Konsepsi Tentang Sihir
Seorang pakar bahasa, alAzhari mengatakan bahwa, “Akar kata sihir maknanya adalah memalingkan
sesuatu dari hakikatnya. Maka ketika ada seorang menampakkan keburukan dengan
tampilan kebaikan dan menampilkan sesuatu dalam tampilan yang tidak senyatanya
maka dikatakan dia telah menyihir sesuatu”.
Para ulama memiliki pendapat yang beraneka ragam dalam memaknai kata
‘sihir’ secara istilah. Sebagian ulama mengatakan bahwa sihir adalah
benar-benar terjadi ‘riil’, dan memiliki hakikat. Artinya, sihir memiliki
pengaruh yang benar-benar terjadi dan dirasakan oleh orang yang terkena sihir.
Ibnul Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sihir adalah jampi atau mantra yang
memberikan pengaruh baik secara zhohir maupun batin, semisal membuat orang lain
menjadi sakit, atau bahkan membunuhnya, memisahkan pasangan suami istri, atau
membuat istri orang lain mencintai dirinya.” Namun ada ulama lain yang
menjelaskan bahwa sihir hanyalah pengelabuan dan tipuan mata semata, tanpa ada
hakikatnya. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakr Ar Rozi, “(Sihir) adalah segala
sesuatu yang sebabnya samar dan bersifat mengalabui, tanpa adanya hakikat, dan
terjadi sebagaimana muslihat dan tipu daya semata.” Al-Laits mengatakan, Sihir
adalah suatu perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada syaitan dengan
bantuannya.
Al-Azhari mengemukakan, Dasar pokok sihir adalah memalingkan
sesuatu dari hakikat yang sebenarnya kepada yang lainnya. Ibnu Manzur berkata:
Seakan-akan tukang sihir memperlihatkan kebathilan dalam wujud kebenaran dan
menggambarkan sesuatu tidak seperti hakikat yang sebenarnya. Dengan demikian,
dia telah menyihir sesuatu dari hakikat yang sebenarnya atau memalingkannya.
Syamir meriwayatkan dari Ibnu Aisyah, dia mengatakan bahwa orang Arab menyebut
sihir itu dengan kata as-Sihr karena ia menghilangkan kesehatan menjadi sakit.
Ibnu Faris mengemukakan, Sihir berarti menampakkan kebathilan dalam wujud
kebenaran.
Di dalam kitab al-Mu’jamul Wasīth disebutkan bahwa sihir adalah
sesuatu yang dilakukan secara lembut dan sangat terselubung. Sedangkan di dalam
kitab Muhīthul Muhīth disebutkan, sihir adalah tindakan memperlihatkan sesuatu
dengan penampilan yang paling bagus, sehingga bisa menipu manusia. Fakhruddin
ar-Razi mengemukakan, menurut istilah Syari’at, sihir hanya khusus berkenaan
dengan segala sesuatu yang sebabnya tidak terlihat dan digambarkan tidak
seperti hakikat yang sebenarnya, serta berlangsung melalui tipu daya. Ibnu
Qudamah Al-Maqdisi mengatakan, Sihir adalah ikatan-ikatan, jampi-jampi,
perkataan yang dilontarkan secara lisan maupun tulisan, atau melakukan sesuatu
yang mempengaruhi badan, hati atau akal orang yang terkena sihir tanpa
berinteraksi langsung dengannya.
Sihir ini mempunyai hakikat, diantaranya ada
yang bisa mematikan, membuat sakit, membuat seorang suami tidak dapat
mencampuri istrinya atau memisahkan pasangan suami istri, atau membuat salah
satu pihak membenci lainnya atau membuat kedua belah pihak saling mencintainya.
Ibnul Qayyim mengungkapkan, Sihir adalah gabungan dari berbagai pengaruh
ruh-ruh jahat, serta interaksi berbagai kekuatan alam dengannya. Dapat
disimpulkan bahwa Sihir adalah kesepakatan antara tukang sihir dan syaitan
dengan ketentuan bahwa tukang sihir akan melakukan berbagai keharaman atau
kesyirikan dengan imbalan pemberian pertolongan syaitan kepadanya dan ketaatan
untuk melakukan apa saja yang dimintanya. Di antara tukang sihir itu ada yang
menempelkan mushhaf di kedua kakinya, kemudian ia memasuki WC.
Ada yang menulis
ayat-ayat al-Qur’an dengan kotoran. Ada juga yang menulis ayat-ayat al-Qur’an
dengan menggunakan darah haidl. Juga ada yang menulis ayatayat al-Qur’an di
kedua telapak kakinya. Ada juga yang menulis Surat al-Faatihah terbalik. Juga
ada yang mengerjakan sholat tanpa berwudhu’. Ada yang tetap dalam keadaan junub
terus-menerus. Serta ada yang menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada
syaitan dengan dengan tidak menyebut nama Allah pada saat menyembelih, lalu
membuang sembelihan itu ke suatu tempat yang telah ditentukan syaitan. Dan ada
juga yang berbicara dengan binatang-binatang dan bersujud kepadanya. Serta ada
juga yang menulis mantra dengan lafazh-lafazh yang mengandung berbagai makna
kekufuran.
Dari sini, tampak jelas oleh kita bahwa jin itu tidak akan membantu
dan tidak juga mengabdi kepada seorang penyihir kecuali dengan memberikan
imbalan. Setiap kali seorang penyihir meningkatkan kekufuran, maka syaitan akan
lebih taat kepadanya dan lebih cepat melaksanakan perintahnya. Dan jika tukan
sihir tidak sungguh-sungguh melaksanakan berbagai hal yang bersifat kufur yang
diperintahkan syaitan, maka syaitan akan menolak mengabdi kepadanya serta
menentang perintahnya.
Dengan demikian, tukang sihir dan syaitan merupakan
teman setia yang bertemu dalam rangka perbuatan kemaksitan kepada Allah. Jika anda perhatikan wajah tukang sihir, maka
dengan jelas anda akan melihat kebenaran apa yang telah saya sampaikan, dimana
anda akan mendapatkan gelapnya kekufuran yang memenuhi wajahnya, seakan-akan ia
merupakan awan hitam yang pekat. Jika anda mengenali tukang sihir dari dekat,
maka anda akan mendapatkannya hidup dalam kesengsaraan jiwa bersama istri dan
anak-anaknya, bahkan dengan dirinya sendri sekalipun. Dia tidak bisa tidur
nyenyak dan terus merasa gelisah, bahkan dia akan senantiasa merasa cemas dalam
tidur. Selain itu seringkali syaitan-syaitan itu akan menyakiti anak-anaknya
atau istrinya serta menimbulkan perpecahan dan perselisihan di antara mereka.
Mahabesar Allah Yang Mahaagung yang telah berfirman:
Yang artinya :
“Dan barangsiapa yang
berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit”. [Thāhā: 124].
Dunia sihir dan
perdukunan telah tersebar di tengah-tengah masyarakat, mulai dari masyarakat
desa hingga menjamah ke daerah kota. Mulai dari sihir pelet, santet, dan
“ajiaji” lainnya. Berbagai komentar dan cara pandang pun mulai bermunculan
terkait masalah tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya. Sebagai seorang muslim,
tidaklah kita memandang sesuatu melainkan dengan kaca mata syariat, terlebih
dalam perkara-perkara ghaib, seperti sihir dan yang semisalnya. Marilah kita
melihat bagaimanakah syariat Islam yang mulia ini memandang dunia sihir dan
‘antek-antek’-nya.
Sebenarnya Adakah
Sihir Itu? Sebagaimana yang disinggung di depan, bahwa terdapat persilangan
pendapat tentang kebenaran hakikat sihir. ‘Apakah sihir hakiki?’, ‘Apakah orang
yang terkena sihir, benar-benar merasakan pengaruhnya?’, ‘Atau kah sihir hanya
sebatas tipuan mata dan tipu muslihat semata?’ Abu Abdillah Ar Rozi
rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan “Kelompok Mu’tazilah mengingkari
adanya sihir dalam aqidah mereka.
Bahkan mereka tidak segan-segan mengkafirkan
orang yang meyakini kebenaran sihir. Adapun ahli sunnah wal jama’ah, meyakini
bahwa mungkin saja ada orang yang bisa terbang di angkasa, bisa merubah manusia
menjadi keledai, atau sebaliknya. Akan tetapi meskipun demikian ahli sunnah
meyakini bahwa segala kejadian tersebut atas izin dan taqdir dari Allah
ta’ala”. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka itu (para tukang
sihir) tidak akan memberikan bahaya kepada seorang pun melainkan dengan izin
dari Allah” (QS. Al-Baqarah: 102).
Al Qurthubi rahimahullahu mengatakan,
“Menurut ahli sunnah wal jama’ah, sihir itu memang ada dan memiliki hakikat,
dan Allah Maha Menciptakan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya, keyakinan yang
demikian ini berbeda dengan keyakinan kelompok Mu’tazilah.” Inilah keyakinan yang benar, insya Allah.
Banyak sekali kejadian, baik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
atau pun masa-masa setelahnya yang menunjukkan secara kasat mata bahwa sihir
memiliki hakikat dan pengaruh.
Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah disihir oleh Lubaid bin Al A’shom Al Yahudi hingga beliau jatuh
sakit? Kemudian karenanya Allah ta’ala menurunkan surat al-Falaq dan surat
alNās (al-mu’awidaztain) sebagai obat bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa sihir memiliki hakikat dan
pengaruh terhadap orang yang terkena sihir. Namun tidaklah dipungkiri, bahwa
ada jenis-jenis sihir yang tidak memiliki hakikat, yaitu sihir yang hanya
sebatas pengelabuan mata, tipu muslihat, “sulapan”, dan yang lainnya.
Jenis-jenis sihir yang demikian inilah yang dimaksudkan oleh perkataan beberapa
ulama yang mengatakan bahwa sihir tidaklah memiliki hakikat. Sihir termasuk
dosa besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah dari
kalian tujuh perkara yang membinasakan!” Para shahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Apakah tujuh perkara tersebut?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “[1] menyekutukan Allah, [2]
sihir, [3] membunuh seorang yang Allah haramkan untuk dibunuh, kecuali dengan
alasan yang dibenarkan syariat, [4] mengkonsumsi riba, [5] memakan harta anak
yatim, [6] kabur ketika di medan perang, dan [7] menuduh perempuan baik-baik
dengan tuduhan zina” (HR. Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Nabi Sulaiman tidaklah kafir, akan
tetapi para syaitan lah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia”
(Al-Baqarah: 102).
Imam Adz Dzahabi rahimahullah berdalil dengan ayat di atas
untuk menegaskan bahwa orang yang mempraktekkan ilmu sihir, maka dia telah
kafir. Karena tidaklah para syaitan mengajarkan sihir kepada manusia melainkan
dengan tujuan agar manusia menyekutukan Allah ta’ala. Syaikh al-Sa’diy
rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu sihir dapat dikategorikan sebagai kesyirikan
dari dua sisi. 1. Orang yang mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang meminta
bantuan kepada para syaitan dari kalangan jin untuk melancarkan aksinya, dan
betapa banyak orang yang terikat kontrak perjanjian dengan para syaitan
tersebut akhirnya menyandarkan hati kepada mereka, mencintai mereka,
ber-taqarrub kepada mereka, atau bahkan sampai rela memenuhi
keinginan-keinginan mereka. 2. Orang yang mempelajari dan mempraktekkan ilmu
sihir adalah orang yang mengakungaku mengetahui perkara ghaib. Dia telah
berbuat kesyirikan kepada Allah dalam pengakuannya tersebut (syirik dalam
rububiyah Allah), karena tidak ada yang mengetahui perkara ghaib melainkan
hanya Allah ta’ala semata.
Syaikh Ibnu
’Utsaimin rahimahullah merinci bahwa orang yang mempraktekkan sihir, bisa jadi
orang tersebut kafir, keluar dari Islam, dan bisa jadi orang tersebut tidak
kafir meskipun dengan perbuatannya tersebut dia telah melakukan dosa besar.
Pertama, Tukang sihir yang mempraktekkan sihir dengan memperkerjakan
tentara-tentara syaitan, yang pada akhirnya orang tersebut bergantung kepada
syaitan, ber-taqarrub kepada mereka atau bahkan sampai menyembah mereka. Maka
yang demikian tidak diragukan tentang kafirnya perbuatan semacam ini.
Kedua,
Adapun orang yang mempraktekkan sihir tanpa bantuan syaitan, melainkan dengan
obat-obatan berupa tanaman ataupun zat kimia, maka sihir yang semacam ini tidak
dikategorikan sebagai kekafiran. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah
suatu ketika, di akhir kekhalifahan beliau, mengirimkan surat kepada para
gubernur, sebagaimana yang dikatakan oleh Bajalah bin ‘Abadah radhiyallahu
‘anhu, “Umar bin Khattab menulis surat (yang berbunyi): ‘Hendaklah kalian (para
pemerintah gubernur) membunuh para tukang sihir, baik laki-laki ataupun
perempuan”.
Dalam kisah Umar radhiyallahu ‘anhu di atas memberikan pelajaran
bagi kita, bahwa hukuman bagi tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya adalah hukuman
mati. Terlebih lagi terdapat sebuah riwayat, meskipun riwayat tersebut
diperselisihkan oleh para ulama tentang status ke-shahihan-nya, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hukuman bagi tukang sihir adalah
dipenggal dengan pedang.” Dalam kisah
Umar di atas pun juga memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa menjadi kewajiban
pemerintah tatkala melihat benih-benih kekufuran, hendaklah pemerintah menjadi
barisan nomor satu dalam memerangi kekufuran tersebut dan memperingatkan
masyarakat tentang bahayanya kekufuran tersebut, sebagaimana yang dilakukan
oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.
Inilah yang mungkin menjadi kerancuan di benak masyarakat, yang kemudian
kerancuan ini menjadikan mereka membolehkan belajar sihir, karena alasan
“keadaan darurat”. Terlebih lagi tatkala sihir yang digunakan untuk mengobati
sihir terkadang terbukti manjur dan mujarab. Bukankah segala sesuatu yang haram
pada saat keadaan darurat, akan menjadi mubah? Bukankah ketika di tengah hutan,
tidak ada bahan makan, bangkai pun menjadi boleh kita makan? Memang syariat
membolehkan perkara yang haram tatkala keadaan darurat, sampai-sampai para
ulama membuat sebuah kaidah fiqhiyah, “Keadaan yang darurat dapat merubah hukum
larangan menjadi mubah.” Namun kita pelu cermati bahwa para ulama pun juga
memberikan catatan kaki terhadap kaidah yang agung ini.
Terdapat sedikitnya dua
syarat yang harus dipenuhi untuk mengamalkan kaidah ini, yaitu: 1. Tidak ada
obat lain yang dapat menyembuhkan sihir, selain dengan sihir yang semisal. Pada
kenyataannya tidaklah terpenuhi syarat pertama ini. Syariat telah memberikan
obat dan jalan keluar yang lebih syar’i untuk menangkal dan mengobati gangguan
sihir. Bukankah syari’at telah menjadikan Al Quran sebagai obat, lah ada dan
teruqyah-ruqyah syar’i yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. 2. Sihir yang digunakan harus terbukti secara pasti dapat menyembuhkan
dan menghilangkan sihir. Dan setiap dari kita tidaklah ada yang dapat
memastikan hal ini, karena semua hal tersebut adalah perkara yang ghaib. Maka dengan ini jelaslah bahwa mempelajari
sihir, apapun alasannya adalah terlarang, bahkan diancam dengan kekufuran,
Allah ta’ala telah tegaskan di dalam firmannya (yang artinya), “Dan tukang
sihir itu tidaklah menang, dari mana pun datangnya.” (QS. Ath Thaahaa: 69).
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata dalam tafsirnya menyatakan
bahwa ayat ini mencakup umum, segala macam kemenangan dan keberuntungan akan
ditiadakan dari para tukang sihir, terlebih lagi Allah tekankan dengan
firman-Nya, ‘dari mana pun datangnya’. Dan secara umum, tidaklah Allah
meniadakan kemenangan dari seseorang, melainkan dari orang kafir. Sihir tidak
akan luput dari kehidupan manusia sehari-hari yang digunakan oleh orangorang
yang tidak mengerti atau tidak paham mengenai dampak dari perbuatan tersebut.
Sihir ini telah tersebar di tengah-tengah peradaban manusia masa kini maupun
masa lalu. Mulai dari sihir berupa pelet, santet, gendam dan lain sebagainya.
Padahal telah jelas dalam Al-Quran bahwasannya sihir ini dapat membuat
seseorang yang melakukan perbuatan tersebut menjadi kafir (musyrik). Pada
hakikatnya kita tidak boleh takut akan adanya sihir ini, karena segala sesuatu
itu terjadi hanyalah atas izin Allah Swt semata bukan karena hal lainnya
terutama sihir. Akan tetapi banyak orang yang salah dalam memahami sihir
sehingga bentuk kebodohan serta kemusyrikan terjadi, orang-orang tersebut
beramai-ramai mempraktekan sihir untuk mempermudah suatu urusan di dalam
kehidupan sehari-hari. Syetan selalu berusaha untuk memasukan suatu kesan
kepada ummat muslim bahwa sihir ini bukanlah suatu perbuatan yang berdampak
kepada dosa yang sangat besar. Bahkan Syetan memberikan pelajaran yang dapat
menyentuh perasaan kepada manusia, sehingga mereka menganggap bahwa sihir
adalah suatu perbuatan yang harus ditempuh oleh manusia untuk mencari kebaikan.
Misalnya untuk memikat hati seorang wanita ataupun laki-laki yang dilakukan
dengan cara guna-guna atau zaman sekarang sering disebut dengan pelet, itu
semua diperbolehkan oleh agama karena digunakan untuk kebaikan dengan dalih
(menyatukan ummat manusia dalam sebuah perjodohan) sehingga sebagian ummat yang
terpedaya mengatakan bahwa semua hal tersebut merupakan muhabbah. Padahal
menurut Syara sihir itu merupakan perbuatan kufur dan orang yang bermain-main
dengan sihir adalah kafir. Sihir berarti sesuatu yang lembut dan halus (tidak
terlihat). Secara terminologis, sihir adalah suatu perbuatan oleh orang
tertentu (disebut tukang sihir) dengan syarat-syarat tertentu mempergunakan
peralatan yang tidak lazim untuk dipakai, serta dengan cara yang sangat
rahasia, untuk menimbulkan efek jahat dalam diri orang lain yang menjadi
korbannya. Sihir dapat dinamai juga santet, teluh, magic, vodoo dan lain
sebagainya. Pada umumnya sasaran sihir ini ada dua, ada yang langsung dikenakan
kepada diri korban dengan mempengaruhi hati, jiwa dan badannya, untuk disakiti
ataupun dibunuh.
Ada juga yang dikenakan terhadap harta benda korban untuk
dirusak ataupun dimusnahkan serta sihir ini digunakan untuk memutuskan cinta
kasih sepasang suami istri (kekasih). Sebelum melakukan sihir biasanya ada
kesepakatan antara tukang sihir dengan syetan, syaratnya adalah tukang sihir
harus melakukan perbuatan syirik atau kufur. Baik secara terang-terangan maupun
sembunyi-sembunyi. Sementara syetan harus melayani tukang sihir, atau
menundukan orang yang melayaninya.
Oleh karena itu, tukang sihir menundukan jin
tersebut untuk melakukan pekerjaan jahat yang dia inginkan. Dan jika jin
tersebut membangkang, maka tukang sihir akan mendekati pemimpin kelompoknya
dengan menggunakan sang pemimpin serta meminta pertolongan kepadanya, bukan
kepada Allah Swt. Seseorang yang mendatangi tukang sihir (dukun, peramal,
paranormal) lalu bertanya kepadanya, dia terkena ancaman tidak diterima
shalatnya selama 40 telah jatuh kepada dosa kafir (Syirik kepada Allah Swt).
Sedangkan dalam kamu Mu’zam Al-Mufradat karya Al-Ragib Al-Ashfahani dikatakan
terdapat beberapa arti dari kata “Sahara”.
Pertama, gambaran atau tipuan
imajinasi yang tidak nyata, seperti halnya yang dilakukan oleh pesulap yang
dapat memalingkan pandangan dengan kecepatan tangannya dan juga seperti yang
dilakukan oleh seorang pengadu domba, memfitnah dengan ucapan-ucapan manis yang
dapat mempengaruhi pandangan orang lain mengenai suatu perkara.
Kedua, meminta
pertolongan kepada syetan dengan cara melakukan sebuah ritual mendekatkan diri
kepadanya. Ketiga, suatu perbuatan yang dapat membuat seseorang menjadi sedih,
senang, takut, penurut dan lain sebagainya yang denganya dapat merubah suatu
karakter seseorang. Seperti khimar (hipnotis) akan tetapi hal ini tidak
bersifat nyata, hanyalan sebuah ilussi.
Dari ragam dan fenomena pemaknaan
tentang sihir, kiranya masih layak untuk dikaji lebih jauh, bagaimana
sesungguhnya sihir dalam pandangan para mufasir, ketika menafsirkan ayat-ayat
al-Quran yang berbicara masalah sihir. Sebenarnya, sihir ini telah ada sejak
zaman Nabi Sulaiman As. Allah Swt memberikan seatu mukjizat kepada Nabi
Sulaiman As yaitu dapat memerintahkan manusia, hewan dan jin sebagai pasukan
kerajaannya. Seperti firman Allah Swt dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah 102: “Dan
mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syetan-syetan pada masa kerajaan Sulaiman
(dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman
tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syetan-syetanlha yang kafir
(mengerjakan sihir).
Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut,
sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum
mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu
kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu pa yang dengan sihir
itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan
mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada
seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang
tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi sesungguhnya
mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan
sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan
mereka menjual dirinya dengan sihir. Kalau mereka mengetahui.”
Dalam Al-Quran surat
Al-Baqarah ayat 102 disebutkan bahwa dengan segala kebolehan (Mu‟jizat) yang
diberikan Allah Swt kepda Nabi Sulaiman, akan tetapi orang-orang kafir menuduh
bahwa Nabi Sulaiman tidak lain hanyalah seorang ahli sihir yang mengajarkan
ilmu sihirnya terhadap pengikutnya, padahal semua itu semata-mata hanyalah
perbuatan syetan. Sihir dalam kehidupan masa lalu bisa dilihat dari dua sudut
pandang. Pertama, sudut pandang keagamaan dan yang kedua dari sudut pandang non
keagamaan. Dalam perkembangannya sudut pandang non keagamaan ini lebih banyak
dikedepankan oleh aspek ilmu pengetahuan atau keilmuan di masa modern, dimana
ada pergeseran makna yang semula pada dasarnya adalah sihir namun menurut
pandangan mereka ini di identikan dengan sulap.
Berbeda halnya menurut ajaran
atau pengetahuan keislaman bahwa sulap adalah sulap, sihir adalah sihir. Sihir
tetap saja merupakan suatu perbuatan yang dapat merusak aqidah dan tauhid
seorang muslim karena dekat sekali dengan kesyirikan. Jika dilihat dalam
konteks zaman sekarang dibanyak Negara, termasuk di Barat dan di Timur Tengah,
sihir biasanya digambarkan sebagai suatu perbuatan yang memungkinkan pelakunya
dapat mengubah sesuatu menjadi benda lain yang di inginkannya. Dalam kisah Nabi
Musa As, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran. Para penyihir firaun dapat
mengubah tali menjadi ular. Sementara dalam film-film atau novel Barat, seorang
penyihir yang biasanya digambarkan bertopi runcing dan bertampang yang buruk
dan mengerikan, dapat mengubah seseorang menjadi hewan, ataui apa saja dengan
mantra-mantra dan ramuan yang mereka buat.
Mereka juga memiliki sapu terbang
untuk membawanya terbang kemana saja. Peradaban modern masa kini hanya percaya
bahwa orang yang dapat membuat keajaiban itu hanyalah seorang pesulap, bukanlah
seorang penyihir. Dan, sekelompok pesulap itu tidak menggunakan kekuatan magis.
Mereka melakukan keanehan-keanehan secara murni sekaligus menggunakan trik atau
tipuan mata, dan tidaklah lebih dari semua itu. Sesuatu yang tidak dapat
dijawab dengan ilmu pengetahuan, biasanya langsung dikaitkan dengan
ketidaklaziman. Dan, ketidaklaziman mudah dikaitkan dengan kekuatan sihir.
Oleh
karena itu, berkaitan dengan penafsiran terhadap ilmu sihir perlu dilakukan
secara hati-hati dengan terlebih dahulu meninjau masalah sihir melalui sudut
ilmu pengetahuan masa kini. Sihir dalam paradigma masa kini telah memunculkan
ambiguitas, disatu sisi dipandang sebagai sebuah trik ataupun tipuan karena
disamakan dengan sulap akan tetapi dipihak lain menurut sudut pandang agama
sihir adalah dimensi kesyirikan yang akan merusak aqidah.
Oleh karenanya
realitas ini harus diselsaikan, dimurnikan supaya tidak subhat atau tercampur
antara sihir dengan sulap. Fenomena mistis, tentang sihir juga sampai ke masa
kita sekarang. Masyarakat sangat menggandrungi tayangan-tayangan televisi yang
menyiarkan acara-acara mistis. Mulai dari tayangan yang dikemas dalam film-film
sejarah klasikal hingga telenovela-telenovela kehidupan modern.
Selain itu,
kemunculan tokoh-tokoh mistis seperti Dedi Corbuzer, Romi Rafael dan David
Cover Field, menyebabkan antusias masyarakat kepada dunia mistik semakin tajam
dan menjurus kepada kesesatan. Bahkan pengaruh tayangan-tayangan tersebut
meresap sampai ke anak-anak kecil, yang notabenenya adalah penerus-penerus
perjuangan agama dan bangsa. Adapun sihir, sebagaimana tinjauan makna bahasa
yang lalu, hanyalah sebuah tipuan pandangan mata. Kemampuan sihir muncul dari seorang
yang kafir, fasik dan munafik. Allah Swt., memang memberikan kelebihan tersebut
kepada mereka sebagai istidrâj. Yaitu agar mereka tetap tenggelam dalam
kekufuran, kefasikan dan kemunafikannya.
Kemampuan sihir seseorang sering
digunakan untuk menghancurkan atau menipu. Oleh karenanya, kemampuan sihir ada
yang didapatkan dari proses pembelajaran atau latihan dan ada juga lewat
bantuan setan. Ada sekelompok orang yang meyakini eksistensi black magic dan
white magic. Bila sesuatu yang luar biasa tersebut keluar dari seorang nabi,
wali, ulama atau orang yang shalih, maka mereka mengatakan hal itu adalah white
magic. Begitu juga sebaliknya, bila muncul dari seorang dukun, peramal atau non
muslim dinamakan black magic.
Dari pengertian ini tampak ada kesimpang siuran,
sehingga sangat perlu dicari pengertian yang lebih logis. Dalam memahami
kenyataan dan pengaruh yang dikeluarkan dari sihir, pendapat para ulama terbagi
dalam dua kelompok, yaitu: 1. Kelompok yang meyakini bahwa sihir mempunyai
pengaruh dan benar-benar nyata. Pendapat ini diusung oleh mufassir-mufassir
dari kelompok ahl al-sunnah wa al-jamā’ah. Mereka berpedoman kepada surat
al-Baqarah (2): 102 dan riwayat asbāb al-nuzūl surat al-Falaq (113): 4 yaitu,
hadis yang diriwayatkan oleh Zaid ibn al-Arqam tentang seorang Yahudi yang
bernama Labîd ibn al-A’sham menyihir Nabi Muhammad saw., sehingga beliau sakit
dan merasa berbuat sesuatu, padahal tidak. 2. Kelompok yang tidak meyakini
keberadaan dari fakta sihir dan juga tidak percaya bahwa sihir itu berpengaruh.
Pendapat ini diusung oleh mufassir-mufassir dari kelompok Muktazilah. Mereka
berpedoman kepada surat al-A’rāf (7): 116 dan Thāhā (20): 66-69.
Mereka juga
berpendapat bahwa jika sihir dapat membuat sesuatu yang luar biasa, seperti
berjalan di atas air, terbang di udara atau merubah tanah menjadi emas, maka
kehebatan mukjizat akan sirna, sebab keduanya sama-sama sebuah perbuatan yang
dilakukan dengan luar biasa. Di samping itu, manusia tidak perlu susah-susah
bekerja, cukup dengan sihir saja maka kebutuhan hidup terpenuhi. Imam
al-Zamakhsyâri dalam tafsir al-Kasysyāf mewakili kelompok Muktazilah,
menyatakan bahwa sihir sebenarnya sesuatu tipuan yang tidak pernah terjadi
dengan sebenarbenarnya.
Ini ditemukan ketika dia menafsirkan surat al-falq pada
ayat yang mengandung kata al-naffātsāt. Secara zahir, apa yang dilakukan
orang-orang yang meniup tali temali dengan membaca mantera-mantera menurutnya
tidak mempengaruhi apa-apa. Jika seseorang ingin mempelajarinya, tentu ia akan
mampu dan bisa melakukan seperti yang dilakukan oleh para tukang sihir
tersebut. Imam al-Zamakhsyāri juga menukil sebuah sya'ir yang menyebutkan bahwa
mempelajari sihir bukan untuk diamalkan, tetapi untuk mencari kelemahannya.
Menurut penulis, ungkapan Imam al-Zamakhsyāri ini, menjadi salah satu sebab
yang membuat Imam al-Rāzi termotivasi untuk melakukan penafsiran maksimal
terhadap ayat-ayat tentang sihir.
Adapun Syeikh Muhammad
Abduh dalam tafsir al-Manār mengingkari keberadaan sihir. Ini ditemukan ketika
dia menafsirkan surat al-Falaq pada ayat yang berbunyi, wa min syarr
al-naffātsāt fi al-'uqad. Menurutnya, yang dimaksud dengan al-naffātsāt adalah
orangorang yang mengadu domba antar sesama. Merekalah orang-orang yang
memutuskan persaudaraan dan tali silaturrahim. Mereka juga membakar semangat
dendam di antara kelompopk- kelompok orang yang telah menjalin ikatan
persaudaraan. Mereka ini dinamakan al-namīmah. Sedangkan al-namīmah menurutnya
merupakan salah satu cabang dari ilmu sihir.
Di samping itu, perbuatan
al-namīmah membawa kepada kesesatan, karena orang yang berbuat demikian akan
cenderung ingin menyesatkan orang lain. Pengkaburan kebenaran menjadi kesesatan
menurut Syeikh Muhammad Abduh adalah perbuatan sihir. Begitu juga Syeikh Rasyîd
Ridha. Sebagai murid Muhammad Abduh, dan banyak memberi komentar dalam tafsir
al-Manâr berpendapat bahwa ilmu sihir hanya sebuah kebohongan dan tipu daya
belaka. Dia sependapat dengan gurunya Muhammad Abduh dan mengusung pendapat
kelompok Muktazilah. Ini ditemukan dalam penafsirannya terhadap surat al-An'ām:
7. Menurutnya, ayat tersebut sangat jelas menerangkan bahwa sihir merupakan
perbuatan tipuan dan kebohongan dan tidak dapat memberi manfa'at atau mudharat.
Sedangkan terhadap hadis Imam Bukhari yang menceritakan bahwa Rasulullah saw
pernah tersihir, Rasyid Ridhâ mentakwilkannya. Bahwa Rasul tidak tersihir
tetapi pandangan istri-istrinya yang tersihir sehingga melihat Nabi saw
seolah-olah melakukan sesuatu padahal beliau tidfak melakukannya. Selain itu,
menurutnya perawi hadis tersebut dinilai cacat oleh mayoritas ulama. Ibn Kastīr
dalam Tafsīr al-Qurān al-'Azhīm menyatakan bahwa ilmu sihir dapat dipelajari
dan nyata keberadaannya. Bahkan seseorang yang mahir sihir dapat merubah
sesuatu kepada sesuatu yang lain. Tetapi mempelajari ilmu sihir menurutnya
makruh karena hanya akan mendatangkan bahaya.
Al-Marāghi dalam penafsirannya terhadap surat al-Baqarah: 102 menyatakan
bahwa para penyihir sanggup melakukan sesuatu yang luar biasa karena
menggunakan perantara.
Ada yang menggunakan jin dan ada juga yang menggunakan
alat-alat yang dibacakan mantera. Semuanya ini membuktikan bahwa sihir ada dan
bisa dipelajari. Hanya terdapat perbedaan ulama dalam hukum mempelajarinya.
Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzi tampil dengan kitab tafsirnya Mafātih al-Ghaib
mewakili kalangan mufassir-mufassir ahl al-sunnah wa al-jamā’ah banyak
memberikan kontribusi pemikiran dan perhatian terhadap masalah sihir. Pendapat
Imām alRāzi tentang kenyataan sihir berbeda dengan mazhab yang dianutnya, yaitu
mazhab ahl alsunnah wa al-jamā’ah. Bahkan, di sisi lain Imām al-Rāzi mewajibkan
belajar ilmu sihir, sebagaimana wajib belajar terhadap ilmu-ilmu Agama yang
lain. Upayanya ini sangat terlihat ketika dia menafsirkan firman Allah Swt.,
dalam surat al-Baqarah (2): 102. Dalam menjelaskan ayat tersebut, Imām al-Rāzi
mengaitkannya dengan ayat sebelumnya, yaitu alBaqarah (2): 99-101.
Kelompok
ayat-ayat tersebut menceritakan tentang keburukan pekerjaan Yahudi. Salah
satunya adalah mempelajari sihir dan mengajarkannya guna menghancurkan orang
lain. Menurutnya, Sihir adalah sesuatu
yang sebab kemunculannya masih tertutup atau tersembunyi, sehingga yang
tergambar bukan hakikat sebenarnya, melainkan sebuah tipu daya dari kebohongan
belaka. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa sihir hanyalah perbuatan yang memalingkan
pandangan orang dari pandangan yang sebenarnya. Dia juga melandasi
penafsirannya ini kepada surat al-A’râf (7): 116. Dalam hal ini, terlihat Imâm
al-Râzi seolaholah hendak menyatakan bahwa selama seseorang belum mengetahui
hakikat sesuatu, maka dia masih tersihir oleh sesuatu itu. Kemudian Imâm
al-Râzi menyatakan bahwa sihir bisa dan wajib dipelajari dan diperbolehkan
untuk mengajarkannya, apalagi digunakan untuk menghancurkan sihir juga.
Salah
satu persoalan yang menjadi perhatian besar tentang sihir adalah semua
perbuatan yang memalingkan kondisi dari keadaan yang sebenarnya menjadi keadaan
yang samar-samar. Artinya sihir bersifat tipuan terhadap pandangan mata saja.
Untuk itu, sihir bisa dipelajari, dan bahkan menurut al-Rāzi mewajibkan belajar
semua jenis ilmu sihir, dengan maksud untuk mengetahui hakekatnya dan cara
kerjanya. Selain itu, mempelajari sihir dapat mendatangkan manfa’at dan
mashlahat. Selain sihir masih ada mukjizat dan karamah, karena ketiganya masuk
dalam lingkup khawāriq li al-‘ādah. Dari penelusuran di atas ditemukan
perbedaan mendasar di antara ketiga term tersebut, yaitu:
Pertama, Sihir
bersumber dari orang yang fasik dan kafir, mukjizat bersumber dari seorang Nabi
dan Rasul, sedangkan karamah bersumber dari seorang waliullah yang ta’at
mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Kedua, Sihir muncul dengan adanya usaha atau
memang diusahakan, mukjizat muncul dari qudrat iradat Allah, sedangkan karamah
muncul tanpa sebab yang tidak diketahui oleh orangnya. Ketiga, Sihir diwujudkan untuk menghancurkan
orang lain, mukjizat diwujudkan untuk menaklukkan tantangan risalah Nabi atau
Rasul, sedangkan karamah terwujud sebagai bukti kemuliaan yang diberikan Allah
kepada seseorang.
Oleh karena ilmu sihir
tidak tercela dan tidaklah buruk untuk mempelajarinya, tentunya hukum kafir
bagi para ahli sihir perlu ditinjau ulang. Sungguh cepat keputusan untuk
mengkafirkan dukun, penyihir, tukang ramal atau apapun namanya, tanpa
diselidiki terlebih dahulu, kemanfa’atan sihirnya dan kemashlahatannya.
Mengenai pengobatan sihir, Imâm alRâzi membolehkan pengobatan dengan cara
nusyrah (jampi-jampi) dan pengobatan dengan cara ruqyah (mantera).
Kedua cara
pengobatan tersebut diterima, selama berada dalam jalurjalur yang dibenarkan
syari’at. Selain itu, seseorang yang memiliki kemahiran dalam nusyrah atau
ruqyah harus meyakini terlebih dahulu bahwa apa yang dilakukannya hanyalah
mencari sebab-sebab yang telah dibuat Allah, bukan dia yang menentukan sembuh
atau tidaknya. Demikian kesimpulan yang dapat penulis simpulkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar