KONSEP TENTANG
MUKJIZAT
Terma mukjizat berasal
dari Bahasa Arab yang telah dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu
al-Mu’jizat Al-mu’jizat adalah bentuk kata mu’annas (female) dari kata
mudhakkar (male) al-mu’jiz. Al-mu’jiz adalah isim fā’il (nama atau sebutan
untuk pelaku) dari kata kerja (fi’l) a’jaza. Kata ini terambil dari akar kata
‘ajaza-yu’jizu-ajzan wa ‘ajuzan wa ma’jizan wa ma’jizatan/ma’jazatan, yang
secara harfiah antara lain berarti lemah, tidak mampu, tidak berdaya, tidak
sanggup, tidak dapat (tidak bias), dan tidak kuasa.
Al-‘ajzu adalah lawan dari
kata al-qudrah yang berarti sanggup, mampu, atau kuasa. Jadi, al-‘ajzu berarti
tidak mampu alias tidak berdaya. Dalam pada itu, istilah mu’jiz atau mu’jizat lazim
diartikan dengan al’ajib, maksudnya sesuatu yang ajaib (menakjubkan atau
mengherankan) karena orang atau pihak lain tidak ada yang sanggup menanding
atau menyamai sesuatu itu. Juga sering diartikan dengan amrun khāriqun
lil-‘ādah, yakni sesuatu yang menyalahi tradisi.
Dalam al-Qur’an, kata
a’jaza dalam berbagai bentuk (derivasinya) terulang sebanyak 26 kali dalam 21
surat dan 25 ayat. Dan kata ‘ajaza dalam al-Qur’an digunakan untuk beberapa
pengertian, di antaranya “tidak mampu” seperti terdapat dalam QS. Al-Māidah/5:
31 dan QS. Al-Jin/72: 12:
Yang artinya :
“Kemudian Allah menyuruh
seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya
(Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil:
"Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak
ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah
dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.
“Dan sesungguhnya kami
mengetahui bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri (dari
kekuasaan) Allah di muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat melepaskan
diri (daripada)Nya dengan lari.”
Dalam kedua ayat di atas,
kata ‘ajaza digunakan untuk pengertian tidak mampu atau tidak sanggup. Dalam
kamus al-mu’jam al-Wasit}, mukjizat dirumuskan dengan:
Yang artinya :
“Sesuatu (hal atau
urusan) yang menyalahi adat-kebiasaan yang ditampakkan Allah di atas kekuasaan
seseorang Nabi untuk memperkuat kenabiannya.”
Adapun yang dimaksud
dengan mukjizat dalam terminologi ahli-ahli ilmu Al-Qur’an, seperti diformulasikan
Manna al-Qattan dan lain-lain ialah:
Yang artinya :
“Sesuatu urusan (hal)
yang menyalahi tradisi, dibarengi atau diiringi dengan tantangan atau
pertandingan dan terbebas dari perlawanan (menang).”
Berdasarkan definisi mukjizat
di atas, dapat dikemukakan tiga unsur pokok mukjizat, yaitu:
2. Unsur pokok kedua dari
mukjizat ialah bahwa mukjizat harus dibarengi dengan perlawanan. Maksudnya,
mukjizat harus diuji dengan melalui pertandingan atau perlawanan sebagaimana
layaknya sebuah pertandingan. Untuk membuktikan bahwa itu mukjizat, harus ada
upaya konkret lebih dulu dari pihak lain (lawan) untuk menandingi mukjizat itu
sendiri. Dan pihak yang menandingi itu harus sepadan atau sebanding dengan yang
ditandingi. Jika pihak yang menandingi atau melawan tidak sebanding kelasnya,
maka itu bukan lagi mukjizat namanya. Sebab, kekalahan yang diderita pihak
lawan yang tidak selevel misalnya, tidak menunjukkan kehebatan si pemenang, dan
tidak pula berarti mengisyaratkan ketidakmampuan pihak yang kalah (lawan).
Sebagai contoh, tongkat
Nabi Musa as yang dilemparkan menjadi ular sungguhan yang dalam Al-Qur’an
dibahasakan dengan thu’banun mubin, itu benar-benar ditandingi oleh sahirin
(Para penyihir) yang dikendalikan Fir’aun. Tapi, sihir-sihir yang dikerahkan
seluruh kaki tangan Fir’aun itu kemudian ternyata dikalahkan dan tidak pernah
mampu mengalahkan mukjizat Allah yang diberikan kepada Nabi Musa as, dalam
kaitan ini tongkat yang menjadi ular.
3. Mukjizat itu tak
terkalahkan. Unsur ketiga dari suatu mukjizat adalah bahwa mukjizat itu setelah
dilakukan perlawanan terhadapnya, ternyata tidak terkalahkan untuk
selamalamanya. Jika sesuatu/seseorang memiliki kemampuan luar biasa, tetapi
hanya terjadi seketika atau dalam waktu tertentu, maka itu tidak dikatakan
mukjizat. Katakanlah misalnya seorang petinju kelas berat sekaliber siapapun,
tidak dapat dikatakan memiliki mukjizat. Selain karena mukjizat hanya diberikan
kepada nabi Allah, juga dalam kenyataannya tidak satu pun petinju kelas berat
dunia yang sakti dan abadi dalam artian terus menerus tak terkalahkan sepanjang
karirnya sebagai petinju. Demikian pula misalnya dengan pesilat, pegulat,
pebulu tangkis, dan lain sebagainya.
Mukjizat sendiri dibagi
menjadi dua bagian pokok yaitu: mukjizat yang bersifat material indriawi lagi
tidak kekal, dan mukjizat material, logis, lagi dapat dibuktikan sepanjang
masa. Mukjizat nabi-nabi terdahulu kesemuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat
mereka bersifat material dan indriawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat
disaksikan atau dijangkau langsung lewat indara oleh masyarakat tempat nabi
tersebut menyampaikan risalahnya.
Contohnya, perahu Nabi Nuhas yang dibuat atas
petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang
demikian dahsyat, tidak terbakarnya Nabi Ibrahim as dalam kobaran api yang
sangat besar; tongkat Nabi Musa as yang beralih wujud menjadi ular, penyembuhan
yang dilakukan oleh Nabi ‘Isa almasih atas izin Allah, dan lain-lain. Kesemuanya bersifat material indiriawi,
sekaligus terbatas pada lokasi tempat Nabi tersebut berada, dan berakhir dengan
wafatnya masing-masing nabi. Ini berbada dengan mukjizat Nabi Muhammad saw.
yang sifatnya bukan indirawi atau meterial, namun dapat dipahami oleh akal.
Karena sifatnya yang demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa
tertentu. Mukjizat Al-Qur’an dapat dijangkau oleh setiap orang yang mengunakan
akalnya di manapun dan kapan pun. Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok.
Pertama, para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, ditugaskan untuk masyarakat dan
masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan
masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan Nabi
Muhammad Saw. yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman,
sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan pada setiap
orang yang ragu di manapun dan kapanpun mereka berada.
Jika demikian halnya, tentu
mukjizat tersebut tidak mungkin bersifat meterial, karena kematerialan
membatasi ruang dan waktunya. Kedua, manusia mengalami perkembangan dalam
pemikirannya. Sedangkan fungsi mukjizat sendiri adalah sebagai bukti kebenaran
para nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui mereka itu
diibaratkan sebagai ucapan Tuhan: “Apa yang dinyatakan sang nabi adalah benar.
Dia adalah utusan-Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat itu.” Perbedaan Penafsiran ayat-ayat mukjizat yang
kontroversial di antara para Mufassir telah menjadi kajian yang menarik. Hal
ini berawal dari prinsip penafsiran kesembilan Sir Ahmad Khan (1817-1898)
terhadap Al-Qur’an. Dikatakan bahwa tidak ada sesuatupun dalam Al-Qur’an
sebagai firman Tuhan (saying of God) yang bertentangan dengan ciptaan Tuhan
(creation of God). Karena Al-Qur’an sebagai firman Tuhan tidak mungkin
menyalahi hukum alam sebagai ciptaan-Nya. Keselarasan keduanya bersifat
esensial. Jika firman Tuhan bertentangan dengan ciptaan-Nya, maka Al-Qur’an
tidak layak disebut firman Tuhan yang suci.
Prinsip penafsiran Ahmad Khan ini
menghantarkannya pada satu kesimpulan bahwa tidak satupun dalam Al-Qur’an yang
bertentangan dengan hukum alam dan akal. Dengan prinsip ini, Ahmad Khan telah
menolak hal-hal yang bersifat supranatural dalam Al-Qur’an seperti penjelasan
mengenai mukjizat para nabi tidak terkecuali mukjizat Nabi Muhammad saw. Pada
akhirnya, Sir Ahmad Khan mengadopsi pendapat Ibnu Rushd yang mengatakan bahwa
antara kebenaran menurut akal (al-m’aqul) tidak boleh bertentangan dengan
kebenaran menurut wahyu (al-manqul). Jika keduanya terjadi kontradiksi, maka
wahyu harus dipahami secara metaforis.
Senada dengan pemahaman Sir Ahmad Khan adalah Rashid Rid}a (1865-1935),
mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak akan pernah bertentangan dengan akal sehingga
dengan tegas ia mengingkari semua mukjizat Nabi Muhammad saw kecuali Al-Qur’an.
Ia menolak hadis-hadis sekalipun s}ah}ihyang menjelaskan tentang mukjizat Nabi
Muhammad saw selain Al-Qur’an.
Penolakan itu disebabkan karena mukjizat selain
Al-Qur’an tidak sesuai dengan akal dan kalaupun ia menerima hadis yang
menjelaskan tentang mukjizat, maka ia akan menafsirkan melalui takwil sehingga
bisa selaras dengan akal. Sebetulnya, genetik pemikiran Rashid Rid}a
(1865-1935) tentang mukjizat berakar pada pemikiran gurunya, Muhammad ‘Abduh
(1849-1905), yaitu memberikan keleluasaan menggunakan akal (al-ra’yu) dalam
menafsirkan teks (al-wah}yi). Muhammad Abduh mengemukakan bahwa dalam menyikapi
ayat-ayat yang mutashabih, ulama tafsir terbagi menjadi dua kelompok;
pertama adalah mereka yang
menafsirkannya dengan cara menakwilkannya sehingga selaras dengan akal
(al-ma’qul). Sementara kelompok kedua adalah para ulama yang mendiamkannya
(al-mauquf). Muhammad ‘Abduh, lebih cenderung memilih pada kelompok yang
pertama. Hal ini bisa dilihat dalam pendapatnya tentang malaikat, mukjizat dan
kejadiaan-kejadian luar biasa lainnya yang diceritakan dalam Al-Qur’an.
Maulana Muhammad Ali
(1876-1951), seorang tokoh dan pendiri Ahmadiyah Lahore tidak berbeda jauh
dengan pola penafsiran Ahmad Khan, Muhammad ‘Abduh dan Rashid Rid}a, yaitu
memberi ruang gerak yang dominan terhadap akal sehingga mengalahkan wahyu.
Muhammad Ali berprinsip bahwa mukjizat yang terjadi pada para nabi bukanlah
sesuatu yang luar biasa dan suprarasional akan tetapi merupakan hal yang
rasional. Mukjizat dalam pengertian sesuatu yang luar biasa adalah bertentangan
dengan akal manusia sehingga mustahil terjadi.
Prinsip ini berbeda jauh
dengan pendapat M. Quraish Shihab tentang mukjizat, ia mengatakan bahwa
mukjizat sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama, ialah peristiwa “luar
biasa” yang terjadi dari seseorang yang mengaku Nabi sebagai bukti kenabiannya,
sebagai tantangan terhadap orang yang meragukannya, dan orang yang ditantang tidak
mampu untuk menandingi kehebatan mukjizat tersebut.
Pengertian peristiwa yang
luar biasa adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab dan akibat yang
lumrah terjadi atau yang umum dalam pandangan manusia. Menurutnya, kemustahilan
terbagi menjadi dua, yaitu mustahil dalam pandangan akal dan mustahil dalam
pandangan kebiasaan. Bila dikatakan bahwa 1+1= 11 atau 1 lebih banyak dari 11
maka pernyataan ini mustahil dalam pandangan akal. Namun, bilamana dikatakan
bahwa matahari terbit dari sebelah barat, maka pernyataan ini mustahil dalam
pandangan kebiasaan.
Kedua, Tidak sesuai dengan kebiasaan dan berlawanan dengan hukum
alam. Ketiga, Mukjizat harus menjadi saksi terhadap risalah ilahiyyah yang
dibawa oleh orang yang mengaku Nabi, sebagai bukti akan kebenarannya. Keempat,
Terjadi bertepatan dengan pengakuan Nabi yang mengajak bertanding menggunakan
mukjizat tersebut. Kelima, Tidak ada seorangpun yang dapat membuktikan dan
membandingkan dalam pertandingan tersebut.
Keengganan Maulana
Muhammad Ali mengakui terjadinya mukjizat yang bersifat material inderawi dapat
dibuktikan dalam menafsirkan Al-Qur’an surah al-Anbiya: 21: 69 yang berbunyi:
Yang artinya :
“Kami (Allah) berfirman,
“Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim.”
Menurut Muhammad Ali,
Al-Qur’an sama sekali tidak menyebutkan secara konkrit bahwa Nabi Ibrahim as
dilempar dan dibakar dalam kobaran api, sehingga Allah mengintruksikan kepada
api agar tidak membakar Nabi Ibrahim as dalam Al-Qur’an surah al‘Ankabut: 29: 24:
Yang artinya :
“Maka tidak ada jawaban
kaumnya (Ibrahim), selain mengatakan, “Bunuhlah atau bakarlah dia”, lalu Allah
menyelamatkannya dari api. Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat
tandatanda (kebesaran Allah) bagi orang yang beriman.”
Ayat ini menjelaskan
bahwa kaum Nabi Ibrahim as memvonis untuk membunuhnya atau membakarnya, dan
Allah menyelamatkan dari kobaran api itu. Akan tetapi dalam ayat tersebut,
tidak terdapat redaksi ayat yang secara konkrit menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim
as dibakar.
Dalam Al-Qur’an Surah
al-Anbiya: 21: 70:
“Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap
Ibrahim, Maka Kami menjadikan mereka itu orangorang yang paling rugi”.
Diceritakan bahwa kaum
Nabi Ibrahim as hendak memperdaya Nabi Ibrahim as akan tetapi Allah
menggagalkannya, dan Maulana Muhammd Ali melanjutkan pada Al-Qur’an surah
al-S{affat: 37: 98:
Yang artinya :
“Maka mereka bermaksud memperdayainya dengan
(membakar)nya, (tetapi Allah menyelamatkannya), lalu Kami jadikan mereka
orang-orang yang hina.” Mengacu pada Al-Qur’an surah al-Anbiya: 21: 71 :
Yang artinya :
“Dan Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lutke
sebuah negeri yang telah Kami berkahi untuk seluruh alam.”
Dijelaskan bahwa Allah
swt menyelamatkan Nabi Ibrahim as dari makar mereka dan merekapun mengalami
kehinaan, sedangkan Nabi Ibrahim as dan anak saudaranya Nabi Lutas hijrah ke
negara yang aman yaitu Pelestina atau Sham. Empat ayat diatas merupakan data
otoritatif dan argumentatif bahwa Nabi Ibrahim as tidak dibakar seperti dalam
pemahaman mayoritas penafsir dan kalangan umat Islam lainnya. Menurutnya,
pengertian ayat yang menjelaskan bahwa Allah swt menyelamatkan Nabi Ibrahim as
dari api adalah menyelamatkan dari kejahatan kaumnya dengan memerintahkan
hijrah ke negara lain sebagaimana Allah menyelamatkan Nabi Muhammad saw dari
kejahatan kaum musyrik Mekkah dengan memerintahkan hijrah ke Ethiopia dan
Yathrib.
Ini berbeda jauh dengan
penafsiran M. Quraish Sihab yang menafsirkan ayat-ayat mukjizat dengan jelas.
Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat mukjizat berangkat dari
prinsip-prinsip penafsiran yang ia bangun, yaitu ketertundukan akal pada wahyu,
menurutnya akal dan wahyu mempunyai wilayah masing-masing.
Ia meyakini bahwa
peristiwa pembakaran yang dialami oleh Nabi Ibrahim as itu merupakan suatu
peristiwa “keluarbiasan”, yakni diluar hukum alam yang kita kenal yaitu yang
menganut hukum kebiasaan yang sering terjadi disekitar kita, karena itu kita
tidak mengetahui hakikat daripada peristiwa itu. Objek akal adalah sesuatu yang
terjadi dan sering berulang-rulang kemudian melahirkan hukum alam atau
sunnatullah, misalnya air yang mengalir ke tempat yang rendah dan api yang
mempunyai daya bakar serta matahari terbit dari barat, semua itu telah
memunculkan teori tentang hukum alam dan sebab akibat. Hal ini tentu
berseberangan dengan pemaknaan mukjizat.
Penilaian bahwa sesuatu
itu mustahil karena akal terpaku pada kebiasaan atau hukum alam yang biasa
terjadi di depan mata, atau yang diketahui selama ini. Sehingga, bila ada
sesuatu yang berseberangan dengan jalan yang biasa dilihat atau biasa terjadi,
boleh jadi kemudian ditolak bahkan mustahil.
Dari dulu, mustahil menurut
pandangan akal seorang nenek akan melahirkan cucunya. Akan tetapi, kemustahilan
itu menjadi rapuh karena kecanggihan tekhnologi rekayasa genetik. Ia mengutip
pernyataan David Hume (1711-1776), seorang filosof terkenal dari Inggirs
menyatakan bahwa cahaya yang kita lihat ketika meletusnya meriam bukanlah sebab
meletusnya meriam.
Dan mengutip pendapatnya al Ghazali (10591111) yang berkata
bahwa ayam yang berkokok sebelum fajar bukan menjadi sebab terbitnya fajar.
Menurut sementara pemikir lain, mungkin apa yang merupakan kebetulan hari ini,
bisa jadi merupakan proses dari kebiasaan atau hukum alam. ia juga mengutip
riwayat yang mengatakan bahwa Jibril datang ketika itu dan menawarkan
pertolongan akan tetapi Nabi Ibrahim as menolaknya karena ia hanya mengharapkan
pertolongan Allah swt.
1. Paradigma Saintis dan
Filosof Tentang Mukjizat
Mukjizat juga mendapatkan
perhatian dan kajian mendalam bagi para Saintis dan Filosof, Salah Satunya
yaitu St. Thomas Aquinas (1226-1274) yang mengatakan bahwa Mukjizat merupakan
suatu kejadian teratur yang bersifat supranatural dan disebabkan oleh
faktor-faktor ilahi. Menurut Aquinas sendiri, di alam semesta ada dua bentuk
keteraturan yang berjenjang dan bertingkat.
Pertama, keteraturan
alami yang terdapat pada benda-benda dimana berasal dari kehendak dan keinginan
Tuhan dan bukan dari kemestian esensi dan alami dari benda-benda tersebut.
Namun, Tuhan juga meletakkan keteraturan yang bersifat Kausalitas pada semua
benda di alam, benda-benda tersebut tersebut berjalan di atas keteraturan
esensial dan alaminya masing-masing. Kedua, keteraturan mutlak Tuhan, dimana berasal
dari ilmu dan kehendak Tuhan. Oleh karena itu, walaupun realitas mukjizat
“bertentangan” dengan keteraturan dan tatanan alam tapi tak bertolak belakang
dan bahkan sesuai dengan keteraturan mutlak dan kehendak Tuhan.
David Hume (1711-1776)
mempunyai pendapat lain mengenai Mukjizat. Menurutnya, dalam makalah yang
sangat terkenal bertema “Darbore-ye mukjizat (Tentang Mukjizat)”. Pada bagian
pertama dalam makalah tersebut David Hume berusaha menunjukkan bahwa kejadian
mukjizat dikarenakan bertolak belakang dengan hukum alam maka menjadi sangat
kecil kemungkinannya dapat ditetapkan dengan bantuan bukti sejarah yang
walaupun bukti itu sangat kuat dan otentik, tapi akan menjadi mungkin bila
dijelaskan dengan dalil-dalil rasional tentang keadaan dan proses yang paling
sempurna dari kejadiannya.
Bagian kedua dari makalah
tersebut ia berargumentasi bahwa, dengan asumsi mukjizat dapat dibuktikan,
walaupun terdapat bukti-bukti sejarah yang otentik dimana digunakan oleh semua
orang beragama untuk menyampaikan kejadian mukjizat, tetapi tak satupun yang
dapat dijadikan sandaran dan karena itulah kita tidak memiliki bukti-bukti
sejarah yang otentik dan dalil yang kuat atas kejadian mukjizat. Disini jelas
bahwa David Hume menolak adanya mukjizat, ada beberapa Argumen David Hume dalam
menolak adanya kemungkinan pembuktian mukjizat, berpijak pada dasar-dasar di
bawah ini:
1. Eksperimen ilmiah
merupakan satu-satunya petunjuk dan tolok ukur kita dalam berargumen tentang
masalah-masalah yang terjadi dan sebagai sumber otentik untuk penyelesaian
segala perbedaan.
2. Orang yang berakal
niscaya menyesuaikan kepercayaan dan keyakinannya dengan dalil dan argumen,
oleh karena itu, semakin jauh subyek permasalahan (kejadian) dengan realitas
keseharian kita, maka untuk sampai pada keyakinan kuat atas sesuatu yang
terjadi mesti dibutuhkan dalil-dalil yang semakin kuat pula. Kebutuhan akan
dalil dan bukti yang kuat akan semakin urgen ketika diperhadapkan dengan subyek
masalah yang ajaib, asing, aneh dan bahkan bertentangan dengan hukum-hukum
alam, karena dalam hal ini, kita berhadapan dengan dua realitas yang saling
bertolak belakang, maka kita terpaksa membandingkan dua realitas tersebut dan
kemudian memilih salah satu realitas tersebut yang mengandung tingkat
persentase pertentangan yang rendah.
3. Keyakinan kita kepada
bukti, dalil, laporan dan berita berpijak pada pendekatan empirisitas. Alasan
kepercayaan kita kepada setiap pembawa berita dan para saksi sama sekali tidak
berangkat dari hubungan kemestian dan keniscayaan antara bukti-bukti dan
realitas peristiwa yang diketahui saling mendahului satu sama lain.
4. Pertentangan mukjizat
dengan kenyataan hakiki alam dan alur panjang pengalaman kehidupan manusia
serta dalil-dalil empiris merupakan alasan yang terkuat atas kerumitan
pembuktiannya. Berdasarkan pokok-pokok tersebut di atas, Hume berkata, “Jika
ada bukti dan dalil yang kuat atas kejadian mukjizat, maka kita bisa namakan
dalil tersebut sebagai dalil versus dalil atau bukti lawan bukti, karena dari
satu sisi bukti dan dalil tersebut sebegitu kuat dan otentik sehingga ketika
obyek berita dinafikan maka dalil tersebut secara esensial merupakan dalil yang
sempurna.
Ahmad ibn Ishaq al-Ruwandi (w. akhir abad III H) seorang Filsuf
berkebangsaan Yahudi mengatakan Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka
yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat menerima batu dapat bertasbih
dan serigala dapat berbicara. Kalau sekiranya Allah swt membantu umat Islam
dalam perang Badar mengapa dalam Perang Uhud tidak? al-Ruwadi juga mengingkari
mukjizat Al-Qur’an karena Al-Qur’an bukan persoalan yang luar biasa (Khariq
al-‘adah). Orang non-Arab jelas heran dengan balaghah Al-Qur’an, karena mereka
tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah orang yang paling
fasih di kalangan orang Arab. Sehingga daripada membaca kitab suci lebih
berguna membaca buku Filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi,
Logika, serta Obat-obatan. Berdasarkan paparan di atas, makna mukjizat
mempunyai perbedaan antara para sainstis, Filosofis, dan tokoh agama. Dengan
makna yang berbeda-beda menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam Al-Qur’an.
Makna mukjizat yang berbeda-beda disebabkan oleh sudut pandang yang
berbeda-beda mengenai sesuatu di luar nalar manusia biasa. Para mufassir dalam
menafsirkan ayat-ayat mukjizat dalam al-Qur’an mempunyai perbedan penafsiran.
Ada mufassir yang mencoba menafsirkan dengan makna majazi seakan-akan rasional
dan masuk akal, mufassir lain menafsirkan dengan makna hakiki dan memaknai
bahwa mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa. Namun, ketika memaknai Al-Qur’an
sebagai mukjizat Rasulallah saw terdapat kerancuan, dikarenakan memaknai
mukjizat para Nabi sebelumnya majazi sedangkan Al-Qur’an secara hakiki.
Menerima Al-Qur’an sebagai mukjizat, namun tidak menerima perkara yang luar
biasa yang dilakukan oleh para Nabi sebelumnya sebagai mukjizat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar