumber
ini dimana akal harus memenuhi syarat-syarat yang digunakan dalam seluruh
metode ilmiah. Jadi menurut aliran Rasionalisme, pengetahuan hanya dapat
ditemukan dalam dan dengan bantuan akal (rasio). Dengan cara ini, maka proses
pengetahuan manusia adalah dengan mendeduksikan, menurunkan,
pengetahuan-pengetahuan particular dari prinsip-prinsip umum, atau dengan kata
lain bahwa pengetahuan manusia harus mulai dari aksioma-aksioma yang telah
terbukti dengan sendirinya, dan dari situ ditarik teorema-teorema sedemikian
rupa sehingga kebenaran aksioma menjadi kebenaran teorema.
Penjelasan ini memberikan gambaran bahwa
kemampuan akal manusialah yang dapat digunakan untuk dapat menarik kesimpulan dari
prinsip-prinsip umum tertentu dalam benaknya.Oleh karenanya logika silogisme
menjadi sangat penting dalam menggunakan metode ini. Berbeda dngan kaum
rasionalis yang begitu fanatikpada akal, Islam menerima akal sebagai sumber
pengetahuan dalambatas batas tertentu, seperti halnya empirik.
Dalam Misykah al-Anwâr, al-Ghazali
menjelaskan bahwa proses pencapaian pengetahuan itu ada lima tahapan. Dua di
antaranya berada dalam wilayah pengetahuan empiris yaitu al-rûh alhisâs dan
al-khayâliy. sedangkan tiga bagian berikutnya yang menjadi bagian dari jiwa
rasional adalah al-rûh al-aqliy,al-rûh al-fikriy yang keduanya berada dalam
kawasan wilayah pengetahuan rasional dan al-rûh al-qudsiy al-nabawiy yang
berada dalam wilayah pengetahuan intuitif.
Daya rasional (al-rûh al-aqliy) adalah
substansi manusia yang hanya ada pada manusia dewasa, tidak pada anak, terlebih
pada binatang. Daya ini menyerap makna-makna di luar indera dan imajinasi.
Adapun jangkauan pencerapannya adalah pengetahuanpengetahuandlarûriy(aksiomatis)
dan universal. Eksistensinya sebagai pencerap makna-makna itu dalam bahasa
metafora al-Qur`an adalah pelita (mishbâh).
Al-Ghazali membagi jiwa rasional itu
kedalam dua bagian besar yaitu: akal praktis (al'amilah) dan akal
teoritis(al-'âlimah). Kedua akal tersebut bukanlah dua hal yang benar-benar
terpisah, akan tetapi lebih merupakan dua sisi dari substansi yang sama. Sisi
yang menghadap ke bawah adalah akal praktis sedangkan yang menghadap ke atas
adalah akal teoritis.
Akal praktis berfungsi untuk menggerakkan
tubuh melalui daya-daya jiwa sensitif (alrûh al-hayawâniyyah) sesuai tuntutan
pengetahuan yang telah dicapai oleh akal teoritis. Ia juga merupakan saluran
yang menyampaikan gagasan-gagasan akal teoritis kepada daya penggerak
(al-muharrikah) sekaligus merangsangnya menjadi aktual.
oleh karena itu menurut al-Ghazali akal
praktis ini harus mampu menguasai daya-daya yang ada di bawahnya untuk mencapai
akhlaq mulia. Jika akal praktis ini berhubungan dengan akal teoritis maka
hubungan tersebut akan menghasilkan pengetahuan moral, seperti dusta adalah
buruk, adil adalah baik dan lainlain.
Jika akal praktis berfungsi untuk
menyempurnakan penampilan lahir manusia maka akal teoritis lebihberfungsi untuk
menyempurnakan substansinya yang bersifat immaterial dan ghaib.Akal kedua ini
berhubungan dengan pengetahuan yang abstrak dan universal.Ia mempunyai empat
tingkatan evolutif yaitu: al-'aql
al-hayulaniy, al-'aql bi al-malakah, al-'aql bi al-fi'il dan al-'aql
al-mustafad.
1) Al-'Aql
al-Hayulaniy (Akal Material).
Pada fase ini akal masih berupa potensi
karenanya ia merupakan tingkatan terendah dari dinamika intelektual manusia.
Kondisi akal pada tahap ini diumpamakan seperti adanya kemampuan menulis pada
anak kecil yang belum dapat menulis.Potensi menulis itu ada tapi belum aktual.
2) Al-'Aql
bi al-Malakah (Akal Habitual).
Akal ini disebut juga al-'aqlbi al-mumkin
karena pada fase ini akal telah dimungkinkan untuk mengetahui pengetahuan
aksiomatis (al-'ulûm al-dlarûriyyat) secara reflektif.Pengetahuan ini disebut
sebagai pengetahuan rasional pertama (alma'qûlah al-ûlâ). Dalam al-Qisthâs
al-Mustaqîm akal ini disebut dengan gharîzah al'aql (insting akal).
3) Al-'Aql
bi al-Fi'il (Akal Aktual).
Pada fase ketiga ini akal telah bisa
menggunakan pengetahuan pertama sebagai
premis mayor dalam silogisme untuk memperoleh pengetahuan rasional
kedua(alma'qûlah al-tsâniyah). Pengetahuan pertama sebagai modal dan
pengetahuan kedua sebagai hasil pemikiran.Kegiatan berfikir pada fase
inibukansemata-mata merupakan aktifitas akal murni tetapi juga menggunakan daya al-mutakhayyilah yang ada
pada jiwa sensitif.Jadi informasi dari al-mutakhayyilah -yang berfungsi untuk
menyusun dan atau memisahkan pengetahuan- diambil kesimpulannya oleh akal
tersebut.Kegiatan berfikir pada tahap ini merupakan kegiatan bersama antara
al-mutakhayyilah dengan akal.
4) Al-Aql
al-Mustafâd (Akal perolehan).
Akal pada tingkatan ini telah mempunyai
pengetahuan-pengetahuan secara aktual dan menyadari kesadarannya secara
faktual.Berbeda dengan aktifitas berfikir sebelumnya di mana akal secara aktif
menciptakan bentuk-bentuk pengetahuan baru dengan menggunakan informasi pada
tahapan sebelumnya; pada tahap ini akal hanya bersifat pasif.
Pengetahuan-pengetahuan itu telah hadir dengan sendirinya tanpa memerlukan
kegiatan berfikir. Oleh karena itu ia disebut dengan al-mustafâd (perolehan).
Akal ini juga sering disebut dengan al-aql al-qudsiy (akal suci) Pengetahuan
tersebut merupakan limpahan dari akal yang selamanya aktual yaitu Akal
Aktif. Dalam Mi'yâr al-'Ilm al-Ghazali menyata kan bahwa Akal Aktif itu
adalah malaikat yang bertugas untuk memberi pengetahuan kepada manusia
c. Pengetahuan
Intuitif (Ladunni)
Jika disimak penuturan al-Ghazali dalam
kitab-kitab filsafatnya terutama Ma'ârij al-Quds terlihat bahwa dinamika akal
dalam gerakan klimaks sangat mengagumkan. Gerakan rasional dari alam wujud
terendah hingga menusuk ke alam ghaib. Pada tingkat akal mustafâd aktifitas
berfikir sangat berbeda dengan tahap sebelumnya. Pada tingkat ini akal justru
secara pasif menerima pengetahuan langsung dari Akal Aktif tanpa melalui proses
belajar.
Dalam Misykât al-Anwâr tingkatan tersebut
dinamakan al-rûh al-quds alnabawiy yang menempati puncak dari kebenderangan dan
kejernihan yang bertugas untuk menyulut daya-daya (ruh) dibawahnya. Dalam
bahasa metafora al-Qur`an adalah "minyak".
Menarik untuk dikaji bagaimana al-Ghazali
membandingkan derajat seorang ilmuan dengan wali. Ilmuan itu hanya diibaratkan
kanak-kanak (al-thifl) dan wali itu adalah remaja (al-tamyîz). Seperti tidak
tahunya kanak-kanak tentang kondisi remaja, seperti itulah tidak tahunya
intelektual terhadap pengetahuan para wali. Penjelasan ini menunjukkan bahwa
dalam ajaran Islam, kualitas pengetahuan intuitif itu lebih utama jika dibanding
dengan pengetahuan rasional.
Apa yang dimaksud dengan intuisi dalam
Islam sangat berbeda dengan wacana Barat, baik di bidang psikologi maupun
filsafat. Intuisi di Barat merupakan bentuk perkembangan lebih lanjut dari
intelektual dan masih dalam kawasan rasional. Intuisi difahami oleh ilmuan dan
filosof Barat sebagai bentuk pemunculan ide-ide terpendam di bawah sadar.
Oleh karena itu Iqbal mengatakan: "In
fact, intuition, as Bergson rightly says, is only a higher kind of
intellect." (intuisi sebagaimana dimaksud oleh Bergson, hanyalah salah
satu jenais kemampuan nalar tinggi). (Iqbal: 19981).
Di dalam wacana Islam intuisi merupakan
bentuk pencapaian ilmu hudluriy yang didapatkan seseorang dengan cara pasif
baik itu secara langsung dari Allah atau melalui perantara. Perantara di sini
dapat berupa malaikat (Akal Aktif), bisa juga melalui Lauh Mahfuzh (Jiwa
Universal) ataupun al-Qalam atau Nur Muhammad (Akal Universal). Adapun
pengaktifan jiwa manusia yang di sulut oleh syetan tidak termasuk dalam
definisi intuisi yang dikehendaki di dalam bahasan ini.
C. STRUKTUR ILMU DALAM ISLAM
1. Struktur
Ilmu dalam pandangan para Filosof Muslim
Muhamad Al-Bahi membagi ilmu dari segi
sumbernya terbagi menjadi dua, Pertama; ilmu yang bersumber dari Tuhan, Kedua;
ilmu yang bersumber dari manusia. Al-Jurjani membagi ilmu menjadi dua jenis,
yaitu Pertama; ilmu Qadim (luhur)
dan Kedua; ilmu Hadits (baru). Ilmu
Qadim adalah ilmu Allah yang jelas sangat berbeda dariilmu hadits yang dimiliki
manusia sebagai hamba-Nya.
Menurut Al-Gazali ilmu dibagi menjadi dua
macam yaitu ilmu Agama (syar’iyah) dan ilmu umum (aqliyyah). Ilmu syar’iyyah
adalah ilmu agama karena ilmu itu berkembang dalam ketentuan syar’iyyah (hukum
wahyu), sedangkan ilmu aqliyyah adalah ilmu yang dengan nalar murni, seperti
ilmu alam, matematika, metafisika, ilmu politik dll.
Menurut Al-Kindi pengetahuan ada dua macam
yaitu,pertama pengetahuan Ilahi yaitu
ilmu yang tercantum dalam Qur’an sebagai pengetahuan yang diperoleh nabi dari
Tuhan yang didasarkan pada keyakinan. Kedua, pengetahuan manusiawi, disebut
juga filsafat yang mendasarkan pada pemikiran akal.
Para filosof muslim membedakan ilmu,
kepada ilmu yang berguna dan yang tak berguna. Kategori ilmu yang berguna
mereka memasukkan ilmu-ilmu duniawi, seperti kedokteran, fisika, kimia,
geografi, logika, etika, bersama disiplin-disiplin yang khusus mengenai ilmu
keagamaan. Ilmu sihir, alkemi dan numerologi (ilmu nujum dengan menggunakan
bilangan) dimasukkan ke dalam golongan cabang-cabang ilmu yang tidak berguna.
Al-farabi membuat klasifikasi ilmu secara
filosofis ke dalam beberapa wilayah, seperti ilmu-ilmu matematis, ilmu alam,
metafisika, ilmu politik, dan terkahir yurisprudensi dan teologi dilaektis.
Beliau memberi perincian ilmu-ilmu religius (ilahiyah) dalam bentuk kalam dan
fiqih langsung mengikuti perincian ilmu-ilmu filosofis, yakni matematika, ilmu
alam, metafisika, dan ilmu politik.
2. Struktur
Ilmu Menurut al-Ghazali
Adapun pemikiran al-Ghazali tentang
struktur/ hirarki ilmu pengetahuan dituangkan dalam berbagai kitabnya secara
variatif. Namun yang paling banyak dijadikan rujukan adalah yang ada di dalam
kitab Ihyâ’. Ia membagi ilmu pengetahuan
berdasarkan pada bentuk kewajiban yang dibebankan kepada muslim dalam dua
kategori, yakni: fardlu 'ain yang
dibebankan kepada masing-masing individu untuk mempelajarinya dan kategori
fardlu kifayah yang dibebankan kepada komunitas muslim.
a. Fardlu
'Ain
Seperti pemahaman ulama` ushuliyyȋn,
al-Ghazali juga mengatakan bahwa fardlu 'ain merupakan kewajiban yang
dibebankan syâri' kepada mukallaf.
Kendatipun para ulama' muslim sepakat dalam memberikan batasan terhadap
fardlu 'ain namunmereka berbeda pendapat ketika harus menentukan ilmu
pengetahuan mana yang termasuk
kategori fardlu 'ain tersebut.
Ulama' kalam (teolog) mengatakan ilmu
kalamlah yang termasuk ilmu fardlu 'ain.Ulama' tafsir mengatakan tafsir, ulama'
hadis mengatakan hadis ulama' fiqh mengatakan fiqh dan
sebagainyadenganargumentasi masing-masing. Al-Ghazali dalam hal ini sependapat
dengan Abu Thalib al-Makkiy dalam menentukan kategori ilmu fardlu 'ain. Keduanya
mendasarkan argumentasinya pada hadis Nabi tentang bangunan Islam yaitu:
(Islam itu ditegakkan atas lima hal yaitu:
syahâdah (persaksian) bahwasannya tidak ada Tuhan kecuali hanya Allah dan bahwasanya Muhammad SAW. adalah
rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadlan) (HR. Bukhori, Muslim, Tirmidzi, dan
Nasa`i dari Ibn ‘Umar dengan Sanad
Shahih. al-Suyȗthiy, Jami’ al-Shaghir, Juz 1, 126) .
Jadi yang termasuk kategori fardlu 'ain
menurutnya adalah meliputi ilmu-ilmu tentang syahadah, shalat, zakat, puasa dan
haji. Jika pembagian al-Ghazali tentang ilmu mukasyafah dan mu'amalah diikuti
maka ilmu yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah termasuk dalam kategori
ilmu mu'amalah. Ilmu mu'amalah itu sendiri terdiri atas tiga hal, yaitu:
i'tiqâd (keyakinan), fi'il (anjuran), dan tark (larangan).
Yang termasuk dalam i'tiqad adalah
pengetahuan tentang dua kalimah syahadah.Yang termasuk dalam fi'il adalah
pengetahuan tentang thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat, dan seluruh
aktifitas yang difungsikan untuk menghilangkan keragu-raguan. Sedangkan yang
termasuk tark adalah pengetahuan tentang hal-hal yang dilarang oleh syara' yang
tergantung dengan kondisi tertentu.
Misalnya orang buta tidak wajib belajar
tentang pandangan yang haram begitu juga yang lain. Menurut al-Ghazali, seorang
muslim yang telah âqil balligh itu dituntut untuk mengamalkan ketiga hal yakni
i'tiqâd, fi'il dan tark. Ia mengetakan bahwa bagi seorang yang telah balligh
kewajiban pertama kali yang harus ditunaikan waktu itu adalah i'tiqâd. Jadi ia
harus mengetahui makna kalimah syahadah dengan seyakin- yakinnya. Keyakinan itu
dianggap telah memenuhi syarat walaupun hanya sebatas taqlid pada awalnya.
Adapun kewajiban-kewajian yang lain yang termasuk dalam kategori fi'il dan tark
menyusul secara bertahap. llmu-ilmu inilah yang difardlukan oleh hadis:
(Mencari ilmu itu wajib atas setiap
individu muslim). (HR.Baihaqiy dan Ibn Adi, Khatib dan Thabraniy dengan sanad
Shahih. al-Suyuthi, Juz. 2, 161)
b. Fardlu
Kifayah
Al-Ghazali
mengatakan bahwa yang termasuk kategori fardlu kifayah ialah semua ilmu
yang tidak bisa tidak dibutuhkan dalam menegakkan permasalahan kehidupan dunia.
Seandainya dalam satu daerah tidak ada orang yang mengerti ilmuilmu itu, maka
seluruh penduduk daerah tersebut berdosa.
Jika telah ada yang menegakkan meski hanya seorang saja, maka gugurlah
kewajiban penduduk daerah tersebut. Ilmu fardlu kifayah ini terbagi atas dua
bagian yaitu:
1) Ilmu
Syari'ah
Ilmu Syari'ah ini terbagi atas empat
bentuk yaitu: pokok (ushul), cabang (furu’), pendahuluan (muqaddimah), dan
penutup (mutammimah).
a) Ilmu
Ushûl
Adapun yang termasuk dalam ilmu ushul itu
adalah ilmu pengetahuan tentang Kitabullah (al-Qur`an), sunah, ijma', dan atsar
(statement) shahabat.
b) Ilmu
Furû'
Ilmu furu' ialah ilmu pengetahuan yang
difahami dari Ilmu ushul bukan dengan kepastian lafal-lafalnya melainkan dengan
pengertian-pengertian yang diketahui akal. Ilmu furu' tersebut terbagi atas dua
hal yaitu: ilmu tentang kemaslahatan dunia seperti fiqh dan ilmu tentang
kemaslahatan akhirat yakni ilmu tentang keadaan hati, akhlak terpuji dan
tercela, hal-hal yang diridlai Allah dan yang dibenciNya.Ilmu-ilmu ini
tergolong dalam ilmu akhlaq (etika).
c) Ilmu
Muqaddimah
Ilmu Pendahuluan adalah ilmu-ilmu yang
berfungsi sebagai alat untuk memahami al-Qur`an dan al-Hadis, seperti ilmu
lughah (bahasa Arab) dan nahwu (gramatik). IlmuKhat (ilmu menulis bahasa Arab)
juga termasuk dalam kelompok ilmu ini.
d) Ilmu
Mutammimah
Yang dimaksud dengan ilmu penutup ialah
semua cabang ilmu yang berkaitan dengan ilmu al-Qur`an dan hadis. Adapun ilmu
penutup yang berkaitan denganal-Qur`an tersebut
terbagi atas: ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lafal al-Qur`an seperti Ilmu
Qirâ'ah dan Makhârij al-Khurûf (ilmu tentang daerah artikulasi huruf-huruf
Arab). Ilmu yang berkaitan dengan makna al-Qur`an yaitu IlmuTafsir.
Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
hukum-hukum al-Qur`anyaitu: Ilmu Ushul Fiqh yang mencakup ilmu nasikh-mansukh,
'âm-khâsh, nash-dzahir dan sebagainya. Sedangkan ilmu Penutup yang berkaitan
dengan hadis adalah ilmu-ilmu tentang rijâl al-hadis, al-jarh wa al-ta'dlil,
sanad-matan, dan sebaginya.
2) Ilmu
Umum (Non Syari'ah)
Adapun yang termasuk dalam kategori ilmu
non syari'ah adalah seluruh ilmu umum (science). Berdasarkan sifatnya ilmu ini
terbagi atas tiga bentuk yaitu:
a) Ilmu
umum yang terpuji (mahmûd) seperti ilmu kedokteran, matematika, perindustrian
dan politik.
b) Ilmu
umum yang tercela (madzmûmah) seperti ilmu sihir, mantera-mantera, tenung dan
sulap.
c) Ilmu
umum yang netral (mubah) seperti syair (puisi) yang tidak jorok, sejarah dan
sebagainya.
Struktur ilmu pengetahuan yang ada dalam
Ihyâ’ tersebut menempatkan Ilmu al-Qur’an dan Hadis pada dua tempat yaitu: pada
kelompok ilmu ushȗl dan ilmu mutammimât. Penempatan ini bukanlah merupakan
suatu kontradiksi tetapi adalah keharusan. Maksudnya jika sudut pandangnya
adalah ilmu ushȗl (pokok) dan furȗ’, maka ilmu al-Qur’an-Hadis itu tergolong
dalam kategori ilmu pokok (ushȗl).
Jika sudut pandangnya adalah tahapan
pengkajian suatu ilmu, maka ilmu al-Qur’an-Hadis itu adalah merupakan kelompok
ilmu penutup (mutammimâh) bukan ilmu pendahuluan (muqaddimât). Dalam
strukturisasi di atas, al-Ghazali tidak
memasukkan Ilmu Kalam sejak dini, meskipun pada akhirnya dikelompokkan dalam ilmu
pengetahuan kategori fardlu kifâyah.
Adapun alasan tidak dimasukkannya Ilmu
Kalam sedari awal adalah karena ilmu tersebut menurutnya mengandung berbagai
unsur pembahasan yang kontradiktif. Sebagian dalil yang dikandung berbentuk
dalil-dalil yang bermanfaat yang didukung oleh nashal-Qur`an maupun hadis-hadis
terkait. Akan tetapi sebagian pembahasan yang lain hanya berisi perdebatan
tercela dan termasuk hal bid'ah. Sebagian yang lain lagi terdiri dari
pembahasan yang tidak berhubungan sama sekali dengan agama dan tidak dikenal
sedikitpun pada masa awal Islam.
Maka secara keseluruhan al-Ghazali menilai
bahwa Ilmu Kalam adalah bid'ah. Namun demikian karena pada masa itu telah muncul
banyak statement para teolog yang dinilai berlawanan dengan al-Qur`an dan
sunnahserta munculnya kelompok yang merangkai hal-hal subhat dalam
pembahasannya, maka larangan itu bergeser menduduki hukum dlaruri (mendesak
untuk segera dilakukan) guna membersihkan dan mempertahankan akidah. Hukum
tersebut bergeser dari larangan menjadi fardlu kifayah.
Ilmu kalam
menjadi fardlu kifayah barena ia
berfungsi untuk menjaga hati orang-orang awam dari hayalanparapembuatbid'ah.
Kebutuhan tersebut disamakan oleh al-Ghazali dengan kebutuhan menyewa pengawal
pada saat musim haji yang dimaksudkan untuk menghindarkan jama’ah haji dari
kedlaliman oknum bangsa Arab, misalnya.Akan tetapi jika bangsa-bangsa Arab
tersebut tidak lagi demikian -keadaan sudah aman- maka menyewa pengawal haji
itu tidak lagi termasuk syarat perjalanan haji.
Oleh karenannya ia berpesan pada para
mutakallimȋn (teolog) agar menjaga aqidah orang awamdari kekacauan para pembuat
bid'ah sebagaimana pengawal menjaga barang-barang jama'ah haji dari rampasan pencuri.
Filsafat juga tidak dieksplisitkan dalam klasifikasi di atas karena filsafat
menurut al-Ghazali bukan merupakan ilmu
yang independen, setidaknya saat itu.
Dalam pandangannya ilmu filsafat terdiri atas empat bagian yaitu: Ilmu
Ukur dan Ilmu Hitung (matematika),
Logika, Teosofi (Ilâhiyyât), d an Ilmu Alam (Thabi'iyyât).
Ustadzah Fathiyah, pakar Ilmu Pendidikan
Islam Timur Tengah, menyimpulkan bahwa pemikiran al-Ghazali tentang klasifikasi
ilmu yang ada dalam Ihyâ` itu, jika
didasarkan pada urgensinya bagi kepentingan manusia, terbagi atas empat
tingkatan yaitu:
Pertama,
Kelompok ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan keagamaan dan kehidupan akhirat di
samping berguna untuk menyucikan jiwa memperindah moral dan mendekatkan diri
kepada Allah serta sebagai persiapan bagi kehidupan yang abadi. Yang termasuk
dalam kelompok ilmu ini adalah ilmuilmu yang berkaitan denganal-Qur`an dan
ilmu-ilmu agama lainnya.
Kedua,
ilmu yang berguna bagi manusia karena ia menjadi prasarat bagi kelompok ilmu
pertama seperti: Ilmu Lughah dan Nahwu.
Ketiga,
ilmu yang berguna bagi kehidupan manusia di dunia seperti: Ilmu Kedokteran,
Matematika, Teknologi, Politik dan sebagainya.
Keempat,
ilmu yang berguna dari sudut peradaban dan kesenangan manusia dan kehidupan
sosial seperti: Ilmu Sastra (puisi), Sejarah, dan Etika.
Meskipun al-Ghazali secara nyata
memformulasikan ilmu pengetahuan dalam dua kategori yakni ilmu agama dan ilmu
umum, tetapi ia tidak bisa disebut sebagai tokoh dualisme pengetahuan terlebih
tokoh sekularisme pengetahuan dalam Islam. Hal ini karena batas antara ilmu
agama dan ilmu umum tersebut hanya semacam "garis demarkasi".
Batasan itu secara kategoris ada, tapi
pada hakekatnya tidak ada. Pembagian ini dibuat semat-mata untuk kepentingan
pragmatis mempermudah pemahaman. Dalam al-Risâlah al-Ladunniyah, ia mengatakan:
‘Sebagian besar ilmu agama adalah rasional bagi yang mengetahuinya dan sebagian
besar ilmu rasional (umum) adalah syar'iyyah bagi yang mengerti.” (al-Ghazali:
stt.)
SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM
@MENZOUR_ID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar