KB 1 : ZAKAT
A. ZAKAT HASIL TANAH YANG DISEWAKAN
1. Pengertian
Zakat secara bahasa artinya suci, tumbuh
berkembang dan berkah. Makna zakat secara bahasa ini mencerminkan sifat zakat yang dapat
mensucikan harta dan jiwa serta mengandung nilai positif yang dapat
dikembangkan berupa kebaikan bagi si muzakki
dan kemashlahatan ekonomi bagi para mustahiq
Menurut
syara’, para ulama mendefinisikannya dengan “Harta tertentu yang wajib dikeluarkan sebagiannya kepada para mustahiq.”
Jadi, zakat adalah kewajiban seseorang
untuk mengeluarkan sebagian harta miliknya
yang sudah memenuhi syarat untuk dizakati kepada orang yang berhak
menerimanya (mustahiq) Zakat sering
juga disebut shadaqah karena tindakan itu adalah tindakan yang benar (shidq).
2. Pengertian dan Dasar
Hukum-Nya
Berikut
beberapa komponen yang harus
terpenuhi dalam transaksi zakat hasil tanah yang disewakan, yakni harus
ada:
a. Sebidang tanah yang disewakan,
b. Pemilik tanah (Orang yang
menyewakan tanahnya kepada orang lain),
c. Penyewa tanah sekaligus penggarap
tanah yang disewakan.
Zakat
hasil tanah wajib dikeluarkan zakatnya setiap panen, tidak berlaku
untuknya istilah syarat haul (genap satu tahun) di dalamnya.
Jika satu tahun itu dua kali panen, maka zakatnyapun dua kali.
3. Siapa yang Wajib Mengeluarkan
Zakatnya
Ketentuan
bahwa zakat hasil tanah yang disewakan wajib dikeluarkan zakatnya tidak
memunculkan masalah jika tanah itu ditanami oleh pemiliknya langsung.
Persoalannya jika tanah itu disewakan kepada orang lain, maka hal ini akan
memunculkan masalah, siapa yang wajib mengeluarkan zakat hasil tanah yang
disewakan? Apakah si pemilik tanah atau si penyewa tanah (yang bercocok tanam).
Untuk
menjawab kasus hukum ini tidak terdapat kata sepakat di kalangan para ulama
mereka berselisih dalam menetapkan hukumnya seperti diuraikan berikut ini.
a.
Menurut
Jumhur ulama, bahwa yang wajib mengeluarkan zakat hasil tanah yang
disewakan adalah pihak penyewa.
Mereka beralasan karena yang dikeluarkan
zakatnya adalah hasil tanahnya bukan tanahnya.
b.
Menurut
pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya bahwa
pemilik tanahlah yang wajib mengeluarkan zakatnya karena dari sebab
tanah itulah ada hasil yang diperoleh., tanpa tanah tak akan dapat dihasilkan
apa-apa.
c.
Imam
Malik, Syafi’i, Imam At-Tsauri, Imam Ibnu Mubarak dan Imam Ibnu Abu Tsaur
berpendapat, penyewa tanahlah yang wajib membayar zakat, pendapat ini sejalan
dengan pendapat point pertama.
B. ZAKAT HASIL JASA (PROFESI)
1. Pengertian dan Hukumnya
Zakat
profesi meliputi semua pekerjaan yang halal dan baik, zakatnya dapat
dikeluarkan sesuai dengan waktu perolehannya setelah diambil terlebih dahulu
untuk kewajiban biaya terhadap keluarga dan biaya operasional. Seseorang dengan
profesinya yang berpenghasilan pas-pasan bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya bukanlah termasuk profesi yang wajib dikeluarkan zakatnya, bahkan
mereka tergolong orang yang berhak menerima zakat (mustahiq), seperti tukang
beca.
2. Cara Mengeluarkan dan Nisabnya
Berapa
nisab (batas minimal) dan prosentase yang harus dikeluarkan? Terjadi perbedaan
pendapat para ulama terhadap penetapan nisabnya:
a. Abdurrahman Hasan, Imam Abu
Zahra, dan Abdul Wahab Khallaf, mereka berpendapat bahwa nisab zakat profesi
sekurang-kurangnya lima wasaq atau 300 sha sekitar 930 liter atau 653 Kg.
sehingga prosentase zakatnya disamakan (diqiyaskan) dengan zakat pertanian yang
pengairannya menggunakan alat (mesin), yaitu sebesar 5 % setiap mendapatkan
gaji atau honor.
b. Jumhur ulama berijtihad bahwa
nisab zakat profesi adalah seharga emas 93,6 gram emas murni yang diambil dari
penghasilan bersih setelah dikeluarkan seluruh biaya hidup. Kelebihan inilah
yang dihitung selama satu tahun, lalu dikeluarkan zakatnya sebanyak 2,5 %
setiap bulan. Prosenatase ini diqiyaskan dengan zakat mata uang yang telah
ditetapkan oleh Hadits.
c. Terdapat juga pendapat yang
mengatakan bahwa zakat profesi disamakan dengan zakat rikaz (barang temuan)
maka tidak ada syarat nisab dan prosentasenya 20 persen pada saat menerimanya.
Maka adanya zakat profesi sebagai
hasil ijtihad sejalan dengan prinsip hukum Islam yang memberikan pintu
kemudahan, dalam hal ini penunaian zakat secara ta’jil (disegerakan) dapat
menghilangkan kealfaan seseorang dalam penunaian zakat.
C. ZAKAT PRODUKTIF
Permasalahannya
yang kemuidan muncul bagaimana hukum penyaluran zakat untuk modal usaha,
berikut bahasannya.
1.
Gagasan
Zakat Produktif
Ide
untuk mengembangkan zakat sebagai modal usaha muncul ketika fokus perhatian
dilakukan secara seksama bahwa para fuqara dan masakin tidak semuanya
orang-orang yang memiliki keterbatasan
kekuatan fisik namun di antara mereka terdapat banyak yang memiliki kesehatan
fisik dan keahlian yang dapat dikembangkan, tapi mereka tidak memiliki modal,
sehingga keluar ide untuk memberikan zakat kepada mereka untuk bisa dijadikan
sebagai modal usaha yang dapat meningkatkan status ekonominya dan sekaligus
mengembangkan keahlian yang mereka miliki. Maka pihak yang paling berperan
dalam zakat produktif ini adalah kreatifitas mustahiq untuk menjadikan zakat
sebagai modal yang terus dikembangkan.
2.
Prospek
Zakat Produktif
Bagi
mustahiq zakat yang produktif atau disebut mustahiq aktif, mereka masih berumur
produktif dan memiliki badan yang sehat
maka selayaknya bagi mereka zakat dapat disalurkan secara produktif yaitu
dengan menjadikan zakat sebagai modal usaha. Oleh karena itu diperlukan sikap
pro-aktif dari mustahiq untuk mencurahkan kemampuannya dalam pengembangan modal dari zakat itu.
Selain
itu di masyarakat terdapat banyak keahlian yang dimiliki oleh mereka yang
tergolong mustahiq yang tampaknya diperoleh tanpa melalui latihan khusus
seperti pedagang kaki lima, sopir, pengrajin tangan, tukang kuli batu, dan lain
sebagainya. Jika penyaluran zakat dilakukan dengan baik serta penggunaannya
terbilang optimal, maka hal ini akan dapat meningkatkan taraf ekonomi mereka
yang tergolong lemah untuk selanjutnya diharapkan kehidupan mereka tidak
bergantung kepada zakat.
D. PENYALURAN ZAKAT UNTUK
PEMBANGUNAN MESJID
Penjelasan
tentang kelompok orang yang berhak menerima sudah cukup jelas diinformasikan
oleh al-Qur’an. Secara tekstual istilah mesjid tidak terdapat dalam kelompok
yang delapan tersebut, inilah yang menimbulkan permasalahan apakah zakat dapat
disalurkan untuk pembangunan dan pemugaran mesjid. Namun sebelumnya mari kita
lihat dulu 8 mustahiq zakat (orang yang berhak menerima zakat), sebagaimana
penjelasannya di bawah ini:
1.
Kelompok
Mustahiq Zakat
Delapan
kelompok (mustahiq) zakat sebagaimana tercantum dalam Qs. at-Taubat ayat 60,
yang penjelasannya sebagai berikut:
a. Fuqara,
yaitu Orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan yang dapat memenuhi
kebutuhannya sehari-hari,
b. Masakin,
yaitu Orang yang memiliki pekerjaan, tapi hasilnya tidak dapat memenuhi
kebutuhannya,
c. Amilin
yaitu Yaitu orang yang bekerja memungut
zakat (panitia zakat),
d. Muallaf,
pengertiannya dapat berarti orang yang baru masuk Islam sedangkan imannya masih
lemah, maka untuk menguatkannya perlu diyakinkan dengan zakat. Atau orang kafir
yang berniat untuk masuk Islam, tapi masih tipis keimanannya, maka ia dapat
diberi zakat supaya niat masuk Islamnya menjadi kuat.
e. Budak,
yaitu orang yang hidupnya tidak merdeka,
dikuasai oleh tuannya.
f. Garimin,
yaitu oraang yang memiliki tunggakan hutang kepada orang lain baik hutang
tersebut untuk kepentingan pribadinya
atau hutang karena untuk biaya kebajikan.
g. Sabilillah,
yaitu para tentara yang berperang melawan serangan orang kafir.
h. Ibnu Sabil.
Yaitu orang yang sedang melakukan sebuah perjalanan dengan tujuan yang baik
bukan untuk kemaksiatan, seperti pelajar atau mahasiswa yang belajar di luar
negeri.
2.
Hukum
Zakat untuk Pembangunan Mesjid
Di
antara ke-delapan macam mustahiq zakat seperti tersebut di atas, terdapat
mustahiq yang disebut sabilillah yang
secara bahasa artinya jalan Allah. Para ulama dalam memahami kata sabilillah tidak hanya terbatas pada
makna hakiki yaitu para pejuang yang berperang menegakkan agama Allah tapi
memahaminya juga dari makna majazinya yang bersifat umum. Terkait dengan makna yang
tersebut terakhir ini, para ulama memiliki penafsiran yang beraneka ragam.
Istilah
sabilillah memiliki arti kemaslahatan
ummat yang manfaatnya kembali kepada kaum muslimin seperti pembangunan mesjid,
rumah sakit, perlengkapan pendidikan, dan sebagainya.
Pengertian
mazaj semacam ini dalam hukum Islam
dapat ditolelir selama tidak bertentangan dengan kaidah agama. Keberadaan
mesjid dalam masyarakat memiliki peranan strategis, fungsinya bukan hanya sebagai
tempat sholat, tapi dapat dijadikan pusat pendidikan, da’wah, serta sosial
kemasyarakatan dalam rangka menegakkan agama Allah swt. Dengan demikian,
zakat boleh disalurkan untuk pembangunan
mesjid karena mesjid termasuk sabilillah
yang mengandung manfaat bagi umat Islam.
KB 2 : PERNIKAHAN MONOGAMI, POLIGAMI DAN NIKAH MUT’AH
A. Syariat Pernikahan
Kedudukan nikah dalam Islam merupakan syariat yang
terkandung di dalamnya nila-inilai ibadah. Kelayakan manusia untuk menerima
syariat tersebut paling tidak diperkuat oleh tiga argumen, yaitu:
1. Manusia adalah makhluk berakal
dan dengan akalnya tersebut manusia mampu menerima dan menjalankan syariat
dengan baik,
2. Manusia diciptakan oleh Allah
berpasangan,
3. Pernikahan dalam Islam disebut
sebagai prilaku para Nabi dan memasukkannya sebagai salah satu fitrah yang
dimiliki oleh manusia.
Pada zaman
Jahiliyah telah dikenal bebarapa praktek perkawinan yang merupakan warisan
turun temurun dari perkawinan Romawi dan Persia.
a.Perkawinan
pacaran (khidn), yaitu berupa pergaulan bebas pria dan wanita sebelum
perkawinan yang resmi dilangsungkan yang tujuannya untuk mengetahui kepribadian
masing-masing pasangan
b.Nikah
badl, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki lain untuk saling menukar
istrinya.
c.Nikah
istibdha, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki kaya, bangsawan atau orang
pandai agar bersedia mengumpuli istrinya yang dalam keadaan suci sampai ia
hamil. Setelah itu baru si suami mengumpulinya.
d.Nikah
Raht (urunan), seorang wanita dikumpuli oleh beberapa pria sampai hamil. Ketika
anaknya lahir, lalu wanita itu menunjuk salah satu pria yang telah
mengumpulinya untuk mengakui bayi yang telah dilahirkannya sebagai anaknya.
Nikah ini sama dengan nikah baghaaya (nikah pelacur).
B. Hikmah Nikah
Hikmah-hikmah menikah ialah sebagai berikut:
1. Nafsu seks termasuk tuntutan
terkuat dan selalu meliputi kehidupan manusia.
2. Pernikahan jalan terbaik untuk
melahirkan anak, memperbanyak kelahiran dan melestarikan kehidupan dengan
selalu menjaga keturunan.
3. Naluri kebapakan dan keibuan akan
tumbuh dan berkembang dalam menaungi anak masa kanak-kanak serta tumbuhnya rasa
kasih-sayang.
4. Rasa tanggung jawab dari
pernikahan serta mengurus anak dapat membangkitkan semangat dan mencurahkan
segala kemampuan dalam memperkuat potensi diri.
5. Membagi-bagi pekerjaan dan
membatasi tanggung jawab pekerjaan kepada suami dan isteri.
C. Hukum Pernikahan
Berikut saya paparkan hukum-hukum pernikahan dalam Islam,
yaitu:
1. Wajib, hukum ini layak dibebakan
kepada orang yang telah mampu memberi nafkah, jiwanya terpanggil untuk nikah
dan jika tidak nikah khawatir terjerumus ke lembah perzinahan.
2. Sunah, hukum ini pantas bagi orang yang merindukan pernikahan dan
mampu memberi nafkah tapi sebenarnya ia masih mampu menahan dirinya dari
perbuatan zina. Maka bagi orang seperti ini hukum nikah menjadi sunah.
3. Haram, hukum ini layak bagi orang
yang tidak mampu memberikan nafkah dan jika ia memaksakan diri utnuk
menikah akan mengkhianati isterinya atau
suaminya, baik dalam pemberian nafkah lahiriyah maupun batiniyah, sehingga
dengan perkawinan itu hak-hak istri/suami tidak terpenuhi.
D. Hukum Pernikahan Monogami dan
Poligami
Monogami berarti sistem yang memperbolehkan seorang
laki-laki mempunyai satu isteri pada jangka waktu tertentu. Tujuannya untuk
memberikan landasan dan modal utama
dalam pembinaan kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia
Poligami berarti suami punya istri lebih dari satu juga
isteri punya suami lebih dari satu. Maka secara kebahasaan yang lebih tepat
adalah poligini artinya “Sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria
memiliki beberapa wanita sebagai isterinya di waktu yang bersamaan”.
E. Kebolehan Berpoligami
Allah swt berfirman dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 3
Yang rtinya: “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Dengan ayat ini maka hukum berpoligami
adalah “boleh” tapi harus adil dan paling banyak sebanyak empat istri saja,
lebih dari itu hukumnya menjadi haram.
F. Hikmah dari Poligami
Adapun hikmah memiliki istri lebih dari satu (poligami),
yakni:
1.Untuk
mendapatkan anak bagi suami yang subur dan isteri yang mandul.
2. Menjaga
keutuhan keluarga tanpa harus mencerai isteri pertama meski ia tidak berfungsi
semestinya sebagai isteri karena cacat fisik dan sebagainya.
3. Untuk
menyelamatkan suami yang hiperseks dari perbuatan free sex.
4.Menyelamatkan
harkat dan martabat wanita dari krisis akhlak (melacur), terutama bagi mereka
yang tinggal di negara yang jumlah wanitanya lebih banyak dibanding
laki-laki akibat peperangan misalnya.
G. Nikah Mut’ah
Kata mut’ah mempunyai arti antara lain bekal yang sedikit
dan barang yang menyenangkan. Secara terminologi, yaitu seorang laki-laki
mengikat (menikahi) seorang perempuan untuk waktu yang ditentukan dengan
imbalan uang yang tertentu pula.
Dilihat dari penetapan pembatasan waktu (ta’qit)
tersebut, pernikahan semacam itu
bertentangan dengan syariat Islam yang menghendaki pernikahan itu tidak
terbatas oleh waktu. Diakui, bahwa nikah
mut’ah pada zaman Nabi diperbolehkan namun tidak berlaku untuk semua orang
hanya untuk orang tertentu dikarenakan terdapat
suatu kondisi yang sangat
mendesak.
Berdasarkan keterangan di atas, maka jelaslah bahwa
kebolehan hukum nikah mut’ah pada zaman Nabi itu memiliki alasan sebagai yakni;
Merupakan keringanan hukum (rukhsah)
untuk memberikan jalan keluar dari problematika yang dihadapi oleh dua kelompok
orang yang imannya kuat dan imannya lemah.
Namun, demikian penghalalan nikah mut’ah pada masa
sekarang ini dapat dikatakan bathil dan
sangat mudah untuk ditolak baik secara aqli maupun naqli. Karena alasan
sebagai berikut:
1. Islam menetapkan pernikahan
sebagai ikatan perjanjian yang kuat.
Yang dibangun atas landasan motivasi untuk hubungan yang kekal yang akan
menumbuhkan cinta, kasih sayang dan ketentraman batin serta menciptakan
keturunan yang langgeng.
2. Menghalalkan kembali nikah mut’ah
berarti langkah mundur dari sesuatu yang telah ditetapkan secara sempurna oleh
Islam.
3. Alasan darurat untuk menghalalkan
kembali nikah mut’ah merupakan alasan yang terlalu dibuat-buat. Sebab alasan
darurat diperbolehkannya nikah mut’ah pada zaman Nabi itu dalam keadaan
berperang di mana isteri mereka tinggal berjauhan, sulit mereka untuk bertemu.
4. Dampak negatif yang diakibatkan
dari nikah mut’ah sangat merusak dimensi sosial. Sebab akibat nikah mut’ah akan
bermunculan perempuan-perempuan yang
kehilangan suaminya, seakan-akan wanita dijadikan pemuas nafsu laki-laki sesaat
dan akan muncul anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang ayahnya.
Maka tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk kembali
mengahalakan nikah mut’ah sekarang ini. Hukum nikah mut’ah
ini telah tegas keharamannya baik dilihat secara akal dan wahyu. “Yang
haram telah jelas dan yang halalpun telah jelas”.
KB 3 : BANK, RIBA DAN FEE
A. Bank
Dalam Ensiklopedia Indonesia, bank atau perbankan adalah
lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu
lintas pembayaran serta peredaran uang dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit
dengan modal sendiri atau orang lain. Dari
pengertian ini maka bank memiliki dua arti penting, yaitu sebagai perantara
pemberi kredit dan menciptakan uang. Yang dimaksud dengan bank non Islam
(convensional bank) adalah lembaga keuangan yang fungsi utamanya untuk
menghimpun dana yang kemudian disalurkan kepada orang atau lembaga yang
membutuhkannya guna investasi (penanaman
modal) dan usaha-usaha yang produktif dengan sistem bunga.
Contohnya BNI , BRI. BCA dan sebagainya.
Sedangan yang dimaksud dengan bank Islam adalah suatau lembaga yang fungsi utamanya
menghimpun dana untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya
dengan sistem tanpa bunga. Contohnya
Bank Muamalat. Tujuan didirikannya bank Islam adalah untuk menghindari
bunga uang yang diberlakukan oleh bank convensional. Dari definsi di atas maka
dapat dibedakan antara bank convensional dengan bank Islam yaitu bank
convensional memakai sistem bunga sedangkan bank Islam tidak.
Sebagai pengganti sistem bunga, maka bank Islam menempuh
cara-cara sebagai berikut:
1. Wadiah yaitu titipan uang, barang
dan surat-surat berharga).
2. Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal
dengan pelaksana).
3. Musyarakah/syirkah (persekutuan).
Pihak bank dan penguasa sama-sama mempunyai andil (saham) pada usaha patungan.
4. Murabahah (jual beli barang
dengan tambahan harga atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur).
5. Qard hasan (pinjaman yang baik).
Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik
terutama para nasabah yang memiliki deposito di bank Islam.
6. Bank Islam boleh mengelola zakat
di Negara yang pemerintahannya tidak mengelola zakat secara langsung.
7. Membayar gaji para karyawan bank
yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, untuk sarana dan prasarana
yang disediakan oleh bank dan biaya administrasi pada umumnya.
B. Riba
1. Pengertian, hukum dan Jenisnya
Secara bahasa, kata riba berarti tambahan. Dalam istilah
hukum Islam, riba berarti tambahan baik
berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk
membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada
waktu pengembalian uang pinjaman, riba
semacam ini disebut dengan riba nasiah.
Menurut Satria Effendi, riba nasiah adalah tambahan pembayaran atas jumlah modal yang
disyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh si peminjam kepada yang meminjam tanpa resiko sebagai
imbalan dari jarak waktu pembayaran yang diberikan kepada si peminjam.
Uraian di atas memberikan kejelasan bahwa riba nasiah
mengandung tiga unsur.
a.Terdapat
tambahan pembayaran atau modal yang dipinjamkan.
b. Tambahan
itu tanpa resiko kecuali sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si
peminjam.
c. Tambahan
itu disyaratkan dalam bentuk pemberian piutang dan tenggang waktu.
Selain riba nasiah seperti telah dijelaskan, dalam kajian
fiqh dikenal juga riba dalam bentuk lain yang disebut dengan riba fadhal.
Menurut Ibnu Qayyum, riba fadhal ialah
riba yang kedudukannya sebagai penunjang keharaman riba nasiah. Dengan kata
lain bahwa riba fadhal diharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba nasiah
yang sudah jelas keharamannya.
2. Hikmah Keharaman Riba
Memperhatikan praktek riba dan segala konsekuensi yang
diakibatkan, maka dapat diberkesimpulan bahwa akibat yang ditimbulkan oleh
praktek riba dapat merusak tatanan kehidupan seseorang baik secara personal
maupun sosial yang diistilahkan dalam agama jauh dari keberkahan hidup.
Jika praktek riba dibiarkan tanpa usaha untuk
mengembalikan kepada sistem perekonomian Islam yang terbebas dari sistem
riba maka sistem kapitalis di mana
terjadi pemerasan dan penganiayaan terhadap kaum lemah akan tetap merajai
sistem perekonomian dan di saat itu pula terjadi kegersangan yang dahsyat bagi kehidupan manusia modern.
Di sisi lain akan semakin kuatlah adigium yang menyatakan bahwa orang yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin tertindas.
3. Ikhtilaf Hukum Bunga Bank
Terhadap konsep bunga bank seperti tersebut terdapat
perbedaan sikap para ulama dalam menghukuminya. Menurut penelitian penulis
sedikitnya terdapat empat kelompok ulama tentang hukum bunga bank.
a.
Yang
termasuk kedalam kelompok pertama ini antara lain Abu Zahra, Abu A’la
alMaududi, M. Abdullah al-Araby dan Yusuf Qardhawi, Sayyid Sabiq, Jaad al-Haqq
Ali Jadd al-Haqq dan Fuad Muhammad Fachruddin. Mereka berpendapat bahwa bunga
bank itu riba nasiah yang mutlak keharamannya oleh karena itu, umat Islam tidak
boleh berhubungan dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan
darurat. Terkait dengan kondisi yang tersebut terakhir ini, Yusuf Qardhawi
berbeda dengan yang lainnya, menurutnya tidak dikenal istilah darurat dalam
keharaman bunga bank, keharamannya
bersifat mutlak.
b.
Yang
termasuk ke dalam kelompok yang kedua ini antara lain Mustafa A. Zarqa. Beliau
berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah yang bersifat konsumtif seperti yang berlaku pada zaman jahiliyah
sebagai bentuk pemerasan kepada kaum lemah yang konsumtif berbeda yang bersifat
produktif tidaklah termasuk haram. Hal
senada juga dikemukakan oleh M. Hatta. Tokoh yang tersebut terakhir ini membedakan antara riba dengan rente. Menurutnya
riba itu sifatnya konsumtif dan memeras si peminjam yang membutuhkan pinjaman
uang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangkan rente sifatnya produktif,
yaitu dana yang dipinjamkan kepada peminjam digunakan untuk modal usaha yang
menghasilkan keuntungan.
c.
Yang
termasuk kepada kelompok ketiga antara lain A. Hasan (persis). Beliau
berpendapat bahwa bunga bank (rente) seperti yang belaku di Indonesia bukan
termasuk riba yang diharamkan karena tidak berlipat ganda sebagaimana yang dimaksud dalam ayat yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
(QS. Ali Imran: 130)
d.
Yang
termasuk ke dalam kelompok keempat adalah Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam
muktamar di Siduarjo 1968 memutuskan bahwa bunga yang diberikan oleh bank
kepada para nasabahnya atau sebaliknya termasuk perkara syubhat (belum jelas
keharamannya).
C. Bank dan Fee
Fee artinya pungutan dana yang dibebankan kepada nasabah
bank untuk kepentingan administrasi, seperti keperluan kertas, biaya
operasional, dan lain-lain. Pungutan itu pada hakikatnya bisa dikategorikan
bunga, tapi apakah keberadaannya bisa dipersamakan dengan hukum bunga bank.
Untuk menjawab masalah ini dapat dikembalikan kepada
pendapat ulama tentang hukum bunga bank
itu sendiri. Bagi kelompok ulama yang mengharamkan bunga bank, maka merekapun
mengharamkan fee, karena berarti itu kelebihan, yaitu dengan mengambil manfaat
dari sebuah transakasi utang piutang. Tegasnya, mereka menganggap fee adalah
riba, meskipun fee itu digunakan untuk dana operasonal.
Sedangkan ulama yang menghalalkan bunga bank dengan
alasan keadaan bank itu darurat atau alasan lainnya, merekapun mengatakan bahwa
fee bukan termasuk riba, oleh karena itu hukumnya boleh selain alasan bahwa
tanpa fee, maka bank tidak bisa beroperasi maka keberadaan sesuatu sebagai alat
sama hukumnya dengan keberadaan asal. Dalam hal ini, hukum fee sama dengan
bunga bank, yaitu boleh.
KB 4 : KONSEP PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
A.
Sistem Khilafah
Menurut bahasa
kata khilafah berasal dari bahasa Arab yang berarti pemerintahan dan
kepemimpinan. Sedangkan secara istilah, khilafah berarti sistem pemerintahan
yang diatur sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam sejarah kata khilafah digunakan untuk sebutan bagi suatu
pemerintahan pada masa tertentu seperti khilafah Abu Bakar, khilafah Umar,
Usman Ali dan sebagainya.
Berdasar definisi di atas nampaknya terdapat hubungan
timbal balik antara agama dan negara dalam hal relasi saling ketergantungan.
Meskipun antara memlihara agama dan mengatur negara kelihatannya berbeda namun
dalam ajaran Islam nampak keduanya tidak bisa dipisahkan. Politik membutuhkan
agama begitu sebaliknya agama membutuhkan politik, itulah khilafah dalam Islam.
Menurut Abu A’la al-Maududi, terdapat tiga tujuan utama
pemerintahan dalam Islam.
1.
Menegakkan
keadilan dalam kehidupan manusia dan menghentikan kezaliman serta menghancurkan
kesewenang-wenangan.
2.
Menegakkan sistem
yang Islami melalui cara yang dimiliki
oleh pemerintah. Pemerintah berkuasa untuk
menyebarkan kebaikan serta
memerintahkannya (amar ma’ruf) sejalan dengan misi utama kedatangan Islam ke dunia.
3.
Menumpas
akar-akar kejahatan dan kemungkaran yang merupakan perkara yang paling dibenci
oleh Allah swt.
Khilafah adalah sistem pemerintahannya sedangkan khalifah
adalah pemimpinnya. Dalam Islam seseorang layak menjadi khalifah jika memenuhi
syarat-syarat, yaitu: adil, berilmu, sanggup berijtihad, sehat mental dan
fisiknya serta berani dan tegas.
B.
Pembentukan Khilafah
Dalam sejarah Islam, pembentukan negara berdasar khilafah
pernah dilakukan dengan tujuan agar hukum-hukum yang berdasar kepada al-Qur’an
dan Hadits diharapkan dapat direalisasikan. Sistem yang berdasar kepada ajaran
Islam tersebut bentuknya telah berakhir dengan selesainya khilafah Turki Usmani
di Turki.
Pada perkembangan selanjutnya istilah pemerintahan
berdasar khilafah nampaknya sudah tidak lagi digunakan oleh negara-negara Islam
di dunia. Yang dapat diamati sekarang bahwa negara-negara yang mayoritas
penduduknya muslim sudah banyak mengambil sistem pemerintahan lain seperti demokrasi yang dianut negera Mesir,
Irak Indonesia, Turki dan
sebagainya di samping terdapat juga yang
mengambil sistem negara kerajaan seperti Saudi Arabia, Maroko dan sebagainya.
C.
Dasar-Dasar Khilafah
Dasar-dasar khilafah antara lain:
1.
Sifat jujur, ikhlas serta tanggung jawab,
2.
Keadilan yang bersifat menyeluruh kepada rakyat,
3.
Tauhid (mengesakan Allah) yang mengandung arti taat kepada
Allah, rasul-Nya dan pemimpin sebagai
kewajiban bagi setiap orang beriman,
4.
Adanya kedaulatan rakyat.
Namun alQur’an menekankan azas musayawarah dalam
mengambil keputusan penting. Adapun cara
pengangkatan khalifah dapat kita lihat dalam perjalanan sejarah Islam, yakni :
a.
Pengangkatan khalifah melalui pemilihan
oleh para tokoh ummat.
b.
Pengangkatan berdasarkan usulan (wasiat) oleh khalifah
sebelumnya seperti pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah.
c.
Pengangkatan khalifah melalui pemilihan yang langsung
dilakukan oleh rakyat.
d.
Pengangkatan khalifah berdasarkan persetujuan secara bulat
oleh rakyat karena calon khalifah dinilai memiliki jasa yang sangat besar
seperti pengangkatan sultan Salim di Mesir.
e.
Pengangkatan khalifah berdasarkan keturunan. Bentuk ini
dilakukan dalam sistem kerajaan.
D.
Baiat Khalifah
Kata baiat berasal dari kata ba-’a yang berarti menjual.
Dalam khilafah, baiat mengandung janji setia antara rakyat dengan khalifah Hal
ini sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun bahwa baiat
adalah perjanjian atas dasar kesetiaan. Orang yang berbaiat harus menerima
seseorang yang terpilih menjadi kepala negara sebagai pemimpinnya untuk
melaksanakan semua urusan orang Islam.
Dalam baiat, rakyat berjanji setia untuk mentaati
khalifah selama khalifah itu tidak melakukan sesuatu yang melanggar hukum
Allah. Demikian juga khalifah, melaksanakan hak dan kewajibannya yaitu
melaksanakan undang-undang demi mewujudkan keadilan sesuai dengan undang-undang
Allah dan Rasul-Nya.
E.
Hak dan Kewajiban Rakyat
Berikut ini adalah hak-hak rakyat, yaitu :
1.
Hak keselamatan jiwa dan harta.
2.
Hak untuk memperoleh keadilan hukum dan pemerataan.
3.
Hak untuk menolak kezaliman dan kesewenang-wenangan.
4.
Hak berkumpul dan menyatakan pendapat.
5.
Hak untuk bebas beragama.
6.
Hak mendapatkan bantuan materi bagi rakyat yang lemah.
F.
Kewajiban Rakyat kepada Khalifah
Kewajiban terhadap khalifah, yaitu:
1.
Kewajiban taat
kepada khalifah.
2.
Kewajiban mentaati undang-undang dan tidak berbuat
kerusakan.
3.
Membantu khalifah dalam semua usaha kebaikan
4.
Bersedia berkorban jiwa maupun harta dalam mempertahankan
dan membelanya.
5.
Menjaga Persatuan dan Kesatuan.
G.
Majlis Syura
Kata “majlis syura” terdiri dari dua kata yaitu kata
majlis dan kata syura. Majlis artinya tempat duduk syura artinya bermusyawarah.
Dengan demikian majlis syura secara bahasa artinya tempat bermusyawarah
(berunding).
Dikaitkan dengan sistem pemerintahan, majlis syura memiliki pengertian tersendiri
yaitu suatu lembaga negara yang terdiri dari para wakil rakyat yang bertugas
untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Majlis ini memiliki tugas utama yaitu
mengangkat dan memberhentikan khalifah.
H.
Syarat-Syarat Menjadi anggota majlis syura
Untuk menjadi anggota
majlis syura, syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
1.
Berlaku adil dalam segala sikap dan tindakan.
2.
Berilmu pengetahuan yang luas.
3.
Memiliki kearifan dan wawasan yang luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar