Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 01 Juli 2019

KONSEP TENTANG KAROMAH


 KONSEP TENTANG KAROMAH 

Karomah sesungguhnya merupakan istilah yang tidak asing bagi umat muslim, dimana karomah ini merupakan bagian dari agama Islam. Oleh karena hal tersebut, maka Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mempercayai adanya karomah yang dimana karomah ini datangnya dari sisi Allah. Karomah ini, mau tidak mau akan membentuk kharisma seseorang di mata umat. Islam mengakui tentang konsep karomah. Karomah untuk kiai dan wali sesungguhnya memanglah ada dan diperbolehkan. Hal ini dikarenakan karomah dianggap sebagai kejadian yang bersifat asumtif dan datang bukan dengan tujuan untuk merusak akidah. Selain itu, Allah menciptakan karomah adalah untuk kekasih-kekasih-Nya.  Salah satu keyakinan tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah yakin atau percaya sepenuhnya akan adanya karomah, yang dimana karomah ini datang dari sisi Allah. 

Karomah pada dasarnya merupakan suatu hal yang dianggap bertentangan dengan adat kebiasaan manusia pada umumnya, dan karomah ini hanya diberikan kepada hamba-hamba Allah yang sholeh. Menurut Syekh Akbar Muhammad Fathurahman, karomah adalah pemberian dari Allah SWT dalam bentuk pertolongan-Nya yang diberikan kepada seseorang yang membela agama Allah. Sifat Karomah adalah kejadian di luar batas kemampuan manusia pada umumnnya atau keluar dari kebiasaan pada umumnnya. Karomah merupakan bagian dari Mawahib (anugerah) Allah yang didapat tanpa melalui proses usaha juga terjadi hanya sesekali saja.  Karamah berasal dari bahasa arab  كرم berarti kemuliaan, keluhuran, dan anugerah. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengistilahkan karomah dengan keramat diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu diluar kemampuan manusia biasa karena ketaqwaanya kepada Tuhan. Menurut ulama sufi, karamah berarti keadaan luar biasa yang diberikan Allah SWT kepada para wali-Nya. Wali ialah orang yang beriman, bertakwa, dan beramal shaleh kepada Allah SWT. Ulama’ sufi meyakini bahwa para wali mempunyai keistimewaan, misalnya kemampuan melihat hal-hal ghaib yang tidak dimiliki oleh manusia umumnya. Allah SWT dapat memberi karamah kepada orang beriman, takwa, dan beramal shaleh menurut kehendaknya. Misalnya, Kejadian yang Dialami Seorang Ahli Ilmu pada masa Nabi Sulaiman a.s. Ketika Nabi Sulaiman a.s. sedang duduk di hadapan dengan para tentaranya yang terdiri atas manusia, hewan, dan jin, beliau meminta kepada mereka mendatangkan singgasana Ratu Bulqis. Ada seorang yang berilmu berkata kepada Nabi Sulaiman a.s. menurut sebuah keterangan, orang yang berilmu itu bernama Asif. Perkataan orang berilmu tersebut diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya Q.S. an-Naml: 40, 

Yang artinya :

“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. 

Selain itu, kejadian yang Dialami Maryam binti Imran, Nabi Zakaria a.s. menemukan makanan setiap hadir di mihrab Maryam binti Imran. Allah berfirman dalam Q.S. Ali Imran: 37,

Yang artinya :

“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”

Peristiwa yang disaksikan Nabi Zakaria a.s. merupakan karamah yang dianugerahkan Allah SWT kepada maryam binti Imran. Allah SWT mentakdirkan bahwa pengasuh Maryam adalah pamannya sendiri, yakni Nabi Zakaria a.s. Karomah memang identik dengan hal-hal yang tidak masuk nalar. Akan tetapi ia adalah nyata dan haqq, seperti halnya mukjizat para nabi. Bedanya, jika mukjizat disertai dengan pengakuan kenabian (nubuwwah), pada karomah hal itu tidak ada. Karomah ini oleh Allah diberikan kepada para wali yang benar-benar beriman dan bertakwa hanya kepada Allah. Firma Allah mengenai sifat-sifat dari wali Allah ini yaitu sebagai berikut: 

Yang artinya :

“Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa”. (QS. Yunus: 62-63). 

Berdasarkan ayat di atas, diketahui bahwa sifat-sifat dari wali Allah yaitu: “Orangorang yang beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan hari akhir serta beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk.” Menurut Imam alQusyairi dalam ar-Risalah, seorang wali tidak akan merasa nyaman dan peduli terhadap karomah yang dianugerahkan kepadanya. Meskipun demikian, kadang-kadang dengan adanya karomah, keyakinan mereka semakin bertambah sebab mereka meyakini bahwa semuanya itu berasal dari Allah. 

Pengertian dari karomah itu sendiri menurut Abul Qasim al-Qusyairi yaitu karomah merupakan suatu aktivitas yang dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan adat kebiasaan manusia pada umumnya, yaitu dapat juga dianggap sebagai realitas sifat wali-wali Allah tentang sebuah makna kebenaran dalam situasi yang dianggap kurang baik. Karomah ini juga dapat dianggap sebagai hal yang sangat luar biasa yang diberikan oleh Allah kepada kekasihkekasih pilihanNya. Sedangkan menurut Syeck Ibrahim Al Bajuri dalam kitabnya dijelaskan bahwa karomah adalah sesuatu luar biasa yang tampak dari kekuasaan seorang hamba yang telah jelas kebaikannya yang diteyapkan karena adanya ketekunan didalam mengikuti syariat nabi.  Selanjutnya Said Hawwa juga menjelaskan bahwa karomah memang benar-benar telah terjadi dan akan tetap terjadi pada wilayah tasawuf. 

Karomah juga bisa terjadi pada orang yang belum sempurna istiqamahnya. Tapi bagi orang-orang yang benar-benar lurus, istiqamah, dan tampak karomahnya, barangkali karomahnya tersebut identik dengan tanda kewalian. Karomah dapat berarti juga peristiwa yang luar biasa, yang keluar dari hukum alam. Namun karomah tersebut dapat pula berarti merupakan akibat dari suatu sebab tapi masih dalam lingkup manifestasi taufik Allah.  Adapun dalam kitab Jauharut Tauhid karya Syaik Ibrahim al-Laqqani ini sendiri tertulis atau tergambar berbagai macam tokoh atas bermacam-macam karomah, yaitu dimana salah satunya ialah kisah dari pada Ashabul Kahfi yakni ketujuh orang pemuda keturunan bangsawan dari Rum yang sangat mengkhawatirkan keimanan mereka. Peristiwa ini terjadi sesudah zaman Nabi Isa A.S. Raja mereka tidak sepaham bahkan sangat benci sekali dengan apa yang mereka yakini. Mereka pun keluar menjauhi kerajaan dan masuk kedalam gua lalu tertidur didalamnya selama 309 tahun. 

Dan itulah salah satu dari pada bentuk karomah yang ada dalam islam versi kitab Jauharut Tauhid karangan Syaikh Ibrahim Al-Laqqani. Adapun jika kita mengambil contoh lain ialah kejadian yang dialami oleh Maryam Binti Imran R.A. yang selalu mendapatkan makanan di Mihrab, sedangkan Maryam sendiri tidak pernah keluar dari Mihrab. Hal ini diabadikan dalam Q.S. Al-Imran ayat 37. Selain itu, kejadian pada Amir Bin Fuhairah ketika wafat, jasadnya diangkat oleh para malaikat dan disaksikan oleh para sahabatnya Amir bin Thufail.  Kemudian pada buku Meluruskan Pemahaman Tentang Wali karya Abu Fajar Alqalami, dijelaskan bahwa karomah atau kekeramatan disebut juga khariqul ’adah, yaitu suatu kejadian yang dianggap luar biasa. Karomah ini diberikan oleh Allah kepada kekasih-kekasih pilihanNya yang bertakwa, shalih sebagai hujjah agamaNya dan untuk menolong mereka dari usuh-musuh Allah, sebagaimana mukjizat para nabi sebagai hujjah orang-orang yang ingkar kepada Allah. 

Lebih lanjut lagi, dijelaskan bahwa menurut arti asalnya karomah ialah kemuliaan atau kemurahan hati. Sedangkan menurut istilah perwalian, karomah mempunyai makna kejadian luar biasa (khairqul’adah) yang terjadi pada wali (kekasih-kekasih Allah). Karomah pemberian Allah itu pada dasarnya adalah sebagian dari mukjizat-mikjizat para nabiNya. Sebagian mukjizat Nabi Muhammad SAW diantaranya yaitu Nabi Muhammad SAW dapat membelah bulan dengan ijin Allah (HR. Bukhari dan Muslim), dan batu-batu kerikil tibatiba mengucapkan tasbih ketika dipegang dan diletakkan ditelapak tangan Nabi SAW (HR. Bazzar dari Abu Dzar). Di samping itu, ada juga sahabat-sahabat Nabi yang termasuk dalam kategori wali Allah dan mempunyai karomah dalam dirinya. Wali Allah sama sekali tidak pernah dengan sengaja menampakkan kekeramatannya di depan orang banyak sekedar agar mendapat pujian. Namun kekeramatannya itu muncul karena hujjah atau dalam keadaan terpaksa.  

Adapun bilamana ada seorang wali Allah yang dimana dirinya hanya mengharapkan untuk mendapatkan karomah, maka wali tersebut tidak termasuk dalam golongan wali yang tinggi derajatnya. Ibnu Athaillah pernah mengatakan bahwa: “Kemahuan yang tinggi tidak sampai menembusi tembok-tembok takdir.” Maksud dari perkataan Ibnu Athaillah ini adalah karomah tidak akan bertentangan dengan takdir yang telah ditetapkan, karena semua yang terjadi di alam raya ini baik hal biasa maupun hal yang luar biasa sumber utamanya adalah takdir yang telah ditetapkan oleh Allah. 

Oleh karena hal tersebut, maka pada umumnya apaapa kemauan dari wali tidaklah pernah bertentangan dengan takdir yang telah ditetapkan tersebut.  Selanjutnya, sebagian ciri-ciri seorang hamba yang memiliki karomah diantaranya yaitu: (1) tidak memiliki doa-doa khusus sebagai suatu bacaan; (2) karomah hanya terjadi pada seorang yang sholeh; (3) seseorang yang memiliki karomah tidak pernah secara sengaja mengaku-ngaku bahwa dirinya memiliki karomah. Maksud atau tujuan dari pemberian karomah tersebut kepada para wali ialah: (1) dapat lebih meningkatkan keimanan kepada Allah; (2) masyarakat menjadi lebih percaya kepada seorang wali Allah, yang senantiasa meneruskan perjuangan nabi Muhammad SAW; dan (3) karomah merupakan bukti nyata meninggikan derajat seorang wali agar dirinya selalu tetap istiqomah di jalan Allah. 

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, pada penelitian ini peneliti hendak mengkaji lebih jauh mengenai konsep karomah berdasarkan kitab Jauharut Tauhid karya Syaik Ibrahim al-Laqqani dan buku Meluruskan Pemahaman Tentang Wali Karya Abu Fajar Alqalami. Hal ini bertujuan untuk membandingkan bagaimanakah konsep karomah antara keduanya dengan dihubungkan pada kehidupan nyata sekarang ini. Dengan mengetahui konsep karomah tersebut, diharapkan hal ini akan dapat meningkatkan keimanan serta ketaqwaan kepada Allah SWT, serta tidak akan salah mengenai konsep karomah sesungguhnya, mengingat di era modern ini ditemukan banyak orang-orang yang mengaku-ngaku dirinya memiliki karomah. Banyak diskusi tentang perwalian menjadi berhenti karena takut salah membahas. Atau diskusi perwalian menjadi dangkal karena bahan materi yang tersedia tidak terlalu banyak. 

Termasuk diskusi perwalian menjadi terhambat karena yang mengajak diskusi bukan wali dan dihentikan dengan kalimat “la ya’rifu al-wali illa al-wali”, tidak mengetahui kewalian seseorang kecuali seseorang wali”. Nampaknya memang suasana yang demikian butuh pencerahan. Satu sisi memang positif bahwa membincang soal wali bukan hanya sekedar bicara individu manusia saja. Akan tetapi lebih luas karena wali merupakan orang pilihan dan harus dihormati. Namun jika diskusi membahas wali itu berhenti, maka generasi yang akan datang tidak akan mendapat kisah tentang wali-wali dan bakal tersimpan rapat oleh generasi tua. Bagaimana Syekh Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani (Mbah Sholeh Darat) memberi dasar tentang pemahaman wali dan karomahnya? Diantara penjelasan Mbah Sholeh Darat tentang wali dan karamah adalah dalam syarh nadzam Jauhar al-Tauhid Syekh Ibrahim Allaqani:

Yang artinya :

Wali menurut Mbah Sholeh Darat adalah seorang ‘arif billah (mengetahui Allah) sekedar derajat dengan menjalankan secara sungguh-sunggu taat kepada Allah dan menjauhi ma’siyat. Artinya para wali itu menjauhi segala macam kemaksiyatan berbarengan dengan selalu bertaubat kepada Allah. Sebab wali itu belum kategori ma’shumin (terjaga) seperti Nabi. Maka wali belum bisa meninggalkan ma’siyat secara penuh. Makanya mereka disebut waliyullah. 

Keberadaan wali yang sedemikian agung ini mendapatkan keistimewaan dalam hidupnya. Mereka dalam hidupnya selalu mengingat dan menggantungkan diri, dan menyatukannya pada Allah. Hati selalu menghadap dan pasrah dengan taqdir Allah saja. Itulah definisi sederhana mengenai wali menurut Mbah Sholeh Darat. Adapun karomah menurut Mbah Sholeh Darat sesuatu yang nulayani adat (berbeda dari sewajarnya) jika dilihat secara kasat mata. Mereka yang mendapat karomah selalu menunjukkan kepribadian baik dan meniru jejak Rasulullah dengan bekal syariah dan baik secara ideologi serta perilakunya. Karomah yang dimiliki oleh wali itu tidak hanya nampak ketika hidup saja. Tetapi setelah wafat, waliyullah masih diberi karomah. Dan bagi pengikut ahlussunnah wal jama’ah, kepercayaan terhadap adanya waliyullah dan karomah itu perlu diyakini secara baik. 

Bahkan empat imam madzhab sudah bersepakat mengenai karomah yang ada para wali ketika hidup maupun sudah wafat.  Para ulama muhaqqiqin menyampaikan: “Barangsiapa yang tidak nampak karamanya setelah meninggal sebagaimana karamah ketika masih hidup, maka itu tidak benar”. Imam Sya’roni juga berpesan kepada para Syaikh: “Sesungguhnya Allah SWT itu selalu membuat wakil berupa satu malaikat di dalam kuburnya para wali, yang bertugas mengabulkan seluruh hajat manusia”. Selain itu, seorang waliyullah juga terkadang keluar dari kuburnya untuk mengabulkan hajat manusia yang meminta hajat sebagaimana persaksian karomah para wali itu secara kasat mata (musyahada karamah al-auliya’). 

Sebagaimana Sayyid Al Aidarusi Al Adnani, Shahib Al Tubani, Sayyid Abdul Qadir Al Jilani, Sayyid Ahmad Al Badawi.  Satu pertanyaan yang dimunculkan oleh Mbah Sholeh Darat dalam Kitab Sabil Al ‘Abid adalah: “Kenapa zaman akhir para wali banyak kelihatan karomahnya? Dan kenapa zaman Sahabat dan Tabi’in tidak nampak wujud karomah wali?” Oleh Mbah Sholeh dijawab, bahwa zaman akhir ditunjukkan banyak karomah karena manusia di zaman akhir banyak kesalahan (dla’if) keyakinan agamanya. Maka mereka didampingi oleh para wali dengan karomahnya agar semakin kuat keyakinan agamanya dan patuh kepada orang shalih. Dengan demikian, generasi zaman akhir tidak mudah menghina para orang-orang sholih. Berbeda dengan orang-orang zaman al-awwalin (periode Sahabat dan Tabi’in) yang dalam hidupnya masih sangat yakin kepada orang-orang shalih. Sehingga karamah para wali tidak diperlihatkan. 

Apalagi pada zaman Sahabat, dimana Rasulullah SAW masih hidup bersama mereka. Penjelasan Mbah Sholeh tentang wali ini merupakan dasar dari pemaknaan kata wali dan karomah cukup memberikan pencerahan. Penjelasan lengkap mengenai wali dalam karya tulis Mbah Sholeh Darat terdapat dalam Kitab Minhaj al-Atqiya’ fi Syarh Ma’rifah al-Adzkiya il Thariqi al-Auliya’ (tebalnya kitab ini 516 halaman). Ini menjadi ‘ibrah bahwa generasi masa kini hendaknya menghormati orang shalih dan selalu ingin dekat kepada orang terkasih. Derajat wali pada hakikatnya titipan dari Allah, bukan predikat yang dipasang secara mandiri dan diumumkan.  
Macam-Macam Karomah

Macam-macam Karomah itu banyak, tetapi karomah yang paling besar yang dimiliki seorang wali adalah mendapat pertolongan untuk taat dan terjaga dari kemaksiatan dan pertentangan. Diriwayatkan dari Sahal bin Abdullah bahwa dia berkata: “Barang siapa zuhud di dunia ini selama empat puluh lima hari dengan betul-betul tulus keluar dari hatinya dan ikhlas. Maka ia akan mempeoleh karomah. Barang siapa yang tidak memperoleh, maka zuhudnya tidak benar”. Sahal pernah ditanya “Bagaimana karomah itu diperoleh” Dia menjawab “Dia harus mengambil apa yang dia kehendaki seperti dia kehendaki dan dari tempat yang di kehendaki. Dalam Iqādhul Himami sarah dari al-Hikam disebutkan karomah itu ada dua macam, karomah hissyah seperti terbang di udara, berjalan di atas air, dan karomah ma’nawiyah seperti terbukanya hijab kelalaian, sucinya hati/kasyaf, nyatanya ‘irfan dan naik pada maqam ihsan. 

Seseorang mendapatkan karomah hissiyah karena dirinya telah keluar dari kebiasaankebiasaan yang dilakukan oleh manusia, banyak makan, minum, tidur, berpakain indah, campur dengan manusia, banyak bicara, permusuhan dan tengelam dalam ibadah dhahir dan ilmu-ilmu dhahir. Sedangkan karomah ma’nawiyah diperoleh karena dia telah meninggalkan kebiasaan ma’nawiyah seperti cinta pada kedudukan dan kemulyaan, mencari keistimewaan, cinta dunia dan pujian, dengki, ujub, sombong, riya’, tama’ takut miskin dan lain-laim. Jadi barang siapa yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan hissiyah (jasad) dengan riadhah maka dirinya akan mendapatkan karomah hissiyah seperti terbang di udara, berjalan di atas air dan lain sebagainya. Dan barang siapa yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan ma’nawi maka akan mendapat karomah ma’nawiyah, seperti kasyaf. Imam Tajus Subhi menyebutkan dalam Tabaqaatul Qubra Karomah itu bermacam-macam. 

Imam Taajus Subhi mengatakan “Dugaan saya mengatakan bahwa karomahnya para wali itu lebih dari seratus, saya telah meninggalkan dan mendatangkan sesuatu yang cukup dan sampai bagi orang-orang yang hilang sifat kelalaianya. Macam-macam karomah dari setiap macam karomah sangat banyak dijumpai dalam kisah-kisah yang sangat masyhur dan juga dalam hadits, maka di kemudian hari tidaklah kebenaran tetapi kesesatan setelah datangnya kebenaran dan tidak ada sesuatu setelah penjelasan petunjuk kecuali kemustahilan dan bagi orang-orang yang mendapat pertolongan menerimanya, semoga Allah SWT menjumpakan orang-orang shaleh seperti itu, karena mereka dijalan yang lurus. Seandainya saya menukil tentang perkara yang ada pada orang shaleh maka akan menyesakkan nafas dan kertas.  

Dalam Muqaddimah Thabaqotus Shughra Imam Abdur Ra’uf menjelaskan tentang model-model karomah dalam bentuk lain. Beliau tidak menisbatkan Thabaqatnya dari Sayyid Muhyiddin bin Al-Arabi dalam kitabnya Mawaqiun Nujum tetapi Abdur Ra’uf Munadi meringkas, memilih dan menyuguhkan sekira kitab itu jelas baginya. Imam Abdur Ra’uf Almunadi mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya yang dimaksud dengan kejadian karomah adalah: Bahwa Allah menampakkan keajaibannya kepada kekasihnya (wali).  Adapun Alam ruhani thīn (tanah) yaitu setiap hamba yang memiliki sifat-sifat malaikat yang selalu menghadap Allah dalam kesungguhan perjuangan dan memiliki sifat-sifat yang sempurna seperti Nabi Khidhir, dan hamba sepertinya. 

Tidakkah kamu melihat Ibrahim AlKhawas ketika berkumpul dengan Nabi Khidhir, bagaimana berkumpulnya Ibrahim dengannya dijadikan karomah. Maka Ibrahim berkata kepada Nabi Khidhir “Dengan apa aku dapat melihatmu?” Nabi Khidhir menjawab “Dengan kebaikanmu terhadap ibumu”. Maka berkumpul dengan para sayyid menjadikan wali berbahagia, dan nyatalah bahwa Allah SWT menemani para wali, yaitu Allah mengumpulkan para wali dengan hamba yang ta’at dan hamba yang istimewa dan Allah melimpahkan rasa cinta di antara mereka. Menurut buku yang di kutip dari Ensiklopedi Tasawuf karya Azyumardi Azra. 

Dalam kosakata Bahasa Indonesia, karamah dikenal dengan istilah keramat. Maka karamah alAwaliyya berarti keramat para wali. Perkataan karamah adalah kosa kata Bahasa arab yang secara Bahasa mengandung tiga pengertian yakni, al-ikrām, kemuliaan atau kehormatan; alTaqdir, penghargaan; dan al-Wala, persahabatan atau pertolongan. Jadi karamah berdasarkan pengertian kebahasaan tersebut adalah kemuliaan, kehormatan dan penghargaan yang dimiliki para wali berkat persahabatan mereka dengan Allah dan pertolongan Allah kepada mereka. Dalam hal ini, karamah termasuk salah satu perlakuan khusus yang diberikan Allah kepada para wali atau hamba-hamba pilihan-Nya. Para ulama sepakat bahwa karamah terjadi pada diri para wali. 

Menurut al-Hujwiri (w. 465 H/ 1072 M) seorang penulis tasawuf, karamah bisa diberikan kepada seorang wali selama ia tidak melanggar ketentuan-ketentuan agama. Sebab karamah itu merupakan tanda kelurusan seorang wali. Allah tidak akan pernah memberikan karamah kepada orang yang tidak berpegang teguh kepada syari‟at, meskipun ia mengaku dirinya wali. Pengakuan orang menjadi wali dan mendapatkan karamah, padahal ia tidak berpegang teguh kepada syari‟at menunjukan bahwa pengakuannya sebagai wali itu palsu. Sejalan dengan pendapat al-Hujwiri, 

Syaikh Yusuf Taj al-Khalwat (1699 M) menyatakan, “Kaum arīfun bi Allah (para sufi yang telah ma‟rifat kepada Allah) bersepakat bahwa berpegang kepada syari‟at merupakan syarat memperoleh ke alian. Tanpa berpegang dan mengamalkan syari‟at, seseorang selamanya tidak akan pernah menjadi wali meskipun dapat menunjukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam. Sebab, sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam bisa terjadi pada seseorang yang bukan wali yang dinamakan istidraj.  Karamah muncul dari seorang yang shaleh yang berpegang kepada syariat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu: “Wali Allah adalah orang-orang mukmin yang bertaqwa kepada Allah. Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada ketakutan pada diri mereka dan mereka tidak merasa hawatir. Mereka beriman dan bertaqwa kepada Allah, bertaqwa dalam pengertian mentaati firman-firman-Nya, penciptaanNya, izin-Nya, dan kehendak-Nya yang termasuk dalam ruang lingkungan agama. Semua itu kadang-kadang menghasilkan berbagai karamah pada diri mereka sebagai hujjah dalam agama dan bagi kaum muslimin, tetapi karamah tersebut tidak akan pernah ada kecuali dengan menjalankan syari’at yang dibawa Rasulullah saw. 

Al-Husayni, penulis kitab Jamharat al-Awliya wa A’lam Ahl al-Tasawwuf, membagi Karamah kedalam dua jenis. Pertama, Karamah al-Hisiyyah atau karamah yang bersifat fisikindrawi. Kedua, Karamah al-Ma’nawiyyah atau karamah yang bersifat maknawi. Karamah yang pertama merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan atau hukum alam secara fisik-indrawi seperti kemampuan seseorang berjalan diatas air atau berjalan di udara. Karamah yang kedua merupakan sikap istiqamah seorang hamba di dalam menjalin hubungan dengan Allah secara lahiriah maupun secara batiniah yang menyebabkan hijab (tabir) tersingkap dari kalbunya hingga ia mengenal kekasihnya dan merasa ketentraman dengan Allah.4 Allah memberikan Karamah kepada Maryam, seperti tergambar pada ayat Allah dalam al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 37:

Yang artinya :

Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. (QS. Ali Imran ayat 37). 

Sebagai bentuk ketaatan, Allah memerintahkan Maryam agar selalu menyembah-Nya, selalu bersujud dan ruku kepada-Nya bersama dengan orang-orang yang menyembah Allah. Sampai suatu hari Allah memberikan suatu keajaiban yang tidak disangka-sangka bagi Maryam. Allah memberikan sebuah kemuliyaan terhadapnya sebagaimana yang digambarkan Allah dalam firmannya diatas, bahwasanya Maryam memperoleh makanan yang dikirimkan kepadanya sebagai tanda bahwa Allah telah memberikan kelebihan kepadanya. Sebagian ahli tafs r mengatakan makanan yang diperoleh oleh Maryam adalah buah-buahan musim panas diperolehnya ketika musim dingin, buah-buahan di musim dingin diperolehnya ketika musim panas, ini adalah bukti kekuasaan Allah yang telah Allah anugerahkan kepada hamba pilihan. 

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa: Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sahi ibnu Zanjilah, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Luhai'ah, dari Muhammad ibnu Munkadir, dari Jabir, bahwa Rasulullah saw. Pernah tinggal selama beberapa hari tanpa makan sesuap makananpun hingga kelihatan beliau sangat berat. Lalu beliau berkeliling kerumah istri-istrinya, tetapi tidak menemukan sesuap makananpun pada seseorang diantara mereka. Maka beliau saw. Datang kerumah Fatimah (putrinya), lalu bersabda, "Hai anakku, apakah engkau mempunyai sesuatu makanan yang dapat ku makan? Karena sesungguhnya aku sedang lapar." Fatimah menjawab, "Tidak, demi Allah." Ketika Nabi saw. Pergi dari rumahnya, tiba-tiba Siti Fatimah mendapat kiriman dua buah roti dan sepotong daging dari tetangga wanitanya, lalu Fatimah mengambil sebagian darinya dan diletakan didalam sebuah panci miliknya, dan ia berkata kepada dirinya sendiri, "Demi Allah, aku benar-benar akan mendahulukan Rasulullah saw.

Dengan makanan ini dari pada diriku sendiri dan orang-orang yang ada didalam rumahku," padahal mereka semua memerlukan makanan yang cukup. Kemudian Fatimah menyuruh Hasan atau Husain untuk mengundang Rasulullah saw. Ketika Rasulullah saw datang kepadanya, maka ia berkata, "Demi Allah, sesungguhnya Allah telah memberikan suatu makanan, lalua kusembunyikan buatmu." Nabi saw. bersabda, "Cepat berikanlah kepadaku, hai anakku." Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia menyuguhkan panci tersebut dan membukanya. Tiba-tiba panci itu telah penuh berisikan roti dan daging. Ketika Fatimah melihat kearah panci itu, maka ia merasa kaget dan sadar bahwa hal itu adalah berkah dari Allah swt. Karena itu, ia memuji kepada Allah dan mengucapkan salawat buat Nabi-Nya. Lalu Fatimah menyuguhkan makanan tersebut kepada Rasulullah saw. Ketika beliau saw. melihatnya, maka beliau memuji kepada Allah dan bertanya, "Dari manakah makanan ini, hai anakku?" Fatimah menjawab bahwa makanan tersebut dari sisi Allah. 

Di antara Karomah para wali yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah apa yang terjadi pada Dzul Qornain yaitu seorang raja yang shalih yang Allah nyatakan: “Sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi dan kami telah memberikan kepadanya jalan untuk mencapai segala sesuatu”. (Al Kahfi :84) Dan juga dialah yang telah membuat pembatas yang membatasi antara manusia dengan Ya’juj dan Ma’juj hingga hari akhir, kisah ini terdapat dalam surat Al Kahfi:83-98.  

Di antara Karomah para wali juga apa yang terjadi pada kedua orang tua seorang anak yang dibunuh oleh nabi Khidhir yang ketika itu nabi Musa mengatakan: “Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih padahal dia tidak membunuh orang lain,” yang kemudian Khidhir menjawabnya: “Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang yang mukmin dan kami khawatir bahwa dia akan menariknya kepada kesesatan dan kekafiran.” (Al Kahfi:74)  Apa yang disebutkan di dalam kisah tiga orang yang berlindung kedalam gua namun tiba-tiba jatuhlah batu besar sehingga menutupi pintu gua dan akhirnya mereka tekurung di dalamnya, kemudian mereka bertawassul dengan amalan-amalan shalih masing-masing. Salah seorang diantara mereka ada yang bertawassul dengan amalan shalihnya yaitu berbakti kepada kedua orang tuanya, yang kemudian ia berdoa: “Ya Allah jika perbuatan ini semata-mata karena mengharap ridho-Mu maka geserlah batu ini.” Kemudian batu itu bergeser sedikit. 

Orang kedua pun bertawassul dengan amalan shalihnya yaitu dengan dia bisa menjaga dirinya dari terjatuh ke dalam perbuatan zina dengan saudara sepupunya, padahal ia mampu untuk melakukan perbuatan itu. Kemudian batu itu bergeser sedikit namun mereka belum bisa keluar. Kemudian orang yang ketiga bertawassul dengan amalan kebaikannya, yang ketika dulu ia pernah berbuat baik kepada karyawannya yang pergi meninggalkannya tanpa mengambil gajinya terlebih dahulu, kemudian gajinya itu dia kembangkan dengan penuh amanah sampai harta tersebut menjadi banyak, selang beberapa tahun karyawan itu datang kembali untuk mengambil gajinya yang dulu belum ia ambil, kemudian orang itu memberikan semua gajinya yang telah berkembang menjadi harta yang banyak, maka batu pun bergeser sehingga mereka dapat keluar dari gua tersebut, Allah selamatkan mereka dengan sebab tawassul mereka itu. 

Kisah tersebut terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari sahabat Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma. Para ulama menyebutkan bahwa kisah di atas termasuk Karomah para wali.  Apa yang terjadi pada Ummul mukminin Khodijah bahwasanya Jibril datang pada Rasulullah dengan menyampaikan salam Allah untuk Khodijah serta menyampaikan berita gembira baginya bahwa ia akan mendapatkan rumah yang terbuat dari permata berlian yang indah di jannah. (HR. Bukhori dari sahabat ‘Aisyah). Dan ini merupakan dalil bahwa Karomah pun terjadi pada seorang perempuan. 7. Apa yang telah mutawatir tentang berita salafus shalih akan perkara Karomah yang terjadi pada diri mereka, dan generasi setelah mereka.  

Mu’jizat terjadinya dengan unsur kesengajaan dan ada kaitannya dengan kenabian, adapun Karomah terjadinya tidak demikian. Karomah terjadinya pada seseorang baik laki-laki maupun perempuan merdeka maupun budak, selama ia seorang yang shalih. Sedang mu’jizat tidaklah terjadi kecuali pada seorang Nabi atau Rasul yang tentunya seorang Nabi atau Rasul adalah seorang laki-laki dan bukan seorang budak. Ada sesuatu yang bukan mu’jizat dan juga bukan Karomah, dia adalah “al-Ahwal al-Syaithoniyyah” (perbuatan syaithon). Inilah yang banyak menipu kaum muslimin, dengan anggapan bahwa ia Karomah, padahal justru tidak ada kaitannya dengan Karomah, karena karomah datangnya dari Allah sedangkan ia jelas datangnya dari syaithon. Sebagaimana yang terjadi pada Musailamah al-Kadzdzab dan alAswad al-Ansyi (dua orang pendusta di zaman Rasulullah yang mengaku menjadi nabi) dan menyampaikan perkara-perkara yang ghoib, ini jelas merupakan perbuatan syaithon. 

Demikian pula Karomah para wali disebabkan karena kuatnya keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah.  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah maka ia pun menjadi wali Allah”. Sedangkan perbuatan syaithon ini dikarenakan kufurnya mereka kepada Allah dengan melakukan kesyirikan-kesyirikan serta kemaksiatan kepada Allah, dan syarat-syarat tertentu yang harus ia lakukan. Karomah merupakan suatu pemberian dari Allah kepada hamba-Nya yang shalih dengan tanpa susah payah darinya, berbeda dengan perbuatan syaithon, maka ini terjadi dengan susah payah setelah sebelumnya ia berbuat syirik kepada Allah. 

Karomah para wali tidak bisa disanggah atau dibatalkan dengan sesuatupun. Berbeda dengan perbuatan syaithon yang dapat dibatalkan dengan menyebut nama-nama Allah atau dibacakan ayat kursi atau yang semisalnya dari ayat-ayat Al Qur’an.  Bahkan, Syaikhul Islam menyebutkan bahwa ada seseorang yang terbang di atas udara kemudian datang seseorang dari Salafushshalih lalu dibacakan ayat kursi kepadanya maka seketika itu dia jatuh dan mati. Karomah itu tidaklah menjadikan seseorang sombong dan merasa bangga diri, justru dengan adanya Karomah ini menjadikannya semakin bertaqwa kepada Allah dan semakin mensyukuri nikmat Allah. Adapun perbuatan syaithon bisa menjadikan seseorang bangga diri atau sombong dengan kemampuan yang dia miliki serta angkuh terhadap Allah, sehingga jelaslah bagi kita akan hakekat Karomah dan perbuatan syaithon.  

Ada beberapa kelompok yang mengingkari adanya Karomah, yaitu: Jahmiyah, Mu’tazilah’ dan Wahabiyah. Mereka berdalil dengan syubhat-syubhat yang dilandasi dengan akal mereka yang rendah. Mereka mengatakan: “Bahwa terjadinya Karomah itu hanya merupakan perkara yang akan menjadikan kesamaran antara nabi dengan para wali dan antara wali dengan Dajjal.” Bantahan syubhat ini (secara ringkas) adalah: Pertama: kita yakin dengan keyakinan yang penuh bahwa Karomah itu benar-benar ada berdasarkan dalil baik dari alQur’an maupun Sunnah Nabi dan kenyataan yang ada. Kedua: ucapan mereka bahwa Karomah dapat menjadikan kesamaran antara wali dengan seorang Nabi, justru tidaklah demikian karena wali sama sekali tidak berkaitan dengan kenabian, dan apa yang terjadi dari Karomah itu dikarenakan kuatnya keimanan dan ketakwaan dia kepada Allah dan disebabkan waro’nya. 

Sedangkan kesamaan antara wali dengan Dajjal, maka sungguh dapat dilihat dari kehidupan seseorang yang terjadi padanya keluarbiasaan itu. Kemudian dilihat dari keadaan orang ini apakah dia seorang yang shalih atau seorang yang fasiq. Demikianlah timbangan yang benar di dalam menghukumi seseorang yang terjadi padanya perkara-perkara yang diluar kebiasaan manusia.  Karomah sebagaimana mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa yang dianugrahkan kepada para kekasih Allah, namun tidak disertai dnegan pengakuan kenabian dari mereka. Lain halnya dengan mukjizat, ketampakannya itu disertai dnegan pengakuan kenabian dari seorang nabi yang membawa risalah kenabiannya. 

Seorang wali itu ia orang yang mengerti dan paham tentang ketuhanan melalui sifat-sifat kesempurnaan-Nya, ia juga orang yang taat menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta menghindari hal-hal yang menghantarkannya pada kenikmatan duniawi dan sahwat. Tampaknya suatu karomah atau kekeramatan dari seorang wali adalah sebagai penghormatan baginya dari Tuhannya dan isyarat atas diterimanya segala perbuatan yang telah dilakukannya sebagai persembahan dan ibadah kepada Tuhannya (Allah Swt). Satu hal lagi, bahwa seorang wali itu adalah umat dari seorang nabi, maka seseorang itu tidak akan menjadi wali tanpa mengakui risalah kenabian dari nabinya tersebut. 

Dan mengikutinya dengan sungguh-sungguh dalam menjalankan segala ajaran yang dibawa oleh Nabinya. Maka apabila ada seseorang yang dengan sendirinya tanpa mengikuti risalah kenabian dari nabinya, maka dapat dipastikan ia tidak akan dianugrahi karomah, dan tidak akan menjadi seorang wali (kekasih) bagi Tuhan yang Maha Pengasih. Melainkan ia menjadi kekasih dan pemuja para syaithan, sebagaimana telah diisyaratkan oleh Allah Swt dengan melalui wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad Saw, untuk sampaikan kepada orang-orang yang menyangka dirinya menyintai Allah Swt.  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar