Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 29 Juli 2019

MODUL 8 KB 1 PPG PAI : STRUKTUR DAN POLA FIKIR KEILMUAN PAI


ILMU DALAM ISLAM

A.  HAKIKAT ILMU DALAM ISLAM 

1.    Pengertian ilmu

Istilah ilmu pengetahuan diambil dari bahasa Arab ‘alima, ya’malu,‘ilman yang berarti mengerti atau memahami benar-benar. Dalam Bahasa Inggris istilah ilmu berasal dari kata science, yang berasal dari Bahasa Latin scienta dari bentuk kata kerja scire, yang berarti mempelajari dan mengetahui. Kata ilmu ini pada akhirnya mengelalami penyempitan makna, karena tidak semua yang dipelajari dan diketahui disebut ilmu. Secara istilah ilmu adalah rangkaian aktivitas rasional yang dilaksanakan dengan prosedur ilmiah dan metodologi tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Kata 'ilm (ilmu pengetahuan) menurut al-Ghazali adalah bentuk kata yang ambiguis (musytarak: mempunyai banyak arti) yang meliputi penglihatan dan perasaan. ilmu pengetahuan adalah mengetahui (al-ma'rifah). Maka ilmu pengetahuan adalah ilustrasi akal (tashwîr) yang valid tentang hakekat sesuatu,yang terlepas dari unsur aksiden  dengan segala  demensi, kualitas, kuantitas, substansi dan zatnya.

Ilustrasi akal tersebut meliputi segala aktifitas jiwa dalam memperoleh dan memproduksi pengetahuan. Jadi kata tashwîr ini meliputi pengetahuan aksiomatis (‘ilmal-dlarûriy), pengetahuan     intelektual (‘ilm alkasbiy) dan pengetahuan intuitif (‘ilm al-ladunniy). Adapun pengetahuan hishshiyyah (indrawi) tidak termasuk dalam definisi ini karena tashwîrnya belum terlepas dari materi.

Definisi di atas menunjukkan luasnya obyek ilmu pengetahuan dalam islam. Ia mencakup alam kasat mata (‘alam al-mulki wa al-syahâdah) dan alam metafisika (‘alam almalakût wa al-jabarût). Dari sini telihat begitu luasnya wilayah kajian dalam epistemologi Islam yang tidak hanya bekerja pada tataran empiris-fenomenologis tetapi menusuk sampai pada wilayah transendental.

Wilayah-wilayah itu tidak pernah dipandang sebagai sesuatu yang terpisah karena pada hakekatnya ia adalah satu yakni wilayah ketuhanan (hadlrah Rubûbiyyah). 

2.    Perbedaan Ilmu dan Pengetahuan

Ilmu dibedakan dengan pengetahuan. Pengetahuan lebih bersifat umum. Ia merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu yang belum teruji secara ilmiah. Menurut Jujun S. Suriasumantri pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya ilmu.

Jadi, ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama. Sebab secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama menjelajah daerah yang bersifat transendental yang berada di luar pengalaman manusia.

Disini terlihat bahwa betapapun pengetahuan lebih luas tetapi ilmu lebih utama. Bias dikatakan bahwa semulia-mulianya pengetahuan adalah ilmu. Hanya saja kemuliaan ilmu disini ditentukan hanya dengan standar empiric rasional saja. Keterlibatan wahyu tidak menjadi referensi dalam menakar kebenarannya. Tentu akan berbeda ketika pemikir muslim melihat persoalan ilmu dalam pandangan Islam.

Ilmu dan pengetahuan adalah dua hal yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Di mana ilmu membentuk intelegensia, yang melahirkannya skill atau keterampilan yang bisa memenuhi tuntutan kebutuhan sehari-hari. Sedangkan pengetahuan membentuk daya moralitas keilmuan yang kemudian melahirkan tingkah laku kehidupan manusia.
 
3.    Hakikat Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan dalam Islam bukan merupakan sesuatu di luar af’al Allah, sehingga tidak ada pengetahuan yang tidak diurai dari sumber yang satu itu. Seluruh jenis pengetahuan makhluk adalah setitik air dari samudera pengetahuan Allah.

Ketika al-Ghazali menjelaskan tentang tiga demensi pengenalan (ma'rifah) manusia kepada Allah dari sudut perbuatanNya (al-af'al), sifat (al-sifat) dan dzatNya  (al-dzat), ia mengatakan bahwa seluruh pengetahuan manusia (dalam bentuk science) itu diambil dari samudera al-af'al.

Yakni representasi perbuatan Allah yang begitu luas terbentang ke penjuru  semesta yang tak terarungi. Suatu kawasan  pengetahuan yang jika seluruh lautan di dunia ini dijadikan tinta untuk menuliskan kalimat-kalimatNya, niscaya ia akan habis  sebelum kalimat itu tuntas di tuturkan.
 
B.  SUMBER ILMU DALAM ISLAM 

1.  Perdebatan Sumber Ilmu 

Dalam epistemologi modern sumber pengetahuan dibedakan atas empat hal yaitu: empiris, rasionalitas, Intuisi dan Otoritas. Namun demikian Jujun mengatakan bahwa pada dasarnya, hanya ada dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pertama, mendasarkan pada rasio (rasionalisme). Kedua, mendasarkannya pada  pengalaman (empirisme).

Disamping kedua sumber tersebut  masih ada satu cara lagi yang disinyalir sebagai jenis pengetahuan yang datang dengan tiba-tiba yaitu intuisi. Dalam bahasa lain A. C. Ewing mengatakan bahwa ada dua jenis teori tentang pengetahuan yaitu a priori dan empirikal. Dua teori pengetahuan itu dengan sengit telah diperdebatkan oleh para filosof pada abad ke-17 dan 18 yang pada akhirnya melahirkan dua aliran besar dalam epistemologi yaitu  rasionalisme dan empirisme.

Sebagai agama yang rasional Islam tentu mengakui adanya keempat sumber pengetahuan yang diakui oleh epistemologi modern. Maka dalam Islam pengetahuan empiris, rasional, intuitif dan otoritatif diabsahkan sebagai sumber pengetahuan. Sumber-sumber pengetahuan tersebut itu dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan. Tidak seperti empirisme yang menafikan pengetahuan rasional, atau rasionalisme yang menafikan pengetahuan empiris.

Guna melacak lebih lebih jauh tentang pemikiran tersebut berikut akan dikaji pemikiran para filosof muslim seperti al-Farabi, Ibnu Sina dan al-Ghazali yang berkaitan dengan sumbersumber pengetahuan dalam bingkai pengetahuan empiris, rasional, dan intuitif.  

2.  Ragam Sumber Pengetahuan

a.     Pengetahuan Empiris

Yang dimaksud pengetahuan empiris yaitu pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman indrawi dan akal mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman denga cara induksi. Jhon lock, bapak empiris Britana mengemukakan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa manusia pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisis jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan.

David Hume, salah satu tokoh empirisme mengatakan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya.  Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, kesankesan dan pengertian-pengertian atau ide-ide. Dengan kata lain, empirisme menjadikan pengalaman inderawi sebagai sumber pengetahuan. Sesuatu yang tidak diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. 

Islam mengakui adanya empiris sebagai sumber penegtahuan tetapi ia bukan satu-satunya dan dalam batas-batas tertentu. Al-Ghazali misalnya, selalu membagi alam dalam dua kategori besar yaitu alam al-mulki wa al-syahâdah (semesta) dan alam  al-malakût wal-Jabarût (metafisika). Adapun yang menjadi obyek bagi pengetahuan empiris adalah alam semesta.

Alam ini oleh al-Ghazali dalam konsep metafisikanya diletakkan sebagai wujud terendah.  Menurut al-Farabi, Ibnu Sina dan al-Ghazali pengetahuan empiris ini merupakan hasil dari aktivitas jiwa sensitif (al-nafs al-hayawâniyah) yang dalam batas-batas tertentu juga dimiliki oleh binatang Jiwa sensitf selanjutnya dibagi menjadi dua yaitu: daya tangkap dari luar (persepsi dan daya tangkap dari dalam otak.

Adapun daya tangkap dari luar itu kesemuanya terdapat pada panca indera yang masing-masing indera bertugas menangkap informasi yang khusus. Jadi yang mencerap informasi empiris itu sesungguhnya bukanlah organ fisik akan tetapi jiwa sensitif. 

Informasi dari indera tersebut selanjutnya dikirim ke daya tangkap dari dalam yang terdiri atas lima bagian yaitu: al-hish al-musytarak, al-khayâliyyah, al-wahmiyyah, aldzâkirah, dan al-mutakahayyilah. Informasi dari indera itu untuk kali pertamanya diterima oleh al-hish al-musytarak (common sense) kemudian disimpan di dalam al-khayâliyyah (representasi) dan selanjutnya al-wahmiyyah (estimasi) membuat abstraksi, mengambil makna dari obyek tertentu. 

Jadi ketika seseorang melihat harimau, otomatis al-wahmiyyah akan mengatakan bahwa ia adalah musuh yang harus dihindari. Makna musuh yang harus dihindari ini dicerap secara khusus dari harimau tertentu yang terlihat.Hal ini berarti abstraksi tersebut masih bersifat partikular.Makna yang ditangkap oleh al-wahmiyyah itu selanjutnya dikirim keal-dzâkirah (reproduksi) atau al-hâfidhah (penghafal) untuk disimpan.

Berbagai bentuk dan informasi yang ditangkap diatas akhirnya dirangkaikan atau dipisah-pisahkan -sesuai kebutuhan- sehingga mendapatkan kesimpulan yang baru oleh daya yang tertinggi dan terakhir yang disebutalmutakhayyilah (interpretasi). Kelima daya tangkap pengetahuan dari batin tersebut bertempat diotak. Karena seluruh daya ini menggunakan organ fisik maka al-Ghazali menyebutnya sebagai daya jasmani (qiwâ jasmaniyyah) yang bekerja secara reflektif alami.   

b.    Pengetahuan Rasional

Descartes, bapak rasionalisme continental, berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan yang darinya memakai metode dedukatif dapat disimpulkan semua pengetahuan kita. Ia yakin bahwa semua kebeneran itu ada dan bahwa kebenaran-kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan.

Akal mengatur data-data yang dikirim oleh indera, mengolahnya dan menyusunnya hingga menjadi pengetahuan yang benar.Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal dan merupakan abstraksi dari benda-benda konkret.Selain menghasilkan pengetahuan dari bahan-bahanyang dikirim indera, akal juga mampu menghasilkan pengetahuan tanpa melalui indera, yaitu pengetahuan yang bersifat abstrak. Seperti pengetahuan tentang hukum/ aturan yang menanam jeruk selalu berbuah jeruk.

Hukum ini ada dan logis tetapi tidak empiris. Penggunaan rasio dalam memperoleh pengetahuan menjadi sandaran sumber ini dimana akal harus memenuhi syarat-syarat yang digunakan dalam seluruh metode ilmiah. Jadi menurut aliran Rasionalisme, pengetahuan hanya dapat ditemukan dalam dan dengan bantuan akal (rasio). Dengan cara ini, maka proses pengetahuan manusia adalah dengan mendeduksikan, menurunkan, pengetahuan-pengetahuan particular dari prinsip-prinsip umum, atau dengan kata lain bahwa pengetahuan manusia harus mulai dari aksioma-aksioma yang telah terbukti dengan sendirinya, dan dari situ ditarik teorema-teorema sedemikian rupa sehingga kebenaran aksioma menjadi kebenaran teorema.

Penjelasan ini memberikan gambaran bahwa kemampuan akal manusialah yang dapat digunakan untuk dapat menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum tertentu dalam benaknya.Oleh karenanya logika silogisme menjadi sangat penting dalam menggunakan metode ini. Berbeda dngan kaum rasionalis yang begitu fanatikpada akal, Islam menerima akal sebagai sumber pengetahuan dalambatas batas tertentu, seperti halnya empirik.

Dalam Misykah al-Anwâr, al-Ghazali menjelaskan bahwa proses pencapaian pengetahuan itu ada lima tahapan. Dua di antaranya berada dalam wilayah pengetahuan empiris yaitu al-rûh alhisâs dan al-khayâliy. sedangkan tiga bagian berikutnya yang menjadi bagian dari jiwa rasional adalah al-rûh al-aqliy,al-rûh al-fikriy yang keduanya berada dalam kawasan wilayah pengetahuan rasional dan al-rûh al-qudsiy al-nabawiy yang berada dalam wilayah pengetahuan intuitif.

Daya rasional (al-rûh al-aqliy) adalah substansi manusia yang hanya ada pada manusia dewasa, tidak pada anak, terlebih pada binatang. Daya ini menyerap makna-makna di luar indera dan imajinasi. Adapun jangkauan pencerapannya adalah pengetahuanpengetahuandlarûriy(aksiomatis) dan universal. Eksistensinya sebagai pencerap makna-makna itu dalam bahasa metafora al-Qur`an adalah pelita (mishbâh).

Al-Ghazali membagi jiwa rasional itu kedalam dua bagian besar yaitu: akal praktis (al'amilah) dan akal teoritis(al-'âlimah). Kedua akal tersebut bukanlah dua hal yang benar-benar terpisah, akan tetapi lebih merupakan dua sisi dari substansi yang sama. Sisi yang menghadap ke bawah adalah akal praktis sedangkan yang menghadap ke atas adalah akal teoritis.

Akal praktis berfungsi untuk menggerakkan tubuh melalui daya-daya jiwa sensitif (alrûh al-hayawâniyyah) sesuai tuntutan pengetahuan yang telah dicapai oleh akal teoritis. Ia juga merupakan saluran yang menyampaikan gagasan-gagasan akal teoritis kepada daya penggerak (al-muharrikah) sekaligus merangsangnya menjadi aktual.

oleh karena itu menurut al-Ghazali akal praktis ini harus mampu menguasai daya-daya yang ada di bawahnya untuk mencapai akhlaq mulia. Jika akal praktis ini berhubungan dengan akal teoritis maka hubungan tersebut akan menghasilkan pengetahuan moral, seperti dusta adalah buruk, adil adalah baik dan lainlain.

Jika akal praktis berfungsi untuk menyempurnakan penampilan lahir manusia maka akal teoritis lebihberfungsi untuk menyempurnakan substansinya yang bersifat immaterial dan ghaib.Akal kedua ini berhubungan dengan pengetahuan yang abstrak dan universal.Ia mempunyai empat tingkatan evolutif yaitu: al-'aql al-hayulaniy, al-'aql bi al-malakah, al-'aql bi al-fi'il dan al-'aql al-mustafad.

1)   Al-'Aql al-Hayulaniy (Akal Material).

Pada fase ini akal masih berupa potensi karenanya ia merupakan tingkatan terendah dari dinamika intelektual manusia. Kondisi akal pada tahap ini diumpamakan seperti adanya kemampuan menulis pada anak kecil yang belum dapat menulis.Potensi menulis itu ada tapi belum aktual.

2)   Al-'Aql bi al-Malakah (Akal Habitual).

Akal ini disebut juga al-'aqlbi al-mumkin karena pada fase ini akal telah dimungkinkan untuk mengetahui pengetahuan aksiomatis (al-'ulûm al-dlarûriyyat) secara reflektif.Pengetahuan ini disebut sebagai pengetahuan rasional pertama (alma'qûlah al-ûlâ). Dalam al-Qisthâs al-Mustaqîm akal ini disebut dengan gharîzah al'aql (insting akal).

3)   Al-'Aql bi al-Fi'il (Akal Aktual).

Pada fase ketiga ini akal telah bisa menggunakan  pengetahuan pertama sebagai premis mayor dalam silogisme untuk memperoleh pengetahuan rasional kedua(alma'qûlah al-tsâniyah). Pengetahuan pertama sebagai modal dan pengetahuan kedua sebagai hasil pemikiran.Kegiatan berfikir pada fase inibukansemata-mata merupakan aktifitas akal murni tetapi juga   menggunakan daya al-mutakhayyilah yang ada pada jiwa sensitif.Jadi informasi dari al-mutakhayyilah -yang berfungsi untuk menyusun dan atau memisahkan pengetahuan- diambil kesimpulannya oleh akal tersebut.Kegiatan berfikir pada tahap ini merupakan kegiatan bersama antara al-mutakhayyilah dengan akal.

4)   Al-Aql al-Mustafâd (Akal perolehan).

Akal pada tingkatan ini telah mempunyai pengetahuan-pengetahuan secara aktual dan menyadari kesadarannya secara faktual.Berbeda dengan aktifitas berfikir sebelumnya di mana akal secara aktif menciptakan bentuk-bentuk pengetahuan baru dengan menggunakan informasi pada tahapan sebelumnya; pada tahap ini akal hanya bersifat pasif. Pengetahuan-pengetahuan itu telah hadir dengan sendirinya tanpa memerlukan kegiatan berfikir. Oleh karena itu ia disebut dengan al-mustafâd (perolehan). Akal ini juga sering disebut dengan al-aql al-qudsiy (akal suci) Pengetahuan tersebut merupakan limpahan dari akal yang selamanya aktual yaitu Akal Aktif.  Dalam Mi'yâr al-'Ilm  al-Ghazali menyata kan bahwa Akal Aktif itu adalah malaikat yang bertugas untuk memberi pengetahuan kepada manusia

c.     Pengetahuan Intuitif (Ladunni)

Jika disimak penuturan al-Ghazali dalam kitab-kitab filsafatnya terutama Ma'ârij al-Quds terlihat bahwa dinamika akal dalam gerakan klimaks sangat mengagumkan. Gerakan rasional dari alam wujud terendah hingga menusuk ke alam ghaib. Pada tingkat akal mustafâd aktifitas berfikir sangat berbeda dengan tahap sebelumnya. Pada tingkat ini akal justru secara pasif menerima pengetahuan langsung dari Akal Aktif tanpa melalui proses belajar.

Dalam Misykât al-Anwâr tingkatan tersebut dinamakan al-rûh al-quds alnabawiy yang menempati puncak dari kebenderangan dan kejernihan yang bertugas untuk menyulut daya-daya (ruh) dibawahnya. Dalam bahasa metafora al-Qur`an adalah "minyak".

Menarik untuk dikaji bagaimana al-Ghazali membandingkan derajat seorang ilmuan dengan wali. Ilmuan itu hanya diibaratkan kanak-kanak (al-thifl) dan wali itu adalah remaja (al-tamyîz). Seperti tidak tahunya kanak-kanak tentang kondisi remaja, seperti itulah tidak tahunya intelektual terhadap pengetahuan para wali. Penjelasan ini menunjukkan bahwa dalam ajaran Islam, kualitas pengetahuan intuitif itu lebih utama jika dibanding dengan pengetahuan rasional.

Apa yang dimaksud dengan intuisi dalam Islam sangat berbeda dengan wacana Barat, baik di bidang psikologi maupun filsafat. Intuisi di Barat merupakan bentuk perkembangan lebih lanjut dari intelektual dan masih dalam kawasan rasional. Intuisi difahami oleh ilmuan dan filosof Barat sebagai bentuk pemunculan ide-ide terpendam di bawah sadar. 

Oleh karena itu Iqbal mengatakan: "In fact, intuition, as Bergson rightly says, is only a higher kind of intellect." (intuisi sebagaimana dimaksud oleh Bergson, hanyalah salah satu jenais kemampuan nalar tinggi). (Iqbal: 19981).

Di dalam wacana Islam intuisi merupakan bentuk pencapaian ilmu hudluriy yang didapatkan seseorang dengan cara pasif baik itu secara langsung dari Allah atau melalui perantara. Perantara di sini dapat berupa malaikat (Akal Aktif), bisa juga melalui Lauh Mahfuzh (Jiwa Universal) ataupun al-Qalam atau Nur Muhammad (Akal Universal). Adapun pengaktifan jiwa manusia yang di sulut oleh syetan tidak termasuk dalam definisi intuisi yang dikehendaki di dalam bahasan ini.      

C.   STRUKTUR ILMU DALAM ISLAM 

1.       Struktur Ilmu dalam pandangan para Filosof Muslim

Muhamad Al-Bahi membagi ilmu dari segi sumbernya terbagi menjadi dua, Pertama; ilmu yang bersumber dari Tuhan, Kedua; ilmu yang bersumber dari manusia. Al-Jurjani membagi ilmu menjadi dua jenis, yaitu Pertama; ilmu Qadim (luhur) dan Kedua; ilmu Hadits (baru). Ilmu Qadim adalah ilmu Allah yang jelas sangat berbeda dariilmu hadits yang dimiliki manusia sebagai hamba-Nya.

Menurut Al-Gazali ilmu dibagi menjadi dua macam yaitu ilmu Agama (syar’iyah) dan ilmu umum (aqliyyah). Ilmu syar’iyyah adalah ilmu agama karena ilmu itu berkembang dalam ketentuan syar’iyyah (hukum wahyu), sedangkan ilmu aqliyyah adalah ilmu yang dengan nalar murni, seperti ilmu alam, matematika, metafisika, ilmu politik dll. 

Menurut Al-Kindi pengetahuan ada dua macam yaitu,pertama pengetahuan  Ilahi yaitu ilmu yang tercantum dalam Qur’an sebagai pengetahuan yang diperoleh nabi dari Tuhan yang didasarkan pada keyakinan. Kedua, pengetahuan manusiawi, disebut juga filsafat yang mendasarkan pada pemikiran akal.

Para filosof muslim membedakan ilmu, kepada ilmu yang berguna dan yang tak berguna. Kategori ilmu yang berguna mereka memasukkan ilmu-ilmu duniawi, seperti kedokteran, fisika, kimia, geografi, logika, etika, bersama disiplin-disiplin yang khusus mengenai ilmu keagamaan. Ilmu sihir, alkemi dan numerologi (ilmu nujum dengan menggunakan bilangan) dimasukkan ke dalam golongan cabang-cabang ilmu yang tidak berguna.

Al-farabi membuat klasifikasi ilmu secara filosofis ke dalam beberapa wilayah, seperti ilmu-ilmu matematis, ilmu alam, metafisika, ilmu politik, dan terkahir yurisprudensi dan teologi dilaektis. Beliau memberi perincian ilmu-ilmu religius (ilahiyah) dalam bentuk kalam dan fiqih langsung mengikuti perincian ilmu-ilmu filosofis, yakni matematika, ilmu alam, metafisika, dan ilmu politik.
 
2.       Struktur Ilmu Menurut al-Ghazali

Adapun pemikiran al-Ghazali tentang struktur/ hirarki ilmu pengetahuan dituangkan dalam berbagai kitabnya secara variatif. Namun yang paling banyak dijadikan rujukan adalah yang ada di dalam kitab  Ihyâ’. Ia membagi ilmu pengetahuan berdasarkan pada bentuk kewajiban yang dibebankan kepada muslim dalam dua kategori, yakni:  fardlu 'ain yang dibebankan kepada masing-masing individu untuk mempelajarinya dan kategori fardlu kifayah yang dibebankan kepada komunitas muslim.

a.     Fardlu 'Ain

Seperti pemahaman ulama` ushuliyyȋn, al-Ghazali juga mengatakan bahwa fardlu 'ain merupakan kewajiban yang dibebankan syâri' kepada mukallaf.  Kendatipun para ulama' muslim sepakat dalam memberikan batasan terhadap fardlu 'ain namunmereka berbeda pendapat ketika harus menentukan ilmu pengetahuan mana yang  termasuk kategori  fardlu 'ain tersebut.

Ulama' kalam (teolog) mengatakan ilmu kalamlah yang termasuk ilmu fardlu 'ain.Ulama' tafsir mengatakan tafsir, ulama' hadis mengatakan hadis ulama' fiqh mengatakan fiqh dan sebagainyadenganargumentasi masing-masing. Al-Ghazali dalam hal ini sependapat dengan Abu Thalib al-Makkiy dalam menentukan kategori ilmu fardlu 'ain. Keduanya mendasarkan argumentasinya pada hadis Nabi tentang bangunan Islam yaitu:
(Islam itu ditegakkan atas lima hal yaitu: syahâdah (persaksian) bahwasannya tidak ada Tuhan kecuali hanya  Allah dan bahwasanya Muhammad SAW. adalah rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa  Ramadlan) (HR. Bukhori, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa`i  dari Ibn ‘Umar dengan Sanad Shahih. al-Suyȗthiy, Jami’ al-Shaghir, Juz 1, 126) .

Jadi yang termasuk kategori fardlu 'ain menurutnya adalah meliputi ilmu-ilmu tentang syahadah, shalat, zakat, puasa dan haji. Jika pembagian al-Ghazali tentang ilmu mukasyafah dan mu'amalah diikuti maka ilmu yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah termasuk dalam kategori ilmu mu'amalah. Ilmu mu'amalah itu sendiri terdiri atas tiga hal, yaitu: i'tiqâd (keyakinan), fi'il (anjuran), dan tark (larangan).

Yang termasuk dalam i'tiqad adalah pengetahuan tentang dua kalimah syahadah.Yang termasuk dalam fi'il adalah pengetahuan tentang thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat, dan seluruh aktifitas yang difungsikan untuk menghilangkan keragu-raguan. Sedangkan yang termasuk tark adalah pengetahuan tentang hal-hal yang dilarang oleh syara' yang tergantung dengan kondisi tertentu.

Misalnya orang buta tidak wajib belajar tentang pandangan yang haram begitu juga yang lain. Menurut al-Ghazali, seorang muslim yang telah âqil balligh itu dituntut untuk mengamalkan ketiga hal yakni i'tiqâd, fi'il dan tark. Ia mengetakan bahwa bagi seorang yang telah balligh kewajiban pertama kali yang harus ditunaikan waktu itu adalah i'tiqâd. Jadi ia harus mengetahui makna kalimah syahadah dengan seyakin- yakinnya. Keyakinan itu dianggap telah memenuhi syarat walaupun hanya sebatas taqlid pada awalnya. Adapun kewajiban-kewajian yang lain yang termasuk dalam kategori fi'il dan tark menyusul secara bertahap. llmu-ilmu inilah yang difardlukan oleh hadis:



(Mencari ilmu itu wajib atas setiap individu muslim). (HR.Baihaqiy dan Ibn Adi, Khatib dan Thabraniy dengan sanad Shahih. al-Suyuthi, Juz. 2, 161) 

b.    Fardlu Kifayah

Al-Ghazali  mengatakan bahwa yang termasuk kategori fardlu kifayah ialah semua ilmu yang tidak bisa tidak dibutuhkan dalam menegakkan permasalahan kehidupan dunia. Seandainya dalam satu daerah tidak ada orang yang mengerti ilmuilmu itu, maka seluruh penduduk daerah tersebut berdosa.  Jika telah ada yang menegakkan meski hanya seorang saja, maka gugurlah kewajiban penduduk daerah tersebut. Ilmu fardlu kifayah ini terbagi atas dua bagian yaitu:

1)   Ilmu Syari'ah

Ilmu Syari'ah ini terbagi atas empat bentuk yaitu: pokok (ushul), cabang (furu’), pendahuluan (muqaddimah), dan penutup (mutammimah).

a)    Ilmu Ushûl

Adapun yang termasuk dalam ilmu ushul itu adalah ilmu pengetahuan tentang Kitabullah (al-Qur`an), sunah, ijma', dan atsar (statement) shahabat.

b)   Ilmu Furû'

Ilmu furu' ialah ilmu pengetahuan yang difahami dari Ilmu ushul bukan dengan kepastian lafal-lafalnya melainkan dengan pengertian-pengertian yang diketahui akal. Ilmu furu' tersebut terbagi atas dua hal yaitu: ilmu tentang kemaslahatan dunia seperti fiqh dan ilmu tentang kemaslahatan akhirat yakni ilmu tentang keadaan hati, akhlak terpuji dan tercela, hal-hal yang diridlai Allah dan yang dibenciNya.Ilmu-ilmu ini tergolong dalam ilmu akhlaq (etika).

c)    Ilmu Muqaddimah

Ilmu Pendahuluan adalah ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai alat untuk memahami al-Qur`an dan al-Hadis, seperti ilmu lughah (bahasa Arab) dan nahwu (gramatik). IlmuKhat (ilmu menulis bahasa Arab) juga termasuk dalam kelompok ilmu ini.

d)   Ilmu Mutammimah

Yang dimaksud dengan ilmu penutup ialah semua cabang ilmu yang berkaitan dengan ilmu al-Qur`an dan hadis. Adapun ilmu penutup yang berkaitan denganal-Qur`an tersebut  terbagi atas: ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lafal al-Qur`an seperti Ilmu Qirâ'ah dan Makhârij al-Khurûf (ilmu tentang daerah artikulasi huruf-huruf Arab). Ilmu yang berkaitan dengan makna al-Qur`an yaitu IlmuTafsir.

Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum al-Qur`anyaitu: Ilmu Ushul Fiqh yang mencakup ilmu nasikh-mansukh, 'âm-khâsh, nash-dzahir dan sebagainya. Sedangkan ilmu Penutup yang berkaitan dengan hadis adalah ilmu-ilmu tentang rijâl al-hadis, al-jarh wa al-ta'dlil, sanad-matan, dan sebaginya.

2)   Ilmu Umum (Non Syari'ah)

Adapun yang termasuk dalam kategori ilmu non syari'ah adalah seluruh ilmu umum (science). Berdasarkan sifatnya ilmu ini terbagi atas tiga bentuk yaitu:

a)      Ilmu umum yang terpuji (mahmûd) seperti ilmu kedokteran, matematika, perindustrian dan politik. 
b)     Ilmu umum yang tercela (madzmûmah) seperti ilmu sihir, mantera-mantera, tenung dan sulap. 
c)      Ilmu umum yang netral (mubah) seperti syair (puisi) yang tidak jorok, sejarah dan sebagainya. 

Struktur ilmu pengetahuan yang ada dalam Ihyâ’ tersebut menempatkan Ilmu al-Qur’an dan Hadis pada dua tempat yaitu: pada kelompok ilmu ushȗl dan ilmu mutammimât. Penempatan ini bukanlah merupakan suatu kontradiksi tetapi adalah keharusan. Maksudnya jika sudut pandangnya adalah ilmu ushȗl (pokok) dan furȗ’, maka ilmu al-Qur’an-Hadis itu tergolong dalam kategori ilmu pokok (ushȗl).

Jika sudut pandangnya adalah tahapan pengkajian suatu ilmu, maka ilmu al-Qur’an-Hadis itu adalah merupakan kelompok ilmu penutup (mutammimâh) bukan ilmu pendahuluan (muqaddimât). Dalam strukturisasi di atas, al-Ghazali  tidak memasukkan Ilmu Kalam sejak dini, meskipun pada akhirnya dikelompokkan dalam ilmu pengetahuan kategori fardlu kifâyah.

Adapun alasan tidak dimasukkannya Ilmu Kalam sedari awal adalah karena ilmu tersebut menurutnya mengandung berbagai unsur pembahasan yang kontradiktif. Sebagian dalil yang dikandung berbentuk dalil-dalil yang bermanfaat yang didukung oleh nashal-Qur`an maupun hadis-hadis terkait. Akan tetapi sebagian pembahasan yang lain hanya berisi perdebatan tercela dan termasuk hal bid'ah. Sebagian yang lain lagi terdiri dari pembahasan yang tidak berhubungan sama sekali dengan agama dan tidak dikenal sedikitpun pada masa awal Islam.

Maka secara keseluruhan al-Ghazali menilai bahwa Ilmu Kalam adalah bid'ah. Namun demikian karena pada masa itu telah muncul banyak statement para teolog yang dinilai berlawanan dengan al-Qur`an dan sunnahserta munculnya kelompok yang merangkai hal-hal subhat dalam pembahasannya, maka larangan itu bergeser menduduki hukum dlaruri (mendesak untuk segera dilakukan) guna membersihkan dan mempertahankan akidah. Hukum tersebut bergeser dari larangan menjadi fardlu kifayah.

Ilmu kalam  menjadi fardlu kifayah  barena ia berfungsi untuk menjaga hati orang-orang awam dari hayalanparapembuatbid'ah. Kebutuhan tersebut disamakan oleh al-Ghazali dengan kebutuhan menyewa pengawal pada saat musim haji yang dimaksudkan untuk menghindarkan jama’ah haji dari kedlaliman oknum bangsa Arab, misalnya.Akan tetapi jika bangsa-bangsa Arab tersebut tidak lagi demikian -keadaan sudah aman- maka menyewa pengawal haji itu tidak lagi termasuk syarat perjalanan haji.

Oleh karenannya ia berpesan pada para mutakallimȋn (teolog) agar menjaga aqidah orang awamdari kekacauan para pembuat bid'ah sebagaimana pengawal menjaga barang-barang jama'ah haji dari rampasan pencuri. Filsafat juga tidak dieksplisitkan dalam klasifikasi di atas karena filsafat menurut  al-Ghazali bukan merupakan ilmu yang independen, setidaknya saat itu.  Dalam pandangannya ilmu filsafat terdiri atas empat bagian yaitu: Ilmu Ukur dan  Ilmu Hitung (matematika), Logika, Teosofi (Ilâhiyyât), d an Ilmu Alam (Thabi'iyyât).

Ustadzah Fathiyah, pakar Ilmu Pendidikan Islam Timur Tengah, menyimpulkan bahwa pemikiran al-Ghazali tentang klasifikasi ilmu yang ada dalam Ihyâ` itu,  jika didasarkan pada urgensinya bagi kepentingan manusia, terbagi atas empat tingkatan yaitu: 

Pertama, Kelompok ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan keagamaan dan kehidupan akhirat di samping berguna untuk menyucikan jiwa memperindah moral dan mendekatkan diri kepada Allah serta sebagai persiapan bagi kehidupan yang abadi. Yang termasuk dalam kelompok ilmu ini adalah ilmuilmu yang berkaitan denganal-Qur`an dan ilmu-ilmu agama lainnya.

Kedua, ilmu yang berguna bagi manusia karena ia menjadi prasarat bagi kelompok ilmu pertama seperti: Ilmu Lughah dan Nahwu.

Ketiga, ilmu yang berguna bagi kehidupan manusia di dunia seperti: Ilmu Kedokteran, Matematika, Teknologi, Politik dan sebagainya.

Keempat, ilmu yang berguna dari sudut peradaban dan kesenangan manusia dan kehidupan sosial seperti: Ilmu Sastra (puisi), Sejarah, dan Etika.

Meskipun al-Ghazali secara nyata memformulasikan ilmu pengetahuan dalam dua kategori yakni ilmu agama dan ilmu umum, tetapi ia tidak bisa disebut sebagai tokoh dualisme pengetahuan terlebih tokoh sekularisme pengetahuan dalam Islam. Hal ini karena batas antara ilmu agama dan ilmu umum tersebut hanya semacam "garis demarkasi".

Batasan itu secara kategoris ada, tapi pada hakekatnya tidak ada. Pembagian ini dibuat semat-mata untuk kepentingan pragmatis mempermudah pemahaman. Dalam al-Risâlah al-Ladunniyah, ia mengatakan: ‘Sebagian besar ilmu agama adalah rasional bagi yang mengetahuinya dan sebagian besar ilmu rasional (umum) adalah syar'iyyah bagi yang mengerti.” (al-Ghazali: stt.)

SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM

@MENZOUR_ID



Tidak ada komentar:

Posting Komentar