Siddiq
Kata /صديق Siddiq, berasal dari bahasa Arab yang
berarti "benar/jujur". Menurut istilah adalah sesuatu yang diberikan sebagai sebuah
gelar kehormatan kepada individu tertentu, Siddiq untuk laki-laki dan Siddiqah
untuk perempuan.
Dalam sejarah
Islam, kita kenal gelar seperti ini pernah diberikan kepada sahabat yang
membenarkan berita Isra dan Mi’rajnya Nabi Muhammad Saw. yang kemudian diberi
gelar Ash-Shiddiq, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Ash-Shiddiq yang
dimaksud adalah orang yang dengan jujur mau menerima /صدق shidq, (kebenaran). Jujur adalah sifat
yang ada dan sudah menyatu dengan jiwa seseorang yang
dapat mengispirasi dan mendorong secara cepat untuk berbicara dan
berbuat apa adanya.
Sama antara
pembicaraan dan perilakunya. Apa yang ada di dalam hatinya sama dengan apa yang
disampaikan melalui lisannya. Perbuatannya juga tidak dibut-buat, sesuai dengan
keyakinan kebenaran yang ada di dalam hatinya. Teguh pendiriannya, tidak mudah
goyah oleh pengaruh dari luar.
Di tengah
perkembangan zaman yang sangat cepat, masyarakat semakin hari semakin rasional
dan logis. Jujur menjadi sesuatu yang langka, ada tetapi sangat jarang ditemukan.
Hal ini dikarenakan banyak orang yang sudah meninggalkan prinsip kebenaran,
terutama masalah akhlak.
Orang akan banyak
memihak kepada hal yang menguntungkan dirinya, yang paling masuk akalnya.
Sementara akalnya sudah tidak sehat lagi karena dibimbing oleh nafsu angkara
murka. Ada sebuah dialog menarik dalam
kitab Ihya Ulumiddin terkait dengan kelangkaan sifat jujur ini.
Dialog antara
Hakim dengan seorang laki-laki yang menyoal kejujuran yang susah didapatkan
Artinya: Seorang
laki-laki berkata kepada Hakim: “Aku tidak bisa mengenali orang yang
jujur!” Kemudian dijawab oleh Hakim:
“Seandainya kamu adalah orang yang jujur kamu juga akan mengenal orang-orang
yang jujur.”
Laki-laki dalam
dialog di atas memiliki keinginan untuk mengetahui kejujuran orang lain, tapi
ketika dirinya sendiri tidak memiliki sikap jujur, maka orang-orang jujur tidak
lagi bisa ia liat, dan tidak nampak baginya.
Hal ini
menggambarkan adanya indikasi dalam bahwa laki-laki tersebut sudah semakin
susah untuk membedakan mana orang yang jujur dan mana orang yang bohong. Bahkan
dirinya sendiri tidak sadar kalau bukan bagian dari orang-orang yang jujur.
Salah satu kitab
yang memersoalkan tentang jujur adalah Ihya Ulumiddin. Kitab ini merupakan
kitab fenomenal yang memuat banyak sekali hikmah dan moral yang layak dijadikan
pedoman.
Imam Abu Hamid
al-Ghazali (w. 505 H) sendiri memasukkannya ke dalam Rubu’ al-Munjiyat
(seperempat hal yang dapat menyelamatkan).
Beliau mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud
Rasulullah Saw bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan
kepada surga. Sungguh akan ada seorang laki-laki yang berbuat jujur sehingga ia
akan dicatat sebagai orang yang sangat jujur. Sebaliknya, dusta menunjukkan
kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan mengantarkan seseorang ke neraka, sungguh
akan ada seorang laki-laki yang pandai berdusta sehingga ia dicatat di sisi
Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sifat jujur
merupakan salah satu sifat wajib yang dimiliki oleh para nabi dan para rasul Allah. Berikut adalah beberapa contoh firman Allah
Swt. yang menyatakan bahwa para nabi dan rasul memiliki sifat jujur;
a.
Nabi
Ibrahim as.
Artinya: “Ceritakanlah
(Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia
adalah seorang yang sangat jujur lagi seorang Nabi.” (QS. Maryam/19: 41)
b.
Nabi
Isma’il as.
Artinya: “Dan
ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam
Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah
seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam/19: 54)
c.
Nabi
Idris as.
Artinya: “Dan
ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam
Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang
nabi.” (QS. Maryam/19: 56)
Jujur adalah sifat
terpuji yang selayaknya dimiliki oleh umat Islam. Abu Hamid al-Ghazali secara
khusus membahas tentang hal jujur ini. Tepatnya dalam sub tema yang
berjudul fi al-Shidqi wa Fadhilatih wa
Haqiqatihi (Jujur, Keutamaan dan Hakikatnya).
Menurut al-Ghazali
kata jujur dapat diartikan dalam berbagai makna. Pertama adalah jujur dalam
perkataan, jujur dalam niat dan kehendak, jujur di dalam azam (tekad), jujur di
dalam menunaikan azam, jujur di dalam perbuatan dan yang terakhir jujur di
dalam mengimplementasikan maqamat di dalam beragama.
Berikut kami
paparkan masing-masing dari pengertian jujur di atas.
Pertama, jujur dalam lisan; jujur dalam lisan atau ucapan berkaitan
langsung dengan informasi atau berita yang disampaikan, apakah itu benar atau
salah. Baik yang telah berlalu maupun yang akan terjadi.
Menurut al-Ghazali
kejujuran ini akan semakin lengkap jika seseorang tidak terlalu
membesar-besarkan informasi. Karena menurut alGhazali, hal itu dekat dengan
kedustaan. Dan kedua, memperhatikan makna jujur secara seksama agar tidak
bercampur dengan syahwat keduniaan.
Kedua, jujur dalam niat dan kehendak. Jujur
dalam hal ini terkait langsung dengan keikhlasan. Tidak ada dorongan sedikitpun
kecuali hanya karena Allah. Jika niat dan kehendak seseorang bercampur dengan
nafsu maka batal kejujuran niat tersebut. Dan orang yang niatnya bercampur dengan nafsu bisa
dikategorikan sebagai orang yang berdusta.
Kejujuran yang
kedua ini tercermin dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
kemudian
ditanyakan (kepadanya): “Apa yang engkau perbuat sewaktu di dunia?” ia
menjawab: “Aku menuntut ilmu dan membaca Al-Quran serta mengamalkannya di
jalan-Mu.” Lalu dijawab, “Bohong! Kamu melakukannya hanya ingin disebut sebagai
orang yang alim, yang qari.” Kemudian Allah memerintahkan untuk disungkurkan
wajahnya dan dilemparkan ke dalam api neraka. (HR. Hakim)
Ketiga, jujur dalam azam (tekad); sebelum
seseorang melakukan sesuatu kadangkala seseorang memiliki tekad terlebih dahulu
sebelum mengimplementasikannya. Contohnya adalah jika seseorang mengatakan jika
Allah memberiku harta maka aku akan mensedekahkan sekian dari harta tersebut.
Kejujuran tekad yang dimaksudkan di sini adalah kesempurnaan dan kekuatan tekad
tersebut. Tekad yang benar atau jujur tidak akan ragu atau goyah sedikitpun.
Keempat, jujur dalam menunaikan azam (tekad);
Maksudnya adalah ketika seseorang telah memiliki azam dan ia memiliki peluang
untuk melaksanakan azamnya. Ketika ia tidak menunaikan apa yang menjadi
tekadnya maka itu bisa dikatakan sebagai kebohongan atau ketidak jujuran.
Kelima, jujur dalam perbuatan; adalah usaha
seseorang untuk menampilkan perbuatan lahiriah agar sesuai dengan apa yang ada
di dalam hatinya. Berbeda dengan riya’, riya’ berati perbuatan baik secara
lahir tidak sama dengan niat buruk di dalam hati. Seseorang yang antara
perbuatan lahir dan niatnya berbeda tanpa adanya maksud yang disengaja. menurut
al-Ghazali hanya dikatakan sebagai orang yang tidak jujur dalam perbuatan.
Keenam, jujur dalam mengimplementasikan
maqamat di dalam agama seperti jujur di dalam khauf (takut kepada Allah), raja’
(berharap kepada Allah), zuhud dan lain sebagainya. Ini adalah tingkatan jujur
yang paling tinggi. Seseorang dapat dikatakan jujur dalam tahap ini ketika ia
telah mencapai hakikat yang dimaksud dalam khauf, raja’ atau zuhud yang
dikehendaki. Tingkatan jujur ada dalam ajaran sufi yang ada dalam Islam.
@MENZOUR_ID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar