Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Jumat, 26 Juli 2019

KHILAFIYAH MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL



Ucapan Selamat Natal

Selamat Natal yang diucapkan seorang Muslim kepada penganut agama lain seperti agama Kristen misalnya dianggap haram oleh sementara orang dan dinilai sesat dan menyesatkan. Berita itu yang biasa terdengar di Indonesia, tetapi tidak demikian di kalangan ulama di Timur Tengah.Berikut tulisan ulama besar SuriahMustafa Az-Zarqa’ yang termuat dalam kumpulan fatwanya “Fatwa Mustafa Az-Zarqa”. Fatwa-fatwa itu dihimpun oleh Majed Ahmad Makky dan diantar oleh ulama besar Mesir kenamaan: Yusuf al-Qardhawy.

AlQardhawy mengakui az-Zarqa’ sebagai gurunya dan merasa bangga menulis pengantar tentang kumpulan fatwa itu. Fatwa ini adalah jawaban Az-Zarqa’ kepada Anas Muhammad ash-Shabbagh yang bermukim di Saudi Arabia. Terjemahannya sebagai berikut: “Menjawab pertanyaan Anda tentang ucapan selamat yang diucapkan seorang Muslim berkaitan dengan kelahiran Isa (Natal) dan Tahun Baru Masehi, maka menurut hemat saya: Ucapan Selamat Natal seorang Muslim kepada kenalannya yang menganut agama Nasrani termasuk dalam anjuran berbudi baik dalam interaksi dengan mereka.

Sungguh Islam tidak melarang kita menyangkut harmonisasi hubungan beragama dan perlakuan baik semacam ini terhadap mereka, apalagi yang mulia Al-Masih dalam pandangan aqidah kita adalah salah satu Rasul Allah yang agung dan termasuk satu dari lima Nabi yang amat diagungkan. Siapa yang menduga mengucapkan selamat kepada mereka pada hari kelahiran Isa as. haram-siapa yang menduga demikian-maka dia salah karena tidak ada hubungan dalam ucapan itu dengan rincian aqidah kaum Nasrani dan pandangan mereka terhadap Isa as. Diriwayatkan bahwa suatu ketika ada jenazah seorang Yahudi yang diusung di hadapan NabiSaw., maka beliau berdiri. Berdirinya beliau itu merupakan ekspresi dari rasa agung dan dahsyat terhadap kematian-tidak ada hubungannya dengan aqidah sosok Yahudi yang mati itu.

Muslim dituntut untuk menggambarkan kebaikan Islam dan moderasinya terhadap Non-Muslim. Di samping itu, keadaan kaum Muslim dewasa ini yang sungguh lemah di antara negara-negara di dunia ini serta konspirasi dan tuduhan bahwa kaum Muslim adalah teroris, fanatik, dan lain-lain—kesemuanya menuntut kaum Muslim mengubah image buruk itu, apalagi pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha bisa jadi seorang Muslim memiliki teman-teman yang mengucapkan selamat kepadanya, sehingga bila ia tidak membalas sikap baik mereka itu dengan berkunjung kepada yang berkunjung kepadanya pada Hari Lebaran, maka sikap itu akan semakin mendukung tuduhan yang ditujukan kepada kaum Muslim,” demikian antara lain Mustafa az-Zarqa’.

Saling mengucapkan selamat, bahkan kunjung-mengunjungi itulah yang dilakukan juga oleh pimpinan al-Azhar Mesir. Apakah mereka salah dan sesat? Saya menduga keras bahwa ulama-ulama itu jauh lebih mengerti agama dan lebih bijaksana daripada mereka yang mengharamkan ucapan Selamat Natal, apalagi menyesatkan siapa yang membolehkan mengucapkan Selamat Natal itu. Ada beberapa hadits- antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim—yang melarang seorang Muslim memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits tersebut menyatakan, “Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu bertemu mereka di jalan, jadikanlah mereka terpaksa ke pinggir.” Ulama berbeda paham tentang makna larangan tersebut.

Dalam buku Subul asSalâm karya Muhammad bin Isma’îl al-Kahlani (jil.IV, hlm. 155) antara lain dikemukakan bahwa sebagian ulama bermazhab Syâfi‘î tidak memahami larangan tersebut dalam arti haram, sehingga mereka membolehkan menyapa non-Muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini merupakan juga pendapat sahabat Nabi, Ibnu Abbâs. Qadhi Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan mengucapkan salam kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh Alqamah dan al-Auza‘i. Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu, karena agaknya larangan tersebut timbul dari sikap bermusuhan orang-orang Yahudi dan Nasrani ketika itu kepada kaum Muslim.

Bahkan dalam riwayat Bukhari dijelaskan tentang sahabat Nabi, Ibnu Umar, yang menyampaikan sabda Nabi bahwa orang Yahudi bila mengucapkan salam terhadap Muslim tidak berkata, “Assalâmu‘alaikum,” tetapi “Assâmu‘alaikum,” yang berarti “Kematian atau kecelakaan untuk Anda”. Nah, jika demikian, wajarlah apabila Nabi melarang memulai salam untuk mereka dan menganjurkan untuk menjawab salam mereka dengan “‘Alaikum,” sehingga jika yang mereka maksud dengan ucapan itu adalah kecelakaan atau kematian, maka jawaban yang mereka terima adalah “Bagi Andalah (kecelakaan itu).” Mengucapkan “Selamat Natal” masalahnya berbeda.

Dalam masyarakat kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan khusus. Sebenarnya, dalam al-Qur’an ada ucapan selamat atas kelahiran Isa: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. (QS. Maryam [19]: 33).  Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu.Akan tetapi persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.Yang melarang ucapan “Selamat Natal” mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus Kristus.

Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan “Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan. Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas.Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman.Bahkan al-Qur’an tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan ketika pengertian semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti kata Allah ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad).

Demikian wahyu pertama hingga surah al-Ikhlâs. Ucapan selamat atas kelahiran Isa (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam al-Qur’an, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran agama Kristen yang keyakinannya terhadap Isa al-Masih berbeda dengan pandangan Islam.Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantarkan kita kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akanketuhanan al-Masîh, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan alasan ini, lahirlah larangan dan fatwa haram untuk mengucapkan “Selamat Natal”, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan atau membantu terlaksananya upacara Natal tidak dibenarkan. Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”.

Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Qur’an mengaitkannya dengan ucapan isa, “Sesungguhnya aku ini, hamba Allah.Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi” (QS. Maryam [19]: 30). Nah, salahkah bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan itu?Bukankah al-Qur’an telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun,  keluarga Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba dan utusan Allah?Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk Isa as., sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa as.? Bukankah NabiSaw. juga merayakan hari keselamatan Mûsâ dari gangguan Fir‘aun dengan berpuasa  Asyura, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa,seperti sabdanya, “Saya lebih wajar menyangkut Mûsâ (merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi),” maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu dawud, melalui Ibnu Abbas-lihat Majma’ al-Fawâ’id, hadits ke-2.981).

Untuk menjawab hukumnya, perlu dikupas ke dalam beberapa point:

Pertama, tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas menerangkan keharaman atau kebolehan mengucapkan selamat Natal. Padahal, kondisi sosial saat nabi MuhammadSaw hidup mengharuskannya mengeluarkan fatwa tentang hukum ucapan tersebut, mengingat Nabi dan para Sahabat hidup berdampingan dengan orang Yahudi dan Nasrani (Kristiani). 
Kedua, karena tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas menerangkan hukumnya, maka masalah ini masuk dalam kategori permasalahan ijtihadi yang berlaku kaidah: Yang artinya:
Permasalahan yang masih diperdebatkan tidak boleh diingkari (ditolak), sedangkan permasalahan yang sudah disepakati boleh diingkari. 
Ketiga, dengan demikian, baik ulama yang mengharamkannya maupun membolehkannya,  sama-sama hanya berpegangan pada generalitas (keumuman) ayat atau hadits yang mereka sinyalir terkait dengan hukum permasalahan ini.
1)  Sebagian ulama, meliputi Syekh Bin Baz, Syekh Ibnu Utsaimin, Syekh Ibrahim bin Ja’far, Syekh Ja’far At-Thalhawi dan sebagainya, mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya.  Mereka berpedoman pada beberapa dalil, di antaranya: Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-Furqan ayat 72:
  
   Artinya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” Pada ayat tersebut, AllahSwt menyebutkan ciri orang yang akan mendapat martabat yang tinggi di surga, yaitu orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sedangkan, seorang Muslim yang mengucapkan selamat Natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Kristiani tentang hari Natal. 

     Akibatnya, dia tidak akan mendapat martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat Natal hukumnya haram. Di samping itu, mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
   Yang artinya:
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut." (HR. Abu Daud, nomor 4031). Orang Islam yang mengucapkan selamat Natal berarti menyerupai tradisi kaum Kristiani, maka ia dianggap bagian dari mereka. Dengan demikian, hukum ucapan dimaksud adalah haram.
2)  Sebagian ulama, meliputi Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan sebagainya membolehkan ucapan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya. Mereka berlandaskan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8: 

Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” Pada ayat di atas, AllahSaw tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada siapa saja yang tidak memeranginya dan tidak mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada orang non Muslim yang tidak memerangi dan mengusir, sehingga diperbolehkan. 
Selain itu, mereka juga berpegangan kepada hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam riwayat Anas bin Malik: 

 yang artinya:
“Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: “Masuk Islam-lah!” Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata:‘Taatilah Abul Qasim (Nabi shallallahu 'alaihi wasallam).” Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar seraya bersabda: ”Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR Bukhari, No. 1356, 5657) 

Menanggapi hadits tersebut, ibnu Hajar berkata:  “Hadits ini menjelaskan bolehnya menjadikan non-Muslim sebagai pembantu, dan menjenguknya jika ia sakit”. (A-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 3, halaman 586).

Pada hadits di atas, Nabi mencontohkan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim yang tidak menyakiti mereka. Mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada mereka, sehingga diperbolehkan. Dari pemaparan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, dan ada yang membolehkan. Umat Islam diberi keleluasaan untuk memilih pendapat yang benar menurut keyakinannya. Maka, perbedaan semacam ini tidak boleh menjadi konflik dan menimbulkan perpecahan. Jika mengucapkan selamat Natal diperbolehkan, maka menjaga keberlangsungan hari raya Natal, sebagaimana sering dilakukan Banser, juga diperbolehkan. Dalilnya, sahabat Umar bin Khattab ra. menjamin keberlangsungan ibadah dan perayaan kaum Nasrani Iliya’ (Quds/Palestina):

yang artinya:
“Ini merupakan pemberian hamba Allah, Umar, pemimpin kaum Mukminin kepada penduduk Iliya’ berupa jaminan keamanan: Beliau memberikan jaminan keamanan kepada mereka atas jiwa, harta, gereja, salib, dan juga agama-agama lain di sana. Gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dihancurkan.” (Lihat: Tarikh AtThabary, Juz 3, halaman 609)  Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Wakil Ketua Forum Kandidat Doktor NU Malaysia.

SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar