KONSEP TENTANG KAROMAH
Karomah
pada dasarnya merupakan suatu hal yang dianggap bertentangan dengan adat
kebiasaan manusia pada umumnya, dan karomah ini hanya diberikan kepada
hamba-hamba Allah yang sholeh. Menurut Syekh Akbar Muhammad Fathurahman,
karomah adalah pemberian dari Allah SWT dalam bentuk pertolongan-Nya yang
diberikan kepada seseorang yang membela agama Allah. Sifat Karomah adalah
kejadian di luar batas kemampuan manusia pada umumnnya atau keluar dari
kebiasaan pada umumnnya. Karomah merupakan bagian dari Mawahib (anugerah) Allah
yang didapat tanpa melalui proses usaha juga terjadi hanya sesekali saja. Karamah berasal dari bahasa arab كرم berarti kemuliaan, keluhuran, dan
anugerah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengistilahkan karomah dengan
keramat diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu diluar kemampuan manusia
biasa karena ketaqwaanya kepada Tuhan. Menurut ulama sufi, karamah berarti
keadaan luar biasa yang diberikan Allah SWT kepada para wali-Nya. Wali ialah
orang yang beriman, bertakwa, dan beramal shaleh kepada Allah SWT. Ulama’ sufi
meyakini bahwa para wali mempunyai keistimewaan, misalnya kemampuan melihat
hal-hal ghaib yang tidak dimiliki oleh manusia umumnya. Allah SWT dapat memberi
karamah kepada orang beriman, takwa, dan beramal shaleh menurut kehendaknya.
Misalnya, Kejadian yang Dialami Seorang Ahli Ilmu pada masa Nabi Sulaiman a.s.
Ketika Nabi Sulaiman a.s. sedang duduk di hadapan dengan para tentaranya yang
terdiri atas manusia, hewan, dan jin, beliau meminta kepada mereka mendatangkan
singgasana Ratu Bulqis. Ada seorang yang berilmu berkata kepada Nabi Sulaiman
a.s. menurut sebuah keterangan, orang yang berilmu itu bernama Asif. Perkataan
orang berilmu tersebut diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya Q.S. an-Naml: 40,
“Berkatalah seorang yang
mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum
matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di
hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku
apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang
bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan
barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha
Mulia”.
Selain itu, kejadian yang
Dialami Maryam binti Imran, Nabi Zakaria a.s. menemukan makanan setiap hadir di
mihrab Maryam binti Imran. Allah berfirman dalam Q.S. Ali Imran: 37,
Yang artinya :
“Maka Tuhannya
menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan
pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria
masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria
berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab:
“Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa
yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”
Peristiwa yang disaksikan
Nabi Zakaria a.s. merupakan karamah yang dianugerahkan Allah SWT kepada maryam
binti Imran. Allah SWT mentakdirkan bahwa pengasuh Maryam adalah pamannya
sendiri, yakni Nabi Zakaria a.s. Karomah memang identik dengan hal-hal yang
tidak masuk nalar. Akan tetapi ia adalah nyata dan haqq, seperti halnya
mukjizat para nabi. Bedanya, jika mukjizat disertai dengan pengakuan kenabian
(nubuwwah), pada karomah hal itu tidak ada. Karomah ini oleh Allah diberikan
kepada para wali yang benar-benar beriman dan bertakwa hanya kepada Allah.
Firma Allah mengenai sifat-sifat dari wali Allah ini yaitu sebagai berikut:
“Ketahuilah sesungguhnya
wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka
bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa”.
(QS. Yunus: 62-63).
Berdasarkan ayat di atas,
diketahui bahwa sifat-sifat dari wali Allah yaitu: “Orangorang yang beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan hari
akhir serta beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk.” Menurut Imam
alQusyairi dalam ar-Risalah, seorang wali tidak akan merasa nyaman dan peduli
terhadap karomah yang dianugerahkan kepadanya. Meskipun demikian, kadang-kadang
dengan adanya karomah, keyakinan mereka semakin bertambah sebab mereka meyakini
bahwa semuanya itu berasal dari Allah.
Pengertian dari karomah itu sendiri
menurut Abul Qasim al-Qusyairi yaitu karomah merupakan suatu aktivitas yang
dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan adat kebiasaan manusia pada
umumnya, yaitu dapat juga dianggap sebagai realitas sifat wali-wali Allah
tentang sebuah makna kebenaran dalam situasi yang dianggap kurang baik. Karomah
ini juga dapat dianggap sebagai hal yang sangat luar biasa yang diberikan oleh
Allah kepada kekasihkekasih pilihanNya. Sedangkan menurut Syeck Ibrahim Al
Bajuri dalam kitabnya dijelaskan bahwa karomah adalah sesuatu luar biasa yang
tampak dari kekuasaan seorang hamba yang telah jelas kebaikannya yang
diteyapkan karena adanya ketekunan didalam mengikuti syariat nabi. Selanjutnya Said Hawwa juga menjelaskan bahwa
karomah memang benar-benar telah terjadi dan akan tetap terjadi pada wilayah
tasawuf.
Karomah juga bisa terjadi pada orang yang belum sempurna istiqamahnya.
Tapi bagi orang-orang yang benar-benar lurus, istiqamah, dan tampak karomahnya,
barangkali karomahnya tersebut identik dengan tanda kewalian. Karomah dapat
berarti juga peristiwa yang luar biasa, yang keluar dari hukum alam. Namun
karomah tersebut dapat pula berarti merupakan akibat dari suatu sebab tapi
masih dalam lingkup manifestasi taufik Allah.
Adapun dalam kitab Jauharut Tauhid karya Syaik Ibrahim al-Laqqani ini
sendiri tertulis atau tergambar berbagai macam tokoh atas bermacam-macam
karomah, yaitu dimana salah satunya ialah kisah dari pada Ashabul Kahfi yakni
ketujuh orang pemuda keturunan bangsawan dari Rum yang sangat mengkhawatirkan
keimanan mereka. Peristiwa ini terjadi sesudah zaman Nabi Isa A.S. Raja mereka
tidak sepaham bahkan sangat benci sekali dengan apa yang mereka yakini. Mereka
pun keluar menjauhi kerajaan dan masuk kedalam gua lalu tertidur didalamnya
selama 309 tahun.
Dan itulah salah satu dari pada bentuk karomah yang ada dalam
islam versi kitab Jauharut Tauhid karangan Syaikh Ibrahim Al-Laqqani. Adapun
jika kita mengambil contoh lain ialah kejadian yang dialami oleh Maryam Binti
Imran R.A. yang selalu mendapatkan makanan di Mihrab, sedangkan Maryam sendiri
tidak pernah keluar dari Mihrab. Hal ini diabadikan dalam Q.S. Al-Imran ayat
37. Selain itu, kejadian pada Amir Bin Fuhairah ketika wafat, jasadnya diangkat
oleh para malaikat dan disaksikan oleh para sahabatnya Amir bin Thufail. Kemudian pada buku Meluruskan Pemahaman
Tentang Wali karya Abu Fajar Alqalami, dijelaskan bahwa karomah atau
kekeramatan disebut juga khariqul ’adah, yaitu suatu kejadian yang dianggap
luar biasa. Karomah ini diberikan oleh Allah kepada kekasih-kekasih pilihanNya
yang bertakwa, shalih sebagai hujjah agamaNya dan untuk menolong mereka dari
usuh-musuh Allah, sebagaimana mukjizat para nabi sebagai hujjah orang-orang
yang ingkar kepada Allah.
Lebih lanjut lagi, dijelaskan bahwa menurut arti
asalnya karomah ialah kemuliaan atau kemurahan hati. Sedangkan menurut istilah
perwalian, karomah mempunyai makna kejadian luar biasa (khairqul’adah) yang
terjadi pada wali (kekasih-kekasih Allah). Karomah pemberian Allah itu pada
dasarnya adalah sebagian dari mukjizat-mikjizat para nabiNya. Sebagian mukjizat
Nabi Muhammad SAW diantaranya yaitu Nabi Muhammad SAW dapat membelah bulan
dengan ijin Allah (HR. Bukhari dan Muslim), dan batu-batu kerikil tibatiba
mengucapkan tasbih ketika dipegang dan diletakkan ditelapak tangan Nabi SAW
(HR. Bazzar dari Abu Dzar). Di samping itu, ada juga sahabat-sahabat Nabi yang
termasuk dalam kategori wali Allah dan mempunyai karomah dalam dirinya. Wali
Allah sama sekali tidak pernah dengan sengaja menampakkan kekeramatannya di
depan orang banyak sekedar agar mendapat pujian. Namun kekeramatannya itu
muncul karena hujjah atau dalam keadaan terpaksa.
Adapun bilamana ada seorang wali Allah yang
dimana dirinya hanya mengharapkan untuk mendapatkan karomah, maka wali tersebut
tidak termasuk dalam golongan wali yang tinggi derajatnya. Ibnu Athaillah
pernah mengatakan bahwa: “Kemahuan yang tinggi tidak sampai menembusi
tembok-tembok takdir.” Maksud dari perkataan Ibnu Athaillah ini adalah karomah
tidak akan bertentangan dengan takdir yang telah ditetapkan, karena semua yang
terjadi di alam raya ini baik hal biasa maupun hal yang luar biasa sumber
utamanya adalah takdir yang telah ditetapkan oleh Allah.
Oleh karena hal
tersebut, maka pada umumnya apaapa kemauan dari wali tidaklah pernah
bertentangan dengan takdir yang telah ditetapkan tersebut. Selanjutnya, sebagian ciri-ciri seorang hamba
yang memiliki karomah diantaranya yaitu: (1) tidak memiliki doa-doa khusus
sebagai suatu bacaan; (2) karomah hanya terjadi pada seorang yang sholeh; (3)
seseorang yang memiliki karomah tidak pernah secara sengaja mengaku-ngaku bahwa
dirinya memiliki karomah. Maksud atau tujuan dari pemberian karomah tersebut
kepada para wali ialah: (1) dapat lebih meningkatkan keimanan kepada Allah; (2)
masyarakat menjadi lebih percaya kepada seorang wali Allah, yang senantiasa
meneruskan perjuangan nabi Muhammad SAW; dan (3) karomah merupakan bukti nyata
meninggikan derajat seorang wali agar dirinya selalu tetap istiqomah di jalan
Allah.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, pada penelitian ini
peneliti hendak mengkaji lebih jauh mengenai konsep karomah berdasarkan kitab
Jauharut Tauhid karya Syaik Ibrahim al-Laqqani dan buku Meluruskan Pemahaman
Tentang Wali Karya Abu Fajar Alqalami. Hal ini bertujuan untuk membandingkan
bagaimanakah konsep karomah antara keduanya dengan dihubungkan pada kehidupan
nyata sekarang ini. Dengan mengetahui konsep karomah tersebut, diharapkan hal
ini akan dapat meningkatkan keimanan serta ketaqwaan kepada Allah SWT, serta
tidak akan salah mengenai konsep karomah sesungguhnya, mengingat di era modern
ini ditemukan banyak orang-orang yang mengaku-ngaku dirinya memiliki karomah.
Banyak diskusi tentang perwalian menjadi berhenti karena takut salah membahas.
Atau diskusi perwalian menjadi dangkal karena bahan materi yang tersedia tidak
terlalu banyak.
Termasuk diskusi perwalian menjadi terhambat karena yang
mengajak diskusi bukan wali dan dihentikan dengan kalimat “la ya’rifu al-wali
illa al-wali”, tidak mengetahui kewalian seseorang kecuali seseorang wali”.
Nampaknya memang suasana yang demikian butuh pencerahan. Satu sisi memang
positif bahwa membincang soal wali bukan hanya sekedar bicara individu manusia
saja. Akan tetapi lebih luas karena wali merupakan orang pilihan dan harus
dihormati. Namun jika diskusi membahas wali itu berhenti, maka generasi yang
akan datang tidak akan mendapat kisah tentang wali-wali dan bakal tersimpan
rapat oleh generasi tua. Bagaimana Syekh Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani
(Mbah Sholeh Darat) memberi dasar tentang pemahaman wali dan karomahnya?
Diantara penjelasan Mbah Sholeh Darat tentang wali dan karamah adalah dalam
syarh nadzam Jauhar al-Tauhid Syekh Ibrahim Allaqani:
Yang artinya :
Keberadaan wali yang sedemikian agung
ini mendapatkan keistimewaan dalam hidupnya. Mereka dalam hidupnya selalu
mengingat dan menggantungkan diri, dan menyatukannya pada Allah. Hati selalu
menghadap dan pasrah dengan taqdir Allah saja. Itulah definisi sederhana
mengenai wali menurut Mbah Sholeh Darat. Adapun karomah menurut Mbah Sholeh
Darat sesuatu yang nulayani adat (berbeda dari sewajarnya) jika dilihat secara
kasat mata. Mereka yang mendapat karomah selalu menunjukkan kepribadian baik
dan meniru jejak Rasulullah dengan bekal syariah dan baik secara ideologi serta
perilakunya. Karomah yang dimiliki oleh wali itu tidak hanya nampak ketika
hidup saja. Tetapi setelah wafat, waliyullah masih diberi karomah. Dan bagi
pengikut ahlussunnah wal jama’ah, kepercayaan terhadap adanya waliyullah dan
karomah itu perlu diyakini secara baik.
Bahkan empat imam madzhab sudah
bersepakat mengenai karomah yang ada para wali ketika hidup maupun sudah
wafat. Para ulama muhaqqiqin
menyampaikan: “Barangsiapa yang tidak nampak karamanya setelah meninggal
sebagaimana karamah ketika masih hidup, maka itu tidak benar”. Imam Sya’roni
juga berpesan kepada para Syaikh: “Sesungguhnya Allah SWT itu selalu membuat
wakil berupa satu malaikat di dalam kuburnya para wali, yang bertugas
mengabulkan seluruh hajat manusia”. Selain itu, seorang waliyullah juga
terkadang keluar dari kuburnya untuk mengabulkan hajat manusia yang meminta
hajat sebagaimana persaksian karomah para wali itu secara kasat mata (musyahada
karamah al-auliya’).
Sebagaimana Sayyid Al Aidarusi Al Adnani, Shahib Al
Tubani, Sayyid Abdul Qadir Al Jilani, Sayyid Ahmad Al Badawi. Satu pertanyaan yang dimunculkan oleh Mbah
Sholeh Darat dalam Kitab Sabil Al ‘Abid adalah: “Kenapa zaman akhir para wali
banyak kelihatan karomahnya? Dan kenapa zaman Sahabat dan Tabi’in tidak nampak
wujud karomah wali?” Oleh Mbah Sholeh dijawab, bahwa zaman akhir ditunjukkan
banyak karomah karena manusia di zaman akhir banyak kesalahan (dla’if)
keyakinan agamanya. Maka mereka didampingi oleh para wali dengan karomahnya
agar semakin kuat keyakinan agamanya dan patuh kepada orang shalih. Dengan
demikian, generasi zaman akhir tidak mudah menghina para orang-orang sholih.
Berbeda dengan orang-orang zaman al-awwalin (periode Sahabat dan Tabi’in) yang
dalam hidupnya masih sangat yakin kepada orang-orang shalih. Sehingga karamah
para wali tidak diperlihatkan.
Apalagi pada zaman Sahabat, dimana Rasulullah
SAW masih hidup bersama mereka. Penjelasan Mbah Sholeh tentang wali ini
merupakan dasar dari pemaknaan kata wali dan karomah cukup memberikan
pencerahan. Penjelasan lengkap mengenai wali dalam karya tulis Mbah Sholeh
Darat terdapat dalam Kitab Minhaj al-Atqiya’ fi Syarh Ma’rifah al-Adzkiya il
Thariqi al-Auliya’ (tebalnya kitab ini 516 halaman). Ini menjadi ‘ibrah bahwa
generasi masa kini hendaknya menghormati orang shalih dan selalu ingin dekat
kepada orang terkasih. Derajat wali pada hakikatnya titipan dari Allah, bukan
predikat yang dipasang secara mandiri dan diumumkan.
Macam-Macam
Karomah
Macam-macam
Karomah itu banyak, tetapi karomah yang paling besar yang dimiliki seorang wali
adalah mendapat pertolongan untuk taat dan terjaga dari kemaksiatan dan
pertentangan. Diriwayatkan dari Sahal bin Abdullah bahwa dia berkata: “Barang
siapa zuhud di dunia ini selama empat puluh lima hari dengan betul-betul tulus
keluar dari hatinya dan ikhlas. Maka ia akan mempeoleh karomah. Barang siapa
yang tidak memperoleh, maka zuhudnya tidak benar”. Sahal pernah ditanya
“Bagaimana karomah itu diperoleh” Dia menjawab “Dia harus mengambil apa yang
dia kehendaki seperti dia kehendaki dan dari tempat yang di kehendaki. Dalam
Iqādhul Himami sarah dari al-Hikam disebutkan karomah itu ada dua macam,
karomah hissyah seperti terbang di udara, berjalan di atas air, dan karomah
ma’nawiyah seperti terbukanya hijab kelalaian, sucinya hati/kasyaf, nyatanya
‘irfan dan naik pada maqam ihsan.
Seseorang mendapatkan karomah hissiyah karena
dirinya telah keluar dari kebiasaankebiasaan yang dilakukan oleh manusia,
banyak makan, minum, tidur, berpakain indah, campur dengan manusia, banyak
bicara, permusuhan dan tengelam dalam ibadah dhahir dan ilmu-ilmu dhahir.
Sedangkan karomah ma’nawiyah diperoleh karena dia telah meninggalkan kebiasaan
ma’nawiyah seperti cinta pada kedudukan dan kemulyaan, mencari keistimewaan,
cinta dunia dan pujian, dengki, ujub, sombong, riya’, tama’ takut miskin dan
lain-laim. Jadi barang siapa yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan hissiyah
(jasad) dengan riadhah maka dirinya akan mendapatkan karomah hissiyah seperti
terbang di udara, berjalan di atas air dan lain sebagainya. Dan barang siapa
yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan ma’nawi maka akan mendapat karomah
ma’nawiyah, seperti kasyaf. Imam Tajus Subhi menyebutkan dalam Tabaqaatul Qubra
Karomah itu bermacam-macam.
Imam Taajus Subhi mengatakan “Dugaan saya
mengatakan bahwa karomahnya para wali itu lebih dari seratus, saya telah
meninggalkan dan mendatangkan sesuatu yang cukup dan sampai bagi orang-orang
yang hilang sifat kelalaianya. Macam-macam karomah dari setiap macam karomah
sangat banyak dijumpai dalam kisah-kisah yang sangat masyhur dan juga dalam
hadits, maka di kemudian hari tidaklah kebenaran tetapi kesesatan setelah
datangnya kebenaran dan tidak ada sesuatu setelah penjelasan petunjuk kecuali
kemustahilan dan bagi orang-orang yang mendapat pertolongan menerimanya, semoga
Allah SWT menjumpakan orang-orang shaleh seperti itu, karena mereka dijalan
yang lurus. Seandainya saya menukil tentang perkara yang ada pada orang shaleh
maka akan menyesakkan nafas dan kertas.
Dalam Muqaddimah Thabaqotus Shughra Imam Abdur Ra’uf menjelaskan tentang
model-model karomah dalam bentuk lain. Beliau tidak menisbatkan Thabaqatnya
dari Sayyid Muhyiddin bin Al-Arabi dalam kitabnya Mawaqiun Nujum tetapi Abdur
Ra’uf Munadi meringkas, memilih dan menyuguhkan sekira kitab itu jelas baginya.
Imam Abdur Ra’uf Almunadi mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya yang dimaksud
dengan kejadian karomah adalah: Bahwa Allah menampakkan keajaibannya kepada
kekasihnya (wali). Adapun Alam ruhani
thīn (tanah) yaitu setiap hamba yang memiliki sifat-sifat malaikat yang selalu
menghadap Allah dalam kesungguhan perjuangan dan memiliki sifat-sifat yang
sempurna seperti Nabi Khidhir, dan hamba sepertinya.
Tidakkah kamu melihat
Ibrahim AlKhawas ketika berkumpul dengan Nabi Khidhir, bagaimana berkumpulnya
Ibrahim dengannya dijadikan karomah. Maka Ibrahim berkata kepada Nabi Khidhir
“Dengan apa aku dapat melihatmu?” Nabi Khidhir menjawab “Dengan kebaikanmu
terhadap ibumu”. Maka berkumpul dengan para sayyid menjadikan wali berbahagia,
dan nyatalah bahwa Allah SWT menemani para wali, yaitu Allah mengumpulkan para
wali dengan hamba yang ta’at dan hamba yang istimewa dan Allah melimpahkan rasa
cinta di antara mereka. Menurut buku yang di kutip dari Ensiklopedi Tasawuf
karya Azyumardi Azra.
Dalam kosakata Bahasa Indonesia, karamah dikenal dengan
istilah keramat. Maka karamah alAwaliyya berarti keramat para wali. Perkataan
karamah adalah kosa kata Bahasa arab yang secara Bahasa mengandung tiga
pengertian yakni, al-ikrām, kemuliaan atau kehormatan; alTaqdir, penghargaan;
dan al-Wala, persahabatan atau pertolongan. Jadi karamah berdasarkan pengertian
kebahasaan tersebut adalah kemuliaan, kehormatan dan penghargaan yang dimiliki
para wali berkat persahabatan mereka dengan Allah dan pertolongan Allah kepada
mereka. Dalam hal ini, karamah termasuk salah satu perlakuan khusus yang
diberikan Allah kepada para wali atau hamba-hamba pilihan-Nya. Para ulama
sepakat bahwa karamah terjadi pada diri para wali.
Menurut al-Hujwiri (w. 465
H/ 1072 M) seorang penulis tasawuf, karamah bisa diberikan kepada seorang wali
selama ia tidak melanggar ketentuan-ketentuan agama. Sebab karamah itu
merupakan tanda kelurusan seorang wali. Allah tidak akan pernah memberikan
karamah kepada orang yang tidak berpegang teguh kepada syari‟at, meskipun ia
mengaku dirinya wali. Pengakuan orang menjadi wali dan mendapatkan karamah,
padahal ia tidak berpegang teguh kepada syari‟at menunjukan bahwa pengakuannya
sebagai wali itu palsu. Sejalan dengan pendapat al-Hujwiri,
Syaikh Yusuf Taj
al-Khalwat (1699 M) menyatakan, “Kaum arīfun bi Allah (para sufi yang telah
ma‟rifat kepada Allah) bersepakat bahwa berpegang kepada syari‟at merupakan
syarat memperoleh ke alian. Tanpa berpegang dan mengamalkan syari‟at, seseorang
selamanya tidak akan pernah menjadi wali meskipun dapat menunjukan sesuatu yang
bertentangan dengan hukum alam. Sebab, sesuatu yang bertentangan dengan hukum
alam bisa terjadi pada seseorang yang bukan wali yang dinamakan istidraj. Karamah muncul dari seorang yang shaleh yang
berpegang kepada syariat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah, yaitu: “Wali Allah adalah orang-orang mukmin yang bertaqwa kepada
Allah. Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada ketakutan pada diri
mereka dan mereka tidak merasa hawatir. Mereka beriman dan bertaqwa kepada
Allah, bertaqwa dalam pengertian mentaati firman-firman-Nya, penciptaanNya,
izin-Nya, dan kehendak-Nya yang termasuk dalam ruang lingkungan agama. Semua
itu kadang-kadang menghasilkan berbagai karamah pada diri mereka sebagai hujjah
dalam agama dan bagi kaum muslimin, tetapi karamah tersebut tidak akan pernah
ada kecuali dengan menjalankan syari’at yang dibawa Rasulullah saw.
Al-Husayni,
penulis kitab Jamharat al-Awliya wa A’lam Ahl al-Tasawwuf, membagi Karamah
kedalam dua jenis. Pertama, Karamah al-Hisiyyah atau karamah yang bersifat
fisikindrawi. Kedua, Karamah al-Ma’nawiyyah atau karamah yang bersifat maknawi.
Karamah yang pertama merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan atau
hukum alam secara fisik-indrawi seperti kemampuan seseorang berjalan diatas air
atau berjalan di udara. Karamah yang kedua merupakan sikap istiqamah seorang
hamba di dalam menjalin hubungan dengan Allah secara lahiriah maupun secara
batiniah yang menyebabkan hijab (tabir) tersingkap dari kalbunya hingga ia
mengenal kekasihnya dan merasa ketentraman dengan Allah.4 Allah memberikan
Karamah kepada Maryam, seperti tergambar pada ayat Allah dalam al-Qur‟an surat
Ali Imran ayat 37:
Yang artinya :
Maka Tuhannya menerimanya
(sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan
yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk
untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata:
"Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam
menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi
rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. (QS. Ali Imran ayat 37).
Sebagai bentuk ketaatan, Allah memerintahkan Maryam agar selalu menyembah-Nya,
selalu bersujud dan ruku kepada-Nya bersama dengan orang-orang yang menyembah
Allah. Sampai suatu hari Allah memberikan suatu keajaiban yang tidak
disangka-sangka bagi Maryam. Allah memberikan sebuah kemuliyaan terhadapnya
sebagaimana yang digambarkan Allah dalam firmannya diatas, bahwasanya Maryam
memperoleh makanan yang dikirimkan kepadanya sebagai tanda bahwa Allah telah
memberikan kelebihan kepadanya. Sebagian ahli tafs r mengatakan makanan yang
diperoleh oleh Maryam adalah buah-buahan musim panas diperolehnya ketika musim
dingin, buah-buahan di musim dingin diperolehnya ketika musim panas, ini adalah
bukti kekuasaan Allah yang telah Allah anugerahkan kepada hamba pilihan.
Ibnu
Katsir menjelaskan bahwa: Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Sahi ibnu Zanjilah, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Saleh, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Luhai'ah, dari Muhammad
ibnu Munkadir, dari Jabir, bahwa Rasulullah saw. Pernah tinggal selama beberapa
hari tanpa makan sesuap makananpun hingga kelihatan beliau sangat berat. Lalu
beliau berkeliling kerumah istri-istrinya, tetapi tidak menemukan sesuap
makananpun pada seseorang diantara mereka. Maka beliau saw. Datang kerumah
Fatimah (putrinya), lalu bersabda, "Hai anakku, apakah engkau mempunyai
sesuatu makanan yang dapat ku makan? Karena sesungguhnya aku sedang
lapar." Fatimah menjawab, "Tidak, demi Allah." Ketika Nabi saw.
Pergi dari rumahnya, tiba-tiba Siti Fatimah mendapat kiriman dua buah roti dan
sepotong daging dari tetangga wanitanya, lalu Fatimah mengambil sebagian
darinya dan diletakan didalam sebuah panci miliknya, dan ia berkata kepada
dirinya sendiri, "Demi Allah, aku benar-benar akan mendahulukan Rasulullah
saw.
Dengan makanan ini dari pada diriku sendiri dan orang-orang yang ada
didalam rumahku," padahal mereka semua memerlukan makanan yang cukup.
Kemudian Fatimah menyuruh Hasan atau Husain untuk mengundang Rasulullah saw.
Ketika Rasulullah saw datang kepadanya, maka ia berkata, "Demi Allah,
sesungguhnya Allah telah memberikan suatu makanan, lalua kusembunyikan
buatmu." Nabi saw. bersabda, "Cepat berikanlah kepadaku, hai
anakku." Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia menyuguhkan panci
tersebut dan membukanya. Tiba-tiba panci itu telah penuh berisikan roti dan
daging. Ketika Fatimah melihat kearah panci itu, maka ia merasa kaget dan sadar
bahwa hal itu adalah berkah dari Allah swt. Karena itu, ia memuji kepada Allah
dan mengucapkan salawat buat Nabi-Nya. Lalu Fatimah menyuguhkan makanan
tersebut kepada Rasulullah saw. Ketika beliau saw. melihatnya, maka beliau
memuji kepada Allah dan bertanya, "Dari manakah makanan ini, hai
anakku?" Fatimah menjawab bahwa makanan tersebut dari sisi Allah.
Di antara Karomah para
wali yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah apa yang terjadi pada Dzul Qornain
yaitu seorang raja yang shalih yang Allah nyatakan: “Sesungguhnya kami telah
memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi dan kami telah memberikan kepadanya
jalan untuk mencapai segala sesuatu”. (Al Kahfi :84) Dan juga dialah yang telah
membuat pembatas yang membatasi antara manusia dengan Ya’juj dan Ma’juj hingga
hari akhir, kisah ini terdapat dalam surat Al Kahfi:83-98.
Di antara Karomah para wali juga apa yang
terjadi pada kedua orang tua seorang anak yang dibunuh oleh nabi Khidhir yang
ketika itu nabi Musa mengatakan: “Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih padahal
dia tidak membunuh orang lain,” yang kemudian Khidhir menjawabnya: “Dan adapun
anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang yang mukmin dan kami khawatir
bahwa dia akan menariknya kepada kesesatan dan kekafiran.” (Al Kahfi:74) Apa yang disebutkan di dalam kisah tiga orang
yang berlindung kedalam gua namun tiba-tiba jatuhlah batu besar sehingga
menutupi pintu gua dan akhirnya mereka tekurung di dalamnya, kemudian mereka
bertawassul dengan amalan-amalan shalih masing-masing. Salah seorang diantara
mereka ada yang bertawassul dengan amalan shalihnya yaitu berbakti kepada kedua
orang tuanya, yang kemudian ia berdoa: “Ya Allah jika perbuatan ini semata-mata
karena mengharap ridho-Mu maka geserlah batu ini.” Kemudian batu itu bergeser
sedikit.
Orang kedua pun bertawassul dengan amalan shalihnya yaitu dengan dia
bisa menjaga dirinya dari terjatuh ke dalam perbuatan zina dengan saudara
sepupunya, padahal ia mampu untuk melakukan perbuatan itu. Kemudian batu itu
bergeser sedikit namun mereka belum bisa keluar. Kemudian orang yang ketiga
bertawassul dengan amalan kebaikannya, yang ketika dulu ia pernah berbuat baik
kepada karyawannya yang pergi meninggalkannya tanpa mengambil gajinya terlebih
dahulu, kemudian gajinya itu dia kembangkan dengan penuh amanah sampai harta
tersebut menjadi banyak, selang beberapa tahun karyawan itu datang kembali
untuk mengambil gajinya yang dulu belum ia ambil, kemudian orang itu memberikan
semua gajinya yang telah berkembang menjadi harta yang banyak, maka batu pun
bergeser sehingga mereka dapat keluar dari gua tersebut, Allah selamatkan
mereka dengan sebab tawassul mereka itu.
Kisah tersebut terdapat dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari sahabat Abdullah bin Umar
radliyallahu ‘anhuma. Para ulama menyebutkan bahwa kisah di atas termasuk
Karomah para wali. Apa yang terjadi pada
Ummul mukminin Khodijah bahwasanya Jibril datang pada Rasulullah dengan
menyampaikan salam Allah untuk Khodijah serta menyampaikan berita gembira
baginya bahwa ia akan mendapatkan rumah yang terbuat dari permata berlian yang
indah di jannah. (HR. Bukhori dari sahabat ‘Aisyah). Dan ini merupakan dalil
bahwa Karomah pun terjadi pada seorang perempuan. 7. Apa yang telah mutawatir
tentang berita salafus shalih akan perkara Karomah yang terjadi pada diri
mereka, dan generasi setelah mereka.
Mu’jizat terjadinya dengan unsur kesengajaan dan ada kaitannya dengan
kenabian, adapun Karomah terjadinya tidak demikian. Karomah terjadinya pada
seseorang baik laki-laki maupun perempuan merdeka maupun budak, selama ia
seorang yang shalih. Sedang mu’jizat tidaklah terjadi kecuali pada seorang Nabi
atau Rasul yang tentunya seorang Nabi atau Rasul adalah seorang laki-laki dan
bukan seorang budak. Ada sesuatu yang bukan mu’jizat dan juga bukan Karomah,
dia adalah “al-Ahwal al-Syaithoniyyah” (perbuatan syaithon). Inilah yang banyak
menipu kaum muslimin, dengan anggapan bahwa ia Karomah, padahal justru tidak
ada kaitannya dengan Karomah, karena karomah datangnya dari Allah sedangkan ia
jelas datangnya dari syaithon. Sebagaimana yang terjadi pada Musailamah
al-Kadzdzab dan alAswad al-Ansyi (dua orang pendusta di zaman Rasulullah yang
mengaku menjadi nabi) dan menyampaikan perkara-perkara yang ghoib, ini jelas
merupakan perbuatan syaithon.
Demikian pula Karomah para wali disebabkan karena
kuatnya keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah maka ia pun menjadi wali Allah”.
Sedangkan perbuatan syaithon ini dikarenakan kufurnya mereka kepada Allah
dengan melakukan kesyirikan-kesyirikan serta kemaksiatan kepada Allah, dan
syarat-syarat tertentu yang harus ia lakukan. Karomah merupakan suatu pemberian
dari Allah kepada hamba-Nya yang shalih dengan tanpa susah payah darinya,
berbeda dengan perbuatan syaithon, maka ini terjadi dengan susah payah setelah
sebelumnya ia berbuat syirik kepada Allah.
Karomah para wali tidak bisa
disanggah atau dibatalkan dengan sesuatupun. Berbeda dengan perbuatan syaithon
yang dapat dibatalkan dengan menyebut nama-nama Allah atau dibacakan ayat kursi
atau yang semisalnya dari ayat-ayat Al Qur’an.
Bahkan, Syaikhul Islam menyebutkan bahwa ada seseorang yang terbang di
atas udara kemudian datang seseorang dari Salafushshalih lalu dibacakan ayat
kursi kepadanya maka seketika itu dia jatuh dan mati. Karomah itu tidaklah
menjadikan seseorang sombong dan merasa bangga diri, justru dengan adanya
Karomah ini menjadikannya semakin bertaqwa kepada Allah dan semakin mensyukuri
nikmat Allah. Adapun perbuatan syaithon bisa menjadikan seseorang bangga diri
atau sombong dengan kemampuan yang dia miliki serta angkuh terhadap Allah,
sehingga jelaslah bagi kita akan hakekat Karomah dan perbuatan syaithon.
Ada beberapa kelompok yang mengingkari adanya
Karomah, yaitu: Jahmiyah, Mu’tazilah’ dan Wahabiyah. Mereka berdalil dengan
syubhat-syubhat yang dilandasi dengan akal mereka yang rendah. Mereka mengatakan:
“Bahwa terjadinya Karomah itu hanya merupakan perkara yang akan menjadikan
kesamaran antara nabi dengan para wali dan antara wali dengan Dajjal.” Bantahan
syubhat ini (secara ringkas) adalah: Pertama: kita yakin dengan keyakinan yang
penuh bahwa Karomah itu benar-benar ada berdasarkan dalil baik dari alQur’an
maupun Sunnah Nabi dan kenyataan yang ada. Kedua: ucapan mereka bahwa Karomah
dapat menjadikan kesamaran antara wali dengan seorang Nabi, justru tidaklah
demikian karena wali sama sekali tidak berkaitan dengan kenabian, dan apa yang
terjadi dari Karomah itu dikarenakan kuatnya keimanan dan ketakwaan dia kepada
Allah dan disebabkan waro’nya.
Sedangkan kesamaan antara wali dengan Dajjal,
maka sungguh dapat dilihat dari kehidupan seseorang yang terjadi padanya
keluarbiasaan itu. Kemudian dilihat dari keadaan orang ini apakah dia seorang
yang shalih atau seorang yang fasiq. Demikianlah timbangan yang benar di dalam
menghukumi seseorang yang terjadi padanya perkara-perkara yang diluar kebiasaan
manusia. Karomah sebagaimana mukjizat
adalah sesuatu yang luar biasa yang dianugrahkan kepada para kekasih Allah,
namun tidak disertai dnegan pengakuan kenabian dari mereka. Lain halnya dengan
mukjizat, ketampakannya itu disertai dnegan pengakuan kenabian dari seorang
nabi yang membawa risalah kenabiannya.
Seorang wali itu ia orang yang mengerti
dan paham tentang ketuhanan melalui sifat-sifat kesempurnaan-Nya, ia juga orang
yang taat menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta
menghindari hal-hal yang menghantarkannya pada kenikmatan duniawi dan sahwat.
Tampaknya suatu karomah atau kekeramatan dari seorang wali adalah sebagai
penghormatan baginya dari Tuhannya dan isyarat atas diterimanya segala
perbuatan yang telah dilakukannya sebagai persembahan dan ibadah kepada
Tuhannya (Allah Swt). Satu hal lagi, bahwa seorang wali itu adalah umat dari
seorang nabi, maka seseorang itu tidak akan menjadi wali tanpa mengakui risalah
kenabian dari nabinya tersebut.
Dan mengikutinya dengan sungguh-sungguh dalam
menjalankan segala ajaran yang dibawa oleh Nabinya. Maka apabila ada seseorang
yang dengan sendirinya tanpa mengikuti risalah kenabian dari nabinya, maka
dapat dipastikan ia tidak akan dianugrahi karomah, dan tidak akan menjadi
seorang wali (kekasih) bagi Tuhan yang Maha Pengasih. Melainkan ia menjadi
kekasih dan pemuja para syaithan, sebagaimana telah diisyaratkan oleh Allah Swt
dengan melalui wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad Saw, untuk sampaikan kepada
orang-orang yang menyangka dirinya menyintai Allah Swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar