Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 01 Juli 2019

KONSEP TENTANG MUKJIZAT


KONSEP TENTANG MUKJIZAT

Terma mukjizat berasal dari Bahasa Arab yang telah dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu al-Mu’jizat Al-mu’jizat adalah bentuk kata mu’annas (female) dari kata mudhakkar (male) al-mu’jiz. Al-mu’jiz adalah isim fā’il (nama atau sebutan untuk pelaku) dari kata kerja (fi’l) a’jaza. Kata ini terambil dari akar kata ‘ajaza-yu’jizu-ajzan wa ‘ajuzan wa ma’jizan wa ma’jizatan/ma’jazatan, yang secara harfiah antara lain berarti lemah, tidak mampu, tidak berdaya, tidak sanggup, tidak dapat (tidak bias), dan tidak kuasa. 

Al-‘ajzu adalah lawan dari kata al-qudrah yang berarti sanggup, mampu, atau kuasa. Jadi, al-‘ajzu berarti tidak mampu alias tidak berdaya. Dalam pada itu, istilah mu’jiz atau mu’jizat lazim diartikan dengan al’ajib, maksudnya sesuatu yang ajaib (menakjubkan atau mengherankan) karena orang atau pihak lain tidak ada yang sanggup menanding atau menyamai sesuatu itu. Juga sering diartikan dengan amrun khāriqun lil-‘ādah, yakni sesuatu yang menyalahi tradisi.

Dalam al-Qur’an, kata a’jaza dalam berbagai bentuk (derivasinya) terulang sebanyak 26 kali dalam 21 surat dan 25 ayat. Dan kata ‘ajaza dalam al-Qur’an digunakan untuk beberapa pengertian, di antaranya “tidak mampu” seperti terdapat dalam QS. Al-Māidah/5: 31 dan QS. Al-Jin/72: 12:

Yang artinya :

“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.

Yang artinya :

“Dan sesungguhnya kami mengetahui bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat melepaskan diri (daripada)Nya dengan lari.”
Dalam kedua ayat di atas, kata ‘ajaza digunakan untuk pengertian tidak mampu atau tidak sanggup. Dalam kamus al-mu’jam al-Wasit}, mukjizat dirumuskan dengan:

Yang artinya :

“Sesuatu (hal atau urusan) yang menyalahi adat-kebiasaan yang ditampakkan Allah di atas kekuasaan seseorang Nabi untuk memperkuat kenabiannya.” 

Adapun yang dimaksud dengan mukjizat dalam terminologi ahli-ahli ilmu Al-Qur’an, seperti diformulasikan Manna al-Qattan dan lain-lain ialah:

Yang artinya :

“Sesuatu urusan (hal) yang menyalahi tradisi, dibarengi atau diiringi dengan tantangan atau pertandingan dan terbebas dari perlawanan (menang).” 
Berdasarkan definisi mukjizat di atas, dapat dikemukakan tiga unsur pokok mukjizat, yaitu: 

1. Unsur utama dan pertama mukjizat ialah harus menyalahi tradisi atau adat kebiasaan (khariqun lil ‘adah). Sesuatu (mukjizat) yang tidak menyalahi tradisi, atau kejadiannya sesuai dengan kebiasaan yang umum atau bahkan lazim berlaku, tidak dapat dikatakan mukjizat. Itulah sebabnya mengapa banyak hal aneh yang dikeluarkan oleh ahli-ahli sulap bahkan ahli-ahli sihir tidak dinyatakan sebagai mukjizat (QS. Al-Nisa/4: 171). Mengingat pada dasarnya tidak menyalahi kebiasaan karena dia tidak sungguhsungguh, dan banyak orang lain yang bisa melakukan hal serupa atau bahkan lebih dari itu. Berbeda dengan kemampuan Nabi ‘Isa almasih menghidupan orang mati yang tidak pernah bisa dilakukan oleh siapa pun. Demikian pula dengan kemukjizatan tongkat Nabi Musa as yang bisa berubah menjadi ular sunggguhan (Thu’banun mubin) (QS. AlA’raf /7:107 dan QS. As-Shura/26: 32). Contoh mukjizat lain ialah kemampuan Nabi Sulaiman as berkomunikasi dengan semua hewan (QS. Al-Anbiya’/21: 81 dan QS. AlMa’idah/5: 110). Begitu pula dengan ketidakterbakaran Nabi Ibrahim as saat dilemparkan ke dalam kawah yang sedang mendidih (QS. Al-Anbiya’/21: 68-69). 

Semua peristiwa yang baru disebutkan dinamakan mukjizat, karena semua peristiwa ini memang tidak pernah mentradisi. Maksudnya, masing-masing peristiwa di atas hanya terjadi sekali atau sesekali sepanjang zaman dan untuk orang-orang tertentu saja di tengah-tengah sekian banyak manusia. Atas dasar ini, maka sihir, seperti disinggung di atas, tidak dapat dikatakan sebagai mukjizat karena kejadiannya tidak sungguhan semisal lipatan kertas atau dedaunan menjadi uang, sapu tangan menjadi burung, dan lain-lain. Demikian pula dengan tukang sulap meskipun sering dianggap menyalahi kebiasaan. Sebab sihir, sesuai dengan salah satu makna harfiahnya, berarti dusta alias tipu daya (tidak sesungguhnya). Sedangkan mukjizat adalah sesuatu yang benar-benar terjadi.

2. Unsur pokok kedua dari mukjizat ialah bahwa mukjizat harus dibarengi dengan perlawanan. Maksudnya, mukjizat harus diuji dengan melalui pertandingan atau perlawanan sebagaimana layaknya sebuah pertandingan. Untuk membuktikan bahwa itu mukjizat, harus ada upaya konkret lebih dulu dari pihak lain (lawan) untuk menandingi mukjizat itu sendiri. Dan pihak yang menandingi itu harus sepadan atau sebanding dengan yang ditandingi. Jika pihak yang menandingi atau melawan tidak sebanding kelasnya, maka itu bukan lagi mukjizat namanya. Sebab, kekalahan yang diderita pihak lawan yang tidak selevel misalnya, tidak menunjukkan kehebatan si pemenang, dan tidak pula berarti mengisyaratkan ketidakmampuan pihak yang kalah (lawan).

Sebagai contoh, tongkat Nabi Musa as yang dilemparkan menjadi ular sungguhan yang dalam Al-Qur’an dibahasakan dengan thu’banun mubin, itu benar-benar ditandingi oleh sahirin (Para penyihir) yang dikendalikan Fir’aun. Tapi, sihir-sihir yang dikerahkan seluruh kaki tangan Fir’aun itu kemudian ternyata dikalahkan dan tidak pernah mampu mengalahkan mukjizat Allah yang diberikan kepada Nabi Musa as, dalam kaitan ini tongkat yang menjadi ular. 

3. Mukjizat itu tak terkalahkan. Unsur ketiga dari suatu mukjizat adalah bahwa mukjizat itu setelah dilakukan perlawanan terhadapnya, ternyata tidak terkalahkan untuk selamalamanya. Jika sesuatu/seseorang memiliki kemampuan luar biasa, tetapi hanya terjadi seketika atau dalam waktu tertentu, maka itu tidak dikatakan mukjizat. Katakanlah misalnya seorang petinju kelas berat sekaliber siapapun, tidak dapat dikatakan memiliki mukjizat. Selain karena mukjizat hanya diberikan kepada nabi Allah, juga dalam kenyataannya tidak satu pun petinju kelas berat dunia yang sakti dan abadi dalam artian terus menerus tak terkalahkan sepanjang karirnya sebagai petinju. Demikian pula misalnya dengan pesilat, pegulat, pebulu tangkis, dan lain sebagainya.

Mukjizat sendiri dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu: mukjizat yang bersifat material indriawi lagi tidak kekal, dan mukjizat material, logis, lagi dapat dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat nabi-nabi terdahulu kesemuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indriawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indara oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya. 

Contohnya, perahu Nabi Nuhas yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat, tidak terbakarnya Nabi Ibrahim as dalam kobaran api yang sangat besar; tongkat Nabi Musa as yang beralih wujud menjadi ular, penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi ‘Isa almasih atas izin Allah, dan lain-lain.  Kesemuanya bersifat material indiriawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat Nabi tersebut berada, dan berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Ini berbada dengan mukjizat Nabi Muhammad saw. yang sifatnya bukan indirawi atau meterial, namun dapat dipahami oleh akal. Karena sifatnya yang demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat Al-Qur’an dapat dijangkau oleh setiap orang yang mengunakan akalnya di manapun dan kapan pun. Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan Nabi Muhammad Saw. yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan pada setiap orang yang ragu di manapun dan kapanpun mereka berada. 

Jika demikian halnya, tentu mukjizat tersebut tidak mungkin bersifat meterial, karena kematerialan membatasi ruang dan waktunya. Kedua, manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Sedangkan fungsi mukjizat sendiri adalah sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui mereka itu diibaratkan sebagai ucapan Tuhan: “Apa yang dinyatakan sang nabi adalah benar. Dia adalah utusan-Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat itu.”  Perbedaan Penafsiran ayat-ayat mukjizat yang kontroversial di antara para Mufassir telah menjadi kajian yang menarik. Hal ini berawal dari prinsip penafsiran kesembilan Sir Ahmad Khan (1817-1898) terhadap Al-Qur’an. Dikatakan bahwa tidak ada sesuatupun dalam Al-Qur’an sebagai firman Tuhan (saying of God) yang bertentangan dengan ciptaan Tuhan (creation of God). Karena Al-Qur’an sebagai firman Tuhan tidak mungkin menyalahi hukum alam sebagai ciptaan-Nya. Keselarasan keduanya bersifat esensial. Jika firman Tuhan bertentangan dengan ciptaan-Nya, maka Al-Qur’an tidak layak disebut firman Tuhan yang suci. 

Prinsip penafsiran Ahmad Khan ini menghantarkannya pada satu kesimpulan bahwa tidak satupun dalam Al-Qur’an yang bertentangan dengan hukum alam dan akal. Dengan prinsip ini, Ahmad Khan telah menolak hal-hal yang bersifat supranatural dalam Al-Qur’an seperti penjelasan mengenai mukjizat para nabi tidak terkecuali mukjizat Nabi Muhammad saw. Pada akhirnya, Sir Ahmad Khan mengadopsi pendapat Ibnu Rushd yang mengatakan bahwa antara kebenaran menurut akal (al-m’aqul) tidak boleh bertentangan dengan kebenaran menurut wahyu (al-manqul). Jika keduanya terjadi kontradiksi, maka wahyu harus dipahami secara metaforis.  Senada dengan pemahaman Sir Ahmad Khan adalah Rashid Rid}a (1865-1935), mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak akan pernah bertentangan dengan akal sehingga dengan tegas ia mengingkari semua mukjizat Nabi Muhammad saw kecuali Al-Qur’an. Ia menolak hadis-hadis sekalipun s}ah}ihyang menjelaskan tentang mukjizat Nabi Muhammad saw selain Al-Qur’an. 

Penolakan itu disebabkan karena mukjizat selain Al-Qur’an tidak sesuai dengan akal dan kalaupun ia menerima hadis yang menjelaskan tentang mukjizat, maka ia akan menafsirkan melalui takwil sehingga bisa selaras dengan akal. Sebetulnya, genetik pemikiran Rashid Rid}a (1865-1935) tentang mukjizat berakar pada pemikiran gurunya, Muhammad ‘Abduh (1849-1905), yaitu memberikan keleluasaan menggunakan akal (al-ra’yu) dalam menafsirkan teks (al-wah}yi). Muhammad Abduh mengemukakan bahwa dalam menyikapi ayat-ayat yang mutashabih, ulama tafsir terbagi menjadi dua kelompok; pertama  adalah mereka yang menafsirkannya dengan cara menakwilkannya sehingga selaras dengan akal (al-ma’qul). Sementara kelompok kedua adalah para ulama yang mendiamkannya (al-mauquf). Muhammad ‘Abduh, lebih cenderung memilih pada kelompok yang pertama. Hal ini bisa dilihat dalam pendapatnya tentang malaikat, mukjizat dan kejadiaan-kejadian luar biasa lainnya yang diceritakan dalam Al-Qur’an.

Maulana Muhammad Ali (1876-1951), seorang tokoh dan pendiri Ahmadiyah Lahore tidak berbeda jauh dengan pola penafsiran Ahmad Khan, Muhammad ‘Abduh dan Rashid Rid}a, yaitu memberi ruang gerak yang dominan terhadap akal sehingga mengalahkan wahyu. Muhammad Ali berprinsip bahwa mukjizat yang terjadi pada para nabi bukanlah sesuatu yang luar biasa dan suprarasional akan tetapi merupakan hal yang rasional. Mukjizat dalam pengertian sesuatu yang luar biasa adalah bertentangan dengan akal manusia sehingga mustahil terjadi. 

Prinsip ini berbeda jauh dengan pendapat M. Quraish Shihab tentang mukjizat, ia mengatakan bahwa mukjizat sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama, ialah peristiwa “luar biasa” yang terjadi dari seseorang yang mengaku Nabi sebagai bukti kenabiannya, sebagai tantangan terhadap orang yang meragukannya, dan orang yang ditantang tidak mampu untuk menandingi kehebatan mukjizat tersebut. 

Pengertian peristiwa yang luar biasa adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab dan akibat yang lumrah terjadi atau yang umum dalam pandangan manusia. Menurutnya, kemustahilan terbagi menjadi dua, yaitu mustahil dalam pandangan akal dan mustahil dalam pandangan kebiasaan. Bila dikatakan bahwa 1+1= 11 atau 1 lebih banyak dari 11 maka pernyataan ini mustahil dalam pandangan akal. Namun, bilamana dikatakan bahwa matahari terbit dari sebelah barat, maka pernyataan ini mustahil dalam pandangan kebiasaan.  

Lebih jauh M. Quraish Shihab berpendapat bahwa secara garis besar mukjizat dapat dibagi menjadi dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat material inderawi lagi tidak kekal, dan mukjizat immaterial, logis lagi bisa dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat Nabi-Nabi terdahulu kesemuanya merupakan jenis mukjizat pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan inderawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indera oleh masyarakat tempat Nabi tersebut menyampaikan. 

Hal senada juga diungkapkan oleh Said Aqil Munawar, bahwa mukjizat terbagi dua yaitu mukjizat hissi (material dan iderawi) dan mukjizat ma’nawi (immateral dan logis), karakteristik mukjizat yang kedua ini bersifat immortal, sementara mukjizat yang pertama bersifat temporal. Dan ia mengutip pendapat ulama bahwa ada lima syarat yang harus dipenuhi hal itu dikatakan mukjizat, bila salah satu dari kelima itu tidak terpenuhi, maka itu bukanlah mukjizat; pertama mukjizat ialah sesuatu yang tidak sanggup dilakukan oleh siapapun selain Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. 

Kedua, Tidak sesuai dengan kebiasaan dan berlawanan dengan hukum alam. Ketiga, Mukjizat harus menjadi saksi terhadap risalah ilahiyyah yang dibawa oleh orang yang mengaku Nabi, sebagai bukti akan kebenarannya. Keempat, Terjadi bertepatan dengan pengakuan Nabi yang mengajak bertanding menggunakan mukjizat tersebut. Kelima, Tidak ada seorangpun yang dapat membuktikan dan membandingkan dalam pertandingan tersebut.
Keengganan Maulana Muhammad Ali mengakui terjadinya mukjizat yang bersifat material inderawi dapat dibuktikan dalam menafsirkan Al-Qur’an surah al-Anbiya: 21: 69 yang berbunyi:

Yang artinya :

“Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim.”

Menurut Muhammad Ali, Al-Qur’an sama sekali tidak menyebutkan secara konkrit bahwa Nabi Ibrahim as dilempar dan dibakar dalam kobaran api, sehingga Allah mengintruksikan kepada api agar tidak membakar Nabi Ibrahim as dalam Al-Qur’an surah al‘Ankabut: 29: 24: 

Yang artinya :

“Maka tidak ada jawaban kaumnya (Ibrahim), selain mengatakan, “Bunuhlah atau bakarlah dia”, lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat tandatanda (kebesaran Allah) bagi orang yang beriman.”

Ayat ini menjelaskan bahwa kaum Nabi Ibrahim as memvonis untuk membunuhnya atau membakarnya, dan Allah menyelamatkan dari kobaran api itu. Akan tetapi dalam ayat tersebut, tidak terdapat redaksi ayat yang secara konkrit menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim as dibakar. 
Dalam Al-Qur’an Surah al-Anbiya: 21: 70: 

Yang artinya :

“Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim, Maka Kami menjadikan mereka itu orangorang yang paling rugi”.
Diceritakan bahwa kaum Nabi Ibrahim as hendak memperdaya Nabi Ibrahim as akan tetapi Allah menggagalkannya, dan Maulana Muhammd Ali melanjutkan pada Al-Qur’an surah al-S{affat: 37: 98:

Yang artinya :

“Maka mereka bermaksud memperdayainya dengan (membakar)nya, (tetapi Allah menyelamatkannya), lalu Kami jadikan mereka orang-orang yang hina.” Mengacu pada  Al-Qur’an surah al-Anbiya: 21: 71 :

Yang artinya :

 “Dan Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lutke sebuah negeri yang telah Kami berkahi untuk seluruh alam.”

Dijelaskan bahwa Allah swt menyelamatkan Nabi Ibrahim as dari makar mereka dan merekapun mengalami kehinaan, sedangkan Nabi Ibrahim as dan anak saudaranya Nabi Lutas hijrah ke negara yang aman yaitu Pelestina atau Sham. Empat ayat diatas merupakan data otoritatif dan argumentatif bahwa Nabi Ibrahim as tidak dibakar seperti dalam pemahaman mayoritas penafsir dan kalangan umat Islam lainnya. Menurutnya, pengertian ayat yang menjelaskan bahwa Allah swt menyelamatkan Nabi Ibrahim as dari api adalah menyelamatkan dari kejahatan kaumnya dengan memerintahkan hijrah ke negara lain sebagaimana Allah menyelamatkan Nabi Muhammad saw dari kejahatan kaum musyrik Mekkah dengan memerintahkan hijrah ke Ethiopia dan Yathrib.

Ini berbeda jauh dengan penafsiran M. Quraish Sihab yang menafsirkan ayat-ayat mukjizat dengan jelas. Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat mukjizat berangkat dari prinsip-prinsip penafsiran yang ia bangun, yaitu ketertundukan akal pada wahyu, menurutnya akal dan wahyu mempunyai wilayah masing-masing. 

Ia meyakini bahwa peristiwa pembakaran yang dialami oleh Nabi Ibrahim as itu merupakan suatu peristiwa “keluarbiasan”, yakni diluar hukum alam yang kita kenal yaitu yang menganut hukum kebiasaan yang sering terjadi disekitar kita, karena itu kita tidak mengetahui hakikat daripada peristiwa itu. Objek akal adalah sesuatu yang terjadi dan sering berulang-rulang kemudian melahirkan hukum alam atau sunnatullah, misalnya air yang mengalir ke tempat yang rendah dan api yang mempunyai daya bakar serta matahari terbit dari barat, semua itu telah memunculkan teori tentang hukum alam dan sebab akibat. Hal ini tentu berseberangan dengan pemaknaan mukjizat. 

Penilaian bahwa sesuatu itu mustahil karena akal terpaku pada kebiasaan atau hukum alam yang biasa terjadi di depan mata, atau yang diketahui selama ini. Sehingga, bila ada sesuatu yang berseberangan dengan jalan yang biasa dilihat atau biasa terjadi, boleh jadi kemudian ditolak bahkan mustahil. 

Dari dulu, mustahil menurut pandangan akal seorang nenek akan melahirkan cucunya. Akan tetapi, kemustahilan itu menjadi rapuh karena kecanggihan tekhnologi rekayasa genetik. Ia mengutip pernyataan David Hume (1711-1776), seorang filosof terkenal dari Inggirs menyatakan bahwa cahaya yang kita lihat ketika meletusnya meriam bukanlah sebab meletusnya meriam. 

Dan mengutip pendapatnya al Ghazali (10591111) yang berkata bahwa ayam yang berkokok sebelum fajar bukan menjadi sebab terbitnya fajar. Menurut sementara pemikir lain, mungkin apa yang merupakan kebetulan hari ini, bisa jadi merupakan proses dari kebiasaan atau hukum alam. ia juga mengutip riwayat yang mengatakan bahwa Jibril datang ketika itu dan menawarkan pertolongan akan tetapi Nabi Ibrahim as menolaknya karena ia hanya mengharapkan pertolongan Allah swt. 
1. Paradigma Saintis dan Filosof Tentang Mukjizat

Mukjizat juga mendapatkan perhatian dan kajian mendalam bagi para Saintis dan Filosof, Salah Satunya yaitu St. Thomas Aquinas (1226-1274) yang mengatakan bahwa Mukjizat merupakan suatu kejadian teratur yang bersifat supranatural dan disebabkan oleh faktor-faktor ilahi. Menurut Aquinas sendiri, di alam semesta ada dua bentuk keteraturan yang berjenjang dan bertingkat. 

Pertama, keteraturan alami yang terdapat pada benda-benda dimana berasal dari kehendak dan keinginan Tuhan dan bukan dari kemestian esensi dan alami dari benda-benda tersebut. Namun, Tuhan juga meletakkan keteraturan yang bersifat Kausalitas pada semua benda di alam, benda-benda tersebut tersebut berjalan di atas keteraturan esensial dan alaminya masing-masing. Kedua, keteraturan mutlak Tuhan, dimana berasal dari ilmu dan kehendak Tuhan. Oleh karena itu, walaupun realitas mukjizat “bertentangan” dengan keteraturan dan tatanan alam tapi tak bertolak belakang dan bahkan sesuai dengan keteraturan mutlak dan kehendak Tuhan.

David Hume (1711-1776) mempunyai pendapat lain mengenai Mukjizat. Menurutnya, dalam makalah yang sangat terkenal bertema “Darbore-ye mukjizat (Tentang Mukjizat)”. Pada bagian pertama dalam makalah tersebut David Hume berusaha menunjukkan bahwa kejadian mukjizat dikarenakan bertolak belakang dengan hukum alam maka menjadi sangat kecil kemungkinannya dapat ditetapkan dengan bantuan bukti sejarah yang walaupun bukti itu sangat kuat dan otentik, tapi akan menjadi mungkin bila dijelaskan dengan dalil-dalil rasional tentang keadaan dan proses yang paling sempurna dari kejadiannya. 

Bagian kedua dari makalah tersebut ia berargumentasi bahwa, dengan asumsi mukjizat dapat dibuktikan, walaupun terdapat bukti-bukti sejarah yang otentik dimana digunakan oleh semua orang beragama untuk menyampaikan kejadian mukjizat, tetapi tak satupun yang dapat dijadikan sandaran dan karena itulah kita tidak memiliki bukti-bukti sejarah yang otentik dan dalil yang kuat atas kejadian mukjizat. Disini jelas bahwa David Hume menolak adanya mukjizat, ada beberapa Argumen David Hume dalam menolak adanya kemungkinan pembuktian mukjizat, berpijak pada dasar-dasar di bawah ini:

1. Eksperimen ilmiah merupakan satu-satunya petunjuk dan tolok ukur kita dalam berargumen tentang masalah-masalah yang terjadi dan sebagai sumber otentik untuk penyelesaian segala perbedaan.

2. Orang yang berakal niscaya menyesuaikan kepercayaan dan keyakinannya dengan dalil dan argumen, oleh karena itu, semakin jauh subyek permasalahan (kejadian) dengan realitas keseharian kita, maka untuk sampai pada keyakinan kuat atas sesuatu yang terjadi mesti dibutuhkan dalil-dalil yang semakin kuat pula. Kebutuhan akan dalil dan bukti yang kuat akan semakin urgen ketika diperhadapkan dengan subyek masalah yang ajaib, asing, aneh dan bahkan bertentangan dengan hukum-hukum alam, karena dalam hal ini, kita berhadapan dengan dua realitas yang saling bertolak belakang, maka kita terpaksa membandingkan dua realitas tersebut dan kemudian memilih salah satu realitas tersebut yang mengandung tingkat persentase pertentangan yang rendah.

3. Keyakinan kita kepada bukti, dalil, laporan dan berita berpijak pada pendekatan empirisitas. Alasan kepercayaan kita kepada setiap pembawa berita dan para saksi sama sekali tidak berangkat dari hubungan kemestian dan keniscayaan antara bukti-bukti dan realitas peristiwa yang diketahui saling mendahului satu sama lain.

4. Pertentangan mukjizat dengan kenyataan hakiki alam dan alur panjang pengalaman kehidupan manusia serta dalil-dalil empiris merupakan alasan yang terkuat atas kerumitan pembuktiannya. Berdasarkan pokok-pokok tersebut di atas, Hume berkata, “Jika ada bukti dan dalil yang kuat atas kejadian mukjizat, maka kita bisa namakan dalil tersebut sebagai dalil versus dalil atau bukti lawan bukti, karena dari satu sisi bukti dan dalil tersebut sebegitu kuat dan otentik sehingga ketika obyek berita dinafikan maka dalil tersebut secara esensial merupakan dalil yang sempurna. 

Ahmad ibn Ishaq al-Ruwandi (w. akhir abad III H) seorang Filsuf berkebangsaan Yahudi mengatakan Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat menerima batu dapat bertasbih dan serigala dapat berbicara. Kalau sekiranya Allah swt membantu umat Islam dalam perang Badar mengapa dalam Perang Uhud tidak? al-Ruwadi juga mengingkari mukjizat Al-Qur’an karena Al-Qur’an bukan persoalan yang luar biasa (Khariq al-‘adah). Orang non-Arab jelas heran dengan balaghah Al-Qur’an, karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah orang yang paling fasih di kalangan orang Arab. Sehingga daripada membaca kitab suci lebih berguna membaca buku Filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi, Logika, serta Obat-obatan. Berdasarkan paparan di atas, makna mukjizat mempunyai perbedaan antara para sainstis, Filosofis, dan tokoh agama. Dengan makna yang berbeda-beda menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam Al-Qur’an. 

Makna mukjizat yang berbeda-beda disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda-beda mengenai sesuatu di luar nalar manusia biasa. Para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat mukjizat dalam al-Qur’an mempunyai perbedan penafsiran. Ada mufassir yang mencoba menafsirkan dengan makna majazi seakan-akan rasional dan masuk akal, mufassir lain menafsirkan dengan makna hakiki dan memaknai bahwa mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa. Namun, ketika memaknai Al-Qur’an sebagai mukjizat Rasulallah saw terdapat kerancuan, dikarenakan memaknai mukjizat para Nabi sebelumnya majazi sedangkan Al-Qur’an secara hakiki. Menerima Al-Qur’an sebagai mukjizat, namun tidak menerima perkara yang luar biasa yang dilakukan oleh para Nabi sebelumnya sebagai mukjizat.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar