KB 1 :
Dalam Video Ada beberapa ayat yang
disampaiakan Said Aqil Siradj, yang mungkin saya angkat beberapa masalah
darinya, ayat tersebut ialah:
QS. Al-maidah 46
وَقَفَّيْنَا عَلَىٰ آثَارِهِمْ
بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ ۖ
وَآتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ فِيهِ هُدًى وَنُورٌ وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ
يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ
Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani
Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu:
Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada)
petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang
sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk
orang-orang yang bertakwa.
QS.Al-Baqarah 193
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا
فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
Dan
perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan
itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu),
maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Sementara Pada jurnal Modul PAI kontemporer KB 2,
disana ada disebutkan bahwa orang-orang yang menetang organisasi Ahmadiyah
termasuk organisasi fundamental-radikal, smentara Said Aqil menyebut orang yang
zalim adalah orang yang melanggar termasuk para teroris.
Namun,
menurut saya saya ambil contoh pada kasus “Ahmadiyah” apabila Ahmadiyah
menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi akhir zaman, berarti mereka
melanggar ketentuan dari “rukun Islam” yang telah di sepakati, artinya
seharusnya mereka membentuk agama baru yakni agama Ahmadiyah jangan melebeli
diri sebagai Islam. kan, hal itu tidak menjadikan masalah bagi Islam dan bagi mereka.
Bagaimana menurut Bapak Ibu???
Pendapat saya:
Radikalismen
yang menjurus kepada tindakan terorisme yang mana bisa mencelakai orang lain
adalah tindakan yang tidak dibenarkan oleh agama apapun termasuk agama yang
kita anut yakni Islam. Anggapan bahwa radikalismen yang bentuknya menjadi
teroris adalah bisa dibenarkan adanya, alasanya ialah mereka ingin
memporak-porandakan Islam dari dalam sehingga mereka merekrut pengikut dengan
cara di hipnotis bahkan dibayar sampai jutaan rupiah sesuai isi video said aqil
siradj tersebut.
Kalangan
Non-muslim yang sangat anti Islam berusaha keras agar Islam tidak bisa bersatu,
karena apabila Islam bersatu maka pihak anti Islam ini terbelakang dalam sgala
hal.
Selanjutnya pendapat saya:
Selain
itu, ada pemahaman tentang jihad yang keliru. Orang yang punya konsep pemahaman
Islam yang literalis seperti mencuri potong tangan, berzinah dirajam dalam
konteks modern seperti saat ini lebih mudah teradikalisasi. Kalau jihad mesti
perang bukan menahan nafsu atau melawan diri sendiri, itu lebih mudah
teradikalisasi. Itulah salah satu faktor-faktor yang berperan.
Sebagai
Pendidik / Guru mari kita mencegah radikalisasi menyusup ke generasi muda terutama
di sekolah-sekolah kita Bapak Ibu guru. Ada ide mengenai negara khilafah atau
ide-ide radikal lainnya yang di gembar gemborkan, namu semua itu tidak akan
diterima masyarakat Indonesia.
KB 2 :
Al-Rahnu/
Praktik gadai (rahn) yang dilakukan
oleh masyarakat di kampung saya pada
umumnya dipraktikkan dalam hal gadai sawah atau yang lebih dikenal dengan
istilah “nanggep”. Praktik nanggep
(gadai sawah) yang dilakukan oleh masyarakat disini secara umum hampir sama
dengan praktik gadai sawah yang dipraktikkan oleh masyarakat lain pada umumnya
yang mana sistem tersebut diadopsi secara turun temurun dari masyarakat
terdahulu yang sudah menjadi hukum adat setempat, akan tetapi sistem praktik
gadai sawah tersebut tidak sesuai dengan hukum Islam, dan hal ini tentu saja
perlu dicari usaha solutif untuk mengubah pola praktik semacam ini supaya
sesuai dengan hukum Islam.
Tradisi
nanggaep ini biasanya menyebabkan pengadai (pemilik sawah) rugi, karena
penerima gadai sering mendapat keuntungan yang lebih besar dari uang yang
dipinjamkan. selain itu tidak adanya ketetapan di antara kedua pihak tentang
masa atau jangka waktu gadai tersebut, sehingga penerima gadai akan mengembalikan
sawah gadai tersebut sampai pemiliknya mampu melunasi hutangnya. Dengan praktek
semacam itu maka akan terjadi keuntungan yang lebih besar bagi penerima gadai
tidak ada batas waktu terhadap gadai yang dilakukan, serta pemanfaatan atas
barang jaminan tersebut hanya boleh dilakukan oleh pihak yang menerima (memberi
hutang), sedangkan pemberi (penerima hutang) dari barang gadai tersebut
seolah-olah telah kehilangan haknya untuk memanfaatkan barang miliknya sendiri,
namun hanya saja barang tersebut dijadikan jaminan. Barang yang menjadi jaminan
keuntungan dari lahan tersebut, tetap menjadi laba bagi menerima barang/lahan
gadai, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya.
Hal
ini tentunya sangat ironis mengingat tujuan dari sistem “nanggep” ini adalah
untuk saling tolong menolong dimana pihak penerima gadai menolong pihak penggadai
dengan memberikan sejumlah pinjaman kepada pihak penggadai yang sedang
membutuhkan dana yang mendesak dengan menempatkan sawahnya sebagai jaminan.
Bahkan tidak jarang pula ada beberapa kasus yang terjadi dimana pihak penggadai
baru bisa menebus hartanya dengan mengembalikan pinjaman dalam jangka waktu
yang sangat lama atau bahkan bisa sampai ke generasi kedua, bahkan tidak jarang
pula sawah tersebut harus dijual kepada pihak ketiga karena pihak penggadai tidak
mampu melunasi pinjamannya sehingga untuk melunasi pinjaman tersebut dengan terpaksa
harus dijual kepada pihak lain.
Solusinya menurut saya ; Praktik “nanggaep” (gadai
sawah) yang selama ini dilakukan oleh masyarakat sudah seharusnya diubah karena
tidak sesuai dengan prinsip syariah, terutama pada hal yang terkait
dengan pemanfaatan barang yang digadaikan. Penerima gadai tidak boleh
memanfaatkan dan mengambil manfaat dari barang yang digadaikan dan bagi pihak
penggadai harus tepat waktu dalam pengembalian pinjaman sesuai dengan jangka
waktu yang disepakati supaya tidak merugikan pihak penerima gadai.
Usaha
solutif yang mungkin bisa dipertimbangkan oleh masyarakat setempat adalah harus
ada niatan baik dari semua pihak baik itu dari pemerintah, ulama maupun
masyarakat yang melakukan praktik “nanggep” (gadai sawah) untuk mengubah
praktik “nanggep” (gadai sawah) ini supaya sesuai dengan prinsip syariah. Sudah
sepatutnya pemerintah membuat peraturan yang jelas yang tertuang kedalam
peraturan daerah dengan mengandeng para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat
setempat untuk membuat payung hukum yang sesuai dengan prinsip syariah.
Wallohu
a’lam...
KB 3 :
Masyarakat memiliki kesan bahwa
LGBT sebagai sesuatu yang menular, dengan kata lain LGBT sebagai penyimpangan.
Hal tersebut dianggap menyeramkan karena terkait dengan hubungan seksual yang
menyimpang dan penyakit yang ditimbulkannya sangat parah yakni HIV Aids.
Sebagian masyarakat yang lain melihat LGBT sebagai penyakit sosial karena
bertentangan dengan atau melanggar norma-norma dan nilai-nilai agama yang
dianut oleh mayoritas masyarakat kita.
Walaupun begitu, tidak selalu
laki-laki yang feminin itu gay bahasa saya “BANTONG” (Banci), bisa
sebaliknya karena ada gay yang sangat macho seperti laki-laki pada umumnya.
Selain itu, mereka juga bisa diidentifikasi ketika berdua dengan laki-laki
lain. Umumnya gay dapat teridentifikasi apabila mereka sedang bersama pasangannya
atau sedang berinteraksi dengan lelaki lainnya. Misalnya bergandengan tangan
atau ketika mereka sedang melakukan pendekatan ke lelaki lainnya tersebut. Nah,
kebetulan di kampung saya ada nih, orangnya “Bantong”, mereka sering
bersama-sama dengan sesama “bantong” tapi saya tidak berani dan tidak boleh
menjustifikasinya sebagai homo atau gay.
Begitu juga Lesbian, juga dapat
dikenali tetapi tidak semudah seperti gay. Mereka ada yang berpenampilan
seperti laki-laki dengan ciri dan atribut laki-laki. Misalnya berambut pendek,
macho, dan berpakaian seperti laki-laki. Selain itu, ada juga yang
berpenampilan seperti perempuan pada umumnya.
Saya berpendapat bahwa LGBT ialah
penyakit yang harus disembuhkan atau dipulihkan. Masyarakat melihat bahwa LGBT
merupakan orang-orang yang harus diobati dan membutuhkan pertolongan, mereka
perlu direhabilitasi untuk mendapatkan pemulihan agar mereka menjadi normal
(heteroseks) kembali dan agar jumlahnya tidak bertambah banyak.
Di Masyarakat, tugas pemerintah
dan tokoh agama harusnya memberikan pencerahan dan penjelasan secara persuatif
kepada mereka betapa bahayanya LGBT bagi mereka, keluarga, orang lain dan
lingkungan, bahkan hal tersebut melanggar norma agama atau syar’i.
Dilingkungan sekolah mungkin
tidak bisa kita jumpai karena kita hanya menyampaikan materi kepada peserta
didik kita, namun mari kita secara personil mencari kemungkinan ada peserta
didik kita (murid) kita yang terindikasi ke perbuatan LGBT, maka inilah tugas
kita mndidik dan membimbingnya secara keilmuan dan agama karena kita guru PAI
dan Budi Pekerti.
KB 4 :
Terkait dengan bertetangga dengan
orang yang beda agama, saya teringat ketika saya kos di Mataram, ketika itu
saya bertetangga dengan orang-orang Bali yang beraga Hindu dan begitu pula ketika
saya menempuh pendidikan s2 di Malang Jawa Timur yang mana saya dapat beasiswa
dari kemenag pusa, kala itu saya kos dan bertetangga dengan orang-orang
Nasrani, jadi banyak pengalaman yang saya dapatkan dari perbedaan tersebut dan
menjalankan hidup mengamalkan tasamuh atau toleransi. Alhamdulillah, sebaliknya
di kampung saya mayoritas agama masyaraky disini ialah 100 % agama Islam
sehingga tidak ada yang membuat saya risih dan tidak enak, akan tetapi
pertentangan dalam se-agama-pun tak kalah serunya terlebih dalam bertetangga,
khilap dan perbedaan selalu menghiasi kehidupan saya.
Terkait dengan bertetangga ada
sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dikatakan: "Seorang muslim adalah orang yang muslim
lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya." (HR. Muslim). Dalam
kaitannya bertentangga maupun bergaul dengan sesama, Rasulullah memberikan
penekanan bahwa etika pokok seorang muslim yang sempurna keislamannya adalah di
saat ia mampu menjaga dirinya untuk tidak mendzalimi orang lain dalam bentuk
apapun, baik oleh lisannya maupun tangannya.Memetik pesan Rasulullah dengan
"merasa aman dari lisannya" bisa mencakup gangguan dengan bentuk
ucapan maupun dengan gerakan lisan yang bersifat melecehkan atau merendahkan
orang lain.
Sesungguhnya menjadi hak setiap
orang tentunya untuk mempercayai bahwa agamanyalah yang paling benar. Namun,
dalam waktu yang bersamaan, yang bersangkutan juga harus menghormati jika orang
lain berpikiran serupa. Karena hal itu merupakan masalah pribadi, tidak banyak
gunanya memaksa seseorang untuk memeluk suatu agama kalau tidak dibarengi
dengan kepercayaan dan keyakinan penuh dari orang tersebut. Memeluk agama
karena paksaan dan intimidasi merupakan kepemelukan agama yang pura-pura, tidak
serius, dan bohong.
Sementara itu, sejumlah hukum
agama seperti riddah (keluar dari ajaran Islam), kufr (kafir) yang oleh
sebagian oknum dikatakan sebagai argumentasi untuk menolak ajakan toleransi,
jelas merupakan kesalahan fatal dalam meletakkan hukum agama. Artinya, hukum Islam
tidak diletakkan dalam proporsinya yang benar sebagai jalan atau Syir’ah/
Minhaj, untuk sampai kepada Tuhan. Dalam bahasa ushul fikih menyebutkan
Syari’at bukanlah Ghayah melainkan Washilah. Dalam ushul fikih berbunyi: Al-Islam Murunatun Fi l-Wasa’il Wa Tsabatun
Fi l-Ghayat artinya Islam bersifat lentur-elastis ketika berbicara tentang
sarana pencapaian sebuah tujuan, namun sangat tegas ketika sudah menyangkut
tujuan itu sendiri. Artinya disini saya hanya ingin mengatakan sesuai kaidah
tadi, bahwa tujuan Ghayah dalam Islam yang merupakan sesuatu yang tegas dan tidak
bisa ditawar-tawar adalah menjadikan agama ini sebagai “rahmatan lil ‘alamin”. QS. An-Nisa’ ayat 107.
Oleh karena itu, marilah kita
wujudkan Islam yang rahmat bagi semua, melalui toleransi umat beragama sebagai
sebuah sarana (Washilah), apalagi ketika Islam telah mempunyai konsep yang
jelas, mudah, aplikatif, rasional dan telah terbukti oleh sejarah, bahkan
sebagai sebuah ajaran yang Qath’iy yang mesti dijalankan.
Akhirnya kesimpulan yang dapat
saya goreskan ialah marilah kita menjalankan ajaran agama kita dengan
sungguh-sungguh dan secara kaffah jangan setengah-setengah, boleh kita
menyerukan pendapat akan tetapi tidak boleh mamaksakan pendapat kita, baik
dalam segala hal termasuk dalam memeluk agama “lakuk di nukum wa liyadiin” artinya bagimu agamamu dan bagiku
agamaku QS. Al-Kafirun ayat 6, semoga bermanfaat.
Wallohu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar