Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 01 Juli 2019

KONSEP TENTANG SIHIR


Konsepsi Tentang Sihir 


Sihir dalam bahasa Arab tersusun dari huruf   ر, ح, س (siin, kha, dan ra), yang secara bahasa bermakna segala sesuatu yang sebabnya nampak samar. Oleh karenanya kita mengenal istilah ‘waktu sahur’ yang memiliki akar kata yang sama, yaitu siin, kha dan ra, yang artinya waktu ketika segala sesuatu nampak samar dan remang-remang. 

Seorang pakar bahasa, alAzhari mengatakan bahwa,  “Akar kata sihir maknanya adalah memalingkan sesuatu dari hakikatnya. Maka ketika ada seorang menampakkan keburukan dengan tampilan kebaikan dan menampilkan sesuatu dalam tampilan yang tidak senyatanya maka dikatakan dia telah menyihir sesuatu”.  Para ulama memiliki pendapat yang beraneka ragam dalam memaknai kata ‘sihir’ secara istilah. Sebagian ulama mengatakan bahwa sihir adalah benar-benar terjadi ‘riil’, dan memiliki hakikat. Artinya, sihir memiliki pengaruh yang benar-benar terjadi dan dirasakan oleh orang yang terkena sihir. 

Ibnul Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sihir adalah jampi atau mantra yang memberikan pengaruh baik secara zhohir maupun batin, semisal membuat orang lain menjadi sakit, atau bahkan membunuhnya, memisahkan pasangan suami istri, atau membuat istri orang lain mencintai dirinya.” Namun ada ulama lain yang menjelaskan bahwa sihir hanyalah pengelabuan dan tipuan mata semata, tanpa ada hakikatnya. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakr Ar Rozi, “(Sihir) adalah segala sesuatu yang sebabnya samar dan bersifat mengalabui, tanpa adanya hakikat, dan terjadi sebagaimana muslihat dan tipu daya semata.” Al-Laits mengatakan, Sihir adalah suatu perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada syaitan dengan bantuannya. 

Al-Azhari mengemukakan, Dasar pokok sihir adalah memalingkan sesuatu dari hakikat yang sebenarnya kepada yang lainnya. Ibnu Manzur berkata: Seakan-akan tukang sihir memperlihatkan kebathilan dalam wujud kebenaran dan menggambarkan sesuatu tidak seperti hakikat yang sebenarnya. Dengan demikian, dia telah menyihir sesuatu dari hakikat yang sebenarnya atau memalingkannya. Syamir meriwayatkan dari Ibnu Aisyah, dia mengatakan bahwa orang Arab menyebut sihir itu dengan kata as-Sihr karena ia menghilangkan kesehatan menjadi sakit. Ibnu Faris mengemukakan, Sihir berarti menampakkan kebathilan dalam wujud kebenaran. 

Di dalam kitab al-Mu’jamul Wasīth disebutkan bahwa sihir adalah sesuatu yang dilakukan secara lembut dan sangat terselubung. Sedangkan di dalam kitab Muhīthul Muhīth disebutkan, sihir adalah tindakan memperlihatkan sesuatu dengan penampilan yang paling bagus, sehingga bisa menipu manusia. Fakhruddin ar-Razi mengemukakan, menurut istilah Syari’at, sihir hanya khusus berkenaan dengan segala sesuatu yang sebabnya tidak terlihat dan digambarkan tidak seperti hakikat yang sebenarnya, serta berlangsung melalui tipu daya. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi mengatakan, Sihir adalah ikatan-ikatan, jampi-jampi, perkataan yang dilontarkan secara lisan maupun tulisan, atau melakukan sesuatu yang mempengaruhi badan, hati atau akal orang yang terkena sihir tanpa berinteraksi langsung dengannya. 

Sihir ini mempunyai hakikat, diantaranya ada yang bisa mematikan, membuat sakit, membuat seorang suami tidak dapat mencampuri istrinya atau memisahkan pasangan suami istri, atau membuat salah satu pihak membenci lainnya atau membuat kedua belah pihak saling mencintainya. Ibnul Qayyim mengungkapkan, Sihir adalah gabungan dari berbagai pengaruh ruh-ruh jahat, serta interaksi berbagai kekuatan alam dengannya. Dapat disimpulkan bahwa Sihir adalah kesepakatan antara tukang sihir dan syaitan dengan ketentuan bahwa tukang sihir akan melakukan berbagai keharaman atau kesyirikan dengan imbalan pemberian pertolongan syaitan kepadanya dan ketaatan untuk melakukan apa saja yang dimintanya. Di antara tukang sihir itu ada yang menempelkan mushhaf di kedua kakinya, kemudian ia memasuki WC. 

Ada yang menulis ayat-ayat al-Qur’an dengan kotoran. Ada juga yang menulis ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan darah haidl. Juga ada yang menulis ayatayat al-Qur’an di kedua telapak kakinya. Ada juga yang menulis Surat al-Faatihah terbalik. Juga ada yang mengerjakan sholat tanpa berwudhu’. Ada yang tetap dalam keadaan junub terus-menerus. Serta ada yang menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada syaitan dengan dengan tidak menyebut nama Allah pada saat menyembelih, lalu membuang sembelihan itu ke suatu tempat yang telah ditentukan syaitan. Dan ada juga yang berbicara dengan binatang-binatang dan bersujud kepadanya. Serta ada juga yang menulis mantra dengan lafazh-lafazh yang mengandung berbagai makna kekufuran. 

Dari sini, tampak jelas oleh kita bahwa jin itu tidak akan membantu dan tidak juga mengabdi kepada seorang penyihir kecuali dengan memberikan imbalan. Setiap kali seorang penyihir meningkatkan kekufuran, maka syaitan akan lebih taat kepadanya dan lebih cepat melaksanakan perintahnya. Dan jika tukan sihir tidak sungguh-sungguh melaksanakan berbagai hal yang bersifat kufur yang diperintahkan syaitan, maka syaitan akan menolak mengabdi kepadanya serta menentang perintahnya. 

Dengan demikian, tukang sihir dan syaitan merupakan teman setia yang bertemu dalam rangka perbuatan kemaksitan kepada Allah.  Jika anda perhatikan wajah tukang sihir, maka dengan jelas anda akan melihat kebenaran apa yang telah saya sampaikan, dimana anda akan mendapatkan gelapnya kekufuran yang memenuhi wajahnya, seakan-akan ia merupakan awan hitam yang pekat. Jika anda mengenali tukang sihir dari dekat, maka anda akan mendapatkannya hidup dalam kesengsaraan jiwa bersama istri dan anak-anaknya, bahkan dengan dirinya sendri sekalipun. Dia tidak bisa tidur nyenyak dan terus merasa gelisah, bahkan dia akan senantiasa merasa cemas dalam tidur. Selain itu seringkali syaitan-syaitan itu akan menyakiti anak-anaknya atau istrinya serta menimbulkan perpecahan dan perselisihan di antara mereka. Mahabesar Allah Yang Mahaagung yang telah berfirman:
 
Yang artinya :

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit”. [Thāhā: 124].

Dunia sihir dan perdukunan telah tersebar di tengah-tengah masyarakat, mulai dari masyarakat desa hingga menjamah ke daerah kota. Mulai dari sihir pelet, santet, dan “ajiaji” lainnya. Berbagai komentar dan cara pandang pun mulai bermunculan terkait masalah tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya. Sebagai seorang muslim, tidaklah kita memandang sesuatu melainkan dengan kaca mata syariat, terlebih dalam perkara-perkara ghaib, seperti sihir dan yang semisalnya. Marilah kita melihat bagaimanakah syariat Islam yang mulia ini memandang dunia sihir dan ‘antek-antek’-nya. 

Sebenarnya Adakah Sihir Itu? Sebagaimana yang disinggung di depan, bahwa terdapat persilangan pendapat tentang kebenaran hakikat sihir. ‘Apakah sihir hakiki?’, ‘Apakah orang yang terkena sihir, benar-benar merasakan pengaruhnya?’, ‘Atau kah sihir hanya sebatas tipuan mata dan tipu muslihat semata?’ Abu Abdillah Ar Rozi rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan “Kelompok Mu’tazilah mengingkari adanya sihir dalam aqidah mereka. 

Bahkan mereka tidak segan-segan mengkafirkan orang yang meyakini kebenaran sihir. Adapun ahli sunnah wal jama’ah, meyakini bahwa mungkin saja ada orang yang bisa terbang di angkasa, bisa merubah manusia menjadi keledai, atau sebaliknya. Akan tetapi meskipun demikian ahli sunnah meyakini bahwa segala kejadian tersebut atas izin dan taqdir dari Allah ta’ala”. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka itu (para tukang sihir) tidak akan memberikan bahaya kepada seorang pun melainkan dengan izin dari Allah” (QS. Al-Baqarah: 102). 

Al Qurthubi rahimahullahu mengatakan, “Menurut ahli sunnah wal jama’ah, sihir itu memang ada dan memiliki hakikat, dan Allah Maha Menciptakan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya, keyakinan yang demikian ini berbeda dengan keyakinan kelompok Mu’tazilah.”  Inilah keyakinan yang benar, insya Allah. Banyak sekali kejadian, baik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pun masa-masa setelahnya yang menunjukkan secara kasat mata bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh. 

Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah disihir oleh Lubaid bin Al A’shom Al Yahudi hingga beliau jatuh sakit? Kemudian karenanya Allah ta’ala menurunkan surat al-Falaq dan surat alNās (al-mu’awidaztain) sebagai obat bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh terhadap orang yang terkena sihir. Namun tidaklah dipungkiri, bahwa ada jenis-jenis sihir yang tidak memiliki hakikat, yaitu sihir yang hanya sebatas pengelabuan mata, tipu muslihat, “sulapan”, dan yang lainnya. 

Jenis-jenis sihir yang demikian inilah yang dimaksudkan oleh perkataan beberapa ulama yang mengatakan bahwa sihir tidaklah memiliki hakikat. Sihir termasuk dosa besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah dari kalian tujuh perkara yang membinasakan!” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Apakah tujuh perkara tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “[1] menyekutukan Allah, [2] sihir, [3] membunuh seorang yang Allah haramkan untuk dibunuh, kecuali dengan alasan yang dibenarkan syariat, [4] mengkonsumsi riba, [5] memakan harta anak yatim, [6] kabur ketika di medan perang, dan [7] menuduh perempuan baik-baik dengan tuduhan zina” (HR. Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Nabi Sulaiman tidaklah kafir, akan tetapi para syaitan lah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia” (Al-Baqarah: 102). 

Imam Adz Dzahabi rahimahullah berdalil dengan ayat di atas untuk menegaskan bahwa orang yang mempraktekkan ilmu sihir, maka dia telah kafir. Karena tidaklah para syaitan mengajarkan sihir kepada manusia melainkan dengan tujuan agar manusia menyekutukan Allah ta’ala. Syaikh al-Sa’diy rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu sihir dapat dikategorikan sebagai kesyirikan dari dua sisi. 1. Orang yang mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang meminta bantuan kepada para syaitan dari kalangan jin untuk melancarkan aksinya, dan betapa banyak orang yang terikat kontrak perjanjian dengan para syaitan tersebut akhirnya menyandarkan hati kepada mereka, mencintai mereka, ber-taqarrub kepada mereka, atau bahkan sampai rela memenuhi keinginan-keinginan mereka. 2. Orang yang mempelajari dan mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang mengakungaku mengetahui perkara ghaib. Dia telah berbuat kesyirikan kepada Allah dalam pengakuannya tersebut (syirik dalam rububiyah Allah), karena tidak ada yang mengetahui perkara ghaib melainkan hanya Allah ta’ala semata.  

Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah merinci bahwa orang yang mempraktekkan sihir, bisa jadi orang tersebut kafir, keluar dari Islam, dan bisa jadi orang tersebut tidak kafir meskipun dengan perbuatannya tersebut dia telah melakukan dosa besar. 

Pertama, Tukang sihir yang mempraktekkan sihir dengan memperkerjakan tentara-tentara syaitan, yang pada akhirnya orang tersebut bergantung kepada syaitan, ber-taqarrub kepada mereka atau bahkan sampai menyembah mereka. Maka yang demikian tidak diragukan tentang kafirnya perbuatan semacam ini. 

Kedua, Adapun orang yang mempraktekkan sihir tanpa bantuan syaitan, melainkan dengan obat-obatan berupa tanaman ataupun zat kimia, maka sihir yang semacam ini tidak dikategorikan sebagai kekafiran. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah suatu ketika, di akhir kekhalifahan beliau, mengirimkan surat kepada para gubernur, sebagaimana yang dikatakan oleh Bajalah bin ‘Abadah radhiyallahu ‘anhu, “Umar bin Khattab menulis surat (yang berbunyi): ‘Hendaklah kalian (para pemerintah gubernur) membunuh para tukang sihir, baik laki-laki ataupun perempuan”. 

Dalam kisah Umar radhiyallahu ‘anhu di atas memberikan pelajaran bagi kita, bahwa hukuman bagi tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya adalah hukuman mati. Terlebih lagi terdapat sebuah riwayat, meskipun riwayat tersebut diperselisihkan oleh para ulama tentang status ke-shahihan-nya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal dengan pedang.”  Dalam kisah Umar di atas pun juga memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa menjadi kewajiban pemerintah tatkala melihat benih-benih kekufuran, hendaklah pemerintah menjadi barisan nomor satu dalam memerangi kekufuran tersebut dan memperingatkan masyarakat tentang bahayanya kekufuran tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.  

Inilah yang mungkin menjadi kerancuan di benak masyarakat, yang kemudian kerancuan ini menjadikan mereka membolehkan belajar sihir, karena alasan “keadaan darurat”. Terlebih lagi tatkala sihir yang digunakan untuk mengobati sihir terkadang terbukti manjur dan mujarab. Bukankah segala sesuatu yang haram pada saat keadaan darurat, akan menjadi mubah? Bukankah ketika di tengah hutan, tidak ada bahan makan, bangkai pun menjadi boleh kita makan? Memang syariat membolehkan perkara yang haram tatkala keadaan darurat, sampai-sampai para ulama membuat sebuah kaidah fiqhiyah, “Keadaan yang darurat dapat merubah hukum larangan menjadi mubah.” Namun kita pelu cermati bahwa para ulama pun juga memberikan catatan kaki terhadap kaidah yang agung ini. 

Terdapat sedikitnya dua syarat yang harus dipenuhi untuk mengamalkan kaidah ini, yaitu: 1. Tidak ada obat lain yang dapat menyembuhkan sihir, selain dengan sihir yang semisal. Pada kenyataannya tidaklah terpenuhi syarat pertama ini. Syariat telah memberikan obat dan jalan keluar yang lebih syar’i untuk menangkal dan mengobati gangguan sihir. Bukankah syari’at telah menjadikan Al Quran sebagai obat, lah ada dan teruqyah-ruqyah syar’i yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 2. Sihir yang digunakan harus terbukti secara pasti dapat menyembuhkan dan menghilangkan sihir. Dan setiap dari kita tidaklah ada yang dapat memastikan hal ini, karena semua hal tersebut adalah perkara yang ghaib.  Maka dengan ini jelaslah bahwa mempelajari sihir, apapun alasannya adalah terlarang, bahkan diancam dengan kekufuran, Allah ta’ala telah tegaskan di dalam firmannya (yang artinya), “Dan tukang sihir itu tidaklah menang, dari mana pun datangnya.” (QS. Ath Thaahaa: 69). 

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat ini mencakup umum, segala macam kemenangan dan keberuntungan akan ditiadakan dari para tukang sihir, terlebih lagi Allah tekankan dengan firman-Nya, ‘dari mana pun datangnya’. Dan secara umum, tidaklah Allah meniadakan kemenangan dari seseorang, melainkan dari orang kafir. Sihir tidak akan luput dari kehidupan manusia sehari-hari yang digunakan oleh orangorang yang tidak mengerti atau tidak paham mengenai dampak dari perbuatan tersebut. Sihir ini telah tersebar di tengah-tengah peradaban manusia masa kini maupun masa lalu. Mulai dari sihir berupa pelet, santet, gendam dan lain sebagainya. 

Padahal telah jelas dalam Al-Quran bahwasannya sihir ini dapat membuat seseorang yang melakukan perbuatan tersebut menjadi kafir (musyrik). Pada hakikatnya kita tidak boleh takut akan adanya sihir ini, karena segala sesuatu itu terjadi hanyalah atas izin Allah Swt semata bukan karena hal lainnya terutama sihir. Akan tetapi banyak orang yang salah dalam memahami sihir sehingga bentuk kebodohan serta kemusyrikan terjadi, orang-orang tersebut beramai-ramai mempraktekan sihir untuk mempermudah suatu urusan di dalam kehidupan sehari-hari. Syetan selalu berusaha untuk memasukan suatu kesan kepada ummat muslim bahwa sihir ini bukanlah suatu perbuatan yang berdampak kepada dosa yang sangat besar. Bahkan Syetan memberikan pelajaran yang dapat menyentuh perasaan kepada manusia, sehingga mereka menganggap bahwa sihir adalah suatu perbuatan yang harus ditempuh oleh manusia untuk mencari kebaikan. 

Misalnya untuk memikat hati seorang wanita ataupun laki-laki yang dilakukan dengan cara guna-guna atau zaman sekarang sering disebut dengan pelet, itu semua diperbolehkan oleh agama karena digunakan untuk kebaikan dengan dalih (menyatukan ummat manusia dalam sebuah perjodohan) sehingga sebagian ummat yang terpedaya mengatakan bahwa semua hal tersebut merupakan muhabbah. Padahal menurut Syara sihir itu merupakan perbuatan kufur dan orang yang bermain-main dengan sihir adalah kafir. Sihir berarti sesuatu yang lembut dan halus (tidak terlihat). Secara terminologis, sihir adalah suatu perbuatan oleh orang tertentu (disebut tukang sihir) dengan syarat-syarat tertentu mempergunakan peralatan yang tidak lazim untuk dipakai, serta dengan cara yang sangat rahasia, untuk menimbulkan efek jahat dalam diri orang lain yang menjadi korbannya. Sihir dapat dinamai juga santet, teluh, magic, vodoo dan lain sebagainya. Pada umumnya sasaran sihir ini ada dua, ada yang langsung dikenakan kepada diri korban dengan mempengaruhi hati, jiwa dan badannya, untuk disakiti ataupun dibunuh. 

Ada juga yang dikenakan terhadap harta benda korban untuk dirusak ataupun dimusnahkan serta sihir ini digunakan untuk memutuskan cinta kasih sepasang suami istri (kekasih). Sebelum melakukan sihir biasanya ada kesepakatan antara tukang sihir dengan syetan, syaratnya adalah tukang sihir harus melakukan perbuatan syirik atau kufur. Baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Sementara syetan harus melayani tukang sihir, atau menundukan orang yang melayaninya. 

Oleh karena itu, tukang sihir menundukan jin tersebut untuk melakukan pekerjaan jahat yang dia inginkan. Dan jika jin tersebut membangkang, maka tukang sihir akan mendekati pemimpin kelompoknya dengan menggunakan sang pemimpin serta meminta pertolongan kepadanya, bukan kepada Allah Swt. Seseorang yang mendatangi tukang sihir (dukun, peramal, paranormal) lalu bertanya kepadanya, dia terkena ancaman tidak diterima shalatnya selama 40 telah jatuh kepada dosa kafir (Syirik kepada Allah Swt). Sedangkan dalam kamu Mu’zam Al-Mufradat karya Al-Ragib Al-Ashfahani dikatakan terdapat beberapa arti dari kata “Sahara”. 

Pertama, gambaran atau tipuan imajinasi yang tidak nyata, seperti halnya yang dilakukan oleh pesulap yang dapat memalingkan pandangan dengan kecepatan tangannya dan juga seperti yang dilakukan oleh seorang pengadu domba, memfitnah dengan ucapan-ucapan manis yang dapat mempengaruhi pandangan orang lain mengenai suatu perkara. 

Kedua, meminta pertolongan kepada syetan dengan cara melakukan sebuah ritual mendekatkan diri kepadanya. Ketiga, suatu perbuatan yang dapat membuat seseorang menjadi sedih, senang, takut, penurut dan lain sebagainya yang denganya dapat merubah suatu karakter seseorang. Seperti khimar (hipnotis) akan tetapi hal ini tidak bersifat nyata, hanyalan sebuah ilussi. 

Dari ragam dan fenomena pemaknaan tentang sihir, kiranya masih layak untuk dikaji lebih jauh, bagaimana sesungguhnya sihir dalam pandangan para mufasir, ketika menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang berbicara masalah sihir. Sebenarnya, sihir ini telah ada sejak zaman Nabi Sulaiman As. Allah Swt memberikan seatu mukjizat kepada Nabi Sulaiman As yaitu dapat memerintahkan manusia, hewan dan jin sebagai pasukan kerajaannya. Seperti firman Allah Swt dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah 102: “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syetan-syetan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syetan-syetanlha yang kafir (mengerjakan sihir). 

Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu pa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir. Kalau mereka mengetahui.” 

Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 102 disebutkan bahwa dengan segala kebolehan (Mu‟jizat) yang diberikan Allah Swt kepda Nabi Sulaiman, akan tetapi orang-orang kafir menuduh bahwa Nabi Sulaiman tidak lain hanyalah seorang ahli sihir yang mengajarkan ilmu sihirnya terhadap pengikutnya, padahal semua itu semata-mata hanyalah perbuatan syetan. Sihir dalam kehidupan masa lalu bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, sudut pandang keagamaan dan yang kedua dari sudut pandang non keagamaan. Dalam perkembangannya sudut pandang non keagamaan ini lebih banyak dikedepankan oleh aspek ilmu pengetahuan atau keilmuan di masa modern, dimana ada pergeseran makna yang semula pada dasarnya adalah sihir namun menurut pandangan mereka ini di identikan dengan sulap. 

Berbeda halnya menurut ajaran atau pengetahuan keislaman bahwa sulap adalah sulap, sihir adalah sihir. Sihir tetap saja merupakan suatu perbuatan yang dapat merusak aqidah dan tauhid seorang muslim karena dekat sekali dengan kesyirikan. Jika dilihat dalam konteks zaman sekarang dibanyak Negara, termasuk di Barat dan di Timur Tengah, sihir biasanya digambarkan sebagai suatu perbuatan yang memungkinkan pelakunya dapat mengubah sesuatu menjadi benda lain yang di inginkannya. Dalam kisah Nabi Musa As, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran. Para penyihir firaun dapat mengubah tali menjadi ular. Sementara dalam film-film atau novel Barat, seorang penyihir yang biasanya digambarkan bertopi runcing dan bertampang yang buruk dan mengerikan, dapat mengubah seseorang menjadi hewan, ataui apa saja dengan mantra-mantra dan ramuan yang mereka buat. 

Mereka juga memiliki sapu terbang untuk membawanya terbang kemana saja. Peradaban modern masa kini hanya percaya bahwa orang yang dapat membuat keajaiban itu hanyalah seorang pesulap, bukanlah seorang penyihir. Dan, sekelompok pesulap itu tidak menggunakan kekuatan magis. Mereka melakukan keanehan-keanehan secara murni sekaligus menggunakan trik atau tipuan mata, dan tidaklah lebih dari semua itu. Sesuatu yang tidak dapat dijawab dengan ilmu pengetahuan, biasanya langsung dikaitkan dengan ketidaklaziman. Dan, ketidaklaziman mudah dikaitkan dengan kekuatan sihir. 

Oleh karena itu, berkaitan dengan penafsiran terhadap ilmu sihir perlu dilakukan secara hati-hati dengan terlebih dahulu meninjau masalah sihir melalui sudut ilmu pengetahuan masa kini. Sihir dalam paradigma masa kini telah memunculkan ambiguitas, disatu sisi dipandang sebagai sebuah trik ataupun tipuan karena disamakan dengan sulap akan tetapi dipihak lain menurut sudut pandang agama sihir adalah dimensi kesyirikan yang akan merusak aqidah. 

Oleh karenanya realitas ini harus diselsaikan, dimurnikan supaya tidak subhat atau tercampur antara sihir dengan sulap. Fenomena mistis, tentang sihir juga sampai ke masa kita sekarang. Masyarakat sangat menggandrungi tayangan-tayangan televisi yang menyiarkan acara-acara mistis. Mulai dari tayangan yang dikemas dalam film-film sejarah klasikal hingga telenovela-telenovela kehidupan modern. 

Selain itu, kemunculan tokoh-tokoh mistis seperti Dedi Corbuzer, Romi Rafael dan David Cover Field, menyebabkan antusias masyarakat kepada dunia mistik semakin tajam dan menjurus kepada kesesatan. Bahkan pengaruh tayangan-tayangan tersebut meresap sampai ke anak-anak kecil, yang notabenenya adalah penerus-penerus perjuangan agama dan bangsa. Adapun sihir, sebagaimana tinjauan makna bahasa yang lalu, hanyalah sebuah tipuan pandangan mata. Kemampuan sihir muncul dari seorang yang kafir, fasik dan munafik. Allah Swt., memang memberikan kelebihan tersebut kepada mereka sebagai istidrâj. Yaitu agar mereka tetap tenggelam dalam kekufuran, kefasikan dan kemunafikannya. 

Kemampuan sihir seseorang sering digunakan untuk menghancurkan atau menipu. Oleh karenanya, kemampuan sihir ada yang didapatkan dari proses pembelajaran atau latihan dan ada juga lewat bantuan setan. Ada sekelompok orang yang meyakini eksistensi black magic dan white magic. Bila sesuatu yang luar biasa tersebut keluar dari seorang nabi, wali, ulama atau orang yang shalih, maka mereka mengatakan hal itu adalah white magic. Begitu juga sebaliknya, bila muncul dari seorang dukun, peramal atau non muslim dinamakan black magic. 

Dari pengertian ini tampak ada kesimpang siuran, sehingga sangat perlu dicari pengertian yang lebih logis. Dalam memahami kenyataan dan pengaruh yang dikeluarkan dari sihir, pendapat para ulama terbagi dalam dua kelompok, yaitu: 1. Kelompok yang meyakini bahwa sihir mempunyai pengaruh dan benar-benar nyata. Pendapat ini diusung oleh mufassir-mufassir dari kelompok ahl al-sunnah wa al-jamā’ah. Mereka berpedoman kepada surat al-Baqarah (2): 102 dan riwayat asbāb al-nuzūl surat al-Falaq (113): 4 yaitu, hadis yang diriwayatkan oleh Zaid ibn al-Arqam tentang seorang Yahudi yang bernama Labîd ibn al-A’sham menyihir Nabi Muhammad saw., sehingga beliau sakit dan merasa berbuat sesuatu, padahal tidak. 2. Kelompok yang tidak meyakini keberadaan dari fakta sihir dan juga tidak percaya bahwa sihir itu berpengaruh. Pendapat ini diusung oleh mufassir-mufassir dari kelompok Muktazilah. Mereka berpedoman kepada surat al-A’rāf (7): 116 dan Thāhā (20): 66-69. 

Mereka juga berpendapat bahwa jika sihir dapat membuat sesuatu yang luar biasa, seperti berjalan di atas air, terbang di udara atau merubah tanah menjadi emas, maka kehebatan mukjizat akan sirna, sebab keduanya sama-sama sebuah perbuatan yang dilakukan dengan luar biasa. Di samping itu, manusia tidak perlu susah-susah bekerja, cukup dengan sihir saja maka kebutuhan hidup terpenuhi. Imam al-Zamakhsyâri dalam tafsir al-Kasysyāf mewakili kelompok Muktazilah, menyatakan bahwa sihir sebenarnya sesuatu tipuan yang tidak pernah terjadi dengan sebenarbenarnya. 

Ini ditemukan ketika dia menafsirkan surat al-falq pada ayat yang mengandung kata al-naffātsāt. Secara zahir, apa yang dilakukan orang-orang yang meniup tali temali dengan membaca mantera-mantera menurutnya tidak mempengaruhi apa-apa. Jika seseorang ingin mempelajarinya, tentu ia akan mampu dan bisa melakukan seperti yang dilakukan oleh para tukang sihir tersebut. Imam al-Zamakhsyāri juga menukil sebuah sya'ir yang menyebutkan bahwa mempelajari sihir bukan untuk diamalkan, tetapi untuk mencari kelemahannya. Menurut penulis, ungkapan Imam al-Zamakhsyāri ini, menjadi salah satu sebab yang membuat Imam al-Rāzi termotivasi untuk melakukan penafsiran maksimal terhadap ayat-ayat tentang sihir.

Adapun Syeikh Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manār mengingkari keberadaan sihir. Ini ditemukan ketika dia menafsirkan surat al-Falaq pada ayat yang berbunyi, wa min syarr al-naffātsāt fi al-'uqad. Menurutnya, yang dimaksud dengan al-naffātsāt adalah orangorang yang mengadu domba antar sesama. Merekalah orang-orang yang memutuskan persaudaraan dan tali silaturrahim. Mereka juga membakar semangat dendam di antara kelompopk- kelompok orang yang telah menjalin ikatan persaudaraan. Mereka ini dinamakan al-namīmah. Sedangkan al-namīmah menurutnya merupakan salah satu cabang dari ilmu sihir. 

Di samping itu, perbuatan al-namīmah membawa kepada kesesatan, karena orang yang berbuat demikian akan cenderung ingin menyesatkan orang lain. Pengkaburan kebenaran menjadi kesesatan menurut Syeikh Muhammad Abduh adalah perbuatan sihir. Begitu juga Syeikh Rasyîd Ridha. Sebagai murid Muhammad Abduh, dan banyak memberi komentar dalam tafsir al-Manâr berpendapat bahwa ilmu sihir hanya sebuah kebohongan dan tipu daya belaka. Dia sependapat dengan gurunya Muhammad Abduh dan mengusung pendapat kelompok Muktazilah. Ini ditemukan dalam penafsirannya terhadap surat al-An'ām: 7. Menurutnya, ayat tersebut sangat jelas menerangkan bahwa sihir merupakan perbuatan tipuan dan kebohongan dan tidak dapat memberi manfa'at atau mudharat. 

Sedangkan terhadap hadis Imam Bukhari yang menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah tersihir, Rasyid Ridhâ mentakwilkannya. Bahwa Rasul tidak tersihir tetapi pandangan istri-istrinya yang tersihir sehingga melihat Nabi saw seolah-olah melakukan sesuatu padahal beliau tidfak melakukannya. Selain itu, menurutnya perawi hadis tersebut dinilai cacat oleh mayoritas ulama. Ibn Kastīr dalam Tafsīr al-Qurān al-'Azhīm menyatakan bahwa ilmu sihir dapat dipelajari dan nyata keberadaannya. Bahkan seseorang yang mahir sihir dapat merubah sesuatu kepada sesuatu yang lain. Tetapi mempelajari ilmu sihir menurutnya makruh karena hanya akan mendatangkan bahaya.  Al-Marāghi dalam penafsirannya terhadap surat al-Baqarah: 102 menyatakan bahwa para penyihir sanggup melakukan sesuatu yang luar biasa karena menggunakan perantara. 

Ada yang menggunakan jin dan ada juga yang menggunakan alat-alat yang dibacakan mantera. Semuanya ini membuktikan bahwa sihir ada dan bisa dipelajari. Hanya terdapat perbedaan ulama dalam hukum mempelajarinya. Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzi tampil dengan kitab tafsirnya Mafātih al-Ghaib mewakili kalangan mufassir-mufassir ahl al-sunnah wa al-jamā’ah banyak memberikan kontribusi pemikiran dan perhatian terhadap masalah sihir. Pendapat Imām alRāzi tentang kenyataan sihir berbeda dengan mazhab yang dianutnya, yaitu mazhab ahl alsunnah wa al-jamā’ah. Bahkan, di sisi lain Imām al-Rāzi mewajibkan belajar ilmu sihir, sebagaimana wajib belajar terhadap ilmu-ilmu Agama yang lain. Upayanya ini sangat terlihat ketika dia menafsirkan firman Allah Swt., dalam surat al-Baqarah (2): 102. Dalam menjelaskan ayat tersebut, Imām al-Rāzi mengaitkannya dengan ayat sebelumnya, yaitu alBaqarah (2): 99-101. 

Kelompok ayat-ayat tersebut menceritakan tentang keburukan pekerjaan Yahudi. Salah satunya adalah mempelajari sihir dan mengajarkannya guna menghancurkan orang lain.  Menurutnya, Sihir adalah sesuatu yang sebab kemunculannya masih tertutup atau tersembunyi, sehingga yang tergambar bukan hakikat sebenarnya, melainkan sebuah tipu daya dari kebohongan belaka. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa sihir hanyalah perbuatan yang memalingkan pandangan orang dari pandangan yang sebenarnya. Dia juga melandasi penafsirannya ini kepada surat al-A’râf (7): 116. Dalam hal ini, terlihat Imâm al-Râzi seolaholah hendak menyatakan bahwa selama seseorang belum mengetahui hakikat sesuatu, maka dia masih tersihir oleh sesuatu itu. Kemudian Imâm al-Râzi menyatakan bahwa sihir bisa dan wajib dipelajari dan diperbolehkan untuk mengajarkannya, apalagi digunakan untuk menghancurkan sihir juga. 

Salah satu persoalan yang menjadi perhatian besar tentang sihir adalah semua perbuatan yang memalingkan kondisi dari keadaan yang sebenarnya menjadi keadaan yang samar-samar. Artinya sihir bersifat tipuan terhadap pandangan mata saja. Untuk itu, sihir bisa dipelajari, dan bahkan menurut al-Rāzi mewajibkan belajar semua jenis ilmu sihir, dengan maksud untuk mengetahui hakekatnya dan cara kerjanya. Selain itu, mempelajari sihir dapat mendatangkan manfa’at dan mashlahat. Selain sihir masih ada mukjizat dan karamah, karena ketiganya masuk dalam lingkup khawāriq li al-‘ādah. Dari penelusuran di atas ditemukan perbedaan mendasar di antara ketiga term tersebut, yaitu:

Pertama, Sihir bersumber dari orang yang fasik dan kafir, mukjizat bersumber dari seorang Nabi dan Rasul, sedangkan karamah bersumber dari seorang waliullah yang ta’at mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya.  

Kedua, Sihir muncul dengan adanya usaha atau memang diusahakan, mukjizat muncul dari qudrat iradat Allah, sedangkan karamah muncul tanpa sebab yang tidak diketahui oleh orangnya.  Ketiga, Sihir diwujudkan untuk menghancurkan orang lain, mukjizat diwujudkan untuk menaklukkan tantangan risalah Nabi atau Rasul, sedangkan karamah terwujud sebagai bukti kemuliaan yang diberikan Allah kepada seseorang.  

Oleh karena ilmu sihir tidak tercela dan tidaklah buruk untuk mempelajarinya, tentunya hukum kafir bagi para ahli sihir perlu ditinjau ulang. Sungguh cepat keputusan untuk mengkafirkan dukun, penyihir, tukang ramal atau apapun namanya, tanpa diselidiki terlebih dahulu, kemanfa’atan sihirnya dan kemashlahatannya. Mengenai pengobatan sihir, Imâm alRâzi membolehkan pengobatan dengan cara nusyrah (jampi-jampi) dan pengobatan dengan cara ruqyah (mantera). 

Kedua cara pengobatan tersebut diterima, selama berada dalam jalurjalur yang dibenarkan syari’at. Selain itu, seseorang yang memiliki kemahiran dalam nusyrah atau ruqyah harus meyakini terlebih dahulu bahwa apa yang dilakukannya hanyalah mencari sebab-sebab yang telah dibuat Allah, bukan dia yang menentukan sembuh atau tidaknya. Demikian kesimpulan yang dapat penulis simpulkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar